Zionis: Dari Bukit ke Gerakan Ekstrem

Shion atau Zion, adalah nama dari bukit, ada juga yang menyebutnya gunung yang berada di Yarusalem

KATA ini membuat darah mendidih, entah kenapa. Setiap mendengar Zionis, ada amarah yang memuncak.

Saya coba mencari tahu dari berbagai mu’jam (kamus) berbahasa Arab, apa sih makna Zionis?

Dalam bahasa Arab, kata Zionis adalah shihyauniyah. Ia berasal dari kata “Shion”, yang  berasal dari bahasa Suryani ܨܶܗܝܽܘܢ صِهيَون sebuah nama yang merujuk pada suatu tempat di Yerusalem (Baitul Maqdis).

Ada juga yang menyebutkan dari bahasa Ibrani. Shion atau Zion, adalah nama bukit yang berada di Yerusalem.  Shion (Arab/Ibrani) atau Zion (Latin), adalah nama dari bukit, ada juga yang menyebutnya gunung yang berada di Yarusalem.

Mengapa nama bukit ini yang digunakan? Banyak sekali pendapat dalam hal ini, ada yang berpendapat karena zion (bukit) itu tempat suci.

Zionisme merupakan gerakan politik ekstrem yang bermaksud mendirikan negara Yahudi di Palestina, dan ini sudah terjadi. Dan Zionis ingin menguasai dunia secara keseluruhan.

Salah satu tujuan utama gerakan ini adalah membangun Bait Suci Salomo di Yerusalem untuk mendirikan kerajaan Yahudi di sana, serta mendorong imigrasi Yahudi ke Palestina dan pembelian tanah untuk mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi, ini sudah terjadi.

Bisa dilihat di peta, betapa gerakan esktrem ini terus menggerus Palestina. Apalagi hari ini, ada pembunuhan massal di Gaza.

Sejarah gagasan ini sangat kuno dan muncul terutama di Babel, di mana ia diwujudkan dalam janji tuhan yang mereka yakini, dan untuk mempertahankan identitas Yahudi sebagai etnis yang terpisah.

Gerakan ini diorganisir sebagai entitas semi-militer yang sulit diintegrasikan dengan budaya lain. Betapa, negara yang baru lahir sudah memiliki persenjataan lengkap, dan kemungkinan mereka juga mempunyai nuklir, tapi, masih malu-malu mengakui.

Dalam Al-Aukan, bahwa Alkitab dan Talmud adalah dua sumber utama yang membentuk gerakan ini sepanjang sejarah. Gerakan ini bergantung pada konsep-konsep agama dan ras yang tertutup serta berbagai periode sejarah untuk membentuk visinya.

Gerakan ini tidak pernah enggan untuk mengungkapkan kebenciannya dan konspirasinya terhadap umat manusia secara terang-terangan. Dari ini, kita dapat memahami bahwa Zionisme adalah gerakan dengan akar yang dalam dan pengaruh sejarah yang rumit, dengan dampak besar pada sejarah dan situasi di Timur-Tengah.

Istilah “Zionis” digunakan untuk merujuk kepada para pendukung gerakan ini, yang bertujuan untuk membangun dan mempertahankan negara Yahudi di tanah ‘‘Israel’’. Nama “Zionis” digunakan untuk menggambarkan keyakinan dan tujuan gerakan politik-kebangsaan ini, yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan dan pemulihan nasional Yahudi.

Sampai kapan gerakan ini selesai? Sampai tidak terbatas.

Dan sudah sangat jelas, bahwa mereka datang untuk sebuah penjajahan, membangun negara di atas tanah negara orang. Kalau membangun negara, pastilah mereka merebut sebuah negara yang pernah hadir di muka bumi, yaitu Palestina.

Jadi sebenarnya mereka merampas dan menjajah.*/ Dr Halimi Zuhdy

HIDAYATULLAH

Palestina Versus Zionis di Pangkuan Inggris

Sebelum kekalahan kelompok sentral dari sekutu dalam Perang Dunia I (1914-1918 M), Palestina menjadi wilayah yang secara geografis masuk Provinsi Syria yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kekhalifahan Turki Usmani yang berpusat di Istanbul. Mengingat posisi Yerussalem yang menjadi kota suci bagi tiga agama: Islam, Kristen dan Yahudi, yang merupakan bagian dari Palestina, maka hampir semua negara-negara besar di Eropa seperti Jerman, Inggris, Prancis dan Amerika Serikat memiliki kantor perwakilan di Yerussalem.

Sebagai penguasa Palestina, wakil dari Turki Usmani, Jamal Pasha setelah mendengar kabar penyerangan Sir Edmond Allenby, Panglima tentara Inggris ke wilayah Palestina, ia memutuskan untuk mendeportasi kaum Yahudi yang telah berada di Yerussalem dari wilayah Palestina.

