Jika Hati Baik, …

Jika hati baik, maka baiklah anggota badan yang lain. Jika hati rusak, maka rusak pula yang lainnya. Baiknya hati dengan memiliki rasa takut, rasa cinta pada Allah dan ikhlas dalam niat. Rusaknya hati adalah karena terjerumus dalam maksiat, keharaman dan perkara syubhat (yang masih samar hukumnya).

 

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

 

 

Tergantung pada Baiknya Hati

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengisyaratkan bahwa baiknya amalan badan seseorang dan kemampuannya untuk menjauhi keharaman, juga meninggalkan perkara syubhat (yang masih samar hukumnya, -pen), itu semua tergantung pada baiknya hati. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 210.

Para ulama katakan bahwa walaupun hati (jantung) itu kecil dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain, namun baik dan jeleknya jasad tergantung pada hati. (Lihat Syarh Muslim, 11: 29).

Para ulama katakan bahwa hati adalah malikul a’dhoo (rajanya anggota badan), sedangkan anggota badan adalah junuduhu (tentaranya). Lihat Jaami’ul ‘Ulum, 1: 210.

 

Letak Jalan Berpikir adalah Di Hati

Hadits ini juga merupakan dalil bahwa akal dan kemampuan memahami, pusatnya adalah di hati. Sumbernya adalah di hati, bukan di otak (kepala). Demikian disimpulkan oleh Ibnu Batthol dan Imam Nawawi rahimahullah.

 

Apa yang Dimaksud Baiknya Hati?

Para ulama berselisih pendapat mengenai maksud baiknya hati, berikut pendapat yang ada:

  1.  Yang dimaksud baiknya hati adalah rasa takut pada Allah dan siksanya.
  2. Yang dimaksud adalah niat yang ikhlas karena Allah, ia tidak melangkahkan dirinya dalam ibadah melainkan dengan niat taqorrub pada Allah, dan ia tidak meninggalkan maksiat melainkan untuk mencari ridho Allah.
  3. Yang dimaksud adalah rasa cinta pada Allah, juga cinta pada wali Allah dan mencintai ketaatan.

Intinya, ketiga makna ini semuanya dimaksudkan untuk baiknya hati. Demikian penjelasan guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 68-69.

 

Bagaimana Cara Baiknya Hati?

Guru kami, Syaikh Sholih Al Fauzan semoga Allah memberkahi umur beliau dalam kebaikan dan ketaatan- mengatakan, “Baiknya hati adalah dengan takut pada Allah, rasa khawatir pada siksa-Nya, bertakwa dan mencintai-Nya. Jika hati itu rusak, yaitu tidak ada rasa takut pada Allah, tidak khawatir akan siksa-Nya, dan tidak mencintai-Nya, maka seluruh badan akan ikut rusak. Karena hati yang memegang kendali seluruh jasad. Jika pemegang kendali ini baik, maka baiklah yang dikendalikan. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh yang dikendalikan. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah meminta pada Allah agar dikaruniakan hati yang baik. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh urusannya. Sebaliknya, jika rusak, maka tidak baik pula urusannya.” (Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 109).

Karenanya, yang sering Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– minta dalam do’anya adalah agar hatinya terus dijaga dalam kebaikan. Beliau sering berdo’a,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,

يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا

“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad 3: 257. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat sesuai syarat Muslim).

 

Bagaimana Hati Bisa Rusak?

Syaikh Sholih Al Fauzan mengutarakan bahwa rusaknya hati adalah dengan terjerumus pada perkara syubhat, terjatuh dalam maksiat dengan memakan yang haram. Bahkan seluruh maksiat bisa merusak hati, seperti dengan memandang yang haram, mendengar yang haram. Jika seseorang melihat sesuatu yang haram, maka rusaklah hatinya. Jika seseorang mendengar yang haram seperti mendengar nyanyian dan alat musik, maka rusaklah hatinya. Hendaklah kita melakukan sebab supaya baik hati kita. Namun baiknya hati tetap di tangan Allah. Lihat Al Minhah Ar Robbaniyah, hal. 110.

