Berbisnis Ala Nabi Muhammad SAW

Rasulullah SAW adalah seorang yang kaya pada zamannya dulu. Sudah seharusnya kita sebagai umatnya untuk mengikuti jejaknya. Karena hidup bukanlah hanya pasrah kepada nasib.

Menurut beberapa sumber, rasulullah meraih kesuksesan dalam berbisnis di 6 kota berbeda. 4 diantaranya adalah Syam (Syuriah), Bahrain, Yordania, dan Yaman. Semua bisnisyang dijalankan oleh beliau menciptakan hasil yang sangat memuaskan. Bahkan menurut beberapa sumber, ia nyaris tidak mengalami kegagalan dalam berbisnis. Lalu bagaimana strategi beliau dalam menjalankan bisnis yang untuk mencapai kesuksesan? berikut ulasannya.

JUJUR DALAM BERBISNIS

Kejujuran adalah kunci dalam berbisnis. Inilah salah satu metode yang diterapkan oleh rasul. Bahkan saking jujurnya, ia mendapatkan gelar Al-Amin yang berarti terpercaya. Rasulullah awalnya mendapatkan barang dagangan dari seorang saudagar kaya bernama Khadijah yang kemudian membuatnya terpikat lalu menjadikannya seorang istri.

Kejujuran menjadi sebuah branding tersendiri pada dagangan beliau. Orang-orang lebih memilih untuk membeli kepadanya karena merasa aman tidak akan ditipu. Ini karena beliau selalu menjelaskan apa adanya tentang apa yang ia jual kepada pelanggannya.

MENGHORMATI PELANGGAN

Rasulullah memperlakukan pelanggannya layaknya seorang saudara yang harus dibantu. Bagi beliau, bisnis adalah sebuah kegiatan dimana kita akan membantu seseorang dalam memecahkan masalahnya. Itulah inti bisnis yang sesungguhnya. Oleh karena itu beliau sangat hormat dan santun kepada pelanggannya layaknya saudara. Seperti salah satu sabda beliau:

Sayangilah saudaramu layaknya menyayangi dirimu sendiri.

MENEPATI JANJI

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janjimu (QS Al-maidah:1)

Seperti yang kita tahu, dalam melayani pelanggan kita harus menepati janji. Misalnya memenuhi deadline sesuai dengan yang sebelumnya telah disepakati. Ini akan menjadi nilai plus tersendiri bagi bisnis kita. Inilah salah satu yang di terapkan rasulullah SAW.

Baginya, menepati sebuah janji adalah sebuah tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Bahkan bukan hanya menepati janji, beliau juga melakukan tugasnya dengan integritas yang tinggi sehingga membuat pelanggannya sangat puas.

HANYA MENJUAL PRODUK YANG BERKUALITAS

Rasulullah hanya menjual produk yang berkualitas saja. Beliau tidak pernah menjual produk yang rusak atau tidak layak untuk dijual. Dan ia juga memilah-milah produk yang berkualitas tinggi dan rendah untuk disesuaikan dengan harganya. Namun bukan berarti ia juga menjual produk yang tidak layak untuk dijual.

 

Suatu ketika rasulullah pernah memarahi seorang pedagang yang tidak jujur karena mencampur jagung basah ke dalam tumpukan jagung kering yang akan dibeli. Bukan hanya melanggar syariat agama, tapi perbuatan ini juga akan membuat pelanggan tidak akan kembali lagi.

TIDAK MENJELEK-JELEKKAN BISNIS ORANG PESAING

Seperti sabda beliau:

Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual orang lain. (HR Muttafaq)

Rezeki sudah ada yang mengatur, oleh karena itu rasul sangat melarang seseorang menjelek-jelekkan dagangan pesaingnya. Karena sejatinya prinsip sebuah bisnis adalah bagaimana cara kita memuaskan pelanggan, bukan malah menjatuhkan pesaing. Naikkanlah kualitas bisnis kamu, dan biarkanlah pelanggan yang akan menilainya.

DILARANG MENYIMPAN/MENIMBUN BARANG

Menyimpan/menimbun barang demi sebuah keuntungan dilarang oleh islam. Misalnya seperti fenomena yang baru saja terjadi yaitu kenaikkan harga bbm. Karena harga bbm akan naik, kamu menyetok banyak bbm untuk dijual kembali pada saat harga bbm naik. Di dialam islam ini disebut ihtikar dan sangat dilarang. Jual lah barang dengan harga yang sesuai dengan kondisi pada saat itu juga.

MEMBAYAR GAJI KARYAWAN TEPAT PADA WAKTUNYA

Bayarlah gaji karyawan tepat pada waktunya. Karena mereka sudah rela memberikan waktunya ke kamu, maka kamu wajib membayarnya tepat waktu. Jika waktu pemberian gaji tanggal 1, maka kamu wajib membayarnya di tanggal 1. Seperti salah satu sabda rasul:

Berikanlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya.

BISNIS JANGAN SAMPAI MENGGANGGU IBADAH

Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku (QS Adzdzariyat:56)

Dalam kehidupan, bisnis bukanlah semata-mata yang harus dikejar. Ada banyak orang yang melupakan sholat dan bahkan lupa membayar zakat karena kesibukkannya dalam bekerja. Allah swt amat tidak suka hal ini. Bekerja memang bagian dari ibadah, namun itu bukanlah hal yang utama.

Itulah strategi rasul dalam menjalankan bisnisnya. Ini sangat masuk akal dan bisa dijelaskan secara ilmiah. Maka sudah seharusnya kita sebagai entrepreneur muslim harus menerapkan apa yang sudah rasul lakukan dalam menjalankan sebuah bisnis.

Orang-Orang yang Menepati Janjinya Kepada Allah

Semoga Allah merahmati Anas bin Nadhir. Ia adalah seorang syahid Perang Uhud yang telah memenuhi janjinya kepada Tuhannya. Dia sangat menyesal tidak hadir di Perang Badar, karenanya dia merasa kehilangan banyak kebaikan dan pahala yang besar. Anas tidak turut serta dalam Perang Badar bukan karena takut atau dia seorang yang munafik. Dia mengira tidak akan terjadi perang, dia menyangka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat hanya untuk mencegat kafilah dagang orang-orang Quraisy, dan Rasulullah tidak mewajibkan para sahabatnya untuk berangkat.

Anas telah berjanji kepada Allah, “Jika Allah memberiku memberiku kesempatan hadir di medan perang melawan musuh-musuh-Nya, niscaya Dia pasti melihat apa yang aku lakukan.”

Di Perang Uhud, kaum musyrikin lari tunggang langgang di awal peperangan di saat kaum muslimin bersikap benar. Allah mewujudkan janji-Nya kepada mereka, akan tetapi manakala kaum muslimin menyelisihi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bercerai-berai sementara peperangan kembali memanas. Anas melihat keadaan dan situasi telah berubah. Dia melihat teman-temannya seraya berkata, “Wahai Saad, aku mencium bau surge di balik Gunung Uhud,” Anas meliah kaum muslimin yang terpukul mundur, maka ia berkata, “Ya Allah, maafkanlah aku dari apa yang mereka lakukan.” Dia pun maju menyerang musuh seperti seekora rajawali menyerang mangsanya. Kekuatan iman mendorongnya, ada kehidupan mulia yang diidam-idamkannya setelah dia meninggalkan kehidupan ini. Dia ingin memenuhi janjinya, dan dia menunjukkannya kepada Allah Ta’ala.

