Irfan Hakim soal Anak Laki-lakinya Salat Pakai Mukena: Saya Malu

Ketenaran Irfan Hakim di panggung hiburan memang tak diragukan lagi. Hampir tak memiliki waktu kosong, ia kerap tampil sebagai host dalam beberapa acara televisi maupun off air. Belum lagi bisnis fashion yang digelutinya perlu perhatian khusus.

Akibatnya, ia pun lengah terhadap keluarganya, khususnya anak laki-laki semata wayangnya, Chafidz Djalu Hakim. Dalam satu kesempatan, ia mengajak keluarganya untuk salat berjemaah. Namun betapa kagetnya Irfan Hakim.

Djalu bukannya mengambil sarung dan kopiah, tapi mukena untuk salat, layaknya ibu serta kakak-kakaknya. Tentu saja itu membuat Irfan Hakim sedih.

Dalam rekaman singkat yang diunggah Irfan Hakim di akun Instagramnya, Kamis (15/6/2017), bapak empat anak ini menceritakan kelakuan Djalu yang membuatnya menangis tersedu.

Pada suatu ketika saya mengajak anak-anak salat berjamaah. anak saya terakhir, laki-laki, dia ngambil mukena untuk salat. karena dia tidak tahu kalau laki-laki salat tidak pakai mukena. Mungkin itu sesuatu yang lucu buat orang, tapi buat saya itu malu. Karena anak saya melihat orang ibadah dari ibunya saja di rumah,” ungkap Irfan Hakim.

Irfan Hakim menyadari kesalahan yang dibuatnya. Ia pun memutuskan untuk cuti dari pekerjaannya dan mengajak anak laki-laki semata wayangnya itu pergi ke masjid.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil cuti pekerjaan beberapa waktu untuk tinggal di rumah, salat bersama anak laki-laki saya. Pergi ke masjid,” lanjut dia.

Beberapa kali, Irfan Hakim pun mengunggah foto dirinya bersama Djalu pergi ke masjid untuk salat Jumat.

 

LIPUTAN 6

Tentang Masuk Islamnya Abu Hurairah

ADA yang bertanya, kapan Abu Hurairah masuk Islam? Ia mengaku membaca atau mendengar bahwa beliau masuk Islam sebelum peristiwa hijrah.

Ustaz Ammi Nur Baits, menjawab sbb:

Sebelumnya, kita perlu tahu sekelumit tentang latar belakang Abu Hurairah. Nama asli beliau Abdurrahman bin Shakr menurut pendapat yang paling kuat . Beliau berasal dari suku Daus dari Yaman. (Siyar Alam an-Nubala, 2/578).

Menurut banyak riwayat, orang yang mendakwahkan Islam di suku Daus adalah Thufail bin Amr ad-Dausi Radhiyallahu anhu, yang masuk Islam ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam masih di Mekah. Dan Abu Hurairah termasuk orang yang mengikuti ajakan Thufail.

Siapa Thufail ad-Dausi?

Sebelum menjawab kapan islamnya Abu Hurairah, terlebih dahulu kita buka identitas Thufail bin Amr ad-Dausi. Karena sosok beliau membantu menentukan masa Islamnya Abu Hurairah.

Dalam berbagai referensi sejarah, diantaranya at-Thabaqat al-Kubro karya Ibnu Sad, disebutkan biografi Thufail. Beliau adalah sosok yang terpandang, penyair ulung, sering dikunjungi orang. Beliau tiba di Mekah tahun ke-11 kenabian. Begitu tiba di Mekah, orang musyrikin menyambutnya, dan merekapun langsung mengingatkan beliau agar tidak dekat-dekat dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam,

Hai Thufail, kamu datang ke negeri kami. Di sini ada orang yang telah merepotkan kami, memecah belah persatuan kami, mengacaukan semua urusan kami. Ucapannya seperti sihir, bisa membuat seorang ayah membenci anaknya, seseorang benci saudaranya, dan suami istri bisa bercerai. Kami mengkhawatirkan kamu dan kaummu mengalami seperti apa yang kami alami. Karena itu, jangan sampai engkau mengajaknya bicara dan jangan mendengar apapun darinya.

