Apakah Merokok Membatalkan Wudu?

ULAMA besar Kerajaan Saudi Arabia sekaligus pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa Kerjaan, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah pernah menerangkan, “Merokok tidaklah membatalkan wudu. Akan tetapi merokok itu sesuatu yang khobits (kotor). Akan tetapi jika seseorang merokok lalu ia salat, maka tidak batal salat dan wudunya.

Rokok berasal dari tanaman yang sudah diketahui jenisnya. Akan tetapi rokok itu haram karena bahaya yang ditimbulkan. Sehingga bagi para pecandu sudah mesti untuk menjauhi dan meninggalkannya. Juga tidak boleh seseorang membeli rokok dan mengonsumsinya. Tidak boleh pula memperdagangkan rokok.

Para pecandu rokok sudah semestinya bertobat pada Allah, juga meninggalkan jual belinya. Allah Taala berfirman,

“Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik.” (QS. Al Maidah: 4).

Dalam ayat ini jelas bahwasanya yang dihalalkan hanyalah yang thoyyib (yang baik-baik), yaitu makanan yang mendatangkan manfaat. Allah Taala juga menyebutkan mengenai sifat Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al Araf: 157).

Dan tidak diragukan lagi rokok dan segala yang memabukkan adalah termasuk yang khobits (kotor atau buruk). Sehingga wajib bagi para pecandu rokok untuk meninggalkan rokok dan segeralah ia bertobat pada Allah. Hendaklah ia menjaga kesehatan dan menjaga hartanya, juga waktunya dalam hal yang bermanfaat.

Karena setiap mukmin wajib meninggalkan berbagai hal yang membahayakan agama dan dunianya. Contoh yang membahayakan di sini adalah rokok dan berbagai macam minuman memabukkan. Hendaklah ia bertobat dengan tobat yang tulus. Kita memohon pada Allah hidayah dan taufik pada setiap muslim.”

Semoga hidayah selalu tercurah pada kita sekalian. [Muhammad Abduh Tuasikal, MSc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2325415/apakah-merokok-membatalkan-wudu#sthash.2ggAlWoE.dpuf

Hukum Menghadiri Undangan Padahal Tidak Diundang

DIBOLEHKAN untuk datang ke walimah seseorang sementara kita tidak diundang, jika terpenuhi dua syarat:

1. Mendapat izin dari tuan rumah.
2. Tuan rumah tidak merasa keberatan untuk menerima tamu tak diundang tersebut.

Dari dua persyaratan di atas, syarat kedua adalah syarat terpenting. Karena kita boleh datang tanpa harus meminta izin tuan rumah jika diyakini orang yang mengundang tidak merasa keberatan dengan kedatangannya. Sebaliknya jika hanya diizinkan, namun tuan rumah diyakini merasa keberatan menerima kehadiran orang yang tidak diundang, maka orang tersebut tidak boleh ikut. Karena bisa jadi tuan rumah basa-basi, merasa tidak enak, malu, pekewoh ketika memberi izin.

Dari Abu Masud Al Anshari radhiallahu anhu, dia mengatakan, “Ada seorang Anshar yang bernama Abu Syuaib. Suatu hari dia melihat tanda-tanda lapar di wajah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kemudian dia perintahkan anaknya untuk membuatkan makanan dan mengundang Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama empat sahabat lainnya. Namun ada seorang yang ikut (tanpa undangan). Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Anda mengundang kami lima orang, tapi ini ada satu orang yang ikut. Jika mau Anda bisa menginzinkan dan jika tidak akan aku tinggalkan (tidak diikutkan acara makan). Orang Anshar tersebut menjawab, “Aku izinkan.” (HR. Muslim)

Adapun dalil bolehnya menghadiri walimah sementara kita tidak diundang, tanpa harus meminta izin jika diyakini tidak merasa keberatan adalah kisah Abu Thalhah radhiallahu anhu yang menyuruh istrinya Ummu Sulaim radhiallahu anha untuk membuatkan makanan karena Abu Thalhah melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam begitu lemah disebabkan rasa lapar.

