“Sunah Rasul” Malam Jumat, Membunuh 1000 Yahudi?

SUNAH Rasul dalam pandangan syariat adalah sikap, tindakan, ucapan dan cara Rasulullah Shallalhu alayhi wa Sallam menjalani hidupnya atau suatu aktivitas dilakukan oleh Rasulullah Shallalhu alayhi wa Sallam dengan penjagaan Allah Taala.

Namun dalam pergaulan sehari-hari, sering kita dengar istilah “sunah rasul” pada malam Jumat. “Sunah Rasul” populer di malam Jumat adalah hubungan suami-istri atau ML.

Apakah yang melatarbelakangi penyebutan sunah rasul menjadi sebuah aktivitas seks? Benarkah malam Jumat sebagai malam yang dianjurkan untuk berhubungan seksual? Berikut ini beberapa jawabannya:

1. Ada perkataan yang dianggap hadis:

“Barangsiapa melakukan hubungan suami-istri di malam Jumat (Kamis malam) maka pahalanya sama dengan membunuh 100 Yahudi.” [Dalam hadis yang lain disebutkan sama dengan membunuh 1000 atau 7000 yahudi.]

Hadis di atas tidak akan Anda temukan dalam kitab manapun. Baik kumpulan hadis daif apalagi sahih. Artinya, hadis “sunah rasul” pada malam Jumat tersebut, apalagi sama dengan membunuh 100 Yahudi, adalah bukan hadis alias palsu yang dikarang oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

So, setop mengatakan sunah rasul sebagai pengganti dari istilah berhubungan suami-istri.

2. Ada hadisnya sahih namun tidak mengatakan secara gamblang bahwa itu adalah hubungan seks suami-istri yaitu:

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah Shallalhu Alayhi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mandi di hari Jumat seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu yang pertama (mendatangi masjid untuk salat Jumat), ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan zikir (khutbah).”(HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850)

Hadis tersebut menunjukkan keutamaan salat Jumat, namun di situ disebutkan juga tentang mandi junub (ghuslal janabah) pada hari Jumat. Sedangkan mandi junub salah satunya dilakukan setelah ada aktivitas hubungan seksual. Mungkin, daripada melakukan mandi besar tanpa alasan, maka dibuatlah alasannya.

Jika kita menganggap pendapat ini adalah pendapat kuat, maka anjuran melakukan hubungan intim di hari Jumat seharusnya dilakukan sebelum berangkat salat Jumat di siang hari, bukan di malam Jumat, karena batas awal waktu mandi untuk salat Jumat adalah setelah terbit fajar hari Jumat.

Lalu sebenarnya sunah apa yang dilakukan Rasulullah Shallalhu Alayhi Wa Sallam di malam/hari Jumat? Sunah rasul untuk dilakukan pada malam/hari Jumat, di antaranya:

1. Memperbanyak membaca salawat

Sabda Nabi Shallalhu Alayhi Wa Sallam, “Perbanyaklah salawat kepadaku setiap hari Jumat karena salawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari Jumat, maka barangsiapa yang paling banyak bersalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku”. (HR. Baihaqi)

2. Membaca Alquran khususnya surat Al Kahfi.

Sabda Nabi Shallalhu Alayhi Wa Sallam,: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat akan diberikan cahaya baginya di antara dua Jumat”. (HR. Al Hakim). Tentu saja lebih baik lagi jika dikaji dan ditadabburi ayat-ayatnya.

3. Memperbanyak doa

Rasulullah Shallalhu Alayhi Wa Sallam bersabda, “Hari Jumat itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah SWT dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ashar”. (HR. Abu Dawud)

4. Salat Jumat

Rasulullah Shallalhu alayhi wa Sallam bersabda, “Salat Jumat itu wajib atas tiap muslim dilaksanakan secara berjemaah terkecuali empat golongan yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang sakit”. (HR.Abu Daud dan Al Hakim).

Demikian penjelasan tentang malam Jumat. Semoga bermanfaat.

 

 

sumber:Inilah.com

Saling Memaafkan

Perayaan Idul Fitri kaum muslim di Indonesia disempurnakan dengan tradisi saling memaafkan antarsanak kerabat, saudara, dan kolega (halal bihalal). Ruang batin kaum muslim terasa syahdu dan penuh pesona.

Kasyahduan semakin mengharukan tatkala satu sama lain dengan sikap rendah hati saling menyampaikan rasa bersalah dan memohon maaf. Barang kali bagi orang yang belum mengenal budaya muslim Indonesia merasa aneh.

Pertemuan dua orang atau lebih yang setiap hari bertemu tapi masih perlu waktu khusus saling bermaafan. Keanehan berikutnya adalah begitu bertemu antara dua orang yang lama berpisah ucapan pertama langsung mengaku dan merasa bersalah lalu minta maaf dan memberi maaf.

Bagi masyarakat Indonesia, mengaku dan merasa bersalah bukanlah aib, akan tetapi sebagai ungkapan sikap rendah hati dan kehati-hatian dalam pergaulan. Siapa tahu kelakuannya selama ini merugikan dan membuat orang lain tidak nyaman. Kesalahan bisa terjadi karena disengaja atau direncanakan bisa juga tidak disengaja.

