Dikaruniai Rezeki yang Tak Terduga

ALLAH Ta’ala berfirman dalam Alquran:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaaq: 2-3)

Tentang ayat ini, al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Maknanya, barang siapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”

Orang yang rajin mengerjakan puasa SeninKamis, niscaya ia akan terlatih menjadi orang yang bertakwa. Dan bagi orang yang bertakwa, Allah telah berjanji akan memberinya rezeki dari arah yang tak terduga dan disangka-sangkanya.

Ada dua hal hal untuk memahami ini:

Pertama, Allah adalah Zat yang menciptakan dan mengatur rezeki. Sumber rezeki itu datangnya dari Allah. Kita hanya mampu berusaha, sedangkan Dia yang berkuasa menentukan.

Kedua, Allah memiliki kehendak yang mutlak. Jika Allah berkehendak memberi, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Sebaliknya, jika Allah berkehendak mencegah, maka tak ada seorang pun yang dapat menahannya.

Maka, ketika Allah mengatakan akan memberi rezeki yang tak terduga kepada hamba-Nya yang bertakwa, itu menjadi masuk akal dan bisa dipahami. Karena, sumber rezeki itu ada di tangan Allah, Dia sanggup mengirimkannya kapan saja, dimana saja dan dalam situasi apa saja.

Orang yang bertakwa yakin benar akan hal ini bahwa Allah Maha Kuasa atas segala-galanya. Bukan hal yang mustahil bagi Allah mendatangkan rezeki kepada hamba-Nya secara langsung. Sunguh tidak sedikit manusia di muka bumi yang mengalami keajaiban-keajaiban di luar kemampuan akal menangkapnya.

[Chairunnisa Dhiee]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2315045/dikaruniai-rezeki-yang-tak-terduga#sthash.K9FgQzap.dpuf

Bagaimana Nabi Daud Berpuasa?

NABI Daud as berpuasa dengan cara berpuasa sehari dan tidak puasa sehari, begitu terus menerus sepanjang tahun. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam hadis Nabi saw:

“Berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, karena yang demikian itu adalah seutama-utamanya puasa. Itulah puasa saudaraku Daud as.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Puasa Daud inilah seutama-utamanya puasa. Tidak ada puasa yang melebihi puasanya Nabi Daud as, sebab tidak ada orang yang bisa melebihi ketaatannya Nabi Daud as. Sebagaimana Rasul as pernah menyatakan: “Tidak sepantasnya bagi seseorang ia mengatakan, Aku lebih taat beribadah dari pada Daud.” (HR.Daelami)

Inilah pula amalan puasa sunah yang paling utama dan paling dicintai Allah swt, sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw :

“Sesungguhnya puasa yang paling disukai Allah adalah puasa Daud. Dan salat yang paling disukai Allah adalah salatnya Daud. Ia tidur di tengah malam, bangun disepertiganya, dan tidur di seperenamnya. Dan ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Puasa ini juga yang menjadi salah satu amalam yang mengantarkan Nabi Daud as menjadi hamba yang dicintai dan dikasihi Allah swt. Nabi Daud as sendiri adalah hamba yang sangat mengutamakan cinta Allah lebih daripada mengutamakan dirinya sendiri, dan keluarganya sendiri. Hal ini tercermin dalam doa yang dipanjatkan Nabi Daud as kepada Rabbnya:

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan aku memohon kepada-Mu perbuatan yang dapat mengantarkanku kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin.” (HR.Tirmidzi) []
Sumber: buku “Manfaat Dahsyat Puasa Senin Kamis dan Puasa Daud”

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2318220/bagaimana-nabi-daud-berpuasa#sthash.YKgT2Com.dpuf

Kenyangkan Jiwa dengan Zikir Setiap Waktu

“MAUKAH aku tunjukkan kepadamu sebaik-baik amal dan yang paling mulia di sisi Tuhanmu serta yang paling dapat meninggikan derajatmu? Berzikir kepada Allah.”