Mereka terus-menerus mengingatkan Thufail, hingga beliau menyumbat telinganya dengan kapas ketika masuk Masjidil Haram. Ketika beliau masuk Masjidil Haram, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedang shalat. Hingga Allah takdirkan, beliau mendengar sebagian bacaan shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Beliau semakin penasaran dan akhirnya menemui Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Setelah diajarkan tentang islam dan dibacakan sebagian ayat al-Quran, Thufail terheran-heran, hingga beliau tertarik masuk Islam dan langsung bersyahadat di depan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meminta kepadanya untuk mendakwahkan Islam kepada kaumnya.

Beliau meminta suatu tanda. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendoakan, Ya Allah, berikanlah cahaya untuknya.

Allahpun memberikan tanda di depan dahinya. Namun Thufail khawatir, justru ini dianggap tanda buruk baginya. Kemudian cahaya itu dipindah ke ujung cemetinya. Cahaya ini menjadi penerang baginya di waktu malam yang gelap. (at-Thabaqat al-Kubro 4/237, ar-Rahiq al-Makhtum hlm. 105).

Ada dua pendapat ulama tentang kapan Abu Hurairah masuk Islam.

Pertama, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu masuk Islam di awal tahun 7 Hijriyah. Bertepatan dengan peristiwa perang Khaibar. Dan inilah keterangan yang masyhur dari berbagai ahli sejarah.

Ibnu Abdil Bar mengatakan,

Abu Hurairah dan Imran bin Husain masuk Islam di tahun Khaibar. (al-Istiab, 1/374).

Keterangan lain, dari al-Khithabi,

Abu Hurairah masuk Islam tahun 7 Hijriyah. Beliau datang ke Madinah, sementara Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam masih di Khaibar. Sementara Amr dan Khalid bin Walid tahun 6 Hijriyah. (Gharib al-Hadits, 2/485).

Keterangan Ibnul Atsir,

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu masuk Islam di tahun Khaibar, dan beliau ikut peristiwa Khaibar bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian selalu mendampingi Nabi dan selalu bersama beliau, karena keinginan untuk mendapatkan ilmu. Kemudian Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuknya. (Usud al-Ghabah).

Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa Abu Hurairah masuk Islam sebelum peristiwa Khaibar. Berikut beberapa keterangan mereka,

Ibnu Hibban,

Abu Hurairah masuk Islam di suku Daus. Kemudian beliau datang ke Madinah, sementara Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam teah berangkat menuju Khaibar. Ketika itu, yang bertanggung jawab terhadap kota Madinah adalah Siba bin Urfuthah al-Ghifari. Ditugaskan untuk menggantikan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Abu Hurairah shalat bersama Siba, kemudian menyusul Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ke Khaibar, dan ikut peristiwa Khaibar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. (Shahih Ibnu Hibban, 11/187).

Kemudian keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar, setelah beliau menceritakan islamnya Thufail,

Di kampung ad-Daus Thufail mendakwahkan kaumnya untuk masuk Islam, hingga ayahnya masuk Islam, namun ibunya menolak. Kemudian Abu Hurairah menerima ajakan beliau sendirian.

Menurut saya (Ibnu Hajar), ini menunjukkan bahwa Islamnya Abu Hurairah itu sejak awal. Bahkan Ibnu Abi Hatim menyebutkan bahwa Thufail datang ke Khaibar bersama Abu Hurairah. Seolah ini adalah kedatangan yang kedua. (Fathul Bari, 8/102)

Diantara ulama kontemporer yang menegaskan Islamnya Abu Hurairah sebelum peristiwa hijrah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah adalah al-Adzami. Dalam catatan kaki untuk Shahih Ibnu Khuzaimah, beliau mengatakan,

Abu Hurairah masuk Islam beberapa tahun sebelum peristiwa hijrah. Namun beliau hijrah di masa peritiwa Khaibar. Anda bisa lihat biografi Thufail bin Amr ad-Dausi di kitab al-Istiab dan kitab al-Ishabah. (Taliq Shahih Ibn Khuzaimah, 1/280).

Keterangan yang lain juga disampaikan Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam kitabnya Abu Hurairah, Rayatul Islam (Abu Hurairah, Bendera Islam),

Bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu anhu masuk Islam dari awal, ketika beliau masih di kampung halamannya, mengikuti ajakan Thufail bin Amr. Dan itu terjadi sebelum hijrahnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. (Abu Hurairah, Rayatul Islam, hlm 70).

