Belajar Ilmu Hikmah

OLEH: HAEDAR NASHIR

 

Thalut diragukan kemampuannya ketika melawan Zhalut. Anak muda yang saleh dari bani Israil ini dianggap tak memiliki apa- apa. Umatnya bahkan menelisik dengan nada mengejek, “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya sedangkan dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?”

Umat bani Israil itu sering aneh dan tak pandai bersyukur. Pascawafatnya Musa AS dan Yusa bin Nun hingga kehadiran pemimpin mereka bernama Shamil, mereka sesungguhnya kehilangan tonggak kepemimpinan yang memberi arah jalan.

Mereka meminta kelahiran sosok pemimpin baru untuk melawan rezim Amaliqah. Lalu, Tuhan mengirim Thalut. Dia hanya penggembala miskin, padahal yang diharapkan ialah pemimpin keturunan Lawi bin Ya’kub atau Yahuza bin Ya’kub.

Namun, Tuhan memberi ilmu dan hikmah kepada Thalut. Akhirnya, dengan izin Allah, Thalut mampu mengalahkan Zhalut sang perkasa dari negeri Amaliqah sebagaimana dikisahkan dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 246-248.

Insan beriman niscaya belajar banyak rahasia hidup dengan radar iman dan ilmu yang melampaui. Belajar ilmu hikmah untuk membaca ayat- ayat kauniyah Tuhan yang sering kali penuh misteri dalam hidup di semesta raya ini.

Alquran mengungkap kisah-kisah sarat hikmah, seperti Ashab al-Kahfi, Lukman al-Hakim, Dzulqarnain, pertemuan Musa dan Khidir, Ibrahim dan Ismail berkurban, dan banyak lainnya sebagai ibrah.

Membacanya tidak memadai hanya dengan nakar verbal dan instrumental. Manusia beriman, siapa pun dia, sikap hidupnya tentu bukan sekadar berwawasan duniawi atau indrawi belaka. Dunia sendiri disebut Tuhan al-mata al-ghurur, penuh senda gurau, dan permainan. Kejayaan duniawai tetap nisbi dan tak pernah absolut.

Kehebatan manusia siapa pun dia memiliki batas lebih dan kurang. Di dalam kelebihannya terdapat kekurangan dan dalam kelemahannya tersimpan kekuatan. Fir’aun yang superperkasa pun memiliki kelemahan, dia sepanjang hayatnya dibayang-bayangi ketakutan sosok bayi laki-laki yang akan merenggut kedigdayaannya.

Ilmu manusia itu terbatas, betapa pun ia merasa hebat. Apalagi, sekadar ilmu akademik. Allah SWT dalam surah al-Israa’ayat 37 mengingatkan kaum beriman agar tidak arogan. Manusia sombong itu, menurut sabda Nabi, memiliki dua sifat, bathar al-haqq wa ghamthu al-nas, yakni suka menolak kebenaran dari orang lain dan merendahkan sesama. Baru memperoleh ilmu dan merambah dunia sebahu, sudah bertepuk dada seolah setinggi langit. Padahal, di atas langit ada lagi langit.

Belajarlah ilmu hikmah bersama agar semakin tinggi kian merunduk. Hikmah adalah pengetahuan dan kebaikan yang melampaui batas syariat menembus titik hakikat dan makrifat. Hikmah menembus jiwa dan makna ihsan ke jantung terdalam.

Mereka yang diberi ilmu minus hikmah, seperti Musa, kala muda yang merasa serba tahu, tetapi akhirnya terpaksa harus belajar kepada Khidzir yang ilmunya menembus batas cakrawala yang tak terjangkau nalar verbal. Berilmu plus hikmah akan melahirkan kecerdasan yang arif mencerahkan.

Hikmah diraih karena berkah Allah. Difirmankan, yang artinya “Allah memberikan hikmah kepada sesiapa yang dikehendakinya. Dan, barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak.” (QS al- Baqarah: 269). Lukman al-Hakim juga satu di antara hamba Allah yang diberi hikmah yang dari dirinya lahir banyak kebaik an dan suri teladan bagi kehi – dup an, bak pelita di tengah kegelapan.

Berilmu semestinya naik tangga menuju ilmu berhikmah bukan sekadar ilmu verbal dan instrumental. Banyak orang berilmu, tetapi ilmunya tak mence – rahkan sekitar, bahkan tak mampu menerangi dirinya. Mereka yang berilmu tinggi pun tak jarang tersesat arah jalan sehingga mengalami disorientasi hidup.

Apalagi, baru ilmu sejengkal yang menyentuh kulit luar. Mereka sering merasa benar di jalan sesat. Maka, untuk apa merasa digdaya dengan ilmu dan segala atribut kuasa yang dimiliki manakala tak mampu membuahkan hikmah dalam kehidupan?

Banyak hal dalam hidup ini menj adi berantakan dan salah kaprah karena manusia kehilangan hikmah. Politik dan segala aktivitas perebutan akses kehidupan di manapun menjadi serbagarang karena minus hikmah. Hanya karena satu posisi yang tak seberapa manusia beriman sering saling mengancam dan menerkam sesama.