Secara harfiah, zikir berarti mengingat dengan menyebut dan memuji nama Allah, dan merupakan ibadah yang paling mudah dilakukan. Sebab, tak seberat berpuasa atau bertahajud di sepertiga malam. Cukup hanya mengingat, mengucapkan pujian penghambaan dan pengagungan kepada Allah swt dengan bacaan tasbih, tahmid, istighfar, shalawat, dan pujian yang disyariatkan.

Zikir mengenyangkan jiwa, menenangkan rasa, melembutkan hati, membersihkan sifat-sifat tercela, membesarkan rasa cinta kepada Allah swt serta menjadikan hidup di dunia dan akhirat lebih bernilai dan bermakna.

Dengan berzikir akan hilang ketulian pendengaran, kebisuan lisan, dan tersingkapnya kegelapan pandangan. Allah menghiasai lisan orang-orang yang berzikir sebagaimana Ia menghiasi pandangan orang yang melihat dengan cahaya.

Dengan demikian lisan orang yang lalau berzikir bagaikan boa mata yang buta, pendengaran yang tuli, dan tangan yang terputus. Zikir merupakan pintu Allah yang sangat agung, terbuka lebar bagi setiap hamba selama mereka tidak menutupnya dengan kelalaian.

Rasulullah saw telah banyak memberikan kita sebagai umatnya motivasi agar senang berzikir, suka memuji, menyucikan, dan mengagungkan Allah. Terbiasa berzikir akan membuat jiwa menjadi tenang karena ampunan dan pertolongan Allah selalu mengiringi.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS.Ar-Rad : 28)

Menurut Imam Nawawi, bersikir adalah suatu amalan yang disyariatkan dan sangat dituntut di dalam Islam. Ia dapat dilakukan dengan hati atau lidah (lisan). Akan lebih afdal jika dengan kedua-duanya sekaligus. []
Sumber: Buku “200 Amalan Saleh Berpahala Dahsyat”

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2318331/kenyangkan-jiwa-dengan-zikir-setiap-waktu#sthash.l6J5BtDQ.dpuf

Mengapa Sulit Menghargai Orang Lain?

MENGAPA seseorang sulit menghargai orang lain? Jawabannya adalah karena kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa menghormati adalah potret dari kehinaan diri dan kemuliaan orang yang dihormati. Padahal, aslinya, menghormati orang lain adalah menghormati dirinya sendiri, menunjukkan martabat dirinya yang memiliki nilai-nilai.

Penghormatan kepada orang lain tak pernah menurunkan derajat bahkan meninggikan derajat, baik derajat pemberi hormat maupun derajat penerima hormat. Kalau begitu, mengapa harus sulit menghormati? Padahal Allah saja menyatakan dalam alQur’an: “Sungguh Kami muliakan anak cucu Adam.” Ayat ini bermakna bahwa memuliakan yang dimuliakan Allah adalah amal yang dianjurkan.

Penghormatan erat hubungannya dengan menghargai sekecil apapun kebaikan yang dimiliki atau dipersembahkan orang lain. Setiap orang memiliki cara dan tingkat tersendiri dalam melakukan dan mempersembahkan sesuatu.

Orang desa memiliki tradisi yang berbeda dengan orang kota. Orang kaya memiliki gaya yang berbeda dengan orang miskin. Kaum abangan memiliki cara yang berbeda dengan kaum santri. Akan indah kehidupan jika antar mereka ada saling pengertian dan penghormatan.

Pengertian akan terbangun lebih mudah jika seseorang mengalami apa yang dialami oleh banyak orang yang dihadapi. Santri yang dulunya abangan akan lebih bisa memahami abangan. Orang kaya yang dulunya miskin akan lebih mudah memahami tradisi orang miskin, dan orang kota yang asalnya desa akan lebih memaklumi gaya hidup orang desa. Ini bukan suatu kebenaran mutlak melainkan hanya pada biasanya.

Masuklah ke dalam tradisi dan perasaan hati seseorang agar kita lebih bisa memahami, menghargai dan menghormati orang lain. Salam, AIM. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2318672/mengapa-sulit-menghargai-orang-lain#sthash.wXhkCa8y.dpuf

Membersihkan Tempat Sujud Kala Salat

BILA tempat sujud kotor atau berdebu, seorang yang sedang mau melakukan sujud dibolehkan membersihkannya, asalkan gerakannya sekali saja dan tidak berulang-ulang.

