Selembar Fotokopi Injil Barnabas Rp14 M

Naskah kuno berusia 1.500 tahun yang diyakini sebagai versi asli Injil Barnabas, terus mengundang perhatian dunia. Bahkan, fotokopi satu lembar manuskrip jadul tersebut bisa dihargai hingga 1,5 juta dolar AS (sekitar Rp 14 miliar).

Naskah kuno tersebut ditulis dalam bahasa Aramaic yang diyakini sebagai bahasa yang dipakai Bunda Mariam, ibunda Yesus Kristus. Naskah itu ditulis dengan tinta emas dalam lembaran berbahan kulit. Di dalamnya disebutkan berbagai hal yang bertentangan dengan doktrin Kekristenan pada umumnya.

Pada bab 41 tertulis lafal syahadat dan pengakuan terhadap kerasulan Muhammad SAW. “Ketika Adam berbalik, ia melihat di atas pintu gerbang surge tertulis kalimat ‘Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya’.”

Selain itu, Injil Barnabas tersebut juga menyebutkan Yesus tidak pernah disalib. Yesus juga dikatakan telah memprediksi kedatangan Muhammad.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Turki, Ergrul Gunay mengatakan, manuskrip itu bisa jadi merupakan versi asli dari Injil. Dibeberkan Gunay, Vatikan telah mengajukan permintaan resmi pada pihaknya untuk melihat manuskrip yang mengundang kontroversi itu.

Sementara Media Iran, Basij Press melaporkan, adanya upaya-upaya dari kaum Zionis dan pemerintahan negara-negara Barat untuk mensabotase isi manuskrip itu. Namun, Pemerintah Turki merespon cepat dengan menerjunkan militer untuk menjaga keamanan manuskrip.

Banyaknya pihak yang merasa berkepentingan membuat nilai naskah itu meroket. Media Inggris Daily Mail menaksir harga manuskrip itu bisa mencapai 14-28 juta dolar AS. Salinan fotokopi per lembarnya saja bisa dihargai hingga 1,5 juta dolar AS.

 

sumber: Republika Online

Misteri Injil Kuno Barnabas Mengguncang Dunia

Oleh: Deden Mauli Darajat*

Munculnya kitab kuno di Turki pada Februari 2012, yang diyakini sebagai Injil Barnabas, membuat perdebatan di dunia internasional makin panas. Namun, perdebatan masih berkutat soal klaim benar tidaknya kitab itu sebagai Injil Barnabas. Adu pendapat belum masuk ke ranah isi kitab yang memang belum diterjemahkan oleh pemerintah Turki.

Kepala Direktorat Jenderal Museum dan Aset Budaya Turki, Zulkuf Yilmaz, mengakui memang ada satu kitab kuno yang masuk ke Museum Etnografi Turki pada Februari 2012. Kitab itu diberikan militer ke museum, setelah selama 12 tahun tersimpan di dalam lemari besi di kantor Pengadilan Tinggi Ankara.

Zulkuf berjanji, direktoratnya akan segera menganalisis isi kitab itu. Rencananya, kitab setebal 40 lembar itu akan dikirim ke Laboratorium Pusat Bahasa Turki untuk diteliti lebih lanjut. “Di laboratorium itu akan dianalisa dan diterjemahkan isinya,” ungkap Zulkup kepada televisi Hurriyet.

Injil Barnabas versi Turki ini ditulis di atas kulit hewan yang berwarna cokelat kehitaman. Penulisnya menggunakan tinta dari emas dan isinya dalam bahasa Aramaic, bahasa yang diperkirakan bahasa ibu Yesus Kristus. Umum kitab ini diduga mencapai 1.500 tahun.

Ada tiga versi Injil Barnabas, yakni Injil Barnabas berbahasa Italia, Injil Barnabas berbahasa Spanyol, dan terakhir yang ditemukan di Turki. Manuskrip Injil Barnabas versi Spanyol hilang dari peredaran, namun sebagian teksnya muncul di transkrip pada abad ke-18.

Munculnya Injil Barnabas di Turki yang ternyata berbahasa Aramaic menjadi penting karena bisa jadi inilah kitab yang lebih tua dari dua kitab sebelumnya. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Turki, Ertugrul Gunay, juga percaya kalau kitab Bernabas asal Turki  ini adalah versi asli Injil Barnabas.

Dari dua versi itu terungkaplah versi lain soal Yesus Kristus dan munculnya Islam serta Nabi Muhammad SAW. Itu mengapa Injil Barnabas disebut ajarannya lebih pararel dengan Islam.

Dalam analisisnya, majalah Y-Jesus asal Amerika Serikat, menyatakan isi teks secara efektif menyangkal keilahian Yesus dan menolak konsep trinitas, kepercayaan kristen yang mendefinisikan Allah dalam tiga pribadi, Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

Laporan itu juga menyatakan dalam teks, Yudas Iskariot disebut sebagai orang yang mati disalib dan bukan Yesus. Sementara dalam Perjanjian Baru, Yudas disebut mengkhianati Yesus.

Perdebatan soal isi dua kitab Barnabas sebelumnya pun kembali marak setelah Injil Barnabas Turki muncul. Phil Lawler, editor Catholic World News (CWN), menyatakan, kitab Barnabas Turki dapat saja diterima. Namun, karena manuskrip itu belum diterjemahkan, tidak ada yang tahu persis apa isi dari kitab itu.

Phil mengatakan, satu media Iran, Basij, melaporkan penemuan Kitab Barnabas Turki ini. Oleh Basij disebutkan, Injil Barnabas Turki ditulis pada abad ke-5 atau ke-6 Masehi. Phil membantah keras pendapat ini. Argumen yang dia ajukan adalah, Barnabas hidup bersamaan dengan Yesus Kristus dan termasuk 12 muridnya.

“Ini pasti ditulis oleh seseorang yang mengaku mewakili Barnabas,” kata Phil, seperti dikutip Daily Mail.

Ramalan tentang datangnya Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam kitab Barnabas sebelumnyna juga ia sangkal. Sebab, menurut Phil, aspek penanggalan manuskrip itu sangatl penting. “Jadi apa yang Turki miliki sekarang adalah sebuah dokumen tua, tetapi kami meragukan kitab yang saat ini diperdebatkan,” kata Phil.

