10 Keistimewaan Perempuan Dalam Islam

10 keistimewaan ini niscahya akan bisa didapat jika para perempuan melakukan segala kebaikan dan bertawakal dijalan Allah SWT

Dream – Dalam islam setiap muslimah memilki banyak keistimewaan. Sebagai seorang perempuan, istri, dan ibu, seorang muslimah sangat dimuliakan perannya dalam kehidupan.

Apakah benar doa wanita lebih makbul daripada doa pria karena sifat penyayang seorang perempuan yang lebih kuat daripada pria. Ketika hal ini ditanya kepada Rasulullah SAW, jawab baginda: “Ibu (wanita) lebih penyayang daripada bapak (pria) dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia.”

Jawaban Rasulullah SAW jelas menggambarkan betapa mulianya para muslimah dengan segala keistimewaanya. Dan berikut ini adalah 10 alasan mengapa perempuan begitu istimewanya dalam islam.

1. Perempuan yang sholehah (baik) itu lebih baik daripada 70 orang pria yang sholeh.

2. Perempuan yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah SAW) di dalam surga.

3. Surga itu di bawah telapak kaki ibu.

4. Perempuan apabila salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadan, memelihara kehormatannya serta taat pada suaminya, masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki.

5. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah SWT memasukkan dia ke dalam surga lebih dahulu daripada suaminya (10.000 tahun).

6. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah SWT mencatatkan baginya setiap hari dengan 1.000 kebaikan dan menghapuskan darinya 1.000 kejahatan.

7. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad dijalannya.

8. Seorang perempuan solehah adalah lebih baik daripada 70 orang wali.

9. Istri yang melayani dengan baik suami yang pulang kerumah di dalam keadaan letih akan mendapat pahala layaknya berjihad.

10. Jika Istri melayani suami tanpa khianat akan mendapat pahala 12 tahun sholat.

 

 

sumber: Dream

Perempuan Tiang Peradaban

Umar bin Abdullah bin Abi Rabi’ah (w 93H/711 M), pujangga ternama yang hidup pada Dinasti Umayah, tak henti-hentinya memuja kecantikan perempuan. Ia menjadikan kaum hawa tersebut sebagai inspirasi dalam puisi-puisinya. Dalam kekagumannya, sosok yang didaulat sebagai tokoh Quraisy paling puitis itu menulis:

Aku melihat paras dan aura kehawaannya
Seperti sinar rembulan yang elok
Ketika tampak dari kegelapan
Dengan segera wajahnya bersinar

Kekaguman dan penghormatannya terhadap perempuan begitu mengkristal. Ia juga sering disebut-sebut sebagai spesialis penyair yang berkaitan dengan kecantikan, keelokan, dan misteri agung perempuan. Begitulah perempuan.

Kerapuhan mereka bukan untuk ditindas, mereka lemah, tetapi sejatinya sangat kuat, melampaui batas kemampuan pria meski tak banyak yang menyadari. Perilaku barbar manusia modern saat ini yang memperbudak, menjual, dan menindas perempuan mengingatkan kita terhadap kelakuan yang sama pada peradaban masa kuno.  

 

Apakah memang siklus peradaban masa kini tengah berbalik ke masa lampau sebagaimana yang diteorikan oleh Lauer, Oswald Spengler, atau Pitirim Sorokin? Berbagai peristiwa itu terjadi berulang-ulang, tanpa direncanakan pada titik tertentu.

Tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitif, tradisional, dan modern tidak jelas. Atau, ini adalah upaya mencapai peradaban yang lebih tinggi, seperti prediksi Arnold Toynbee?

Dari sisi lain, betapa pada hakikatnya sebagian kecil dunia mengakui bahwa cara, metode, dan prinsip-prinsip penghormatan Islam terhadap perempuan menginspirasi dunia. Ini, antara lain, terlihat dari sejumlah karya para orientalis. Kratosvieski, orientalis asal Rusia, menulis Asbania al-Muslimah.

Menurutnya, terangkatnya martabat perempuan Spanyol terpengaruh oleh tradisi umat Islam yang berkuasa beberapa dekade di wilayah tersebut. Pendapatnya itu dikuatkan oleh ilmuwan asal Prancis, Brufansal, dengan karyanya yang berjudul, La Civilisation Arabe en Espagne (Peradaban Arab di Spanyol).

 

Penghormatan terhadap perempuan yang digariskan oleh Islam bukti bahwa Islam selangkah lebih maju dibandingkan dengan peradaban yang lebih dulu eksis dan tumbang. Pada saat perempuan dikebiri haknya, Islam memberikan secara proporsional hak-hak tersebut, dalam banyak hal, mereka setara dengan laki-laki, bahkan lebih mengetahui, seperti dalam kasus pengetahuan keagamaan keperempuanan, Aisyah RA contohnya.