Sedangkan memaafkan merupakan sikap kebesaran hati kita menghapus kesalahan, baik sengaja maupun tidak disengaja, yang dilakukan orang lain terhadap diri kita. Sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak yang mulia, yang harus menyertai setiap muslim di manapun.

Dalam praktiknya, memaafkan memang bukan kebiasaan yang mudah, lebih-lebih bagi orang terzalimi. Alquran mengkonfirmasi tindakan memaafkan itu sebagai satu indikator dan ciri capaian derajat ketakwaan seseorang dan menjadi gerbang utama untuk masuk kedalam golongan muhsinin.

 

“(Orang yang bertakwa) adalah orang yang menahan amarahnya dan memaafkan di antara manusia. Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imron/3: 134). Ada beberapa alasan mengapa menjadi pemaaf menempati posisi penting dalam relasi keilahian dan solidaritas kemanusiaan.

Pertama, memaafkan berarti pengkondisian hati sehingga nihil dari kotoran dan penyakit seperti dengki, angkuh, iri, dendam dan sejenisnya. Ketika seseorang telah sungguh-sungguh memaafkan sejatinya telah terjadi proses peruntuhan ego, peleburan dengki, dan penghancuran nafsu dendam yang menggumpal.

Kedua, kesediaan memaafkan menjadi fondasi terbentuknya solidaritas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Solidaritas sosial mustahil terbangun tanpa dilandasi sikap kerelaan untuk saling menghapus dendam dan menatap masa depan yang lebih positif.

Inilah solidaritas organik, yakni suatu anyaman hidup bermasyarakat dimana hubungan antarindividu saling kenal, saling terkait, dan saling menyapa, serta penuh empati. Sikapsaling memaafkan merupakan media yang harus dilalui agar manusia mendapatkan ampunan dari Tuhannya.

Dalam sebuah firman-Nya dinyatakan, “dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada (menghapus kesalahan). Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An-Nur/24: 22).

Alquran memang menetapkan seseorang yang dizalimi diizinkan untuk membela diri dan membalasnya, tapi bukan balas dendam. Pembalasan harus dilakukan secara simpatik dan sekadar membela diri. Akhlak yang utama adalah menunjukkan keluhuran perangai, bersabar, dan member maaf.

Allah akan memberi ampunan kepada manusia bila mereka terlebih dahulu menuntaskan kenistaan dengan saling memaafkan, menghapus kesalahan, dan berlapang dada antarsesama. Dalam tradisi masyarakat Indonesia, sikap saling memberi maaf dapat memompa gairah baru dalam kebersamaan dan memupuk empati untuk pergaulan hidup yang harmonis.

 

 

 

Dr Mutohharun Jinan MAg, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta

dikutip dari TribunNews

Kisah Pemaaf

SEBUAH hadis menceritakan secara menarik kepada kita yang kandungan isinya menyangkut bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk selalu bersikap sebagai seorang pemaaf. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad.

Lengkapnya, kisah itu sebagai berikut: Abu Hurairah berkata. “Seseorang telah mencela Abu Bakar. Abu Bakar pun diam, sedangkan Nabi SAW ketika itu bersama mereka. Nabi merasa kagum, lalu tersenyum. Ketika orang itu memperbanyak cercaannya, maka Abu Bakar menimpali sebagian yang diucapkannya. Nabi pun marah dan beranjak pergi.

Abu Bakar kemudian menyusul beliau dan bertanya. ‘Wahai Rasulullah, orang itu telah mencerca diriku, dan engkau tetap duduk. Namun, disaat aku menimpali sebagian yang diucapkannya, mengapa engkau marah dan berdiri?’

Rasulullah pun menjawab, ‘Bersamamu tadi ada malaikat yang menimpali orang tersebut, sementara engkau diam. Akan tetapi, ketika engkau menimpali sebagian yang diucapkannya, setan pun datang dan aku pun tidak mau duduk dengan setan.’

Kemudian beliau SAW bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, ada tiga perkara yang semuanya adalah hak. Tidaklah seseorang yang dizalimi dengan suatu kezaliman, kemudian ia memaafkannya karena Allah, melainkan Allah akan memuliakannya karena perbuatannya itu dan akan menolongnya. Dan tidaklah seseorang yang membukakan pintu untuk menyampaikan suatu pemberian dengan niat bersilaturahim, melainkan Allah akan memperbanyak hartanya. Dan tidaklah seseorang membuka pintu untuk meminta-minta dengan niat meperbanyak hartanya, melainkan Allah akan menyedikitkan hartanya.”

Pemaaf merupakan sifat yang sangat terpuji dan salah satu sikap yang sangat dianjurkan di dalam Alquran. Allah SWT berfirman, “Jadilah pemaaf dan surulah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS 7: 199).