Perang pun usai, kaum muslimin mendapati tubuhnya menjadi ladang bagi pedang, tombak, dan anak panah, sampai-sampai para sahabat tidak mengenalinya lagi. Wajahnya berubah, hanya saudara perempuannya yang mengenalinya dari tanda yang terdapat di jari tangannya. Saad menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kepahlawanan Anas, “Y a Rasulullah, demi Allah, aku tidak kuasa melakukan apa yang telah dilakukan oleh Anas.”

Sikap Anas ini mengingatkanku pada sikap seorang badui yang beriman dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sang badui diberi harta rampasan perang sebagai haknya, dia malah bertanya kepada Rasulullah, “Apa ini?” Rasulullah menjawab, “Harta rampasan perang yang menjadi hakmu.” Badui itu menjawab, “Aku tidak mengikutimu demi ini. Aku mengikutimu agar aku bisa berperang di jalan Allah, lalu anak panah menembus ini (dia menunjuk kepada lehernya). Maka aku mati dan masuk surga.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ucapan itu jujur, Allah akan mewujudkan keinginanmu.”

Pada perang berikutnya, badui tersebut dibawa kepada Rasulullah dalam keadaan anak panah tertancap di lehernya. Rasulullah bertanya, “Diakah itu?” Para sahabat menjawab, “Ya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia membenarkan Allah, maka Allah membenarkannya.”

Begitu pula pemuda yang meninggalkan shalat di belakang Mu’adz radhiallahu ‘anhu, dengan alasan bacaan Mu’adz terlalu panjang. Mu’adz menuduhnya munafik. Maka pemuda itu mengadu kepada Rasulullah. Rasulullah berkata kepada Mu’adz, “Apakah kamu seorang pembuat fitnah wahai Mu’adz?” Lalu beliau berkata kepada pemuda itu, “Apa yang kamu lakukan jika kamu shalat wahai anak muda?” Dia menjawab, “Aku membaca Al-Fatihah. Aku memohon surga dan perlindungan dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku dan Mu’adz sama-sama membaca apa yang kamu baca.” Kemudian pemuda itu mengatakan, “Mu’adz akan tahu siapa aku kalau musuh datang.” Pada saat itu kaum muslimin mendapatkan informasi bahwa ada musuh yang hendak datang menyerang. Beberapa saat, benar saja musuh datang menyerang. Kaum muslimin pun tak gentar menghadapi mereka. Pemuda itu ikut serta bertempur dan dia gugur sebagai syahid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu’adz, “Apa yang terjadi pada pemuda itu?” Mu’adz menjawab, “Ya Rasulullah, dia telah membenarkan Allah dan aku berbohong. Dia gugur syahid.”

Generasi pertama adalah generasi yang benar dalam akidah dan perbuatan mereka. mereka bertolak dari akudah yang kuat dan niat yang teguh. Jika kita meneliti orang-orang seperti ini, orang-orang yang tidak hanya berbicara, niscaya kita akan mendapati ratusan bahkan ribuan teladan yang mengagumkan. Mereka adalah realisasi dari firman Allah,

مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَابَدَّلُوا تَبْدِيلاً

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kita memerlukan orang-orang mukmin seperti mereka. orang-orang yang ucapannya sesuai dengan akidahnya. Perbuatannya membenarkan ucapan dan akidahnya. Mereka sadar bahwa mereka menisbatkan diri mereka kepada Islam dengan hati, perasaan, tingkah laku, harapan, dan penderitaan. Mereka menegakkan hubungan mereka dengan orang lain, baik dalam bentuk kecintaan ataupun kebencian, di atas petunjuk kitabullah, Alquran.

Kita memerlukan orang-orang mukmin seperti mereka. Apakah kita termasuk sebagian dari mereka? Semoga. Jika tidak, maka berusahalah dan semoga Allah memberi pertolongan.

 

Sumber: Ensiklopedi Generasi Salaf/Kisah Muslim

Menepati Janji

“Jika seseorang di antara kalian baik Islamnya, maka setiap kebaikan yang dikerjakan akan dicatat (baginya) sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat. Dan setiap keburukan yang dilakukan akan dicatat seperti apa yang ia lakukan [tidak dilipatgandakan]” (HR. Bukhari).

Kita kerap menggunakan suatu hal yang dibolehkan untuk melakukan perbuatan yang tidak dibolehkan. Seperti berjanji, itu dibolehkan bagi siapa saja, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama hamba dalam hidup ini. Namun bagi sebahagian orang telah menggunakan janji sebagai alat untuk menipu orang lain. Misalnya, janji dijadikan sebagai alat untuk meraih suatu kedudukan; tetapi setelah hasrat itu diperoleh, janji diabaikan.

Padahal tidak menepati janji adalah suatu ketidakjujuran. Sedangkan kejujuran adalah pertanda baiknya derajat Islam seseorang hamba di dunia ini. Imam Malik menyebutkan bahwa Luqman pernah ditanya, “Apa yang membuat sampai pada derajat seperti ini?” Beliau menjawab, “Kejujuran, menepati janji, dan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.”

 

Oleh: Jarjani Usman

 

sumber: Aceh TribunNews

Inilah Cara Menepati Janji

Menepati janji merupakan sifat para nabi.

Janji merupakan fenomena lumrah yang berlaku di masyarakat. Tiap orang dengan beragam profesi dan latar belakang kerap membuat janji. Ada janji untuk pertemuan, janji terkait dengan batas waktu kesepakatan transaksi, atau janji-janji lainnya yang bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari.

Namun, kata Dr Muhammad Musa Syarif dalam bukunya yang berjudul Dhahirat at-Tahawun bi al-Mawa’id: Asbab-al-Musykilat-al-‘Ilaj, pada praktiknya sering kali janji tersebut tidak ditepati.

Pertemuan yang telah ditentukan pada waktu tertentu, ternyata meleset dan molor, bahkan batal akibat tidak ditepatinya janji. Padahal, urusan janji tak cuma soal penentuan waktu antara kedua belah pihak, tetapi bisa jadi pula menyangkut hajat orang lain. Ketidaktepatan janji bisa merugikan banyak orang. Dan, sering pula pembatalan janji itu dilakukan sepihak dan tanpa konfirmasi apa pun. “Ini jelas tak sesuai dengan prinsip Islam,” tulis Musa.

Seharusnya, tepat waktu dan menepati janji menjadi karakter utama Muslim. Ia pun memberikan contoh bagaimana konsistensi Nabi Ismail AS dalam membuat dan menepati janji. Putra Ibrahim AS tersebut pernah menunggu seseorang yang tak kunjung tiba selama hingga tiga hari terus-menerus. Ketepatan Ismail memenuhi janji tersebut, diabadikan dalam Alquran surah Maryam ayat ke-54.