Merasa hebat, namun kerdil. Merasa menjadi pewaris para Nabi pun sekadar baju luar, minus ilmu hikmah untuk mengajarkan se gala kearifan hidup. Akhirnya, ma nusia bisa saling memangsa da lam hukum homo homini lopus.

Nilai autentik Belajar kepada Lukman al- Hakim, Khidhir, Dzulkarnain, lebih-lebih kepada para Nabi dan Rasul kekasih Allah sungguh tak mudah. Juga kepada para sosok- sosok saleh dan cerdas di manapun tempatnya yang menyiramkan benih-benih kebaikan semesta.

Menyerap serbuk kebajikannya pun boleh jadi merupakan suatu pendakian yang sangat berat. Apalagi, untuk meneladani para Nabi dan Rasul dalam seluruh gerak hidup selaku insan beriman yang sering tersandera oleh banyak topeng dan kepentingan-kepentingan serbainstan yang menyala-nyala.

Maka, menjadi penting mem bangkitkan api iman yang autentik berbingkai hikmah sebagai sikap Muslim yang hanif di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang sering kali membuat diri mengalami disorientasi dan sesat jalan. Setiap hari seorang Muslim berdoa, “Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.” (QS al-Fatihah: 6-7).

Doa itu selain membuka pintu berkah dan perkenan Tuhan, sesungguhnya menularkan energi positif untuk menjalani hidup dengan nilai- nilai ruhaniah yang berwawasan hikmah. Boleh jadi hidayah iman dan Islam dalam makna verbal selalu melekat dalam diri setiap Muslim.

Namun, tak tertutup kemungkinan jalan hidupnya berbelok arah karena iman dan Islamnya tak menghunjam ke kalbu terdalam dan mem buah – kan ihsan serbakebaikan. Iman dan Islam yang harus menjadi – kan setiap insan Muslim berada di jalan lurus dan berperilaku serbabajik yang menyebarkan kesalehan di manapun berada.

Keberimanan dan keberislaman yang benar-benar menampilkan sikap hidup yang tulus, jujur, amanah, damai, welas asih, rendah hati, toleran, dan memuliakan sesama tanpa diskriminasi. Bukan keimanan dan keislaman dalam pesona lisan, teori, dan retorika yang biasanya jauh lebih indah ketimbang aslinya.

Ketika nilai iman dan Islam yang autentik melebur dalam diri insan Muslim, luruhlah kesombongan, keserakahan, ajimumpung, culas, kekerdilan, dusta, nifaq, dan segala penyakit diri. Bersamaan dengan itu diri menjelma menjadi sosok berperangi ihsan yang menyebarkan segala benih kebaikan dalam bingkai Nur Ilahi yang menyejukkan lingkungan kehidupan di sekitar.

Pada titik inilah setiap Muslim mikraj ruhaniah dari sekadar manusia biasa menjadi insan fiahsani at-taqwim yang berperangai utama. Dalam tarikan napasnya selalu ingin menggapai keutamaan hidup yang hakiki melampaui segala penjara duniawi yang indrawi.

 

sumber: Republika Online

Renungan Ajal

Kematian identik dengan ajal sementara sebagian manusia jika mendengar kata ajal masih merasa belum siap dan punya perasaan takut. Alasan mereka bervariasi, masih banyak dosa, belum punya bekal, anak-anak masih kecil-kecil, dan berbagai argumentasi lainnya.

Allah SWT menegaskan, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS 21:35).

Rahasia Allah yang tidak semua makhluk bernyawa mengetahuinya adalah kematian. Sebab, kematian merupakan salah satu hak prerogatif Allah semata. Bila Allah berkehendak kematian seseorang telah tiba, tak seorang pun yang bisa menolak atau minta ditangguhkan barang sesaat pun. Allah SWT berfirman dalam Alquran (QS 15: 5): “Tidak ada satu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak (pula) dapat mengundurkan (nya).”

Gemerlapnya dunia sering kali menggoda dan melalaikan manusia untuk mengingat mati. Maka, tak ayal lagi, akan lahir sosok manusia berperilaku hewaniyah, menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan nafsu syahwatnya-termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme-yang cukup merugikan dirinya dan orang lain. Sogok-menyogok, suap-menyuap menjadi santapan rutinitas kesehariannya karena hanya mengejar kepuasan sesaat.

Pada era global ini, keberadaan fasilitas yang maju dan modern juga ikut andil bagi manusia untuk semakin jauh dari tujuan diciptakannya. Allah berfirman: “Bermegah-megahan (dalam soal banyak anak, harta, pangkat, pengikut, dan kemuliaan) telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatan itu) dan janganlah begitu kelak kamu akan mengetahui.” (QS 108: 1-4).