Anas radhiallahu anhu mengatakan, “Kemudian aku disuruh menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam, aku berangkat dan bertemu Nabi shallallahu alaihi wa sallam di masjid bersama banyak orang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, Kamu disuruh Abu Thalhah? Acara makan-makan? Anas menjawab, Ya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada semua yang di masjid, Berdiri semua. Kemudian kami berangkat bersama-sama.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Sedangkan dalil terlarangnya makan harta orang lain kecuali jika pemiliknya rida sepenuhnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

Dari Abu Humaid As Saidi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil harta saudaranya tanpa kerelaan penuh dari pemiliknya.” (HR. Ahmad 23654, Syaikh Al Arnauth: Sanadnya shahih). Sebagian ulama menjadikan hadis ini dalil terlarangnya seseorang mengambil harta pemberian orang lain karena malu, sementara dia tahu bahwa sebenarnya dia tidak ingin memberikan hartanya. (lih. Fatwa Yasalunak, Dr. Hissamuddin Affanah).

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menghadiri acara makan-makan padahal tidak diundang, maka dia masuk rumah sebagaimana pencuri dan pulang dalam keadaan membuat jengkel pemilik rumah.” Hadis ini daif, sebagaimana dijelaskan Al Hafidz Al Haitsami dan Syaikh Al Albani. Namun banyak ulama menjadikan hadis ini dalil terlarangnya menghadiri acara orang lain tanpa sepengetahuan pemilik acara. Syaikhul Islam ditanya tentang makna hadis ini, beliau memberikan jawaban:

“Makna hadis bahwasanya orang yang mendatangi undangan tanpa izin pemilik acara maka dia masuk ke acara tersebut secara diam-diam seperti pencuri dan makan tanpa kerelaan tuan rumah dan mereka malu untuk melarangnya, sehingga dia keluar seperti orang yang membuat marah tuan rumah karena telah mengambil hartanya dengan paksa.” (Majmu Fatawa, 32:207).

Penulis kitab Al Mirqot mengatakan, “Kesimpulannya, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepada umatnya akhlak-akhlak yang mulia dan melarang mereka dari akhlak-akhlak yang tercela. Tidak menghadiri undangan tanpa uzur menunjukkan sikap sombong, bodoh, dan tidak adanya kasih sayang dan rasa cinta (kepada yang mengundang, pen.). (sebaliknya) menghadiri acara makan-makan tanpa undanganmenunjukkan jiwa yang rakus, niat yang buruk, dan menyebabkan harga dirinya rendah. Maka sikap yang terpuji adalah sikap pertengahan diantara dua sikap di atas. (dinukil dari Aunul Mabud, 8:244).

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2325675/hukum-menghadiri-undangan-padahal-tidak-diundang#sthash.QJKISIyJ.dpuf

Hukum Membunuh Semut dengan Air Panas

SEMUT termasuk binatang yang tidak boleh dibunuh. Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, beliau mengatakan,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang membunuh 4 jenis binatang: semut, lebah, Hudhud, dan Suradi. (HR. Ahmad 3066, Abu Daud 526 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Kecuali jika semut itu mengganggu atau membahayakan ketika berada di rumah. Mereka boleh diusir, jika tidak memungkinkan, dibunuh. Tentang cara membunuhnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menggunakan api. Karena yang boleh menghukum dengan api hanya Allah Taala.

Dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu, bahwa para sahabat pernah singgah dalam salah satu safar beliau. Ternyata beliau melihat ada rumah semut yang dibakar.

“Siapa yang membakar ini?” tanya beliau.
“Kami.” Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh membunuh dengan api kecuali Rab pemilik api (Allah).” (HR. Abu Daud 5270 dan dishahihkan al-Albani)

Dan larangan ini berlaku umum. Tidak boleh membunuh apapun dengan api. Dalam riwayat lain, dari Hamzah al-Aslami radhiyallahu anhu, bahwa beliau pernah ditugasi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk memimpin satu pleton pasukan perang. Beliau berpesan, Kalo kamu berhasil menangkap si A, bakar dia.