Konsistensi memenuhi janji pertemuan, misalnya, dicontohkan pula oleh Rasulullah SAW. Ini seperti yang dikisahkan Abdullah bin Ubai al-Hamsa’. Saat itu, ia hendak berbait kepada Rasul dan menentukan lokasi pertemuan. Tanpa disengaja, Abdullah bin Ubai lupa lokasi persis pertemuan itu hingga tibalah di hari ketiga dan akhirnya bertemu di tempat semula yang telah ditetapkan. Rasul pun menegur Abdullah bin Ubai, “Wahai pemuda, Engkau telah memberatkanku, saya di sini tiga hari menunggu Anda,” sabda Rasul.

Komitmen untuk menepati janji juga dicontohkan oleh para generasi salaf. Mereka berusaha maksimal agar tidak melanggar ataupun menyepelekan janji. Suatu ketika, Ibnu Abd ar-Rabbi al-Qashab pernah menjanjikan Muhammad bin Sirin untuk membelikan hewan kurban di batas waktu tertentu dan lantas al-Qashab lupa. Ketika ingat, ia pun bergegas menemui Ibnu Sirin siang hari dan meminta maaf.

Dan, tak diduga Ibnu Sirin telah menunggunya. Al-Qashab meminta maaf dan ia mendengar jika Ibnu Sirin sudah tak sabar lagi menunggu, lalu akhirnya beranjak pergi dari rumah. Ibnu Sirin pun mengatakan bahwa hal itu tidak akan ia lakukan. “Sekalipun engkau datang malam hari maka aku tak akan tinggalkan tempat dudukku, kecuali untuk shalat atau buang hajat,” katanya.

Selain itu, Musa memaparkan beberapa sebab munculnya ketidaktaatan pada janji, antara lain, minimnya kesadaran akan tuntunan Islam. Bahwa, melanggar dan tidak menepati janjit, seperti ditegaskan di hadis riwayat Bukhari, adalah tanda-tanda kemunafikan. Faktor pemicu inkonsistensi janji, sifat tak acuh dan tak bertanggung jawab, tidak prioritas dan kurang fokus, kurang akrab dengan media pengingat agenda, dan lain sebagainya.

Solusinya, kata Musa, perlu pembiasaan dan pendisiplinan diri sendiri, antara lain, melalui penggemblengan spiritual yang bersangkutan, bagi pihak yang tak tepat waktu, mudah ingkar janji, maka tak perlu berbasa-basi lagi. Sampaikan saja masukkan Anda. Bila dibiarkan, justru akan menjadi momok di kemudian hari.

Bila diperlukan, jatuhkan sanksi edukatif. Ini seperti diperlihatkan oleh para dosen di Universitas Al-Azhar Kairo. Mahasiswa yang datang terlambat tidak diperbolehkan masuk ruang kelas. Sebaliknya, berikan apresiasi kepada mereka yang komitmen dan konsisten pada janjinya.

Usahakan mencontoh sosok yang disiplin dan komitmen terhadap janjinya. Ini seperti dilakukan oleh Imam as-Syaukani. Pengarang kitab Nail al-Authartersebut menaruh hormat luar biasa kepada sang guru, yakni Imam al-Khada’i. Sang guru tersebut tidak akan pernah melewatkan jam mengajar walau hujan menerpa. Pernah suatu ketika hujan turun hampir tiap hari dari subuh hingga pagi, sedangkan ba’da shalat Subuh ada jam pengajian. Namun, Imam al-Khada’i tetap datang ke taklim karena bagaimanapun bagi sang guru hujan bukan halangan bila ada janji.

“Maka, tepatilah janji Anda,” imbau Musa. Karena dengan menepati janji itu, setidaknya telah mengikuti salah satu sunah para nabi, seperti yang disebutkan hadis riwayat Abu Sufyan.

 

 

Oleh Nashih Nashrullah

sumber: Republika Online

Janji Kita Adalah Hutang

Berhati-hatilah dengan janji yang terucap. Karena bisa jadi dari sumpah-sumpah yang kita ucapkan dan tidak kita tunaikan tersebut kita tuai dosa besar

 

JANJI bagaikan hutang. Begitu sebagian besar orang mengatakannya. Dan memang benar adanya, karena janji adalah akad, sebagaimana artinya berupa ikatan yang selalu bersifat mengikat antara kedua belah pihak, baik yang mengucap janji maupun yang menerima janji.

Hukum berjanji adalah mubah, sementara hukum menepati janji adalah wajib, sehingga melanggar janji berarti suatu keharaman. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS: Al-Ma’idah: 1)

Ibnu ‘Abbas, mujahid dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan akad adalah perjanjian.”

Ibnu Jarir pun menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan, ”Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”

Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, “Yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalalkan dan diharamkan Allah, yang difardhukan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an secara keseluruhan, maka kalian jangan mengkhianati dan melanggarnya.”

Selanjutnya menurut Ibnu ‘Abbas tentang menepati janji berdasarkan surat Al-Ma’idah ayat 1 adalah sebagai berikut, “Hal itu menunjukkan keharusan berpegang dan menepati janji, dan hal itu menuntut dihilangkannya hak pilih dalam jual beli.”

Dari sini, melanggar janji adalah haram. Sebagaimana Allah berfirman:

وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ اللّهِ إِذَا عَاهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu sudah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS: An-Nahl: 91)

Contoh janji yang ada dalam kehidupan sehari-hari adalah:

1. Besok kita ketemu di depan gerbang kampus pukul 10.00 WIB ya?
2. “Adek besok kalau gak nakal saya belikan coklat”
3. Akad dalam pernikahan dan jual beli
4. Akad dalam sebuah acara: rapat, agenda dakwah, dan belajar bersama (misal ditentukan pukul 09.00 berarti harus datang sesuai dengan kesepakatan. Kecuali memang ada udzur syar’i)
5. Akad dalam sebuah instansi tempat bekerja (misal harus berpakaian rapi, tidak boleh telat, dan tidak diperbolehkan ijin kecuali dalam kondisi mendesak)
6. Akad dalam syahadat dll.

Janji boleh tidak ditepati jika dalam kondisi berikut ini:

Pertama, janji tersebut termasuk janji yang tidak diperbolehkan syariat Islam, misal janji untuk membolos, janji untuk bekerja sama dalam mengerjakan soal ujian sekolah, transaksi-transaksi haram, dll. Hal ini berdasarkan kaidah syara’ : “Setiap sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram, maka hukumnya haram.”

Kedua, terdapat hal yang lebih baik dibandingkan dengan sumpah atau janji yang dibuatnya. Dalam hal ini berarti janji yan dibuatnya berupa janji untuk melakukan suatu hal yang sifatnya mubah atau sunnah, kemudian dalam satu waktu ada kewajiban yang harus ditunaikan. Membatalkan janji yang seperti ini diperbolehkan oleh syara’.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya insyaallah, aku tidak akan bersumpah atas suatu sumpah, lalu aku melihat yang lainnya lebih baik darinya melainkan aku akan memilih yang lebih baik dan aku membayar kaffaratnya – dalam sebuah riwayat disebutkan – dan aku membayar kaffarat atas sumpahku itu”

Ketiga, sakit, pingsan, dan dalam kondisi yang tubuh tidak mampu untuk menunaikan janji.