Tak mengherankan bila sejarah mencatat banyak tokoh dari golongan hawa yang sukses menorehkan prestasi di berbagai bidang. Meski, perbandingannya masih teramat kecil. Bagi Fatimah Mernissi itu wajar, mengingat budaya patriarki yang teramat kental dalam masyarakat Arab saat itu. Meski demikian, peradaban Islam menjadi tonggak bangkitnya kemuliaan perempuan. Mereka berperan besar dalam membangun peradaban yang bermartabat.

Dalam bidang fikih, sejarah mencatat nama Amra’ binti Abdurrahman (98 H/716 M), Hafsah binti Sirrin (100 H/718 M), atau Ummu al-Bani Atikah. Ada pula perempuan yang terekam sejarah sebagai ahli hukum, seperti Ummu Isa bin Ibrahim (328 H/939 M) dan Amah al-Wahid (377 H/987 M).

Sejarah juga mengabadikan sejumlah nama penyair perempuan. Abu Faraj al-Ishfahani dalam kitabnya yang berjudul, Akhbar an-Nisa’ fi Kitab al-Aghani, memperkirakan jumlah pujangga perempuan itu ada pada kisaran 200 orang. Sebagian besar mereka hidup pada tabiin, generasi kedua pascasahabat.

Ada Salamah al-Qash, Khansa, atau Jamilah as-Sulamiyah yang mahir berpuisi dan bermusik. Meski sebagian besar karya mereka nyaris tak berbekas. Sejarawan menyebut, karya-karya sastra mendominasi buku-buku yang dibakar oleh Hulagu Khan saat meluluhlantakkan Baghdad pada 1258 M.

 

Ada banyak alasan tentunya mengapa tokoh-tokoh perempuan sepanjang sejarah peradaban Islam tak banyak terungkap meski harus tetap diakui bahwa capaian ini pun jauh lebih baik ketimbang peradaban yang eksis sebelumnya.

Ibnu Sa’ad dalam magnum opus-nya di bidang biografi, ath-Thabaqat al-Kubra, hanya memasukkan 629 nama perempuan dari total 4.250 entri para tokoh yang ia catat. Persentasenya hanya sekitar 15 persen. Pemandangan serupa juga akan kita dapatkan saat menelaah kitab Wafiyat al-A’yan karya Ibnu Khalikan yang hanya mencantumkan enam tokoh perempuan dari 826 entri nama. Begitulah sejarah.

Meski banyak sisi yang terlupakan, setidaknya seberapa pun besarnya torehan yang dicapai oleh peradaban Islam menggambarkan bahwa risalah ini begitu memuliakan perempuan. Dari rahim merekalah peradaban ini tumbuh. Sebab itulah, mereka adalah tiang peradaban.

 

sumber: Republika Online

Mengapa Rasulullah Menyuruh Kita Diam?

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari Muslim).

Hadis ini termasuk rujukan utama bagi seorang Muslim dalam bersikap dan membina hubungan bermasyarakat. Karenanya, hadis ini layak dihapal, diulang-ulang, ditafakuri, dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Walau redaksinya sangat singkat, tapi pengaruhnya sungguh luar biasa, terutama bagi terciptanya hubungan yang harmonis di masyarakat.

Ada tiga hal penting yang dikemukakan Rasulullah SAW dalam hadis yang teramat mulia ini. Pertama, keharusan menjaga lisan. Kedua, keharusan menghormati tetangga. Dan ketiga, keharusan memuliakan tamu. Insya Allah, dalam tulisan ini penulis hanya akan membahas poin pertama.

Imam Al-Jalil Abu Muhammad bin Abi Zaid mengatakan bahwa berkata baik atau diam termasuk satu dari empat etika kebaikan yang sangat utama dalam Islam, selain meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat, menahan marah, dan mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.

Imam Syafi’i memberi pula komentar tentang berkata baik atau diam ini: “Hadis ini bermakna apabila seseorang hendak bicara, maka berpikirlah terlebih dulu. Apabila telah jelas bahwa bahwa ucapannya akan membawa kemaslahatan, maka berbicaralah. Dan, apabila telah jelas bahwa ucapannya akan membawa kemudharatan atau ia ragu, bahaya dan tidaknya, maka diamlah”.

Diam adalah sesuatu yang netral. Diam bisa menunjukkan keutamaan atau kebodohan seseorang. Diam pun bisa menunjukkan perbuatan haram ataupun halal. Intinya, baik buruknya sikap diam sangat dipengaruhi oleh adanya stimulus yang datang pada seseorang (adanya pengkondisian). Karena itu, ada beberapa tingkatan orang diam, yaitu diamnya orang berilmu (saleh), diamnya orang yang memang pendiam, dan diamnya orang bodoh.

Diam tipe orang pertama adalah yang paling utama. Ia diam karena tahu ada kebaikan di balik diamnya tersebut. Ada sebuah kisah menarik dari Anas bin Malik. Suatu hari pada Perang Uhud, aku melihat seorang pemuda yang mengikatkan batu ke perutnya lantaran kelaparan.

