Kedudukan Zakat Dalam Islam

DI dalam Alquran, Allah swt berfirman, “Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) yang menyucikan mereka dan membersihkan mereka dengannya.” (QS. Al-Tawbah: 103)

Menurut syariat, zakat merupakan harta dalam kadar tertentu yang wajib kita keluarkan atau bayarkan jika harta kita telah mencapai nisab. Dan bagian harta itu kemudian akan disalurkan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan.

Para ahli fiqih juga mengartikan zakat sebagai pemberian atau pembayaran hak yang mesti diambil dari harta milik. Dengan kata lain, zakat merupakan sebagian harta yang telah ditentukan jumlahnya untuk diberikan kepada kaum fakir.

Zakat disebut juga sedekah atau shadaqah karena menunjukkan kebenaran dan kejujuran seorang hamba dan ketaatannya kepada Allah swt.

Dalam Islam, zakat merupakan rukun ketiga yang disyariatkan pada tahun kedua hijriah. Dan Allah juga telah menyebutkan tentang zakat dan berdampingan dengan kewajiban salat pada 82 tempat dalam Alquran. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa antara zakat dan shalat memiliki hubungan erat.

Di antaranya Allah berfirman, “Dan dirikanlah salat dan berikanlah zakat.” (QS. An-Nur :56). Dia juga berfirman, “Dan orang yang Kami tempatkan dimuka bumi mendirikan salat dan menunaikan zakat dan memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan kepada Allah-lah kembalinya segala sesuatu.” (QS. Al-Hajj : 41).

Selain ayat-ayat Alquran, sunah Nabi Muhammad saw juga menekankan kewajiban zakat, misalnya dalam hadis terkenal yang diriwayatkan dari Ibn Umar Rasulullah saw bersabda, “Islam dibangun diatas lima perkara: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, memberikan zakat, puasa Ramadan, dan haji ke baitullah.”

Karena itu, zakat merupakan kewajiban yang berkaitan dengan harta benda, hak bagi orang yang berhak, bukan kelebihan bagi orang yang orang yang mengeluarkannya. Zakat diwajibkan atas kita, umat muslim yang merdeka.

 

INILAH MOZAIK

Zakat Lunas, Mudik Jadi Tak Was-Was

Indonesia mempunyai budaya yang unik. Apa itu? Ya, mudik. Tiap jelang lebaran idul fitri, mereka yang sehari-hari tinggal dan bekerja di kota, berbondong-bondong pulang ke kampung halaman tercinta. Ada yang naik kapal laut, kereta api, pesawat terbang, motor, mobil, atau bus. Mereka mudik demi berjumpa dengan keluarga dan saudara-saudaranya.

Perjumpaan ini sangatlah berarti. Di dalamnya, ada peluk, cium, dan jabat tangan, ada kerinduan yang dilepaskan, ada pengalaman-pengalaman yang dituturkan, ada canda tawa, ada penyambungan keterputusan sosial kaum urban, dan ada pengencangan ikatan tali silaturrahim. Suatu kehangatan yang tidak bisa tergantikan oleh hubungan via media sosial.

Selain bersilaturrahim dengan keluarga, saudara, teman, dan tetangga, ada juga di antara mereka yang berziarah ke makam orang tua, kakek, nenek, atau saudara sambil mendoakannya. Jadi mudik boleh juga dikatakan sebagai perjalanan spiritual.

Tips Mudik

Agar perjalanan mudik lancar, aman, tenang, dan menyenangkan, berikut beberapa tipsnya:

  1. Berdoa sebelum berangkat. Ketika hendak bepergian, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari rintangan dalam perjalanan dan kekecewaan sewaktu kembali (ke kampung halaman), dari kerusakan setelah kebaikan, dari doa orang teraniaya, dari mendapatkan hal yang tidak diinginkan mengenai harta dan keluarga.” (HR Ahmad dan Muslim).
  2. Bagi yang membawa kendaraan pribadi, cek kondisi kendaraannya terlebih dahulu. Pastikan rem, ban, mesin, oli dan lain sebagainya berfungsi dengan baik.
  3. Jangan mengangkut beban atau penumpang melebihi kapasitas.
  4. Bawa uang tunai, makanan dan minuman yang cukup.
  5. Bawa obat-obatan.
  6. Aktifkan GPS atau bawa peta jalur mudik.
  7. Patuhi peraturan lalu lintas.
  8. Jangan main handphone ketika mengemudi.
  9. Ngobrol dengan kawan seperjalanan atau dengarkan radio agar tidak bosan.
  10. Nikmati pemandangan sepanjang perjalanan.
  11. Istirahat saat kelelahan.
  12. Bagi yang naik kendaraan umum, jangan memakai perhiasan yang berlebihan dan pakaian yang terlalu seksi. Sebab bisa mengundang aksi kejahatan.
  13. Jangan menaruh tas di tempat sembarangan. Letakkan di tempat yang bisa diawasi. Kalau tas itu bisa dipangku atau dipeluk akan jauh lebih aman. Jangan juga menerima makanan atau minuman dari orang yang baru dikenal.
  14. Jangan menunggu kendaraan umum atau jemputan di tempat sepi. Sebab rawan kejahatan. Pilihlah tempat yang ramai.

Buat yang mudiknya jauh (safar), ada beberapa keringanan:

  1. Boleh tidak berpuasa jika tidak kuat.
  2. Boleh mengqashar dan menjamak shalat. Menjamak shalat berarti menggabungkan 2 shalat dalam satu waktu. Zhuhur-ashar. Maghrib-isya. Sedangkan mengqashar shalat berarti meringkas rakaat shalat. Misalnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Khusus shalat maghrib dan shubuh tidak bisa diqashar.
  3. Seorang yang melakukan perjalanan dengan kendaraan diperbolehkan shalat di dalam kendaraan sambil duduk. Ketika memang tidak memungkinkan untuk turun melakukan shalat di masjid. Kiblatnya mengikuti arah kendaraan melaju.