Keempat, mendadak hilang akal.

Kelima, cuaca ekstrim, hujan lebat, hujan badai, panas menyengat hingga membuat sakit kepala, hujan salju.

Keenam, ada kerabat yang meninggal, menjaga saudara/orang tua/istri yang sakit mendadak, dan hal semisal.

Jika tidak dalam kondisi di atas, maka membatalkan kesepakatan ataupun janji adalah hal tidak diperbolehkan. Karena membatalakan ataupun melanggarnya bisa melukai hati orang lain hingga bisa mendzalimi orang lain.

وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“… dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 57).

Dari penjelasan di atas, maka tidak diperkenan bagi kita untuk seenaknya melanggar janji yang sudah kita ucapkan. Meremehkannya sama halnya meremehkan hukum syara’, bahkan sama halnya meremehkan kewajiban itu sendiri. Allah pun menyebut orang-orang yang tidak menjaga amanah dan tidak menepati janji memiliki tanda-tanda orang munafik.

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga keadaan. Jika ia berkata ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya.” (HR. Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, hati-hati dengan janji yang terucap, sumpah yang terlafadz, dan akad muamalah lainnya yang sudah ditetapkan. Karena bisa jadi dari sumpah-sumpah yang kita ucapkan dan tidak kita tunaikan tersebut kita tuai dosa besar. Wallahu ‘alam bi ash shawwab.*/Meyra Kris Hartanti, SKM, ibu rumah tangga

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

sumber: Hidayatullah.com

Riba Haram dalam Segala Keadaan, Benarkah?

Pertanyaan:

Apakah setiap riba dalam bentuk apapun pasti diharamkan secara mutlak atas kedua belah pihak (pemberi piutang/rentenir dan yang berhutang)? Ataukah hanya diharamkan atas rentenir saja, sedangkan yang berhutang terbebas? Dan bila yang berhutang tidak berdosa, apakah hal ini hanya bila sedang membutuhkan kepada piutang saja, terjepit dan kemiskinan, ataukah kebutuhan tidak menjadi persyaratan bagi bolehnya berhutang dengan membayar riba? Bila dibolehkan bagi orang yang membutuhkan/terjepit, apakah bagi orang yang kebutuhannya tidak terlalu mendesak boleh untuk berhutang dari bank yang bertransaksi dengan bunga/riba 15 % setiap tahun –misalnya-. Dengan demikian, ia dapat berusaha dengan modal uang hutang tersebut, dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari bunga/riba yang ditetapkan, misalnya keuntungannya sebesar 50 % setiap tahun. Dengan cara ini, berarti ia berhasil memperoleh hasil dari piutang tersebut sebesar 35 % yang merupakan sisa keuntungan dikurangi bunga yang ditetapkan, sebagaimana pada kasus yang dicontohkan, ataukah riba tetap tidak boleh dengan cara apapun?

Jawaban:

Pertama: Riba diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati. Berdasarkan keumuman ayat-ayat dan hadits-hadits shahih yang-nyata mengharamkan riba. Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ . يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ البقرة: 275-276

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.”(Qs. al-Baqarah: 275-276).

Sahabat Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى. رواه مسلم

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran / timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba.” (HR. Muslim dalam kitabnya as-Shahih).

Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا الورق بالورق إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائبا بناجز. رواه البخاري ومسلم

“Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Janganlah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Dan janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan dengan kontan.”(HR. al-Bukhary dan Muslim).

Imam Ahmad dan al-Bukhary meriwayatkan, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلا بمثل، سواء بسواء، يدا بيد، فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء. رواه مسلم

“Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, harus sama dan sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba, pemungut dan yang memberikannya dalam hal ini sama.” (HR. Muslim).

Dan telah tetap dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasannya ia menuturkan,

لعن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: (هم سواء). رواه مسلم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (HR. Muslim).

Dan uang kertas yang berlaku pada zaman sekarang ini kedudukannya sama dengan emas dan perak yang berfungsi sebagai alat jual beli, oleh karena itu hukumnya adalah sama dengan hukum emas dan perak. Dengan sebab itulah, hendaknya setiap orang muslim untuk mencukupkan diri dengan hal-hal yang dihalalkan dan menjauhkan dirinya dari segala yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla. Dan Allah sungguh telah memberikan kelapangan kepada umat Islam dalam hal pekerjaan di dunia ini guna mengais rezeki. Sehingga, bisa saja orang yang fakir bekerja sebagai tenaga kerja (kuli) atau pelaku usaha dengan menggunakan modal orang lain dengan sistem mudharabah dengan perjanjian bagi hasil, misalnya fifty-fifty atau yang semisalnya dari keuntungan, dan bukan dari modal, tidak juga dengan jumlah / nominal uang tertentu dari keuntungan. Dan barang siapa yang tidak mampu berusaha padahal ia fakir, maka halal baginya untuk meminta-minta, menerima zakat, dan juga jaminan sosial.

Kedua: Tidak boleh bagi seorang muslim, baik kaya atau fakir untuk berhutang kepada bank atau lainnya dengan bunga 5 % atau 15 % atau lebih atau kurang dari itu. Karena itu adalah riba, dan termasuk dosa besar. Dan Allah telah mencukupkan baginya dengan jalan-jalan mengais rezeki yang dihalalkan sebagaimana disebutkan di atas, baik menjadi tenaga kerja di tempat orang yang memiliki pekerjaan atau mendaftarkan diri menjadi pegawai negeri pada jabatan yang halal, atau berdagang dengan modal orang lain dengan sistem mudharabah dengan bagi hasil dalam persentase tertentu, sebagaimana dijelaskan di atas.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.” Sumber: Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah 13/268-271, fatwa no. 3630

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA.
Artikel: www.PengusahaMuslim.com
Dipublikasikan oleh: KonsultasiSyariah.com

Bentuk Jual Beli yang Terlarang

Riba telah kita ketahui bersama bahayanya. Di antara jual beli terlarang adalah jual beli yang di dalamnya terdapat unsur riba. Transaksi leasing adalah salah satu di antara jual beli semacam ini. Tulisan kali adalah lanjutan ulasan sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang. Semoga Allah beri kemudahan untuk melanjutkan bahasan ini dalam kesempatan lainnya.

Kedua: Jual beli yang mengandung riba

Riba seperti telah kita ketahui bersama berarti tambahan, sebagaimana makna secara bahasa. Sedangkan secara istilah berarti tambahan pada sesuatu yang khusus.

Barang Ribawi

Tadi disebutkan mengenai riba adalah tambahan pada barang yang khusus. Ini menunjukkan bahwa riba tidaklah berlaku pada setiap tambahan. Dalam jual beli misalnya, kita menukar satu mobil dengan dua mobil, maka tidak ada masalah karena mobil bukan barang ribawi. Jika kita menukar kitab dengan dua kitab, juga tidak masalah. Namun dikatakan riba ketika ada tambahan dan terjadi pada barang yang diharamkan adanya sesuatu tambahan. Barang semacam ini dikenal dengan barang atau komoditi ribawi. Ada enam komoditi ribawi yang disebutkan dalam hadits adalah:

  1. Emas
  2. Perak
  3. Gandum halus
  4. Gandum kasar
  5. Kurma
  6. Garam

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim no. 1584).

