Subhanallah, Faedah Salat Duha Sangat Menakjubkan

SALAT Duha memiliki keutamaan yang luar biasa.

Berikut ini 6 keutamaan salat Duha sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis sahih:

1. Diwasiatkan Rasulullah agar dikerjakan setiap hari, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata: “Kekasihku (Muhammad) shallallahu alaihi wasallam mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan (ayyamul bidh), salat Duha dua rakaat dan salat witir sebelum tidur” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

“Kekasihku mewasiatkan tiga hal yang tidak akan kutinggalkan hingga mati yakni berpuasa tiga hari setiap bulan, salat Duha dan salat witir sebelum tidur” (HR. Al Bukhari)

2. Salat Duha adalah salat Awwabin, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata:

“Kekasihku (Muhammad) mewasiatkan kepadaku tiga perkara yang aku tidak meninggalkannya: agar aku tidak tidur kecuali setelah melakukan salat witir, agar aku tidak meninggalkan dua rakaat salat Duha karena ia adalah salat Awwabin serta agar aku berpuasa tiga hari setiap bulan” (HR. Ibnu Khuzaimah; shahih) Awwabin adalah orang-orang yang taat. Merutinkan salat dhuha, dengan demikian, berarti menjadikan seseorang dicatat sebagai orang-orang yang taat.

3. Salat Duha 2 rakaat senilai 360 sedekah

“Setiap pagi, setiap ruas anggota badan kalian wajib dikeluarkan sedekahnya. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, dan melarang berbuat munkar adalah sedekah. Semua itu dapat diganti dengan salat Duha dua rakaat.” (HR. Muslim).

“Di dalam tubuh manusia terdapat tiga ratus enam puluh sendi, yang seluruhnya harus dikeluarkan sedekahnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah yang mampu melakukan itu wahai Nabiyullah?” Beliau menjawab, “Engkau membersihkan dahak yang ada di dalam masjid adalah sedekah, engkau menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan adalah sedekah. Maka jika engkau tidak menemukannya (sedekah sebanyak itu), maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupimu.” (HR. Abu Dawud)

4. Salat Duha 4 rakaat membawa kecukupan sepanjang hari. Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wahai anak Adam, janganlah engkau luput dari empat rakaat di awal harimu, niscaya Aku cukupkan untukmu di sepanjang hari itu.” (HR. Ahmad)

5. Salat Duha merupakan ghanimah terbanyak. Suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendengar para sahabatnya membicarakan tentang ghanimah (harta rampasan perang), maka beliau menunjukkan amal yang lebih banyak dari pada ghanimah-ghanimah itu.

“Barangsiapa berwudhu kemudian pergi pada waktu pagi ke masjid untuk melaksanakan salat Duha, maka hal itu adalah peperangan yang paling dekat, ghanimah yang paling banyak, dan kembalinya lebih cepat” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan shahih).

Penjelasan hadis ini mengisyaratkan dengan keutamaan salat Duha dan hubungannya dengan rezeki. Bahwa siapa yang mengamalkan salat Duha, ia mendapatkan lebih banyak dari harta rampasan perang; baik dalam hal kuantitas harta atau keberkahannya.

6. Pahala salat Duha senilai dengan pahala umrah untuk keutamaan keenam ini, penjelasannya bisa dibaca di “Salat Duha Berpahala Umrah”.

Demikian enam keutamaan salat Duha, semoga semakin memotivasi kita dalam mengamalkan sunah Nabi ini, serta menjadikan salat Duha sebagai salah satu kebiasaan rutin.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2323318/subhanallah-faedah-salat-duha-sangat-menakjubkan#sthash.8qIVBaEy.dpuf

Aneh, Menurunkan Gaji, Hidup Malah Semakin Berkah

SESEORANG datang kepada Imam Syafii mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

Namun anehnya, Imam Syafii justru menyuruh dia untuk menemui orang yang mengupahnya supaya mengurangi gajinya menjadi 4 dirham. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafii sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafii mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafii memerintahkannya untuk kembali menemui orang yang mengupahnya dan minta untuk mengurangi lagi gajinya menjadi 3 dirham. Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafii dengan perasaan sangat heran.

Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafii dan berterima kasih atas nasihatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafii menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercampur dengannya. Lalu Imam Syafii membacakan sebuah syair:

Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak.
Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.

