Tawakal dan Rezeki Burung-Burung

“Sungguh seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rezekisebagaimana rezekinya burung-burung. Mereka berangkat pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang”

(HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Al-Mubarak dari Umar bin Khathab). 

Dalam hadis yang mulia ini, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang-orang yang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benartawakal, niscaya akan dicukupkan rezekinya oleh Allah sebagaimana Dia mencukupi rezeki burung-burung. Betapa tidak, Allah adalah Zat Yang Mahahidup, dan Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakal kepada-Nya, niscaya Allah SWT akan mencukupi segala kebutuhannya.

Dalam QS. Ath-Thalaq ayat 3, Allah SWT berfirman, Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. 

Tawakal terambil dari kata wakala-yakilu yang berarti mewakilkan, dan dari kata ini terbentuk kata wakil. Kata wakil bisa diartikan dengan “pelindung”. Dalam beberapa ayat ditegaskan bahwa, Dan Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil (QS. Al-An’am: 102). Dan cukuplah Allah sebagai wakil (QS. An-Nisa: 81). Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa menjadikan Allah sebagai wakil, berarti menyerahkan kepada-Nya segala persoalan (Shihab: 2000: 124). 

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mendefinisikantawakal sebagai “penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata. Sedangkan menurut Allamah Al-Manawi tawakaladalah “menampakkan kelemahan serata penyandaran (diri) kepada yang ditawakali”. 

Apakah tawakal identik dengan sikap pasif dan apatis? Dalam Alqran perintah bertawakal terulang sebanyak sebelas kali; sembilan berbentuk tunggal dan dua berbentuk jamak. Kesemuanya selalu awali perintah melakukan sesuatu. Sebagai contoh, Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kamu kepadanya dan bertawakallah kepada Allah (QS. Al-Anfal: 61). 

Dari sana jelaslah bahwa tawakal tidak identik dengan sikap pasif. Karena itu, tidak disebut tawakal orang yang pasrah kepada Allah tanpa mau berusaha. Tidak disebut tawakal pula orang yang menginginkan sesuatu tapi tidak mau mengerahkan potensi yang dimilikinya untuk meraih apa yang diinginkannya tersebut. Tawakaladalah urusan hati. Ia hadir setelah badan dan pikiran dioptimalkan terlebih dahulu. 

Rasulullah SAW menyerupakan orang yang bertawakal dan diberirezeki itu dengan burung yang pergi dipagi hari untuk mencari rezekidan pulang sore hari dalam keadaan kenyang. Kita tahu bahwaburung tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, dan lainnya. Ia keluar dari sarang dengan bekal tawakalkepada Allah SWT yang kepada-Nya ia bergantung. 

Tentang hal ini, Imam Ahmad memberikan komentar: “Tidak ada isyarat yang membolehkan kita untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya, di dalam hadis ini terdapat isyarat tentang perlunya kita bergerak mencari rezeki. Jadi maksud hadis di atas, bahwa seandainya manusia bertawakal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu ditangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimanaburung-burung tersebut” (Fadhl Ilahi, 2000: 37-38). 

Imam Ahmad pun pernah ditanya tentang “status” seseorang yang kerjanya hanya beribadah dan duduk di rumah atau mesjid sambil berkata, “Aku tidak mau bekerja, sampai rezekiku datang sendiri”. Ia mengatakan, “Orang tersebut adalah orang malas dan tak mengenal ilmu”. 

sumber:Republika Online

6 Motivasi Bangkitkan Umat Terbaik

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah… (QS Ali Imran [3]: 110).

Kaum Muslimin adalah umat terbaik yang ditakdirkan Allah untuk mengelola alam ini secara adil dan seimbang. Realitasnya, umat Islam seakan raksasa tidur yang tak sadar akan kondisi lingkungannya. Gurita korupsi di tingkat elite, peredaran narkoba menggerogoti tunas bangsa, pergaulan bebas (free sex) menodai kehormatan manusia, tipu muslihat politikus merebut kuasa, hingga tingginya tembok pemisah antara si kaya dan si miskin papa. Suatu fenomena yang jauh dari kehidupan ideal umat beragama.

Menyikapi persoalan itu, umat Islam mesti bangkit, bersatu padu untuk menjalankan ajaran Islam secara kaffah. Kita patut merenungkan perintah Allah kepada Nabi SAW di awal dakwahnya menghadapi masyarakat jahiliyah Makkah. Firman-Nya, Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. (QS al-Muddatstsir [74]: 1-7).