Dalam hadits di atas, kita bisa memahami dua hal:

1. Jika barang sejenis ditukar, semisal emas dengan emas atau gandum dengan gandum, maka ada dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu: tunai dan semisal dalam takaran atau timbangan.

2. Jika barang masih satu ‘illah atau satu kelompok ditukar, maka satu syarat yang harus dipenuhi yaitu: tunai, walau dalam takaran atau timbangan salah satunya berlebih.

Apakah barang ribawi hanya terbatas pada enam komoditi di atas? Para ulama mengqiyaskannya dengan barang lain yang semisal. Namun mereka berselisih mengenai ‘illah atau sebab mengapa barang tersebut digolongkan sebagai barang ribawi.

Menurut ulama Hanafiyah dan Hambali, ‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya adalah barang yangditimbang, sedangkan empat komoditi lainnya adalah barang yang ditakar.

Menurut ulama Malikiyah, ‘illahnya pada emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar secara umumatau sebagai barang berharga untuk alat tukar, dan sebab ini hanya berlaku pada emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lainnya karena sebagai makanan pokok yang dapat disimpan.

Menurut ulama Syafi’iyah, ‘illah pada empat komoditi yaitu karena mereka sebagai makanan. Ini qoul jadid(perkataan terbaru ketika di Mesir) dari Imam Syafi’i. Sedangkan menurut qoul qodiim (perkataan yang lama ketika di Baghdad) dari Imam Syafi’i, beliau berpendapat bahwa keempat komoditi tersebut memiliki ‘illah yaitu sebagai makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Ulama Syafi’iyah lebih menguatkan qoul jadid dari Imam Syafi’i. Sedangkan untuk emas dan perak karena keduanya sebagai alat tukar atau sebagai barang berharga untuk alat tukar.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ‘illah pada empat komoditi adalah sebagai makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Sedangkan pada emas dan perak adalah sebagai alat tukar secara mutlak. Sehingga semisal emas dan perak karena memiliki ‘illah yang sama adalah mata uang logam atau pun kertas.

Pendapat terkuat dalam masalah ini –sebagaimana faedah dari guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsrihafizhohullah– adalah dengan menggabungkan ‘illah yang ada. Kita dapat menyimpulkan bahwa untuk emas dan perak karena sebagai alat tukar. Oleh karena itu, mata uang dimisalkan dengan emas dan perak. Sedangkan untuk empat komoditi lain, ‘illahnya karena mereka adalah makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Oleh karena itu, berlaku riba dalam beras dan daging karena keduanya adalah makanan yang dapat ditakar atau ditimbang. Sebagai contoh, jika kita menukar beras jelek dengan beras bagus, maka harus tunai dan salah satu tidak boleh berlebih dalam hal timbangan.

Macam-macam Riba

Adapun riba ada tiga macam:

1. Riba fadhel, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis karena adanya tambahan.

Contoh: Menukar emas 24 karat dengan emas 18 karat dengan salah satu dilebihkan dalam hal timbangan. Atau menukar uang Rp 10 ribu dengan pecahan seribu rupiah namun hanya 9 lembar.

2. Riba nasi-ah, yaitu riba yang terjadi pada barang yang sejenis atau beda jenis namun masih dalam satu sebab (‘illah) dan terdapat tambahan dalam takaran atau timbangan dikarenakan waktu penyerahan yan tertunda.

Contoh: Membeli emas yaitu menukar uang dengan emas, namun uangnya tertunda, alias dibeli secara kredit atau utang.

3. Riba qordh, yaitu riba dalam utang piutangan dan disyaratkan adanya keuntungan atau timbal balik berupa pemanfaatan. Seperti, berutang namun dipersyaratkan dengan pemanfaatan rumah dari orang yang berutang.

Contoh: Si B meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta pada si A, lalu disyaratkan mengembalikan Rp 1,2 juta rupiah, atau disyaratkan selama peminjaman, rumah si A digunakan oleh si B (pemberi utang). Hal ini  berlaku riba qordh karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”.

Jual Beli yang Mengandung Riba

Setelah kita memahami hal di atas, selanjutnya kita akan melihat beberapa contoh jual beli yang mengandung riba yaitu sebagai berikut:

1. Jual beli ‘inah

Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan oleh para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali supaya mendapat keuntungan dalam transaksi utang piutang.

Semisal, pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh si miskin. Karena saat itu ia belum punya uang tunai, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit sebesar 200 juta dengan pelunasan sampai dua tahun ke depan”.  Sebulan setelah itu, si empunya tanah katakan pada si miskin, “Saat ini saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai.”

Artinya di sini, si pemilik tanah sebenarnya melakukan akal-akalan. Ia ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.”

Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau hanya melihat dari akad secara lahiriyah, sehingga menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:

Pertama: Untuk menutup rapat jalan menuju transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, sama saja membolehkan kita menukarkan uang 200 juta dengan 170 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.

Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ

Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian” (HR. Abu Daud no. 3462. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 9: 242).

2. Jual beli muzabanah dan muhaqolah

Muzabanah adalah setiap jual beli pada barang yang tidak diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya ditukar dengan barang lain yang sudah jelas takarannya, timbangan atau jumlahya. Contohnya adalah menukar kurma yang sudah dikilo dengan kurma yang masih di pohon. Di sini terdapat riba karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang sejenis harus tunai dan takarannya harus sama.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ . وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلاً ، وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلاً

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muzabanah. Yang dimaksud muzabanah adalah seseorang membeli buah (yang masih di pohon) ditukar dengan kurma yang sudah dikilo atau membeli anggur yang masih di pohon ditukar dengan anggur yang sudah dikilo” (HR. Bukhari no. 2185 dan Muslim no. 1542).

Muhaqolah adalah jual beli dengan menukar gandum yang ada pada mayang (bulir) dengan gandum yang bersih hanya dengan mentaksir. Jika hal ini terjadi pada gandum, maka terdapat riba karena dalam tukar menukar gandum dengan gandum harus diketahui takaran yang sama.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli muhaqolah dan muzabanah” (HR. Bukhari no. 2187 dan Muslim no. 1536).

Namun ada bentuk jual beli yang dibolehkan padahal semisal dengan muzabanah dan muhaqolah yaitu yang dikenal dengan jual beli ‘aroya. ‘Aroya adalah menukar kurma basah dengan kurma kering di saat ada hajat (butuh). Ibnu Hajar berkata,

لَا تَجُوزُ الْعَرِيَّة إِلَّا لِحَاجَةِ صَاحِبِ الْحَائِطِ إِلَى الْبَيْعِ أَوْ لِحَاجَةِ الْمُشْتَرِي إِلَى الرُّطَبِ

Tidak boleh melakukan transaksi ‘aroya kecuali dalam keadaan hajat yaitu si penjual sangat butuh untuk menjual atau si pembeli sangat butuh untuk mendapatkan kurma basah” (Fathul Bari, 4: 393).

Para ulama menjelaskan bahwa jual jual beli aroyah diberi keringanan dengan beberapa syarat:

– Bisa ditaksir berapa kurma basah ketika akan menjadi kering.