Teolog Turki, Omer Faruk Harman, mengatakan, untuk mengungkap berapa usia kitab Barnabas Turki itu perlu diadakan riset mendalam. “Scan ilmiah dari kitab mungkin satu-satunya cara untuk mengungkapkan berapa usia sebenarnya,” ujarnya kepada Todays Zaman.

Analis terorisme dan pengamat Iran dari Christian Broadcasting Network, Erick Stakelbeck, mengatakan kemunculan Injil Barnabas Turki adalah akal-akalan Iran. Menurut dia, pemberitaan Injil Barnabas oleh media Iran, Basij  adalah bentuk propaganda rezim Iran terhadap umat Kristen.

 

*Kontributor Republika di Ankara, Turki

Kenapa Imam Syafii Digelari Pembela Sunnah?

Para sejarawan mengatakan bahwa Imam Al-Syafi’i adalah satu-satunya Imam Madzhab yang menyebrakan madzhabnya sendiri. Yaitu ia menyebarkan madzhab sendiri dengan perjalanan-perjalanan yang ia lakukan untuk menuntut ilmu.

Sampai pada satu daereh, beliau memulai studinya dan juga mengajarkan. Terlihat ketika beliau belajar di Hijaz kepada Imam Malik (179 H), lalu mulai menggantikan posisi Imam Malik untuk menjadi pengajar Fiqih di Masjid Nabawi.

Tidak lama berselang, muncul keinginannya untuk mempelajari fiqih Ahl Al-Iraq, yaitu fiqih madzhab-nya Imam Abu Hanifah (150 H). Sampai di Iraq beliau menghabiskan waktunya untuk mempelajari Fiqih Hanafi dari “bapak”[1]-nya, yaitu Imam Muhammad bin Hasan (189 H) yang merupakan murid langsung Imam Abu Hanifah.

Di Baghdad, sang Imam bukan hanya menuntu ilmu dari kedua sahabat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan juga Ya’kub Abu Yusuf (184 H). Beliau juga menyebarkan pendapatnya pribadi dan menuliskannya dengan mendiktekannya kepada salah seorang muridnya di Baghdad, yaitu Ibnu Shobah Al-Za’faroni (259 H).

Setelah Baghdad, beliau mulai lagi rihlah (perjalanan) menuntut ilmu ke Mesir guna mempelajari Fiqih-nya Imam Al-Laits bin Sa’d (175 H), yang merupakan sahabat Imam Malik bin Anas. Di Mesir, beliau juga menyebarkan madzhabnya yang kemudian muridnya Al-Rabi’ bin Sulaiman (270 H) menjadi penulis bagi kitabnya Imam Syafi’i.

Nah, ketika di Baghdad itulah Imam Syafi’i banyak berdiskusi dengan para ulama madzhab Hanafi, termasuk bapaknya yaitu Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani perihal kehujahan hadits Ahad. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingkatannya.

Imam Syafi’i Nashiru Sunnah (Pembela Sunnah)

Di sinilah kemudian beliau mendapatkan gelar Nashiru Al-Sunnah(Pembela Sunnah). Apa sebab sehingga Imam Al-Syafi’i digelari sebagai Pembela Sunnah?

Kita harus lihat kembali apa yang dilakukan oleh para ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal hadits ahad untuk dijadikan sebagai landasan dalil bagi mereka. Sudah masyhur bahwa madzhab Imam Abu Hanifah sangat ketat sekali menerima sebuah hadits dalam masalah-masalah fiqih madzhab mereka.

Mereka tidak menerima hadits kecuali jika itu diriwayatkan oleh orang banyak, artinya hadits itu haruslah mutawatir. Tidak diriwayatkan hanya satu orang, dengan asumsi bahwa perawi itu bisa saja bohong melihat kondisi sosial dan politik ketika itu.

Kalau pun ada hadits ahad, mereka hanya menerima jika itu diriwayatkan oleh para ulama ulama Iraq yang masyhur dan dipercaya (Tsiqah), yaitu guru-guru mereka, seperti Ibrahin Al-Nakho’i, Hammad bin Sulaiman, atau juga Alqamah.

Karena kriteria yang ketat inilah membuat perbendaharaan hadits kaum muslim ketika itu sangat dikit sekali, sehingga wajar saja akhirnya banyak yang menggunakan ro’yu (logika) dalam memutuskan sebuah hukum perkara, dan itu yang dilakukan oleh madzhab Imam Abu Hanifah.

Nah, ketika Imam Syafi’i datang ke Baghdad, beliau mendebati dan membantah semua argument para ulama madzhab Imam Abu Hanifah perihal penolakan mereka terhadap hadits Ahad.

Dan argument-argumen Imam Syafi’i ini termaktub dalam kitabushul-nya, yaitu kitab Al-Risalah. Setidaknya ada 4 argumen sang Imam perihal pembelaannya terhadap kehujahan hadits Ahad di depan Jemaah Imam Abu Hanifah:

  1. Dalam dakwahnya, Nabi saw mengutus sahabat beliau untuk menyebarkan Islam ke pelosok Jazirah yang jumlahnya tidak sampai derajat tawatur[2] bahkan hanya satu orang utusan.Artinya hadits yang disampaikan oleh utusan sahabat itu adalah hadits Ahad. Kalau sedanianya harus dengan hadits mutawatir,pastilah Nabi saw akan mengirim lebih banyak lagi. Tapi Nabi hanya mengirim dalam jumlah yang tidak banyak, bahkan hanya satu orang seperti Muadz yang diutus ke Yaman.
  2. Dalam sejarahnya, Nabi saw memutuskan perkara peradilan pidana dalam hal qishash itu hanya dengan kesaksian 2 orang. Dan 2 orang bukanlah jumlah tawatur, akan tetapi Nabi saw menerima kesaksian mereka.
  3. Dalam haditsnya, Nabi saw memerintahkan bagi siapa yang mendengar hadits darinya untuk disampaikan kepada yang lain walaupun hanya satu orang. Dan beliau memuji mereka yang melakukan hal serupa. Kalau memang hadits ahad itu tidak bisa dijadikan dalil, pastilah Nabi saw mensyaratkan orang banyak untuk menyamoaikan hadits, karena pastinya banyak hadits-hadits hukum yang disampaikan beliau. Tapi Nabi saw tidak mensyaratkan itu.
  4. Setelah Nabi saw wafat, para sahabt ridhwanullah ‘alaihim juga meriwayatkan hadits dan menyampaikannya ke pelosok negeri dengan jalur seorang diri. Kalau seandainya harus dengan jumlah banyak, pastilah mereka mensyaratkan itu, tapi nyatanya tidak.