Dari beberapa keterangan dan riwayat di atas, yang lebih mendekati, nampaknya Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, telah masuk islam ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam masih di Mekah. Hanya saja, beliau datang ke Madinah dan selalu menyertai Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika peristiwa perang Khaibar. Allahu alam. [konsultasisyariah]

Inilah.com

BPOM Perintahkan Mi Instan Korea Mengandung Babi Ditarik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan empat jenis mi instan asal Korea dinyatakan positif mengandung babi. Importir yang bersangkutan diperintahkan untuk melakukan penarikan produk-produk tersebut dari peredaran.

Keempat produk mengandung babi tersebut, yakni Mi Instan U-Dong dengan nama dagang Samyang, Mi Instan (Shin Ramyun Black) dengan nama dagang Nongshim, Mi Instan Rasa Kimchi dengan nama dagang Samyang, dan Mi Instan (Yeul Ramen) dengan nama dagang Ottogi. Keempat produk ini diimpor oleh PT Koin Bumi.  Hal itu tertera dalam surat perintah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor IN.08.04.532.06.17.2432 tertanggal 15 Juni 2017.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito, membenarkan informasi tersebut. “Iya, betul. Saya sudah menginstruksikan Kepala Balai di seluruh Indonesia, Balai POM kan ada di semua provinsi, sudah bergerak semua untuk menarik (produk tersebut),” kata Penny, kepada Republika.co.id, Ahad (18/6).

Penny menyatakan, BPOM sudah meminta Balai POM di seluruh Indonesia untuk melakukan pemantauan dan penarikan produk dari peredaran apabila masih ditemukan di pasaran. Target pemantauan meliputi importir, distributor, toko, supermarket, hipermarket, pasar tradisional, atau sarana distribusi ritel produk pangan lainnya.

BPOM juga melakukan pencabutan nomor izin edar karena produk tersebut tidak sesuai dengan ketentuan. Menurut Penny, pihak importir pada saat registrasi tidak menyampaikan bahwa produk yang mereka edarkan mengandung babi atau turunannya. Untuk keamanan masyarakat, BPOM akan memberikan peringatan publik terkait produk ini.

 

REPUBLIKA

Petunjuk Rasulullah untuk Meraih Lailatul Qadar

Sudah hampir separuh ibadah puasa dilalui Umat Islam. Itu artinya sebentar lagi bulan Ramadan akan berakhir. Belum tentu di tahun berikutnya, seseorang bisa mendapati kesempatan yang sama, yaitu mengerjakan puasa di siang hari dan diberi kesehatan untuk menyemarakkan malamnya dengan beribadah.

Karenanya, gunakanlah sisa waktu Ramadan ini dengan sebaik mungkin. Perbanyaklah ibadah dan amal shaleh.

Seperti mengutip laman Islami.co, Kamis (15/6/2017), menjelang akhir Ramadan, Rasulullah SAW biasanya lebih fokus beribadah, terutama di sepuluh malam terakhir. Hal ini sebagaimana yang disebutkan ‘Aisyah:

Doa Ingin Cepat Terkabul? Hindarilah Makanan Haram

DOA adalah senjata orang-orang yang beriman. Dalam hadis disebutkan, doa adalah inti ibadah, penghubung antara hamba dan Sang Khalik.

Terkadang suatu doa cepat pengabulannya, meski kerap kali pula pengabulannya lama atau bahkan tidak terjawab sama sekali. Mengapa?

Alkisah, seorang sahabat datang menghadap Baginda Rasululullah Saw. Dia mengadukan perihal doa-doanya yang tidak diijabah Allah SWT meski dia mengulangnya untuk waktu yang lama.

“Ya Rasulullah, saya ingin doa saya dikabulkan.” Sahabat itu mencari jalan keluar.

Rasul menjawab dengan sesuatu yang di luar perkiraannya. “Sucikan makananmu,” kata Rasul, “dan hindari memakan makanan haram.” [Islamindonesia]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2385475/doa-ingin-cepat-terkabul-hindarilah-makanan-haram#sthash.zmAAZ6a6.dpuf

Empat Aktivitas Menjemput Lailatul Qadar

Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, kaum Muslimin berlomba memenuhi masjid untuk menghidupkan Ramadhan yang sarat dengan keutamaan. Dan, salah satu keutamaan itu adalah malam kemuliaan (Lailatul Qadar).