Paling tidak ayat di atas mengandung enam pesan sebagai motivasi bagi umat untuk bangkit menjadi umat terbaik. Pertama, memberi peringatan. Kita mesti berani untuk berjuang menegakkan kebenaran. Terutama para ulama dan umara, harus memberi peringatan kepada umat agar tidak melakukan keburukan yang merusak citra Islam.

Peringatan yang disampaikan mengandung ancaman tentang bahaya dari kondisi masyarakat yang jauh dari nilai-nilai agama. Tentu, dimulai dari rumah tangga. Orang tua mesti memberi peringatan kepada anaknya secara tegas dari sikap dan pergaulan yang bertentangan dengan perintah Allah SWT.

Kedua, mengagungkan Tuhan. Setiap aktivitas umat mesti dilakukan untuk membesarkan nama Allah, bukan justru merendahkan dan melecehkan ajaran agama. Mengagungkan Tuhan juga bermakna menghilangkan rasa ego dan keangkuhan pada diri manusia. Bukankah murka Allah pertama kali ditimpakan kepada makhluk yang sombong bernama iblis?

Ketiga, membersihkan pakaian. M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyebut, pakaian bisa berarti jiwa, hati, keluarga, dan istri. Ini makna mazazi. Umat harus membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Umat harus mengikis penyakit jahiliyah yang tertanam di hatinya, termasuk dari anak, istri, dan keluarganya. Jika jiwa telah bersih, penampilan pun akan dipandang serasi. Setelah itu, akan memberi efek positif terhadap masyarakat luas sehingga terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Keempat, meninggalkan perbuatan dosa. Kebangkitan umat mesti diwujudkan dalam perilaku yang anti terhadap kemungkaran dan kezaliman. Meskipun kezaliman itu seakan telah populer di tengah-tengah masyarakat, umat harus hijrah dari kebiasaan itu. Kelima, jangan memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.

Ayat ini menegaskan bahwa umat harus bangkit dengan dasar keikhlasan. Maka tak perlu pamer, tak perlu mengharap pujian dari orang. Berilah yang terbaik, pasti Allah yang membalasi dengan imbalan kebahagiaan (QS Muhammad [47]: 47).

Keenam, sabar menjalankan perintah Allah SWT. Setiap perjuangan untuk membangun kekuatan dan peradaban umat pasti mendapat banyak tantangan. Sebab, tidak semua orang menginginkan kebenaran menjadi panglima dan acuan bermasyarakat. Apalagi Islam, tidak jarang ada kelompok yang fobia (takut) terhadap Islam. Berbagai upaya dilakukan untuk melecehkan, merendahkan, dan mem-bully umat Islam yang konsisten dengan ajaran yang dibawa Nabi SAW.

Di sinilah dibutuhkan kesabaran. Sabar dalam arti tahan ujian, bermental kuat, tak mudah menyerah, dan siap menanggung berbagai risiko yang ditimbulkan. Lagi-lagi umat harus bersatu padu pula agar kesabaran itu kuat tertancap dalam dada umat Islam. Maka bangkit dan jadilah umat terbaik. Wallahu a’lam

 

Oleh: Muhammad Kosim

sumber: Republika Online

Kemanakah Tujuan Akhir Perjalanan Kita?

Sungguh selama ini kita telah tersesat begitu jauh. Kita telah berjalan tanpa arah. Siapapun itu orangnya, pasti kita pernah mengalami ketidakjelasan arah kehidupan kita dalam hutan belantara dunia yang hina dan fana ini. Hanya sebahagian orang saja yang beruntung yang mampu kembali kepada kodratnya sebagai hamba karena mendapatkan hidayah dan rahmat Allah. Bukankah kita semua telah berjanji kepada Allah, Tuhan sekalian  alam, pencipta alam raya dan semesta, bahwa kita semua ini adalah hambaNya.

Bukankah kita sudah berjanji dan sekaligus mengakui dengan cukup tegas saat kita berada di dalam rahim ibunda kita karena kasih sayangNya. Bukankan kita sudah berikrar bahwa Allah adalah Tuhan kita, yang konsekuensinya seluruh kehidupan kita akan diarahkan untukNya dan di jalanNya. ‘Alastu birobbikum, Qooluu balaa syahidna.  Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Allah bertanya dan kita pun menjawab Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS. Al A’raf 172)

Bahkan saat kita lahirpun, kita diingatkan kembali oleh Allah melalui orang tua kita dengan Adzan di telinga kanan dan iqomah di telinnga kiri. Kita diingatkan bahwa kita ini bukanlah siapa-siapa. Kalau tidak karena rahmat dan kasih sayangNya, niscaya kita ini tak akan pernah ada di muka bumi ciptaanNya ini dan menjadi seperti sekarang ini. Saat Adzan dan iqomah itu, kita kembali dikenalkan dengan Allah sekaligus sebagai proses belajar awal kita yang pertama bahwa hanya Allah lah pencipta kita dan sesembahan kita.