Ini menunjukkan bahwa salat yang diajarkan oleh Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak harus masuk ke alam lain, sehingga tidak ingat apa-apa atau tidak merasakan rasa sakit. Bahkan sekedar debu yang ada di tempat sujudnya boleh dibersihkan terlebih dahulu.

Dari Mu’aiqib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah bersabda,

“Janganlah kalian menyapu (tempat sujud) ketika sedang salat. Tetapi bila terpaksa dilakukan, lakukan sekali saja untuk menyapu kerikil.” (HR. Abu Daud)

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2317945/membersihkan-tempat-sujud-kala-salat#sthash.jdq04ZAS.dpuf

Kenapa Mudah Membid’ahkan Orang?

ADA pertanyaan mengapa saat ini kian banyak orang yang gampang membidahkan apa yang dilakukan orang lain? Misalnya, saat orang-orang berjubel di pintu masjid, manakala ada seseorang berkata “shall al an-nabiy bershalawatlah kepada nabi, yang lain berkata,” Diamlah, itu bidah.” Benarkah itu bidah?

Ustaz menjawab, ucapan orang itu “shall al an-nabiyyi bershalawatlah kepada nabi- di pintu masjid bukan merupakan bidah. Hal itu karena bidah adalah menyalahi perintah asy-Syri yang dinyatakan tata cara penunaiannya. Bidah secara bahasa seperti dicantumkan di Lisn al-Arab : al-mubtadi alladz yat amran al syubhin lam yakun -orang yang melakukan bidah adalah orang yang mendatangkan perkara pada gambaran yang belum ada wa abdata asy-syaya: ikhtaratahu l al mitslin anda melakukan bidah: Anda melakukan inovasi tidak menurut contoh”.

Bidah itu secara istilah juga demikian. Artinya di situ ada “contoh” yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan seorang muslim melakukan yang menyalahinya. Ini berarti menyalahi tata cara syariy yang telah dijelaskan oleh syara untuk menunaikan perintah syara. Makna ini ditunjukkan oleh hadis:

Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak ada ketentuan kami atasnya maka tertolak (HR al-Bukhari dan Muslim)

Siapa yang sujud tiga kali dalam salatnya dan bukannya dua kali, maka dia telah melakukan bidah. Sebab dia menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa yang melempar jumrah delapan kali lemparan, bukan tujuh lemparan, ke Jamart Mina maka dia telah melakukan bidah. Sebab ia juga menyalahi perbuatan Rasul saw. Siapa yang menambah lafazh adzan atau menguranginya maka ia telah melakukan bidah, sebab ia menyalahi adzan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw

Sedangkan menyalahi perintah syara yang tidak dinyatakan tata caranya, maka itu masuk dalam bab hukum syara. Maka dikatakan itu adalah haram atau makruh jika itu merupakankhithab taklif, atau dikatakan batil atau fasad jika merupakan khithab wadhi. hal itu sesuai qarinah yang menyertai perintah tersebut

Sebagai contoh, imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Aisyah ra., dimana beliau menggambarkan shalat Rasulullah saw, Aisyah berkata: Rasulullah saw

Rasulullah saw jika beliau mengangkat kepada setelah ruku, beliau tidak sujud hingga tegak berdiri, dan jika beliau mengangkat kepala dari sujud, beliau tidak sujud hingga duduk tegak

Di dalam hadits ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang Muslim setelah bangkit dari ruku, ia tidak sujud hingga ia berdiri tegak, dan jika mengangkat kepala dari sujud, ia tidak sujud lagi hingga ia duduk tegak. Tatacara ini dijelaskan oleh Rasulullah saw. Maka siapa saja yang menyalahinya, ia telah melakukan bidah.

Jadi jika seorang yang sedang shalat bangkit dari ruku kemudian sujud sebelum berdiri tegak, maka ia telah melakukan bidah. Sebab ia menyalahi tata cara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Bidah ini adalah sesat dan pelakunya berdosa besar.