Tips yang terakhir, sebelum berangkat mudik, sebaiknya urusan pribadi dengan orang lain diselesaikan, seperti membayar hutang. Begitu juga kewajiban menunaikan zakat. Tidak perlu repot-repot, Anda dapat menyalurkan zakat melalui berbagai channel pembayaran elektronikyang disediakan Dompet Dhuafa. Selain itu Anda juga dapat melakukan pembayaran zakat via ATM dari berbagai jenis bank.

Dompet Dhuafa juga menyediakan layanan jemput zakat dengan menghubungi nomer berikut 081316847002 atau (021) 7416050. Zakat anda pun siap dijemput langsung di tempat tinggal Anda. Dompet Dhuafa memahami bahwa zakat merupakan sebuah kewajiban layaknya puasa. Maka semua kemudahan ini dipersembahkan untuk membantu menjembatani kebutuhan Anda dalam menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Klik di link Dompet Dhuafa untuk mudahkan zakat Anda sebelum mudik kebaran nanti.*/Andi R

 

HIDAYATULLAH

Pemerintah tak akan Gunakan Satu Rupiah Pun Dana Zakat

Pentasarupan seluruh penghimpunan dana zakat akan disampaikan kepada Baznas dan LAZ.

Pemerintah tidak akan menggunakan satu rupiah pun dana zakat, apalagi untuk tujuan politis. Penegasan ini menjawab adanya isu krusial dan mengapung ke permukaan bahwa rencana kebijakan penghimpunan zakat aparatur sipil negara (ASN) itu, karena dananya akan digunakan pemerintah untuk tujuan politisasi dalam menyambut tahun poltik 2018 dan 2019.

Hal itu ditegaskan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat memberikan sambutan pada Mudzakarah Zakat Nasional 2018 yang digelar Ditjen Bimas Islam Kemenag bekerja sama dengan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta. “Saya ingin klarifikasi, ini sama sekali tidak benar. Pemerintah sama sekali tidak akan menggunakan satu rupiah pun dana zakat tersebut.  Karena pentasarupan seluruh penghimpunan dana zakat akan disampaikan kepada Baznas dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang ada. Dua institusi inilah yang akan mendistribusikan penghimpuanan dana zakat,” katanya, Jumat (9/3).

“Pemerintah sama sekali tidak dalam poisisi melakukan itu. Jadi, kekhwatiran dana zakat akan dimanfaatkan untuk tujuan politis tidak benar. Mudah-mudahan niat baik kita dapat diimplementasikan agar kehidupan umat lebih baik dari waktu ke waktu,” katanya lagi.

Dikatakan Lukman, Kemenag melalui Ditjen Bimas Islam sangat menunggu rumusan yang akan dihasilkan dalam Mudzakarah Zakat Nasional 2018. Menag berharap, rumusan tersebut dapat dikukuhkan dalam forum Ijtimak Komisi Fatwa Ulama yang akan digelar di NTB dalam waktu dekat sehinga tidak ada kesimpangsiuran di kalangan umat.

Mudzakarah Zakat Nasional 2018 yang akan digelar selama dua hari ini dihadiri peserta yang berasal dari berbagai ormas Islam, Baznas, LAZ, alim ulama dan tokoh agama, MUI, dan jajaran Ditjen Bimas Islam.

Tampak hadir dalam pembukaan Mudzakarah Zakat Nasional 2018 ini, Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin Abdul Fattah, Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin, Staf Ahli Bidang Hukum dan HAM Kemenag Janedjri, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Mastuki, dan Sesmen Khoirul Huda.

 

REPUBLIKA

Lazimkah Zakat dari Pemotongan Gaji ASN/PNS?

Pemungutan zakat dari gaji bulanan aparatur sipil negara (ASN) Muslim lazim dilaksanakan di sejumlah daerah di Indonesia. Dana zakat yang terkumpul pun selalu disalurkan untuk kemaslahatan umat Islam.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan, pemungutan zakat dari gaji bulanan ASN Muslim di DKI Jakarta sudah dilakukan sejak 2014. Persentase gaji yang dipotong untuk dana zakat sebesar 2,5 persen.

Tahun lalu, total dana zakat yang dihimpun Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) DKI Jakarta sebesar Rp 170 miliar. Mayoritas bersumber dari tunjangan kinerja daerah (TKD) ASN Muslim di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

“Memang secara konsep kalau di sini kan voluntary (sukarela) bukan mandatory (wajib),” kata Sandiaga di Balai Kota, Jakarta, Kamis (8/2).

Menurut dia, konsep sukarela dalam praktik ini sangat ditekankan karena Pemprov DKI Jakarta menginginkan ASN memiliki kesadaran membersihkan rezeki dengan membayar zakat. Ia pun mengaku masih menunggu rencana pemerintah pusat menerbitkan perpres tentang zakat ASN Muslim. Sandiaga tidak ingin berspekulasi perihal konsep pemungutan zakat yang tertuang dalam beleid itu.

Di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Bupati Semarang Mundjirin ES mendukung rencana pemerintah yang berencana menerapkan kebijakan pemungutan zakat dari gaji bulanan ASN Muslim. Khusus untuk Kabupaten Semarang, kebijakan tersebut telah berlaku sejak 2016 dengan pengelola dana zakat adalah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Semarang.

“Namun, dari ASN ini baru mampu menghimpun Rp 180 juta hingga Rp 200 juta per bulan. Sementara potensi sesungguhnya bisa lebih besar lagi,” ujar Mundjirin di Ungaran, Kamis (8/2).

Menurut dia, apabila potensi tersebut mampu dioptimalkan, dana yang terhimpun bisa mencapai miliaran rupiah. Itu artinya, kebermanfaatan zakat juga akan semakin besar. “Karena zakat ini dikelola secara profesional untuk kemaslahatan umat,” kata Mundjirin.