Moga setiap langkah kita senantiasa berada di atas kebaikan.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Aku tidaklah memandang dengan pandanganku, tidak pula mengucap dengan lisanku, begitu pula tidak menyentuh dengan tanganku, dan tidak bangkit untuk melangkahkan kakiku melainkan aku melihat terlebih dahulu apakah ini semua dilakukan karena ketaatan ataukah maksiat. Jika dalam ketaatan, barulah aku mulai bergerak. Jika dalam maksiat, aku pun enggan.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 213).

Ya muqollibal quluub, tsabbit quluubana ‘ala tho’atik (Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas ketaatan). Wallahul muwaffiq.

RUMAYSHO

Selfie di Depan Ka’bah: Semoga tak Menjelma Stupid Man, Smart Phone!

Lengan Abdul Rahman telulur ke depan. Setela itu telepon genggamnya disapunya. Posisi badannya kemudian diluruskan dengan pemandngan suasana Masjidil Haramam Makkah. Setelah itu dipencet tombol kamera telepon genggamnya. Jepret. Maka sebuah gambar foto dirinya dengan latar belakang Ka’bah bisa diunggahnya.

Rahman girang bukan kepalang. Dia bayangkan Nabil anaknya yang baru berisuai 18 tahun dan berada ribuan kilometer jauhnya dan berada di benya lain. Ia yakin anaknya akan senang melihat foto yang akan dikirimkan melalui applikasi di telepon selularnya itu. Tak hanya foto Rahman juga mengirimkan tayangan video tentan kegiatan dirinya dirinya ketika di tanah suci.

“Suatu hari saya berharap bisa melakukan ziarah,” katanya di layar telepon seluluarnya. Ayahnya tersenyum lebar, anaknya pun tersenyum lebar juga.

Abdul Rahman adalah satu dari lebih dari 1,7 juta peziarah asing yang bepergian ke Makkah untuk berhaji pada tahun 2017. Bagi dia, dan  umat beriman lainnya haji adalah perjalanan spiritual yang sangat dalam, yang selama berabad-abad oleh setiap Muslim yang ‘mampu’ telah diminta untuk melakukan setidaknya sekali seumur hidup.

Nah, di era smartphone, media sosial dan live video streaming sekarang ini, pengalaman spiritual ini bisa dibagikan secara real time.

“Saya menunjukkan kepadanya hidup,  betapa bahagianya kita, betapa beruntungnya kita,” kata Abdul Rahman seraya memamerkan imo, aplikasi yang dia gunakan untuk melakukan video call.

Tak hanya Rahan, dii seantero kota Makkah, para peziarah yang datang dari seluruh dunia dapat melihat suasana kota suci ini dengan melalui telepon selular yang ada lengan mereka yang diperpanjang dengan tongkat selfie. Mereka memamerkan lingkungan baru mereka kepada teman dan keluarga yang berada di rumah.

Agen perjalanan yang bertugas mengatur perjalanan ke haji sekarang pun memberi fasilitasnya. Mereka menawarkan paket internet yang melalui mobile internet sehingga mereka dapat menghindari biaya roaming.

Di sebuah pusat perbelanjaan tempat rombongan pejiarah haji membeli suvenir, tampak satu peziarah sedang memindai gambar di teleponnya.

Dia berhenti di selfie dan ragu-ragu – apa efeknya untuk memilih, hitam-putih atau retro? Dia meletakkannya saat panggilan untuk mendengarkan suara dan para peziarah menggelar karpet mereka di antara eskalator dan butik untuk berdoa.

Kemudian, di lantai atas pusat perbelanjaan, Mohammed Ismaelzad, seorang peziarah berusia 26 tahun dari Mali, melihat dari atas gambar di teleponnya, memutuskan mana yang akan diposkan di akun Instagram atau Facebook-nya.

Dia memiliki foto-foto Masjidil Haram dan Ka’bah, Dia memiliki video Tawaf, saat peziarah mengelilingi Ka’bah tujuh kali berlawanan arah jarum jam, dan dia lebih banyak mempunyai berbagai foto ketika jamaah haji tengah shalat secara massal.

“Melali foto ini mereka tidak hanya akan memberikan kenangan akan perjalanannya, namun memberi kesempatan kepada orang lain untuk melihatnya,’’ kata Ismaelzad.