– Yang ditukar tidak lebih dari lima wasaq (1 wasaq = 60 sho’, 1 sho’ = 4 mud, 1 sho’ = 2,176 kg, 1 wasaq = 130.56 kg).

– Dilakukan oleh orang yang butuh pada kurma basah.

– Orang yang menginginkan kurma basah tidaklah memiliki uang, hanya memiliki kurma kering dan ia bisa mentaksir. (Manhajus Salikin, 142).

3. Jual beli daging dengan hewan

Tidak boleh melakukan jual beli semacam ini. Yang mesti dilakukan, terlebih dahulu hewan tersebut bersih dari tulang, setelah itu boleh ditukar dengan daging. Jika terjadi kelebihan takaran atau timbangan, maka terjadilahriba fadhel. Contohnya adalah jual beli kambing yang masih hidup ditukar dengan daging kambing.

Dari Sa’id bin Al Musayyib, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli daging dan hewan” (HR. Malik dalam muwatho’nya 2: 655, Al Baihaqi 5: 296, Hakim dalam mustadroknya 5: 357. Al Baghowi mengatakan bahwa hadits Ibnul Musayyib meskipun mursal, namun dikuatkan dengan amalan sahabat. Imam Syafi’i sendiri menganggap hasan hadits mursal dari Sa’id bin Al Musayyib. Lihat Syarh As Sunnah 8: 77).

4. Jual beli kredit lewat pihak ketiga (leasing)

Jual beli secara kredit asalnya boleh selama tidak melakukan hal yang terlarang. Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan jual beli kredit  harus melihat beberapa kriteria.  Jika tidak diperhatikan, seseorang bisa terjatuh dalam jurang riba.

Kriteria pertama, barang yang dikreditkan sudah menjadi milik penjual (bank). Kita contohkan kredit mobil. Dalam kondisi semacam ini, si pembeli boleh membeli mobil tadi secara kredit dengan harga yang sudah ditentukan tanpa adanya denda jika mengalami keterlambatan. Antara pembeli dan penjual bersepakat kapan melakukan pembayaran, apakah setiap bulan atau semacam itu. Dalam hal ini ada angsuran di muka dan sisanya dibayarkan di belakang.

Kriteria kedua, barang tersebut bukan menjadi milik si penjual (bank), namun menjadi milik pihak ketiga. Si pembeli meminta bank untuk membelikan barang tersebut. Lalu si pembeli melakukan kesepakatan dengan pihak bank bahwa ia akan membeli barang tersebut dari bank. Namun dengan syarat, kepemilikan barang sudah berada pada bank, bukan lagi pada pihak ketiga. Sehingga yang menjamin kerusakan dan lainnya adalah bank, bukan lagi pihak ketiga. Pada saat ini, si pembeli boleh melakukan membeli barang tersebut dari bank dengan kesepakatan harga. Namun sekali lagi, jual beli bentuk ini harus memenuhi dua syarat: (1) harganya jelas di antara kedua pihak, walau ada tambahan dari harga beli bank dari pihak ketiga, (2) tidak ada denda jika ada keterlambatan angsuran. (Faedah dari islamweb.net)

Jika salah satu dari dua syarat di atas tidak bisa dipenuhi, maka akan terjerumus pada pelanggaran. Pertama, boleh jadi membeli sesuatu yang belum diserahterimakan secara sempurna, artinya belum menjadi milik bank, namun sudah dijual pada pembeli. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.

Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)

Atau bisa jadi terjerumus dalam riba karena bentuknya sama dengan mengutangkan mobil pada pembeli, lalu mengeruk keuntungan dari utang. Padahal para ulama berijma’ (bersepakat) akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang.

5. Jual beli utang dengan utang

Bentuknya adalah seseorang membeli sesuatu pada yang lain dengan tempo, namun barang tersebut belum diserahkan. Ketika jatuh tempo, barang yang dipesan pun belum jadi. Ketika itu si pembeli berkata, “Jualkan barang tersebut padaku hingga waktu tertentu dan aku akan memberikan tambahan”. Jual beli pun terjadi, namun belum ada taqobudh (serah terima barang). Bentuk jual beli adalah menjual sesuatu yang belum ada dengan sesuatu yang belum ada. Dan di sana ada riba karena adanya tambahan.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli utang dengan utang” (HR. Ad Daruquthni 3: 71, 72. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if sebagaimana dalam Dho’iful Jaami’ 6061). Namun makna hadits ini benar dan disepakati oleh para ulama, yaitu terlarang jual beli utang dengan utang.

Karena sebab inilah dalam jual beli salam (uang dahulu, barang belakangan), berlaku aturan uang secara utuh diserahkan di muka, tidak boleh ada yang tertunda.

Demikian ulasan mengenai jual beli yang mengandung riba. Masih ada beberapa bentuk jual beli yang terlarang yang moga bisa dilanjutkan dalam kesempatan yang lain dengan izin Allah.

Wallahu waliyyut taufiq.

 

sumber: Rumaysho.com

Bolehkah Kita Memakai Kartu Kredit?

 

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Di zaman serba canggih ini, memiliki kartu kredit agak sulit dihindari. Rasanya lucu dan tidak masuk akal kalau di zaman seperti ini kita hidup tanpa kartu kredit. Apalagi bila kita tinggal di negara maju, dimana semua kebutuhan belanja kita sehari-hari lebih dimudahkan bila membayar dengan kartu kredit.

Tetapi sebagai muslim tentu kita diharamkan bermuamalah dengan cara riba. Dan setahu saya, kartu kredit itu tidak bisa dilepaskan dari riba. Sebab biar bagaimana pun namanya perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit itu pasti ingin dapat keuntungan. Dan keuntungannya tidak lain dari hasil riba.

Jadi bagaimana kita menyatukan dua kepentingan ini, apakah kita harus melepaskan kartu kredit 100% karena haram? Ataukah kita boleh menggunakannya dengan alasan darurat? Atau ada alternatif lain lagi?

Mohon arahan dan bimbingannya ya ustadz. Syukran terima kasih.

Wassalam

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang Anda sebutkan memang ada benarnya, bahwa di zaman yang sudah canggih dan modern ini, buat sebagian kita khuhusnya yang tinggal di perkotaan atau di negara-negara maju, memang agak kesulitan untuk hidup tanpa kartu kredit.

Hal itu karena sistem pembayaran dengan menggunakan uang tunai sebagaimana dalam belanja konvensional sudah mulai ditinggalkan. Pembayaran di berbagai tempat, seperti di pusat perbelanjaan, lebih sering menggunakan sistem kartu kredit. Termasuk salah satunya untuk menginap di hotel dan memesan tiket penerbangan.

A. Prinsip Berbelanja Dengan Kartu Kredit

Yang pertama sekali sebelum kita bicara tenang hukum berbelanja dengan kartu kredit, kita harus tahu dulu duduk masalah dan prinsip dasarnya. Ada beberapa hal penting yang harus kita ketahui, antara lain :

1. Belanja Dengan Berhutang

Kalau kita telaah secara mendalam, pada dasarnya ketika kita berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, kita melakukan jual-beli secara hutang. Maksudnya, kita tidak membayar belanjaan kita, tetapi kita suruh pihak ketiga untuk membayarkan belanjaan kita. Pihak ketiga disini tidak lain adalah perusahaan yang menerbitkan kartu kredit kita.