Ketika Hamzah hendak berangkat, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memanggilnya, “Jika kamu berhasil menangkapnya, bunuh dia. Karena tidak boleh membunuh dengan api kecuali Rab pemilik api.” (HR. Ahmad 16034 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Sebagian ulama menyebutkan bahwa membunuh dengan air panas termasuk bentuk membunuh dengan api. Sehingga dihukumi terlarang. Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

“Membunuh dengan air mendidih termasuk membunuh dengan api, dan termasuk penyiksaan yang bertentangan dengan prinsip membunuh dengan cara terbaik. Karena itu, tidak dibolehkan.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 123391)

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2326477/hukum-membunuh-semut-dengan-air-panas#sthash.FEtTLWqP.dpuf

Ibn Abd al-Barr, Cendekiawan Multitalenta yang Disegani

Dilahirkan dari keluarga yang terkenal cinta ilmu, Ibn Abd al-Barr tumbuh berkembang sebagai sosok alim. Sang ayah, Abdullah bin Muhammad, tersohor dengan kemahirannya di bidang fikih. Ia dikenal juga sebagai mujtahid.

Bentuk kehausan Ibnu Abd al-Barr terhadap ilmu diwujudkan dengan berguru kepada tokoh-tokoh terkemuka di Cordova. Ia memang, belum pernah keluar dari tanah kelahirannya tersebut. Ia hanya belajar di daerah-daerah tak jauh dari tempat tinggalnya. Dari wilayah bagian timur hingga barat negeri Andalusia.

Tak hanya di bidang fikih, tokoh yang berlatar belakang Mazhab Maliki itu mumpuni di segala disiplin ilmu. Ia cakap mengkaji hadis, tata bahasa, sastra, ilmu logika, dan tafsir. Sejumlah nama ulama terkemuka masuk ke dalam deretan gurunya, salah satunya Ahmad bin Abdullah bin Muhammad al Baji, tokoh yang mahir di bidang hadis.

Selain itu, Ibn Abd al-Barr pernah berguru ke Ahmad bin Abd al-Malik bin Ibrahim As Isybli, seorang mufti negeri. Pengetahuannya yang luas dan kematangan berpikir sekaligus bermetodologi menjadikannya sebagai figur yang independen dan matang secara intelektual. Background Mazhab Maliki tak membuatnya bersikap taklid. Justru sebaliknya, ia mengecam taklid.

Kedaulatan berpikirnya tersebut tertuang di berbagai -karyanya. Sebagian besarnya masih berbentuk manuskrip yang naskahnya belum disalin ulang.

Di antaranya, al- Ajwibah al-Mau’ibah fi al-Masail al-Mustaghribah fi Kitab al-Bukhari, Akhbar Aimmat al-Amshar, Ikhtishar Tarikh Ahmad bin Said bin Hazm al-Baluthi, dan Ikhtishar Kitab at-Tamyiz.

Torehan karya itu pula yang menempatkan Ibn Abd al-Barr disegani oleh handai tolan.  Kepakarannya mendapat pengakuan banyak kalangan, tak terkecuali di bidang hadis. Abu Al Walid pernah mengatakan, “Belum terdapat pakar sekaliber Abu Umar di Andalusia yang mahir di bidang hadis.”

Ia juga mendapat apresiasi terkait kedalaman ilmu yang dimiliki. Pengarang kitab Tartib al-Madarik pernah memujinya. Bahwa di bumi Andalasuia, selain Qasim bin Muhammad dan Ahmad bin Khalid, hanya Ibnu Abd al-Barrlah yang pantas menggantikannya. “Setelah Khalid, Ibn Abd al-Barr berada di urutan kedua,” katanya.

 

 

sumber: Republika Online

Waspadai Bahaya Ujub

Subhanallah. Sungguh hanya Allah yang Mahasuci. Selain-Nya, pasti berbintik noda, kotor, hitam, pekat, dan legam. Terjerumus pada dosa bahkan terjerembap pada jejaring maksiat halus, seperti merasa dirinya paling saleh, paling dermawan, paling benar jihadnya, paling taat, dan paling bersih.

Tiada godaan terhebat dari seorang yang sukses rezekinya, jabatannya, popularitasnya, ilmunya, dan keturunannya kecuali bangga dan kagum pada dirinya sendiri. Merasa paling hebat, paling pintar, paling benar, paling suci. Dan sungguh, inilah penyakit hati orang sukses termasuk tentu “si penulis” ini. Begini-begitu kan kesannya saja. Padahal aib dan kekurangan seabrek-abrek. Untungnya saja, aib kita semua masih ditutupi Allah. Kalau dibuka, pasti sangat malu dan hina.