Pada 25 November 1917, Allenby berhasil menduduki wilayah Nablus, satu kota strategis dekat Yerussalem. Kontak senjata antara pasukan Turki-Palestina yang diperkuat oleh tantara Jerman melawan tantara Inggris terjadi selama empat hari.

Pada akhirnya pasukan gabungan Turki-Palestina dan Jerman tersebut harus menanggung kekalahan. Sejak itu secara defakto Palestina berada di bawah kekuasaan tentara Inggris. Kemudian pada 4 Desember 1917, Inggris secara dejure menduduki Palestina karena saat itu seluruh kekuatan Turki Usmani, tentara Palestina pimpinan Amin al-Husaini sudah menyerah.

Pendudukan Inggris atas Palestina terus berlanjut; perlawanan sporadis gerilyawan Palestina tidak punya pengaruh signifikan. Masa transisi antara 1918-1922 digunakan oleh “penguasa Inggris” di Palestina untuk mendukung gerakan migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari berbagai negara terutama Eropa ke Palestina. Pada 24 Juli 1922, Inggris sebagai pemenang perang mendapat mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) untuk menduduki Palestina dengan status mandatory government.

Dengan demikian, Inggris dan kaum Zionis secara leluasa dan legal menurut hukum internasional untuk mendukung kaum Yahudi mendirikan negara di bumi Palestina. Sementara negara-negara Arab terutama bangsa Palestina sendiri terus melakukan perjuangan diplomasi dan militer untuk menolak kehadiran negara Yahudi yang dijanjikan Inggris sesuai perjanjian Balfour.

Mereka menuntut: 1.) Menghapus perjanjian Balfour yang dinilai tidak adil terhadap hak-hak bangsa Palestina. 2.) Menghentikan migrasi kaum Yahudi dari luar tanah Palestina. 3.) Mengentikan penjulan tanah kepada kaum Yahudi. 4.) Mendirikan pemerintahan Palestina yang dipilih oleh parlemen sebagai penjelmaan keinginan hakiki dari rakyat Palestina. 5.) Terus melakukan gerakan yang mengkombinasikan antara diplomasi dan militer dengan pemerintahan mandat Inggris agar hak-hak Palestina tidak terabaikan.

Pada sisi lain, masa antara 1922-1937 di kalangan bangsa Arab dikenal sebagai revolusi besar bangsa Palestina. Kondisi keamanan yang kurang kondusif sebagai akibat dari perlawanan bangsa Palestina yang terus menerus dan gerakan diplomasi negara-negara Arab dan Palestina sendiri, memaksa pemerintahan mandat Inggris pada 1937 untuk mengajukan proposal pembagian dua negara: Israel dan Palestina. Proposal ini menyebutkan bahwa status kota suci Yerussalem dan Betlehem serta jalan menuju dua kota suci ini berada dalam pengawasan internasional. Agar bangsa Arab bisa menerima, proposal ini juga menyebutkan bahwa negara Yahudi yang akan berdiri dan pemerintahan mandat akan membantu administrasi dan birokrasi serta mendukung keuangan negara Palestina yang akan didirikan sebagai kompensasi penerimaan bangsa Arab terhadap negara Yahudi, Israel.

Menjelang meletusnya Perang Dunia II (1939-1945 M) kekuatan politik Inggris di kancah internasional mulai meredup dan digantikan posisinya oleh Amerika Serikat. Untuk itulah kaum Zionis terutama yang tinggal di Amerika untuk melakukan pendekatan dan gerakan diplomasi dengan presiden Amerika Franklin Delano Roosevelt (1933-1945 M). Sementara bangsa Arab dan pejuang Palestina masih menganggap Inggris sebagai pemegang kunci diberikannya status negara bagi bangsa Palestina. Karena akhir dari Perang Dunia II menaikkan kekuatan politik dan diplomasi Amerika Serikat yang mengungguli Inggris, maka kaum ZIonis Yahudi sangat diuntungkan. Sedangkan bangsa Arab dan Palestina menelan banyak kekecewaan karena migrasi besar-besaran kaum Yahudi tidak pernah berhenti dan pembelian tanah dari rakyat Palestina terus berlanjut.

Setelah beberapa tahun kaum Yahudi dan Palestina terlibat konflik sebagai akibat adanya usulan Komisi Inggris-Amerika pada 1945 yang menganjurkan penerimaan 100,000 kaum Yahudi di Palestina. Usulan tersebut kemudian ditolak oleh Inggris karena hal itu diprediksi akan memunculkan gelombang kerusuhan antara kaum Yahudi dan Palestina. Inggris merasa usulan tersebut ditolak baik oleh Palestina maupun oleh kaum Yahudi. Karena itu, badan PBB yang barusaja dibentuk kemudian mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara, satu negara Arab dan satu negara Yahudi dengan Yerussalem ditujukan sebagai kota internasional (corpus separatum) untuk menghindari status mengenai kota itu.