Barangkali kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita dalam bekerja. Jangan terlalu berharap gaji besar bila pekerjaan kita hanya sederhana. Dan jangan berbangga dulu mendapatkan gaji besar, padahal etos kerja sangat lemah atau tidak seimbang dengan gaji yang diterima.

Bila gaji yang kita terima tidak seimbang dengan kerja, artinya kita sudah menerima harta yang bukan hak kita. Itu semua akan menjadi penghalang keberkahan harta yang ada, dan mengakibatkan hisab yang berat di akhirat kelak.

Harta yang tidak berkah akan mendatangkan permasalahan hidup yang membuat kita susah, sekalipun bertaburkan benda-benda mewah dan serba lux. Uang banyak di bank tapi setiap hari cek-cok dengan istri. Anak-anak tidak mendatangkan kebahagiaan sekalipun jumlahnya banyak. Dengan teman dan jiran sekitar tidak ada yang baikan.

Kendaraan selalu bermasalah. Ketaatan kepada Allah semakin hari semakin melemah. Pikiran hanya dunia dan dunia. Harta dan harta. Penglihatan selalu kepada orang yang lebih dalam masalah dunia. Tidak pernah puas, sekalipun mulutnya melantunkan alhamdulillah tiap menit.

Kening selalu berkerut. Satu persatu penyakitpun datang menghampir. Akhirnya gaji yang besar habis untuk cek up ke dokter sana, periksa ke klinik sini. Tidak ada yang bisa di sisihkan untuk sedekah, infak dan amal-amal sosial demi tabungan masa depan di akhirat. Menjalin silaturrahim dengan sanak keluarga pun tidak.

Semakin kelihatan mewah pelitnya juga semakin menjadi. Masa bodoh dengan segala kewajiban kepada Allah. Ada kesempatan untuk salat ya syukur, tidak ada ya tidak masalah. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk serius dalam bekerja dan itqan, hingga rezeki kita menjadi berkah dunia dan akhirat

Semoga menjadi nasihat terutama buat diri saya dan kita semua. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322452/aneh-menurunkan-gaji-hidup-malah-semakin-berkah#sthash.9rit9IUC.dpuf

Terbiasa Mandi Telanjang, Bolehkah dalam Islam?

apabila mandi di dalam ruangan tertutup rapat seperti kamar mandi. Karena pada hakikatnya dinding kamar mandi sudah cukup sebagai penutup aurat.

Namun ada sebagian pendapat yang tetap bersikeras bahwa mandi telanjang di dalam kamar mandi tidak dibenarkan, karena dianggap tetap membuka aurat juga. Pendapat ini termasuk pendapat yang berhati-hati dan kita bisa maklum.

Lagi pula, keharusan itu hanya dari bab keutamaan saja, bukan dosa kalau dilanggar. Sebab hakikat larangannya adalah tidak boleh terlihat aurat oleh orang lain. Dan mandi di dalam kamar mandi yang tertutup sudah mencukupi ketentuan itu.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322771/terbiasa-mandi-telanjang-bolehkah-dalam-islam#sthash.57AjVurE.dpuf

Sudah Mampu Secara Harta, Berdosakah Menunda Haji?

SEBAGIAN ulama lain menyebutkan bahwa kewajiban melaksanakan ibadah haji boleh diakhirkan atau ditunda pelaksanaannya sampai waktu tertentu, meski sesungguhnya telah terpenuhi semua syarat wajib. Istilah lainnya yang juga sering dipakai untuk menyebutkan hal ini adalah al-wujubuala at-tarakhi.

Kalau segera dikerjakan hukumnya sunah dan lebih utama, sedangkan mengakhirkannya asalkan dengan azam (tekad kuat) untuk melaksanakan haji pada saat tertentu nanti, hukumnya boleh dan tidak berdosa. Dan bila sangat tidak yakin apakah nanti masih bisa berangkat haji, entah karena takut hartanya hilang atau takut nanti terlanjur sakit dan sebagainya, maka menundanya haram.

Di antara yang berpendapat demikian adalah Mazhab As-Syafi’iyah serta Imam Muhammad bin Al-Hasan. Dalil yang digunakan oleh pendapat ini bukan dalil sembarang dalil, namun sebuah dalil yang sulit untuk ditolak.

a. Semua Hadis di Atas Lemah

Meski hadis-hadis yang disodorkan para ulama pendukung kewajiban menyegerakan haji itu kelihatan sangat mengancam, namun jawaban para ulama yang mendukung mazhab ini tidak kalah kuatnya. Mereka bilang bahwa semua hadis di atas itu tidak ada satu pun yang sahih. Semua hadis itu bermasalah, sebagiannya ada yang lemah dan sebagian lagi malah hadis palsu.