“Jangan kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri.” (QS al-Qashash:76).  “Maka jangan kamu mengatakan dirimu suci. Dialah (Allah) paling mengetahui orang yang bertakwa.” (QS an-Najm:32). Rasulullah mengingatkan dengan mengulang sampai tiga kali, “Takutlah kalian pada al-Uzba”, yaitu bangga dan kagum pada diri sendiri.

Ketika Rasulullah SAW mengingatkan dengan sabdanya tersebut, di hadapan beliau adalah para sahabat yang mulia. Mereka saleh-saleh dan para penghapal Alquran. Karena itu, dosa ujub boleh jadi jebakan dan jerat halus, tapi mematikan bagi para pelakunya, yang kebanyakan dari kalangan orang-orang hebat. Dosa ujub ini lebih halus dari langkah semut.

Bisa jadi kesannya tawadhu, tetapi di hati ingin dipuji. Sangat marah jika dihina ternyata karena berharap dipuji. Inilah Dho’ful aqli wal-iimaani, tanda lemahnya akal dan iman. Padahal jelas sangat rugi, sudah capek-capek beramal, tapi hancur karena ujub.

Karena itu sahabatku, seringlah duduk di majelis ilmu dan zikir. Saat  menengadah dan menatap wajah guru, rontoklah kebanggaan diri. Duduklah bersama fakir miskin, yatim piatu, orang-orang susah, ziarahilah kuburan, perkuat puasa sunah, tadaburkan Alquran, perhebat istighfar, dan selalu harus sempatkan diri secara khusus muhasabah diri selesai shalat malam, “Siapa aku, dari mana, di mana, dan mau ke mana akhirnya aku?”

Sungguh tidak pantas bangga diri kecuali hanya Allah yang Mahasuci dan Terpuji. “Tiga hal yang membinasakan; kekikiran yang  diperturutkan, hawa nafsu yang diumbar, dan kekaguman seseorang pada dirinya sendiri.” (HR Thabrani).

Sifat ujub membawa akibat buruk dan menjerat kepada kehancuran, baik bagi pelakunya maupun bagi amal perbuatannya. Di antara dampak dari sifat ujub tersebut adalah membatalkan pahala. Seseorang yang merasa ujub dengan amal kebajikannya, pahalanya akan gugur dan amalannya menguap karena Allah tidak akan menerima amalan kebajikan sedikit pun, kecuali dengan ikhlas karena-Nya.

Allahumma ya Allah, jadikanlah kami hamba-Mu yang Kau ridhai, minal mukhlishiin. Berilah kami rezeki teragung, yaitu sifat ikhlas dan bersihkan hati kami dari riya, sum’ah, ujub, dan semua penyakit hati. Aamiin.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

sumber: Republika ONline

Sejarah Hari Ini: Nabi Selesai Berhijrah, Tahun Pertama Hijriah Dimulai

Pada 24 September 622, Nabi Muhammad SAW menyelesaikan hijrahnya dari Makkah ke Madinah. Peristiwa ini kemudian menandai tahun pertama di kalender Islam yang disebut Tahun Hijriah.

Muhammad adalah salah satu pemimpin agama dan politik yang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Ia lahir di Makkah pada 570 dan diangkat menjadi Rasul Allah pada 610.

Pada 622, Nabi Muhammad mengajak pengikutnya hijrah ke Madinah dalam beberapa kelompok kecil atas alasan keamanan. Saat mengetahui umat Islam melakukan eksodus, pemimpin Makkah saat itu merencanakan membunuh Muhammad yang sedang berada dalam perjalanan.

Di bawah ancaman, Nabi Muhammad berhasil menyelinap tanpa diketahui ke Madinah menggunakan jalur rahasia. Hijrahnya selesai pada 24 September 622 sebagai bagian dari sejarah Islam.

Di Madinah, Nabi Muhammad membangun negara teokratis. Upaya tentara Makkah mengalahkan pasukan Muslim gagal, bahkan beberapa tokoh terkemuka Makkah bermigrasi ke Madinah dan memeluk Islam.

Setelah Makkah menjadi lebih damai, pada 629, Nabi Muhammad diperbolehkan memimpin ritual haji ke Makkah setelah melakukan perjanjian damai. Namun ia sempat diserang oleh sekutu dari Makkah.

Pada Januari 630, ia kembali ke tempat kelahirannya itu dengan 10 ribu pengikut dan menjadi orang terkuat di Arab. Bertahun-tahun setelahnya, suku-suku di Arab datang kepadanya untuk beraliansi dan memeluk Islam.