Dalam ayat lain Allah berfiman, “… dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS 24: 22)

Mereka yang enggan dan tidak mau mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW akan merasa sulit memaafkan kesalahan orang lain. Sebab, boleh jadi hasad dan dengki sudah mengakar di dalam jiwa mereka. Sehingga apapun bentuk perbuatan baik yang dilakukan seseorang akan bernilai jelek di hadapan orang yang pendengki dan pemarah. Padahal, Allah telah menegaskan kepada orang yang beriman bahwa sikap memaafkan adalah lebih baik.

“… dan jika kamu memaafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS At-Tagabun: 14).
Berlandaskan hal tersebut, maka orang-orang yang beriman adalah mereka yang bersifat pemaaf, pengasih, dan berlapang dada. Alquran surah Ali ‘Imran menegaskan hal itu; “… dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain… “ (QS 3: 134)

Pemahaman orang-orang yang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai dengan ajaran Alquran. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan amarah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung tetap menampakkan amarah.

Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Sebab, mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini dan belajar dari kesalahan mereka. Mereka berlapang dada dan mampu memaafkan, walau sebenernya mereka benar dan orang lain salah.

Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Orang yang yang beriman tahu semua terjadi karena kehendak Allah dan berjalan sesuai takdir tertentu. Oleh sebab itu mereka berserah diri dengan peristiwa tersebut dan tidak pernah terbelenggu oleh amarah.

Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan baha mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat secara kejiwaan maupun ragawi. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang telah menyakiti hati mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa para pemaaf merasa lebih baik, tidak hanya secara batinah, namun juga jasmaniah.

Dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa marah adalah sebuah keadaan pikiran yang sangat merusak kesehatan manusia. Memaafkan di sisi lain –meskipun terasa berat– akan terasa membahagiakan. Memaafkan, selain merupakan bagian dari akhlak terpuji, ia juga dapat menghilangkan segala dampak yang merusak yang ditimbulkan oleh amarah, juga membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat, baik secara lahir maupun batin.
Namun demikian, memaafkan haruslah dengan tujuan bahwa hal tersebut dilakukannya untuk mendapatkan ridha Allah SWT. (*)

 

Oleh Ustad Jefri Al Bukhori

sumber: Tribun News

Sifat Pemaaf Nabi Muhammad

Sifat keras, kasar, dan kejam sangat dibenci oleh Nabi Muhammad. Beliau menganjurkan kita untuk mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan jalan yang baik dan lemah lembut. Sebab, dengan berbuat baik kepada orang lain, kecil kemungkinannya orang berkeinginan untuk berbuat jahat kepada kita. Kalau bisa, walaupun kita disakiti, jangan dibalas, bahkan balaslah dengan kebaikan. Inilah sifat hilm yang dianjurkan Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad tidak pernah membalas dendam pribadi, tidak pernah memukul kecuali dalam perang. (H.R. Ahmad) Diriwayatkan dari Anas, “Aku berjalan bersama Rasulullah, beliau memakai kain sorban tebal buatan Najran yang beliau lilitkan di lehernya. Tiba-tiba ada orang desa menarik sorban tersebut dengan keras dan kasar, sehingga aku melihat bekasnya di bahu beliau. Lalu orang itu berkata, ‘Wahai Muhammad! Berilah padaku harta Allah yang ada padamu!’ Rasulullah menoleh dan tertawa, kemudian menyuruh untuk memberi uang pada orang tersebut.” (Muttafaq ‘alaih)

 

Sewaktu beliau pulang dari perang Hunain, orang-orang Badui desa mengikutinya dan meminta sesuatu dari Nabi Muhammad, sampai-sampai beliau berkata, “Demi Allah. Seandainya aku punya ternak sebanyak kayu-kayu kecil ini, aku bagikan semuanya kepada kalian, sehingga kalian tidak menemukan aku pelit, penakut, dan pembohong.” (H.R. al-Baghawi)

Nabi Muhammad tidak cepat marah dan memaklumi orang yang berbuat salah karena tidak tahu atau lupa. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa suatu hari orang Badui desa datang ke masjid dan pipis di dalamnya. Orang-orang yang melihatnya marah dan berhambur mau memukulnya, tetapi dicegah oleh Rasulullah yang bersabda, “Biarkan dia, dan siramlah air bekas pipisnya. Kita diutus bukan untuk memberatkan tapi untuk mempermudah.” Inilah contoh dari sifat rifq.

Kesabaran Nabi Muhammad dalam berjihad dan berdakwah sudah teruji dengan baik. Kita patut mencontoh beliau untuk sabar tidak dalam kepentingan pribadi. Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Dia berkata, ‘Apakah ada saat bagimu yang lebih keras dari Perang Uhud?’ Aku menjawab, ‘Ada. Yaitu permusuhan kaummu (Quraisy) di Aqabah.’ Ketika kutawarkan diriku pada Ibnu Abdi Jalail bin Abdi Kilal, ia tidak menerima diriku. Lalu aku pergi dalam keadaan sedih, lalu aku melihat di atas awan, Jibril memanggilku, ‘Sesungguhnya Allah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu. Dan apa yang telah mereka lakukan terhadapmu. Aku diutus kepadamu untuk memerintahkan malaikat penjaga gunung untuk patuh pada perintahmu. Lalu malaikat penjaga gunung itu mengucap salam kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad. Allah telah mendengar apa yang dikatakan oleh kaummu kepadamu. Aku ditugaskan oleh Allah untuk memenuhi perintahmu. Kalau engkau suka, dua gunung ini akan kubalikkan dan kukubur mereka.’” Namun, Rasulullah menjawab, “Jangan. Aku hanya berharap semoga di antara anak cucu mereka ada yang mau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.’” (Muttafaq ‘alaih)