Rasulullah SAW bersabda, “Carilah ia di sepuluh malam terakhir, carilah ia pada malam kedua puluh sembilan dan kedua puluh tujuh dan kedua puluh lima.” (HR Abu Dawud).

Aktivitas apa saja yang hendaknya dilakukan untuk menjemput Lailatul Qadar? Pertama, menghidupkan malam nya dengan imanan dan ihtisaban, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang shalat pada malam Lailatul Qadar berdasarkan iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan dilandasi rasa keimanan dan hanya mengharapkan ridha-Nya itulah, seseorang akan merasakan ketenangan, kelapangan dada, dan kelezatan dalam ibadahnya. Sub hanallah.

Kedua, memperbanyak doa. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengajarkan doa, “Allaahumma innaka ’afuwwun tuhibbul afwa fa’fu ’annii”. Ya Allah, sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Pemaaf, oleh karena itu maafkanlah aku. (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Tirmidzi).

Ketiga, memperbanyak tadarus Alquran. Sebab, malam Lailatul Qadar adalah malam turunnya Alquran. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran pada malam Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu (Muhammad) apa itu Lailatul Qadar. Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan.” (QS al- Qadar [97]: 1-3).

Keempat, beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Aisyah RA meriwayatkan, “Ketika Rasulullah SAW memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau mengemas sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.”

Terkait pengaruh yang dapat dirasakan bagi orang yang mendapatkan Lailatul Qadar, seorang ahli tafsir berpendapat, jika seseorang mendapatkan Lailatul Qadar, orang tersebut akan merasakan semakin kuatnya dorongan dalam jiwa untuk melakukan kebajikan pada sisa kehidupannya sehingga ia merasakan ketenangan hati, kelapangan dada, dan kedamaian dalam hidup. Allahu Akbar.

Dengan demikian, bagi setiap orang yang menginginkan meraih Lailatul Qadar agar menghidupkan malam itu dengan berbagai amal ibadah, seperti shalat malam, tadarus Alquran, zikir, doa, dan amalan saleh lainnya. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa meraih Lailatul Qadar itu. Amin. ¦

 

Oleh Imam Nur Suharno

REPUBLIKA


Baca juga:  Menjemput Lailatul Qodar

Kita Bisa Memiliki Pahala Melebihi Umat Nabi Sebelumnya

Umat Nabi Muhammad SAW adalah umat terakhir di muka bumi ini. Usia umat Rasulullah SAW ini, pendek-pendek. Bahkan, kalau kita melihat usia Nabi Muhammad SAW yang wafat di usia 63 tahun, maka usia manusia di akhir zaman ini  berada di sekitar 63 tahunan. Berbeda dengan umat nabi sebelumnya, yang bisa mencapai usia ratusan tahun.

Usia umat Nabi Muhammad SAW dibisa dibilang teramat pendek, sehingga kalau dihitung seberapa besar waktu yang digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT, pastinya pahala umat Rasulullah SAW  tak seberapa. Namun, bukan berarti umat Nabi Muhammad SAW tak bisa memiliki pahala melebihi yang terima umat-umat dari nabi sebelumnya.

Bersyukurlah kita yang menjadi umat Nabi Muhammad SAW, karena kasih sayang Allah-lah membuat umat Rasulullah SAW ini mempunyai kesempatan  memiliki pahala melebihi pahala yang diterima umat nabi-nabi sebelumnya. Salah satunya janji Allah SWT melalui Malam Lailatul Qodar, dimana pahala yang kita terima bisa berlipat-lipat.

 

Dari berbagai sumber

Taqwa: Infaq dan Istighfar di Waktu Sahur

Salafush sholeh tidak hanya berlomba-lomba dalam aspek kesalehan individual, namun juga dalam aspek kesalehan sosial

Allah Ta’ala berfirman:

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ

yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu Sahur. (QS. Ali Imron [3]: 17)

Tafsir ayat

Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat tersebut – selain ayat ke-16 – menggambarkan sifat-sifat hamba Allah yang bertaqwa. Dua di antara karakteristik yang disebut ayat itu adalah munfiiqin (orang-orang yang berinfaq) dan mustaghfiriin bil ashaar (orang-orang yang memohon ampun di waktu Sahur, yakni penghujung malam sebelum fajar/Subuh). Menurutnya, tafsir kata al-munfiqiin adalah menafkahkan sebagian dari harta mereka di jalan-jalan ketaatan yang diperintahkan kepada mereka, silaturahmi, amal taqarrub, memberikan santunan, dan menolong orang-orang yang membutuhkannya. Sedangkan ketika menafsirkan mustaghfiriin bil ashaar beliau mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan keutamaan beristigfar di waktu Sahur.