Oleh karena itu, dan selayaknyalah kita harus bersyukur atas semua anugerah yang telah di berikan kepada diri kita. Kita harus bersyukur atas kelahiran kita, kesempurnaan anggota tubuh kita hingga kesehatan kita dan kesempatan kita yang masih bisa merasakan diasuh orang tua hingga sekarang ini. Sungguh kita beruntung menjadi manusia sempurna. Tidak seperti sebagaian saudara kita yang lain, yang ditakdirkan menjadi yatim piatu sejak lahir atau dalam perjalanan hidupnya. Atau menjadi manusia yang diuji Allah dengan keterbatasan, baik dalam fisiknya ataupun pikiran dan jiwanya.

Meskipun kasih sayang dan nikmat Allah begitu besar tercurah kepada diri kita, sudahkan kita merasakan lembutnya kasih sayang Allah itu semua? Sehingga bergetarlah hati kita, lalu tergerak keras untuk mensyukurinya dengan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi larangannya? Atau kita abai dan merasa bahwa perjalan hidup kita ini laksana roda yang berputar? Tidak ada yang mendisain dan semua ada dan wujud dengan sendirinya? Mari kita jawab pertanyaan di atas itu dengan hati dan nurani kita?

Saudaraku, sudahkah kita memenuhi dan membayar semua janji suci kepada Allah yang tanpa noda sebagaimana surat Al A’raf 172 di atas? bahkan dalam setiap sholat kita pun, komitmen suci dan janji setia itu juga selalu dan berulang kali kita baca. Dalam doa iftitah, kita berulang kali berikrar, Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fathoros samawati wal ardha, hanifam muslimau wama ana minal musyrikin. Innassolati, wanusuki wamahyaya wamamati lillahirannbil alamain. La syarikalahu wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin.

Tak hanya itu, dalam sehari semalam pun, berulang kali kita juga ucapkan komitmen ketertundukan kita kepadaNya, dalam bacaan suratul fatehah di dalam sholat kita. Tak kurang dari 17 kali kita membaca komitmen ketertundukan itu dalam setiap rakaat sholat yang kita jalani. Iyyaka nakbudu waiyyaka nastain. Kepadamulah kami menyembah (ya Allah), dan kepadamulah kami meminta pertolongan. (QS Alfatehah 5). Belum lagi komitmen ketertundukan itu juga kita baca dalam doa-doa lainnya yang ada dalam sholat maupun doa istigfar kita dan serta wirid-wirid yang lain yang kita baca seusai sholat.

Tapi sudahkah itu menjadi kesadaran haqiqi atas kehidupan kita? Jawabannya sederhana. Kalau dalam kehidupan kita sehari-hari, kita merasakan sentuhan halus kehadiran Allah di manapun kita berada, sungguh dan perasaan itu juga selalu menyertai setiap langkah kita, maka itu tandanya kita sudah mewujudkan komitmen ketertundukan itu. Apa ukurannya, rasa halus kehadiran Allah itu bisa diwujudkan dalam bentuk perasaan yang ringan pada diri kita dalam bergegas menuju beribadah dan beramal sholeh sebagai perwujudan nyata pengakuan kehambaan kita kepada Allah. Sebab, ibadah kita itu sejatinya adalah bukti rasa syukur kita sebagai hamba atas semua nikmat dan karuniaNya.

Kedua, kalau kita selalu berfikir dan merasa ringan untuk mau dan mampu membantu orang lain dan merasa sayang kepada semua mahluk Allah. Tidak hanya kepada sesama manusia rasa sayang kita tunjukkan, tetapi juga kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan serta mahluk lainnya. Ketiga, jika diri kita merasa kecil dan tak ada sedikitpun rasa kesombongan atas apa yang sudah kita capai, baik dalam hal ilmu maupun materi dan kedudukan kita. Sifat merasa diri kita selalu butuh hanya kepada Allah dan tidak sombong yang mewarnai setiap langkah kehidupan kita itulah yang disebut dengan sifat tawadlu’.

