Lihatlah Kebaikan Orang Lain, Jadikan Inspirasi

SAHABATKU dan saudaraku, sesungguhnya tak begitu sulit untuk membangun hubungan kemanusiaan yang baik antara saya dengan Anda, antara saya dengan mereka, dan antara Anda dengan mereka. Tak perlu menjadi orang yang sempurna tak berkekurangan untuk memiliki hubungan kemanusiaan yang baik itu melainkan dibutuhkan kebesaran hati dan keluasluwesan pikiran saja.

“Ambillah nasehat yang baik dari orang yang bergaul dengan kita, lupakan saja nasehat yang tidak baik. Lihatlah kebaikan-kebaikan yang ada pada orang lain, lalu jadikan inspirasi kehidupan kita untuk lebih baik. Pejamkan mata dari ketidakbaikannya biar tak melahirkan benci berkepanjangan melainkan cuma sebagai pelajaran saja.” Demikian ungkap para guru bijak kehidupan.

Hati dan kepala yang berpegang pada kalimat di atas, sungguh membebaskan pemiliknya dari permusuhan. Pemiliknya akan mampu menikmati siang dan mensenyumkan malam. Pemiliknya akan memaklumi pahitnya jamu dan menyadari tajamnya duri serta mengambil hikmah dari kenyataan itu.

Yang penting dibahas kemudian adalah bagaimana caranya memiliki kepala dan hati seperti tersebut di atas? Katakan kepada kaki bahwa ada saat melihat ke atas dan ada saat melihat ke bawah. Katakan kepada hati bahwa semua manusia mempunyai hati.

Keinginan hati kita untuk bahagia tidaklah berbeda dengan keinginan hati mereka. Bahwa kita dan mereka berbeda cara menuju bahagia adalah bagai aneka ragam warna dan jenis bunga di taman yang indah. Maklumi saja dan saling doakan saja untuk berlabuh di pantai yang sama, yakni bahagia penuh ridla Allah Swt. Salam, AIM. [*]

 

sumber:Mozaik Inilah.com

Mantapkan Diri Meninggalkan yang Tak Berguna

IBNU Mas’ud berkata: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada hambaNya, maka Dia mengarahkannya dengan menjadikan permintaannya adalah untuk hal-hal yang berguna baginya dan pengetahuannya adalah tentang hal-hal yang bermanfaat baginya.”

Mintalah kepada Allah sesuatu yang memang berguna bagi kita untuk kehidupan dunia dan akhirat kita. Permintaan jangan hanya atas dasar suka atau mau melainkan berguna atau tidak.

Pelajarilah sesuatu yang bermanfaat bagi kita sebagai petunjuk dan penuntun bukan hanya sebagai penghibur dan pelipur duka. Kalau begitu, harus ada prioritas dalam kehidupan ini apa yang harus diutamanan untuk dibaca dan dipelajari dan apa yang boleh ditunda atau diakhirkan. Mengapa yang utama harus diutamakan? Karena kita tak tahu pasti jatah waktu kita itu sampai kapan.

Zayd bin Ali berkata kepada anaknya: “Anakku, carilah apa yang berguna untukmu dengan cara meninggalkan segala sesuatu yang tak berguna bagimu. Sesungguhnya, dalam sikapmu meninggalkan sesuatu yang tidak berguna ada perjumpaan dirimu dengan sesuatu yang berguna bagimu.” Yang berguna dan yang tak berguna berpisah tempat bagai posisi kutub utara dan kutub selatan. Ketika kita berjalan menuju kutub utara, kutub selatan akan menjauh dari kita. Demikian pula sebaliknya.

Jangan ditunda-tunda lagi. Mantapkan diri untuk meninggalkan yang tak berguna untuk kemudian mengarahkan setiap langkah pada yang berguna. Sesuatu yang membahagiakan kita di dunia dan akhirat sudah jelas lebih utama dibandingkan dengan sesuatu yang membahagiakan kita di dunia ini saja. Sesuatu yang akan mengantarkan kita ke surganya Allah kelak sungguh perlu lebih diprioritaskan dibandingkan yang hanya mengantarkan kita pada kesenangan duniawi. Semoga bermanfaat. Salam, AIM@PPK Alif Laam Miim

 

 

sumber:Mozaik Inilah.com

Tabayun

Di era teknologi dan informasi ini, berita atau kabar begitu cepat menyebar dan meluas, baik melalui lisan ke lisan, media-media massa, seperti televisi, koran, radio, majalah, bahkan media yang sifatnya daring (online) sehingga kita sangat mudah mendapat informasi.