Tentu cara belanja seperti ini berbeda dengan yang umumnya kita lakukan sehari-hari di pasar-pasar tradisional, dimana kita biasanya membayar belanjaan secara tunai.  Pembayaran ini lebih sering menggunakan uang kertas, tetapi bisa juga menggunakan kartu debit (ATM), dimana kita membayar dengan uang tabungan kita yang tersimpan di bank.

Dengan kartu kredit, sebenarnya kita berhutang. Dan istilah kredit pada hakikatnya bermakna hutang. Mungkin seharusnya istilah diganti menjadi kartu hutang.

Dalam syariat Islam, khususnya fiqih muamalah, hukum berbelanja atau jual-beli dengan cara hutang memang diperkenankan dan tidak terlarang.

2. Berhutang Kepada Pihak Ketiga

Namun hutang kita ini bukan kepada penjual atau pemilik barang, tetapi kita berhutang sejumlah uang kepada pihak ketiga, yaitu perusahaan yang menerbitkan kartu kredit.

Ketika kita menggesekkan kartu kredit saat berbelanja, yang terjadi sesungguhnya adalah kita pinjam uangnya pihak ketiga ini untuk membayarkan belanjaan kita. Pihak penjual barang sendiri sebenarnya tidak pernah memberikan piutang kepada kita, sebab secara langsung pihak ketiga akan langsung membayarkan belanjaan kita secara tunai.

Dalam pandangan syariat Islam, hukum pinjam meminjam uang pada dasarnya dibenarkan dan diperbolehkan. Tentu saja selama tidak melanggar ketentuan syariah.

3. Bunga Kompensasi Pinjam Uang

Yang jadi masalah dari pembayaran menggunakan jasa pihak ketiga ini adalah dalam masalah kompensasi bunga atas hutang uang.

Meski ada ragam ketentuan yang saling berbeda antara satu perusahaan dengan perusahan lain, namun secara prinsip bahwa setiap hutang itu harus ada kompensasinya, berupa bunga pinjaman.

Asal tahu saja, bahwa bunga kartu kredit adalah bunga yang tertinggi di dunia, yaitu sekitar 2% hingga 3% persen per bulan. Jadi kalau dikonversikan dengan tahun, maka bunga kartu kredit itu setara dengan 30% hingga 40% per tahun. Besar sekali bukan?

Dan dari sudut pandang hukum syariah, justru disinilah letak titik masalahnya. Bunga uang pinjaman itu haram, baik sedikit atau besar. Kalau bunga sedikit saja sudah haram, apalagi bila bunganya besar, tentu jauh lebih haram lagi.

Yang menjadikan belanja menggunakan kartu kredit ini halal atau haram adalah ‘illat adanya bunga atas pinjamannya. Bila hutang kepada pihak ketiga itu mengharuskan adanya bunga, jelas hukumnya haram. Sedangkan bila tidak pakai bunga, maka sesungguhnya ‘illat keharamannya pun tidak ada, alias halal hukumnya.

Yang jadi pertanyaan adalah, mana ada perusahaan yang menerbitkan kartu kredit dan memberikan pinjaman berjuta-juta, tetapi tidak mau menarik bunga dari kliennya? Justru inti dari bisnis kartu kredit adalah bagaimana bisa menarik bunga. Kalau perlu, bunganya bisa berbunga lagi dan lagi.

4. Jebakan Untuk Terus Berhutang

Logika dasarnya, ketika kita berhutang dan sudah membayar lunas hutang itu, maka selesailah urusan kita dengan pihak yang memberi hutang.

Tetapi yang menjadi prinsip dasar dari bisnis ini adalah bagaimana agar tiap klien ini ketagihan untuk terus berhutang dan berhutang, tanpa berhenti dan tanpa berhitung banyak.

a. Banyak Tawaran Diskon Yang Menggiurkan

Banyak sekali tawaran untuk berbelanja dengan menggunakan kartu kredit, salah satunya adalah tawaran diskon yang amat menggiurkan.

Sebutlah misalnya aslinya harga barang 5 juta, tetapi kalau bayarnya pakai kartu kredit tertentu bisa dapat potongan hingga 40%. Jadi discountnya sampai dua juta. Menggiurkan, bukan?

Contoh lain yang benar-benar terjadi dan saya alami sendiri. Ketika membeli tiket pesawat ke Cairo, saya mendapatkan di situs salah satu maskapai harga yang murah, yaitu hanya 800 USD. Cuma saya harus bayar pakai kartu kredit. Berhubung saya tidak punya kartu kredit, maka saya datangi langsung kantor perwakilan maskapai itu. Maksudnya saya mau bayar tunai pakai uang dolar.

Ternyata harga tiket di kantor perwakilan itu berbeda dengan di situsnya, mereka minta untuk nomor penerbangan yang sama 1.200 USD. Lebih mahal 400 USD atau lebih dari 4 juta rupiah. Saya berargumentasi bahwa saya sudah pesan di situs mereka lengkap dengan kode pemesanannya. Namun petugas di kantor itu bilang, memang para penumpang lebih dianjurkan untuk bayar pakai kartu kredit saja ketimbang bayar pakai uang tunai. Selisihnya sampai empat juta lebih.

Bagaimana orang tidak hijrah ke kartu kredit kalau begini caranya?

b. Hutang Sebelumnya Boleh Tidak Dilunasi

Oleh karena itulah strategi yang dimainkan adalah membolehkan klien untuk berhutang lagi, meski hutang yang sebelumnya belum terbayar lunas. Sebagaimana kita ketahui bahwa tiap jenis kartu kredit ada limitnya, misalnya 5 juta per bulan. Berarti dalam sebulan, pemegang kartu kredit hanya bisa belanja maksimal 5 juta saja. Lebih dari itu disebut dengan over limit.

Adanya over limit ini seharusnya bermanfaat, yaitu untuk membatasi klien agar tidak berlebihan dalam berbelanja melebihi kemampuannya dalam membayar. Sayangnya, dalam tagihan bulanan disebutkan bahwa klien tidak harus melunasi semua hutangnya yang 5 juta itu. Cukup dibayarkan 5% saja, maka untuk berikutnya sudah boleh berhutang lagi sebesar 5 juta.

Maka hutangnya jadi semakin besar, karena hutang yang sebelumnya tidak harus dilunasi seluruhnya. Kalau pada bulan-bulan berikutnya, klien itu hanya membayar cicilan minimal saja, lalu dia terus menerus berbelanja sampai mentok ke limit teratas, maka dalam waktu singkat hutangnya akan semakin bertambah, dan bunganya pun akan menjadi berkali-kali lipat jumlahnya.

Disinilah terjadi apa yang orang sebut dengan bunga berbunga.

B. Hukum Berbelanja Dengan Kartu Kredit

Berbelanja menggunakan kartu kredit bisa saja hukum haram, kalau sampai harus bayar bunga, tetapi kalau bisa terhindar dari bunga, maka ‘illat keharamanya tidak ada dan hukumnya kembali ke hukum asalnya, yaitu halal.