Yang mengherankan, toh masih banyak manusia yang tidak segera sadar bahwa waktu dan kesempatan yang telah berlalu adalah langkah pasti menuju ketentuan Allah, yakni kematian. Karena tidak disadari kedatangannya, sering kali kematian dianggap terlalu cepat, mendadak, dan di luar perkiraan. Tidak sedikit manusia yang ketika dicabut nyawanya sedang dalam kondisi “mabuk kepayang terhadap kenikmatan dunia”, misalnya, sedang berbuat zina, mencuri, mabuk, berjudi, dan perbuatan dosa lainnya. Ini semua bisa terjadi lantaran manusia sudah tidak ingat lagi kepada kematian.

Padahal, dengan datangnya kematian maka tidak ada artinya lagi isi dunia ini. Sebab, kematian berarti berhentinya segala nikmat yang pernah atau sedang dirasakan manusia dan terpisahnya manusia dengan anak, keluarga, pangkat, harta, dan segala apa yang ada di dunia ini.

Karena itu, alangkah baiknya bila kematian-baik saudara, anak, tetangga, atau teman, dan bahkan orang lain pun-bisa dijadikan sebagai renungan yang jitu hingga manusia tidak lupa diri terhadap hak dirinya dan hak kepada penciptanya.

Orang bijak mengatakan, “Sering-seringlah kamu takziah karena dengannya akan mengingatkan diri kamu akan kematian.”

Dan di bulan Syawal ini, sudah selayaknya bagi kita untuk lebih mawas diri dengan meningkatkan ibadah kita kepada Allah, dalam rangka menyambut kedatangan tamu Allah, yakni kematian. Ibadah shalat, puasa, silaturahim, infak, dan sedekah kita perlu dipercantik dan ditingkatkan kualitasnya. Harapannya, jika suatu saat Allah memanggil kita, insya Allah kita telah siap. Inilah harapan setiap insan Muslim. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Hasan Basrie Alcaff

sumber: Republika Online

Doa untuk Para Jamaah Haji

Oleh: Moch Hisyam

 

Para jamaah haji Indonesia gelombang pertama secara bertahap telah berangkat ke Tanah Suci. Bagi kita yang belum berkesempatan menunaikan ibadah haji tahun ini, hendaknya merasa bersyukur dan berbahagia atas keberangkatan saudara-saudara kita ke Tanah suci.

Salah satu bentuk rasa syukur kita bisa diwujudkan dengan mengiringi para calon jamaah haji dengan doa. Ibadah haji merupakan ibadah yang cukup berat di samping harus memahami dan melaksanakan rukun dan wajib haji. Jamaah pun dihadapkan dengan medan yang cukup berat yang membutuhkan fisik dan mental prima.

Calon jamaah haji harus rela dan ikhlas meninggalkan keluarga yang dicintainya dan juga pekerjaan serta hartanya. Karena berat dan mulianya melaksanakan ibadah haji, Rasulullah SAW menyamakan ibadah haji dengan jihad fi sabilillah, terutama jamaah haji wanita dan lanjut usia. “Jihad orang yang telah lanjut usia, orang lemah, dan wanita adalah haji yang mabrur.” (HR an-Nasa’i).

Dorongan doa dari kita sangat dibutuhkan jamaah haji. Karena, doa mempunyai kekuatan besar dalam menyukseskan prosesi haji. Dengan doa yang kita panjatkan, dapat mengubah suatu ketetapan (takdir) Allah pada takdir yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Dan tiada yang dapat menolak takdir, kecuali hanya dengan doa.” (HR Ibnu Majah).

Doa untuk para jamaah haji adalah, “Aku memasrahkan agamamu, kepercayaanmu, dan kesudahan amalmu kepada Allah. Mudah-mudahan Allah membekalimu dengan ketakwaan, mengampuni dosamu, dan memudahkan kebaikan bagimu di manapun kamu berada.”

Doa tersebut mengandung beberapa permohonan kepada Allah untuk para jamaah haji. Pertama, menitipkan dan memasrahkan agama, iman, dan kesudahan amal jamaah haji kepada Allah SWT. Dengan permohonan ini, akan mengantarkan Allah SWT memberikan keselamatan dan perlindungan kepada jamaah haji dari kekafiran, syirik, dan kesombongan.

Hal ini sangat penting karena tidak ada musibah yang terbesar kecuali musibah yang menimpa kepada agama dan keimanan seseorang. Sebab, bila agama, keimanan, dan amal jamaah haji rusak, bukan hanya ibadah hajinya tertolak, juga menyebabkan kemurtadan.

Kedua, memohon kepada Allah SWT agar Dia membekali calon jamaah haji dengan ketakwaan. Ketakwaan merupakan bekal yang paling utama yang harus dimiliki jamaah haji. Dengan ketakwaan, akan menjadi sarana meningkatnya iman dan amal jamaah haji selama berada di Tanah Suci.

Ketiga, berisi permohonan kepada Allah SWT agar Allah memberikan pengampunan dosa kepada jamaah haji dan memudahkannya untuk berbuat kebaikan di Tanah Suci. Dengan pengampunan dosa dan kemudahan untuk berbuat kebaikan, akan menjadi sebab ibadah haji yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT dan sarana tercapainya haji yang mabrur.