Tentu setiap berita yang sampai pada kita tidak semuanya benar, makanya Islam mewajibkan agar tabayun atau mengecek kembali kebenaran berita tersebut karena takut menimbulkan fitnah, merugikan orang lain, bahkan menyebabkan nyawa saudara kita melayang, dan agar kita tidak menyesal di kemudian hari karena kesalahan dan kebodohan itu.

Allah SWT berfirman dalam surah al-Hujurat ayat 6 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu,” (QS al-Hujurat [49]: 6).

Melakukan tabayun atas suatu berita merupakan suatu keniscayaan, apalagi yang menyampaikan berita itu media-media sekuler dan liberal yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Atau yang membawa berita itu sudah dikenal fasik atau suka melakukan kebohongan.

Jangan sampai menelan mentah-mentah kabar yang sampai pada kita, harus diteliti dulu kebenarannya, bahkan berita-berita dari media yang mengaku media Islam kita harus teliti kebenarannya.

Dalam sejarah Islam, ada suatu peristiwa yang merugikan keluarga Rasulullah SAW akibat tidak tabayun, yaitu peristiwa ketika Sayidah Aisyah istri Rasulullah SAW dituduh berselingkuh oleh orang munafik bernama Abdullah bin Ubay bin Salul dengan salah satu sahabat Nabi SAW Shafwan bin Mua’tthal sehingga Aisyah menurun kesehatannya.

Beliau bertambah parah sakitnya setelah mendengar bahwa yang menyebarkan fitnah itu adalah Misthah, salah satu pemuda yang selalu diberi kebaikan oleh Abu Bakar, ayahanda Aisyah RA. Padahal, pemuda itu tidak tahu apa-apa masalah ini, cuma mendengar saja dan tidak tabayun terlebih dahulu. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan Haditsul Ifki (berita bohong).

Tapi, alhamdulillah, pada akhirnya Sayidah Aisyah RA terbebas dari tuduhan ini. Allah SWT menurunkan ayat 11-12 dari surah an-Nuur yang isinya membebaskan Aisyah RA dari tuduhan keji itu.

Manfaat dan keutamaan tabayun adalah agar tidak sembarangan dan menuduh orang lain sehingga merugikannya, baik kerugian materi maupun nonmateri, seperti kehormatan dan kesehatan fisik, seperti yang terjadi pada Sayidah Aisyah RA.

Di antara manfaat tabayun yaitu supaya tidak menyesal di kemudian hari seperti yang dialami oleh Misthah yang menyesal atas perbuatannya setelah tahu bahwa Aisyah RA tidak berselingkuh.

Selanjutnya, manfaat dari tabayun agar tidak terjadi kesalahpahaman, seperti yang dilakukan Usamah bin Zaid ketika salah satu sahabat Nabi SAW ini sembarangan membunuh salah satu orang kafir yang mengucapkan syahadat saat mau dibunuh olehnya.

Saat ditanya Rasulullah SAW mengenai hal itu, Usamah beralasan orang tersebut tidak sungguh-sungguh dalam bertauhid, hanya takut dibunuh saja. Rasulullah SAW langsung menegurnya karena tidak ada yang tahu isi hati orang kecuali Allah SWT. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Oleh: Husnan Ramadhani

sumber:Republika Online

Memiliki Sifat Tawadhu’

Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.

Memahami Tawadhu’

Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)

Keutamaan Sifat Tawadhu’

Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.

Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).

Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,

أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.

Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’

قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)

يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.

Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].

‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”

قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.

Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.

‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”

قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”

قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر

Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1]

Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Wallahu waliyyut taufiq.

 

 
Sumber : https://rumaysho.com/2056-memiliki-sifat-tawadhu.html


Simak artikel mengenai Tawadhu lainnya, klik di sini!

Tawakal Bukan Pasrah

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

Datangnya musibah yang menimpa tanah air silih berganti, mulai dari tsunami, gempa, busung lapar, flu burung dan kesulitan hidup karena naiknya harga BBM, benar-benar menguji keimanan seorang muslim. Apakah mampu untuk tetap tegar menghadapi kesulitan hidup. Ataukah justru sebaliknya, pesimis dan apatis sehingga menempuh cara-cara yang salah untuk mengais rizki dengan dalih kepepet. Kalaupun tidak, minimal terus digelayuti emosi, rasa gamang, cemas dan bahkan putus asa.