Komunitas Yahudi menerima rencana tersebut, tetapi Liga Arab dan Komite Tinggi Arab menolaknya atas alasan kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah padahal komposisinya hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk Palestina. Sebagai bentuk penolakan atas usulan tersebut, maka pada tanggal 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab mendaklarasikan pemogokan selama 3 hari dan kelompok-kelompok Arab mulai menyerang target-target Yahudi. Karena itu perang antara orang Arab dan orang Yahudi pun tidak terelakkan yang membawa konsekuensi tidak kecil, terutama keruntuhan perekonomian warga Arab Palestina dan sekitar 250,000 warga Arab Palestina diusir ataupun melarikan diri. Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum Mandat Inggris, Agensi Yahudi, David Ben-Gurion (1886-1973 M) memproklamasikan kemerdekaan dan menamakan negara yang didirikan tersebut dengan nama Israel. Sekaligus dia dinobatkan sebagai Perdana Menteri pertama Israel pada tahun 1949 M. Sedang Presiden pertama adalah Chaim Weizzman.

Pasca proklamasi Israel, perang Kembali terjadi antara pihak Arab dan Yahudi. Ketika itu, pihak Arab telah mengepung Israel dari berbagai penjuru. Negara-negara Arab yang bertetangga langsung dengan Israel seperti Mesir, Yordania, Syria dan Lebanon telah menyiapkan pasukan mereka masing-masing. Mesir dikenal memiliki tentara didikan Inggris. Yordania (saat itu Transjordan) dipimpin oleh Brigadir John Bagot Glubb. Irak, Suriah dan Lebanon memiliki pasukan yang banyak diisi oleh relawan.

Perang ini berakhir dengan kemenangan Israel. Kasus korupsi yang saat itu terjadi di masa pemerintahan Raja Farouk di Mesir menyebabkan krisis persenjataan dan makanan. Hal ini tentunya berakibat buruk pada pasukan Mesir. Pasukan Transjordan mungkin memperlihatkan usaha yang lebih baik, namun tetap tidak berpengaruh besar. Pasukan Irak dipersulit oleh jarak mereka yang jauh. Sementara itu, pasukan Lebanon dan Suriah tidak memperlihatkan perjuangan yang sungguh-sungguh, dikarenakan latar belakang mereka yang merupakan pasukan yang amatiran dan tidak profesional.

Pada 1956, para pemimpin Israel pernah berencana untuk mengadakan konfrensi perdamaian. Dalam konfrensi ini, dibacakan jalan apa saja yang dapat diambil demi tercapainya perdamaian antara bangsa Arab dan Israel. Para pemimpin Arab menolak undangan tersebut. Menurut mereka, jika bangsa Arab memenuhi undangan konfrensi tersebut maka sama saja mereka mengakui hak Israel untuk berdiri di atas tanah Palestina.

Rentang perjalanan waktu pasca Israel berdiri, di berbagai belahan dunia muncul berbagai demonstrasi dan unjuk rasa dilakukan, baik oleh kaum Muslim maupun non muslim untuk mengecam Israel, berharap negara ini dihapus dari muka bumi. Kebencian bangsa dunia terhadap Israel disebabkan agresi dan perluasan wilayah yang terus dilakukan di tanah Palestina secara tidak manusiawi. Bahkan kelompok internal Yahudi sendiri mengecam Israel. Neturei Karta misalnya yang merupakan kelompok Yahudi anti-Zionisme. Mereka menentang visi misi Zionisme. Selain itu, bahwa Yahudi menurut mereka adalah agama, bukan bangsa atau etnik.

Perkembangan lebih lanjut pasca perang 1967 yang menunjukkan hegemoni kekuatan militer Israel, berakibat diplomasi negara-negara Arab dan perjuangan militer bangsa Palestina semakin meredup. Semangat perang dan kemengan politik muncul Kembali setelah perang yang di Mesir popular dengan perang 6 Oktober 1973. Dalam perang itu, ternyata tentara gabungan Mesir, Yordania dan Syria memiliki kekuatan yang mampu merontokkan mitos “kehebatan Israel.”

Ini karena tentara Mesir mampu mengalahkan bahkan bisa mengusir mereka dari sebagian wilayah provinsi Sinai yang pada perang 1967 diduduki oleh Israel. Kemenangan ini membuat dinamika diplomasi perdamaian yang disponsori Amerika bergerak lagi. Inilah latar belakang terjadinya perjanjian Camp David antara Mesir-Israel pada 1979 yang di antaranya menyebutkan meletakkan dasar-dasar dan prinsip perdamaian, memperluas resolusi DK PBB nomor 242, menyelesaikan apa yang disebut sebagai “masalah Palestina”, menyetujui perdamaian Mesir-Israel, serta perdamaian antara Israel dan negeri-negeri tetangganya yang lain. Sebagai konsekuensi perjanjian ini Mesir dan Israel saling mengirim duta besar yang ditempatkan di Kairo dan Tel Aviv.