Jika kita sudah bisa merasakan kehadiran tiga hal di atas, maka itu bukti Awal bahwa komitmen ketertundukan kita kepada Allah masih kita pegang dan kita laksanakan sampai sekarang. Dan Allah berjanji dengan cukup indah dan jelas akan menghargai dan membalas hamba-hambaNya yang taat dan pandai bersyukur serta tak mau menyombongkan diri. Allah yang tak akan ingkar janji akan membayar komitmenNya atas janji suciNya dengan mahuknya dengan balasan surgaNya yang indah tiada tara serta kebahagiaan yang tiada terbayang sebelumnya di dunia ini.

semoga kita termasuk hamba-hambaNya yang terpilih yang segera dikembalikan ke jalan yang benar setelah tersesat di belantara dunia yang fana ini. Amin, Wallahua’lam Bisshowab.

 

oleh: Ust. H. Muhammad Nur Hayid

sumber: Republika Online

12 Adab Seorang Muslim Saat Tidur dan Bangun Tidur

SESUNGGUHNYA Islam benar-benar menaruh perhatian yang sangat besar kepada manusia di dalam segala urusannya, baik agama dan dunianya di saat lapang maupun sulit, bangun maupun tidur, di kala bepergian maupun menetap, saat makan maupun minum, waktu bahagia maupun sedih.

Singkat kata, tidak ada satu hal pun, baik kecil maupun besar, melainkan telah dijelaskan oleh Islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah menggoreskan buat kita melalui ucapan dan perbuatannya rambu-rambu adab yang seyogyanya ditempuh oleh setiap mukmin di dalam hidupnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah menjelaskan, siapa saja yang menghendaki kebahagiaan, hendaklah ia menempuh jalan hidup Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan meneladani adabnya.

Berikut diantaranya 12 adab seorang muslim saat tidur dan bangun tidur:

1. Muhasabah. Hendaklah menghitung-hitung sesaat sebelum tidur, mengoreksi segala perbuatan yang telah ia lakukan di siang hari. Ini sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Lalu jika ia dapatkan perbuatannya itu baik, maka hendaknya memuji Allah, jangan memuji diri sendiri, dan jika sebaliknya, maka hendaknya segera memohon ampunan-Nya, kembali dan bertobat kepada-Nya.

2. Tidurlah seawal mungkin, jangan larut malam, berdasarkan hadis yang bersumber dari `Aisyah “Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam tidur pada awal malam dan bangun pada penghujung malam, lalu beliau melakukan salat.” (Muttafaq `alaih)

3. Berwudulah sebelum tidur dan berbaring miring ke sebelah kanan. Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, Al-Bara bin `Azibz menuturkan, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Apabila kamu akan tidur, maka berwudulah sebagaimana wudu untuk salat, kemudian berbaringlah dengan miring ke sebelah kanan” Dan tidak mengapa berbalik ke sebelah kiri nantinya.

4. Kibaskan sprei tiga kali sebelum berbaring, berdasarkan hadits Abu Hurairahz bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Apabila seorang dari kalian akan tidur pada tempat tidurnya, maka hendaklah mengirapkan kain tempat tidurnya itu terlebih dahulu, karena ia tidak tahu apa yang ada di atasnya” Di dalam satu riwayat dikatakan, “Tiga kali.” (Muttafaq `alaih)

5. Berbaringlah dengan miring kanan. Jangan tidur tengkurap. Abu Dzar menuturkan, “Nabi shallallahu alaihi wassalam pernah lewat di dekatku, di saat itu aku sedang tengkurap, maka Nabi shallallahu alaihi wassalam membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda, “Wahai Junaidab (panggilan Abu Dzar), sesungguhnya berbaring seperti ini (tengkurap) adalah cara berbaringnya penghuni neraka.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani)

6. Jangan tidur di atas dak terbuka, karena di dalam hadis yang bersumber dari `Ali bin Syaiban disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wassalam telah bersabda, “Barangsiapa yang tidur malam di atas atap rumah yang tidak ada penutupnya, maka hilanglah jaminan darinya.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dinilai sahih oleh Al-Albani).

7. Tutuplah pintu, jendela, dan memadamkan api dan lampu sebelum tidur. Dari Jabir diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam telah bersabda, “Padamkanlah lampu di malam hari apabila kamu akan tidur, tutuplah pintu, tutuplah rapat-rapat bejana-bejana dan tutuplah makanan dan minuman.” (Muttafaq alaih)

8. Baca ayat Kursi, dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, Surah Al-Ikhlas dan Al-Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), karena banyak hadis-hadis sahih yang menganjurkan hal tersebut.