Maka kita tidak perlu repot dengan dalil-dalil yang nilai derajat hadisnya masih bermasalah. Karena hadis lemah apalagi palsu, jelas tidak bisa dijadikan sandaran dalam berdalil.

b. Praktek Rasulullah & 124 ribu Sahabat

Sementara di sisi lain justru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri yang mencontohkan dan juga diikuti oleh 124 ribu sahabat untuk menunda pelaksanan ibadah haji. Sekadar untuk diketahui, ayat tentang kewajiban melaksanakan ibadah sudah turun sejak tahun keenam Hijriah. Sedangkan beliau bersama 124 ribu sahabat baru melakukannya di tahun kesepuluh Hijriah.

Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Siapa mengingkari, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari semesta alam. (QS. Ali Imran: 97)

Itu berarti telah terjadi penundaan selama empat tahun, dan empat tahun itu bukan waktu yang pendek. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak peristiwa Fathu Mekkah di tahun kedelapan hijriyah sudah sangat mampu untuk melaksanakannya.

Seandainya orang yang menunda ibadah haji itu berdosa bahkan diancam akan mati menjadi Yahudi atau Nasrani, tentu Rasulullah dan 124 ribu sahabat beliau adalah orang yang paling berdosa dan harusnya mati menjadi Yahudi atau Nasrani. Sebab mereka itu menjadi panutan umat Islam sepanjang zaman.

Namun karena haji bukan ibadah yang sifat kewajibannya fauri (harus segera dikerjakan), maka beliau mencontohkan langsung bagaimana haji memang boleh ditunda pelaksanaannya, bahkan sampai empat tahun lamanya.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322517/sudah-mampu-secara-harta-berdosakah-menunda-haji#sthash.IY9GInR2.dpuf

Menunda Haji, Diancam Mati Sebagai Yahudi/Nasrani?

BILA seseorang telah dapat memenuhi syarat kemampuan dalam arti dia punya uang untuk berangkat haji, tentu sangat diutamakan agar menyegerakan berangkat haji.

Namun muncul perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah hukum menyegerakan berangkat haji, apakah wajib sehingga kalau tidak segera berangkat maka dia berdosa? Ataukah dibolehkan baginya untuk menunda keberangkatannya sampai tahun-tahun mendatang?

Para ulama berbeda pandangan tentang apakah sifat dari kewajiban itu harus segera dilaksanakan, ataukah boleh untuk ditunda.

1. Harus Segera

Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan A-Hanabilah menegaskan bahwa ibadah haji langsung wajib dikerjakan begitu seseorang dianggap telah memenuhi syarat wajib, tidak boleh ditunda-tunda. Dalam istilah yang sering dipakai oleh para ulama, kewajiban yang sifatnya seperti ini disebut dengan al-wujubu ala al- fauri.

Menunda berangkat haji padahal sudah mampu termasuk dosa yang harus dihindari menurut pendapat mereka. Dan bila pada akhirnya dilaksanakan, maka hukumnya menjadi haji qadha’, namun dosanya menjadi terangkat.

Ada banyak dalil yang dikemukakan oleh mereka yang mewajibkan, antara lain:

a. Diancam Mati Sebagai Yahudi atau Nasrani

Orang yang punya harta dan mampu pergi haji, kalau dia menunda-nunda keberangkatannya, maka diancam kalau mati bisa mati sebagai Yahudi atau Nasrani. Hal itu didasarkan pada hadis berikut ini:

“Orang yang punya bekal dan kendaraan yang bisa membawanya melaksanakan ibadah haji ke Baitullah tapi dia tidak melaksanakannya, maka jangan menyesal kalau mati dalam keadaan yahudi atau nasrani.” (HR. Tirmizy)

b. Berhajilah Sebelum Tidak Bisa Haji

Ada sebuah hadis yang dijadikan dasar oleh banyak ulama tentang kewajiban untuk menyegerakan ibadah haji begitu seseorang sudah mampu, dalam arti sudah memiliki harta yang cukup, yaitu:

“Laksanakan ibadah haji sebelum kamu tidak bisa haji.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Keadaan tidak bisa haji bisa saja dengan sakit, kematian atau tidak ada keamanan dalam perjalanan haji. Maka mumpung ada jalan, diwajibkan segera mengerjakannya.