Rasulullah SAW bersabda, “Umrah ke umrah lainnya adalah penghapus dosa-dosa di antara keduanya dan haji yang mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga.” (HR Bukhari). Untuk itu, marilah kita doakan saudara-saudara kita yang akan menunaikan ibadah haji dengan doa tersebut diiringi dengan kesungguhan, keikhlasan, dan kesyukuran.

Semoga jamaah haji dapat melaksanakan ibadah hajinya dengan lancar, amalnya diterima, dan doanya diijabah Allah SWT serta meraih predikat haji mabrur. Amin. Wallahu a’lam.

 

sumber: Republika Online

Yakinlah! Skenario Allah itu Indah

Oleh: Abu Nashar Bukhari, Lc.*

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Allah SWT. berfirman: “… Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada…”. (QS. Ali Imran: 140).

Penggalan ayat suci Alquran tersebut seakan menegaskan bahwa kehidupan manusia ibarat roda yang terus berputar. Kegembiraan dan kesedihan datang silih berganti menghiasi hari-hari yang kita lalui. Sebagian dari kita merasa bahagia dengan nikmat yang sedang diterima dan sebagian lainnya dituntut untuk memperbanyak sabar dan istighfar atas musibah yang sedang menerpa.

Namun demikian, kondisi tersebut tidaklah abadi melainkan dapat berubah sesuai kehendak Sang Pencipta. Disinilah Allah SWT menggambarkan kekuasaan-Nya sekaligus mengajarkan manusia untuk selalu bersyukur dan bersabar dalam menghadapi nikmat ataupun musibah yang sedang dihadapi.

Ketidaktahuan kita selaku manusia akan gambaran masa depan, terkadang membuat diri merasa dihantui kekhawatiran yang berlebihan. Jika kita lebih dalam menyelami kitab suci Al Quran, maka sesungguhnya rasa takut dan khawatir tersebut tidak seharusnya muncul.

Allah SWT telah ‘membocorkan’ sedikit rahasia-Nya kepada manusia agar tetap tegar dalam menghadapi kehidupan. Allah SWT berfirman: “… Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu…” (QS. Ghafir: 60).

Doa merupakan senjata yang dimiliki oleh orang-orang yang beriman dalam menghadapi seluruh permasalahan kehidupan. Namun demikian, tidak sedikit dari kita yang tidak sabar dalam menunggu terkabulnya doa-doa yang telah dipanjatkan.

Padahal, Rasulullah SAW, telah menjelaskan dalam sebuah Hadits bahwa “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal.” (HR. Ahmad).

Subhanallah, tiga kemungkinan dalam Hadits tersebut semuanya mengandung kebaikan dan pada hakikatnya, tidak ada yang mengetahui hal terbaik bagi manusia kecuali Allah Swt. Hal ini dapat kita analogikan dengan kondisi pengamen yang sedang mencari nafkah di jalanan atau warung-warung kaki lima.

Pengamen pertama baru memetik senar gitarnya dan melantunkan satu bait dari lagu yang didendangkan, saat itu juga kita langsung memberikan selembar uang kepadanya. Sedangkan pengamen kedua, harus rela berkeringat menarik suaranya guna menyelesaikan satu buah lagu bahkan lebih dan barulah kita memberinya uang yang diharapkan.

Dalam kasus pengamen pertama terdapat dua kemungkinan: a) kita merasa kasihan kepada sang pengamen sehingga kita mengambil sikap untuk segera membantunya, dan b) kita merasa terganggu dengan kebisingan yang dirasa sehingga kita memutuskan untuk segera menghentikan ketidaknyamanan tersebut.

Begitu juga dengan doa, bisa jadi Allah SWT menganggap kita sebagai hamba yang taat lagi membutuhkan serta doa yang kita panjatkan dinilai telah memenuhi adab dan syarat dikabulkannya sebuah doa, maka Allah kabulkan permintaan kita dengan segera. Akan tetapi, boleh jadi Allah Swt merasa ‘bising’ dengan permintaan-permintaan kita yang kadang bersifat memaksa.

Dalam kondisi ini, Allah SWT kabulkan doa kita dan biarkan kita terbuai dengan kenikmatan sembari tetap melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istidraj.
Sedangkan pada kasus pengamen kedua, kemungkinan besar kita menikmati suara dan lantunan lagu yang dinyanyikan sehingga kita memintanya untuk menuntaskan lagu tersebut dan pada akhirnya memberikan upah dengan nominal yang lebih besar dari yang diminta.

Begitu juga dengan doa, tidak kunjung dikabulkannya doa yang kita panjatkan bukan berarti Allah SWT tidak mendengar dan menjawab doa kita tersebut, melainkan boleh jadi karena Allah Swt begitu sayang dan rindu akan munajat serta doa yang kita panjatkan di sela-sela tangis pada saat melakukan shalat malam dan ibadah-ibadah lainnya. Walhasil, Allah Swt mengabulkan doa kita lebih dari yang kita inginkan baik itu di dunia maupun di akhirat. Maka, yakinlah bahwa skenario Allah Swt itu indah.