Masya Allah! Betapa kasih sayang beliau begitu besar. Kadang-kadang para penyeru dakwah tergesa-gesa dan tidak sabar dengan dakwah mereka. Karenanya, banyak dakwah yang gagal karena kurangnya keteguhan hati dan kesabaran akan perintah Allah. Ingatlah, 13 tahun Nabi Muhammad menanggung beban berat di Mekkah sampai akhirnya pindah ke Madinah.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, “Aku melihat Rasulullah seakan-akan seperti seorang nabi yang dipukul oleh kaumnya sampai berdarah, kemudian membersihkan darah dari wajahnya sambil berkata, “Ya Allah, ampunilah kaumku karena mereka tidak tahu.”

Suatu hari seorang Yahudi datang kepada Nabi Muhammad, sedangkan beliau berada di tengah-tengah para Sahabat. Yahudi itu bernama Zaid bin Su’nah. Dia datang menagih hutang, lalu mencengkram kerah Rasulullah dan selendangnya. Dia menatapnya dengan tajam dan kasar, “Wahai Muhammad, apakah kamu tidak mau membayar hakku?” Umar marah dan matanya seperti bola api. Umar pun berkata dengan sengit, “Wahai musuh Allah, kamu berkata begitu kepada Rasulullah dan memperlakukannya seperti yang kulihat ini. Demi Dia yang mengutus beliau dengan kebenaran, seandainya Rasulullah tidak melarangku, niscaya kupenggal kepalamu dengan pedang ini.”

Nabi Muhammad kemudian memandang Umar dengan tenang dan berkata, “Wahai Umar, aku dan dia perlu yang lebih dari ini, yaitu kau menyuruhku menepati pembayaran dan kau menyuruhnya menagih dengan baik. Pergilah wahai Umar dan cukupilah (bayarlah) haknya dan tambahkanlah kepadanya 20 sha’ kurma.”

Ketika tahu bahwa Umar melebihinya 20 sha’, orang Yahudi itu berkata, “Untuk apa tambahan ini wahai Umar?” Umar menjawab, “Aku diperintahkan oleh Rasulullah untuk menambahkannya kepadamu karena kecongkakanmu.” Lalu orang Yahudi itu berkata, “Apakah kamu mengenalku?” “Tidak. Siapa kamu?”, tanya Umar. “Aku Zaid bin Su’nah.” Umar tercengang, “Pendeta Yahudi?! Apa yang membuatmu berbuat seperti ini?” Zaid menjawab, “Wahai Umar, aku memang sengaja berbuat begini untuk mengetahui kenabiannya. Aku melihat dua hal, lalu aku tahu bahwa dia benar-benar seorang nabi. Pertama, beliau mengedepankan sifat hilm-nya dari yang lain. Kedua, semakin aku kasar, beliau semakin sabar dan meladeni. Dan sekarang wahai Umar, saksikanlah bahwa aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad adalah nabi! Dan aku akan memberi separuh hartaku untuk kepentingan umat Islam.” Umar berkata, “Kepada sebagian umat, karena kalau untuk seluruh umat Islam tidak mencukupi.” Lalu Zaid menemui Rasulullah dan mengucapkan dua kalimat syahadat. (H.R. Bukhari)

Inilah sifat-sifat beliau yang penuh dengan kesabaran, kerendahan hati, mengalah, dan bersahabat. Dalam sebuah hadits, Aisyah meriwayatkan, “Aku berumrah bersama Rasulullah dari Madinah ke Mekkah. Ketika sampai di Mekkah, aku berkata, ‘Dengan bapak ibuku sebagai tebusan wahai Rasulullah, aku menggabungkan shalatku dan menyempurnakannya, aku berbuka dan aku puasa.’ Rasulullah hanya mengomentari, ‘Bagus, kalau begitu.’ Dan tidak melarang atau menegurku.” (H.R. Nasa’i)
Saya menyarankan agar para membaca juga melihat artikel-artikel lainnya tentang Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mengenalpribadi beliau sehingga tumbuhlah rasa cinta kepada beliau. Silahkan klik artikel-artikel berikut ini untuk mengenal Nabi Muhammad lebih jauh:

 

sumber:Lampu Islam

Ini Faedah Waktu Antara Azan dan Iqamah

SEBENARNYA ada apa dengan waktu antara azan dan iqamah? Ada cerita apa di balik azan dan iqamah itu? Berikut beberapa faedah singkat seputar keutamaan dan hukum fiqih terkait waktu antara azan dan iqamah.