Ini adalah di antara Hujjah Imam Syafi’i yang beliau tuliskan dalam kitabnya Al-Risalah (hal. 401), sebagai bentuk pembelaan terhadap hadits Nabi saw sehingga tidak terabaikan.

Al-Risalah Kitab Ushul dan Mushthalah Hadits

Bahkan bukan hanya perihal ihtijaj (menjadikan argument) dengan hadits Ahad saja. Beliau juga menuliskan bagaimana sebuah hadits ahaditu diterima dan dikatakan sah sebagai hadits sehingga bisa dijadikan sandaran dalil.

Yang kalau dalam ilmu musthalah hadits sekarang dikatakan sebagai kriteria penerimaan hadits shahih. Maka tidak heran tidak sedikit ulama yang mengatakan bahwa kitabnya, Al-Risalah ini juga bisa disebut sebagai kitab musthalah hadits, karena di dalamnya mencakup banyak permasalah materi musthlaha hadits, terutama dalam kriteria menerima hadits tersebut.

Berkat upaya beliau inilah, sehingga muslim kembali punya perbendaharaan yang banyak terhadap hadits. Mereka tidak lagi harus menimbang apakah hadits itu diriwayatkan oleh banyak atau sedikit. Yang penting itu diriwayatkan oleg tsiqah dari tsiqah juga, tidak peduli berapa jumlahnya.

Kalau hanya hadits mutawatir yang diterima, pastilah umat muslim sangat sulit sekali mencari pegangan yang bisa dijadikan sandaran dalam ibadah-badaha mereka. Karena bagaimanapun hampir semua ibadah orang muslim itu sandarannya adalah hadits ahad, melihat bahwa hadits mutawatir memang sangat sedikit sekali jumlahnya.

Itu dia kenapa Imam Syafi’i mendapatkan gelar Nashiru Sunnah.

Jadi wajar saja kalau Imam Ahmad bin Hanbal (241 H) sering mendoakan Imam Syafi’i dan memujinya. Salah satu pujian Imam Ahmad yang masyhur ialah:

كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس

“Imam Syafi’I itu seperti matahri bagi dunia, dan seperti kesehatan bagi manusia (semua orang membutuhkannya)” (Tarikh Baghdad 2/66)

Wallahu a’lam

[1] Beberapa ulama menyebut kalau Imam Muhammad bin Hasa adalah ayah angkat Imam Al-Syafi’i. karena ketika di Baghdad, semua kebutuhan Imam Al-Syafi’i ditanggung oleh Imam Muhammad bin Hasan, dari mulai tempat tinggal sampai kitab-kitab madzhab ulama. Bahkan kepergiannya ke Mesir itu juga dibiayai oleh Imam Muhammad bin Hasan, yang mana beliau memang sangat berkecukupan karena posisinya sebagai penasehat Abbasiah.

[2] Jumlah perawi sampai hadits itu dikatakan sebagai hadits mutawatir ialah minimal 10 orang. Walaupun ada juga ulama hadits yang tidak membatasi jumlah minimal, yang terpenting ialah diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin ada kebohongan atau pemalsuan di dalamnya.

Ahmad Zarkasih, Lc

 

sumber: Rumah Fiqih Indonesia

Bermadzhab, Untuk Apa?

Ketika kita membicarakan madzhab-madzhab fiqih, sejatinya kita tidak hanya membicarakan Imam Abu Hanifah sendiri, juga tidak Imam Malik bin Anas sendirian sebagai “Founder” madzhab al-Malikiyah, tidak juga membicarakan Imam al-Syafi’i sendiri saja, dan bukan juga kita membicarakan fatwa-fatwa Imam Ahmad saja sebagai “ikon” madzhab al-Hanabilah.

Akan tetapi, bukan beliau-beliau yang kita bicarakan, melainkan kita sedang membicarakan sebuah institusi besar yang diampuh oleh orang-orang dengan keilmuan luas yang mumpuni dalam bidang syariah dan hukum, serta tentara-tentara akademisi yang militant dalam melakukan penelitian hukum serta menggali illah dan hikam dari setiap hukum dan dalil yang ada, baik itu ayat atau juga hadits.

Mereka yang bekerja untuk istitusi madzhab bukan dalam waktu harian atau bulanan, akan tetapi mereka bekerja dalam waktu tahunan bahkan jauh lebih panjang dari sekdar tahunan. Bukan hanya itu, pekerjaan mereka pun bersambung, tidak hanya berhenti pada satu masa; apa yang dikerjakan di masa sebelumnya terus dikaji dan disempurnakna oleh para punggawa-punggawa madzhab di masa selanjutnya.

Mereka inilah yang kemudian mengkaji dan mendalami kaidah-kaidah ushul (induk) yang telah dirumuskan oleh Imam madzhab mereka, serta menjelaskan apa yang rancu dari kaidah tersebut, mengoreksi, emanmbahkan serta memperbaiki apa yan sekiranya punya kemungkinan salah aplikasi. Kemudian memberikan sample-sample furu’ (cabang) dalam kktab-kitab mereka, serta juga merumuskan kaidah ushul baru yang Imam mereka belum merumuskan itu berdasarkan apa yang sudah digariskan dalam madzhab sang Imam.

Sampai kita melihat bahwa apa yang dilakukan oleh sang Imam madzhab dan tentara ulama dalam setiap madzhab yang bekerja puluhan bahkan ratusan tahun tersebut tidak lagi meninggalkan masalah yang kosong jawaban kecuali sudah disiapkan oleh mereka kaidah ushul untuk dicocokan dengan masalah yang muncul.

Itu dia kenapa dalam satu madzhab kita menemukan adanya tingkatan-tingkatan ijtihad dan level ulama yang berbeda-beda dengan kelas mereka masing-masing. Karena memang semua bekerja dalam bidang dan keahlian masing-masing, guna saling melengkapi dan menyempurnakan sebuah “jalan” (madzhab) bagi para awam untuk bisa memahami syariah ini secara komprehensif. Di situlah fungsi madzhab.

Setiap madzhab punya level-level dan tingkatan mujtahid yang berbeda dengan madzhab lain, hanya saja secara global kita bisa mengklasifikasi dalam 2 level mujtahid; [1] Mujtahid Muthlaq, dan [2] mujtahid fi al-Madzhab. 