9. Baca doa-doa dan zikir yang keterangannya sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, seperti: “Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-Mu.” Dibaca tiga kali. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani) Dan ucapkan, “Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, aku mati dan aku hidup.” (HR. Al-Bukhari)

10. Apabila di saat tidur merasa kaget atau gelisah atau merasa ketakutan, maka disunnatkan (dianjurkan) berdoa dengan doa berikut ini: “Aku berlindung dengan Kalimatullah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dari gangguan setan dan kehadiran mereka kepadaku.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Albani)

11. Bila bermimpi baik, maka bergembiralah dan ceritakan hanya kepada orang yang senang kepadamu. Bila mimpi buruk, maka meludahlah ke kiri tiga kali, baca taawudz jangan diceritakan kepada orang lain, dan pindahlah posisi tidur, atau bangunlah dan salatlah.

12. Ketika bangun tidur hendaknya ucapkan, “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah kami dimatikan-Nya, dan kepada-Nya lah kami dikembalikan.” (HR. Al-Bukhari). Atau dengan ayat penutup Ali Imran, kemudian salat. (HR. Al-Bukhari 103, Muslim 763, Ahmad 2165, An-Nasai 1620, Abu Dawud 58)

 

 

[belajarislam]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2313119/12-adab-seorang-muslim-saat-tidur-dan-bangun-tidur#sthash.3Azf2xAw.dpuf

Menjaga Stabilitas Niat

Mendapatkan pasangan hidup yang soleh dan anak-anak yang bisa menjadi hiasan mata adalah keinginan setiap orang. Tidak terkecuali seorang lajang yang sedang mencari pendamping, ataupun orang yang telah berkeluarga.

Harapan tersebut akan selalu hadir dalam relung batin seorang Muslim. Rasulullah pun mengajarkan sebuah doa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Furqaan: 74) 

Bagaimana caranya agar kita mampu merealisasikan harapan tersebut dalam kehidupan? Ada beberapa tahapan yang harus kita lewati. Dan niat adalah tangga awal untuk meraihnya. 

Mengapa niat? Niat adalah landasan awal sebuah perbuatan. Ia berupa aktivitas batin yang unik sehingga selalu menuntut perhatian dan perlakuan istimewa. Secara lebih luas, niat adalah tergeraknya hati menuju apa yang dianggap sesuai dengan tujuan, baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan mudarat. Al-Imam Yahya bin Syarifuddin An-Nawawi mengartikan niat sebagai kehendak seseorang kepada perbuatan dalam rangka mencari ridha Allah dan melaksanakan hukum-Nya. 

Dari definisi tersebut, kita bisa melihat urgensi niat dalam satu perbuatan. Keridhaan dan kemurkaan Allah akan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita bisa menempatkan faktor niat tersebut dalam tempat yang benar. 

Begitu pula dengan sebuah pernikahan, ia bisa menjadi amal sholeh apabila niatnya lurus untuk mendapatkan ridha Allah, dan bisa menjadi dosa apabila niatnya karena nafsu atau harta. Karena itu, Rasulullah SAW sejak dari awal telah mengingatkan kita tentang hal ini, “Dan setiap orang hanya akan memperoleh berdasarkan niatnya,” (HR. Bukhari Muslim). “Manusia dibangkitkan kembali kelak sesuai dengan niat-niatnya. ” (HR Muslim). 

Ada dua model niat dalam sebuah pernikahan, yaitu niat seseorang yang akan menikah dan niat seseorang yang sudah menikah (berkeluarga). Bagi golongan pertama, niat yang mendasari ia menikah biasanya masih “sederhana”, sehingga mudah untuk diluruskan. Sedangkan niat setelah pernikahan lebih bersifat fluktuatif. 

Dalam pengertian adanya proses naik-turun dari keinginan-keinginan yang timbul berkaitan dengan keberlangsungan berkeluarga. Ada yang ingin terus memelihara niat awal dengan tetap setia pada pasangan. Ada pula yang bertambah niatnya, ingin menikah lagi. Walau kecenderungan kedua ini bisa dilakukan dengan cara yang hasanah maupun dengan cara menzalimi pasangan sebelumnya. 

Seringkali, lemahnya pemahaman dan buruknya pengendalian diri, menyebabkan niat yang lurus pada awal pernikahan, kemudian melenceng jauh. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus selalu kita perhatikan berkaitan dengan masalah niat ini. Pertama, kita harus memahami posisi dan kondisi niat dalam tiga tahapan, yaitu ketika niat itu muncul (diawal), pada waktu proses berjalannya niat (pertengahan), dan ketika niat sudah tertunaikan (diakhir). 