1. Terdapat pahala salat sunah

Ketika seorang sampai di masjid, hendaknya ia tidak duduk terlebih dahulu, alangkah baiknya ia melakukan salat sunah dua rakaat.Salat tersebut bisa jadi salat sunah wudhu, salat sunah tahiyyatul masjid, salat sunah rawatib, atau sekadar salat sunah mutlak antara azan dan iqamah.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang salat sunah tahiyyatul masjid

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka hendaknya ia salat dua rakaat sebelum ia duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Terkait salat sunah mutlak, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

“Antara azan dan iqamat itu terdapat salatRasul mengulanginya tiga kali-bagi siapa yang berkehendak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Salat sunah rawatib yang paling utama adalah salat sunah fajar/shalat sunah qabliyah subuh. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

“Dua rakaat salat sunah subuh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.”(HR. Muslim)

2. Salah satu waktu terkabulnya doa

Apabila ia telah selesai dalam salat sunahnya, hendaknya ia memanjatkan doa ketika masih ada waktu, sembari menunggu iqamah dikumandangkan.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

“Sesungguhnya doa yang tidak tertolak adalah doa antara adzan dan iqomah, maka berdoalah (kala itu).” (HR. Ahmad, shahih)

Dari Anas bin Malik pula, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

“Doa yang tidak mungkin tertolak adalah ketika antara azan dan iqamah” (H.R. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih).

Jarak antara azan dan iqamah

Sebenarnya apa tolak ukur jarak waktu iqamah setelah azandikumandangkan? Dari Ubay bin Kaab, Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah dan Salman al-Farisi, Nabi Shallahu alaihi wa sallam bersabda;

“Jadikan (waktu) antara azan dan iqamahmu, sesuai dengan orang yang tidak tergesa-gesa dalam menunaikan hajatnya dan orang yang tidak tergesa-gesa dalam menyelesaikan makannya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Shahihah no. 887).

Jadi kesimpulannya, jarak antara azan dan iqamah dapat diperkirakan kurang lebih antara 10-15 menit. Disimpulkan dari hadis di atas yang menyebutkan bahwa waktu antara azan dan iqamah adalah seperti orang yang sedang makan dan dia tidak tergesa-gesa dalam makannya.

Oleh karena itu, sepatutnya bagi setiap pengurus masjid, tidak mematok waktu yang terlalu cepat untuk mengumandangkan iqamah, dalam rangka memberi kesempatan kepada jamaah masjid tuk datang ke masjid dan mengerjakan berbagai macam ibadah yang bisa dikerjakan di sela-sela azan dan iqamah. [Muslimorid]

Ketika Riya Membatalkan Ibadah Kita

RASULULLAH shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan, bahwa riya bisa membatalkan ibadah yang kecampuran riya. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, bahwa Allah berfirman,

“Aku paling tidak butuh sekutu dalam kesyirikan. Siapa yang melakukan amalan, dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku dalam amalan tersebut, Aku tinggalkan amal itu dan sekutunya.” (HR. Muslim 7666)

Yang dimaksud syirik dalam hadis ini adalah syirik dalam motivasi beribadah. Seseorang beribadah dengan motivasi bukan untuk mendapatkan balasan dari Allah, namun ingin mendapatkan balasan dari manusia. apapun bentuknya. Lalu bagaimana hubungan riya dengan keabsahan ibadah?

Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan, bahwa hubungan riya dengan ibadah ada 3 macam:

Pertama, motivasi dia beribadah dari awal adalah untuk mendapatkan perhatian dari manusia. seperti orang yang beribadah dengan tujuan dia dari awal agar diakui bagian dari muslim. Riya ini membatalkan ibadah.

Kedua, dari awal niatnya ikhlas, namun kemudian muncul riya di tengah ibadah. Ada dua keadaan untuk kasus ini:

(1) Ibadah yang dia lakukan bukan satu kesatuan. Seperti membaca alquran, sedekah, belajar, mengajar, dst. Misalnya: orang membaca alquran dengan ikhlas sebanyak 1 halaman. Tiba-tiba muncul riya ketika membaca halaman berikutnya. Maka 1 halaman pertama yang dia baca dengan ikhlas, statusnya sah. Sementara bacaan lanjutannya tidak sah. Atau orang bersedekah 50 rb ikhlas. Kemudian dia bersedekah lagi 100 rb, tapi karena untuk pamer. Sedekah yang pertama sah, dan sedekah kedua tidak sah, karena kecampuran riya.

(2) Ibadah yang dikerjakan, satu kesatuan. Batal di akhir, membatalkan semuanya. Seperti salat, atau puasa, dst. Ada beberapa keadaan untuk kasus ini. Ketika riya itu muncul, dia segera koreksi hatinya dan menolak riya sebisa yang dia lakukan. Dalam kondisi ini, riya tidak memberikan pengaruh apapun bagi ibadahnya. Karena lintasan batin riya semacam ini, mustahil bisa hilang dari manusia.

Ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah memaafkan bisikan hati dari umatku, sampai dia ucapkan atau dia amalkan.” (HR. Bukhari 5269 & Nasai 3433)

Namun apabila dia menikmati munculnya riya ini, dan tidak ditolak. Dalam kondisi ini semua ibadahnya batal dari awal. Karena ibadahnya satu kesatuan. Sebagai contoh, orang yang salat dengan ikhlas, namun ketika di rakaat ketiga, dia riya. Dan dia tidak berusaha menolaknya. Salatnya batal dari awal.

Ketiga, muncul riya setelah selesai ibadah. Semacam ini tidak mempengaruhi keabsahan ibadah dan tidak membatalkannya. Karena salatnya selesai dengan benar, dan tidak menjadi batal gara-gara muncul riya. Dan bukan termasuk riya, ketika seseorang merasa senang seusai ibadah karena dia tahu, ibadahnya dilihat orang lain. Karena rasa senang ini muncul setelah selesai ibadah.

Bukan termasuk riya ketika seseorang bahagia seusai melakukan ketaatan. Bahagia karena melakukan ketaatan, termasuk tanda iman. Dari Umar bin Khatab radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang merasa bahagia dengan ibadah yang dia kerjakan, dan merasa sedih karena maksiat yang dia lakukan, maka itulah mukmin.” (HR. Ahmad 115, Turmudzi 2318, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Bukan juga termasuk riya, ketika ada orang yang melakukan ketaatan, kemudian dia dipuji orang lain. Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya, tentang orang yang melakukan ketaatan kemudian dia dipuji masyarakat. Kata beliau, “Itu adalah berita gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.” (HR. Ahmad 21988 & Muslim 6891)

Allahu alam. [Sumber: Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 2/207]

 

Mozaik.Inilah.com

Ingat Mati Hidup Menjadi Ringan

CUKUPLAH kematian sebagai pelembut hati, pengucur air mata, pemisah dengan keluarga dan sahabat, pemutus angan-angan”

Mengingat kematian, mendampingi orang yang menghadapi sakratul maut, mengantar jenazah, mengingat gelap dan beratnya siksa kuburan niscaya akan membangunkan jiwa kita dari tidurnya, menyadari kelalaiannya, membangkitkan semangatnya, menggelorakan nilai perjuangannya dan mengembalikannya segera kepada Allah.

Allah berfirman: “setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” AL Hasan berkata: “Kematian telah menelanjangi dunia sehingga tidak menyisakan kegembiraan bagi orang yang berakal”

Orang yang banyak mengingat kematian akan ringan baginya semua kesulitan hidup. Orang yang banyak mengingat kematian akan dimuliakan dengan tiga hal: segera bertaubat, ketenangan hati dan semangat ibadah.

Suatu hari Ibnu Muthi melihat rumahnya, dia terkesima dengan keindahannya lalu dia menangis seraya berkata: “Kalau tidak karena kematian niscaya aku akan gembira denganmu”.

Ibnu Munkadir berkata tentang seseorang yang sering ziarah kubur: “Orang ini menggerakkan hatinya dengan mengingat kematian.” Karenanya Rasulullah selalu mengajak para sahabat untuk memperbanyak mengingat kematian, dengan mengingat mati akan melapangkan dada, menambah ketinggian frekuensi ibadah.

Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:”Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian, karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan kesempitan hidup, melainkan dia akan melapangkannya, dan tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan lapang, melainkan dia akan menyempitkannya.” (HR. Ibnu HIbban dan dishahihkan oleh Al Bani di dalam kitab Shahih Al Jami)

Ibnu Umar radhiyallahu anhuma pernah berkata, “Aku pernah menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai orang ke-sepuluh yang datang, lalu salah seorang dari kaum Anshor berdiri seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, siapakah manusia yang paling cerdik dan paling tegas?” Beliau menjawab, “(adalah) Mereka yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya. Mereka itulah manusia-manusia cerdas; mereka pergi (mati) dengan harga diri dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR. Ath-Thabrani, dishahihkan al-Mundziri). [Ustaz Didik Hariyanto]

 

sumber Mozaik Inilah.com

Kesalehan Arab Baduwi dan Tangisan Rasulullah

Dikisahkan, seperti dikutip dari 1001 Kisah Teladan Muslim, bahwasanya sewaktu Rasulullah SAW sedang asyik bertawaf di Ka’bah beliau mendengar ada seseorang di hadapannya bertawaf dan berzikir penuh kekhusyukan.

Ia tidak memerhatikan orang-orang di sekitarnya yang saling besenggolan. Ia tetap khusuk berzikir dengan mengucapkan Ya Karim… Ya Karim. Di saat bersamaan, Baginda Rasulullah SAW sedang melakukan ibadah haji juga. Beliau terkesan seseorang yang fokus dengan zikirnya di depan Ka’bah dan Rasulullah SAW menirunya mengucapkan Ya Karim! Ya Karim!

Mendengarkan ucapannya ditiru, seseorang yang sedang khusyuk berzikir itu Ialu berhenti dan menatap ke salah satu sudut Ka’bah.

