Dua Jenis Suara yang Dilarang Rasulullah

Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan sesuatu, pastilah sesuatu itu baik bagi umatnya. Sebaliknya, jika beliau melarang sesuatu, pastilah sesuatu itu buruk bagi umatnya.

Namun, sering kali manusia tidak mengindahkan petunjuk dan larangan yang telah digariskan beliau. Banyak perintah yang tidak ditaati dan banyak larangan yang dilanggar. Di antaranya, dua larangan berikut ini.

“Sesungguhnya aku melarang dua suara yang paling bodoh dan keji, yakni suara seruling ketika sedang mendapat nikmat dan suara tangis yang keras ketika mendapat musibah” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi; hasan)

Suara seruling ketika sedang mendapat nikmat

Alangkah sering hal ini dilanggar oleh umat Islam. Seakan-akan dianggap hal yang biasa dan boleh-boleh saja. Padahal sesungguhnya ini dilarang Rasulullah dan digelari dengan paling bodoh dan keji.

Kita lihat saat keluarga muslim mendapatkan nikmat pernikahan. Walimah yang seharusnya menjadi wujud rasa syukur dan bentuk pengumuman kepada khalayak bahwa si Fulan dan Fulanah menikah, berubah menjadi ajang hiburan yang di dalamnya ada hal terlarang.

Diputarnya musik-musik yang diiringi seruling merupakan hal yang sering terjadi di masyarakat kita saat walimah atau acara lainnya. Bahkan sebagian orang bukan hanya memutar musik melalui kaset namun mengundang band atau elektone dan sejenisnya yang secara live menghadirkan suguhan musik termasuk seruling.

Banyak acara-acara lain yang juga masuk dalam kerangka “nikmat Allah” tetapi diisi oleh pemutaran musik dengan seruling di dalamnya. Misalnya khitanan dan syukuran. Persis seperti yang dilarang Rasulullah dalam hadits tersebut.

Suara tangis keras saat musibah

Siapapun yang terkena musibah, manusiawi jika ia bersedih dan berduka. Bahkan menangis sekalipun. Namun yang dilarang oleh Rasulullah adalah menangis dengan suara keras. Meraung-raung. Meratap.

Umat Islam dituntun untuk bersabar saat menghadapi musibah. Baik ketika kehilangan anggota keluarga, ada bencana maupun bentuk-bentuk musibah lainnya. Menangis meraung-raung merupakan tanda bahwa kesabaran masih belum muncul saat menghadapi musibah.Wallahu alam bish shawab.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2276142/dua-jenis-suara-yang-dilarang-rasulullah#sthash.w3CIDWjB.dpuf

Mengejar Akhirat dan Dunia dengan Takwa

Rasulullah berkhutbah saat Jumat pertama hijrah ke Madinah. Inilah isi khutbahnya:

“Alhamdulillah. Aku memuji-Mu, meminta pertolongan-Nya, meminta ampunan-Nya, dan meminta hidayah-Nya. Aku beriman kepada-Nya, tidak kafir kepada-Nya. Aku memusuhi orang yang mengingkari-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak tuhan selain Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Dia mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar, dengan cahaya, dan mauizhah setelah lama tidak diutus para rasul, di tengah sedikitnya ilmu dan kesesatan manusia serta kedekatan dengan kiamat. Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah lurus. Dan barangsiapa mendurhakai mereka, maka ia telah melampui batas dan sesat dengan jelas.”

“Aku berwasiat kepada kalian dengan takwa kepada Allah. Hal terbaik yang aku wasiatkan kepada seorang Muslim adalah mendorongnya agar beramal demi akhirat dan menyuruhnya bertakwa kepada Allah. Takutlah kepada hal yang telah diperingatkan-Nya kepada kalian. Tidak ada nasihat yang lebih afdhal daripada itu. Tidak ada peringatan yang lebih baik daripada itu. Itu adalah ketakwaan bagi orang yang mengamalkannya dengan perasaan takut dan gentar.

Merupakan penyokong yang kuat atas pahala akhirat yang kalian dambakan. Barang siapa memperbaiki perkara rahasia dan terang-terangan antara ia dan Allah dengan tidak meniatkannya kecuali untuk Allah, maka hal itu akan menjadi pengingat baginya pada kehidupan dunianya dan bekal setelah mati ketika seorang manusia membutuhkan apa yang telah ia kerjakan”.

“.. Ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu (kiamat) ada masa yang jauh, dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksanya. Dan, Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran: 30).

Zat yang firman-Nya benar dan Dia mewujudkan janji-Nya. Dia berfirman: “Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku”. (Qaaf: 29).

“Bertakwalah kepada Allah dalam masalah dunia dan akhirat kalian, baik yang rahasia maupun yang terang-terangan karena: “.. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya”. (ath-Thalaaq: 5).

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya ia telah mendapat untung yang sangat besar. Sesungguhnya, takwa kepada Allah akan melindungi kalian dari murka-Nya, hukuman-Nya, dan amarah-Nya. Takwa kepada Allah akan mencerahkan wajah, membuat Tuhan ridho, dan meninggikan derajat. Carilah keberuntungan kalian, jangan melalaikan hak Allah. Allah mengajarkan Kitab-Nya kepada kalian dan menjelaskan jalan-Nya agar mengetahui mana orang-orang yang benar, dan mana yang berbohong. Oleh karena itu, berbuatlah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kalian. Musuhilah musuh-musuh-Nya dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya.

Dia telah memilih kalian dan menamai kalian muslimin, ” agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)”. (al Anfal :42).

Tiada kekuatan selain dengan-Nya. Perbanyaklah zikir mengingat Allah. Beramallah untuk bekal setelah mati. Barangsiapa yang menjaga hubungan dirinya dengan Allah, maka Dia yang akan menjaga hubungannya dengan sesama manusia karen Allah menetapkan keputusan atas diri manusia dan mereka tidak dapat menetapkan keputusan atas-Nya. Dia memiliki dari-Nya. Allah Mahabesar. Dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung.”