Akan tetapi contoh lain, imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Ubadah bin ash-Shamit ra., ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

Rasulullah saw melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, shorghum dengan shorghum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali harus sama, berupa bendanya dengan bendanya. Siapa saja yang menambah atau minta tambah, maka sungguh telah berbuat riba

Seandainya seorang Muslim menyalahi hadits ini, lalu ia menjual emas dengan emas tapi berlebih satu dengan lain, dan bukannya sama timbangannya, maka ia tidak dikatakan telah melakukan bidah, melainkan dikatakan telah melakukan keharaman yakni riba.

Ringkasnya: menyalahi tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw adalah bidah. Sementara menyalahi perintah Rasul saw yang bersifat mutlak tanpa ada penjelasan tatacaranya, maka hal itu ada pada bab hukum syara: haram, makruh batil dan fasad hal itu sesuai dalil yang menunjukkannya.

Di dalam pertanyaan Anda, Rasul saw tidak menjelaskan tata cara ucapan yang menyertai ketika keluar dari masjid setelah Shalat Jumuat. Karena itu, ucapan muslim itu sementara ia sedang keluar dari masjid, yaitu “shall al an-nabiy” bershalawatlah kepada Nabi saw- tidak ada dalam bab bidah, akantetapi dikaji dalam koridor hukum-hukum syara. Dan ucapan itu adalah boleh tidak ada masalah apa-apa. Bahkan mendapat pahala sesuai niatnya. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2318283/kenapa-mudah-membidahkan-orang#sthash.4Vbno1Xh.dpuf

Kekeliruan yang Harus Dihindari Jika Belajar Tanpa Guru

SEMUA orang sepakat bahwa buku adalah gudangnya ilmu. Sampai ada mahfuzhat dalam bahasa Arab yang mengungkapkan betapa bergunanya suatu buku.

“Sebaik-baik teman duduk sepanjang zaman adalah buku.”

Dan ilmu fikih yang luas itu tersimpan di dalam jutaan jilid buku. Maka kalau mau belajar ilmu fikih tidak bisa tidak, harus punya buku dan membacanya. Kita bersyukur bahwa salah satu wujud tingginya peradaban umat Islam di masa lalu adalah warisan buku-buku fikih yang berjuta jilidnya.

Yang sudah dicetak dan dijual umum masih terlalu sedikit dibandingkan yang masih dalam bentuk manuskrip (makhthuthat). Sebagian kalangan ada yang memperkirakan bahwa yang sudah tercetak itu paling banyak baru 5% saja. Selebihnya masih tersimpan di museum atau perpustakaan di berbagai penjuru dunia.

Namun di balik pentingnya sebuah buku, kita juga harus waspada dan cermat. Ketika kita merasa sudah cukup bisa menimba ilmu hanya lewat buku dan merasa tidak butuh penjelasan dari orang yang ahli di bidang itu, maka kita sudah mulai salah arah.

Jangan mentang-mentang buku itu tempat dituliskannya ilmu, lantas kita berpikir bahwa kita sudah tidak lagi butuh guru yang mengajar secara langsung. Sebab biar bagaimana pun, buku itu sendiri ditulis oleh guru juga. Dan apa yang disampaikan oleh seorang guru kepada muridnya secara langsung tentu akan jauh lebih akurat dan lebih mudah dipahami, ketimbang sekedar hanya membaca bukunya.

Biasanya dalam keseharian kita, bila kita punya kesempatan untuk bertemu langsung dengan penulis sebuah buku yang pernah kita baca, maka kita pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Buat apa? Toh bukunya sudah kita baca, bukan?

Jawabannya sederhana saja, yaitu dengan bertemu langsung dengan penulis buku, maka kita bisa menggali lebih jauh hal-hal yang barangkali belum sempat dituliskan dalam buku itu. Atau kita bisa mengkonfirmasi informasi yang kita baca langsung kepada penulisnya.

Terdapat beberapa kekeliruan yang harus dihindari ketika belajar ilmu fikih tanpa guru, diantaranya:

1. Salah Paham

Kesalahan yang sering terjadi pada orang yang belajarnya hanya lewat baca buku adalah seringnya terjadi salah paham terhadap isi buku. Boleh jadi maksud penulis buku ke Utara tetapi dipahami oleh pembacanya malah ke Selatan. Tentu Utara itu bukan Selatan. Utara adalah lawan dari Selatan.