Ibunya lalu mengusap debu dari wajahnya sambil berkata, “Semoga surga menyambutmu, wahai anakku.” Ketika melihat pemuda yang terdiam itu, Rasul bersabda, “Tidakkah engkau ketahui mengapa ia terdiam saja? Mungkin ia tidak ingin berbicara yang tidak perlu atau ia menolak dari hal-hal yang membahayakan dirinya.” Dalam riwayat lain, Rasul bersabda, “Kalau engkau temukan seseorang yang sangat berwibawa dan banyak diamnya, ketahuilah mungkin ia sudah memperoleh hikmah”.

 

Balasan Bagi Orang Dengki

Suatu ketika di satu daerah, ada raja yang peduli dengan nasib rakyatnya.  Untuk mendengarkan keluhanya setiap beberapa pekan, dia selalu mengundang semua rakyatnya untuk datang ke istana dan bertatap muka.  Pada pertemuan tersebut raja membebaskan rakyat bertama, baik secara perorangan maupun berkelompok.

Pada pertemun itu raja siap menerima siapa saja yang menemuinya. Baik untuk menyampaikan masalahanya masing-masing atau mau memberikan masukan pada kepemimpinan sang raja. Benar pada waktu yang sudah ditentukan itu semua undangan yang kebanyakan dari rakyat jelata itu memenuhi ruang tunggu istana.

Di antara mereka yang menyampaikan keluhan, ada yang memberikan masukan ada pula yang hanya menyampaikan kata-kata hikmah lalu pergi tanpa bicara panjang lebar setelah berjabatangan dengan raja. Beberapa pekan kemudian raja kembali menggelar kegiatan yang sama yakni pertemuan antara raja dan rakyat jelata.

Ketika acara belum dimulai dan rakyat sudah menunggu di ruang tunggu istana, raja teringat dengan seorang anak muda yang menyampaikan kata-kata singkat namun penuh makna. Lalu raja memanggilnya. “Acara sudah dibuka silahkan kalian menyampaikan apa saja yang kalian mau sampaikan. Tapi sebelum itu saya ingin memanggil kepada anak muda yang berada di barisan tengah itu,”

Semua rakyat jelata yang berada di ruang tunggu saling memandang dan menunjuk diri sendiri. Namun semua orang yang menunjuk dirinya masing-masing itu bukan yang dimaksud raja. Namun, berkat bantuan dari pengawalnya orang yang dimaksud raja itu akhirnya dipersilakan untuk menemui raja terlebih dahulu.

Setelah bertatap muda dengan raja, orang yang diminta  lebih dulu menemuinya raja itu tidak banyak bicara. Dia hanya mengatakan, “Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.” kata anak muda dan langsung pergi.

Setiap kali ada pertemuan raja dan rakyat jelata, kata-kata hikmat itu yang selalu disampaikan anak muda. Namun kata-kata singkat itu menjadikan anak muda itu dekat dengan raja. Ketika ada acara yang sama dia selalu diberikan kesempat pertama untuk menemui raja. Apa yang disampaikannya masih sama yakni. “Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.”

Melihat anak muda itu selalu dinomor satukan, timbul rasa iri dan dengki dari setiap pengunjung kepada anak muda tersebut. Di antara sekian banyak orang yang iri dan dengki ada satu orang anak muda yang iri dan dengkinya sudah meluap.

Setelah semua rakyat selesai menyampaikan keluhan, giliran anak muda yang dengki itu terakhir menemui raja. Saat bertemu dia juga tidak panjang lebar dan hanya berkata.  “Lelaki itu (yang anda panggil dulua) jika keluar dari sini selalu berbicara buruk tentang anda. Ia juga berkata bahwa baumulutmu busuk.”

Mendengarkan perkataan itu, raja hanya  terdiam dan langsung meminta dokter perawat pribadinya untuk  memeriksa keadaanya mulutnya. Apakah benar mulutnya memang berbau busuk. Setelah diperiksa keadaannya baik-baik saja tanpa ada masalah.

Pada pertemuan selanjutnya, anak muda yang dengki itu duduk di tepi jalan yang biasa dilalui oleh anak muda yang dianggap yang paling akrab dengan raja, karena selalu dipanggil lebih dulu. Tujuan anak muda pendengki itu mencegatnya adalah untuk mengajaknya kerumah sebelum berangkat ke istana “Kemarilah, singgahlah ke rumahku, nanti kita sama-sama ke istana,”

Mendengarkan tawaran itu anak muda yang akrab dengan raja itu mau. Dan setelah berada di rumahnya, si pendengki itu menawarkan makanan yang bahannya banyak menggunakan bawang merah dan putih. Lelaki yang akrab dengan raja itu awalnya menolak, namun karena tidak ingin mengecewakan pemilik rumah akhirnya dimakan juga.

Tentunya, setelah makan bawang merah dan putih baunya tidak mudah hilang. Setelah mengabiskan makan yang disediakan si pendengki, mereka berdua pergi ke istana. Seperti biasa anak muda itu dipanggil lebih awal oleh raja dan berkata. “Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.” Kata anak muda itu sambil menutup mulutnya.