Bupati Majalengka Sutrisno mengatakan, Pemerintah Kabupaten Majalengka telah memungut zakat sebesar 2,5 persen dari ASN Muslim sejak 2014. Dia menjelaskan, berdasarkan data dari Baznas Kabupaten Majalengka, sepanjang tahun lalu terkumpul dana zakat sekitar Rp 8 miliar.

Dana zakat yang dihimpun, menurut Sutrisno, telah dimanfaatkan untuk mendukung berbagai program kegiatan Pemkab Majalengka. Program-program itu, antara lain, beasiswa bagi siswa miskin, bantuan ekonomi produktif, dan bantuan untuk guru mengaji.

“Masih banyak lagi program yang diprioritaskan untuk masyarakat,” kata Sutrisno di Majalengka, Rabu (7/2).

Dari Solo, Jawa Tengah, jumlah ASN Muslim yang berzakat melalui Baznas Kota Solo terus mengalami peningkatan. “Total 500 ASN yang zakat. Ada 130 ASN ditambah dari Kemenag (Kementerian Agama) sekitar 370-an,” kata Wakil Ketua Bidang Perencanaan Laporan dan Keuangan Baznas Kota Solo Endang Suryana, Kamis (8/2).

Selama periode 2017, total penghimpunan zakat dan infak ASN Muslim di Solo sudah mencapai Rp 741,3 juta. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 522 juta telah disalurkan ke mereka yang berhak menerima dana zakat, antara lain, fakir miskin Rp 124,5 juta, fisabilillah Rp 135,3 juta, dan amil Rp 65,8 juta.

Pemerintah dalam hal ini Kemenag sedang menyusun perpres tentang pemungutan zakat 2,5 persen dari gaji bulanan ASN Muslim. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memastikan tidak ada kewajiban dan pemaksaan dalam rencana itu. Pembahasan di internal pemerintah masih terus dilakukan dengan melibatkan Baznas.

Tiga cara hitung gaji untuk zakat

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah M Cholil Nafis menjelaskan, kewajiban zakat profesi harus berdasarkan dengan nisab atau batas kekayaan. Sebagai contoh, kepemilikan emas, yakni minimal seseorang harus memiliki 85 gram emas baru dinyatakan wajib zakat.

“Mengeluarkan zakatnya disamakan dengan zakat pertanian, yakni setiap menerima gaji atau per bulan juga ada yang memperbolehkan setiap tahun,” ujar Cholil, Kamis (8/2).

Ia pun mengingatkan, ada tiga pendapat dalam menghitung gaji yang wajib zakat. Pertama, dari seluruh pendapatan gaji dan tunjangan. Kedua, gaji dan tunjangan dikurangi biaya operasional, seperti transportasi dan konsumsi.

Ketiga, gaji dikurangi seluruh kebutuhan pokok diri dan keluarga dan lebihnya baru dikeluarkan zakatnya. “Kalau nisab dihitung setelah kebutuhan pokok maka tak semuanya ASN wajib zakat,” kata dia.

Hal ini, lanjut Cholil, karena masih banyak ASN Muslim yang besaran gajinya belum mengikuti kenaikan harga-harga. Ditambah lagi, laju inflasi yang terus menggerogoti. Selain itu, ASN pun sudah punya beban pajak.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, sampai detik ini, MUI belum pernah diajak bermusyawarah oleh Kemenag ataupun Baznas terkait dengan rencana pemungutan zakat dari gaji bulanan ASN Muslim. MUI pun belum bisa memberikan pendapat terkait dengan rencana itu.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan potensi zakat dari ASN Muslim bisa mencapai Rp 10 triliun per tahun. Berdasarkan data dari Baznas, potensi zakat ini bahkan mencapai hingga Rp 270 triliun.

Dana zakat yang berasal dari gaji ASN Muslim akan disalurkan untuk kemashalatan masyarakat, baik di bidang sosial, pendidikan, kesehatan hingga bencana alam. Terpenting, dana tersebut tidak sebatas kepentingan umat Muslim saja.

Ada kemungkinan dana zakat tersebut akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Hal tersebut bergantung dari lembaga amil dalam menerjemahkan dana kemaslahatan masyarakat .

Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Peraturan Presiden (perpres) tentang pungutan zakat bagi ASN yang beragama Muslim. Bagi ASN yang berkeberatan adanya pungutan zakat sebesar 2,5 persen tersebut dapat mengajukan ataupun menyampaikan permohonannya.

(andrian saputra/ali mansur/novita intan/lida puspaningtyas, Pengolah: muhammad iqbal).

 

REPUBLIKA

Potongan Zakat ASN Muslim

Wacana seputar potongan zakat untuk aparatur sipil negara (ASN) ramai beredar, baik di media cetak maupun digital. Latar belakang munculnya wacana ini adalah agar Indonesia tidak melulu menjadi ‘raja potensi’ tapi minim ‘realisasi’.

Sebab, penerimaan zakat saat ini baru mencapai Rp 6 triliun dari potensi seluruh penerimaan zakat di negeri ini sebesar Rp 217 triliun. Dengan kebijakan ini, diharapkan dapat meningkatkan realisasi penerimaan dana zakat.

Selain itu, wacana ini juga diharapkan dapat memberikan dampak signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di Indonesia. Sebab, upaya penanggulangan kemiskinan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, penanggulangan kemiskinan merupakan hal berat untuk dilakukan.

Selaras dengan penanggulangan kemiskinan, problem kesenjangan pendapatan masih saja menggelayuti bangsa ini, meskipun terjadi penurunan 0,001 poin dari rasio Gini per Maret 2017 sebesar 0,393 dibandingkan September 2016 yang mencapai poin 0,394 (BPS). Namun, hal ini belum berdampak siginifikan pada pemerataan pendapatan masyarakat Indonesia.