Hendaknya kita mengingat ini semua. Mari kita manfaatkan baik-baik setiap dari hidup kita ini. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallahu alaihi wa salam bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Bersegeralah melakukan amal-amal shaleh, karena akan datang fitnah seperti malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seseorang msih mukmin, tapi sorenya sudah menjadi kafir, atau pada sore hari ia mukmin dan pada keesokan harinya ia menjadi kafir. Ia menjual agamanya demi mendapat harta dunia”. (HR.Muslim)

Addy bin ZHatim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu alaihi wa salam bersabda: “Lindungilah diri kalian dari neraka, meski dengan sebiji kurma. Jika ada yang tidak punya,ia dapat melakukannya dengan menyampaikan perkataan yang benar”. (HR.Buchori dan Muslim).

Khotbah Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa salam penuh dengan makna. Marilah kita memperhatikan dan menghayati khotbah beliau. Sebagai bekal hidup. Jangan sampai kita semakin jauh dari apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallahu alaihi wa salam. Agar manusia terbebas dari beratnya siksa neraka kelak di akhirat.

Tak ada manusia yang bebas dari janji Allah Azza Wa Jalla, bagi mereka yang berbuat baik di dunia, ia akan mendapatkan ganjaran pahala, dan akan kekal di surga-Nya. Sebaliknya, bagi mereka yang menegakkan kebathilan dalam hidupnya, maka ia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal, neraka jahanam, dan kekal di dalamnya.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2279527/mengejar-akhirat-dan-dunia-dengan-takwa#sthash.DpHAsphT.dpuf

Kenali Langkahmu, Tinggalkan Kebaikan di Jejakmu

“Berhati-hatilah dengan perbuatan kalian. Ingatlah bahwa di atas bumi yang kalian pijak, ada jejak Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam menegakkan kebaikan”.

Terngiang terus kalimat sederhana tersebut yang diucapkan oleh salah seorang ustadz ketika penulis berkesempatan umroh. Ya, benar sekali. Di atas tanah yang penulis injak ini mungkin Rasulullah pernah bersedekah, mungkin juga ketika itu beliau sedang memberi pelajaran kepada para sahabatnya, atau mungkin juga beliau ketika itu sedang memberikan arahan dakwah kepada sahabatnya.

Atau jangan-jangan Abu bakar, Umar, Utsman atau Ali pernah melakukan kebaikan di tempat yang sama. Dan ada banyak kemungkinan-kemungkinan lain peristiwa atau pun amalan kebaikan dilakukan oleh orang-orang besar atau orang-orang kecil di atas setiap tanah yang kita pijak. Semua itu mungkin saja tercatat dalam sejarah tapi jauh lebih banyak lagi yang tidak tercatat. Satu yang pasti, sekecil apapun itu pasti tercatat di sisi Allah.

Di mana kita melangkahkan kaki kita kemarin? Dan jejak apa yang telah kita tinggalkan? Ke tempat maksiatkah kita melangkah? Tersesat dalam kubangan nafsu yang terus menerus memasung kebersihan nurani kita? Ataukah ke tempat di mana diri kita menjadi semakin baik di hadapan manusia dan di hadapanNya?

Inspirasi dalam menegakkan perjuangan dan keadilan. Kecintaan yang besar dari orang-orang yang merasa kita perhatikan. Kasih sayang dan kerinduan dari keluarga anak cucu kita. Lantunan doa yang terus dikumandangkan untuk pengajaran yang kita berikan. Semua itukah jejak kita? Ataukah kebencian, sumpah serapah, laknat manusia terhadap kejahatan yang pernah kita lakukan. Aduan doa dari orang-orang yang pernah kita ambil haknya. Atau penyesalan dari orang-orang yang mencintai kita, atas penyimpangan yang kita lakukan?

Apa jejak yang telah kita tinggalkan? dan kemana kita akan langkahkan kaki kita? Semua itu hanya kita yang bisa menjawabnya. Ya Allah. Jadikan hari esokku lebih baik dari kemarin dan jadikan kami bagian dari hamba-hambaMu yang senantiasa berbuat baik. []

Porkas Halomoan, Ketua Yayasan Wihdatul Ummah

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2283034/kenali-langkahmu-tinggalkan-kebaikan-di-jejakmu#sthash.Hf6tJgTH.dpuf

Perlunya Audit dan Standardisasi Lembaga Penyelenggara Umroh

Semenjak pemerintah memberlakukan secara total sistem kuota dalam penyelenggaraan ibadah haji, yang mengakibatkan waktu tunggu yang cukup lama bagi para ummat muslim yang ingin menunaikan ibadah haji, ibadah umroh menjadi pilihan bagi mereka yang menginginkan segera menuju Baitullah, di Mekkah Al Mukarromah.

Biaya perjalanan umroh antara Rp 17 juta – Rp 30 juta sepertinya tidak menjadi masalah bagi sebagian umat Islam di tanah air untuk bersegera melaksanakan Tawaf, Sa’i, dan melakukan Tahalul di Masjidil Haram. Karena itu, tidak mengherankan jika jemaah umroh asal Indonesia mendominasi tempat-tempat yang memiliki nilai sakral, baik di kota Mekkah maupun di Madinah sepanjang tahun sebelum masa ibadah umroh dihentikan untuk penyelenggaraan ibadah haji.

Besarnya dominasi jemaah asal Indonesia itu tidak saja bisa dilihat dari fasihnya hampir sebagian besar para pedagang di Mekkah, Madinah maupun Jeddah dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tetapi bisa juga dilihat dari diterimanya mata uang Rupiah dalam beberapa transaksi dengan para pedagang di kota-kota tersebut dengan kurs yang lumayan. Selain itu, di beberapa tempat juga banyak restoran atau warung yang khusus menjajakan makanan khas Indonesia, seperti Rumah Makan Makanan Indonesia di Madinah, hanya beberapa meter dari Masjid Nabawi; dan Bakso Mang Oedin di Ballad, Jeddah.