Munasabah ayat

Ayat-ayat yang senada dengan ayat ke-17 dari suroh Alu Imron adalah ayat ke-18 dan 19 dari suroh Adz-Dzaariyaat.

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 18)

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 19)

 

Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ke-19 di atas mengatakan, setelah Allah Ta’ala menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan shalat malam (dan ditutup dengan memohon ampun di waktu Sahur), lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi.

Tadabbur ayat

Dari kedua kelompok ayat itu dapat diketahui bahwa:

Pertama, karakteristik orang bertaqwa meliputi dua aspek kesalehan: individual dan sosial. Bukan hanya satu aspek saja, individual saja, atau sosial saja. Kedua aspek ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang.

Salah satu karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan individual adalah memohon ampun di waktu Sahur. Mereka memohon ampun di waktu Sahur setelah sebelumnya “mereka sedikit sekali tidur di malam hari” sebagaimana disebutkan dalam ayat ini:

كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ

Mereka (dulu ketika di dunia) sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 17).

Al-Hasan Al-Basri ketika menjelaskan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam mengatakan mereka melakukan shalat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka tidak tidur di malam hari kecuali hanya sedikit. Mereka mengerjakannya dengan penuh semangat hingga waktunya memanjang sampai waktu Sahur, sehingga bacaan istigfar mereka dilakukan di waktu Sahur.

Sedangkan karakteristik orang bertaqwa dalam aspek kesalehan sosial di antaranya adalah berinfaq dan bersedekah. Dalil lain dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa aspek kesalehan sosial merupakan salah satu sifat orang bertaqwa adalah ayat ke-17 dan 18  dari suroh Al-Lail.

Kedua, kedua aspek ini merupakan kunci masuk surga. Bukan salah satu aspek saja, indivual saja, atau sosial saja. Hubungan erat antara kesalehan indivual dan kesalehan sosial yang merupakan kunci masuk surga ini juga dapat diketahui dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut:

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا، وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا“. فَقَالَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ: لِمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “لِمَنْ أَلَانَ الْكَلَامَ، وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَبَاتَ لِلَّهِ قَائِمًا، وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya dapat dilihat dari bagian luarnya. Abu Musa Al-Asy’ari Ra. bertanya, “Wahai Rasulullah, untuk siapakah kamar-kamar itu?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam menjawab: Untuk orang yang lembut dalam tutur katanya, dan gemar memberi makan (fakir miskin), serta melakukan salat malam harinya karena Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya.” (HR. Imam Ahmad)

 

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وصِلُوا الْأَرْحَامَ، وَأَفْشُوا السَّلَامَ، وصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia, berilah makan, hubungkanlah tali persaudaraan, sebarkanlah salam, dan shalatlah di malam hari pada saat manusia lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan selamat.”

Sedangkan salah satu dalil dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa kesalehan sosial bisa menjauhkan diri dari neraka – yang berarti membuat diri masuk surga – adalah ayat ke-17 dan 18 dari Suroh Al-Lail.

 

Teladan salafush sholeh dalam beristighfar di waktu Sahur

Salafush sholeh begitu berusaha sungguh-sungguh memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur. Berikut adalah sebagian kisah mereka. 

Abdullah ibnu Umar sesuai salam dari shalat malam bertanya, “Hai Nafi’, apakah waktu Sahur telah masuk?” Apabila dijawab ya maka ia mulai berdo’a dan memohon ampun hingga waktu Subuh.

Ibnu Mas’ud Ra. ketika suatu malam berada di salah satu bagian dalam masjid terdengar mengucapkan do’a berikut: Ya Tuhanku, Engkau telah memerintahkan kepadaku, maka aku taati perintah-Mu; dan inilah waktu sahur, maka berikanlah ampunan bagiku

Anas ibnu Malik Ra. mengatakan bahwa kami (para sahabat) bila melakukan shalat malam diperintahkan untuk melakukan istighfar di waktu Sahur sebanyak tujuh puluh kali.

