Pada bulan Maret 1995, saya selaku wartawanRepublika mendapat kesempatan mengikuti kunjungan Menteri Agama H Tarmizi Taher melakukan lawatan ke Bandung selama dua hari. Menag yang meminta saya agar mengikuti perjalanan dinasnya. Sekalipun orang Minang, Menag pernah menjadi teman dan tetangga saya waktu dia dan keluarganya tinggal di Kwitang, Jakarta Pusat. Sampai kini kalau bertemu dia sering mengingatkan waktu sama-sama main bola di Lapangan Kwitang ketika remaja.
Di Bandung dalam suasana santai, tiba-tiba Pak Tarmizi bertanya kepada saya, ”Wi,ente mau ikut naik haji? Ane ditunjuk menjadi amirul haj.” Tentu saja tawaran ini langsung saya teriama sambil mengucapkan syukur kepada Allah. Setelah proses pendaftaran dan surat-surat selesai, saya pun berangkat ke Tanah Suci ikut rombongan amirul haj.
Bersama saya ikut serta sejumlah tokoh agama dari NU, Muhammadiyah, dan Persis. Termasuk da’i kondang KH Zainuddin MZ. Rombongan wartawan di antaranya Bambang SP (Kompas) dan Yatim (Suara Karya). Beberapa hari sebelum berangkat, Menag Tarmizi Taher memberikan briefing kepada kami para wartawan untuk membuat laporan-laporan. Intinya adalah bagaimana upaya perbaikan jamaah haji pada masa-masa mendatang. Termasuk H Komarudin Hidayat yang kini menjadi rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah dan H Muslim Abdurahman.
Tarmizi kepada kami mengatakan akan mengupayakan berbagai terobosan untuk memperbaiki pengorganisasian ibadah haji. Salah satunya adalah sistem komputerisasi yang akan mulai dilaksanakan tahun 1996.
Ketika rombongan amirul haj menuju Tanah Suci, terdapat lebih dari 100 pegawai Sekretariat Negara yang menunaikan ibadah haji bersama istri. Terdapat juga artis Jenny Rachman. Kala itu rombongan wartawan
Republika yang berangkat dengan pesawat lain bersama 195 ribu jamaah dan dua ribu petugas haji, saya kira merupakan jumlah terbesar selama ini.
Karena itu, kami dapat menerbitkan Jurnal Haji yang terbit selama lebih dari sebulan. Di antara mereka adalah Ikhwanul Kiram Mashuri, Damanhuri Zuhri, Achmad Saefi, dan Bachtiar Padha. Juga pemimpin
perusahaan Haedar Baqir ikut menunaikan ibadah haji. Tiap hari kami bertemu di Press Centre untuk mengirimkan berita-berita ke Jakarta.
Begitu pesawat yang membawa rombongan amirul haj pada malam hari, setelah mengurus surat-surat dan koper-koper di Bandara King Abdul Azis Jeddah, kami ditempatkan di Wisma Haji. Setelah bermalam di Jeddah, kami langsung naik bus yang cukup mewah, seperti umumnya bus-bus yang disediakan untuk jamaah haji, ke Kota Nabi, Madinatul Al-Munawarah (kota yang disinari dan menyinari).
Jarak Jeddah ke Madinah 500 km. Mendekati kota ini, kami tidak seluruh rombongan dipimpin salah satu ulama, tidak henti-hentinya bershalawat berisi salam dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Perjalanan antara Jeddah dan Madinah kami tempuh selama kurang lebih lima jam.
Dari bus yang berpendingin ruangan ini di luar hanya terlihat batu-batu yang gersang. Kami membayangkan bagaimana Rasulullah ketika hijrah dari Makkah ke Madinah hanya dengan menggunakann unta dalam panas yang sangat terik. Betapa tingginya semangat dan mental para sahabat Nabi ketika
mereka hijrah banyak yang menempuh hanya dengan berjalan kaki.