Pembaca budiman yang dirahmati allah, tentu saja tidak, karena dalam menghadapi masalah tersebut, bahkan semua problema kehidupan manusia, islam telah memberikan solusinya dengan sempurna. Sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia dan akhirat. Baik keluasan maupun kesempitan hakekatnya adalah sama merupakan ujian hidup yang harus dihadapi dengan baik.

Coba renungkan sabda panutan kita, rasulullah saw di bawah ini.
“Sangat menakjubkan perkara orang mukmin itu. Semua perkaranya adalah baik. Hal ini tidak didapati kecuali pada orang mukmin. Yaitu jika menerima nikmat dia bersyukur maka ini baik baginya dan jika tertimpa musibah bersabar dan ini juga baik baginya.” (HR. Muslim).

Kewajiban lain seorang mukmin ketika menghadapi kesulitan hidup adalah tawakal kepada allah. Banyak ayat-ayat al quran dan hadis-hadis rasulullah saw yang mengisyaratkan wajibnya bertawakal kepada allah. Dengan tawakal inilah seorang mukmin akan mampu menghadapi berbagai kesulitan dengan optimisme tinggi dan akan mendapatkan kemudahan dari allah yang maha pemurah.

Tawakal adalah amalan hati atau amalan yang dilakukan hati, bukan amalan lisan atau aktivitas anggota badan. Dan hakekat tawakal itu sendiri adalah hati benar-benar bergantung kepada allah azza wa jalla guna memperoleh maslahat dan menolak mafsadat dari urusan-urusan dunia dan akhirat. (Jami’ul Ulum Wal Hikam hal. 567).

Sebagian orang menyangka, bahwa tawakal identik dengan pasrah secara total. Padahal ini anggapan yang keliru, karena tawakal itu menuntut rasa optimis dan aktif. Dalam sebuah ayat allah berfirman: “Dan barang siapa yang bertawakal kepada allah niscaya allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS Thalaq : 3).
Dalam ayat ini allah menjamin akan memberi kecukupan kepada orang-orang yang bertawakal, termasuk urusan rizki. Apakah artinya orang tersebut tidak berupaya dan tidak kerja keras lantas tiba-tiba memperoleh rizki dari langit ? tentu tidak demikian. Orang yang ingin terpenuhi kebutuhannya harus bekerja, sama halnya dengan orang ingin punya anak harus menikah dan mengumpuli istrinya. Tidak mungkin allah memberi rizki kepada seseorang tanpa upaya sedikitpun.

Hadis berikut lebih memperjelas, rasulullah saw bersabda : “Andaikan kalian tawakal kepada allah dengan sebenarnya niscaya allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi dengan perut kosong dan pulang sore dengan perut kenyang.”(HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Tawakal burung adalah dengan pergi mencari makanan, maka allah jamin dengan memberikan makanan kepada mereka. Burung-burung itu tidak tidur dan nongkrong saja disarang sambil menunggu makanan datang, tetapi mereka pergi jauh mencari makanan untuk dirinya dan anak-anaknya. Begitu pula seharusnya manusia. Apalagi kita diberi kelebihan yang banyak dibanding seekor burung.

Tawakal itu bukan berarti tidak berusaha dan menggantungkan kepada makhluk. Hal itu justru dapat dikatakan berlawanan dengan makna tawakal yang sebenarnya. Seorang ulama besar Imam ahmad bin hanbal pernah ditanya tentang seseorang yang hanya duduk di rumah atau di mesjid seraya berkata, ‘aku tidak akan berusaha sedikitpun sampai datang rizki kepadaku.’ Jawabnya, ‘orang tersebut jahil, sebab nabi bersabda, ‘sesungguhnya allah menjadikan rizkiku di bawah naungan pedangku’ dan sabdanya, ‘andaikan kalian tawakal dengan sebenarnya niscaya allah akan memberi rizki kepada kalian seperti telah memberi rizki kepada burung. Nabi menyebutkan, kawanan burung tersebut pergi pagi-pagi untuk mencari rizki. Dan para sahabat berdagang dan memelihara pohon-pohon kurma mereka. Maka contohlah mereka. (Fathul Bari 7/107)

Pembaca budiman yang dirahmati allah, jika engkau tawakal kepada allah dengan benar, engkau harus melaksanakan sebab (berusaha) yang disyariatkan allah bagimu. Yaitu mencari rizki secara halal, bisa dengan tani, berdagang, menjadi pekerja pada pekerjaan apa saja yang dapat mendatangkan rizki dengan bergantung kepada allah niscaya allah akan memudahkan rizki bagimu.
Nabi adalah orang yang paling tawakal kepada allah. Namun demikian beliau melakukan usaha. Beliau ketika bepergian membawa perbekalan, ketika perang uhud memakai dua baju besi dan ketika hijrah ke madinah menyewa penunjuk jalan. Beliau tidak mengatakan, “aku akan hijrah dan aku tawakal kepada allah”. Beliau juga berlindung dari panas dan dingin. Hal ini tidak mengurangi tawakalnya. Justru menunjukkan, bahwa beliau betul-betul tawakal kepada allah. Dan itulah tawakal yang sebenarnya.