Pada pihak lain, karena perjanjian Camp David tidak mendapatkan restu dari Liga Arab, maka hampir seluruh negara-negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Ini karena menurut mayoritas negara-negara Arab, Mesir “berkhianat” terhadap perjuangan negara Palestina. Tapi dalam perkembangan berikutnya, Yordania juga melakukan hubungan diplomatik, ekonomi dan budaya dengan Israel. Dua negara tersebut menjalin hubungan diplomatik secara resmi sejak 1994 dengan menandatangani perjanjian perdamaian Israel–Yordania. Raja Abdullah dari Yordania memandang Israel sebagai aliansi wilayah vital di Timur Tengah.

Gerak diplomasi antara Israel dengan negara-negara Arab berubah menjadi diplomasi antara Israel dan wakil Palestina. Dalam hal ini adalah organinasi pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin oleh Yasser Arafat (1929-2004 M). Gerak diplomasi yang didukung oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menghasilkan perjanjian Oslo pada 1993. Poin penting dalam perjanjian itu adalah pengakuan PLO terhadap negara Israel dan sebaliknya, pengakuan pemerintah Israel terhadap PLO sebagai perwakilan rakyat Palestina dan mitra negosiasi.

Selain itu, perjanjian Oslo juga membahas peta jalan menuju perdamaian Israel-Palestina. Di samping itu, perjanjian Oslo diteruskan dengan perjanjian perdamaian sementara untuk membentuk Pemerintah Otonomi Palestina 1993 yang di antaranya Israel menyetujui pemberian otonomi terbatas terhadap Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yaitu dua wilayah yang diduduki Israel dalam perang Timur Tengah 1967 sekaligus sebagai peta jalan menuju Palestina merdeka.

Bani Israel, Ahlul Kitab, Yahudi dan Zionis (selesai )

Sambungan artikel PERTAMA

Malapetaka pengkhianatan pun terjadi [722 SM], mereka merubah Taurat menjadi Talmud, dan Talmud kembali dirobah menjadi Protocolat. Watak mereka yang berani merubah ayat-ayat Allah dalam Taurat [Qs. Al-Maidah/5:41] dan sikap penolakan keras terhadap kebijakan para Nabi [Qs. Al-Maidah/5: 20 – 26], begitu sangat jelas dipaparkan dalam firmanNya.

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَـٰقَوۡمِ ٱذۡكُرُواْ نِعۡمَةَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ جَعَلَ فِيكُمۡ أَنۢبِيَآءَ وَجَعَلَكُم مُّلُوكً۬ا وَءَاتَٮٰكُم مَّا لَمۡ يُؤۡتِ أَحَدً۬ا مِّنَ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (٢٠) يَـٰقَوۡمِ ٱدۡخُلُواْ ٱلۡأَرۡضَ ٱلۡمُقَدَّسَةَ ٱلَّتِى كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡ وَلَا تَرۡتَدُّواْ عَلَىٰٓ أَدۡبَارِكُمۡ فَتَنقَلِبُواْ خَـٰسِرِينَ (٢١) قَالُواْ يَـٰمُوسَىٰٓ إِنَّ فِيہَا قَوۡمً۬ا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدۡخُلَهَا حَتَّىٰ يَخۡرُجُواْ مِنۡهَا فَإِن يَخۡرُجُواْ مِنۡهَا فَإِنَّا دَٲخِلُونَ (٢٢) قَالَ رَجُلَانِ مِنَ ٱلَّذِينَ يَخَافُونَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡہِمَا ٱدۡخُلُواْ عَلَيۡہِمُ ٱلۡبَابَ فَإِذَا دَخَلۡتُمُوهُ فَإِنَّكُمۡ غَـٰلِبُونَ‌ۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ (٢٣) قَالُواْ يَـٰمُوسَىٰٓ إِنَّا لَن نَّدۡخُلَهَآ أَبَدً۬ا مَّا دَامُواْ فِيهَا‌ۖ فَٱذۡهَبۡ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَـٰتِلَآ إِنَّا هَـٰهُنَا قَـٰعِدُونَ (٢٤) قَالَ رَبِّ إِنِّى لَآ أَمۡلِكُ إِلَّا نَفۡسِى وَأَخِى‌ۖ فَٱفۡرُقۡ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡفَـٰسِقِينَ (٢٥) قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيۡہِمۡ‌ۛ أَرۡبَعِينَ سَنَةً۬‌ۛ يَتِيهُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ‌ۚ فَلَا تَأۡسَ عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡفَـٰسِقِينَ (٢٦)

“Dan [ingatlah], ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah ni’mat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain”.

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci [Palestina] yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang [karena takut kepada musuh], maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.

Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.”

Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut [kepada Allah] yang Allah telah memberi ni’mat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang [kota] itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.”

Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu” Allah berfirman: “[Jika demikian], maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, [selama itu] mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi [padang Tiih] itu. Maka janganlah kamu bersedih hati [memikirkan nasib] orang-orang yang fasik itu.” (QS: Al-Maidah: 20-26)

Zionis

Sejak diselenggarakannya Kongres Zionisme Internasional Pertama [1895] di Bassel Swiss, Theodore Hertzl [1860 – 1904] menggunakan nama kebesaran “Israil [el]” untuk menyebut negara Yahudi dengan tendensi atas kepentingan politik global yang dibangun di atas kebencian ras dan agama terumuskan dalam “dua puluh empat pasal rahasia” dan dikenal dengan “Protocols of Zion” yang dunia mengenalnya dengan “ayat-ayat setan Zionis Yahudi”.

Bermula dari bocornya ayat-ayat rahasia ini oleh seorang Prancis dan sampai ke tangan Sergyei A. Nilus [pendeta ortodok Rusia], lAl- diterjemahkan dalam bahasa Rusia [1901]. Seiring dengan bocornya rahasia ini, kalangan Yahudi memborongnya di pasaran Eropa Timur, namun sebuah naskah berhasil lolos oleh wartawan Inggris Victor E. Marsden dan menyebar ke Eropa Barat [1917] yang kemudian diterjemahkan menjadi “The Protocols of The Learned of Zion“.

Berikutnya menyebar ke Amerika dan Jerman, serta diterjemahkan kepada lebih dari 21 terjemajan bahasa dunia. [Lihat: “Blueprint Zionis Untuk Menguasai Dunia” [ed. 2014].

Namun tidak ada yang sulit bagi Allah Subhanahu Wata’ala untuk membuka topeng dan membongkar rencana jahat mereka, karena Dialah Khairul Maakirin (Sebaik-baiknya Pembuat strategi).*/Teten Romly Q, Ketua Bidang Kajian Ghazwul Fikri dan Harakah Haddamah Dewan Da’wah Pusat

 

HIDAYATULLAH

 

Bani Israel, Ahlul Kitab, Yahudi dan Zionis

SUNGGUH fenomenal dan sangat menguras perhatian dunia, apabila mencermati sepak terjang bangsa yang satu ini dari zaman ke zaman. Banyak hal dari ‘tingkah polahnya’ yang menyebabkan bumi ini semakin panas, ideologi perang yang selAl- dikobarkannya membuat bumi ini berdarah-darah, tak terkecuali tempat-tempat suci seperti Baitul Maqdis di Palestina.

Al-Qur’an mengisyaratkan, sungguh bangsa yang pernah dihinakan Allah Subhanahu Wata’ala ini; disebabkan karena mereka menolak ayat-ayat Allah, membunuh para NabiNya, mendurhakaiNya dan banyak bersikap melampaui batas. [QS. Al Imran/ 3:112].

Yang dimaksud adalah kaum mereka, walaupun Allah sendiri menyebutkan “laisuu sawaa-an min ahlil kitaab“. Tidaklah sama [di antara mereka] ada ummat yang komitmen dan tetap membaca ayat-ayatNya siang dan malam, mereka bersujud, beriman pada Allah dan hari akhir, menegakkan kebaikan dan mencegah keburukan, serta berlomba dalam kebaikan [Qs. Al- ‘Imran/3: 113 – 114].

Kalaulah ada Ahlul Kitab seperti dalam ayat tersebut, menurut para ahli Tafsier seperti halnya ‘Abdullah bin Salam, Asad bin ‘Ubaid, Tsa’labah bin Tsu’bah dan lain-lainnya yang benar-benar membaca kitab Taurat yang sebenarnya.

Ada banyak nama yang disematkan pada kaum ini, terkadang mereka dipanggil Bani Israil, Ahlul Kitab, Ibrani, Yahudi dan juga Zionis yang lebih populer sejak masa-masa pendudukkan.

Bani Israil

Disebut Bani Israil, disandarkan pada Nabiyullah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim yang mendapatkan gelar Israil [bahasa Ibrani; israa: kekasih, hamba dan iil: Tuhan]. Maka dikatakan Bani Israil, adalah anak keturunan nabi Ya’qub. Gelar serupa sama dengan “Khalilullaah” atau “Khalilurrahmaan” sebagai gelar Nabiyullah Ibrahim [bahasa Arab; khaliel: kekasih, Rahmaan: Allah].

Adapun turunan Nabi Ya’qub memiliki empat orang istri dan dua belas anak;

1) Isteri pertama [Li’ah] melahirkan enam orang anak: Rawabin, Sami’un, Lawiyah, Yahudza, Badzakir dan Dzambalan.

2) Isteri kedua [Rahil] melahirkan dua anak: Yusuf dan Benyamin.