Berdasarkan laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Develop­ment (lNFID), per Februari 2017, satu persen golongan kaya Indonesia menguasai 49,30 persen kue ekonomi nasional. Tentu hal ini menjadi hal yang serius untuk direspons.

Dengan adanya wacana potongan zakat bagi ASN ini, semoga problem kesenjangan pendapatan segera mendapatkan solusi. Sebagaimana dikatakan pakar ekonomi dan mantan penasihat Presiden Joseph E Stiglitz (2014). Menurut dia, salah satu jalan untuk menghilangkan kesenjangan pendapatan suatu negara adalah dengan memangkas pendapatan golongan atas, mempertahankan pendapatan golongan menangah, dan membantu kelas bawah.

Tegasnya, dalam ajaran Islam mekanisme ini hanya bisa dilakukan dengan membudayakan gerakan zakat. Dalam teori relasi antara agama dan negara, Ali bin Abi Thalib menyatakan, “Kadang kala negara dapat menegakkan apa yang tidak dapat ditegakkan oleh agama.”

Salah satu contohnya, penegakan kebijakan potongan zakat. Wacana potongan yang diembuskan pemerintah terkait akan membuat gerakan berzakat lebih memiliki dampak riil dalam peningkatan zakat dibandingkan hanya imbauan ulama dan pengelola zakat.

Jika wacana tentang kebijakan ini terjadi, perlu diketahui beberapa tantangan yang akan dihadapi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang ditengarai akan menjadi pengelola dana zakat tersebut.

Beberapa poin utama dalam pengelolaan zakat meliputi akuntabilitas penghimpunan, tepat sasaran dalam penyaluran, akuntabilitas penggunaan dana, dan profesionalitas amil zakat. Mengapa beberapa hal diatas sangat penting?

Sebab, titik tolak dari segala hal tersebut mengerucut pada satu pertanyaan, “Apakah dana zakat yang berasal dari potongan gaji ASN Muslim berdampak signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan?” Guna menjawab pertanyaan ini, penting kiranya menengok sejarah masa lalu, saat negara (kini Baznas) menjadi pengelola dana zakat.

Beberapa kode etik pengelolaan zakat di masa lalu adalah sebagai berikut (Abu Yusuf, 1985; Abu Ubaid; 2001; Al-Mawardi; 1975); pertama, profesionalitas amil zakat. Amil zakat memiliki peran signifikan dalam penglolaan zakat (Beik, 2010). Jika merujuk masa lampau, amil zakat yang profesional adalah mereka yang mengikuti dengan ‘teguh’ sunah-sunah Rasulullah dan khalifah setelahnya.

Jika dilacak, beberapa sunah yang harus dilakukan oleh amil zakat meliputi; berlaku jujur, tidak menerima suap dan hadiah (risywah wal hadayah), tidak berlaku zalim terhadap muzakki, dan segara menyalurkan dana zakat.

Dalam diskursus kontemporer, amil profesional menurut Adnan (2017), di antaranya mereka yang berkerja secara full-timer, memiliki pegetahuan memadai terkait zakat dan selalu belajar, memiliki hak dan kewajiban yang jelas, dan memiliki jaringan sebagai anggota profesi.

Dengan potensi zakat dari ASN Muslim bisa mencapai Rp 10 triliun per tahun (Republika.co.id), tentu aspek amil zakat profesional menjadi hal yang harus disiapkan Baznas guna menjaga kepercayaan para ASN yang menjadi ‘muzakki’.

Kedua, akuntabilitas penghimpunan juga merupakan hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Dalam konteks kebijakan ini, hendaknya mekanisme besaran pungutan harus dijelaskan secara terang benderang.

Tentunya dengan perbedaan penghasilan antara satu ASN dengan yang lain, besaran pungutan zakat juga berbeda, sesuai dengan besaran gaji dan kesediaan ASN untuk zakat. Sebab, sebagaimana pernyataan Menteri Agama bahwa potongan gaji untuk zakat tidak bersifat wajib. Dalam konteks sejarah zakat masa lampau, penghitungan terhadap kewajiban zakat tidak dapat digeneralisasi, akan tetapi sesuai dengan proporsi masing-masing individu (Abu Ubaid, 2001).

Ketiga, tepat sasaran dalam penyaluran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan PIRAC (2005), salah satu faktor penyebab rendahnya realisasi terkumpulnya dana zakat adalah banyaknya muzakki yang membayarkan zakat secara langsung kepada mustahik. Menarik untuk dipertanyakan, mengapa mereka prefer untuk membayar langsung dibandingkan melaluli lembaga zakat?

Selain faktor kepercayaan kepada organisasi pengelola zakat (OPZ) dan sosialisasi yang minim; satu faktor lagi penting untuk dijadikan alasan, yaitu tepat sasaran dalam penyaluran. Dalam konteks ini, penyaluran zakat hendaknya tidak keluar dari wilayah di mana zakat dikumpulkan.

Jika hal ini tidak diperhatikan akan banyak ASN yang tidak bersedia pendapatan mereka dipotong, sebab dana mereka yang dipotong tidak ‘menetes’ kepada para mustahik yang ada di lingkungan mereka. Bila itu terjadi, akan lebih zakat diberikan langsung kepada mustahik.

Hal ini menjadi salah satu kode etik dalam pengelolaan zakat oleh negara pada masa lampau, penyaluran zakat tidak boleh keluar dari wilayah pengumpulan.

Keempat, akuntabilitas penggunaan dana. Penting dalam pengelolaan zakat agar dana zakat tidak tercampur dengan dana lain, seperti pajak dan keuangan negara lainnya.

Dengan adanya kebijakan ini, Baznas perlu memerinci secara jelas program-program penyaluran dana zakat dan juga memastikan agar program tersebut tidak tumpang-tindih dengan program pengentasan kemiskinan dan penangulangan kesenjangan pendapatan yang dilakukan negara.