 

Teladan salafush sholeh dalam bersedekah dan berinfaq

Salafush sholeh tidak hanya berlomba-lomba dalam aspek kesalehan individual, namun juga dalam aspek kesalehan sosial. Begitu banyak kisah mereka dalam hal ini, salah satunya adalah “perlombaan” menginfaqkan harta untuk fi sabilillah antara Abu Bakar Ra. – yang menginfaqkan seluruh hartanya – dan Umar bin Khoththob Ra. – yang menginfaqkan separoh hartanya .

Berjihad, istiqomah dan dampaknya

Ramadhan adalah madrasah untuk melatih diri berjihad (berusaha sungguh-sungguh) untuk memanfaatkan akhir malam hingga waktu Sahur, dan berjihad untuk tetap istiqomah. Diharapkan ketika lulus dari madrasah ini para lulusannya memiliki kebiasaan Qiyamul lail untuk menghidupkan kehidupan malamnya dengan bermunajat kepada Robbnya. Jika demikian halnya insya Allah ketaqwaan  – yang meliputi kesalehan individual dan sosial – yang melekat para diri mereka akan terus mengalami peningkatan sepanjang tahun. Ini berarti mereka telah memiliki kunci masuk surga.  Wallahu a’lam bish-showab.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa, Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

 

 

HIDAYATULLAH

Allah Kabulkan Do’a Orang yang Berpuasa

Tiga macam do’anya yang tidak ditolak; doa imam yang adil, doa orang puasa hingga berbuka, dan do’a orang yang teraniaya

 

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 186)

Asbabun Nuzul dan tafsir

Sebuah riwayat mengatakan, ayat ini turun untuk merespon pertanyaan dari sekelompok orang yang bertanya tentang waktu yang lebih tepat untuk berdo’a. Pertanyaan ini muncul ketika turun ayat ke-60 dari suroh Al-Mu’min.

Ayat ini menyebutkan bahwa Allah Ta’ala dekat dengan hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat kepada-Nya ketika mereka berdo’a, menganjurkan kepada mereka untuk berdo’a, serta berjanji mengabulkan do’a-do’a yang mereka panjatkan.

Ayat di atas sesuai dengan sebuah hadits Qudsi berikut:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي

“Aku menurut prasangka hamba-Ku mengenai diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku.” (HR. Ahmad)

Berkenaan dengan ayat ini Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah Ta’ala tidak akan mengecewakan do’a orang yang memanjatkan do’a kepada-Nya dan tidak sesuatu pun yang menyibukkan Dia, bahkan Dia Maha Mendengar do’a. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk berdo’a, dan bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan do’a yang dipanjatkan kepada-Nya.

Ayat di atas senada dengan ayat ke-60 dari suroh Ghofir/Al-Mu’min. Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ini merupakan sebagian dari karunia dan kemurahan Allah Ta’ala. Dia Ta’ala menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk berdo’a kepada-Nya dan Dia Ta’ala menjamin akan mengabulkan do’a mereka.

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut ini menegaskan hal tersebut.

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيَسْتَحْيِي أَنْ يَبْسُطَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ فِيهِمَا خَيْرًا فَيَرُدُّهُمَا خَائِبَتَيْنِ.

Sesungguhnya Allah Swt benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa. (HR. Ahmad)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يعجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدّخرها لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَاقَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: “اللَّهُ أَكْثَرُ

“Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu do’a kepada Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah memberinya salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: permohonannya itu segera dikabulkan, permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya dan kelak (akan diberikan kepadanya) di akhirat, dan adakalanya (diberikan dalam bentuk) dipalingkannya dirinya dari suatu keburukan yang senilai dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat) berkata, “Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa.” Nabi Saw. menjawab, “Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa).”  (HR. Ahmad).

Beragam waktu mustajab

Ada beberapa syarat dan kondisi yang mesti dipenuhi agar do’a dikabulkan, salah satunya adalah berdo’a di waktu-waktu mustajab. Sepanjang tahun ada begitu banyak waktu mustajab, ada yang bersiklus harian, mingguan dan tahunan. Yang bersiklus harian  seperti sepertiga malam terakhir, antara adzan dan iqomah, ketika sujud dalam shalat, dan ketika selesai dari shalat lima waktu. Yang mingguan seperti hari Jumat. Adapun yang tahunan seperti hari Arofah.