Pada akhirnya, selaku hamba, kita dituntut untuk terus berdoa baik dalam suka maupun duka. Selain itu, kita juga tidak semestinya memaksa agar Allah Swt mengabulkan doa kita atau bahkan berburuk sangka kepada-Nya. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Aku mengikuti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku bersamanya apabila dia memanggil-Ku. (HR. Tirmizi).

*) Abu Nashar Bukhari, Lc. Merupakan penerima manfaat Al -Azhar Scholarship Dompet Dhuafa lulusan dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Saat ini sedang menyelesaikan tesis di program Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar.

 

sumber: Republika Online

Kasih Sayang Allah

Oleh: Dadang Kahmad

 

Suatu hari, Rasulullah SAW dan para sahabat berjalan di tengah padang pasir. Saat itu, panas sinar matahari terasa menyengat, seolah membakar tubuh, bahkan menelusup menembus ke lapisan kulit.

Tiba-tiba, seorang ibu tampak sedang menggendong bayinya. Sang ibu dengan penuh perhatian mendekap buah hatinya. Ia berusaha melindungi bayinya agar tak terkena panas matahari.

Melihat pemandangan ini, Rasulullah menghentikan langkah para sahabatnya. Seolah mendapat tamsil kasus yang tepat, beliau bertanya, “Wahai para sahabatku, akankah ibu itu melemparkan bayinya ke dalam api yang membara?” Para sahabat menjawab serentak, “Tidak mungkin, wahai Rasulullah.”

Kemudian, Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada kasih sayang ibu itu terhadap bayinya. Dia-lah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim!” (HR Bukhari-Muslim).

Kisah di atas mengajarkan bahwa sifat Allah yang khusus diberikan kepada orang-orang beriman pada hari akhir adalah ar-Rahman dan ar-Rahim. Kedua asma Allah ini (ar-Rahman dan ar-Rahim) berasal dari kata arrahmah. Menurut Ibnu Faris, seorang ahli bahasa bahwa semua kata yang terdiri dari hurufra, ha, dan mim mengandung makna “lemah lembut, kasih sayang, dan kehalusan.”

Kata ar-Rahman berasal dari kata sifat dalam bahasa Arab yang berakar dari kata kerja ra-ha-ma/, artinya ialah penyayang, pengasih, pencinta, pelindung, pengayom, dan para mufasir memberi penjelasan bahwa ar-Rahman dapat diartikan sebagai sifat kasih Allah pada seluruh makhluk-Nya di dunia, baik manusia beriman atau kafir, binatang, dan tumbuh-tumbuhan serta makhluk lainnya.

Dengan kasih-Nya ini, Sang Khalik mencukupkan semua kebutuhan hidup makhluk di alam semesta. Hanya saja, limpahan kasih ini hanya diberikan Allah pada semua mahluk selama hidup di dunia, di akhirat kelak kasih sayang ini hanya diberikan kepada orang beriman yang menjadi penghuni surga.

Sementara itu, ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) di dalam Alquran, Allah mengulangi kata ini sebanyak 228 kali, jauh lebih banyak dari asma Allah, ar-Rahman yang hanya disebutkan sebanyak 171 kali. Jika kata ar-Rahman sifatnya berlaku untuk seluruh manusia maka kata yang kedua ar-Rahim, sifat-Nya yang hanya berlaku pada situasi khusus dan untuk kaum tertentu semata.

Rahim juga disebut sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya janin. Di alam rahim inilah bermulanya kehidupan. Di alam rahim kehidupan ideal kita dijaga dan dipelihara. Bahkan, di alam rahim pula, setiap manusia dipersaksikan “apa dan ke mana” tujuan hidupnya.

Maka, tak heran apabila bayi dilahirkan, ia akan menangis, karena meninggalkan rahim yang melimpahkan sayang dan rasa aman. Di dalam sifat rahim Allah, kita akan hidup dengan aman, nyaman, penuh kemuliaan, sentosa, dan penuh keberkahan.

Maka, sebutlah nama-nama Tuhan yang indah, dalam setiap awal doa dan permintaan. Mereka yang selalu membasahi bibirnya dengan kata, ar-Rahman dan ar-Rahim, maka Allah akan melimpahkan  kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Siapa saja dikasihi dan disayangi Allah. Maka, tak satu pun makhluk di dunia memiliki alasan untuk membenci kecuali mereka yang telah dikuasai nafsu angkara murka.

 

sumber: Republika Online

Berdoalah Selalu Agar Iman Terjaga

Oleh: Iu Rusliana

 

Bukan harta, apalagi jabatan yang menjadi bekal terbaik dalam hidup ini. Akidah yang kuat dengan iman yang kokoh menjadi energi terbaik dan membuat seseorang menjadi lebih kuat.

Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, “Pada Perang Uhud ada seorang yang bertanya kepada Nabi SAW, ‘Apakah engkau tahu di manakah tempatku seandainya aku terbunuh?’ Beliau menjawab, ‘Di dalam surga.’ Kemudian orang itu melemparkan biji-biji kurma yang ada di tangannya, lalu maju ke medan perang sampai mati terbunuh.” (HR Bukhari dan Muslim).

Iman dalam setiap diri kadang naik dan turun. Karena itu, peliharalah dan pertahankan sebaik mungkin. Rasulullah SAW mengibaratkan iman sebagai perhiasan terindah, tergambar dalam doa, “Ya Allah, hiasilah kami dengan perhiasan keimanan. Dan, jadikanlah kami sebagai orang yang mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk kepada orang lain.”

Hidup manusia selalu berada pada bukit, lembah, bahkan dasar jurang, semuanya serbaberliku dan menantang, butuh proses panjang dalam menjalaninya. Seperti roda yang terus berputar, kadang di bawah, kadang juga di atas. Ketika berada di atas, rasanya nyaman dan penuh rasa syukur menjalaninya.

Namun, saat terpuruk di bawah, penuh kesedihan, penyesalan, dan rasa kehilangan. Tak jarang, sebagian dari kita marah, protes atas takdir-Nya, berputus asa dan lari dari kenyataan dan mengakhiri hidup dengan konyol (bunuh diri).

Harta, takhta, jabatan, atau keluarga sekali pun belumlah cukup menjadikan diri manusia kuat menghadapi segala cobaan. Hanya keimanan yang menjadi obat sekaligus penguat dalam menyikapi segala persoalan kehidupan.

Iman yang kuat membuat manusia bijak dalam bersikap, berbuat, dan bertindak. Iman berfungsi sebagai perisai yang melindungi dari perbuatan jahat dan mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Dengan iman, sekeras apa pun cobaan yang menimpa, tidak akan menjadikan diri kita berburuk sangka kepada Allah SWT. Dengan iman, hidup menjadi lebih optimistis, selalu bersemangat, dan penuh makna.

Berdoalah selalu agar iman kita terjaga. Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. (QS Yunus: 9).

Jauhkan diri kita dari kebodohan, kelalaian dalam beribadah, nafsu yang membawa kepada keburukan, dan berbuat maksiat karena akan mengurangi iman. Berlindunglah selalu kepada Allah SWT agar dilindungi dari godaan setan, godaan gemerlap duniawi yang melalaikan, dan teman bergaul yang berakhlak buruk. Kecenderungan manusia untuk menumpuk harta dan lalai kepada peran sejatinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi ini telah digambarkan Allah SWT dalam surah at-Takatsur.

Padahal, harta dan takhta hanyalah amanah dan alat untuk beribadah. Tetaplah pelihara hati agar jangan pernah sedetik pun berpaling dari Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Dengan keimanan, kebahagiaan dunia dan akhirat menjadi niscaya. Dengan keimanan pula, akan digapai ketenangan dan kemantapan jiwa.

Dalam Alquran surah an-Nahl ayat 97, Allah berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik….”

Iman membimbing kepada ketaatan, keihklasan dalam beribadah, sabar menghadapi cobaan, dan tawakal kepada Allah. Hatinya selalu diliputi kepasrahan, ketenangan, penuh harap, dan ridha atas segala keputusan-Nya. Wallahu’alam.

 

 

sumber: Republika Online

Keutamaan Dzikir Ketika Keluar Rumah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنْ بَيْتِهِ فَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ” قَالَ: « يُقَالُ حِينَئِذٍ: هُدِيتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ. فَتَتَنَحَّى لَهُ الشَّيَاطِينُ، فَيَقُولُ لَهُ شَيْطَانٌ آخَرُ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِىَ وَكُفِىَ وَوُقِىَ

“Jika seseorang keluar dari rumahnya lalu membaca (zikir): Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah (Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada-Nya, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan-Nya), maka malaikat akan berkata kepadanya: “(sungguh) kamu telah diberi petunjuk (oleh Allah Ta’ala), dicukupkan (dalam segala keperluanmu) dan dijaga (dari semua keburukan)”, sehingga setan-setanpun tidak bisa mendekatinya, dan setan yang lain berkata kepada temannya: Bagaimana (mungkin) kamu bisa (mencelakakan) seorang yang telah diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga (oleh AllahTa’ala)?”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mengucapkan zikir ini ketika keluar rumah, dan bahwa ini merupakan sebab dia diberi petunjuk, dicukupkan dan dijaga oleh Allah Ta’ala[2].

Beberapa faidah penting yang dapat kita ambil dari hadits ini:

– Keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini akan diberikan kepada orang yang mengucapkan zikir ini dengan benar-benar merealisasikan konsekwensinya, yaitu berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[3].

– Syaitan tidak memiliki kemampuan untuk mencelakakan orang-orang yang benar-benar beriman dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala[4], sebagaimana firman-Nya:

{إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ}

Sesungguhnya syaitan itu tidak memiliki kekuasaan (untuk mencelakakan) orang-orang yang beriman dan bertawakkal (berserah diri) kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaan syaitan hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah” (QS an-Nahl: 99-100).