Dari ulama-ulama pada 2 level ini lah kemudian muncul banyak sekali istilah-istilah ushul dalam masing-masing madzhab, serta merumuskan beberapa kaidah ushul dan Fiqih­-nya. seperti kaidah ‘am wa al-khash, nash, Zahir, Majaz, Muta’awwil, Muhtamal, naskh mansukh.

Lebih rumit lagi istilah-istilah dalam istinbath hukum, seperti haml al-Muqayyad ‘ala al-Muthlaq, takhriij ushul ala al-furu’, takhrij Furu ala al-Ushul dan lain-lain yang mana para ulama madzhab tersebut bekerja dalam jangka abad (bukan tahunan) untuk sebuah “jalan” bersyariah.

Tingkatan-tingkatan Mujtahid dalam Madzhab

  1. Muthlaq Muthlaq

[1.1] Mujathid Muthlaq Mustaqil

Beliau adalah 4 Imam yang masyhur; Imam Abu Hanifah al-Bu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau-beliau adalah orang pertama yang merumuskan dan menggariskan jalan madzhab serta memformulasikan kaidah-kaidah ushul (induk) untuk madzhab serta sedikit mambahas masalah Furu’-nya.

[1.2] Mujtahid Muthlaq Muntasib

Mereka yang ada dalam level ini sejatinya orang-orang dengan keilmuan yang sudah mencapai derajat Mujtahid muthlaq setara dengan Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Hanya saja mereka tidak menciptakan kaidah baru yang independen, akan tetapi mereka tetap loyal kepada guru-guru mereka, yaitu para Imam yang empat.

Mereka berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh guru-guru mereka, dan pekerjaan yang paling sangat terlihat jelas hasilnya ialah mereka ini yang menjelaskan kaidah-kaidah yang sudah digariskan oleh guru mereka karena mereka adalah orang-orang terdekat sang Imam. Mereka yang menjadi penghubung antara kecerdasan sang Imam dan keawaman umat Islam terhadap syariah.

Kadang mereka juga berbeda dalam beberapa hal furu’iyyah dengan guru-guru mereka, akan tetapi tetapi ber-intisab kepada madzhab guru mereka. Imam Ya’qub Abu Yusuf dan juga Imam Muhammad al-Syaubani, contoh 2 mujtahid muntasib dari madzhab al-Hanafiyah. Imam Ibn al-Qasim serta Imam Sahnun dari madzahb al-Malikiyah. Imam al-Buwaithi dan juga Imam al-Muzani dari kalangan al-Syafi’iyyah.

  1. Mujtahid fi al-Madzhab

[2.1] Mujtahid Mukharrij atau Ashhab al-Wujuh

Mereka adalah tingkatan ulama yang hidup setelah masa Mujtahid muntasib. Dalam sejarahnya, mereka inilah yang membuat madzhab menjadi jauh lebih berkembang dan lebih dinamis dibanding sebelumnya.

Mereka tidak membuat kaidah-kaidah baru dalam madzhab, akan tetapi mereka melengkapi apa yang terlewat dari ulama-ulama madzhab sebelumnya. Mereka menyimpulkan hukum beberapa –bahkan banyak- hukum masalah furu’iyyah yang tidak dijelaskan oleh sang Imam dan para murid serta sahabatnya, dengan menggunakan dasar serkat kaidah induk yang telah dirumuskan oleh ulama sebelumnya dalam mdazhab tersebut, sambil meneliti dan menyempurnakn redaksi-redaksi kaidah yang –sekiranya- tidak sempurna.

[2.2] Mujtahid Tarjih

Mereka hidup berbarengan atau setelah ulama mujtahid takhrij. Apa yang mereka lakukan tidak kalah penting dengan apa yang dilakukan oleh pendahulunya, walaupun memang tingkatan keilmuan yang mereka miliki tidak seluas apa yang dimiliki oleh ulama sebelumnya.

Bisa dikatakan mereka yang membuat madzhab lebih sistemik dan mudah untuk diklasifikasi. Mereka melakukan verifikasi dalam setiap hukum-hukum yang sudah disimpulkan oleh para pendahulunya, jika memang itu ada 2 atau 3 atau bahkan lebih dalam satu masalah yang sama. Dan adanya 2 sampai lebih pendapat dalam masalah yang sama di satu madzhab adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Dan dari perbedaan-perbedaan itu, mujtahid tarjih-lah yang kemudian mengklasifikasi mana yang sesuai dengan madzhab dan mana pendapat yang bukan resmi pendapat madzhab melainkan ijtihad personal salah satu ulamanya saja.

Mereka yang sering sekali menyebut dalam kitab-kitab mereka setelah membandingkan 2 atau lebih pendapat yang berseberangan dengan istilah; hadza aula (ini pendapat yang lebih utama), hadza ashahhu riwayatin (ini riwayat yang benar), hadza huwa al-madzhab (inilah pendapat madzhab), hadza huwa azhar ‘inda al-madzhab (ini yang lebih jelas dalam madzhab), hadza awfaq lil-Qiyas (ini pendapat yang lebih sesuai dengan qiyas).

Beberapa ulama memasukan tingkatan ulama ini ke tingkatan di atasnya, yakni tingkatan ujtahid Mukharrij, melihat pekerjaan yang dilakukan hampir sama, dan banyak ulama madzhab yang melakukan 2 pekerjaan ini. Akan tetapi, Imam Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul-Fiqh menjelaskan bahwa keduanya berbeda.

[2.3] Mujtahid fatwa

Mereka adalah ulama-ulama yang memang tidak sampai pada level mujtahid muthlaq, dan tidak juga setara dengan mujtahid mukharrij atau mujtahid tarjih dalam madzhab. Akan tetapi mereka adalah seorang faqih yang mumpuni, royal terhadap mafdzhab Imamnya, menghafal dalil dalam setiap masalah dari pendapat-pendapat madzhab tersebut.

Ima Ibn Shalah dalam kitabnya Adabul-Muftiy wa al-Mustaftiy, menyebutkan bahwa ulama level ini tidak sampai pada derajat Mujtahid tarjih atau juga mukhaarij karena punya cacat dalam kemampuan ushul-fiqh madzhabnya.

Untuk Apa Ini Semua?

Lalu menjadi pertanyaan kemudian, sebenarnya untuk apa itu semua? Kenapa harus ada banyak istilah rumit? Kenapa harus banyak orang terlibat?