Ketika itu, ia masih mengabaikannya dan melanjutkan zikir lagi dengan khusyuk melantunkan, Ya Karim..Ya Karim. Rasulullah SAW menyadari bahwa orang yang sedang diikuti zikirnya itu sedikit terusik. Namun, Rasul tetap melanjutkan zikir bersama orang Baduwi itu.

Merasa semakin tidak nyaman, akhirnya orang Baduwi itu menoleh ke belakang untuk yang kedua kalinya, kali ini ia menegurnya dan menyampaikan mengapa mesti mengikuti zikir yang dibacanya.

Namun, melihat sosok yang hendak ia tegur, penampilannya sangat berbeda dengan kebanyakan orang awam, ia pun mengurungkan niatnya dan menurunkan tensi kemarahannya.

Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, karena aku ini adalah orang Arab Baduwi? Kalaulah bukan karena ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah. Mendengar kata-kata orang Baduwi itu, Rasulullah SAW tersenyum, lalu bertanya. Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?. Belum, jawab orang itu.

Lanjut Rasulullah kepada orang Arab Baduwi itu. Jadi bagaimana kau beriman kepadanya? tanya Rasulullah. Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan pengutusannya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya, kata orang Arab Baduwi itu lagi.

Mendengar perkataan yang penuh keimanan dari lisan orang Arab Baduwi itu Rasulullah SAW pun berkata lagi kepadanya. Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat.

Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya. Tuan ini Muhammad SAW? Ya, jawab Baginda Rasulullah. Lalu orang itu segera menundukkan kepala untuk mencium kedua kaki Rasul.

Melihat hal itu, Rasulullah menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata, Wahai orang Arab! Janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan seperti itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada juragannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita.

Ketika itulah, malaikat Jibril turun menyampaikan berita dari langit. Wahai Muhammad! Allah SWT mengucapkan salam kepadamu dan bersabda, ‘Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!’ Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi.

Si Baduwi berkata, Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, hamba pun akan membuat perhitungan dengan-Nya! kata Arab Baduwi itu.

Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan? Rasulullah bertanya kepadanya.

Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran ampunan-Nya, jawab orang itu. Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, hamba akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawanan-Nya!

Mendengar ucapan orang Arab Baduwi itu, Rasulullah pun menangis mengingat relevansi dan kebenaran perkataan Arab Baduwi itu, air mata beliau meleleh membasahi janggutnya.

Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata, Wahai Muhammad! Tuhan menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda, ‘Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya karena tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga ia bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahwa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah mengampuni semua kesalahannya dan ia akan menjadi temanmu di surga nanti!’

Betapa senangnya Si Arab Baduwi itu, mendengar berita tersebut. la Ialu menangis karena tidak berdaya menahan keharuan dari dalam dirinya.

 

 

sumber: Republika Online

Memuliakan Ibu

Orang beriman mesti memuliakan kedua orang tua, khususnya ibu. Dalam hadis disebutkan, Abu Hurairah bercerita: Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk saya pergauli dengan sebaik-baiknya?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapakah?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Orang itu sekali lagi bertanya, “Kemudian siapakah?” Beliau menjawab lagi, “Ibumu.” Orang tadi bertanya pula, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan, andai kata sang ibu adalah orang yang berbeda agama (non-Muslim) dan keyakinan, kita tetap harus memuliakan mereka dan tidak boleh memutus hubungan dengannya.

Dalam hadis disebutkan, Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq bercerita:Ibuku datang ke tempatku sedang dia adalah seorang musyrik di zaman Rasulullah SAW, yaitu di saat berlangsungnya perjanjian Hudaibiyah antara beliau dan kaum musyrikin. Kemudian saya meminta fatwa kepada Rasulullah, “Ibuku datang padaku dan ia ingin meminta sesuatu, apakah boleh saya hubungi ibuku itu, padahal ia musyrik?” Beliau bersabda, “Ya, hubungilah ibumu” (HR Bukhari dan Muslim).

Para sahabat Nabi SAW disebutkan sangat memuliakan ibunya. Abu Hurairah, misalnya, setiap akan pergi keluar rumah dan pulang ke rumah, selalu menemui ibunya dan mendoakannya. Dalam kitabAdab Al-Mufrad karya Al-Bukhari disebutkan, Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain.

Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, ia berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya berkata, “Semoga keselamatan untukmu, wahai ibuku, juga rahmat Allah serta berkah-Nya.” Ibunya menjawab, “Semoga untukmu juga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya, wahai anakku.

Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “Semoga Allah juga merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.

Sahabat lainnya, Ibnu Mas’ud, acap kali disuruh ibunya untuk mengambilkan air minum, dan ia selalu melaksanakannya. Suatu ketika, saat membawa air minum yang diminta ibunya, ia mendapati ibunya tertidur pulas. Karena memuliakan sang ibu, Ibnu Mas’ud tidak berani membangunkannya.

Dalam kitab Birrul Walidain karya Ibnul Jauzi disebutkan, Anas bin Nadzr Al-Asyja’i bercerita, suatu malam ibu Ibnu Mas’ud meminta air minum kepadanya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi hari.”