 

Melihat perilaku yang tidak biasa yang dilakukan anak muda itu, rupanya raja tersinggung. Raja mengira apa yang diengarnya waktu itu memang benar. Bahwa anak muda itu telah menggunjingnya. “Rupanya benar perkataan orang itu, ia benar-benar menganggap mulutku bau.” Kata dalam hatinya

Merasa direndahkan,  sang raja kemudian memikirkan suatu rencana jahat terhadap anak muda itu. Raja lalu meminta anak muda itu menyampaikan surat hasil tulisan tangannya. “Bawalah surat ini dan serahkanlah kepada fulan.” Ternyata, surat itu berisi, “Jika sampai kepadamu pembawa surat ini, maka sembelih dan kulitilah dia, kemudian isilah tubuhnya dengan jerami.”

Setelah itu, anak muda itu keluar hendak membawa surat raja kepada si fulan. Di tengah jalan ia bertemu dengan si pendengki. “Apa yang kamu bawa?” tanyanya. “Surat raja untuk fulan. Surat ini beliau tulis dengan tangannya sendiri.

Si pendengki itu tahu, biasanya beliau tidak pernah menulis surat sendiri, kecuali dalam urusan pembagian hadiah. “Berikanlah surat itu kepadaku, aku ini sedang butuh uang,” pintanya. Ia kemudian menceritakan kesulitan hidupnya. Karena kasihan, surat itu akhirnya ia serahkan kepada si pendengki.

Si Pendengki menerimanya dengan senang hati. Setelah sampai di tempat tujuan, ia menyerahkan surat itu kepada teman raja. “Masuklah ke sini, raja menyuruhku membunuhmu,” kata teman raja.

Si pedengki kaget dia tidak percaya bahwa suratnya itu diperintahkan untuk membunuh sipembawa surat yang pertama. Si pedengki itu mencoba bernegoisaasi dan berkata.  “Yang dimaksud bukan aku, coba tunggulah sebentar biar kujelaskan,” katanya dengan ketakutan.

Namun si penerima surat tidak mengindahkannya. “Perintah raja tak bisa ditunda,” katanya.  Seketika si pendengki itu dibbunuh, dan langsung menguliti dan mengisi tubuh si pendengki dengan jerami.

 

Keesokan harinya, lelaki itu datang sebagaimana biasa dan berkata, “Orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.” Raja heran melihatnya masih hidup. Setelah diselidiki, terbongkarlah keburukan si pendengki.

Raja akhirnya meminta penjelasan anak muda itu. Kata anak muda itu bahwa bahwa ia diundang oleh sorang laki-laki dan menawarkan makanan yang banyak bawang merah dan putih nya. Kebetulan pada saat itu kata anak muda itu bertepatan dengan acara pertemuan raja dan rakyat. “Agar bau mulutku tidak tercium oleh mu, maka aku tutup mulutku.”

Lanjut anak muda itu, setelah keluarnya dari istana anda. “Orang yang mengajak aku kerumahnya menemuiku dan menanyakan titipanmu. Aku lalu menyerahkannya setelah dia menceritakan kesusahannya.”

Mendengar jalannya cerita, tahulah raja bahwa orang itu ternyata dengki kepada sahabatnya. Raja berkata “Benar ucapanmu. Jika orang yang berbuat baik akan mendapat balasan, dan orang yang berbuat buruk, cukup keburukan itu sebagai balasannya.”

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kamu semua dengki mendengki, jangan putus memutuskan hubungan persaudaraan, jangan benci membenci, jangan pula belakang membelakangi (seteru menyeteru) dan jadilah kamu semua hamba Allah sebagai saudara, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadamu semua” (HR Bukhari dan Muslim).

Perlu disadari bahwa perasaan iri dan dengki diantara saudara merupakan hal yang wajar sehingga diperingatkan oleh Rasulullah melalui hadits di atas, dengan catatan selama dilakukan dalam batas-batas kewajaran. Kewajaran yang bagaimana? Ya, selama tidak menjadi menghalang untuk saling mencintai, kasih mengasihi, mendambakan kebaikan bagi saudaranya dan bahagia dengan prestasi yang diraihnya.

 

 

sumber: republika Online

 

5 Sebab Pembuat Hati Menjadi Gelap

Orang yang paling hina adalah yang bergantung kepada selain Allah karena orang yang bergantung kepada selain Allah seperti orang yang berlindung dari panas dan dingin dengan rumah laba-laba. Rumah laba-laba merupakan rumah yang paling rapuh. Secara umum, landasan dan pondasi syirik adalah bergantung kepada selain Allah Swt sehingga pelakunya mendapatkan kehinaan dan celaan. (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah)

Ada dua kata kunci yang penting digarisbawahi dalam pendapat Ibnul Qayyim Al-Jauziyah di atas, yaitu bergantung kepada selain Allah dan simbol kehinaan dari bentuk musyrik; yang dianalogikan bagaikan berlindung di rumah laba-laba. Lebih menarik lagi, pendapat Ibnul Qayyim ini ternyata hampir senada dengan salah seorang ilmuwan Psikologi Agama, Fredrick Schleimacher.

Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan adalah ketergantungan yang mutlak (Sense of Depend). Manusia merasa dirinya lemah sehingga ia menggantungkan diri kepada Tuhan. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dan ada di posisi mana jika orang yang menggantungkan diri kepada selain Allah?

Manusia adalah yang manusia yang paling sempurna (jasmaninya), tapi dalam surah lain Allah juga menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling lemah dalam melawan hawa nafsunya sendiri. Dalam kelemahan inilah, manusia sebaiknya menyadari siapa posisi dirinya di hadapan Tuhan.

Tentu saja, dalam proses penciptaan makhluk dan seluruh alam ini, tak dipungkiri lagi ada Sang Khaliq (pencipta, pembagus ciptaan, designer tercanggih) dalam alam ini. Semua tercipta karena kemaha-kuasaan-Nya, tidak sertamerta ada dengan sendirinya. Dan keimanan juga rasa ketergantungan itu harus lahir dari hati.

Lebih lanjut, Ibnul Qayyim menegaskan bahwa setiap hati itu sedang berjalan menuju negeri akhirat. Jalan yang benar sudah ditunjukkan begitu pula ujian jiwa dan amal, penghambat yang dapat menjauhkan diri dari Allah, cobaan melawan hawa nafsu syaithan, semua petunjuk itu telah termaktub di dalam Al-Quran.

Maka, dalam perjalanan seorang hamba, pasti ada banyak hambatan yang harus mereka lalui hingga akhirnya mampu memeroleh kenikmatan dekat dan selalu berada dalam pertolongan-Nya. Sesungguhnya, lanjut Ibnul Qayyim, ada lima perkara yang akan memadamkan cahaya hati, menutupi penglihatan dan menyumbat pendengarannya, membuat bisu dan tuli, melemahkan kekuatannya, menggerogoti kesehatannya, dan menghentikan tekadnya.

Adapun kelima perkara itu ialah kurang mengingat Allah Swt, mengumbar harapan (mengeluh) kepada manusia, bergantung kepada selain Allah Swt, terlalu kenyang (banyak makan) dan banyak tidur.

Lima hal inilah yang akan menggelapkan hati setiap manusia hingga mereka sudah tidak merasakan lagi betapa sengsaranya jika jauh dari Allah. Siapa yang tidak merasakan semua ini, berarti hatinya mati. Sementara luka pada orang yang sudah mati tidak membuatnya merasa sakit.

Hati yang mati karena tertutup oleh titik hitam dosa yang harus disembuhkan dan diterapi melalui taubat. Siapa yang tidak merasakan semua ini, berarti hatinya mati. Sementara luka pada orang yang sudah mati tidak membuatnya merasa sakit. Lima perkara ini menjadi penghalang antara hati dengan Allah Swt, menghambat perjalananya dan menimbulkan penyakit di dalamnya, antara lain bergantung kepada selain Allah.

Tidak ada kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kesempurnaan kecuali dengan mengetahui Allah Swt dan mencintainya, merasa tenteram saat menyebut-Nya, senang berdekatan dengan-Nya dan rindu bersua dengan-Nya. Inilah surga dunia baginya, sebagaimana dia tahu bahwa kenikmatannya yang hakiki adalah kenikmatan di akhirat dan di surga. Dengan begitu dia mempunyai dua surga. Surga yang kedua tidak dimasuki sebelum dia memasuki surga yang pertama.

Bergantung kepada selain Allah Swt merupakan perusak hati yang paling besar, dan tidak ada yang lebih berbahaya selain dari hal ini, tidak ada yang lebih menghambat kemaslahatan dan kebahagiaannya selain dari hal ini. Jika hati bergantung pada selain Allah Swt maka Allah Swt menyerahkannya kepada sesuatu yang dijadikannya tempat bergantung.

Padahal apa yang dijadikan sebaga tempat bergantung itu sesungguhnya lemah dihinakan Allah Swt dan dia tidak mendapatkan maksudnya karena dia beralih kepada seain Allah sehingga dia tidak mendapatkan apa yang ada di sisi Allah Swt dan tidak mendapatkan dari apa yang dijadikanny sebagai tempat bergantung seperti yang diharapkannya.

Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka.Sekali-kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka. (Qs Maryam [19]: 81-82)

Sungguh kita adalah lemah. Maka kita membutuhkan Zat Yang Maha Kuat dan Menguatkan kita dari hal-hal buruk (kemaksiatan) yang sangat mungkin kita lakukan. Karenanya, Rasulullah mengajarkan kita sebuah doa yang dengannya semoga Allah menjauhkan kita dari segala perbuatan buruk. Doa itu ialah Allahummaqsimlanaa min khasyyatika maa tahuulu bihi bainanaa wa bayna ma’shiyatik (Yaa Allah karuniakan kami rasa takut kepada-Mu yang akan menghalangi kami untuk bermaksiat pada-Mu).