1. Hukumnya Haram

Namun karena yang terjadi umumnya dalam prakten sehari-hari ketika masyarakat menggunakan kartu kredit selalu terkena bunga yang ribawi, maka kita sebut saja bahwa hukum penggunaan kartu kredit ini asalnya adalah haram.

Alasannya, karena dari hampir semua kasus yang selalu terjadi, ternyata hampir setiap pengguna kartu kredit pasti akan terkena bunga. Sebab umumnya mereka tergiur untuk berhutang dan tidak berusaha untuk melunasinya segera, sehingga lewat dari tanggal jatuh tempo.

2. Hukumnya Halal

Namun kalau klien menggunakan kartu kredit dengan hati-hati, begitu jatuh tanggal penagihan dia segera melunasi 100% semua hutangnya, maka umumnya perusahaan yang mengeluarkan kartu kredit tidak mengenakan bunga apapun alias tanpa bunga.

Syaratnya, pembayaran dilunasi 100% segera setelah tanggal penagihan dan sebelum tanggal jatuh tempo.

Sebagimana kita ketahui bahwa ada istilah tanggal tagihan dan tanggal jatuh tempo. Tanggal tagihan adalah tanggal dimana tagihan selama 1 bulan terakhir dicetak dan dikirimkan kepada klien. Sedangkan tanggal jatuh tempo adalah batas waktu pembayaran tagihan kartu kredit. Tanggal tagihan dan tanggal jatuh tempo biasanya memiliki selisih waktu antara 10 hingga 20 hari.

Maka agar kita tidak terbawa dengan traksaksi ribawi yang merupakan dosa besar, kalau tetap harus pakai kartu kredit dalam berbelanja, maka bayarkan semua hutang tanpa kecuali setiap datang tagihan. Usahakan jangan sampai ada hutang yang mengendap melewati tanggal jatuh tempo.

Sebab kelalaian ini otomatis melahirkan hutang berbunga. Dan sekaligus juga membuka pintu dosa besar, yaitu riba nasi’ah, yang dosa sama dengan berzina bersama ibu kandung sendiri. Hal itu diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya :

اَلرِّبَا ثَلاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ

Dari Abdullah bin Masud RA dari Nabi SAW bersabda,”Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Al-hakim)

Semoga kita selalu dilindungi Allah SWT dari dosa-dosa yang tidak kita ketahui dan dosa-dosa yang kita ketahui. Dan semoga Allah SWT selalu menambah ilmu kita, khususnya ilmu tentang halal haram dalam bermuamalat. Amien.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

 

 

sumber: Rumah Fiqih

Diberi Kelebihan Saat Pembayaran Hutang, Apakah Tetap Riba Hukumnya?

Bidang muamalat

Assalamualaikum wr wb.

Saya mau tanya, teman saya meminjam uang sebesar 5 juta kepada saya untuk keperluan yang mendesak. Dia berjanji akan memberikan kelebihan pengembalian sehingga menjadi 6 juta.

Apakah kelebihan uang pengembalian tersebut termasuk riba? Perlu diketahui bahwa saya sama sekali tidak meminta kelebihan itu. Dan tanpa dijanjikan kelebihan tersebut pun, saya akan tetap meminjamkannya kepada teman saya itu.

Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Transaksi pinjam uang yang Anda lakukan dengan teman Anda itu memang 100% masuk dalam kategori riba nasi’ah yang diharamkan Allah SWT. Riba inilah yang sejak 14 abad lalu diperangi Allah SWT kepada siapa saja yang melakukannya.

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ 

Jika kamu tidak meninggalkan riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqarah : 278-279)

Dan pelaku riba ini, baik pihak yang meminjamkan uang ataupun pihak yang meminjam uang, sama-sama mendapatkan laknat dari Rasulullah SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama. (HR. Muslim)

Tidak Minta Bunga Tetapi Diberi

Mungkin Anda bertanya, kenapa masih dibilang riba? Bukankah Anda tidak minta bunga? Anda hanya diberi dan tidak minta, tidak maksa dan juga tidak sedang memeras teman sendiri. Bunga itu secara ikhlas diberikan oleh teman Anda tanpa diminta, kok masih dianggap riba?

Logika ini memang seringkali digunakan oleh mereka yang masih belum memahami secara lengkap hakikat riba. Seolah-olah letak titik keharaman riba (‘illat) semata-mata terdapat pada unsur pemerasan, penindasan dan mengambilan harta orang lain secara zalim.

Padahal logika itu kurang tepat alias keliru. Memang benar bahwa salah satu hikmah Allah SWT mengharamkan praktek riba demi untuk menghilangkan pemerasan, penindasan dan pengambilan harta orang secara zalim. Tetapi ini hanya sekedar hikmah. Dan hikmah bukan ‘illat. Artinya bila hikmah itu ada ataupun tidak ada, sama sekali tidak mengubah hukum.

Sebagai ilustrasi biar lebih mudah, salah satu hikmah shalat adalah tercegahnya kita dari perbuatan keji dan munkar. Lalu apakah bila kita sudah terhindar dari melakukan perbuatan keji dan munkar, lantas kita jadi tidak wajib mengerjakan shalat?

Tentu saja tetap wajib. Sebab adanya hikmah atas suatu ibadah bukan menjadi sebab ada atau tidaknya kewajiban ibadah itu.

Ilustrasi lain biar lebih jelas lagi, salah satu hikmah diharamkannya minum khamar agar jangan mabuk yang bisa mengakibatkan kehancuran. Tetapi bisa saja seseorang minum khamar seteguk dua teguk dan tidak mabuk. Lalu apakah  minum khamar tanpa mabuk itu menjadi halal?

Tentu saja jawabnya tidak.

Hal yang sama berlaku pada keharaman zina dalam syariat Islam. Meskipun pasangan itu menyatakan saling cinta dan ikhlas atas apa yang mereka lakukan, tetapi hukumnya tetap haram. Meski wanita itu rela kehilangan kegadisannya dan laki-lakinya juga rela kehilangan keperjakaannya, katanya lantaran mereka lakukan demi cinta suci, tetap saja hukumnya haram.

Sebab haramnya zina tidak ada kaitannya dengan pemaksaan, pelecehan wanita atau penodaan kehormatan. Hakikat haramnya zina adalah terjadinya hubungan seksual di luar nikah, tidak ada urusannya dengan ikhlas atau tidka ikhlas.

Maka demikian pula dengan kasus riba. Salah satu hikmah diharamkannya riba adalah agar terhindar dari pengambilan harta orang lain secara zalim. Lantas kalau pihak yang pinjam itu dengan segala keikhlasan dan kerelaan bersedia memberikan uang kelebihan pada saat pengembalian pinjaman, apakah lantas hukumnya menjadi boleh?

Tentu saja jawabnya juga tidak. Sebab ‘illat keharaman bunga bukan terletak pada ikhlas atau tidak ikhlas, tetapi pada adanya kelebihan pengembalian itu sendiri. Terlepas dari apakah kelebihan itu diberikan dengan ikhlas atau tidak ikhlas.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

Ahmad Sarwat, Lc., MA

 

sumber: Rumah Fiqih