Kementerian Agama mencatat sejak 1 Januari hingga 7 Mei 2015 lalu, jumlah jamaah umrah mencapai 24.869 orang. Rata-rata setiap hari sebanyak 195 jamaah umrah berangkat ke Arab Saudi, tercatat rata-rata setiap bulannya mencapai 5.602 orang. Jumlah jamaah umrah ini diprediksi semakin banyak pada selama bulan puasa, awal Idul Fitri, dan hari-hari besar keagamaan Islam lainnya, serta hari libur sekolah. Bahkan Direktur Cabang Kementerian Haji Arab Saudi, Mohammed bin Abdulrahman Albejaoa, mengatakan Indonesia berada di urutan teratasdiikuti oleh Pakistan, Turki, Mesir, Iran, Malaysia dan India, dalam mengirimkan jemaah umrohnya ke Saudi Arabia.

Tidak Semua Tentang Cerita Indah

Besarnya minat umat Islam di tanah untuk melaksanakan ibadah umroh itu, tentu saja merupakan peluang bisnis yang menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan umroh. Mereka berlomba-lomba merebut peluang tersebut dengan menawarkan berbagai kemudahan, khususnya dalam hal biaya. Beberapa biro perjalanan bahkan berani memberikan penawaran ‘tidak masuk akal’ dalam soal biaya ini, misalnya hanya dengan membayar Rp 14,5 juta bisa berangkat ke tanah suci. Tidak masuk akal karena biaya tiket Jakarta – Jeddah PP saja paling murah sudah Rp 13,5 juta, belum biaya penginapan, konsumsi, dan perjalanan Jeddah – Madinah – Mekkah – Jeddah atau sebaliknya.

Tidak mengherankan jika disamping besarnya dominasi jemaah umroh asal Indonesia, besar juga masalah yang dibawah oleh jemaah umroh Indonesia di Tanah Suci. Bukan hal aneh jika banyak penyelenggara perjalanan umroh yang melepaskan begitu saja jamaahnya setibah di Madinah atau Mekkah, tanpa adanya muthowwif atau wakil biro perjalanan yang mendampingi mereka melaksanakan ibadah umroh. Tidak itu saja, jamaah pun harus siap merogok kocek sendiri untuk memenuhi kebutuhan makanan agar bisa memenuhi standar kesehatan, dan harus bersedia tinggal berdesak-desakan di penginapan yang tidak memenuhi standar.

Beberapa biro perjalanan bahkan memberikan tiket pulang ‘abal-abal’, seolah-olah tiket pulang sudah diissued, namun pas di Bandara King Abdul Azis Jeddah ditolak oleh maskapai karena belum ada pembayaran. Akibatnya, jamaah harus rela menunda kepulangan, yang terkadang bisa beberapa hari hingga biro perjalanan di Jakarta melunasi tiket penerbangan kembali ke Jakarta. Masih beruntung jika biro perjalanan menyediakan tempat penginapan selama ‘menunggu’ kepastian terbang kembali ke tanah air itu, karena ada beberapa yang ‘menelantarkan’ jamaahnya di Bandara King Abdil Azis.

Jangan heran pula, jika terkait tiket ini kemudian jamaah harus siap berganti maskapai, tidak sesuai yang dijanjikan penyelenggara umroh sebelumnya. Ujung-ujungnya perjalanan ke tanah air pun bisa menjadi panjang, karena beberapa maskapai tidak terbang langsung dari Jeddah ke Jakarta, tapi transit terlebih dahulu di Dubai (UEA), Doha (Qatar), Brunai Darussalam, dan bahkan Kolombo (Srilangka), entah beberapa jam lamanya.

Jangan dibayangkan lagi betapa tersiksanya para jamaah, yang sudah kehabisan tenaga melaksanakan ibadah umroh dan menghadapi cuaca yang tidak bersahabat selama tinggal di Madinah dan Makkah. Selain itu, karena sudah tahap perjalanan pulang, sebagian besar jamaah sudah tidak memiliki bekal uang yang cukup, karena telah mereka habiskan untuk belanja selama di Tanah Suci.

Sungguh menyedihkan, disamping kebanggaan melihat dominasi jamaah umroh Indonesia di tanah suci, di saat yang sama harus menyaksikan banyaknya jamaah Indonesia yang terlantar di beberapa tempat. Padahal bagaimanapun mereka adalah duta-duta bangsa yang membawa nama bangsa di manapun mereka berada.

Audit dan Standardisasi

Beberapa perusahaan penyelenggara perjalanan umroh memang tidak melakukan hal seperti itu, terutama perusahaan-perusahaan yang sudah punya nama, yang biasanya  menarik biaya sedikit lebih mahal, setidaknya di atas US$ 1600 atau sekitar Rp 25 jutaan. Namun meski sedikit lebih mahal, mereka bisa memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang dijanjikan, mulai pesawat tepat waktu, penginapan yang sesuai dengan jarak yang terjangkau, dan menu catering yang memenuhi standar kesehatan.

Tidak seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara umroh yang menawarkan biaya sekitar Rp 14 juta – Rp 19 juta. Perusahaan-perusahaan ini biasanya tidak memberikan jadwal yang pasti tentang jadwal keberangkatan, kepulangan, dan selama perjalanan di Madinah atau di Mekkah. Tempat penginap pun biasanya ditulis, misalnya hotel bintang tiga/setaraf. Namun sesampai di Mekkah atau Madinah, yang dipilih bukan hotel yang ditulis, tapi yang dikedepankan adalah yang “setaraf”. Bahkan rencana perjalananpun bisa berubah mendadak, dari yang semula Jeddah – Madinah – Mekkah menjadi Jeddah – Mekkah – Madinah.

Karena ini menyangkut 195 ribu jemaah yang berangkat setiap hari, yang berarti 6 juta lebih per tahunnya, sudah sewajarnya negara harus hadir menata dan memberikan perlindungan kepada warganya yang menunaikan ibadah umroh. Tidak sepantasnya negara membiarkan urusan berjuta-juta warganya kepada perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan yang tidak berorientasi bisnis semata, namun juga lebih besar unsur spekulasinya dibandingkan dengan perhitungan bisnis yang rasional.