c. Tidak Tahu Apa Yang Akan Terjadi

Seorang yang sudah mampu dan punya kesempatan, wajib segera mengerjakan ibadah haji. Alasannya karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi kemudian, sebagaimana bunyi hadis berikut ini:

“Bersegeralah kamu mengerjakan haji yang fardu, karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi.” (HR. Ahmad)

Banyak orang yang kurang pandai memelihara kekayaan. Kecenderungan banyak orang akan segera menghabiskan hartanya, kalau tidak segera dipakai untuk sesuatu yang berarti. Ada orang yang kalau punya harta di tangannya, terasa amat panas, jadi rasanya ingin segera membelanjakan. Dan kalau tidak segera berangkat haji, hartanya cepat menguap entah kemana.

Selain itu menurut pendapat ini, menunda pekerjaan yang memang sudah sanggup dilakukan adalah perbuatan terlarang, sebab khawatir nanti malah tidak mampu dikerjakan.

Namun sebagian ulama lain menyebutkan bahwa kewajiban melaksanakan ibadah haji boleh diakhirkan atau ditunda pelaksanaannya sampai waktu tertentu, meski sesungguhnya telah terpenuhi semua syarat wajib. Istilah lainnya yang juga sering dipakai untuk menyebutkan hal ini adalah al-wujubuala at-tarakhi.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322516/menunda-haji-diancam-mati-sebagai-yahudinasrani#sthash.ShuRiROF.dpuf

Hong Jai, Mualaf Tionghoa yang Baru Belajar Kurban

Lebaran Haji yang selalu diperingati umat Islam sebentar lagi akan tiba. Sejak memutuskan berpindah keyakinan menjadi mualaf 1 tahun lalu, Ahmad Hong Jai pun tak menyiakan kesempatan untuk berkurban.

“Idul Adha pada tahun ini merupakan Lebaran Besar kali pertama bagi saya sehingga ingin lebih banyak tahu tentang makna Idul Adha dengan berpartisipasi membeli satu hewan kurban berupa kambing,” kata Ahmad Hong Jai di Masjid Muhammad Cheng Hoo Jember, Jumat.

Baginya melakukan kurban pada Idul Adha merupakan panggilan hati nuraninya untuk saling memberi kepada warga yang kurang mampu dan berharap bisa membersihkan dosa-dosa sebelum menjadi mualaf.

“Sebenarnya belum banyak makna yang saya ketahui tentang Idul Adha dan berkurban karena ini kali pertama saya berkurban sebagai Muslim. Namun, saya yakin banyak hikmah yang bisa diambil dalam momentum hari raya ini,” tutur pria kelahiran Jember tahun 1978.

Berbeda dengan umat Islam dan kaum Tionghoa lain yang keluarganya sudah menjadi mualaf, Hong Jai merupakan satu-satunya mualaf di rumahnya. Ini karena istri dan anaknya memeluk agama Kristen Katolik. Sementara orang tuanya pemeluk agama Kong Hu Cu.

“Alhamdulillah keluarga saya bisa menerima saya menjadi mualaf sehingga saya bisa aktif melakukan kegiatan di Masjid Muhammad Cheng Hoo Jember, seperti kegiatan Idul Adha nanti,” ujar warga keturunan etnis Tionghoa itu.

Hong Jai bersyukur bisa membeli hewan kurban dari hasil jerih payahnya dan perlahan-lahan belajar banyak tentang makna Idul Adha melalui kehidupan sehari-hari yang harus ikhlas. Kemudian selalu berbagi dengan orang yang kurang mampu.

Ibadah kurban memiliki hikmah dan mengajarkan umat Islam untuk menjaga fitrahnya tetap suci, menguji tingkat ketakwaan, memotivasi diri untuk memiliki harta dengan bekerja keras, dan berjiwa sosial untuk berbagi dengan sesama.

“Mudah-mudahan saya selalu mendapatkan hidayah dari Allah Swt. melalui momentum Iduladha dan saya bisa belajar banyak tentang makna hari raya tersebut,” ujarnya.

Sumber : Antara

YLKI Ingatkan Panitia Kurban tak Gunakan Kresek Hitam

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan, panitia kurban tak menggunakan plastik kresek hitam. Peringatan ini dinyatakannya mengingat masyarakat biasanya selalu mendapatkan daging yang dikemas dalam kresek hitam.