Mudah-mudahan dengan tawakal kita kepada allah yang sebenar-benarnya kita semua selamat dalam menghadapi berbagai problema dan kesulitan hidup sebagaimana mestinya, tidak tergelincir ke jurang kenistaan. Optimis dalam menghadapi kesulitan hidup dan percaya diri dalam menatap masa depan, adalah salah satu kunci kesuksesan dalam menjalani hidup ini. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Oleh : Ahmad Wandi Al Mas’udy

sumber: Daarut Tauhid

 

Silakan simak artikel mengenal Tawakal lainnya, klik di sini!

Belajar Ikhlas

Ikhlas itu kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Karena itu, kita perlu belajar dan membiasakan diri menjadi mukhlis (orang yang ikhlas).

Dari segi bahasa, ikhlas itu mengandung makna memurnikan dari kotoran, membebaskan diri dari segala yang merusak niat dan tujuan kita dalam melakukan suatu amalan.

Ikhlas juga mengandung arti meniadakan segala penyakit hati, seperti syirik, riya, munafik, dan takabur dalam ibadah. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT.

Ungkapan “semata-mata karena Allah SWT” setidaknya mengandung tiga dimensi penghambaan, yaitu niatnya benar karena Allah (shalih al-niyyat), sesuai tata caranya (shalih al-kaifiyyat), dan tujuannya untuk mencari rida Allah SWT (shalih al-ghayat), bukan karena mengharap pujian, sanjungan, apresiasi, dan balasan dari selain Allah SWT.

Beribadah secara ikhlas merupakan dambaan setiap Mukmin yang saleh karena ikhlas mengantarkannya untuk benar-benar hanya menyembah atau beribadah kepada Allah SWT, tidak menyekutukan atau menuhankan selain- Nya. “Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun” (QS An-Nisa’ [4]: 36).

Jika ikhlas sudah menjadi karakter hati dalam beramal ibadah, niscaya keberagamaan kita menjadi lurus, benar, dan istiqamah (konsisten). (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Selain kunci diterima tidaknya amal ibadah kita oleh Allah SWT, ikhlas juga membuat “kinerja” kita bermakna dan tidak sia-sia. Kinerja yang bermakna adalah kinerja yang berangkat dari hati yang ikhlas.

Menurut Imam Al-Ghazali, peringkat ikhlas itu ada tiga. Pertama, ikhlas awam yakni ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dilandasi perasaan takut kepada siksa-Nya dan masih mengharapkan pahala dari-Nya.

Kedua, ikhlash khawas,ialah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena dimotivasi oleh harapan agar menjadi hamba yang lebih dekat dengan-Nya dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan “sesuatu” dari-Nya.

Ketiga, ikhlash khawas al-khawas adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang tulus dan keinsyafan yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Dia-lah Tuhan yang Mahasegala-galanya.

Ikhlas merupakan komitmen ter ting gi yang seharusnya ditambatkan oleh setiap Mukmin dalam hatinya: sebuah komitmen tulus ikhlas yang sering dinyatakan dalam doa iftitah. (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semata-mata karena Allah Tuhan semesta alam). (QS Al-An’am [6]: 162).

Sifat dan perbuatan hati yang ikhlas itu merupakan perisai moral yang dapat menjauhkan diri dari godaan setan (Iblis). Menurut At-Thabari, hamba yang mukhlis adalah orang-orang Mukmin yang benar-benar tulus sepenuh hati dalam beribadah kepada Allah, sehingga hati yang murni dan benar-benar tulus itu menjadi tidak mempan dibujuk rayu dan diprovokasi setan.

Ikhlas sejatinya juga merupakan “benteng pertahanan” mental spiritual Mukmin dari kebinasaan atau kesia-siaan dalam menjalani kehidupan. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah berujar, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang meng isi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat.”

 

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

sumber:Republika Online

 

Simak artikel mengenai Ikhlas lainnya, klik di sini!