Kehadiran negara bisa dilakukan dengan menetapkan standarisasi dalam penyelenggaraan perjalanan umroh, mulai dari kekuatan modal, ketersediaan tenaga pendamping yang berkualitas, hingga pelayanan minimal, serta biaya minimal (batas atas dan batas bawah). Soal modal minimal harus ditekankan untuk menghindari upaya spekulasi dari perusahaan penyelenggara perjalanan umroh, dan menjamin kenyamanan jamaah dalam melaksakanakan ibadah umroh. Jika memang perusahaan tersebut tidak memiliki modal minimal, pilihannya hanya dua, mundur teratur atau bergabung (merger( dengan perusahaan lain.

Jika standarisasi sudah dilakukan, maka selayaknya pemerintah melalui Kementerian Agama melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan umroh, dan memberikan sanksi keras bagi perusahaan yang terbukti tidak bisa memberikan pelayanan terbaik pada jemaahnya. Tidak ada pilihan bagi perusahaan-perusahaan yang secara rasional tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah, maka mereka harus mundur, dan memberikan kesempatan kepada mereka yang mampu. Soal kemungkinan munculnya perusahaan-perusahaan yang dominan, hal ini tidak bisa dihindari karena pemerintah harus menomorsatukan perlindungan bagi calon jamaah umroh.

Dengan audit dan pemberlakuan standarisasi, maka bisa dijamin hanya perusahaan-perusahaan yang memenuhi persyaratan saja yang bisa masuk dalam bisnis penyelenggaraan umroh. Meskipun mungkin tidak ada lagi tarif yang ‘merakyat’, namun dengan standarisasi maka jamaah umroh akan memperoleh jaminan pelayanan yang baik, dan potensi keterlantaran mereka selama di Tanah Suci akan bisa diminimalisir.

Selanjutnya, dengan pelayanan yang baik dan minimalnya potensi keterlantaran jamaah, maka jamaah umroh dan perusahaan penyelenggara umroh akan bisa menjaga nama baik bangsa dan negara selama di Tanah Suci.

—————————–

Oleh: Eddy Soetjipto*)

*) Asisten Utusan Khusus Presiden bidang Perbatasan Maritim RI – Malaysia. Namun tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.

 

sumber:Setkab RI

10 Tahun ke Depan, Pelaksanaan Haji Jatuh pada Musim Panas

Penelitian Institut Wali Masjid Suci untuk Riset Haji dan Umrah menyatakan musim haji selama sepuluh tahun ke depan bertepatan dengan cuaca terpanas dalam satu tahun di Arab Saudi. Dilansir dari Al-Arabiya, Senin (21/3), bulan-bulan panas September, Agustus, Juli, dan Juni dalam sepuluh tahun mendatang akan menjadi waktu datangnya para peserta haji dari berbagai negara.

Melihat hal itu, penelitian tersebut memperingatkan para peserta haji dalam sepuluh tahun ke depan untuk bersiap-siap menghadapi musim panas nantinya. Terlebih paparan panas sinar matahari sering menjadi penyebab gangguan kesehatan bagi para peserta haji.

Tahun lalu, penelitian itu juga mencatat peningkatan cukup tinggi kasus korban gelombang panas matahari selama musim haji. Beberapa penyakit musim panas pun diperkirakan akan memengaruhi aktivitas ibadah peserta haji pada musim-musim selanjutnya.

Berdasarkan penelitian, Makkah dan daerah-daerah di sekitarnya akan sangat panas dalam sepuluh tahun ke depan. Para periset memperingatkan peserta haji untuk menyiapkan berbagai hal-hal penting untuk berjaga-jaga menghadapi musim panas selama berhaji.

Para peserta haji dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari langsung. Lebih baik mengenakan payung jika berada di luar ruangan, menutupi kepala, serta mengenakan pakaian berwarna terang. Diimbau pula agar jamaah haji banyak mengonsumsi air atau minuman ringan, dan saat mandi tetap menyalakan pendingin ruangan.

Penelitian tersebut menjelaskan tanda-tanda dari terlalu banyak terpapar sinar matahari adalah suhu badan yang meninggi, sakit kepala, kehilangan kesadaran, detak jantung meningkat, serta berkeringat deras. Selama musim haji tahun lalu, tercatat 1014 kasus kelelahan karena suhu udara tinggi, 723 jamaah lemas karena paparan sinar matahari, serta 1737 alami luka karena suhu panas.

sumber:Republika Online

Kemenag Perkenalkan Aplikasi ‘Haji Pintar’

Kementerian Agama meluncurkan aplikasi ponsel berbasis laman dan sistem operasi Android “Haji Pintar” untuk mempermudah ibadah jamaah haji Indonesia di Arab Saudi.

“Aplikasi ini meliputi akomodasi, transportasi, katering, manasik dan daftar nama penyelenggara ibadah haji,” kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Abdul Jamil seusai peluncuran “Haji Pintar” di salah satu hotel di Tanah Abang, Jakarta, Jumat (31/7).

Abdul mengatakan dengan aplikasi ini, jamaah haji dapat mengetahui lokasi hotel tempat menginap, jalur bus shalawat serta menu makanan selama manasik haji. Terdapat juga fitur yang menyajikan berbagai doa manasik haji dalam aplikasi tersebut.

“Haji Pintar”, kata Abdul, dapat diunduh oleh masyarakat yang membutuhkan lewat Google Play Store atau melalui laman resmi Kementerian Agama kemenag.go.id.

Abdul berharap agar jamaah dapat memaksimalkan manfaat dari aplikasi ini. Kendati demikian, Kemenag tetap terbuka untuk membantu jamaah haji selain lewat aplikasi Android dan laman Kemenag ini. Dengan kata lain, tidak ada penurunan kualitas pelayanan haji secara langsung dari pemerintah.

Aplikasi tersebut merupakan bagian dari digitialisasi pelayanan haji. Sebelumnya, pemerintah telah menerapkan kebijakan “e-hajj” yang seiring dengan program dari Arab Saudi.