“Gunakanlah tas kresek yang jenis food grade. Syukur-syukur bisa menggunakan bungkus non plastik, untuk mengurangi sampah plastik,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam siaran persnya, Jumat (9/9).

YLKI juga mengimbau kepada masyarakat dan pemerintah untuk memastikan hewan kurban yang akan disembelih dalam keadaan sehat.  Tidak mengidap penyakit tertentu dan itu harus dibuktikan dengan sertifikat dari dokter hewan.

Juru sembelih hewan kurban juga idealnya seorang juru sembelih yang bersertifikat halal. Juru Sembelih Hewan Halal, (Juleha) ini selain untuk memastikan cara penyembelihan yang benar (sesuai norma Islam), juga agar tidak “menyakiti” hewan kurban saat disembelih;.

Tulus juga menambahkan, saat melakukan penyembelihan agar dijauhkan dari anak-anak yang belum cukup umur. Upaya ini dilakukan agar tidak menimbulkan efek psikologis seperti kekerasan, sadisme pada anak-anak. Bahkan, sesuai norma Islam, hewan kurban yang sedang menunggu antrian untuk disembelih  juga harus dijauhkan. Tujuannya, agar hewan tersebut tidak stres karena menyaksikan ‘temannya’ disembelih.

Untuk pemerintah, dia meminta, untuk pro aktif turun ke lapangan dan memeriksa hewan kurban dimaksud. Atau, bisa juga membuka akses/posko bagi masyarakat yang ingin memeriksakan hewan kurbannya.

 

sumber: Republika Online

Hikmah Tidak Memotong Rambut dan Kuku Bila Berkurban

SEBAGIAN ulama mengatakan bahwa hikmah dari tidak mencukur rambut dan memotong kuku adalah agar seluruh bagian tubuh itu tetap mendapatkan kekebalan dari api neraka.

Sebagian yang lain mengatakan bahwa larangan ini dimaksudnya biar ada kemiripan dengan jemaah haji.

Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berargumentasi bahwa orang yang mau menyembelih hewan udhiyah tidak dilarang dari melakukan jima atau memakai pakaian, maka tidak ada larangan atasnya untuk bercukur maupun memotong kuku.

Menurut hemat Penulis, wallahu alam, hadis di atas berlaku hanya untuk para jamaah haji yang memang di antara larangannya adalah bercukur dan memotong kuku.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322806/hikmah-tidak-memotong-rambut-kuku-bila-berkurban#sthash.rykJA0z3.dpuf

Bisakah Satu Ekor Kambing “Untuk” Satu Keluarga?

DALAM menjawab masalah ini, rasanya kita perlu sedikit meluruskan redaksi dan bahasa yang digunakan. Sebab perbedaan penggunaan istilah ini sudah memicu terjadinya kerancuan dan kekeliruan dalam memahami duduk masalah.

Kerancuan Penggunaan Istilah ‘Oleh’ dan ‘Untuk’

Seharusnya kita bisa membedakan dua istilah yang mendasar ini, yaitu istilah ‘oleh’ dan ‘untuk’. Sebab kalau tercampur maka akan terjadi salah tafsir.

2. Istilah ‘Untuk’

Dalam kasus satu kambing untuk sekeluarga, kita tidak menggunakan istilah ‘oleh’ melainkan kita menggunakan istilah ‘untuk’. Maksudnya kambing yang disembelih itu pahalanya diperuntukkan kepada keluarganya. Tentu saja jelas sekali perbedaan antara penggunaan istilah ‘oleh’ dengan ‘untuk’.

Kalau kita gunakan istilah ‘oleh’, maksudnya adalah pihak yang berqurban. Tentu kalau hewannya berupa kambing hanya dilakukan ‘oleh’ satu orang saja. Baik maksudnya sebagai pemilik uang atau sebagai orang yang mengiris leher kambing itu.

Sedangkan keluarga dalam hal ini bukan sebagai orang yang menyembelih, melainkan sebagai pihak yang ikut mendapatkan pahalanya. Maka kita tidak menggunakan istilah ‘oleh’ melainkan istilah ‘untuk’. Dan peruntukan ini memang sudah sejalan dengan hadits nabawi berikut ini:

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelih seekor kambing kibash dan membaca, “Bismillah, Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad”. Kemudian beliau berquran dengannya. (HR. Muslim)

Tentu saja yang melakukan ibadah qurban dalam hadis ini cuma seorang saja, yaitu Rasulullah sendirian. Kalaulah disebut ‘keluarga Muhammad’ dan ‘umat Muhammad’, maksudnya tidak lain pahalanya ‘untuk’ mereka.