“Banyak sekai teman saya di negara saya, tidak bisa datang ke sini. Jadi mereka bisa melihat situasi kita dis ini melalui kiriman gambarnya,” kata Ismaelzad yang mengenakan  syal keffiyeh hitam-putih dengan meilitkan di lehernya.

“Mereka hanya melihat di TV, tapi dengan foto saya mereka akan melihat sudut lain, seperti dari sudut saya saat saya melakukan sholat,” ujarnya lagi.

Saat malam tiba, para peziarah berkumpul di pelataran terbuka Masjidil Haram untuk berbaur, seperti dua orang sepupu Mohammed dan Abdelaziz Zahran, berusia 19 dan 20 tahun. Dan tentu saja momen itu juga digunakan oleh dua anak muda ini untuk melakukan selfie.

“Anda bisa melihat segala macam kebangsaan, Anda bergaul dengan orang lain, terkadang kami mencoba untuk berbicara dengan mereka. Dan tentu saja kami melakukan selfie,” kata Abdelaziz.

Bagi jamaah yang berkesempatan menunaikan ibadah haji dan umrah adalah kesempatan yang patut disyukuri dengan penuh sukacita. Tentu saja, akan lebih penuh arti bila ibadah ini mampui menuai kesempurnaan dan ampunan, yakni menjadi haji yang mabrur.

Dan seiring dengan perkembangan teknologi, setiap orang atau jamaah saat pergi berhaji pasti sudah menyediakan berbagai peralatan untuk mengabadikan perjalanan sucinya itu. Kecanggihan teknologi telepon seluler adalah alat utama untuk merekam berbagai aktivitas jamaah, baik dalam bentuk foto maupun rekaman video.

Ibaratnya, hanya dengan mengeklik telepon seluler semua aktivitas ketika di Tanah Suci bisa langsung terlihat dan dapat segera diunggah ke media sosial yang saat ini tengah menjadi tren masyarakat Indonesia.

“Tapi ingat, hati-hati bila berfoto ria dan melakukan selfie (swafoto) ketika mengenakan pakaian ihram,’’ begitu nasihat seorang petugas pembimbing jamaah haji pada sebuah travel yang ada di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Nasihat agar berhati-hati ketika melakukan selfie saat mengenakan umrah memang terasa mengejutkan. Sebab, pada waktu kepergian umrah sebelumnya nasihat ini belum ada.

“Apa jadinya ketika tengah mengenakan ihram Anda berfoto selfi dan tanpa sadar anda memperlihatkan aurat yang seharusnya tak boleh terbuka. Celakanya, foto Anda mengenakan ihram itu sudah keburu diunggah ke media massa sehingga seluruh dunia bisa melihatnya. Nah, berapa besar nilai dham bila dibandingkan masa lalu, di mana aurat Anda saat itu hanya dilihat oleh beberapa orang saja?’’ ujarnya.

Kejidan ini patut diperhatikan karena kini memang banyak jamaah haji masa kini yang terkena sindrom “baper selfie” (ke mana-mana bawaan perasaannya ingin berfoto dan ber-selfie ria).

Melihat gairah selfie yang begitu hebat ini, apalagi  kinipun  sudah muncul larangan dari pemerintah Arab Saudii agar jamaahh tidak berselfie ria dia Masjidil Haram, mudah-mudahan selfie menjadi bisa teratur dan menggangu ibadah jamaah.

Dan harapannya pula selfie tidak menjelma menjadi menjadi perlaku yang tak beradab sehingga membenarkan apa yang menjadi tagline tayangan di chanel TV kabel History: Stupid man, smart phone (orang bebal untuk ponsel yang pintar)!

 

IHRAM

Empat Tanda Orang Celaka dan Bahagia

Dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad karangan Imam Nawawi Al-Bantani disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tanda orang celaka ada empat yaitu :

pertama, melupakan dosa-dosa masa lalu padahal semuanya tercatat dengan rapi di sisi Allah.

Kedua, mengenang kebaikan di masa lalu padahal belum diketahui diterima Allah atau tidak.

Ketiga, Dalam urusan dunia selalu memandang ke yang lebih atas.