Di dalam bulan Ramadhan tentu terdapat waktu mustajab harian dan mingguan seperti tersebut di atas. Selain itu Ramadhan memiliki waktu-waktu mustajab khusus dan istimewa seperti ketika berpuasa hingga berbuka.

Ramadhan: Bulan Mustajab

Dengan demikian tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Ramadhan adalah Bulan Do’a dan sekaligus Bulan Mustajab, dimana setiap Mukmin dan Mukminah ketika berpuasa mendapatkan satu keistimewaan, yakni memiliki waktu mustajab istimewa. Istimewa karena hanya sebulan dalam setahun, berdurasi panjang yakni dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan sebulan penuh.

Ini adalah kesempatan emas bagi mereka untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas do’a, apapun isi do’anya sepanjang yang dibenarkan agama, seperti memohon diterimanya semua ibadah dan amal sholeh, memohon kebaikan dunia dan akhirat, memohon ampun untuk diri sendiri dan ayah ibu, dan memohon kebaikan untuk saudara-saudaranya seiman.

Jika mereka memanfaatkan kesempatan emas ini – dan memenuhi syarat dan kondisi lainnya terkabulnya do’a – maka do’a-do’a mereka tidak ditolak.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حتى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَيَقُولُ: “بعزتي لأنصرنك ولو بعد حين.

“Ada tiga macam orang yang do’anya tidak ditolak, yaitu imam yang adil, orang puasa hingga berbuka, dan do’a orang yang teraniaya diangkat oleh Allah sampai di bawah awan di hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya semua pintu langit, dan Allah berfirman, “Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu, sekalipun sesudahnya.” (HR. Ahmad, Turmudzi, Nasai dan Ibnu Majah)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam juga menyatakan bahwa di bulan Ramadhan Allah Ta’ala mengabulkan do’a setiap Muslim.

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a, akan dikabulkan.” (HR. Al-Bazaar)

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al-Majmu’ menyatakan bahwa disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk memperbanyak do’a demi urusan akhirat dan dunianya, juga boleh berdo’a untuk hajat yang diinginkannya, serta jangan melupakan mendo’akan kebaikan untuk kaum Muslimin secara umum.

Mengingat Ramadhan adalah Bulan Do’a dan Bulan Mustajab maka logis jika letak ayat yang menyatakan Allah Ta’ala itu dekat, menganjurkan berdo’a,  dan mengabulkan do’a tersebut berada di antara ayat-ayat tentang Ramadhan, yakni QS. 2: 183 hingga 187. Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa penyisipan ayat yang mendorong untuk berdo’a ini ke dalam kelompok ayat tentang hukum-hukum puasa ini mengandung petunjuk agar bersungguh-sungguh dalam berdo’a ketika berpuasa, dan bahkan ketika berbuka.

Raih hasilnya!

Ketika kita berpuasa hingga saat berbuka selama Ramadhan ini mari tingkatkan kualitas dan kuantitas do’a kita kepada Allah Ta’ala. Insya Allah dengan demikian harapan-harapan kita bisa terealisasi, apapun bentuknya dan entah kapan. Namun demikian yang terpenting adalah berkat do’a-do’a tersebut semoga kesalehan individual dan juga kesalehan sosial kita meningkat kualitasnya secara signifikan hari demi hari di Bulan Mustajab ini dan ketika Bulan Mustajab telah usai. Aamiin. Wallahu a’lam bish-showab.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa, Anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur

 

HIDAYATULAH

Ramadhan: Momentum Swa-Hisab Harta

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan kamu membawa harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188)

Ayat di atas adalah satu dalil naqly diharamkannya hidup dari harta yang diperoleh dengan cara bathil. Salah satu arti bathil dari segi bahasa adalah dzulm (kedzaliman).

Assa’di di dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat tersebut menyebutkan bahwa ada dua cara memperoleh harta: dengan cara yang bathil (buruk, tidak sah) dan dengan cara yang haq (benar).

Sedang tafsir dari kata bathil menurut kitab tafsir Jalalain adalah haram menurut syari’at. Lebih lanjut disebutkan di dalam kitab itu contoh cara bathil memperoleh harta, yaitu mencuri, mengintimidasi, dan lain-lain.