Meskipun memiliki tujuan yang sama, dana zakat tetaplah dana zakat. Dana ini memiliki SOP yang clear and clean kepada siapa dana ini diberikan, yaitu kepada delapan golongan sebagaimana termaktub dalam Alquran surah at-Taubah ayat 60 bahwa golongan yang lebih prioritas adalah warga fakir dan miskin. Wallahu a’lam bissawab.

Oleh: Rahmad HakimKandidat Doktor Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang

 

REPUBLIKA

Ramadhan, Zakat dan Pengentasan Kemiskinan

SEBAGAI salah satu rukun Islam, zakat merupakan ibadah yang  pelaksanaannya memiliki syarat cukup rijid. Baik bagi muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), harta yang wajib dizakati, maupun mustahik (yang berhak menerima).

Kendati kesadaran berzakat sebagai sebuah kewajiban terhadap harta yang telah ditentukan sudah mulai baik, ternyata masih banyak juga umat yang belum faham. Bahkan, tidak jarang yang dipahaminya hanya sebatas zakat fitrah. Sedangkan zakat lainnya (maal, perhiasan, perkebunan, peternakan, dll) termasuk infaq, shadaqah, wakaf dan hibah, masih banyak yang belum mafhum.

Hal ini bisa kita saksikan di lapangan, meskipun hampir semua jenis zakat itu bisa dibayarkan kapan saja, tidak terikat dengan waktu, kecuali zakat fitrah yang memang memiliki batas waktu sebelum pelaksanaan sholat Idul Fitri ditegakkan. Namun, dalam prakteknya, biasanya Ramadhan identik dengan bergeliatnya para muzakki dalam membayar zakatnya, termasuk lainnya itu. Sehingga di setiap Ramadhan menjadi semacam musim “panen”-nya Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).

Dengan potensi sebesar Rp. 217 triliun, sebagaimana hasil penelitian BAZNAS dan FEM (Fakultas Ekonomi dan Manajemen) IPB yang dilakukan pada tahun 2011, maka seharusnya zakat bisa memiliki multiplier effect bagi dinamika ekonomi ummat.

Angka tersebut, diasumsikan sebesar 3% dari PDB tahun 2010. Dengan pertumbuhan PDB yang terus meningkat setiap tahun, maka potensi zakatnyapun semestinya setiap tahun juga bergerak naik pula. Dan berdasar pengalaman LAZ yang terhimpun dalam Forum Zakat (FoZ), yang juga diamini oleh BAZNAS, maka sekitar 75% dari total pendapatan zakat, dihimpun saat bulan Ramadhan. Dan, yang 25% dibagi dalam 11 bulan.

Yang perlu digarisbawahi adalah, kesadaran filantropis di bulan Ramadhan, setiap tahun terus mengalami peningkatan, membersamai meningkatnya kuantitas peribadatan yang lainnya. Kendati demikian, dari potensi yang ada, itu ternyata pada tahun 2016 kemarin, yang mampu terhimpun baru sekitar 1 %, atau sebesar Rp. 2 triliun. Dan, pada tahun 2017 ini, diperkirakan mengalami peningkatan pendapatan secara agregat sebesar Rp. 3 sampai 4 triliun. Di sinilah tantangan nyata yang dihadapi oleh LAZ dan BAZNAS, yang tentu saja mesti menyiapkan perumusan yang baik.

Regulasi

Sebenarnya negara telah membuat regulasi yang mengatur tentang penghimpunan dan pengelolaan zakat ini, melalui UU No 23/2011. Di dalamnya mengamanatkan bahwa LAZ yang diperbolehkan untuk memungut atau menghimpun serta menyalurkan ZIS harus mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS dan kemudian mendapatkan ijin dari Kementerian Agama.

Menurut keterangan dari Forum Zakat (FoZ), ada 235 anggota yang dihimpun. Namun, sampai Ramadhan tahun ini, secara resmi, selain BAZNAS, baru ada 17 LAZ sekala nasional, 7 LAZ sekala Propinsi dan 11 LAZ Kabupaten/Kota, dan masih ada beberapa LAZ yang telah mendapatkan rekomendasi dari Baznas, namun masih mengurus izin dari Kementerian Agama (www.detik.com1/06/2017). Selain UU juga diikuti dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan juga SK Baznas, yang mengatur segala hal ikhwal dari dunia perzakatan ini.

Logikanya, dengan diterapkannya UU 23/2011 dan sederet aturan yang menyertainya itu, hanya lembaga-lembaga tersebutlah yang berhak melakukan penhimpunan dana ZIS di masyarakat, namun faktanya muzakki masih banyak yang memilih untuk mendistribusikan langsung baik ke perorangan, masjid, madrasah, panti asuhan, pesantren dan lembaga keagamaan lainnya.

Kendati ada sanksi yang cukup berat bagi lembaga penerima ZIS yang belum atau tidak mendapat legalitas dari Kemenag, namun faktanya praktek model seperti ini masih saja berlangsung. Bisa jadi karena sosialisasi atas UU itu belum sampai ke mereka, atau memang ada sebagian yang merasa lebih nyaman dan afdhol jika langsung di-tasyarufkan kepada mustahik. Atau bisa juga bersebab faktor ketidakpercayaan kepada BAZ dan LAZ. Dan, jika yang terakhir ini penyebabnya, harus dijadikan bahan muhasabah bagi LAZ dan BAZNAS, sebab zakat adalah dana umat yang tentu saja dibutuhkan untuk membangun kehidupan umat.

Pemetaan Mustahik

Selain di sisi penghimpunan yang masih belum optimal, ternyata LAZ dan BAZNAS juga dihadapkan pada pendayagunaan yang harus tepat sasaran. Bahwa untuk pentasyarufan ZIS ini harus kepada 8 asnaf adalah qoth’i, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an Surat At-Taubah : 60. Dan, hal ini sudah mutlak, tidak perlu diperdebatkan lagi.