Maka kita butuh guru untuk menjelaskan apa-apa yang sekiranya bisa membuat kita salah paham terhadap apa yang kita baca dari sebuah buku.

2. Sama Sekali Tidak Paham

Kekeliruan kedua ini lebih parah dari kekeliruan pertama sebelumnya, yaitu orang yang baca buku seringkali malah sama sekali tidak paham isi buku itu. Walaupun sudah dibolak-balik dari awal ke akhir dan dari akhir ke awal, tetap saja gagal paham.

Keadaan ini tentu saja mengerikan. Bagaimana tidak, ketika kita merasa sudah membaca suatu buku, ternyata kita sama sekali tidak paham apa isinya. Ujung-ujungnya buku itu hanya menjadi bantal untuk tidur saja.

3. Keliru Terjemahan

Buku-buku fikih yang dijual di negeri kita kebanyakan adalah buku terjemahan dari bahasa Arab. Yang menjadi masalah adalah kualitas terjemahannya yang rata-rata bukan hanya tidak akurat, tetapi malah jauh keluar dari maksud penulis aslinya.

Seringkali sebuah buku dalam bahasa Arab diterjemahkan oleh mereka yang sama sekali tidak punya kompetensi untuk melakukan terjemah. Baru duduk di bangku kursus bahasa Arab dua minggu lantas sudah merasa pandai dan latah mau menerjemahkan buku. Lalu sedikit-sedikit buka kamus Arab Indonesia karena miskin kosa kata, tidak mengerti uslub bahasa Arab, tidak punya dzauq (taste) dalam tarkib bahasa Arab.

Akhirnya sebuah paragraf yang panjang itu diterjemahkan secara kata per kata. Hasilnya menjadi aneh dan si penerjemahnya sendiri pun tidak paham atas apa yang dia tulis sendiri. Ini bukan sekedar musibah tetapi ini adalah bencana.

Padahal setiap disiplin ilmu yang tertulis dalam buku tidak mudah dipahami begitu saja oleh mereka yang bukan ahli di bidang ilmu tersebut. Sebutlah misalnya buku diktat kuliah ilmu kedokteran. Penulisnya pastilah dokter ahli di bidang kedokteran dan yang bisa membacanya dengan mudah hanyalah para mahasiswa kedokteran saja.

Sedangkan buat kita yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu kedokteran, meskipun diktat kuliah itu berbahasa Indonesia, tetap saja kita akan mengalami ‘gagal paham’, meski sudah dibolak-balik seratus kali.

Kitab fikih dalam bahasa Arab hanya bisa dipahami oleh mereka yang sedang menekuni ilmu fikih, setidaknya para mahasiswa yang duduk di bangku fakultas syariah. Itu pun mereka tetap harus datang kuliah biar bisa menerima penjelasan dosen. Dan tidak mungkin bisa lulus ujian dengan hanya mengandalkan diktat kuliah saja dengan belajar sendiri di rumah.

Kalau si penerjemah sama sekali tidak pernah belajar ilmu fikih, tidak paham berbagai istilah, tidak tahu hukum-hukum fikih, tidak punya dasar ilmu fikih, sudah bisa dipastikan dia akan kesulitan memahami isi teks buku bahasa Arab itu. Kalau teks bahasa Arabnya saja tidak paham, bagaimana dia mau menerjemahkannya?

4. Penerjemah Bukan Penulis yang Baik

Anggaplah misalnya seorang penerjemah itu mahasiswa fakultas syariah, tiap hari belajar ilmu fikih. Tetapi kalau kemampuan menulisnya nol, maka meski dia tahu isi buku aslinya, dia belum tentu mampu menuliskan terjemahannya.

Untuk itu sangat dibutuhkan kemahiran dalam menulis. Namun yang sering kita dapati memang menyedihkan sekali. Para penerjemah itu jangankan menuliskan kembali tulisan orang dari bahasa Arab, kalaupun dia sendiri menuliskan apa yang ada di dalam pikirannya, maka hasil tulisannya sama sekali tidak bisa dipahami orang. Bahkan dirinya pun juga tidak paham apa yang ditulisnya sendiri.