Demikian pentingnya niat ini, sehingga setan akan selalu masuk melalui pintu niat. Ia akan merusak, mengacaukan, dan menjadikan niat kita jatuh ke posisi paling buruk, dalam bentuk riya. Rasulullah SAW menegaskan, “Jika dia pergi berusaha untuk membela anak yatim yang masih kecil-kecil, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia pergi berusaha untuk membela kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia pergi berusaha untuk membela dirinya agar tetap hidup, maka dia berada di jalan Allah. Jika dia pergi berusaha karena riya’ dan kesombongan, maka dia berada di jalan setan”. (HR. Thabrani). 

Kehati-hatian dalam melangkah dalam segala tindakan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan. Saat memilih pasangan, mengkhitbah, ketika melangsungkan pernikahan, hingga setelah pernikahan itu sendiri, mengoreksi niat harus selalu menjadi prioritas. 

Hal kedua adalah menghadirkan doa dalam setiap tahapan niat; mulai dari awal, pertengahan, hingga akhir. Doa dapat mengantisipasi hadirnya penyakit-penyakit yang bisa mengotori kesucian niat. Dan, doa pun mengungkapan kepasrahan hati dan jalan terbaik meraih pertolongan Allah. Semoga Allah senantiasa membimbing niat-niat kita. 

Kisah Rasulullah Berbincang dengan Orang Bertuhan Tujuh

Dalam hadis riwayat At-Tirmidzi diceritakan suatu ketika Nabi Muhammad SAW bertemu dengan seorang musyrik yang bernama Hushein. Beliau bertanya, ”Wahai Hushein, berapa tuhan yang Anda sembah sekarang?” Hushein pun menjawab, ”Tuhanku ada tujuh, yang enam berada di bumi dan yang satu berada di langit.” 

Mendengar jawaban orang musyrik yang demikian itu, Nabi Muhammad sebagai pembawa akidah tauhid, tidak marah dan tidak pula merasa tersinggung. Beliau cukup memaklumi, seorang musyrik bertuhan banyak. Kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya, ”Kalau dalam keadaan genting, tuhan yang mana yang Anda panggil?”
Hushein menjawab, ”Yang di langit.”

Demikianlah, Rasulullah melanjutkan percakapan bersama Hushein dengan asyiknya. Tak ada amarah, apalagi sumpah serapah. Itulah salah satu contoh sikap toleran Nabi Muhammad memaklumi dan tidak pernah melecehkan keyakinan orang lain. Justru dengan dakwah dan sikap beliau yang seperti itulah pada akhirnya Hushein masuk Islam.

Maka, bila kita berada di tengah masyarakat yang heterogen dengan berbagai keyakinan dan kepercayaan agamanya, kita tidak perlu merasa tersinggung kalau ada orang berbeda pandangan dengan kita. Tidak usah tersinggung bila ada pihak yang berbeda keyakinan dengan kita. Rasulullah tidak melecehkan keyakinan mereka sebagaimana Beliau pun tak ingin jika akidahnya dilecehkan.

Suatu ketika beberapa orang musyrik mengajak Nabi Muhammad berkolaborasi. Aturannya, suatu saat mereka akan mengikuti kegiatan peribadatan Nabi Muhammad, namun di saat lainnya Nabi Muhammad harus datang ke tempat mereka untuk mengikuti peribadatan mereka. Beliau menolak mentah-mentah gagasan tersebut dengan mengatakan salah satu cuplikan Alquran surat Al-Kafirun, ”Lakum diinukum waliya diin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Dalam urusan akidah, sama seperti Rasulullah, maka kita harus fanatik; meyakini dan membela agama yang dianutnya. Wajar-wajar saja kalau orang itu fanatik terhadap keyakinannya.

Rasulullah SAW secara tersirat mengajarkan pada kita makna kerukunan beragama, bukan berarti mencampuradukkan ajaran aneka agama. Kerukunan antarumat beragama adalah setiap orang bisa hidup rukun bersama-sama dalam satu masyarakat. Namun, mereka tetap teguh pada keyakinan masing-masing dan menghormati keyakinan orang lain. Begitu semestinya tatanan dalam masyarakat yang heterogen. Wallahu a’lam bish-shawab. 

Oleh Aceng Karimullah

Ibadah Datangkan Kenikmatan

Sungguh, ibadah dalam Islam itu akan mendatangkan kenikmatan. Mulanya, manusia berorientasi pada kenikmatan material sebagai kebutuhan dasar (basic needs) yang disebut Buya Hamka dengan ladzaat (kelezatan).

Lalu, manusia berkembang bukan hanya fisikal, tetapi juga psikis dan sosial sehingga mencari kenikmatan yang lebih tinggi, yakni sosial (ijtima’iyah). Sebuah kenikmatan yang tak ternilai dengan materi, bahkan rela kehilangannya untuk meraih nikmat kebersamaan dan bermakna di tengah yang membutuhkan. Inilah yang disebut as-sa’adah (kebahagiaan).