Baca juga: Aplikasi Pengecekan Jadwal Keberangkatan Haji

Lewat “e-hajj”, transparansi data haji berbasis teknologi informasi dapat terlaksana dan bisa diakses oleh seluruh jamaah haji.? Program haji elektronik ini telah diterapkan Indonesia di tahun ini sebagai proyek percontohan. Indonesia ini dianggap Saudi mampu dan baik dalam mengurus jamaah haji.

Hukum Risywah (Suap)

1. Definisi risywah

Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan mu’jam wasith).

Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).

2. Unsur-unsur risywah

berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah jika memenuhi unsur-unsur berikut:

a. Adanya athiyyah (pemberian)

b. Ada niat Istimalah (menarik simpati orang lain)

c. Bertujuan:

  1. Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
  2. Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
  3. al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
  4. al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
  5. al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)

3. Beberapa istilah yang serupa dengan risywah

Bila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antaranya:

a. Hadiah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang ala sabilil ikram (sebagai penghargaan).

Perbedaannya dengan risywah adalah: hadiah diberikan ala sabilil ikram, sedangkan risywah diberikan untuk mendapatkan yang diinginkannya.

b. Hibah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah al wahib (pemberi) memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu sedangkan ar-rasyi (penyuap) memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu.

c. Shadaqah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT seperti zakat ataupun infaq sunnah. Perbedaannya dengan risywah adalah orang yang bersedekah memberikan sesuatu karena mengharapkan pahala dan ridha dari Allah semata, sedangkan ar-rasyi dalam pemberiannya mengharapkan kepentingan duniawi.

Dan bila dilihat dari sisi kedua yaitu menerima atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka tindakan lain yang serupa dengan risywah, adalah korupsi. Korupsi adalah penyelewengan dan penggelapan harta negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam istilah Islam, korupsi agak sulit dicari persamaannya. Dalam Islam, ada beberapa istilah yang terkait dengan mengambil harta tanpa hak, misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh, hirobah, ghulul dll. Semuanya mengandung makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu bermuara pada pengambilan harta dengan cara yang tidak benar. Dan biasanya Untuk memuluskan tindakan korupsi disertai dengan risywah. Oleh karena itu banyak orang yang mengidentikkan korupsi dengan risywah.

Bahkan dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 1 terdapat kemiripan antara korupsi dan suap, dimana korupsi didefinisikan dengan:

« memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dimana pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya »

4. Hukum risywah

Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:

a. Firman Allah ta’ala:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)

b. Firman Allah ta’ala:

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).

Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT

c. Rasulullah SAW bersabda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).

d. Nabi Muhammad SAW bersabda:

«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»

“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.

5. ‘Risywah’ yang diperbolehkan

Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).

6. Pembagian Risywah

Imam Hanafi membagi risywah dalam 4 bagian:

a. Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan jabatan hukumnya adalah haram, baik bagi penyuap maupun bagi penerima.

b. Memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya.

 

c. Memberikan sesuatu agar mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu, tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata:”tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”. Abu Laits As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta dengan suap.

d. Memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau di instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan dan instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima) sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terzhalimi. Firman Allah SWT yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

(sumber: mausu’ah fiqhiyyah dan tafsih ayat ahkam lil Jash-shash)

7. Risywah masa kini

Saat ini ada bentuk risywah yang tampak lebih lembut, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa, baik materi atau pelayanan, dll. Dan ada pula bentuk risywah yang lebih berat dari risywah itu sendiri, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan miliknya, seperti dana APBD, dll.

8. Hukum pemberian dilihat dari sisi orang yang diberi

a. Penguasa

Ibnu Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340). Nabi Muhammad SAW memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan: pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat jabatan kita.

Hadits Rasulullah SAW, “Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)

b. Pejabat pemerintah

hadiah yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)

Dan sabda Nabi SAW :

” هدايا الأمراء غلول “

“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)

Ghulul, secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu adalah para penguasa dan pejabat.

c. Hakim

Pemberian yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama, karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun digunakan sebagai investasi).

d. Mufti

Haram bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.

e. Guru/Dosen

Jika pemberian itu diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu dan keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan tugas dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak diambilnya.

f. Saksi

Haram bagi seorang saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka gugurlah keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330, al-Mughni 9/40 dan 160).

9. Hukum keputusan hakim yang disertai risywah.

Jika seorang hakim memutuskan perkara dengan disertai risywah, maka para ulama berbeda pendapat apakah putusan itu sah dan harus dilaksanakan atau putusan itu batal demi hukum:

a. Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan dengan risywah batal dan tidak boleh dilaksanakan, walaupun keputusan tersebut benar. (al Bahrurraiq 6/284, al Mughni 9/40)

b. Al Khashaf dan Ath-Thohawi berpendapat bahwa keputusan hakim dianggap sah jika bertepatan dengan syari’ah, dan risywah tidak bisa membatalkan hukum yang benar yang telah ditetapkan (Durarul hukkam 4/537)

10. Sanksi bagi pelaku risywah

Risywah adalah sebuah pelanggaran yang jelas pelakunya harus dikenai sanksi, baik ar-rasyi sebagai pemberi maupun al-murtasyi sebagai penerima pemberian.

Dan dikarenakan tidak adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik bentuk maupun ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan macamnya diserahkan kepada hakim.

11. Cara pengembalian uang hasil risywah

Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah di atas.

Oleh karena itu setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan harta “ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama ‘hadiah’ dan ‘tanda terima kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ (suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’ dsb.

Segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam.” (Kasysyaful Qina’ 6/317)

(SCC)

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/02/07/18400/hukum-risywah-suap/#ixzz43euSHtPi

Budaya Sogok Menyogok

Budaya sogok menyogok alias suap menyuap di negeri ini telah mendarah daging dan terjadi di berbagai sendi kehidupan. Kalau suap menyuap nasi itu mesra, asalkan dilakukan dengan istri atau suami maka halal

Budaya sogok menyogok alias suap menyuap di negeri ini telah mendarah daging dan terjadi di berbagai sendi kehidupan. Kalau suap menyuap nasi itu mesra, asalkan dilakukan dengan istri atau suami maka halal. Namun kalau suap menyuap sama lawan jenis yg bukan mahrom tentunya haram.