Selain doa di atas, Rasulullah Saw pun telah menjamin bahwa mereka haram dari api neraka (tidak akan disiksa api neraka seizin-Nya). Dari Thariq bin Asyaim ra dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illa Allah (tidak ada Tuhan yang berhak disembah) melainkan Allah Swt dan mengkufuri sesuatu yang disembah selain Allah Swt maka telah haram harta dan darahnya, dan pahalanya di sisi Allah (dijauhkan dari siksa neraka),” (HR Muslim)

Allahu ta’alaa a’lam

Oleh: Ina Salma Febriany

sumber: Republika Online

Memuliakan Tiga Orang

Sejatinya, tiada seorang pun yang bisa menggapai kejayaan hidup di dunia ini kecuali ia dibesarkan dengan belaian kasih sayang orang tua. Siapa sajakah orang tua yang wajib dimuliakan dan disebut-sebut namanya dalam lantunan doa seorang anak?

Pertama, orang tua yang melahirkan. Mereka adalah ayah dan ibu yang paling besar jasanya mengantarkan kita menjalani kehidupan. Terutama ibu yang mengandung dan melahirkan bersimbah darah bertaruh nyawa.

Sekiranya, kita dapat meraih kemegahan dunia dan seisinya untuk membalas jasa mereka, tentulah tak sepadan menggantikannya. Apalagi, mereka tak pernah menghitung dan mengharapkan balasan material dari anaknya, kecuali sekadar bakti (birrul walidain) yang tulus semasa hidupnya dan kiriman doa setelah kematiannya. (QS [17]:23-24, [46]:15).

Betapa mulianya mereka, hingga Allah SWT merangkai pengabdian kepada-Nya dengan kedua orang tua (QS [31]:13), terutama kepada ibu (HR Muttafaq ‘alaih).

Mereka yang menanam benih-benih keimanan (akidah tauhid), menumbuhkan ketaatan dalam pengabdian (syariah), dan menghasilkan buah kebajikan (akhlak karimah). Karenanya, jika tampil seorang anak yang sukses, sungguh kedua orang tua yang hebat mengantarkannya.

Kedua, orang tua yang mengajarkan. Mereka adalah guru-guru yang mengajar dan mendidik kita di bangku sekolah, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan maka guru menumbuhkan segala potensi dan bakat agar berkembang dengan baik.

Sungguh, seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemuliaan (transfer of value), mengembangkan keahlian dan kemandirian (transfer of skill), dan mengajarkan kearifan (transfer of wisdom).

Murid yang hebat lahir dari sentuhan dan goresan tangan seorang guru yang hebat. Guru bukan sekadar orang tua kedua, tetapi mereka juga pewaris misi dan semangat kenabian dalam pendidikan dan dakwah Islam.

Nabi SAW juga seorang guru yang diutus untuk melahirkan generasi pemimpin dan pendidik terbaik, yaitu Sahabat (HR Muslim).

Beliau SAW guru terbaik karena dididik langsung oleh Sang Maha Guru Terbaik, yakni Yang Maha Mengetahui (‘Aalim). “Addabanii rabbii fa ahsana ta`dibii.” (Tuhanku telah mendidikku maka sempurnalah adabku). Begitulah pesan Nabi SAW.

Guru kehidupan saya, Prof KH Didin Hafidhuddin pernah bercerita. Di tengah kesibukannya yang sangat padat sebagai ulama dan dosen, ia selalu hadir ke sekolah untuk menerima rapor anak-anaknya. Beliau pun selalu memberikan uang kepada guru sebesar biaya sekolah anaknya. Subahanallah.

Kini, semua anaknya sukses dalam pendidikan, tawadhu, dan dihormati oleh semua kawan. “Muliakanlah guru di depan anakmu agar anakmu memuliakanmu dan menghormati gurunya,” demikian pesan beliau.

Saya sedih ketika seorang murid kelas 4 SD berani menuduh guru berbohong di depan orang tuanya. Apalagi, orang tua membela anaknya dan balik menyalahkan guru. Perlakuan buruk orang tua kepada guru, apalagi di depan anak, adalah kesalahan besar dalam proses pembelajaran.

Ketiga, orang tua yang menikahkan. Mereka adalah orang tua pasangan hidup kita (mertua). Jika kedua orang tua melahirkan dan membesarkan penuh pengorbanan, guru mengajar dan mendewasakan penuh ketulusan, lalu mertua menikahkan putri kesayangannya dengan penuh pengharapan.

Mereka menyerahkan putri yang sudah dilahirkan, dibesarkan, dan didewasakan untuk mendampingi perjalanan hidup kita. Mereka pun bersedia menjadi sandaran dalam membangun rumah tangga, di saat bumi tempat berpijak belum kokoh, hingga mencapai kemapanan.

Tiadalah patut jika mereka yang menghadiahkan mutiara hidupnya mendapat perlakuan yang berbeda dengan kedua orang tua yang melahirkan.

Menikahi anaknya itu berarti menyatukan dua orang tua sekaligus, yakni mereka yang melahirkan dan menikahkan. Perlakuan baik kepada mereka menjadi pembuka pintu rezeki. Itu pula anak yang pandai berbakti. Allahu a’lam bish-shawab. 