Dengan kualitas penerjemah gadungan macam ini, lantas bagaimana sebuah kitab fikih bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan benar?

5. Keliru Ternyata Bukan Buku Fikih

Kesalahan nomor ini terletak pada bukunya. Banyak orang yang keliru belajar fiqih bukan dari buku fikih, tetapi malah memakai buku hadis. Sangat-sangat keliru ketika belajar fiih malah pakai kitab hadis, meski pun kitab-kitab hadis itu sahih semuanya.

Sebab isi teks hadis sama sekali tidak bisa menjelaskan hukum yang terkandung di dalamnya. Hadis-hadis itu hanyalah sumber dari ilmu fikih yang masih membutuhkan penjelasan panjang lebih lanjut. Penjelasan atas kandungan isi hadis itulah yang kita sebut dengan ilmu fikih.

6. Keliru Ternyata Buku Fikih Versi Haters

Dan yang paling parah adalah ketika salah paham atas autentik tidaknya suatu buku. Kita mengira buku yang kita baca itu buku yang berisi ilmu fikih, ternyata setelah diteliti lebih jauh, bukan itu bukan buku fikih.

Buku itu ternyata kumpulan pendapat pribadi seseorang yang isinya justru menyalahi sebagian besar ilmu fikih.

Alih-alih belajar ilmu fikih, yang terjadi kita malah keracunan pendapat para ‘fikih haters’ alias para pembenci ilmu fiqih. Ujung-ujungnya kita malah mencaci-maki para ulama dan fuqaha, karena terkena hasutan tulisan-tulisan sesat yang provokatif.

Kekeliruan demi kekeliruan inilah yang pada gilirannya mengharuskan kita berguru kepada ahlinya dan tidak semata-mata mengandalkan buku.

Untuk belajar ilmu fikih, kita butuh guru yang ahli di bidang ilmu fikih, kuliahnya secara formal memang di fakultas syariah, kitab-kitab yang dijadikan rujukan memang asli kitab fikih. Dan ilmu itu tidak bisa disampaikan lewat apa yang ditulis semata, tetapi harus melalui interaksi antara guru dan murid.

 

 

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2318222/ternyata-buku-fikih-versi-pembenci-fikih#sthash.l5NaB1a3.dpuf

WNI Diimbau Gunakan Jalur Resmi untuk Berhaji

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Abdul Jamil di Jeddah, Sabtu (20/8) malam waktu Arab Saudi, mengimbau warga negara Indonesia yang akan berhaji menggunakan jalur resmi. Abdul Jamil mengemukakan hal itu ketika merespons kabar tertangkapnya 177 warga negara Indonesia di Filipina saat akan terbang ke Arab Saudi untuk berhaji karena paspor yang mereka pegang ternyata palsu.

“Saya tentu mengimbau jangan menggunakan modus seperti itu. Apalagi, meminta visa di negara lain,” katanya usai rapat persiapan penyelenggaran haji. Ia meminta warga yang ingin berhaji mendaftarkan diri sedini mungkin karena ketersediaan kuota dan minat memang tidak berimbang.

Namun, kata dia, dengan melalui jalur resmi, semua terjamin kepastiannya, baik terkait keberangkatan, bimbingan manasik, maupun akomodasi. Waktu tunggu berhaji di Indonesia di beberapa daerah dapat mencapai 30 tahun. Sebagian besar kota di Pulau Jawa memiliki waktu tunggu rata-rata 20 tahun.

Sementara itu, pada hari Jumat (19/8), sejumlah media melaporkan bahwa paspor palsu yang dipegang para WNI itu diperoleh dari sekelompok warga Filipina yang bekerja pada jasa layanan pemberangkatan ibadah haji di Filipina. Dengan membayar 6.000 s.d. 10.000 dolar mereka dapat berangkat haji yang menggunakan kuota cadangan yang diberikan pemerintah Arab Saudi kepada jemaah haji Filipina. Para anggota jemaah itu diturunkan dari pesawat karena tidak bisa berbicara dalam bahasa Filipina.