Jawabannya ialah untuk mengurangi dan memperkecil kemungkinan salah dan keliru dalam memahami syariah serta menyimpulan sebuah hokum dari teks-teks syariah. Karena semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya, semakin banyak sesuatu yang bisa dikoreksi. Dan itu terus berulang di setiap generasinya.

Apa yang sudah ada di masa ulama sebelumnya, deteliti oleh ulama sesudahnya, disempurnakan, dijelaskan apa yang masih rancu dan ditambahka apa yang mungkin harus ditambahkan. Semakin banyak orang yang bekerja untuk menyempurnakan itu, semakin sedikit kesalahan yang akan timbul.

Layaknya sebuah penemuan teknologi, yang dari tahun ketahun selalu diteliti dan diupgrade ke penemuan yang lebih muthakhir dan yang terpenting ialah mempermudah pengguna serta memberikan kenamanan, dan penting lagi yaitu memperkecil kemungkinan bahaya yang muncul yang bisa saja melukai pengguna.

Jadi ini bukan masalah mempersulit syariah, justru ini memudahkan kita untuk memahami syariah secara komprehensif, dengan melihat kenyataan bahwa banyak dalil baik dari ayat atau hadits yang nyatanya masing-masing bersinggungan dalam kandungan hukumnya.

Dan harus dicamkan baik-baik, bahwa memahami dalil-dalil yang ada itu tidak cukup untuk hanya diterjemahkan saja. Kalau seandainya syariah serta dalil-dalilnya bisa dipahami hanya dengan terjemahannya saja, lalu buat apa ulama sejak 14 abad tahun lalu repot-repot membuat kitab tafsir yang berpuluh jilid? Buat apa juga repot-repot menulis kitab syarah (penjelasan) hadits kalau hanya bisa dipahami dengan  terjemah?

Melihat kenyataan seperti itu, lalu apakah masih kita akan mengatakan “kita kembali ke al-Quran dan hadits langsung, tanpa harus bermadzhab karena mereka juga manusia yang bisa salah, dan perkataan mereka tidak bisa dijadikan dalil!” masih kah kita berkata demikian?

Kalau madzhab bisa salah, apakah kita terbebas dari kesalahan dalam memamahi syariah denga akal yang sempit ini?

Mana yang lebih mungkin salah, pekerjaan yang dikerjakan oleh satu kelompok besar yang bekerja saling melengkapi, atau mereka yang bekerja sendirian?

Mana yang lebih mungkin salah, para ulama madzhab yang hidupnya jauh lebih dekat ke masa Nabi atau kita yang sudah terpisah ribuan tahun dari zaman Nabi?

Wajib kembali ke al-quran dan sunnah, akan tetapi kita tidak mungkin bisa memahami al-quran dan sunnah tanpa peran sebuah madzhab fiqih!

Wallahu a’lam

 

oleh Ahmad Zarkasih, Lc

sumber: Rumah Fiqih Indonesia

Sahabat Nabi SAW Tidak Bermadzhab, Benarkah?

Beberapa muslim belakangan atau memang sejak lama banyak yang menolak untuk mengikuti madzhab dan bahkan memaksa orang lain untuk pula tidak bermadzhab.

Salah satu alasannya karena memang sahabat Nabi SAW. yang hidup di generasi terbaik umat Islam ini tidak bermadzhb dan memang tidak ada madzhab. Memang iya, para sahabat Nabi SAW. tidak bermadzhab.

Akan tetapi tidak sesimpel itu untuk kita akhirnya menolak madzhab fiqih dengan alasan yang sangat rapuh seperti itu. Coba teliti lagi apa fungsi dan manfaat madzhab fiqih itu sendiri.

Kenapa Bermadzhab?

Madzhab fiqih itu ada sebagai jalan untuk kita memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.  Dia ibarat peta yang menuntun kita agar tidak tersesat dalam memahami teks-teks syariah. Sebagai tangga yang menyampaikan kita kepada pemahaman al-Qur’an dan sunnah yang memang tinggi, yang tidak mungkin kita mencapainya dengan badan sendiri.

Semua itu karena memang memahami al-Qur’an dan sunnah itu tidak semudah dan tidak sesimpel yang dibayangkan. Bukan hanya karena paham bahasa Arab lalu bisa menggali hukum dari 2 sumber utama tersebut.

Kalau memang memahami kedua sumber mulia itu hanya dengan bermodal bahasa Arab, tentu semua orang di negara-negara berbahasa Arab itu menjadi mujtahid semua. Tapi nyatanya tidak.

Selain bahasa Arab, masih banyak ilmu-ilmu yang harus dikuasai sampai akhirnya bisa menduduki bangku mujtahid yang mana layak untuk menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah. Karena itulah kita membutuhkan tangga sebagai wasilah mencapai tujuan; yakni al-Qur’an dan Sunnah.

Kata ulama ushul; “lil-Wasa’il hukumul-maqashid”, yang artinya “wasilah itu hukumnya sama dengan hukum tujuannya”. Merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah itu wajib, akan tetapi sulit untuk mencapai itu kecuali ada petanya dan tangganya. Maka mendapatkan tangga itu menjadi wajib, karena tujuannya itu wajib. Dengan kesadaran diri atas ketidak mampuan dan kehati-hatian dalam beragama akan jatuh pada kekliruan, maka bermadzhab itu menjadi sebuah keharusan.

Kalau menolak bermadzhab dan kembali langsung kepada al-Qur’an dan sunnah, akan tetapi masih memahami makna teka al-Qur’an dari Quran terjemah yang dikeluarkan Departemen Agama atau penerbit lain; itu namanya bukan kembali ke al-Qur’an, itu namanya mengikuti Departemen Agama atau penerbit jadi penerjemah al-Qur’an tersebut. Karena kalau memang mampu, harusnya jauhkan semua media-media itu, langsung saja maknai teks-teks al-Qur’an itu sendiri, tanpa alat.

Lalu kalau menolak bermadzhab dan menghukumi sesuatu denga hadits yang ada pada kita shahih al-Bukhari atau ulama hadits lainnya. Itu namanya bukan kembali ke al-Qur’an dan sunnah, itu namanya mengikuti Imam al-Bukhari. Kalau memang mampu menggali hukum tanpa perantara madzhab, harus juga mempu menstatusi hadits sendiri tanpa rujuakan manusia lain. Tidak al-Bukhari, tapi al-Albani, itu juga sama, mengikuti manusia namanya, bukan mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.