Keempat, dalam urusan agama selalu memandang ke yang lebih rendah.

Kemudian disebutkan pula, tanda orang bahagia juga ada empat. Pertama, mengingat dosa-dosa yang telah lalu. Kedua, melupakan kebaikan yang pernah ia lakukan.

Ketiga, dalam urusan agama senang melihat kepada orang yang lebih tinggi (dalam ibadah dan ketaatannya kepada Allah). Keempat, dalam urusan dunia senang melihat kepada orang yang lebih rendah (sehingga mendorongnya untuk lebih mensyukuri nikmat-Nya).”

Marilah kita merenung, di manakan kita  di antara kedua tanda tersebut? Apabila memang kita lebih cenderung kepada sifat-sifat yang celaka maka tidak ada salahnya untuk mengakui. Karena pengakuan adalah langkah awal untuk memperbaiki diri.

1. Tanda celaka yang pertama adalah melupakan dosa-dosa yang telah lalu. Kita sebagai manusia yang seringkali lalai, bukan saja melupakan dosa yang telah lalu bahkan kita acapkali tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan menambah pundi dosa kita.

Atau malah  kita sudah tahu bahwa yang kita lakukan adalah dosa, namun tetap saja kita melakukannya. Seakan-akan kita meremehkan balasan yang pasti akan kita terima di akhirat. Maka, mengingat dosa akan menghentikan niat buruk kita sekaligus menjadi motivator dalam menambah pundi pahala.

2. Tanda celaka kedua adalah mengenang kebaikan di masa lalu. Adanya perasaan ini di dalam hati manusia adalah bukti nyata tentang liciknya syaitan. Syaitan pernah berjanji untuk selalu menggoda manusia yang disebutkan Allah dalam banyak ayat, salah satunya dalam surat Al-A’rof : 17. “Kemudian saya akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

Ketika manusia akan melakukan kebaikan, syaitan dengan berbagai caranya menggoda manusia untuk gagal melakukannya. Namun ketika manusia berhasil mengalahkan bisikan syaitan dengan tetap melakukan kebaikan, syaitan menggoda manusia dengan cara yang lain. Dibisikkanlah ke dalam hati manusia rasa bangga dengan kebaikannya. Sehingga muncullah bangga diri. Muncullah rasa lebih baik daripada orang lain.  Astaghfirullahal’adzim.

Dalam hal ini, menyadari bahwa amalan kita belum tentu diterima Allah memiliki peranan penting dalam menundukkan rasa ujub dan takabbur.

3. Tanda celaka ketiga adalah dalam urusan dunia selalu memandang kapada yang lebih atas. Sehingga jiwa tidak tenang dan selalu merasa kurang. Yang teringat hanyalah kekurangan dan serba kekurangan. Padahal, nikmat dari Allah adalah tidak terkira. “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). QS. Ibrahim : 34.

4. Dan yang tanda celaka yang terakhir adalah dalam urusan ibadah selalu melihat kepada yang lebih rendah. Orang yang seperti ini akan menjadi orang sombong yang merasa telah melakukan banyak. Padahal (lagi-lagi) kita tidak tahu apakah amal kita diterima Allah atau tidak. Maka, semoga kita dapat menjauhi tanda celaka dan mengamalkan tanda bahagia.

Wallahua’lam.

 

Oleh Soraya Khoirunnisa

REPUBLIKA

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Menjaga Lisan Agar Selalu Berbicara Baik

Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]

Dalam ayat lain disebutkan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]

Allah juga berfirman.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]

Begitu juga firman Allah Ta’ala.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]

Dala kitab Shahih Muslim hadits no. 2589 disebutkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَأكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ اَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنَّ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِاغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَهُ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah ?” Para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui. “Beliau berkata, “Ghibah ialah engkau menceritakan hal-hal tentang saudaramu yang tidak dia suka” Ada yang menyahut, “Bagaimana apabila yang saya bicarakan itu benar-benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Bila demikian itu berarti kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, sedangkan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada padanya, berarti kamu telah berdusta atas dirinya”

Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” [Al-Israa : 36]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُم ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ سَيْئًا وَأَنْ تَعتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّ قُواوَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَشْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta” [1]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَمَحَااَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِيْنَا هُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِيْنَا هُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِيْنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِيْنِاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِيْنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوِى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّ بُهُ

“Setiap anak Adam telah mendapatkan bagian zina yang tidak akan bisa dielakkannya. Zina pada mata adalah melihat. Zina pada telinga adalah mendengar. Zina lidah adalah berucap kata. Zina tangan adalah meraba. Zina kaki adalah melangkah. (Dalam hal ini), hati yang mempunyai keinginan angan-angan, dan kemaluanlah yang membuktikan semua itu atau mengurungkannya” [2]

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim no.64 dengan lafaz.

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.

Hadits diatas juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir hadits no. 65 dengan lafaz seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadits tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang apa yang telah lalu, yang sedang terjadi sekarang dan juga yang akan terjadi saat mendatang. Berbeda dengan tangan. Pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh tulisan”.

Oleh karena itu, dalam sebuah sya’ir disebutkan :

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tangannku kan abadi

Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”

Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”

Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini ketika menjelaskan hadits-hadits Arba’in. Beliau menjelaskan, “Imam Syafi’i menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah apabila seseorang hendak berkata hendaklah ia berpikir terlebih dahulu. Jika diperkirakan perkataannya tidak akan membawa mudharat, maka silahkan dia berbicara. Akan tetapi, jika diperkirakan perkataannya itu akan membawa mudharat atau ragu apakah membawa mudharat atau tidak, maka hendaknya dia tidak usah berbicara”. Sebagian ulama berkata, “Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara”.

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6477 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 2988 [3] dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat”

Masalah ini disebutkan pula di akhir hadits yang berisi wasiat Nabi kepada Muadz yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2616 yang sekaligus dia komentari sebagai hadits yang hasan shahih. Dalam hadits tersebut Rasulullah bersabda.

وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَ مَنَا خِرِهِِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Bukankah tidak ada yang menjerumuskan orang ke dalam neraka selain buah lisannya ?”

Perkataan Nabi di atas adalah sebagai jawaban atas pertanyaan Mu’adz.

يَا نَبِّيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَا خَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ

“Wahai Nabi Allah, apakah kita kelak akan dihisab atas apa yang kita katakan ?”

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengomentari hadits ini dalam kitab Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (II/147), “Yang dimaksud dengan buah lisannya adalah balasan dan siksaan dari perkataan-perkataannya yang haram. Sesungguhnya setiap orang yang hidup di dunia sedang menanam kebaikan atau keburukan dengan perkataan dan amal perbuatannya. Kemudian pada hari kiamat kelak dia akan menuai apa yang dia tanam. Barangsiapa yang menanam sesuatu yang baik dari ucapannya maupun perbuatan, maka dia akan menunai kemuliaan. Sebaliknya, barangsiapa yang menanam Sesuatu yang jelek dari ucapan maupun perbuatan maka kelak akan menuai penyesalan”.

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama (hal.146), “Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan dan senantiasa mengontrolnya merupakan pangkal segala kebaikan. Dan barangsiapa yang mampu menguasai lisannya maka sesungguhnya dia telah mampu menguasai, mengontrol dan mengatur semua urusannya”.

Kemudian pada hal. 149 beliau menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “ Seseorang yang menganggap bahwa lisannya bisa membawa bencana sering saya dapati baik amalan-amalannya”.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Abi Katsir pernah berkata, “Seseorang yang baik perkataannya dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya, dan orang yang jelek perkataannya pun dapat aku lihat dari amal-amal perbuatannya”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2581 dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda.

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وًِصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut ? Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda. ‘Beliau menimpali, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat, akan tetapi, ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang panjang dalam kitab Shahihnya no. 2564 dari Abu Hurairah, yang akhirnya berbunyi.

بِحَسْبِ امْرِيْ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ كُلٌ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya hadits no. 1739 ; begitu juga Muslim [4] dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah berkhutbah pada hara nahar (Idul Adha). Dalam khutbah tersebut beliau bertanya kepada manusia yang hadir waktu itu, “Hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang haram”. Beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri Haram”. Beliau bertanya lagi, “Bulan apakah ini ?” Mereka menjawab, “Bulan yang haram”. Selanjutnya beliau bersabda.