 

Republika Online

Pemondokan Haji Makkah Dipastikan Kualitas Bintang Tiga

Pemondokan jamaah haji Indonesia di Makkah, Arab Saudi, yang tersebar pada sembilan sektor dipastikan memiliki kualitas setingkat hotel bintang tiga dan dinilai sangat layak.

“Dari sisi gedung, kualitasnya setingkat bintang tiga. Mulai dari yang berada di wilayah Aziziah, Mahbas Jin, Jarwal, dan Misfalah, semua setingkat bintang tiga dan sangat layak,” ungkap Kepala Daerah Kerja (Daker) Makkah, Arsyad Hidayat, di kantor Daker Makkah yang terletak di kawasan Syisyah, Rabu (17/8) sore waktu Arab Saudi.

Menurut Arsyad petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Makkah telah memastikan setiap pemondokan memiliki fasilitas masjid, restoran, bahkan ruang kantor pelayanan yang digunakan sektor.

Dalam rapat terakhir persiapan menjelang kedatangan jamaah haji Kelompok Terbang I dari Embarkasi Padang (PDG 01), sembilan kepala sektor menyampaikan bahwa pemondokan yang akan ditempati pada umumnya sudah menyerahkan kunci.

“Kalau pun ada yang belum diserahkan, itu karena ada pemahaman yang kurang pas soal salah satu klausul kontrak bahwa kunci harus sudah diserahkan lima hari sebelum kloter pertama datang,” jelas Arsyad.

Pemilik pemondokan memahami lima hari sebelum datang kloter pertama jamaah di rumah mereka. ”Padahal maksudnya kloter pertama di Daker Makkah,” katanya menjelaskan. Ia mengklaim telah meminta para kepala sektor untuk meluruskan hal tersebut.

Pada Rabu malam sekitar pukul 21.30 waktu Arab Saudi sebanyak 444 jemaah haji asal Embarkasi Padang (PDG) 01 akan menempati Hotel Nasimat Al Khair (101) di Sektor Satu yang berada di wilayah Mahbas Jin.

 

Republika Online

Jangan Sembarang Naik Taksi

Mau memanfaatkan transportasi di Arab Saudi ketika musim haji. Nah, baca dulu tips berikut:


Pertama, hapalkan baik-baik nama tempat tinggal dan tujuan Anda, dalam bahasa setempat. Keduanya penting karena meski nama-nama termpat memiliki versi Inggrisnya, tak semua pengemudi tahu. Saat kami bertanya “King Fahd Road” kepada polisi, mereka hanya menggelenggelengkan kepala.

Kedua, jangan sembarang naik taksi. Di sekitar Makkah, misalnya, taksi tidak me miliki argo. Alhasil, kelihaian tawar-menawar dengan bahasa isyarat pun jadi andalan. Saat harga sudah disepakati, jangan lupa pastikan, apakah hari itu untuk keseluruhan penumpang atau per kepala?

Enam orang teman sepakat bertaksi ria dengan ongkos 50 riyal Saudi (SAR). Saat turun, mereka baru tahu bahwa jika itu ada lah tarif per kepala, jadi enam orang tarifnya menjadi 300 SAR untuk jarak tempuh sekitar empat kilometer dalam kondisi lancar. Yah, naik taksi di Saudi memang tak ubah naik ang kutan kota (angkot) saja.

Ketiga, naik bus menjadi andalan juga jika Anda mulai percaya diri. Ongkosnya 10 SAR untuk jarak tempuh sekitar satu kilo meter di Kota Makkah. Asalkan jangan lupa, pastikan daerah tujuan Anda agar tak salah jurusan.

Empat, tak semua anggapan miring terhadap polisi Saudi itu benar. Jika Anda bisa berbahasa Arab, mereka akan senang hati membantu Anda menunjukkan arah. Bahkan, menurut cerita sejumlah warga Indonesia yang tersesat di tengah siang terik, polisi itu mendatangi dan mengangsurkan air minum kemasan. Ah, segarnya.

 

Republika Online