Sahabat lainnya lagi, Usamah bin Zaid, disebutkan tidak pernah menolak permintaan ibunya. Dalam kitab Shifah Ash-Shafwah karya Ibnul Jauzi disebutkan, Muhammad bin Sirin mengatakan, pada masa pemerintahan Usman bin Affan, harga sebuah pohon kurma mencapai seribu dirham. Meskipun demikian, Usamah bin Zaid membeli sebatang pohon kurma lalu memotong dan mengambil jamar-nya (bagian batang kurma yang berwarna putih yang berada di jantung pohon kurma).

Jamar tersebut lantas ia suguhkan kepada ibunya. Melihat tindakan Usamah, banyak orang bertanya-tanya, “Mengapa engkau berbuat demikian, padahal engkau mengetahui harga satu pohon kurma itu seribu dirham.” Usamah menjawab, “Karena ibuku meminta jamar pohon kurma, dan tidaklah ibuku meminta sesuatu kepadaku yang bisa kuberikan pasti kuberikan.

Ibu memang sosok yang harus dimuliakan. Kita lahir ke dunia melalui dirinya. Sehebat atau sesukses apa pun seseorang dalam hidupnya, pasti dilahirkan dari rahim seorang ibu. Selain itu, sebelum kita lahir, ibu mengandung kita di dalam perutnya selama lebih kurang sembilan bulan, waktu yang tidak sebentar. Saat melahirkan, ibu juga yang merasakan sakit tak terkira. Jadi, tidak ada alasan apa pun untuk mendurhakai ibu atau memutus hubungan dengannya, apa pun keadaannya. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Fajar Kurnianto

sumber:Republika Online

Ini 8 Sunah Harian Nabi SAW

Setiap manusia seharusnya mengetahui bahwa Allah SWT telah menyeru agar beribadah dan beramal saleh sebaik dan sebanyak mungkin. Agar kita menjadi pribadi yang bertakwa, setidaknya sunah harian Nabi SAW yang bisa kita contoh dan amalkan dalam keseharian antara lain, pertama, zikir pagi dan sore.

Allah SWT berfirman, ”Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS al-Araf: 205).

Kedua, merutinkan shalat Dhuha. Nabi SAW bersabda, ”Pada pagi hari setiap persendian kalian diwajibkan sedekah, setiap ucapan tasbih itu bernilai satu sedekah, setiap kalimat tahmid itu bernilai satu sedekah, satu ucapan tahlil bernilai satu sedekah, satu ucapan takbir bernilai satu sedekah. memerintah yang makruf satu sedekah, mencegah yang mungkar satu sedekah. Dan semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.” (HR Muslim).

Ketiga, shalat berjamaah tepat waktu. Saking pentingnya shalat berjamaah tepat waktu ini, sampai-sampai Nabi SAW bersabda, ”Kalau saja manusia tahu pahala panggilan shalat dan shaf awal, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya selain harus dengan mengundi, pasti mereka akan mengundi.” (HR Muslim).

Keempat, menjaga shalat rawatib. Dalam sebuah hadis disebutkan, ”Tidaklah seorang hamba melakukan shalat sunah dengan ikhlas lillahitaala setiap hari sebanyak 12 rakaat melainkan pasti Allah akan membangunkan rumah di surga.” (HR Muslim).

Kelima, membaca Alquran. Membaca Alquran adalah zikir terbaik yang akan mendatangkan banyak kebaikan bagi yang membacanya. Nabi SAW bersabda, ”Bacalah Alquran karena sesungguhnya Alquran akan datang sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya (orang yang rajin membacanya).” (HR Muslim).

Keenam, selalu berusaha dalam kondisi yang suci. Tentang senantiasa suci ini, Nabi SAW pernah bersabda, ”Siapa yang berwudhu dan membaguskan wudhunya, kesalahan-kesalahannya akan keluar dari jasadnya, bahkan sampai keluar dari ujung-ujung kukunya.” (HR Muslim).

Ketujuh, sedekah harian. ”Pernah suatu ketika, seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, Wahai Nabi, sedekah apa yang paling utama? Nabi SAW menjawab, Bersedekahlah saat kau dalam kondisi sehat, kikir, takut miskin, dan sedang berharap menjadi kaya, tidak menunda sampai nyawa di tenggorokan baru kau berkata, Aku sedekahkan ini untuk si fulan segini, padahal itu sudah menjadi bagian si fulan (ahli warisnya).” (HR Bukhari).

Kedelapan, istighfar minimal 100 kali. Tentang meminta ampun ini, Nabi SAW bersabda, ”Demi Allah, aku selalu beristighfar dan bertobat kepada-Nya lebih dari 70 kali dalam sehari.” (HR Muslim).

Nabi yang sudah maksum saja masih memohon ampun kepada Allah, lalu bagaimana dengan kita yang selalu berkubang dalam maksiat? Semoga kita bisa mengamalkan sunah-sunah harian Nabi SAW tersebut.

 

Oleh: Bahron Ansori

sumber: Republika Online