فَإِنَّ دِمَا ئَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُم حَرَامٌ، كَحُرمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِ كُمْ هَذَا في شَهْرِ كُمْ هَذَا، فَأَعَادَهَا مِرَارًا، ثُمّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اللَّهُمَ هَلْ بَلَّغْتُ؟

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram bagi masing-masing kalian (merampasnya) sebagaimana haramnya ; hari, bulan dan negeri ini. Beliau mengulangi ucapan tersebut beberapa kali, lalu berkata, “Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu)? Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan (perintah-Mu) ?”

Ibnu Abbas mengomentari perkataan Nabi di atas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya ini adalah wasiat beliau untuk umatnya. Beliau berpesan kepada kita, ‘Oleh karena itu, hendaklah yang hadir memberitahukan kepada yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yaitu kalian saling memenggal leher”.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 2674 dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِشْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لآَيَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

“Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”

Al-Hafidz Al-Mundziri dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib (I/65) mengomentari hadits.

إِذَا مَاتَ الْإنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ إِحْدَى ثَلاَثٍ …

“Apabila seorang manusia wafat, maka terputuslah jalan amal kecuali dari tiga perkara …dst”

Beliau berkata, “Orang yang mebukukan ilmu-ilmu yang bermanfaat akan mendapatkan pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari orang yang membaca, menulis dan mengamalkannya, berdaasrkan hadits ini dan hadits yang semisalnya. Begitu pula, orang-orang yang menulis hal-hal yang membuahkan dosa, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya sendiri dan dosa dari orang-orang yang membaca, menulis atau mengamalkannya, berdasarkan hadits.

مَنْ سَنَّ سُنَةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً

“Barangsiapa yang merintis perbuatan yang baik atau buruk, maka ….”

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya no. 6505 dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda.

إِنَّاللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Sesungguhnya Allah berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka kuizinkan ia untuk diperangi”

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]
_______

 

Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr

Almanhaj

Diri Penuh Kekurangan, Semangat Perbaiki Amalan

SETIAP orang yang beramal shalih, harus memiliki sifat ini, sifat terus merasa penuh kekurangan, sehingga bisa terus semangat dalam memperbaiki amalan. Ada pelajaran yang dapat kita ambil dari doa lailatul qadar berikut ini.

Dari Aisyah radhiyallahu anha-, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa doa yang mesti kuucapkan?” Jawab Rasul shallallahu alaihi wa sallam, “Berdoalah: Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fafuanni (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi, no. 3513; Ibnu Majah, no. 3850. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini dibawakan oleh Imam Tirmidzi dalam bab “Keutamaan meminta maaf dan ampunan pada Allah”.

Maksud dari “innaka afuwwun” adalah Engkau (Ya Allah) yang banyak memberi maaf. Demikian kata penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi. Para ulama menyimpulkan dari hadits di atas tentang anjuran memperbanyak doa “Allahumma innaka afuwwun ” pada malam yang diharap terdapat lailatul qadar. Doa di atas begitu jaami (komplit dan syarat makna) walau terlihat singkat. Doa tersebut mengandung ketundukan hamba pada Allah dan pernyataan bahwa dia tidak bisa luput dari dosa. Namun sekali lagi meminta ampunan seperti ini tidaklah terbatas pada bulan Ramadhan saja.

Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Meminta maaf atas kesalahan dianjurkan setiap waktu dan tidak khusus di malam lailatul qadar saja.” (Fadha-il Al-Awqat, hlm. 258). Ibnu Rajab rahimahullah juga memberi penjelasan menarik,

“Dianjurkan banyak meminta maaf atau ampunan pada Allah di malam lailatul qadar setelah sebelumnya giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir. Karena orang yang arif adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, namun dia masih menganggap bahwa amalan yang ia lakukan bukanlah amalan shalih, keadaan yang baik atau ucapan yang shalih pula. Oleh karenanya, ia banyak meminta ampun pada Allah seperti orang yang penuh kekurangan karena dosa.”