Demikian juga kalau suap menyuap dalam urusan pemerintahan atau birokrasi agar dimuluskan jalan yg berlubang alias salah jalan, maka itu haram tentunya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Semoga laknat Allah ditimpakan kepada penyuap dan yang disuap” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dll)

Upaya memerangi praktek suap menyuap di negri kita seakan berhenti di tempat, atau paling kurang gali lubang membuka lubang yang lebih lebar, dan demikian seterusnya. Yang demikian itu karena upaya perang terhadap suap menyuap tidak diiringan dengan pembangunan iman dan ketakwaan kepada Allah, yang merupakan pondasi moral dan perilaku umat islam.

Begitu melekatnya budaya suap menyuap sampai-sampai ada seorang jamaah haji yang ingin menyuap nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Ceritanya, teman saya yang bertugas menjaga kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh salah seorang saudara kita seorang jamaah haji indonesia. Jamaah haji tersebut mengamati kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan penuh santun. Pandangannya terus tertuju ke arah kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah mengamati beberapa saat lamanya, tiba-tiba jamaah haji indonesia tersebut melemparkan uang kertas pecahan Rp 100.000,- ke arah kuburan beliau shallallahu alaihi wa sallam. Tak ayal lagi, sikap saudara kita ini mengejutkan penjaga kuburan, yang kebetulan seorang mahasiswa Islamic University dari kota Jogjakarta. Setelah melemparkan uang pecahan Rp 100.000,- jamaah haji itu bergegas pergi.

Aneh memang, sikap seperti ini, kalau mau bersedekah kepada Nabi, maka beliau telah meninggal dunia, sehingga tidak membutuhkan uang. Bila ingin bersedekah kepada penjaga kuburan, kok dilemparkan ke arah kuburan bukan langsung diserahkan kepada yang jaga. Walaupun secara peraturan yang berjaga di kuburan beliau tidak dibenarkan menerima hadiah apapun dan dari siapapun.

Mungkinkah, jamaah haji tersebut ingin memberi hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar beliau kelak memberinya syafaat di hadapan Allah? Namun, Tahukah saudara bahwa menerima hadiah karena suatu rekomendasi alias syafaat adalah salah satu bentuk korupsi? Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَفَعَ لِأَحَدٍ شَفَاعَةً، فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا، فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنَ الرِّبَا»

Barang siapa memberikan suatu rekomendasi kepada seseorang, lalu yang ia beri rekomendasi memberinya hadiah dan iapun menerimanya, maka berarti ia telah memasuki satu pintu besar dari pintu riba“. (HR. Ahmad dan lainnya).

Dengan demikian tidak mungkin Nabi menerima hadiah semacam ini andaipun beliau masih hidup di dunia.

Penulis: Ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi, Lc., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Penyuap dan Penerima Suap Neraka Jahanam

Dewasa ini praktik suap menjadi problematika di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Bahkan tidak berlebihan bila kita katakan, bahwa persoalan ini sudah menjadi masalah yang multi dimensional. Melihat telah merambah dalam ranah sosial, moral, hukum, ekonomi dan pendidikan.

Seorang yang melakukan suap, biasanya ia memberikan suap untuk suatu kepentingan; baik berupa keuntungan tertentu atau supaya terbebas dari jerat hukuman. Al Fayyumi rahimahullah, dalam Mishbahul Munir menjelaskan makna daripada risywah,

“Risywah (gratifikasi) adalah sebuah pemberian seseorang kepada hakim atau selain hakim, supaya memberikan keputusan yang menguntungkannya atau membuat orang yang diberi menuruti keinginannya” (1)

Al-Jurjani dalam at-tarifat menerangkan, “Risywah adalah, harta yang diberikan untuk tujuan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah” (2)

Maka tidaklah heran, bila pihak yang paling rawan berhubungan dengan suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah, yang memiliki peranan penting dalam memutuskan perkara. Semisal dalam pemberian izin ataupun pemberian mandat proyek.

Dalam urusan administrasi, juga tidak lepas dari suap. Untuk saat ini, pejabat yang berwenang mengeluarkan surat administrasi ataupun identitas; semisal paspor, KTP, SIM dan lain-lain, rentan berhubungan dengan suap.

Bahkan saat ini, suap ditengarai sudah merambah ke dunia pendidikan. Baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswa baru, kenaikan kelas, kelulusan atau untuk mendapatkan nilai bagus dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah.

Amat menyedihkah bukan melihat kenyataan yang seperti ini (?!) Lembaga pendidikan yang dielu-elukan menjadi tonggak masa depan bangsa, pun ternyata tak lepas dari praktik sogok. Yang sudah barang tentu praktik haram seperti ini akan menghilangkan keberkahan daripada ilmu. Untuk itu perlu digalakkan lagi gerakan penyadaran masyarakat akan bahaya risywah atau gratifikasi.

Pandangan Islam Terhadap Gratifikasi

Di antara prinsip dasar Islam adalah mendatangkan segala hal yang bisa memberikan maslahat bagi kehidupan manusia, dan mencegah segala perkara yang bisa merugikan kehidupan manusia atau meminimalisir dampaknya. Di antara perkara yang merugikan kehidupan manusia adalah praktik risywah (gratifikasi). Oleh karenanya, Islam menetapkan keharaman praktik ini.

Bahkan sebagian ulama telah menukilkan ijma (kesepakatan di kalangan ulama) akan keharaman risywah. Di antaranya adalah Taqiyyuddin as Subki rahimahullah dalam kitab fatwanya (3). Mereka menyimpulkan dari banyak dalil yang secara tegas melarang perbuatan ini.

Di antaranya adalah berikut ini:

Pertama: firman Allah taala, “Mereka (orang-orang Yahudi) itu suka mendengar kebohongan-kebohongan para pendeta mereka dan suka memakan as-suht” (QS Al Maidah 42).