Pertanyaannya adalah, apakah kedelapan asnaf itu harus mendapatkan porsi yang sama? Dan dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Namun, jumhur ulama tidak mewajibkan masing-masing asnaf itu mendapatkan1/8 bagian atau 12,5% dari zakat yang diperoleh secara sama. Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa Zakat itu harus ditasyarufkan terutama ke-ahlul balad (penduduk setempat) dimana zakat itu dihimpun, dan semua asnaf dibagi secara adil. Adil ini artinya tidak harus sama. Artinya ada skala prioritas pembagian di situ. Dan yang tidak bisa ditinggalkan adalah fuqara dan masakin. (Qaradhawi : 2001)

Artinya, dalam pendayagunaan zakat ini, ternyata juga terkait dengan permasalahan majamenen yang berbasis pada 8 asnaf itu. Olehnya, perlu pengelolaan yang profesional. Diperlukan pemetaan data mustahik. Agar terjadi pemerataan mustahik, yang mendapat pendayagunaan. Dan tidak tumpang tindih.

Misalnya, ada satu mustahik yang menerima dari beberapa LAZ dan ada mustahik yang seharusnya berhak menerima, tetapi tidak mendapat dari LAZ manapun juga. Pemetaan ini, juga akan memberikan gambaran, masing-masing LAZ itu disalah satu tempat untuk fokus “menggarap” di asnaf apa dan didaerah mana. Selain itu, semua LAZ dan BAZNAS, juga harus memiliki database mustahik-nya.

Akan lebih baik lagi, jika mendorong adanya open database. Sehingga bisa tukar-menukar data antar LAZ, dan tumpang tindih itu tidak terjadi. Dengan demikian maka, satu daerah, bisa digarap oleh berbagai LAZ, dengan spesifikasi masing-masing ke tiap-tiap asnaf. Dan setiap daerah akan berbeda skala prioritasnya, sesuai kondisi yang ada di daerahnya tersebut, sebagaimana pendapat Syaikh Qaradhawi tersebut.

Sinergitas sebagai kunci

Salah satu dari tujuan zakat adalah mengentaskan mustahik dari kondisi yang dialaminya. Artinya zakat, selain bersifat karitatif dan stimulus awal, seharusnya juga dibarengi dengan konsep pemberdayaan yang mengubah dari mustahik menjadi muzakki.

Semangat ini harus menjiwai dari pendayagunaan dana zakat tersebut. Olehnya, dengan pemetaan yang ada, maka akan tergambar secara geografis dan demografis, dari keberadaan mustahik itu. Di sini diperlukan kreatifitas dari LAZ untuk melakukannya.

Banyak contoh, yang telah dilakukan oleh beberapa LAZ, terkait dengan bagaimana kemandirian mustahik ini di garap. Kendati proyek dan program, dengan berbagai varians-nya sudah banyak diluncurkan. Namun, output dan outcome-nya masih belum memberikan dampak yang signifikan bagi pengentasan kemiskinan di negeri ini. Karena masing-masing LAZ masih berjalan sendiri-sendiri, dengan programnya masing-masing.

Dengan basis pemetaan dan database itu, akan lebih memudahkan bagi LAZ dan juga BAZNAS untuk melakukan proyek dan program ekonomi yang tepat sasaran kepada mustahik. Karena, dari sini akan diperoleh data secara valid potensi dari mustahik.

Di samping itu diperlukan pola sinergi program pemberdayaan dan kemandirian ekonomi antar LAZ. Dengan pola sinergi antar LAZ, Insya Allah akan meminimalisasi dari kegagalan. Sinergitas ini, sekaligus juga dapat dijadikan dasar dalam menentukan proyek di masing-masing daerah, disesuaikan dengan potensi daerah dan kapasitas mustahik. Demikian juga disesuaikna dengan kontribusi dari masing-masing LAZ. Olehnya, LAZ tidak bisa lagi ego dengan “jualan”programnya masing-masing. Program antar LAZ bisa saling melengkapi dan saling dukung.

Sehingga, dalam konteks pendayagunaan ZIS, maka kemandirian ekonomi harus menjadi salah satu fokus. Tahapan dan perencanaan teknis programnya, bisa disusun bersama. Namun dengan melihat fakta dan pengalaman di atas, maka dapat dikatakan bahwa sinergitas antar LAZ menjadi sebuah kunci. Kita sadar bahwa pengentasan kemiskinan ini sesungguhnya adalah tanggung jawab negara, namun LAZ juga memiliki tugas yang melekat dalam pedayagunaan dana zakat ini. Sehingga, mengantarkan mustahik menjadi muzakki menjadi terwujud. Wallahu A’lam bish Shawab.*

Oleh: Asih Subagyo,

Ketua Badan Pengawas LAZ Nasional Baitul Maal Hidayatullah

HIDAYATULLAH

Perhitungan Zakat Profesi Jika Suami Istri Bekerja

SETIAP orang yang bekerja mendapatkan penghasilan, maka menurut para ulama yang mendukung adanya zakat profesi, wajib untuk mengeluarkan zakat profesinya. Sehingga meski suami istri adalah satu kesatuan, namun karena masing-masing bekerja, maka masing-masing terkena kewajiban mengeluarkan zakat profesi. Prinsipnya, siapa yang mendapatkan pemasukan, maka dia wajib mengeluarkan sebagian harta dari apa yang didapatnya.

Persentase zakat profesi adalah 2,5% dari gaji atau pemasukan. Bentuknya bisa berbentuk gaji, upah, honor, insentif, mukafaah, persen dan sebagainya. Baik sifatnya tetap dan rutin atau bersifat temporal atau sesekali. Memang ada perbedaan pandangan para ulama, namun bukan pada masalah gaji pokok dan bonusnya, melainkan pada masalah penghasilan kotor atau penghasilan bersih. Apakah berdasarkan pemasukan kotor ataukah setelah dipotong dengan kebutuhan pokok?