Yahya bin Muadz pernah berkata, “Bukanlah orang yang arif jika tujuan angannya tidak pernah mengharap ampunan dari Allah.” (Lathaif Al-Maarif, hal. 362-363). Lihatlah bagaimana Ibnu Masud, sahabat yang mulia, namun masih menganggap dirinya itu penuh kekurangan. Ibnu Masud pernah berkata, “Jika kalian mengetahui aibku, tentu tidak ada dua orang dari kalian yang akan mengikutiku”. Dinukil dari Tathir Al-Anfas, hlm. 317.

Moga kita bisa mengambil pelajaran. Moga kita terus merasa penuh kekurangan sehingga terus berusaha memperbagus amalan dan banyak meminta ampunan pada Allah. [Referensi: Lathaif Al-Maarif fii Maa Limawasim Al-Aam min Al-Wazhoif. Tathir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas/Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Doa Agar Tak Terjerumus Zina

SEMUA mengetahui bahwa zina itu berbahaya dan termasuk dosa besar. Namun orang yang merasa aman pun dari zina sebenarnya bisa terjerumus dalam zina. Hanya dengan doa lalu pertolongan Allah yang datang, itulah yang dapat menyelamatkan kita dari zina. Ada satu doa yang berisi meminta perlindungan pada Allah dari anggota badan yang cenderung dengan anggota badan ini akan terjadi perzinaan atau perselingkuhan. Berikut haditsnya.

Syakal bin Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas ia meminta pada beliau untuk mengajarkannya bacaan taawudz yang biasa ia gunakan ketika meminta perlindungan pada Allah. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan doa dengan beliau memegang tanganku lalu beliau ajarkan, ucapkanlah, “Allahumma inni audzu bika min syarri samii, wa min syarri basharii, wa min syarri lisanii, wa min syarri qalbii, wa min syarri maniyyi”

(artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari kejelakan pada pendengaranku, dari kejelakan pada penglihatanku, dari kejelekan pada lisanku, dari kejelekan pada hatiku, serta dari kejelakan pada mani atau kemaluanku). (HR. An-Nasai, no. 5446; Abu Daud, no. 1551; Tirmidzi, no. 3492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Yang dimaksud dengan lafazh terakhir, berlindung pada kejelekan mani. Maksudnya berlindung pada kenakalan kemaluan. Demikian diutarakan dalam Syarh Al-Gharib. Yang disebutkan dalam doa di atas adalah dengan mani, yang maksudnya merujuk pada kenakalan kemaluan. Doa itu berarti meminta perlindungan pada Allah agar tidak terjerumus dalam zina atau terjerumus pula dalam perantara-perantara menuju zina seperti mulai dari memandang, menyentuh, mencium, berjalan, dan niatan untuk berzina dan semisal itu.

Dan perlu diketahui dari pendengaran, penglihatan, lisan, hati serta kemaluan itu sendiri adalah asal mulanya suatu kemaksiatan itu terjadi. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah untuk selamat dari berbagai dosa besar dan zina. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Pernahkah Rasulullah Bersalah?

Khazanahalquranmenulis, bahwa sebagian orang meyakini bahwa Rasulullah saw pernah melakukan kesalahan.

Mereka berpendapat bahwa beliau maksum (terjaga dari salah dan dosa) hanya ketika diutus sebagai nabi, sebelum itu beliau dikatakan “tidak terjaga” dan bisa saja melakukan kesalahan. Bahkan sebagian lagi berpendapat bahwa Nabi Muhammad itu tidak beriman sebelum menjadi nabi.

Untuk mencari jawaban dari pernyataan ini, marilah kita renungkan sejenak ayat-ayat berikut ini.

Sejak Nabi Musa as lahir, Allah telah Merencanakan skenario yang begitu indah untuk menyelamatkan nabi-Nya dari keganasan Firaun.

Dia Memerintahkan ibu Musa untuk menghanyutkannya di sungai hingga diselamatkan oleh istri Firaun sendiri. Hingga dewasa pun, Firaun tidak pernah mampu menggagalkan dakwah Nabi Musa kepada umatnya.