3) Isteri ketiga [Zalifah] melahirkan dua anak: Za’ad dan Asyir, dan

4) Isteri keempat [Barihah] melahirkan anak: Dana dan Naftalia. [Lihat: “Yahudi Ahl al-Kitab”, Ulil Amri, 2004]

Ahlul Kitab

Dalam Al-Qur’an ditemukan tidak kurang 31 kata Ahlul Kitab, yang secara mayoritas para ulama tafsir klasik yang lebih berpegang pada teks-teks wahyu dan hadits nabi lebih memaknai dengan Yahudi dan Nashrani sebagaimana dikuatkan At-Thabary, Al-Qurthuby, Ibnu Katsir dan lain-lain.

Bahkan Imam Syafi’i lebih menekankan Yahudi dan Nashrani dari kalangan Bani Israil. Sedangkan yang beranggapan Ahlul Kitab itu termasuk selain Yahudi dan Nashrani [Majusi/ Zoroaster, Shabi’un, Hindu, Budha, Kongfucu dan Shinto] hanyalah sebagian kecil dari “pemikir belakangan” seperti dipopulerkan Nurcholis Madjid (dalam Islam Doktrin dan Peradaban) dan Huston Smith ketika menjelaskan agama-agama besar dunia. [Lihat: The Religions of Man, ed. terj. 1991]

Ibrani

Sebutan ini lebih disandarkan kepada datuknya yang kelima bangsa Yahudi bernama ‘A’bir, dan ini dipakai oleh bangsa Palestina kuno. Ada pula yang menyandarkannya pada kota ‘Ibri yang dihubungkan dengan peristiwa nabi Ya’qub keluar dari Iraq dan menyebrang melintasi Eufrat [kata aa baa raa, artinya melintas, menyebrang].

Berikutnya, ada yang menyandarkan kepada nabi Ibrahim al-‘Ibrani, di mana keturunannya melakukan perjalanan menuju Khuran Suriah yang dilanjutkan lawatannya ke negeri Kananiyah [2000 SM] dan menetap di sana hingga melahirkan Ya’qub dan keturunannya. Dan kini, kata ‘Ibrani lebih disematkan pada masalah ras dan bahasa.

Yahudi

Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut Yahudi; Sebagian mufassir mengaitkannya dengan peristiwa penyembahan anak sapi [Qs. Al-A’raf/7:156], pandangan lainnya menyandarkan pada ‘sikap gemetar’ mereka ketika membaca Taurat, dan yang paling populer pandangan yang menyebutkan bahwa kata Yahudi disandarkan pada Yahudza [anak keempat nabi Ya’qub yang paling berpengaruh] sekalipun masih silang pendapat karena perbedaan lafazh keduanya [yaitu Yahudi dan Yahudza].

Setelah wafatnya Sulaiman bin Dawud, keturunan Ya’qub ini terpecah menjadi dua golongan besar; Pertama, kelompok Yahudza [kerajaan selatan] yang mendapat dukungan Yahudza dan Bunyamin. Kedua, kelompok Israil [kerajaan utara] yang mendapatkan dukungan dari sepuluh keturunan lainnya dan disebut pula Samaria sampai jatuhnya mereka ke tangan bangsa As-Syiria, walaupun akhirnya mereka bersatu kembali.*>>> (Bersambung)

 

HIDAYATULLAH

Inikah Penyebab Arab Takut Lawan Israel?

Melihat serangan koalisi Arab Saudi terhadap pemberontak Houthi di Yaman, memunculkan beragam pertanyaan. Koalisi tersebut lebih memilih menyerang Houthi yang berafiliasi ke Syiah Iran, ketimbang membungihanguskan Israel penjajah sejati. Lantas, benarkah ketidakberanian Arab terhadap Israel itu dipicu trauma atas kekalahan mereka perang melawan Israel sepanjang sejarah?

Sejarah mencatat, Arab harus menelan kekalahan terus menerus melawan Israel. Dalam Perang Arab-Israel Pertama, menyusul pendirian negara Israel 14 Mei 1948 di bawah pimpinan David Ben Gurion, aliansi negara Arab takluk di hadapan Isrel. Dalam perang yang berlangsung selama hampir 10 bulan itu (sejak 15 Mei 1948 hingga 10 Maret 1949—Red), pasukan Yordania, Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, dan Arab Saudi bergerak ke Palestina untuk menduduki daerah-daerah yang diklaim sebagai wilayah ‘negara Israel’. Ada sekitar 45 ribu tentara yang dikerahkan oleh negara-negara Arab tersebut pada waktu itu.

“Sementara, di pihak Israel sendiri awalnya hanya diperkuat oleh 30 ribu prajurit, namun pada Maret 1949 meningkat jumlahnya menjadi 117 ribu tentara,” ungkap Yoav Gelber dalam buku Palestine 1948: War, Escape and the Emergence of the Palestinian Refugee Problem.