Dalam hal ini ada dua kutub pendapat. Sebagian mendukung tentang pengeluaran dari pemasukan kotor dan sebagian lagi mendukung pengeluaran dari pemasukan yang sudah bersih dipotong dengan segala hajat dasar kebutuhan hidup. Dalam kitab Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa untuk mereka yang berpenghasilan tinggi dan terpenuhi kebutuhannya serta memang memiliki uang berlebih, lebih bijaksana bila membayar zakat dari penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan kebutuhan pokok.

Misalnya seseorang bergaji 200 juta setahun, sedangkan kebutuhan pokok anda perbulannya sekitar 2 juta atau setahun 24 juta. Maka ketika menghitung pengeluaran zakat, hendaknya dari penghasilan kotor itu dikalikan 2,5%. Namun masih menurut Al-Qaradhawi, bila anda termasuk orang yang bergaji pas-pasan bahkan kurang memenuhi standar kehidupan, kalaupun anda diwajibkan zakat, maka penghitungannya diambil dari penghasilan bersih setelah dikurangi hutang dan kebutuhan pokok lainnya. Bila sisa penghasilan anda itu jumlahnya mencapai nisab dalam setahun (Rp 1.300.000,-), barulah anda wajib mengeluarkan zakat sebesr 2,5% dari penghasilan bersih itu.

Nampaknya jalan tengah yang diambil Al-Qaradhawi ini lumayan bijaksana, karena tidak memberatkan semua pihak. Dan masing-masing akan merasakan keadilan dalam syariat Islam. Yang penghasilan pas-pasan, membayar zakatnya tidak terlalu besar. Dan yang penghasilannya besar, wajar bila membayar zakat lebih besar, toh semuanya akan kembali. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2375010/perhitungan-zakat-profesi-jika-suami-istri-bekerja#sthash.zgZsgEYx.dpuf

Zakat-Wakaf Menjanjikan

Zakat dan wakaf merupakan potensi yang menjanjikan untuk menumbuhkan sektor keuangan sosial Islam. Menurut Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, keuangan sosial Islam memungkinkan pemerintah untuk mencapai segmen masyarakat yang lebih luas.

Khususnya, masyarakat berpenghasilan rendah lantaran adanya keterbatasan menyediakan dana murah. “Untuk selanjutnya, hal ini menjadi tantangan nyata bagi kami untuk lebih merumuskan dan mendefinisikan konsep ekonomi Islam, agar mencapai kompatibilitas dan implementasinya di kedua konsep. Sehingga, ke depan, dapat diintegrasikan ke kebijakan ekonomi mainstream,” kata Agus Martowardojo pada perhelatan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (27/10).

Berdasarkan hasil penelitian Islamic Research and Training Institute of Islamic Development Bank (IRTI-IDB), pemanfaatan zakat dan wakaf dapat menjadi titik terang bagi perkembangan sektor itu secara global. Diperkirakan, potensi pengumpulan zakat di Asia Selatan dan negara-negara Asia Tenggara pada 2011, yakni sekitar 30 miliar dolar AS.

Di sisi lain, pemanfaatan wakaf lebih menantang karena tidak ada data di sebagian besar negara. Agus menambahkan, melihat besarnya potensi zakat dan wakaf. Sejak 2014, BI bersama IRTI-IDB dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) telah menyusun prinsip-prinsip utama pengaturan zakat atau zakat core principles.

Agar pengelolaan zakat dan wakaf bisa berjalan efektif, perlu dilakukan secara serius dalam konteks keuangan syariah. Zakat dan wakaf bersifat bebas riba, maysir, dan gharar sehingga lebih memiliki daya tahan terhadap krisis keuangan, dibandingkan keuangan konvensional.

Oleh karena itu, pengembangan pengelolaan zakat dan wakaf harus dilakukan bersamaan dengan pengembangan keuangan syariah. Bagian dari usaha tersebut adalah dengan melakukan berbagai penelitian dan kajian terkait keuangan syariah.

Deputi Gubernur BI Hendar mengatakan, upaya penguatan pembiayaan sosial melalui zakat dan wakaf belum banyak dilakukan. Hendar menjelaskan, berdasarkan data dari Baznas, potensi pembiayaan dari pemanfaatan zakat sangat besar, yakni mencapai Rp 200 triliun, akan tetapi realisasinya masih relatif kecil.

Sementara potensi wakaf, menurut Badan Wakaf Indonesia, tercatat diperkirakan Rp 120 triliun. “Oleh karena itu, apabila potensi tersebut bisa digali, dapat menjadi sumber pembiayaan ekonomi yang aman dan inklusif untuk mencapai stabilitas ekonomi,” kata Hendar.

Kemarin, Gubernur BI Agus Martowardojo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution resmi membuka ISEF 2016. ISEF merupakan salah satu kegiatan ekonomi dan keuangan syariah, yang menyatukan pengembangan keuangan syariah dan kegiatan ekonomi di sektor riil.

Agus mengatakan, tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah kesenjangan dan kemiskinan. Ekonomi syariah dapat menjadi jawaban karena menitikberatkan pada distribusi pendapatan di semua segmen masyarakat, selain juga optimalisasi produksi.

Ekonomi syariah diarahkan pada pencapaian pertumbuhan yang tinggi dan merata, berbasis sinergi elemen masyarakat. Dengan demikian, kesenjangan akan terkikis dan kemiskinan berkurang.

“Selain itu, ekonomi dan keuangan syariah juga dianggap lebih mampu bertahan terhadap goncangan krisis pada sistem keuangan,” ujar Agus.