Setelah kematiannya pada 8 Juni 632, ia dinobatkan sebagai penguasa dengan keberhasilan luar biasa di Arab. Kerajaannya berkembang pesat dan siap melakukan ekspansi ke Suriah dan Irak.

Dalam kurun waktu 20 tahun, kekaisaran Byzantium dan Persia jatuh ke tangan penerus Nabi Muhammad. Selama dua abad berikutnya penaklukan kerajaannya terus meluas.

Dilansir dari History, Kerajaan Islam tumbuh menjadi salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di dunia. Kekuasaannya membentang dari India, Timur Tengah dan Afrika hingga Semenanjung Iberia di Eropa Barat.

Penyebaran Islam dilakukan oleh kekaisaran Arab dan banyak masyarakat Afrika dan Asia secara sukarela mengadopsi agama Islam. Saat ini, Islam menjadi agama terbesar kedua di dunia.

 

sumber: Republika Online

Batas Aurat Anak Kecil Sesuai Jenjang Usia

BERBICARA aurat anak kecil berarati berbicara tentang tugas orang tua kepada anaknya. Kapan anak itu harus ditutupi auratnya dan bagaimana batas aurat yang wajib ditutupi sesuai jenjang usianya.

Kami tidak mengetahui adanya dalil yang menjelaskan batasan aurat bagi anak-anak. Hanya ada ada beberapa dalil yang dijadikan pendekatan oleh para ulama untuk menyimpulkan tentang batasan aurat anak kecil.

Pertama, firman Allah Taala,

“Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS. an-Nur: 31)

Ayat ini menunjukkan bahwa anak kecil yang belum tamyiz belum mengerti aurat wanita. Kemudian disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Perintahkan anak kalian untuk salat ketika mereka sudah berusia 7 tahun. Dan pukul mereka (paksa) untuk salat, ketika mereka berusia 10 tahun, serta pisahkan mereka -antara anak laki dan perempuan- ketika tidur.” (HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan al-Albani).

Ada 2 usia dalam hadis di atas, usia tujuh tahun yang mulai diperintah menjalankan salat. Dan usia 10 tahun yang sudah harus dipaksa untuk salat dan tidurnya dipisahkan dengan saudaranya yang lawan jenis. Berdasarkan hadis di atas, ulama hambali memberikan rincian,

(1) Anak yang usianya di bawah 7 tahun, tidak ada aurat. Dalam arti, orang tua atau orang lain boleh melihat auratnya, termasuk kemaluannya.

(2) Usia 7 sampai 10 tahun. Jika laki-laki batas auratnya adalah aurat besar, kemaluan depan dan belakang. Jika anak perempuan auratnya antara pusar sampai lutut.

(3) Di atas 10 tahun, auratnya sama dengan orang dewasa.

[Disimpulkan dari al-Fiqh al-Islami wa Adillatuha, Dr. Wahbah Zuhaili]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2326470/batas-aurat-anak-kecil-sesuai-jenjang-usia#sthash.QWHeIIpp.dpuf

Usia Khitan Terbaik bagi Anak

YANG paling bagus, khitan dilakukan di usia sebelum 7 tahun, karena tidak ada batas aurat untuk anak di bawah 7 tahun. Dan jika lebih dari itu, apakah dibolehkan?

Jawabannya dibolehkan, karena alasan darurat. As-Sarkhasi mengatakan,

“Tidak masalah melihat aurat -besar- karena alasan darurat. Diantaranya adalah khitan. Orang yang mengkhitan boleh melihat kemaluan pasiennya demikian pula, wanita tukang khitan boleh melihat kemaluan pasiennya.” (al-Mabsuth as-Sarkhasi, 10/268)

Allahu alam.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2326472/usia-khitan-terbaik-bagi-anak#sthash.p27sdfBD.dpuf

Bolehkah Sebar Isu?

Di tengah gempita keterbukaan informasi, berbagai kabar mudah tersebar, lalu terserap oleh ber bagai kalangan. Asal muasalnya bisa beragam. Isu-isu yang tak bertanggung jawab bisa muncul dari dunia maya, seperti celotehan di Twitter ataupun status seseorang di Facebook. Bahkan, tak jarang isutersebut ditebarkan justru oleh media massa. “Kabar burung” itu acap kali memantik kebingungan di masyarakat.