 

Sahabat Nabi SAW Bermadzhab!

Nah, para sahabat Nabi s.a.w. tidak bermadzhab, kenapa? Karena sumber syariah sudah ada di depan mata mereka, hidup bersama mereka, berdialog langsung dengan mereka. Lalu dimana kegunaan madzhab jika sumber itu sendiri sudah jelas depan mata? toh karena memang madzhab itu ada disebabkan rentan waktu yang berjarak ke masa Nabi s.a.w. dan kesulitan memahami teks-teks syariah yang ada. Zaman sahabat, mereka semua tianggal bertanya langsung kepada sumbernya.

Akan tetapi coba lihat bagaimana keadaan para sahabat setelah Nabi SAW wafat, apakah semua mereka jadi ulama dan mujtahid? Tidak! Diantara mereka ada orang awamnya juga yang kemudian mereka itu bertanya tentang masalah-masalah agama yang bagi mereka masih membingungkan kepada tokoh-tokoh sahabat yang memang dikenal sebagai orang ‘Alim dan dianggap paling mengerti terhadap wahyu juga maksud sabda Nabi SAW.

Ketika tokoh-tokoh sahabat (seperti 4 Khulafa al-Rasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdullah bin Zaid, Zaid bin Tsabit dll) itu ditanya tentang suatu masalah oleh Awam Sahabat, mereka langsung menjawab pertanyaan itu. Mereka tidak menolak pertanyaan tersebut dengan mengatakan: “anda kan sahabat Nabi, hidup bersama dan mendengarkan wahyu, kalau begitu ijtihad saja sendiri!”. Tidak! Tidak ada jawaban seperti itu.

Itu artinya memang awam-awam sahabat pun beragama dan beribadah melalui pemahaman tokoh-tokoh sahabat ‘alim tersbut; karena memang sang awam sadar diri bahwa mereka tidak mengerti dan mereka juga punya tuntutan untuk menjaga ajaran agama ini dengan tidak sok-sok-an langsung berhukum tanpa merujuk kepada para tokoh-tokoh sahabat itu.

Dengan kata lain, tokoh-tokoh itulah jalan (madzhab) para awam. Dan apa yang dilakukan oleh awam sahabat tersebut, sama seperti yang kita lakukan saat ini ketika beribadah dengan jalan (madzhab) ulama-ulama dan imam-imam madzhab mulia tersebut.

Dan karena memang mereka mengambil jalan beribadah itu melalui para tokoh-tokoh sahabat tersebut, sudah barang tentu perbedaan menjadi sesuatu yang niscaya terjadi. Dan itu yang kita saksikan, bahwa di kalangan sahabatpun ada perbedaan.

Tapi dahsyatnya, perbedaan itu tidak membuat sahabat satu sama lain saling menuding dan menunjuk hidung sahabat lain bahwa kesalahan ada pada tertunjuk. Tidak! semua aman dan mesra. Dan itu juga yang akhirnya diwariskan kepada ulama-ulama madzhab yang ada, sehingga tidak pernah kita saksikan ada permusuhan antara ulama madzhab walaupun ada perbedaan diantara mereka.

Jika Awam Boleh Ijtihad

Sebagai tambahan; bahwa kalau saja seandainya kita tidak perlu bermadzhab atau tidak pelu melewati jalan dan tangga yang valid, dan kita yang awam ini diminta untuk menggali hukum langsung dari al-Quran dan sunnah, artinya berijtihad.

Tentu ijtihadnya awam-awam di generasi terbaik, apalagi sahabat, ijtihad itu yang mestinya sangat layak kita jalankan. Dan apakah kita akan menjalankan ijtihad salah seorang sahabat Nabi yang tidak memberika keringanan bagi orang junub yang sakit untuk harus mandi janabah sehingga salah seorang diantaranya wafat karena harus mandi janabah.

Ataukah kita bertayammum dengan berguling-guling tanah sebagaimana itu dilakukan oleh sahabat yang junub namun tidak menemukan air. Begitukah?

Wallahu a’lam.

 

oleh:  Ahmad Zarkasih, Lc

sumber:Rumah Fiqih Indonesia

Ikadi: Islam dan Agama Terdahulu Melarang LGBT

Perilaku LGBT memang menjadi perhatian masyarakat Indonesia saat ini. Padahal, perilaku LGBT sudah jelas dilarang agama dan pernah mendatangkan bencana pada kaum Nabi Luth.

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail mengatakan Islam selayaknya agama-agama terdahulu, jelas melarang adanya perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Trandsgender (LGBT).

Menurut dia, larangan perilaku LGBT tak hanya tertera di Alquran melainkan juga ada di kitab suci Yahudi dan Nasrani.
“Islam seperti agama sebelumnya, Yahudi dan Nasrani dalam kitab suci mereka pun melarang LGTB,” kata Satori kepada Republika.

Satori berpendapat, Yahudi dan Nasrani cukup kerepotan menghadapi kemunculan perilaku-perilaku LGBT, khususnya di negara-negara barat. Satori merasa kondisi itu sebagai pertanda jelas, kalau umat Islam di Indonesia pun harus bisa menghilangkan perilaku-perilaku LGTB, sebelum sulit lagi disembuhkan.

Pasalnya, lanjut Satori, Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang penduduknya sebagian besar menganut agama Islam. Dengan kondisi itu, perilaku LGBT yang dibiarkan merajalela di Indonesia, akan membuat Islam secara global merugi.

Untuk itu, Satori mengingatkan umat Islam agar senantiasa menguatkan iman dan amal soleh, sehingga memiliki dasar aqidah yang kokoh.

Satori menambahkan dengan aqidah yang kokoh, bukan menjadi sesuatu yang sulit bagi umat Islam kembali kepada fitrah, yang telah ditentukan Allah SWT.

 

sumber: Republika Online

 

Terkait LGBT, Jokowi Harus Mencontoh Vladimir Putin

Politisi PKS Hidayat Nur Wahid, meminta presiden Jokowi untuk secara tegas menolak eksistensi LGBT di Indonesia. Sebab, hingga saat ini pemerintah tidak pernah memberikan pernyataan yang jelas mengenai LGBT Indonesia ini.

Apalagi, kata dia, ada pernyataan dari pejabat negara bahwa LGBT harus dilindungi. Padahal, hal tersebut jelas semakin jauh dari komitmen Indonesia untuk mengamalkan Pancasila dan asas HAM sesuai UUD.