 

Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung

sumber:Republika Online

Allah Meridaimu, Abu Hurayrah! (2)

Saat itu aku mengatakan, “Tidak ada sisa lagi.” Anehnya, orang yang kedua bisa mengambil lagi susu itu. Ia juga minum hingga hilang dahaganya. Hal yang sama terus berlangsung, hingga mereka bisa meminumnya, sementara Rasulullah hanya melihatku sambil tersenyum.

Beliau berkata, “Sekarang yang tersisa hanya aku dan kamu.” “Benar, ya Rasulullah saw.!” jawabku. Beliau berkata kembali, “Minumlah, Abu Hurayrah!” (Masih adakah sisa setelah diminum orang sebanyak itu?). Aku pun meminumnya lalu aku berikan mangkok itu pada beliau. Tapi Rasulullah saw justru menyuruhku lagi, “Minumlah, Abu Hurayrah!” Aku pun meminumnya kembali. Peristiwa ini terus berlangsung hingga akhirnya aku mengatakan, “Tidak kuat lagi yang Rasul! Demi zat yang telah mengutus Anda dengan membawa kebenaran, saya tidak sanggup lagi meminumnya.” Rasulullah saw lalu mengambilnya dan meminum sisanya.

Ini salah satu mukjizat Rasulullah saw. Abu Hurayrah dan seluruh kaum muslim sampai hari kiamat bisa mempelajari karakter ini; karakter altruisme.

Ada berkah di dalam sikap altruisme. Jika Anda merasa milik Anda sedikit lalu Anda lebih mengutamakan orang lain, maka sesuatu yang sedikit itu, dengan izin Allah, akan menjadi banyak. Saya tahu bahan bakar Anda sudah hampir habis. Isi lagi bahan bakar Anda! [amru muhammad khalid]/selesai.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2289070/allah-meridaimu-abu-hurayrah-2#sthash.ZgIAU2mE.dpuf

Allah Meridaimu, Abu Hurayrah! (1)

Simaklah kejadian ketika Rasulullah saw, mengajarkan sikap altruisme (mengutamakan orang lain) pada Abu Hurayrah dan kita semua. Abu Hurayrah menuturkan sendiri hal ini:

Suatu saat, saya sangat lapar. Ayanku pun kambuh lantaran tidak sanggup menahannya. Orang-orang mengira aku aku gila. Demi Allah, aku tidak gila. Yang aku alami adalah rasa lapar. Aku duduk di samping mimbar Rasulullah. Setiap ada orang muslim yang lewat di tempat itu, aku memintanya untuk membacakan beberapa ayat tentang infak (hingga hatinya tergerak dan merasa kasihan padaku, lalu mau berinfak dan memberiku). Tak lama berselang Abu Bakr lewat. Beliau membacakan ayat-ayat itu padaku dan berlalu begitu saja (tampak kurang peduli). ‘Umar juga membacanya dan juga berlalu begitu saja.

Setelah Rasulullah saw lewat. Beliau melihatku dan tahu apa yang sedang aku alami. Rasul tersenyum dan berkata, “Aku yang akan menanggungmu.” Beliau lalu masuk ke rumah dan meminta izin pada istri beliau. Beliau bertanya pada istrinya, “Apa kita punya makanan?” Istri beliau menjawab, “Semangkok susu. Hanya cukup untuk satu atau dua orang.” (Betapa bahagianya Anda, Abu Hurayrah! Akhirnya…).

Setelah keluar dari rumahnya, Rasul berkata padaku, “Abu Hurayrah, pergilah dan panggil semua Ahlushshuffah.” (Mereka adalah orang-orang kafir yang jumlahnya tidak kurang dari 100 orang).

Aku bingung bercampur sedih. Dalam hati aku berkata, “Apa cukup semangkok susu itu untuk semua Ahlushshuhhah?” Namun, aku harus patuh Rasul. Aku lalu pergi dan membawa mereka semua. Rasulullah saw melihatku dengan penuh senyum. (Rasulullah saw sebetulnya sedang mengajari Abu Hurayrah dan kita semua). Rasul berkata padaku, “Beri minuman pada mereka semua.” (Luar biasa! Abu Hurayrah memberi minuman itu pada kawan-kawannya seperjuangan). Aku mengambil mangkok dan membawanya ke salah seorang yang meminumnya hingga hilang dahaganya. Ia pun merasa segar kembali. [amru muhammad khalid]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2289062/allah-meridaimu-abu-hurayrah-1#sthash.NS8D9vYV.dpuf

Inilah Ghibah yang Diperbolehkan

Ghibah bisa diartikan membicarakan sesuatu yang benar tanpa sepengetahuan orang yang dibicarakan. Dan biasanya yang dibicarakan tersebut dibenci oleh orang yang dighibah. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi menjelaskan jika yang dibicarakan betul jatuhnya ke ghibah, jika yang dibicarakan dusta jatuhnya pada fitnah.