Fenomena itu menarik perhatian banyak otoritas fatwa di berbagai negara, tak terkecuali dua lembaga fatwa resmi di Timur Tengah, yaitu Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA). Menurut Dar al-Ifta Mesir, menebar isu apa pun berupa kabar bohong dan belum mendapat klarifikasi atau pernyataan resmi dari otoritas atau pihak yang berwenang maka hukumnya haram. Sekalipun, isu tersebut benar adanya. Ini karena dianggap bisa berdampak pada kekacauan.

Aksi semacam ini, dalam kajian lembaga yang pernah dipimpin oleh mantan mufti agung Mesir Syekh Ali Jumah, masuk kategori irjaf yang dilarang. Larangan itu seperti terulang di ayat 60-61 surah al- Ahzab. Irjaf memang pada dasarnya lebih dekat pada aksi yang memicu kerusuhan. Tetapi, merujuk pendapat Ibn Abbas, penjelmaan lain dari irjaf adalah menenar fitnah dan isu.

“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orangorang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah), melainkan dalam waktu yang sebentar dalam keadaan terlaknat.

Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” Ketentuan haram, tak hanya berlaku ba gi si penebar isu. Tetapi, larangan yang sama juga di tujukan untuk se genap masyarakat yang menjadi objek penebaran isu. Di hadis riwayat Ibn Hibban dari Abu Hurairah, Rasululah SAW melarang seseorang menyebarkan tiap isu apa pun yang ia dengar dan terima. Terlebih, jika isu tersebut dusta semata. Hadis ini menguatkan riwayat Bukhari Muslim dari al-Mughirah bin Sy’ubah tentang kecaman atas tradisi “katanya” (qila wa qala).

Agar masyarakat terhindar dari atmosfer kontraprodukif efek dariisu, lembaga yang kini dipimpin oleh Mufti Agung Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu memberikan sejumlah tuntunan menyikapi isu-isu tak bertanggung jawab. Rangkaian tuntunan ini disarikan dari pelajaran berharga peristiwa fitnah yang menimpa Aisyah RA.

Pertama, berbaik sangka kepada diri sendiri dan orang lain. Kedua, klarifikasi pada penyebar berita terkait validitas dan kebenaran kabar yang ia sebarkan. Ketiga, hindari menerima dan menyebarkan informasi tersebut. Apalagi, bila tidak memiliki pengetahuan kuat. Keempat, jangan sesekali menganggap isu-isu itu sepele.

Penegasan yang sama juga disampaikan Lembaga Urusan Islam dan Wakaf Uni Emirat Arab. Seorang Muslim wajib menjauhi penerimaan dan penyebaran isu. Mengutip pernyataan Imam al-Munawi di Faidh al-Qadir, bisa saja kabar itu benar dan bohong di waktu yang sama. Maka sekadar berbagi kabar itu, ia sangat mungkin ikut menyebarluaskan berita dusta.

Aksi tercela tersebut, menurut lembaga ini, dilarang lantaran memiliki dampak buruk yang luar biasa di masyarakat. Alasannya masih sama, yaitu menebarkan kekacauan di khalayak umum. Larangan tersebut seperti tertuang di surah al- Ahzab di atas.

Di pengujung fatwa, lembaga nonpemerintah ini mengimbau sejumlah hal, yaitu selektif dan klarifikasi kabar apa pun yang beredar dan belum jelas kebenarannya.

Perintah tersebut ditegaskan surah al-Hujurat ayat 6. Sehingga, ada baiknya meminta pertimbangan pihak dan otoritas terkait. Di surah an-Nisaa’ ayat 83 dijelaskan, isu-isu tak bertanggung jawab itu bila dikembalikan kepada Allah dan Rasul-nya, selaku pemegang otoritas saat itu, maka mereka tidak akan berkesimpulan liar.

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” Kedua, menutupi keburukan dan aib orang lain. Sekalipun keburukan itu fakta, seyogianya tidak dijadikan sebagai konsumsi publik dan ajang hujatan.

 

sumber: Republika Online

Menunggak Zakat, Bolehkah?