Sangat tidak masuk akal kalau ditafsirkan bahwa ‘keluarga Muhammad’ sebagai pihak yang menyembelih seekor kambing. Bayangkan, jumlah keluarga beliau sangat besar. Istrinya saja sudah sebelas orang, belum lagi putra-putri beliau ada tujuh orang. Jumlah total ada 18 orang dan belum termasuk para menantu dan cucu-cucu. Tidak masuk akal seekor kambing disembelih secara patungan oleh segitu banyak orang.

Dan lebih tidak masuk akal lagi kalau mau diteruskan dengan istilah ‘umat Muhammad’. Jumlahnya menjadi tidak terhingga. Di zaman ketika beliau masih hidup, jumlah sahabat mencapai 124.000 orang. Masak seekor kambing dibeli secara patungan oleh orang senegara? Tidak masuk akal, bukan?

Dan kalau menghitung jumlah umat Muhammad di zaman kita sekarang, tentu jadi lebih tidak masuk akal lagi. Jumlah muslimin sedunia kita pukul rata kurang lebih ada 1,5 miliar jiwa. Jelas tidak logis kalau orang Islam sedunia cuma patungan seekor kambing.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322847/bisakah-satu-ekor-kambing-untuk-satu-keluarga#sthash.AAhnJ6GZ.dpuf

 

Baca juga: Kurban Digital dari Baznas Indonesia

Bisakah Satu Ekor Kambing “Oleh” Satu Keluarga?

DALAM menjawab masalah ini, rasanya kita perlu sedikit meluruskan redaksi dan bahasa yang digunakan. Sebab perbedaan penggunaan istilah ini sudah memicu terjadinya kerancuan dan kekeliruan dalam memahami duduk masalah.

Kerancuan Penggunaan Istilah ‘Oleh’ dan ‘Untuk’

Seharusnya kita bisa membedakan dua istilah yang mendasar ini, yaitu istilah ‘oleh’ dan ‘untuk’. Sebab kalau tercampur maka akan terjadi salah tafsir.

1. Istilah ‘Oleh’

Jumhur ulama telah sepakat bahwa seekor kambing hanya boleh dipersembahkan ‘oleh’ satu orang saja. Maksudnya pihak yang melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban itu maksimal hanya satu orang, yang secara baku disebut dengan istilah mudhahhi.

Sebab pada dasarnya ibadah qurban menyembelih kambing ini memang ibadah perorangan dan bukan ibadah berjamaah. Lalu kemudian dibolehkan bila ada maksimal 7 orang mudhahhi bersekutu dan berpatungan untuk menyembelih seekor sapi atau unta.

Ketentuan yang harus diperhatikan bahwa bila jumlah mudhahhi lebih dari tujuh orang maka hukumnya tidak boleh. Sebaliknya, bila jumlahnya kurang dari tujuh, misalnya cuma ada enam, lima, empat, tiga, dua atau satu mudhahhi, maka hukumnya sah dan pahalanya tentu akan lebih besar. Semua didasarkan pada nash-nash yang shahih, misalnya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk bersekutu pada unta dan sapi, setiap tujuh orang satu hewan. (HR. Muslim)

Dari Jabir bin Abdillah berkata,”Kami menyembelih bersama Rasulullah pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.” (HR. Muslim).

Kami melakukan haji tamattu’ bersama Rasulullah. Kami menyembelih sapi untuk tujuh orang dimana kami saling bersekutu pada hewan itu. (HR. Muslim)

Hadis-hadis di atas dan masih banyak riwayat sahih lainnya tegas menerangkan bahwa ketentuan dalam penyembelihan adalah patungan untuk membeli sapi dan sejenisnya atau untuk dan sejenisnya oleh 7 orang.

Sedangkan kambing dan sejenisnya tidak ada keterangan yang membolehkannya untuk dilakukan dengan patungan. Oleh karena itu umumnya para fuqaha mengatakan bahwa bahwa seekor kambing tidak boleh disembelih atas nama lebih dari satu orang. Keterangan ini pada beberapa kitab fiqih yang menjadi rujukan utama.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2322846/bisakah-satu-ekor-kambing-oleh-satu-keluarga#sthash.JppyaD9u.dpuf

 

Baca juga: Kurban Digital dari Baznas Indonesia