– Bertawakal (berserah diri dan bersandar sepenuhnya) kepada Allah Ta’ala merupakan sebab utama untuk mendapatkan petunjuk dan perlindungan Allah dalam semua urusan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ}

Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya” (QS ath-Thalaaq: 3).

Artinya: Barangsiapa yang berserah diri dan bersandar sepenuhnya kepada Allah Ta’ala dalam semua urusan agama dan dunianya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya dalam mengusahakan kebaikan bagi dirinya dan menolak keburukan dari dirinya, serta yakin dengan kemudahan yang akan diberikan-Nya, maka Allah Ta’ala akan memudahkan semua urusannya tersebut[5].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 30 Rabi’ul awal 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] HR Abu Dawud (no. 5095), at-Tirmidzi (no. 3426) dan Ibnu Hibban (no. 822), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani.

[2] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih Ibnu Hibban” (3/104).

[3] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 157-158).

[4] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).

[5] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 449).

Tanazul Diajukan di Makkah Dengan Beberapa Syarat

Madinah (Sinhat)–Jemaah haji Indonesia sejatinya tidak boleh melakukan pindah kelompok terbang (kloter) agar menjaga ketertiban pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji. Kendati demikian, terhambatnya proses penyelesaian visa mengakibatkan banyak jamaah haji Tanah Air yang berangkat tidak sesuai kloternya semula.

Kepala Daerah Kerja Madinah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Nasrullah Jasam mengatakan, sebenarnya jemaah boleh saja pindah kloter (tanazul) asalkan memenuhi tiga kriteria. Pertama, jemaah haji yang sakit yang sehingga harus dipulangkan lebih cepat atau diundur keberangkatannya melalui kloter selanjutnya.

Kedua, kata Nasrullah, jemaah yang kembali ke kloter awal setelah ditunda keberangkatannya karena sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Adapun yang ketiga, jemaah haji yang harus pulang lebih cepat karena kepentingan dinas.

“Kepentingan dinas harus dibuktikan dengan surat tugas yang sah,” kata Nasrullah di Madinah, Arab Saudi, Rabu (26/08).

Dia menegaskan, guna memberikan hal pelayanan kepada jemaah haji dan kesesuaian pertanggungjawaban serta melaksanakan ketentuan dari Muassasah Adilla, jemaah tidak diperbolehkan melakukan proses (tanazul) selama di Madinah.

“Apabila ada jemaah yang sesuai tiga kriteria tadi dan harus melakukan (tanazul), maka seluruhnya dapat mengajukan prosesnya di daerah kerja Makkah,” ujar Nasrullah. (ismail/mch/ar)

Doa Agar Diselamatkan Dari Penyakit Kikir

Ada sebuah do’a sederhana yang jaami’ (singkat dan syarat makna) yang sudah sepatutnya kita menghafalkannya karena amat bermanfaat. Do’a ini berisi permintaan agar kita terhindar dari penyakit hati yaitu ‘syuh’ (pelit lagi tamak) yang merupakan penyakit yang amat berbahaya. Penyakit tersebut membuat kita tidak pernah puas dengan pemberian dan nikmat Allah Ta’ala, dan dapat mengantarkan pada kerusakan lainnya. Do’a ini kami ambil dari buku “Ad Du’aa’ min Al Kitab wa As Sunnah” yang disusun oleh Syaikh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qahthani hafizhahullah.

Do’a tersebut adalah,

اللَّهُمَّ قِنِي شُحَّ نَفْسِي وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُفْلِحِينَ

/Allahumma qinii syuhha nafsii, waj’alnii minal muflihiin/
Ya Allah, hilangkanlah dariku sifat pelit (lagi tamak), dan jadikanlah aku orang-orang yang beruntung

Do’a ini diambil dari firman Allah Ta’ala dalam surat Ath Taghabun ayat 16,

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung

Kosakata

“الشح” berarti bakhl (pelit) lagi hirsh (tamak/ rakus). Sifat inilah yang sudah jadi tabiat manusia sebagaimana Allah berfirman,

وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ

Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir” (QS. An Nisa’: 128).

“الفلاح” artinya beruntung dan menggapai harapan. Yang dimaksudkan al falah(beruntung/menang) ada dua macam yaitu al falah di dunia dan di akhirat. Di dunia yaitu dengan memperoleh kebahagiaan dengan hidup yang menyenangkan. Sedangkan kebahagiaan di akhirat yang paling tinggi adalah mendapat surga Allah.