Darmin mengatakan, pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia cenderung lebih lambat, ketimbang pertumbuhan perbankan konvensional. Menurut dia, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pangsa pasar industri keuangan syariah, yakni dengan melakukan identifikasi dan peningkatan sumber daya manusia.

“Kita bisa mengidentifikasi beberapa kegiatan yang berkembang cepat dan punya identitas syariah, misalnya saja fashion. Saya menyarankan bahwa dengan mengidentifikasi itu, kita bisa mengenali ke arah mana potensi perkembangannya,” ujar Darmin.      rep: Rizky Jaramaya, ed: Muhammad Iqbal
sumber: Republika ONline

Agar Zakat Tepat Sasaran

Agar zakat bisa tunaikan sesuai visi besarnya dalam mengentaskan kemiskinan dan memaksimalkan peran dakwah Islamiah, maka harus dipastikan distribusi dan penyalurannya dilakukan tepat sasaran dan profesional. Oleh karena itu, zakat harus dikelola oleh lembaga, baik dilakukan langsung oleh otoritas negara  ataupun lembaga swasta yang mendapatkan izin dari otoritas negara.

Jika kita telaah nash, sirah, dan fatwa sahabat itu telah menegaskan hal tersebut, di antaranya firman Allah SWT yang artinya, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Alquran surah at-Taubah : 60).

Lafadz ‘amilin dan faridhatan mina Allah dalam ayat di atas menunjukan bahwa pengelolaan zakat menjadi kewenangan ulil amri dan lembaga resmi yang mendapat izin dari otoritas.

Hal yang sama ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya yang berarti, Bahwa Rasulullah SAW, ketika mengutus sahabat Muadz ke negeri Yaman, Rasulullah SAW mengatakan kepadanya: “Beritahukan kepada mereka, bahwa Allah mewajibkan mereka untuk (mengambil, pen.) sedekah dari harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan untuk orang-orang fakir. Jika mereka mentaatimu, maka hati-hatilah engkau dengan harta berharga mereka dan takutlah dengan doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara  Allah dengannya.

Lafadz  tu’khadzu min aghniya’ihim wa turaddu ‘ala fuqara’ihim menunjukan bahwa yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat adalah adalah petugas khusus. Dalam sirah Rasulullah SAW diceritakan bahwa Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya mengirim utusannya untuk mengambil zakat. Dalam fatwa-fatwa sahabat disebutkan, yang artinya: dari Ibnu Umar RA, ia berkata: “Tunaikan sedekahmu kepada ulil amri, barang siapa berbuat baik, maka akan kembali kepada dirinya, dan barang siapa berbuat dosa, maka akan kembali pula kepada dirinya. ”

Berdasarkan nash Alquran, nash Hadis, sirah, dan fatwa sahabat tersebut menunjukan bahwa zakat dikelola langsung oleh pemerintah atau lembaga yang mendapatkan izin dari otoritas. Intinya, zakat harus disalurkan melalui lembaga resmi yang fokus mengelola zakat. Pada saat yang sama, dalil-dalil di atas menjelaskan secara tidak langsung bahwa zakat itu tidak disalurkan langsung kepada mustahik atau disalurkan melalui perorangan.

Perintah tersebut dimaksudkan agar zakat bisa dihimpun secara maksimal, bisa dikelola dengan profesional dan disalurkan tapat sasaran sesuai amanah para muzaki. Agar zakat ini bisa menyelesaikan masalah-masalah lebih darurat dan harus didahulukan untuk diselesaikan. Begitu pula zakat ini disalurkan kepada para dhuafa yang paling membutuhkan diantara yang membutuhkan. Pemetaan tersebut  bisa dilakukan oleh lembaga zakat.

 

Oleh: DR Oni Sahroni MA, Dewan Pengawas Syariah Laznas IZI dan Anggota DSN-MUI

sumber:Republika Online

Ramadhan dan Kesadaran Berzakat

Salah satu ibadah yang selalu melekat dengan Ramadhan adalah ibadah dengan harta dalam bentuk zakat, infak, dan atau sedekah. Dengan harapan kesadaran yang terbina pada Ramadhan ini akan terus-menerus dimunculkan dan diperkuat pada bulan-bulan yang lainnya.

Jika kesadaran berzakat dan berinfak ini menguat dan menjadi gaya hidup (life style) orang-orang yang beriman, akan melahirkan kesejahteraan hidup, baik bagi orang miskin maupun kelompok lainnya yang termasuk kategori dhuafa dan mustadhafin.

Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa tidaklah orang miskin itu kelaparan atau telanjang tidak memiliki pakaian, kecuali karena kebakhilan orang-orang yang kaya. Dan, Allah akan menghisab mereka (orang kaya yang tidak ber-ZIS) dengan hisab yang berat.

Berzakat ini pun sesungguhnya akan memberikan kebaikan bagi orang-orang yang berzakat itu sendiri (muzaki), seperti hartanya akan semakin bersih dan berkembang, pikirannya akan semakin jernih, dan karena itu orang tersebut akan semakin produktif.

Allah SWT berfirman dalam QS at-Taubah [9] ayat 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Serta, QS ar-Rum [30] ayat 39, “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).

Kesadaran berzakat pun merupakan salah satu indikator utama kebahagiaan orang-orang yang beriman, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti, sekaligus indikator yang membedakan seorang Muslim/mukmin dengan orang yang kafir/tidak beriman.

Sebagaimana firman-Nya dalam QS at-Taubah [9] ayat 11, “Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan, Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.

Serta, firman-Nya dalam QS al-Mukminun [23] ayat 1-4, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat.”

Berbahagialah orang-orang yang selalu berusaha untuk berzakat, berinfak, bersedekah pada setiap penghasilan yang didapatkannya. Insya Allah dimudahkan dan diberkahkan segala urusannya oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

Oleh: Prof Dr Didin Hafidhuddin

 

sumber: Republika Online