Di dalam kitab At-Tafsir Al-Muyassar disebutkan cara-cara bathil memperoleh harta, yaitu mengucapkan sumpah palsu demi memperoleh harta, mencuri, ghasab (merampas, menjambret, mengambil tanpa izin), risywah (suap, korupsi), dan riba. Selain itu juga mengajukan klaim, keterangan, kesaksian atau bukti palsu di depan hakim dengan tujuan agar bisa memanfaatkan harta yang bukan hak miliknya atau menjadikannya sebagai hak miliknya.

Ayat ke-188 dari surat al-Baqarah tersebut didahului oleh satu ayat yang mengatur beberapa ketentuan tentang puasa bulan Ramadhan.

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Di dalam kedua ayat tersebut ada satu kata dasar yang sama yakni kata akala (makan, menghabiskan, mengonsumsi). Pada ayat ke-187, dalam bentuk perintah, yakni kuluu (makanlah kamu sekalian) yang berarti kalian boleh makan di malam hari hingga terbit fajar. Sedang pada ayat ke-188, dalam bentuk larangan, yakni laa ta’kuluu yang berarti janganlah kalian mengonsumsi harta haram.

Dari penggabungan kedua ayat yang berdekatan tersebut tersirat sebuah pesan yang sangat penting bahwa bulan suci Ramadhan adalah momentum untuk melakukan swa-hisab (swa-perhitungan) harta yang telah diperoleh. Jika ada sebagian harta yang didapat dari cara yang bathil, maka mendesak untuk menjadikan Ramadhan sebagai training sekaligus starting point untuk berhenti melakukan cara-cara yang bathil dalam memperoleh harta.

Waktu sahur adalah waktu yang barokah. Makanan dan minuman sahur juga barokah. Sementara itu, orang yang makan sahur mendapatkan ucapan sholawat dari Allah dan Malaikat-Nya.

Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُحُوْرِ بَرَكَةً

“Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (HR. al-Bukhari, 1923 dan Muslim, 1095)

السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَمَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ

“Sahur, makanannya adalah berkah. Maka, janganlah kalian tinggalkan, walaupun hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya, Allah dan Malaikat-Nya ber-shalawat kepada orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad)

Sangat tidaklah pantas jika menu yang disediakan pada waktu sahur berasal dari harta yang didapat dengan cara bathil. Patutlah bagi yang mereka yang mengonsumsi menu sahur dari harta yang diperoleh dengan cara-cara bathil merasa berdosa dan merasa malu pada Allah dan dirinya sendiri.

Ramadhan merupakan bulan Tarbiyah (pendidikan) dan Ikhtibar (ujian) untuk menempa diri menjadi pribadi yang bertaqwa (QS. 2:183). Menurut ayat ke-133 dan 135 dari Surah Ali Imron, salah satu karakteristik orang-orang bertaqwa adalah jika tergelincir mengerjakan perbuatan faakhishah (buruk) yakni dosa besar serta perbuatan mendzolimi diri sendiri maka mereka (bersegera) menyesal, bertaubat, ingat kepada Allah , dan memohon ampun kepada Allah .

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. “ (QS: Ali Imron [3]: 133)

Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imron [3]: 135).

Dalam sebuah hadits muttafakun ‘alaih disebutkan bahwa mengsonsumsi harta riba dan harta anak yatim.termasuk dosa besar.

Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

“Jauhilah olehmu tujuh hal yang membinasakan, mereka bertanya: wahai Rasulullah, apa saja itu? Beliau menjawab: “yaitu menyekutukan Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari barisan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita Mu’minah yang suci yang alpa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di dalam kitabnya “Al-Kabaair”, Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa dari tujuh puluh enam dosa besar ada sebagian dosa besar yang berkaitan harta, yakni mengonsumsi harta riba, menggunakan harta anak yatim yang diambil secara dzolim, dzolim dalam mengambil harta orang lain dengan cara bathil, mengurangi timbangan, mencuri, merampok, berjudi, dan menerima suap. Serta curang dalam membagi dan menerima harta ghonimah, harta dari Baitul MaaI dan zakat.

Semoga kita keluar dari bulan Tarbiyah dan Ikhtibar ini sebagai lulusan yang hidup hanya dari harta yang didapatkan dengan cara-cara yang haq, yakni halal. Semoga kelak setelah menjalani proses pengadilan di Yaumul Hisab (Hari Perhitungan) kita keluar darinya berhak sebagai Ahlul Jannah (penduduk surga). Aamin. Wallahu a’lam.*

Oleh: Abdullah al-Mustofa, Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kediri Jatim

HIDAYATULLAH