Kandungan Do’a

Do’a ini berisi hal meminta berlindung dari sifat-sifat jelek yang biasa menimpa manusia yaitu penyakit “syuh” yakni pelit dan tamak pada dunia. Orang yang memiliki sifat jelek ini akan terlalu bergantung pada harta sehingga enggan untuk berinfak atau mengeluarkan hartanya di jalan yang wajib atau pun di jalan yang disunnahkan. Bahkan sifat “syuh” ini dapat mengantarkan pada pertumpahan darah, menghalalkan yang haram, berbuat zhalim, dan berbuat fujur (tindak maksiat). Sifat ini “syuh” ini benar-benar akan mengantarkan pada kejelekan, bahkan kehancuran di dunia dan akhirat. Oleh karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan adanya penyakit “syuh” ini dan beliau menjelaskan bahwa penyakit itulah sebab kehancuran. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ: أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

Waspadalah dengan sifat ‘syuh’ (tamak lagi pelit) karena sifat ‘syuh’ yang membinasakan orang-orang sebelum kalian. Sifat itu memerintahkan mereka untuk bersifat bakhil (pelit), maka mereka pun bersifat bakhil. Sifat itu memerintahkan mereka untuk memutuskan hubungan kekerabatan, maka mereka pun memutuskan hubungan kekerabatan. Dan Sifat itu memerintahkan mereka berbuat dosa, maka mereka pun berbuat dosa” (HR. Ahmad 2/195. Dikatakan Shahih oleh Syaikh Al Arnauth)

Sufyan Ats Tsauri pernah mengatakan, “Aku pernah melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Kemudian aku melihat seseorang berdo’a ‘Allahumma qinii syuhha nafsii’, dia tidak menambah lebih dari itu. Kemudian aku katakan padanya, ‘Jika saja diriku terselamatkan dari sifat ‘syuh’, tentu aku tidak akan mencuri harta orang, aku tidak akan berzina dan aku tidak akan melakukan maksiat lainnya’. Laki-laki yang berdo’a tadi ternyata adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf, seorang sahabat yang mulia. (Dibawakan oleh Ibnu Katsir pada tafsir Surat Al Hasyr ayat 10).

Lalu bagian do’a yang terakhir,

وَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُفْلِحِينَ

/Waj’alnii minal muflihiin/
Ya Allah, dan jadikanlah aku orang-orang yang beruntung“.

Maksud do’a ini adalahb jadikanlah orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Jika ia telah mendapakan hal ini, itu berarti ia telah mendapatkan seluruh permintaan dan selamat dari segala derita.

[Tulisan ini disarikan dari kitab “Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah lisy Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani”. Pensyarh: Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqaddam]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Ini Susunan Amirul Hajj Musim Haji 2015

Amirul Hajj penyelenggaraan ibadah haji 1436H/2015M telah ditetapkan. Sebanyak dua belas orang terpilih untuk menjadi pimpinan tertinggi penyelenggaraan ibadah haji tahun ini. Mereka akan bekerja bersama-sama di bawah komando Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

Kedua belas orang yang berasal dari unsur pemerintah dan unsur pimpinan ormas Islam itu adalah: 1. Lukman Hakim Saifuddin, 2. Masdar Farid Mas’udi, 3. Syamsul Anwar, 4. Achmad Gunaryo, 5. Muhyiddin Junaidi, 6. Jihaduddin, 7. Yusnar Yusuf, 8. Abdul Mu’thi Nurhadi, 9. Maman Abdurrahman, 10. Ahmad Satori Ismail, 11. Agus Sartono, dan 12. Chairul Radjab Nasution.

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas-tugas Amirul Hajj, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) mengadakan rapat koordinasi dengan Amirul Hajj di Kantor Kementerian Agama, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (26/08). Dalam kesempatan itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa Amirul Hajj memegang peranan penting dan strategis dalam penyelenggaraan ibadah haji secara keseluruhan. “Amirul Hajj merupakan elemen tertinggi dalam unsur penyelenggaraan ibadah sekaligus strategis, karena memegang peranan penting dalam hal kebijakan secara keseluruhan,” kata Menteri Lukman.

Sementara itu, Dirjen PHU Abdul Djamil menjelaskan bahwa Amirul Hajj bertugas antara lain melakukan hubungan kenegaraan dalam tataran politik dan menyusun rencana program untuk mencapai tujuan dan misi haji secara keseluruhan. Selain itu Amirul Hajj juga bertugas dalam menjaga kelestarian nilai-nilai haji dalam kaitannya dengan sosial kemasyarakatan.

Indonesia setiap tahunnya mengirimkan 211.000 jemaah haji. Karena adanya kebijakan pemotongan kuota 20 persen, dalam tiga tahun terakhir jemaah haji Indonesia hanya berjumlah 168.800. Namun demikian, jumlah ini adalah yang terbesar di banding seluruh negara pengirim jemaah haji.

Sekira dalam setiap tahunnya ada seratus lima puluh ribu penduduk Indonesia yang memperoleh kemabruran dalam berhaji, sudah tentu hal itu akan berdampak pada kemajuan bangsa di masa depan. Sebab, nilai-nilai kemabruran itu akan mengejawantah dalam kesalehan dan kebaikan sosial. Hal inilah yang juga menjadi tugas Amirul Hajj untuk terus memikirkan upaya terbaik dalam menghantarkan jemaah memperoleh kemabruran. (rilis/mch/ar)

 

sumber: Portal Kemenag