”Sangat jelas tidak tegas,Jadi menurut saya, sebelum semuanya sangat terlambat, pak Jokowi harus mengambil langkah yang tegas,” kata Hidayat kepada Republika, Senin (15/2) malam.

Bahkan, Hidayat membandingkan sikap tegas Presiden Rusia Vladimir Putin yang menyelamatkan negaranya dari penyakit LGBT dengan memerintahkan negaranya untuk membuat UU Anti-Gay. Sementara, Indonesia yang jelas punya UUD, dan Pancasila tidak pernah menunjukan sikap tegasnya.

Oleh karena itu, presiden seharusnya berani memerintahkan hal serupa demi melindungi warga negaranya. Kalau alasan pemerintah hal tersebut melanggat HAM, Hidayat berpendapat HAM yang dibicarakan LGBT itu bertentangan dengan UUD 1945.

UUD, lanjut Hidayat, tidak mengenal HAM yang liberal, menghalalkan segala cara dan bertentangan dengan sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. HAM di Indonesia, menurutnya terukur, ada batasan hukum, serta tidak bertentangan dengan agama dan sesuai dengan Pancasila.

”Tugas pemerintah sebagaimana tegas terhadap teroris, harus melakukan penghentian upaya LGBT. Jadi pemerintah jangan takut melindungi seluruh warga bangsa dengan UUD,” ujarnya.

 

sumber: Republika Online

Daulah Abbasiyah: Azh-Zhahir Biamrillah, Pewaris Dua Umar

Khalifah Azh-Zhahir dilahirkan pada 571 H. Nama aslinya Muhammad bin An-Nashir Lidinillah, Azh-Zhahir Biamrillah, Abu Nashr. Semasa hidupnya, sang ayah melantiknya sebagai putra mahkota. Khalifah Azh-Zhahir dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-35 (1225-1226 M) pada usia 52 tahun.

Pemerintahan Azh-Zhahir sangat berpihak kepada kepentingan rakyat. Dia menghapuskan bea cukai dan mengembalikan harta yang diambil paksa oleh aparat pemerintah dengan cara yang tidak benar.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, menurut penulis kitab Al-Kamil, Azh-Zhahir melakukan apa yang pernah dilakukan oleh dua orang Umar sebelumnya, yakni Umar bin Al-Khathab dan Umar bin Abdul Azis. Dia selalu berkata jujur dan benar serta bertindak adil dalam menjalankan pemerintahannya. Ia mengembalikan harta rakyat yang pernah dirampas pada masa pemerintahan ayahnya dan menghapuskan semua pajak yang memberatkan rakyat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ayahnya.

Azh-Zhahir sangat teliti dalam masalah pengambilan zakat. Misalnya zakat tanaman, hanya diambil dari tanaman yang tumbuh sehat dan subur. Sedangkan tanaman yang kering dan tidak banyak berbuah, tidak diambil zakatnya.

Keadilannya dalam memerhatikan timbangan juga sangat ketat. Dia mengetahui bahwa pada masa pemerintahan sebelumnya, ayahnya menganjurkan rakyat menggunakan timbangan lebih berat setengah mistqal dari timbangan biasa. Azh-Zhahir memerintahkan kepada semua bawahannya untuk mengubah semua itu dan menggunakan timbangan yang biasa sambil mengawali setiap surat yang dikirimnya dengan surat Al-Muthaffifin ayat 1, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.”

Tindakan khalifah ternyata mendapat penolakan dari para bawahannya. Menurut mereka, jika timbangan yang dipakai oleh rakyat dikembalikan pada ukuran yang sebenarnya akan mengurangi pendapatan negara sebesar 350.000 dinar.

Mendengar hal itu, khalifah berkata, “Batalkan semua itu dan kembalikan kepada aslinya walaupun keuntungan yang akan didapat hanya sebanyak 35.000 dinar.”

Khalifah juga sangat memerhatikan kehidupan para ulama dan cendikiawan Muslim dengan cara banyak membantu kesulitan hidup mereka. Ia juga selalu meminta saran dan nasihat dari mereka serta berpesan agar apa yang telah diberikan tidak memengaruhi sikap mereka.

Suatu ketika pernah datang kepada khalifah seorang penjaga pos keuangan dari Wasith dengan membawa uang sebanyak 100.000 dinar yang didapatkan dengan cara merampas secara paksa dari pemiliknya. Mengetahui hal itu, khalifah mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya.

Khalifah Azh-Zhahir juga membebaskan tawanan yang ditahan dengan tuduhan-tuduhan palsu ketika mereka melakukan perlawanan terhadap penguasa sebelumnya. Dia juga mengirimkan uang sebanyak 10.000 dinar kepada seorang hakim dan memerintahkannya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada rakyat yang membutuhkan. Azh-Zhahir juga selalu tampil di hadapan rakyatnya, satu hal yang jarang dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.

Suatu ketika khalifah meninjau kas negara. Salah seorang pegawai di tempat itu berkata, “Gudang ini di masa pemerintahan orang-orang sebelummu penuh dengan harta benda dan simpanan uang yang banyak. Saat ini di masa pemerintahanmu, isi gudang ini hampir habis karena engkau bagi-bagikan kepada rakyat.”

Azh-Zhahir menjawab, “Sesungguhnya gudang negara dibuat bukan untuk dipenuhi. Sebaliknya, dia harus dikosongkan dan diinfakkan di jalan Allah. Karena sesungguhnya menghimpun harta itu adalah pekerjaan para pedagang, dan bukan pekerjaan seorang khalifah.”

Khalifah Azh-Zhahir juga meriwayatkan banyak hadits berdasarkan rekomendasi dari syekhnya. Orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya antara lain Abu Shahih bin Abdur Razzaq bin Syekh Abdul Qadir Al-Jili.

Azh-Zhahir meninggal dunia pada 13 Rajab 623 H. Masa pemerintahannya hanya sembilan bulan 24 hari.

Daulah Bani Abbasiyah: Harun Ar-Rasyid, Sang Pembangun Peradaban

Harun Ar-Rasyid (786-809 M) adalah khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M. Ayahnya bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama Khaizuran.

Masa kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaki.

Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada usianya yang sangat muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.

Daulah Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan bantuan.

Pada masa itu, Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush, India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.

Khalifah Harun Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan. Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya, Yahya Al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam.

Pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas. Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.

Suasana negara yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.

Setiap orang merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim. Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi, madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak dibangun pada masa itu.

Khalifah Harun Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.

Bahasa Arab ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum. Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.

Daulah Abbasiyah dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.

Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni/Republika Online

Daulah Abbasiyah: Al-Amin, Khalifah Dua Daulah

Ketika berhasil mematahkan perlawanan Kaisar Nicephorus dari Imperium Byzantium di wilayah Asia Kecil, Khalifah Harun Ar-Rasyid kembali ke wilayah Bagian Timur.

Di sana terjadi pergolakan yang dipimpin Rafi’ bin Al-Laits bin Nashar. Mereka sudah berhasil menduduki Samarkand dan kota-kota sekitarnya. Ketika memasuki kota Thus yang terletak antara kota Nishapur dan Merv, Khalifah Harun Ar-Rasyid jatuh sakit. Beberapa saat kemudian ia meninggal dunia.

Putra termuda sang Khalifah, Shalih bin Harun, segera mengambil baiat dari seluruh pasukan di tempat itu untuk saudara tertuanya, Muhammad bin Harun di Baghdad. Selanjutnya, ia mengirimkan utusan ke Baghdad untuk menyampaikan berita kemangkatan sang Khalifah dan mengirimkan Al-Khatim (stempel kebesaran) dan Al-Qadhib (tongkat kebesaran), serta Al-Burdah (jubah kebesaran) pada Muhammad bin Harun.

Begitu mendengar berita wafatnya sang ayah, Muhammad bin Harun yang menjabat gubernur Baghdad segera menuju Masjid Agung Baghdad. Berlangsunglah baiat secara umum. Muhammad bin Harun Ar-Rasyid menjabat khalifah keenam Daulah Abbasiyah pada usia 24 tahun. Dalam sejarah, ia dikenal sebagai Khalifah Al-Amin (809-813 M).

Meninggalnya Harun Ar-Rasyid, dianggap sebagai peluang emas bagi Kaisar Nicephorus untuk membatalkan kembali perjanjian damai dengan Daulah Abbasiyah. Ia segera menggerakkan pasukannya untuk menyerang perbatasan bagian utara Syria dan bagian utara Irak. Khalifah Al-Amin segera mengirimkan pasukan untuk menghalau serangan itu. Berlangsung pertempuran cukup lama yang berujung pada tewasnya sang kaisar.

Di kota Hims juga terjadi pergolakan. Karena tak mampu memadamkan pemberontakan, Khalifah Al-Amin memecat Gubernur Ishak bin Sulaiman dan menggantinya dengan Abdullah bin Said Al-Harsy. Keamanan pun pulih kembali di bawah kendali gubernur baru itu.

Pada 195 H muncul seorang tokoh berpengaruh di Damaskus. Ia adalah Ali bin Abdullah bin Khalid bin Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Karenanya, ia dikenal sebutan As-Sufyani. Tokoh ini menjadi lebih berpengaruh karena tak hanya merupakan keturunan Bani Umayyah, tetapi juga Bani Hasyim. Ibunya adalah putri Abdullah bin Abbas bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan silsilah keturunannya ini, ia sering berkata, “Saya adalah putra dua tokoh yang pernah bertentangan di Shiffin—maksudnya Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Ia menyatakan berdirinya khilafah baru di Damaskus. Namun masa pemerintahannya tidak berlangsung lama. Panglima Ibnu Baihas segera mengepung Damaskus dan menaklukkan penduduk kota itu. Sedangkan tokoh As-Sufyani melenyapkan diri entah kemana.

Di antara seluruh Khalifah Abasiyah, hanya Khalifah Al-Amin yang ayah dan ibunya keturunan Bani Hasyim (Arab). Ayahnya Harun Ar-Rasyid dan ibunya Zubaidah binti Ja’far bin Manshur masih keturunan Bani hasyim. Sedangkan Al-Makmun sendiri yang direncanakan kelak akan menjadi khalifah setelah Al-Amin, masih keturunan Iran.

Oleh sebab itu, beberapa pihak membujuk Khalifah Al-Amin untuk membatalkan hak khilafah Al-Makmun, dan menggantinya dengan putranya sendiri, Musa bin Muhammad Al-Amin. Semula Khalifah Al-Amin menolak. Tetapi karena terus didesak dan dibujuk, ia pun melakukan pembatalan itu dan mengangkat putranya sebagai calon khalifah dengan gelar An-Nathiq bil Haq.

Tentu saja tindakan ini memancing amarah Al-Makmun. Saat itu ia berada di Khurasan di tengah keluarga besarnya. Permintaan sang Khalifah yang mengundangnya kembali ke Baghdad tak ia penuhi. Bahkan ia pun dibaiat dan dinyatakan sebagai khalifah.

Mendengar kejadian tersebut, Khalifah Al-Amin segera mengirimkan pasukan ke Khurasan di bawah pimpinan Panglima Ali bin Isa bin Mahan. Al-Makmun pun segera menyiapkan pasukannya di bawah komando Thahir bin Hasan.

Kedua pasukan bertemu di kota Ray, yang saat ini dikenal dengan nama Teheran, ibukota Iran. Pertempuran pun tidak berlangsung lama. Panglima Ali bin Isa Tewas. Berita kekalahan itu sangat mengejutkan Khalifah Al-Amin. Ia pun segera mengirimkan pasukan bantuan di bawah komando Panglima Ahmad bin Mursyid dan Panglima Abdullah bin Humaid. Dalam perjalanan menuju Khurasan, terjadi perselisihan sengit antara dua panglima. Pasukan itu pun kembali ke Baghdad sebelum berhadapan dengan musuh.

Al-Makmun segera memerintahkan pasukan Thahir bin Hasan untuk terus maju ke Baghdad. Ia menambah pasukannya di bawah pimpinan Hartsamad bin Ain. Hampir satu tahun Baghdad dikepung. Karena kekurangan persediaan makanan, akhirnya pertahanan Baghdad pun runtuh.

Khalifah Al-Amin bertahan di Qashrul Manshur yang terletak di pusat kota. Setelah berlangsung penyerbuan cukup lama, istana yang dibangun oleh Al-Manshur itu pun bisa ditaklukkan. Khalifah Al-Amin tewas di tangan pasukan saudaranya sendiri. Ia meninggal pada usia 28 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama empat tahun delapan bulan.

Sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni/Republika Online