Imam Nawawi secara lugas dalam al-adzkar mengatakan yang termasuk ghibah adalah membicarakan sesuatu yang dibenci baik tentang , agama, fisik, perilaku, harta, orang tuanya, anak istrinya, raut muka baik dengan ucapan, tanda atau sekedar isyarat.

Ancaman bagi orang yang melakukan ghibah seperti tertera dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 12 adalah seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati.Dalam kaidah tersebut, jelas baik ghibah maupun fitnah hukumnya terlarang.

Namun ternyata menurut Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihinmemaparkan ada jenis-jenis ghibah yang diperbolehkan. Namun sebelum masuk dalam bab diperbolehkannya ghibah, Imam Nawawi terlebih dahulu menguraikan panjang lebar tentang haramnya ghibah dan perintah menjaga lisan.

Bab selanjutnya juga diterangkan tentang larangan orang untuk mendengarkan ghibah. Bahkan seseorang dianjurkan untuk memberi peringatan kepada yang menghibah atau meninggalkan majelis tersebut.Artinya sebisa mungkin setiap Mukmin menghindari ghibah untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Meskipun di bab selanjutnya Imam Nawawi merinci beberapa ghibah yang diperbolehkan.

Ini dia jenis-jenis ghibah yang diperbolehkan menurut Imam Nawawi.

Untuk Mencegah Kerusakan

Imam Nawawi menilai ada enam hal dimana ghibah diperbolehkan dengan tujuan dibenarkan syariat. Pertama pengaduan kezaliman. Seseorang yang dizalimi boleh mengadukan perkaranya kepada penguasa, hakim atau pihak lain yang berkuasa. Harapannya ia dapat menyadarkan orang yang menzaliminya.

Kedua, untuk meminta pertolongan guna merubah kemunkaran. Misalnya seseorang berkata kepada orang yang memiliki kuasa untuk menghalau kemungkaran, “Si fulan telah melakukan ini, maka cegahlah dia.” Kaidah ini sangat dikhususkan untuk maksud menghilangkan kemunkaran. Jika tidak masuk tujuan itu maka hukumnya haram.

Ketiga, untuk meminta fatwa. Dalam hal ini kepada mufti atau ulama. Misalnya seseorang mengatakan, “Ayahku melakukan ini dan itu, bagaimana hukumnya?”. Namun alangkah lebih baik jika meminta fatwa menggunakan kata kiasan, sehingga tidak langsung menjurus pada orang per orang. Misalnya, “Seorang lelaki melakukan ini dan itu.”

 

Boleh Demi Tujuan Menasihati

Keempat, untuk mengingatkan orang Islam agar mewaspadai kejahatan dan menasihati mereka. Dalam kaidah keempat ini ada empat kejadian yang masuk dalam kategori diperbolehkan ghibah. Yakni menyebutkan kekurangan para perawi hadis.

Ijma ulama membolehkan bahkan bisa menjadi wajib sesuai kebutuhan. Selanjutnya musyawarah dalam perjodohan, penitipan, muamalah, bertetangga. Dalam hal ini orang yang diajak musyawarah tidak boleh menyembunyikan kondisi dirinya.

Kemudian menasihati seseorang yang terus mendatangi ahli bid’ah untuk belajar ilmu. Penyampian keadaan tentang bahaya ahli bid’ah tersebut diperbolehkan dengan niat untuk menasehati.

Lalu diperbolehkan menasihati penguasa yang tidak menjalankan kewajibannya dengan aturan. Entah karena pejabat tersebut berbuat zalim, lalai atau tidak berkapasitas memegang amanah. Tujuan menyampaikan keburukan pejabat tersebut agar diganti oleh atasan yang bersangkutan.

 

Sanggahan dari Ulama Lain

Kelima, penyebutan tindakan kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan. Jika perbuatan maksiat tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, maka haram hukumnya untuk diungkapkan.

Terakhir diperbolehkannya ghibah untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka menurut Imam Nawawi ia diperbolehkan diidentifikasi dengan julukan tersebut. Misalnya si tuli, si buta dan lainnya. Namun jika tujuan memanggilnya untuk tujuan menghina maka hukumnya menjadi haram.

Pendapat Imam Nawawi ini disanggah Asy-Syaukani dalam risalahnyaRa’fur Raybah ‘Ammaa Yajuuzu wa Maa Laa Yajuuzu minal Ghibah. Menurut Asy-Syaukani ketentuan haramnya ghibah sudah terkukuhkan melalui Alquran, sunah dan ijma para ulama.

Bentuk pengharaman ghibah dalam nash-nash di Alquran dan sunah juga bersifat umum yang ditujukan kepada setiap individu Muslim. Menurutnya tidak boleh mengubah ketentuan haram tersebut menjadi halal pada kondisi dan individu tertentu.

Asy-Syaukani mengharuskan ada dalil khusus untuk merubah ketentuan hukum ghibah tersebut. Jika tidak maka perbuatan ghibah yang diperbolahkan termasuk mengada-ada terhadap Allah.

 

sumber: Republika Online