Tidak semua orang dapat meraihnya walaupun ia telah mencapai kenikmatan material. Ada empat indikator pencapaian kenikmatan sosial. Pertama, senang berbakti kepada orang tua (birrul waalidaiin). Beruntunglah anak yang sempat berbakti, hingga orang tuanya lanjut usia dan mengembuskan napas terakhir di pangkuannya.

Keletihan dalam bekerja mencari nafkah pun sirna ketika dibelai ayah dan ibunda dengan penuh kelembutan. Hasil jerih payah diberikan tanpa perhitungan, apalagi merasa terbebankan. Karena menyadari bahwa sedekah yang paling utama adalah kepada orang tua (QS [2:215). Keridhaan mereka pun sebab turunnya ridha Ilahi dan jalan ke surga (HR at-Turmudzi). Sikap, kata, dan tindakannya senantiasa memuliakan diiringi doa penuh ketulusan (QS [17:23-25, [27]:19, [46]:15). Setelah berbakti kepada orang tua yang melahirkan, lalu muliakan orang tua yang mengajarkan (guru) dan yang menikahkan (mertua).

Kedua, senang berkumpul dengan keluarga. Setelah dewasa, seorang anak mulai membangun rumah tangga. Mendapatkan pasangan hidup yang membuat hati selalu tertarik ketika menatapnya (sakinah), tenteram di saat bersamanya (mawaddah), damai dalam pelukannya (rahmah), dan jika ditinggalkan rindu pun tak tertahankan (QS [30]:21). Lalu, lahir anak-anak yang menggembirakan, penyejuk hati dan pelipur lara, saleh dan salehah, beradab dan membanggakan (QS [25]:74, [37]:100). Beruntunglah seseorang yang ketika menikah masih didampingi orang tua.

Ketiga, senang berjamaah dengan ulama. Kenikmatan tiada tara jika mendapat tetangga dan jamaah masjid yang baik. Apalagi, kita bisa dekat dengan orang-orang berilmu, yakni guru atau alim ulama. Ulama itu pewaris para Nabi (HR at-Turmudzi). Mereka membawa ilmu (cahaya) yang menerangi kegelapan jalan hidup manusia. Beruntung orang yang senang berkumpul dengan ulama, memuliakan, mendengar nasihatnya, dan menghadiri majelis ilmu (zikir).

Para malaikat pun turun ke bumi menaungi dan mendoakan mereka yang duduk di majelis ilmu (HR Muslim). Orang yang senang bergaul dengan alim ulama, tidak akan tersesat jalan hidupnya. Mereka akan dimuliakan sebagaimana Allah SWT mengangkat derajat ulama yang istiqamah (QS [58]:11).

Keempat, senang berbagi dengan sesama. Sedekah yang utama, selain kepada orang tua adalah kaum kerabat, yatim dan miskin (QS [2]:215, [89]:17-18, [90]:14-16). Beruntung orang kaya yang senang bersedekah (QS [2]:161, [3]:92, [79]:8-10) di saat sebagian orang menumpuk hartanya. Ia suka membantu sesama keluar dari kesusahan. Sesungguhnya tangan di atas adalah kemuliaan (HR Bukhari).

Kenikmatan sosial pun akan sirna atau ditinggalkan sebagaimana juga kenikmatan material. Jangan sampai berlebihan mencintainya karena bisa menjadi penghalang untuk meraih kenikmatan spiritual nan abadi. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Oleh: Hasan Basri Tanjung

Republika Online

Astaghfirullah… Pria Iran Kenakan Hijab

Pria di Iran mengenakan hijab sebagai bentuk solidaritas pada perempuan di negara tersebut yang dipaksa untuk mengenakan hijab di ruang publik. Mengenakan penutup kepala adalah aturan tegas yang diterapkan Iran dan selalu diawasi oleh polisi moral. Hal itu sudah diterapkan di Iran sejak 1979.

Perempuan yang tidak mengenakan hijab atau dianggap menggunakan hijab yang tidak sesuai seperti menunjukkan sedikit bagian rambutnya akan dikenakan sanksi. Hukuman itu mulai dari denda hingga penjara.

Seperti dikutip dari The Independent , selama sepekan terakhir, beberapa laki-laki tampil dalam foto dengan mengenakan hijab bersama istri atau keluarga perempuannya. Hal ini merupakan respons dari seruan aktivis dan jurnalis Iran yang bermukim di New York, AS, Masih Alinejad yang mengajak laki-laki untuk mendukung kampanye melawan pemaksaan berhijab.