Zakat harta kekayaan (mal) adalah kewajiban bagi tiap Muslim yang telah dinyatakan cukup syarat, seperti haul (masa satu tahun) dan nishab (batas minimal kekayaan wajib zakat). Perintah berzakat ini, seperti yang ditegaskan di ayat ke-43 surah al-Baqarah, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.” Lalu, bagaimana bila orang yang telah dinyatakan wajib zakat tersebut tidak membayar kewajibannya? Bagaimana dengan hukum zakatnya pada tahun-tahun yang telah lewat dan belum terbayar?

Prof Husamuddin bin Musa Affanah dalam bukunya yang berjudul Yas’alunaka ‘An az-Zakat menjelaskan bahwa mestinya yang bersangkutan dengan alasan apa pun tak boleh meninggalkan kewajiban tersebut.

Bila dengan sengaja mengurungkan pembayaran zakat, yang bersangkutan terancam akan mendapatkan balasan yang setimpal, yakni neraka. “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah SWT maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS at-Taubah [9]:34).

Husamuddin menjelaskan, sebagai solusinya  para “penunggak” zakat tersebut harus bertobat dan memperbanyak meminta ampun. Ini karena pada hakikatnya, zakat juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah.

Bila telah bertobat dan menunjukkan komitmen nyata dari pertobatannya itu, insya Allah dosanya akan terampuni. “Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS asy-Syura [42]:25).

Akan tetapi, lanjut sosok yang pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Ilmu Fikih Universitas al-Quds Palestina tersebut, ini bukan berarti menggugurkan kewajiban untuk membayar zakatnya yang tertunggak. Karena, sejatinya zakat adalah hak bagi para mustahik. Maka selama hak tersebut belum ditunaikan, tetap saja dinyatakan memiliki tunggakan zakat. Para ulama telah bersepakat zakat yang terlewatkan itu dianggap sebagai tunggakan yang tetap dibayar.

Husamuddin pun menukilkan sejumlah pendapat para salaf. Imam an-Nawawi, misalnya. Tokoh bermazhab Syafi’i itu menegaskan, jika zakat-zakat di masa lalu terlewati dan belum terbayar, wajib menunaikan keseluruhannya. Ketidaktahuan akan perintah zakat tidak memengaruhi kewajiban tersebut. Termasuk, soal domisili si empunya kekayaan, baik di negara Islam ataupun non-Islam, tetap wajib menunaikan zakatnya yang terlewatkan.

Demikian pula, dalam pandangan Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Ulama bermazhab Hanbali itu menyatakan, jika harta yang telah capai nisab dan telah masuk waktu satu tahun, lalu belum juga membayarkannya, ini tidak berpengaruh pada tahun berikutnya. Tetapi, wajib membayar zakat yang tertunggak. Tidak berlaku diskon atau potongan nisab jika terjadi penumpukan nisab berzakat.

Maka, apa pun alasannya, haram hukumnya mengelak dari kewajiban berzakat. Pendapat yang sama juga dikuatkan oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Menurut Ketua Persatuan Ulama Islam se-dunia itu, zakat adalah kewajiban yang bersifat tanggungan, bukan terletak pada pokok hartanya. Artinya, selama tanggungan itu belum terbayarkan maka tetap terkena kewajiban berzakat. Sekalipun, telah terlewat.

Di sinilah, sebut al-QaradIawi, letak perbedaan antara zakat dan pajak. Ada dispensasi tertentu yang diberlakukan pemerintah terkait tunggakan pajak. Besarannya sesuai dengan ketentuan regulasi pajak di tiap-tiap negara. Tetapi, tidak demikian dengan zakat.

Rukun Islam keempat ini selamanya akan tetap menjadi utang bagi Muslim yang telah dinyatakan sebagai wajib zakat, selama belum terbayar. Ini akan berimbas pada kualitas keislaman dan keimanannya. “Tanggungan zakatnya akan kekal,” ujar Syekh Yusuf. Jika tanggungan tersebut belum dibayar sekalipun telah lewat bertahun-tahun.

Lembaga Wakaf dan Fatwa Uni Emirat Arab menambahkan, cara pembayaran zakat yang tertunggak pada tahun-tahun lalu disesuaikan dengan kadar nisab hartanya di tahun itu. Ini bisa diketahui melalui pembukuan keuangan dari perputaran kekayaan yang dimiliki. Bila tidak ada data pasti dan sulit terlacak, cukup dikira-kirakan batas maksimal dari harta yang dimiliki saat itu.

 

sumber:Republika Online