Perang Arab-Israel Pertama berakhir dengan kekalahan di pihak negara-negara Arab. Menurut catatan, jumlah tentara Arab yang gugur mencapai 7.000 orang.  Perang itu juga menewaskan 13 ribu warga Palestina. Di samping itu, berdasarkan hasil penghitungan resmi PBB, ada 711 ribu orang Arab yang menjadi pengungsi selama pertempuran berlangsung.

Sebagai akibat dari kemenangan Israel tersebut, setiap orang Arab yang mengungsi selama Perang Arab-Israel Pertama, tidak diizinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka yang kini sudah diklaim Zionis sebagai wilayah negara Israel.

“Oleh karenanya, para pengungsi Palestina yang kita jumpai hari ini adalah keturunan dari orang-orang Arab yang meninggalkan tanah air mereka ketika terjadinya perang 1948-1949,” tutur Erskine Childers lewat tulisannya,  The Other Exodus The Spectator, yang dipublikasikan dalam buku The Israel-Arab Reader: A Documentary History of the Middle East Conflict,(1969).

Perang Arab-Israel kembali meletus ketika Mesir melakukan nasionalisasi terhadap Terusan Suez pada 1956. Kebijakan yang digawangi oleh Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu mendorong Israel  untuk menginvasi Semenanjung Sinai, sehingga menyebabkan peristiwa yang dikenlan sebagai ‘Krisis Suez’.

Tak lama berselang, pasukan Inggris dan Prancis juga mendarat di Pelabuhan Suez. Keikutsertaan dua negara Eropa itu dalam konflik tersebut seolah-olah untuk memisahkan pihak yang bertikai. Namun, motivasi mereka sebenarnya pada waktu itu hanya untuk melindungi kepentingan investor di negara-negara yang terkena dampak nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir.

Perang Arab-Israel yang kedua ini berakhir dengan kesepakatan damai. Mesir setuju untuk membayar jutaan dolar kepada Suez Canal Company—selaku pemegang otoritas Terusan Suez sebelum dinasionalisasi oleh Presiden Nasser.

Pada dekade berikutnya, hubungan Israel dengan negara-negara tetangga Arab tidak pernah sepenuhnya normal. Menjelang Juni 1967, ketegangan antara Mesir dan Israel kembali meningkat. Mesir memobilisasi pasukannya di sepanjang perbatasan Israel di Semenanjung Sinai. Sementara, Israel meluncurkan serangkaian serangan udara terhadap lapangan udara Mesir pada 5 Juni. Peristiwa itu menimbulkan Perang Arab-Israel Ketiga yang berlangsung selama enam hari.

Dalam perang tersebut, Mesir juga dibantu oleh sejumlah negara Arab lainnya, yaitu Yordania dan Suriah. Di samping itu, Arab Saudi, Kuwait, Libya, Maroko, dan Pakistan juga ikut mendukung Mesir dalam pertempuran tersebut. Hasilnya, Mesir dan koalisi negara-negara Arab kembali menelan kekalahan. Menurut catatan, ada sekitar 19 ribu tentara Arab yang hilang atau gugur di medan perang kala itu.

Meski berulangkali menderita kekalahan, upaya yang dilakukan Arab Saudi, Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon untuk membela Palestina di masa lalu menunjukkan betapa tingginya rasa solidaritas mereka sebagai sesama bangsa Arab pada waktu itu. Catatan sejarah tersebut menjadi ironis, mengingat hari ini negara-negara Arab saling memerangi saudara mereka sendiri di Yaman.

 

sumber: Republika Online

Penjajah Zionis Serbu Masjid Al-Aqsha, 110 Orang Korban

Pasukan penjajah Israel hari Ahad (13/09/2015) pagi, mengepung Kota Tua (Baldah Qadimah) di al Quds dan mendirikan pos-pos pemeriksaan militer di gerbang-gerbangnya.

Pasukan dalam jumlah besar menyerbu area masjid al Aqsha dan Mushala al Kibli. Mereka menghujani para jamaah di dalam masjid al Aqsha dengan tembakan meriam suara, gas dan peluru karet. Sehingga sejumlah jamaah mengalami luka.

Menurut sumber-sumber di al Quds dikutip PIC, jumlah korban yang terluka akibat penyerbuan ini mencapai 110 orang.

Sejak pagi pasukan penjajah Zionis melarang semua kaum perempuan dan laki-laki di bawah usia 50 tahun, semua pelajar sekolah syariat, para penjaga dan pegawai wakaf untuk masuk ke masjid al Aqsha.

Menurut Pusat Informasi Urusan al Quds dan al Aqsha, pasukan penjajah Zionis menyerbu mushalat al Kibli hingga berjarak beberapa meter.

Mereka menghujani para jamaah yang beri’tikaf di dalamnya dengan gas beracun dan peluru karet. Sehingga mengkibatkan banyak jamaah mengalami sesak nafas dan terluka. Anggota pasukan Zionis juga menyerang para penjaga masjid al Aqsha dengan brutal dan menangkap salah seorang dari mereka.