Alinejad telah mendapatkan 30 gambar laki-laki yang mengenakan hijab sejak ia menyerukan kampanye itu pada 22 Juli lalu. Ia juga menyampaikan, beberapa laki-laki turut mengunggah foto serupa di akun Instagram masing-masing.

“Kebanyakan laki-laki ini hidup di Iran dan mereka menyaksikan kerabat perempuan mereka menderita di tangan polisi moral dan pemaksaan hijab,” kata Alinejad.

Menurut Alinejad eksistensi perempuan seringkali ditentukan oleh laki-laki. Ia mengaku, dalam beberapa ajaran yang diatur oleh otoritas agama pun mempengaruhi adanya kesalahpahaman kepemilikan laki-laki atas perempuan. “Jadi ini merupakan hal fantastis untuk mengajak laki-laki mendukung hak-hak perempuan,” kata Alinejad.

 

 

sumber: Republika Online

Hukum Kebiri sebagai Ta’zir Paedofilia (bagian 2)

KEDUA, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku paedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan syariah Islam itu. (Lihat QS Al Ahzab [33]: 36).

Rincian hukuman untuk pelaku paedofilia sbb; (1) jika yang dilakukan adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudah muhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan; (2) jika yang dilakukan adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain; (3) jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zina atau homoseksual, hukumannya tazir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 93).

Memang benar, hukuman untuk pelaku paedofilia yang hanya melakukan pelecehan seksual (at taharusy al jinsi), adalah hukuman tazir, yang dapat ditentukan sendiri jenis dan kadarnya oleh hakim (qadhi). Misalnya dicambuk 5 kali cambukan, dipenjara selama 4 tahun, dsb. Pertanyaannya, bolehkah hakim menjadikan pengebirian sebagai hukuman tazir?

Jawabannya, tidak boleh (haram). Sebab meski hukuman tazir dapat dipilih jenis dan kadarnya oleh hakim, tetapi disyaratkan hukuman tazir itu telah disahkan dan tidak dilarang oleh nash-nash syariah, baik Alquran maupun As Sunah. Jika dilarang oleh nash syariah, haram dilaksanakan. Misalnya, hukuman membakar dengan api. Ini haram hukumnya, karena terdapat hadis sahih yang melarangnya (HR Bukhari) (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 81). Maka demikian pula, menjatuhkan tazir berupa pengebirian diharamkan, karena telah terdapat hadis-hadis sahih yang melarang pengebirian. Wallahu alam. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2313337/hukum-kebiri-sebagai-tazir-paedofilia-bagian-2#sthash.IbsW7BZz.dpuf

Bolehkah Pelaku Paedofilia Dikebiri? (bagian 1)

AKHIR-AKHIR ini para pelaku paedofilia kian meresahkan. Di Sumatera, ada pelaku yang malah membunuh dan menjual daging korbannya setelah dilecehkan. Ada yang bertanya, bolehkah pelaku paedofilia diberi hukuman dikebiri, baik dikebiri secara fisik maupun secara kimiawi, yakni disuntik dengan zat tertentu yang menghilangkan syahwatnya?

Menurut Ustadz M Siddiq Al Jawi, pengebirian (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi pengebirian dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari pengebirian.

Namun adakalanya pengebirian berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Pengebirian bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul. (Rawwas Qalah Jie, Mujam Lughah Al Fuqaha, hlm. 150; Al Mujamul Wasith, 1/269; Al Mausuah Al Fiqhiyyah, 19/119; Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Mutaalliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).

Menjatuhkan hukuman pengebirian bagi pelaku paedofilia hukumnya haram, berdasarkan dua (dua) alasan sebagai berikut; pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan pengebirian pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al Aini (Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shanani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausuah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Mutaalliqah bi Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumuah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan, hlm. 90).

Dalil haramnya pengebirian pada manusia adalah hadis-hadis sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap pengebirian. Dari Saad bin Abi Waqqash RA, dia berkata, “Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazhun RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazhun untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073; Muslim no 3390).

Dari Ibnu Masud RA, dia berkata, “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),”Bolehkah kami melakukan pengebirian?” Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu. (HR Bukhari no 4615; Muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (Taqiyuddin An Nabhani, An NizhamAl Ijtimai fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausuah Al Fiqhiyyah, 19/119) []/bersambung…

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2313335/bolehkah-pelaku-paedofilia-dikebiri-bagian-1#sthash.jBdx6zPV.dpuf