“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) berlomba-lomba berbuat dosa dan permusuhan serta memakan harta as-suht. Sungguh amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu” (QS. Al-Maidah: 62)

Lalu apa gerangan makna as-suht pada ayat di atas?

Ternyata makna as-suht pada ayat di atas adalah risywah, sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahualaihiwasallam dalam sabdanya, “Setiap daging yang tumbuh karena as-suht, maka api nereka lebih pantas untuknya. Para sahabat bertanya, Wahai Rasul, apa as-suht itu? Beliau menjawab, Risywah dalam memutuskan perkara.” (HR. Baihaqi).

Ibnu Masud radhiyallahuanhu juga menerangkan makna as-suht, “Suht adalah engkau memenuhi keperluan saudaramu, kemudian dia memberikan hadiah kepadamu, lalu engkau menerima hadiah tersebut.” (4)

Para pembaca yang dimuliakan Allah, konteks ayat di atas sedang membicarakan sifat orang-orang Yahudi, yang mana mereka biasa memakan harta suht. Dan telah kita simak bersama pemaparan mengenai makna suht, bahwa maknanya adalah risywah atau harta suap. Dari sini dapat kita ketahui, bahwa di antara sifat orang-orang Yahudi adalah biasa melakukan praktik risywah.

Oleh karenanya, larangan terhadap perbuatan ini tidak hanya karena keharaman harta suap itu sendiri, namun juga karena terdapat unsur tasyabbuh dengan orang-orang Yahudi.

Kedua, Allah taala berfirman, “Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil.” (QS Al Baqarah: 188).

Imam Qurtubi rahimahullah, dalam tafsirnya menukilkan salah satu penjelasan ahli tafsir mengenai makna ayat ini, “Maksud ayat ini adalah, janganlah kalian merayu para hakim dengan menyuap mereka, dengan harta kalian. Untuk memenangkan siapa yang iming-iming uangnya paling banyak.”

Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Athiyyah rahimahullah, yang menunjukkan tarjih (pilihan) beliau terhadap penafsiran ini, “Penafsiran inilah yang paling kuat. Karena hakim memang rawan menerima suap. Kecuali hakim yang mendapat taufik untuk menjauhi praktik haram tersebut dan mereka hanya segelintir.” (5)

Realita di lapangan memang demikian. Suap sering diberikan kepada aparat penegak hukum atau para pejabat di lingkungan birokrasi pemerintahan, yang memiliki peranan penting dalam memberikan suatu keputusan.

Imam al Baghowi dalan tafsirnya juga menjelaskan makna ayat ini, “Memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, maksudnya adalah memakan harta milik saudaramu dengan cara yang tidak halal.”

Beliau melanjutkan, “Memakan dengan cara batil ada banyak macamnya. Bisa dengan cara menggosob atau merampok. Bisa pula berupa harta yang didapat dari hasil judi atau gaji penyanyi dan lain yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (6)

Ketiga, ayat-ayat yang memerintahkan untuk memakan harta yang baik dan halal. Di antaranya adalah firman Allah taala, “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari sebagian rezeki yang telah Allah berikan kepada kalian. Dan bertakwalah kepada Allah. Tuhan yang kalian imani” (QS. Al-Maidah: 88).

Dalam kaidah ushul fikih disebutkan, perintah terhadap sesuatu, bermakna larangan terhadap perkara sebaliknya.

Ayat di atas memerintahkan kaum mukminin untuk memakan rezeki yang baik dan halal. Dari kaidah ushul fikih di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa perintah ini mengandung makna larangan dari perkara sebaliknya, yaitu segala macam rezeki yang haram. Dan termasuk dalam kategori rezeki yang haram adalah harta risywah atau gratifikasi.

Keempat, laknat Rasulullah terhadap orang yang menyuap dan yang menerima suap.
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahuanhu, beliau mengatakan, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Juga riwayat dari sahabat Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, “Rasulullah shallallahualaihi wasallam melaknat penyuap dan orang yang menerima suap” (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al-Albani).

Kelima, hadis dari sahabat Abu Humaid as Saidi radhiyallahuanhu, bahwa beliau menceritakan, Nabi shallallahualaihiwasallam mempekerjakan seseorang dari suku Azdy, namanya Ibnu Al Utbiyyah untuk mengurusi zakat. Tatkala ia datang iapun berkata (kepada Rasulullah), “Ini untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku.”

Nabipun lantas bersabda, “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu? Demi Allah, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya melainkan dia akan menemui Allah dengan membawa beban pada hari Kiamat kelak. Kalau unta atau sapi atau kambing, semua bersuara dengan suaranya.”

Kemudian beliau mengangkat tangan sampai kelihatan putih ketiak beliau, seraya bersabda, “Ya Allah, tidakkah telah aku sampaikan” Beliau mengatakan demikian sebanyak tiga kali” (HR. Bukhari).

Keenam, hadis Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda, “Penyuap dan orang yang menerima suap berada dalam neraka” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir).

Hati-hatilah, Risywah adalah Dosa Besar

Diantara dalil telah yang kami paparkan di atas, terdapat hadis yang menerangkan ancaman laknat bagi para penyuap dan yang menerima suap. Sedang Para ulama menjelaskan, “Setiap dosa yang hukumnya berupa laknat, maka dosa tersebut termasuk dosa besar.”

Ini menunjukkan bahwa risywah masuk dalam kategori dosa besar, yang seharusnya diwaspadai.

Di samping itu, Allah taala juga menerangkan, bahwa kebiasaan memakan harta suap adalah sifat orang-orang Yahudi. Sehingga praktik suap termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai ciri khas) orang-orang kafir. Dan tasyabbuh kepada orang kafir termasuk dosa besar. Karena Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya” (HR. Abu Daud no. 4031. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676).

Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam Al Kabair menggolongkan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, ke dalam dosa besar. Beliau menyatakan, “Dosa besar ke 20: Kedzoliman dalam bentuk memakan harta manusia dengan cara yang batil.” Kemudian beliau menyampaikan firman Allah taala,

“Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil. Jangan pula kalian mengajukan perkara kepada hakim-hakim dengan cara yang batil, supaya kalian dapat mengambil sebagian daripada harta benda orang lain padahal kalian mengetahui, bahwa cara semacam itu adalah batil” (QS: Al Baqarah188). (7)

Tentu tak diragukan lagi, termasuk memakan harta dengan cara yang batil adalah, praktik sogok atau suap menyuap. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam al Baghowi dalam tafsirnya,

“Memakan harta manusia dengan cara yang batil ada banyak macamnya. Bisa dengan mengghosob atau merampok. Bisa hasil judi atau gaji penyanyi dan yang sejenis. Terkadang bisa melalui risywah (gratifikasi) atau khianat (korupsi).” (8) [Ahmad Anshori]

Catatan kaki:

[1] Mishbahul Munir hal. 228, dalam Nadhrotun Naim 10/4542
[2] at-Tarifat hal. 116, dalam Nadhrotun Naim 10/4542
[3] Fatawa as Subki, 1/204, maktbah Syamilah
[4] Al-Kabair hal. 143
[5] Tafsir Al-Qurtubi 2/226
[6] Tafsir Al Baghowi 1/165
[7] Al Kabair hal: 86
[8] Tafsir Al Baghowi 1/165

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2282476/penyuap-dan-penerima-suap-neraka-jahanam#sthash.QtZEFjBD.dpuf

Alasan Jabatan Khalifah Dihapus Mustafa Kemal

Disfungsi khalifah Doktor Studi Islam University of Leiden Belanda Ali Mufrodi dalam buku yang berjudul Ensiklopedi Tematis Dunia Islam menjelaskan, pada abad ke-20 nasionalisme Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Ataturk tumbuh di wilayah Ustmani atau Turki Ottoman.

Nasionalisme Turki menyebabkan Kerajaan Ustmani terpuruk dari panggung sejarah pada 1924 dan digantikan dengan Turki modern yang berbentuk republik yang sekuler. Saat itu, Mustafa Kemal berpendapat dalam sidang Majelis Nasional Agung tahun 1922, jabatan sultan dan khalifah terpisah dalam sejarah. Khalifah berada di Baghdad, sedangkan sultan di daerah.

Maka, jabatan yang dipegang oleh penguasa Turki harus dipisah, sultan dihilangkan, tapi khalifah dipertahankan.
Usul tersebut diterima oleh Majelis Nasional Agung pada 1 November 1922, sehingga raja Turki hanya bergelar khalifah yang mengurusi masalah spiritual saja tanpa berkuasa atas urusan duniawi.

Sultan Muhammad VI Wahiduddin tidak setuju terhadap keputusan Majelis Nasional tersebut, sehingga dituduh sebagai pengkhianat oleh pihak nasionalis. Ia kemudian meninggalkan Istan bul. Sementara itu, kaum nasionalis mengangkat saudara sepupu Wahiduddin, yakni Abdul Majid sebagai khalifah.

(Baca: Kesultanan Islam Terakhir Runtuh, Ini Penyebabnya)

John Freely dalam tulisannya yang berjudul Inside the Seraglio menuturkan, setelah Majelis Nasional Agung Turki menghapus kesultanan pada 1 November 1922, Sultan Mehmed diusir dari Konstantinopel. Ia meninggalkan Turki menggunakan kapal-kapal perang Inggris Malaya pada 17 No vem ber. Ia pergi ke pengasingan di Malta. Meh med kemudian tinggal di Riviera, Italia.

Dengan penghapusan jabatan Sultan, dualisme kepemimpinan duniawi sudah tidak ada lagi. Kedaulatan berada di tangan Majelis Nasional Agung dan kekuasaan eksekutif berada di bawah Majelis negara. Khalifah Abdul Majid hanya berkedudukan sebagai lambang bagi Turki yang bersifat Islam.

Masalah yang muncul setelah itu ialah mengenai bentuk negara. Karena kedaulatan Turki sudah berada di tangan rakyat menurut Konstitusi 1921, negara harus berbentuk republik sebagaimana dikehendaki para tokoh nasionalis. Tetapi, kelompok Islam tidak setuju.

Mereka masih mempertahankan bentuk khilafah daripada bentuk lain. Majelis Nasional Agung memutuskan dalam sidangnya pada 29 Oktober 1923 bahwa Turki menjadi republik dan megangkat Mustafa Kemal menjadi presiden yang pertama.

Meskipun keputusan tersebut tidak disetujui oleh golongan Islam, mereka merasa puas dengan usulannya bahwa Islam adalah agama negara.

Dengan pengangkatan Mustafa Kemal menjadi presiden Turki maka terjadilah dualisme kepemimpinan di Turki. Di satu pihak, Abdul Majid sebagai khalifah didukung oleh umat Islam di Turki dan umat Islam di dunia yang ingin tetap mempertahankan khalifah.

Mustafa Kemal ingin menghapuskan jabatan khalifah dengan alasan bahwa jabatan tersebut merupakan milik umat Islam seluruh dunia. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika dibebankan hanya kepada Turki. Maka, ia mengusulkan supaya jabatan khalifah dihapuskan dari Turki yang sudah menjadi republik.

Dari hari ke-hari, kedudukan Mustafa Kemal semakin kuat di mata rakyat. Dalam kedudukannya sebagai panglima dari semua pasukan yang ada di Turki selatan Mustafa Kemal membentuk pemerin tahan tandingan di Anatolia sebagai imbangan terhadap kekuasaan Sultan Abdul Majid II di Istanbul. Hal ini dilakukannya karena ia melihat Sultan sudah berada di bawah kekuasaan sekutu.

Majelis Nasional Agung dalam sidang sejak Februari 1924 membicarakan hal tersebut dengan perdebatan yang sengit dan akhirnya memutuskan untuk menghapus jabatan khalifah pada 3 Maret 1924. Abdul Majid II yang menjabat kha li fah dipersilakan meninggalkan Turki. Ia bersama keluarganya menuju Swiss. Dengan demikian, dualisme kepemimpinan di Turki dapat teratasi.