Rombongan tiba di Madinah ketika hari sudah malam. Masjid Nabawi sudah ditutup. Hanya toko-toko dan para pedagang serta mereka yang berbelanja tampak masih sibuk.
Kami ditempatkan di hotel cukup mewah dan letaknya berdekatan dengan Masjid Nabawi. Keesokan harinya kami berziarah ke makam Rasulullah SAW. Di sebelahnya terdapat makam sahabat Abubakar dan Umar bin Khatab. Di depan makam Nabi, meskipun saya sebelumnya sudah melaksanakan ibadah
haji dan beberapa kali umrah, tidak dapat membendung tetesan air mata.
Ketika saya membaca doa di depan makam Rasul, seorang askar (tentara Arab Saudi) menegur saya. ”Anda tidak boleh berdoa di hadapan makam. Tapi, berdoalah ke arah sana menunjuk ke arah belakang saya, ke arah Kabah.” Di makam Nabi, para askar tidak membolehkan kita berdiri lama-lama saat berziarah. Maklum, antrean yang ingin mendekati makam Nabi sangat banyak.
Tiga hari berada di Madinah, kami mendatangi tempat-tempat bersejarah, seperti Masjid Kiblaten, Masjid Quba, tempat perang Chandak dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Ketika itu Madinah jauh berubadah dari 10 tahun lalu ketika saya pertama kali berhaji.
Terowongan-terowongan yang menembus gunung di sini dengan ornamen-ornamennya yang artistik tampak sangat indah. Demikian pula dengan penataan kotanya, seperti bumi dengan langit dibandingkan 10
tahun sebelumnya. Termasuk pusat-pusat perbelanjaan bertaraf internasional.
Saat itu Kota Nabi ini sudah memiliki bandara internasional. Kalau dulu jamaah haji harus lebih dulu ke Jeddah, kini mereka bisa langsung ke Madinah, termasuk dari Indonesia. Perjalanan dari Madinah ke Makkah yang jaraknya hampir sama antara Jeddah dan Madinah juga kami tempuh dengan
mulus sekalipun kala itu jutaan jamaah haji sudah berdatangan di Arab Saudi. Setelah mengambil miqat di Bir Ali dan shalat sunnah, rombongan meneruskan perjalanan ke Makkah. Di sini kami langsung ke Masjidil Haram untuk thawaf dan umrah, kemudian bertahalul.
Karena rombongan amirul haj, kami dapat pelayanan agak istimewa, dikawal olehaskar Arab Saudi meskipun harus tetap berdesak-desakan. Saat thawaf saya melihat Sultan Brunei, Hasan Bolkiah, yang mendapat pengawalan lebih ketat. Sekalipun Tarmizi Taher dan beberapa stafnya ditempatkan di hotel, saya mengikuti inspeksi yang dilakukan tiap hari hingga jauh malam ke tenda-tenda jamaah haji Indonesia. Termasuk ke rumah-rumah sakit tempat para jamaah haji dirawat.
Saya teringat gurauannya. ”Hanya unta yang tidak terserang flu dan batuk-batuk”. Waktu itu karena perubahan cuaca dan melakukan kegiatan fisik yang melelahkan banyak yang sakit, khususnya flu dan batuk-batuk. Melihat saya tetap sehat, Tarmizi dengan bercanda berkata, ”Kok lu Wi enggak sakit?” Rupanya akibat olahraga yang saya lakukan meskipun usia kala itu 60 tahun, daya tahan tubuh saya cukup baik.
Di Arafah yang saya lihat sudah mulai banyak pepohonan. Kami wukuf di tempat yang cukup baik. Pembacaan doa dilakukann oleh Quraish Shihab. Di Arafah kita mendapati sejumlah TKW yang berjualan di tenda-tenda yang ditempati para haji dari Indonesia. Mereka menjual nasi rames dengan tahu dan tempe. Ada juga pecel, mi rebus (kala itu perusahaan Indomie pengekspor utama ke Arab Saudi). Tidak ketinggalan bakso yang rasanya tidak kalah sedap dari bakso di Tanah Air.