Ciri Penyakit Cinta Dunia

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt, Dzat Yang Maha Sempurna dalam menciptakan dan mengurus segala ciptaan-Nya. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, ciri-ciri penyakit cinta dunia di antaranya yang pertama,dilanda kebingungan yang tiada ujung. Ia sibuk memikirkan makhluk atau ciptaan, sedangkan ia lupa kepada Dzat Yang Maha Pencipta, sehingga bingunglah ia.

Ia bingung mengurus anak, bingung mengurus rumahtangga, bingung mengurus kerjaan. Baru bangun tidur pagi-pagi sudah bingung memikirkan hal-hal itu. Padahal jika yang ia pikirkan adalah Allah, kemudian ia berdoa di pagi hari, maka akan tenanglah hatinya.

Kedua, diperbudak kesibukan. Ada orang yang andaipun jatah waktunya ditambah dari 24 jam menjadi 36 jam, tetap saja sibuk seperti tak pernah reda. Mau tilawah Al Quran seperti tak ada waktu. Sholat juga ditunda-tunda, kalaupun terlaksana akan kilat terburu-buru. Sedangkan pekerjaannya seperti tak beres-beres. Mengapa? Karena ia tidak diberi petunjuk oleh Allah Swt.

Nabi Muhammad Saw adalah orang yang sangat sibuk, banyak sekali urusan-urusan besar yang harus beliau kerjakan. Namun, semuanya beres dan beliau tetap dalam keadaan tenang menunaikan ibadah secara khusyu dan tumaninah. Kuncinya adalah petunjuk Allah yang membuat setiap gerakan dan ucapan menjadi sangat efektif. Maka, kita perlu senantiasa mendahulukan Allah di atas segala-galanya agar kita dibimbing oleh-Nya.

Ketiga, kebutuhan yang tiada pernah tercukupi. Ada orang yang punya uang berapapun, sebanyak apapun, tetap saja kurang. Punya kambing 99 ekor, tetap gelisah memikirkan kambing tetangga yang satu ekor karena ingin punya 100 ekor. Begitu seterusnya. Padahal Allah Swt. berfirman, “..Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”(QS. Ath Tholaq [65] : 3)

Maka, kebutuhan kita terpenuhi bukan karena kita kaya raya, bukan karena kita banyak uang sehingga bisa membeli apa saja, namun karena Allah-lah yang mencukupi kita. Kuncinya bukanlah pada banyaknya harta, tapi pada tawakal kita kepada Allah Swt.

Keempat,panjang angan-angan, terus-menerus memikirkan apa yang tidak ada. Orang yang cinta dunia juga tidak pernah merasa puas atas apa yang dimilikinya. Baru saja punya mobil baru, sudah memikirkan model apa lagi yang akan keluar dan ingin membelinya. Padahal mobil yang baru dibeli juga baru dimulai cicilannya. Akhirnya, orang yang demikian menjadi jauh dari sikap syukur, yang terjadi malah terjerumus pada sikap kufur.

Demikianlah saudaraku, empat ciri dari penyakit cinta dunia. Bukan tidak boleh kita menguasai hal-hal yang duniawi, karena Allah menyediakan dunia seisinya adalah untuk kita kelola. Akan tetapi yang tidak boleh adalah jika duniawi ini membuat kita lupa pada Allah Swt., Dzat Yang Maha Kuasa yang telah menitipkannya kepada kita.

Apa saja yang kita miliki adalah sarana untuk semakin mengenal dan mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. Semoga kita jauh dari penyakit cinta dunia. [*]

 

 

sumber:Mozaik Islam

Hasan, Cucu Rasulullah yang Menyatukan Umat

SAHABAT Abu Bakrah mengisahkan, suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang memangku cucunya AlHasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahuanhuma.

Sambil memangku cucunya, beliau berbicara kepada kami. Sesekali beliau menghadap kepada kami, dan sesekali beliau mencium cucunya. Lalu beliau bersabda: “Sejatinya cucuku ini adalah seorang pemimpin besar. Dan bila ia berumur panjang, niscaya dia akan mempersatukan/mendamaikan antara dua kelompok ummat Islam yang sedang bertikai” (HR Ahmad dan lainnya).

Sungguh benar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Pada tahun 40 atau 41 Hijriyah, setelah melalui peperangan sengit antara pasukan sahabat Muawiyyah dan pasukan sahabat Al Hasan bin Ali Bin Ali Thalib, kebesaran jiwa Al Hasan cucu Nabi shallallahu alaihi wa sallam benar-benar terbukti. Dengan segala kebesaran jiwanya, beliau menyerahkan kepemimpinan umat Islam yang ada di tangannya kepada Muawiyyah, demi menyatukan umat Islam yang sedang berselisih ketika itu.