Asap membumbung di sisi selatan mushalat al Kibli. Kebakaran meletus di sisi selatan mushala al Kibli. Kaum laki-laki dan anak-anak yang ada di dalam masjid al Aqsha segera memadamkannya.

Sejak pagi, sejumlah warga Palestina dari al Quds dan wilayah Palestina terjajah tahun 1948 telah bersiaga di sekitar masjid al Aqsha di depan puluhan pos militer yang didirikan pasukan penjajah Zionis di sekitar masjid al Aqsha, di samping para jamaah yang sudah beri’tikaf di dalam masjid sejak Sabtu malam.

Di area masjid al Aqsha saat ini sedang terjadi konfrotnasi sengit antara pasukan penjajah Zionis dan para jamaah. Pasukan penjajah zionis mengeluarkan mereka dengan paksa dari dalam masjid al Aqsha.

Menteri Pertanian Zionis Ory Ariel bersama sekitar 40 pemukim Yahudi menyerbu masjid al Aqsha dengan mendapatkan penjagaan dan perlindungan ketat dari pasukan penjajah Zionis.

“Kami tidak bisa menggambarkan kehancuran yang terjadi pada mushalat al Kibli. Dan kami tegaskan bahwa kehancuran saat ini belum pernah terjadi sejak pembakaran yang dilakukan teroris Yahudi pada 21 Agustus 1969,” ujar seorang jamaah di dalam masjid al Aqsha dikutip PIC.

Menurut keterangan para saksi mata, pasukan penjajah Zionis mencegah bantuan medis mendekati lokasi dan mengevakuasi korban. Pasukan Zionis menyita alat pemadam kebakaran yang ada. Mereka menghancurkan semua jendela mushala al Kibli. Sebagian serdadu berusaha naik ke atas mushalat al Kibli dan menguasai para jamaah yang ada di dalamnya.

Lebih serius, pasukan polisi penjajah Zionis mencegah para pegawai dan penjaga masjid al Aqsha masuk ke dalam masjid. Mereka mengusir siapa saja yang ada di dalamnya dan menyerang Direktur Wakaf di al Aqsha, Syaikh Umat Kiswani, dan penjaga utama.

Di sekitar masjid al Aqsha, konfrotnasi meletus sengit, tempatnya di pintu Hitah, antara anggota kepolisian penjajah Zionis dan para pemuda yang dicegah masuk masjid al Aqsha.

Sebaliknya, polisi penjajah Zionis mengizinkan puluhan pemukim pendatang Yahudi untuk masuk masjid al Aqsha melalui pintu barak masjid (al Magharibah) dengan mendapatkan penjagaan dan perlindungan ketat, di antara mereka ada Menteri Pertanian Zionis Ory Ariel.

Kecaman Meluas

Sejumlah tokoh dan lembaga Islam Arab dan Palestina mengecam kejahatan terakhir penajajh Israel terbaru di Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha.

 

Esesco, organisasi pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Islam mengutuk penyerbuan tentara Zionis ke Masjid Al-Aqsha.

Dalam keteranganya, Esesco menganggap tindakan tentara Zionis tersebut sebagai sebuah kejahatan teroris yang harus dikecam oleh Negara manapun atau organisasi apapun di dunia, disamping memberikan sangsi kepada para pelaku.

Sementara itu, Kepala Urusan Agama Turki, Muhammad Cormakh mengecam penyerbuan pemukim dan serdadu ke pelataran Al-Aqsha dan melakukan penodaan terhadap Masjid Kiblati.

Anggota Biro Politik Gerakan Perlawanan Islam Hamas Izet Rasyq mengatakan bahwa penyerbuan dan penodaan yang dilakukan Menteri Pertanian Zionis dan para gerombongan pemukim Yahudi ke masjid al Aqsha hari Ahad (13/09/2015), adalah kejahatan perang, yang bertujuan mengukuhkan rencana penjajah membagi masjid menjadi dua; antara kaum Muslimin dan orang Yahudi secara waktu dan tempat.

“Kebrutalan dan kejahatan penjajah Zionis terhadap masjid al Aqsha dan pembakaran mushala al Kibli pada hari ini (Ahad, red), merupakan eskalasi berbahaya dalam serangkaian kejahatan penjajah Zionis terhadap masjid al Aqsha dan tempat-tempat suci di Palestina,” ujar Rasyq.

“Penyerbuan Mushala al Kibli dan pengusiran penjaganya, serta laragan bagi para penuntut ilmu untuk masuk ke dalamnya, merupakan kejahatan yang melanggar semua garis merah. Kami tidak akan membiarkan pembagian al Aqsha terjadi, apapun yang harus ditanggung,” tambahnya.*

Rep: Panji Islam

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com