Semua ini dapat terjadi karena Musa berada langsung dibawah pengawasan dan penjagaan Allah swt. Seperti dalam Firman-Nya,

“Dan agar engkau (Musa) diasuh di bawah pengawasan-Ku.” (QS.Thaha:39)

Sekarang kita mulai akan menyimpulkan bahwa ternyata Nabi Musa as telah berada dalam “penjagaan” dan “pengawasan” Allah sejak masih bayi. Sementara kita tau bahwa Nabi termulia dari deretan para Nabi adalah Nabi Muhammad saw.

Mungkinkah Nabi Musa berada dalam pengawasan Allah sejak bayi sementara Nabi Muhammad baru memdapatkannya setelah menjadi Nabi?

Mungkinkah Nabi Musa “dijaga” oleh Allah sejak awal kelahirannya sementara Nabi Muhammad baru mendapat penjagaan setelah diutus sebagai Rasul?

Sungguh hal yang mustahil

Karena Allah pun menggunakan kata yang sama seperti yang digunakan kepada Nabi Musa, yaitu dengan kata (dibawah “Penglihatan” atau “Pengawasan”-Ku) seperti dalam Firman-Nya,

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu Ketetapan Tuhan-mu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami.” (QS.At-Thur:48).

Jika Nabi Musa dibawah pengawasan Allah sejak bayi, maka Nabi Muhammad pasti mendapat kemuliaan yang lebih agung dari Musa. Beliau telah terjaga dari segala kesalahan, bahkan ketika masih kanak-kanak dan belum diutus sebagai Nabi.

Bagaimana Nabi Muhammad akan melakukan kesalahan sementara beliau adalah Makhluk termulia dan Ciptaan paling sempurna yang telah mendapat stempel dari Allah sebagai Uswatun Hasanah, contoh bagi seluruh umat manusia.”Allah telah mendidikku dan itulah sebaik-baik didikan” (Rasulullah saw).

Dalam berbagai Firman-Nya, Allah selalu Mengagungkan Nabi Muhammad saw. Lalu mengapa kita pelit untuk mengagungkan seorang yang telah Diagungkan oleh Allah dengan kemuliaan yang tak terhingga?

 

INILAH MOZAIK

Rasulullah SAW Mewarisi Umatnya Kejujuran

SUATU hari, seorang kafir bercerita kepada Abu Jahal, “Sungguh kami saling bersaing dengan Bani Abdul Manaf. Mereka memberikan makan, kami juga memberikan makanan.”

“Mereka membawa barang, kami pun melakukan hal yang sama. Mereka berbuat baik, maka kami pun melakukan kebaikan. Sampai tatkala kami membagi hasil kepada para kafilah dagang, mereka berkata, Kami mempunyai seorang nabi yang mendapat wahyu dari langit. Kapan kami mendapatkan hal ini? Demi Allah, aku tidak akan pernah beriman, selamanya kau tidak akan membenarkannya!” (al-Mubarokfury: Shahih Sirah Nabawiyah, hal. 152)

Tidak ada celah bagi kaum kafir sekalipun untuk mengatakan bahwa Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam berdusta. Mereka ingka terhadap risalah yang dibawa oleh Baginda Nabi hanyalah karena kesombongan mereka. Hakekat kesombongan adalah meremehkan manusia dan menolak kebenaran.

Allah SWT berfirman; “Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang yang zalim itu mengingkari ayat ayat Allah.” [QS: al-Anam: 33]

Menafsirkan ayat ini, Imam Tirmidzi menuturkan sebuah riwayat bahwasannya Abu Jahal pernah berkata, “Wahai Muhammad, kami tidak mendustakan mu, tetapi kami mendustakan apa yang engkau bawa!” [Tirmidzi dalam Tafsir surah al-Anam, V/234]

Syeikh Dr. Hisyam Kamil, Ulama Al-Azhar, Kairo ketika menjelaskan Kitab Manzumat Aqidatul Awam. Sampai pada Bab sifat-sifat wajib bagi nabi dan rasul. Beliau menjelaskan bahwa sifat jujur adalah keniscayaan bagi seorang nabi dan rasul. Bahkan Kaum Kafir tidak berani menuduh Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam berdusta. Sebelum ataukah sesudah kenabian.

“Pernahkah kalian menemukan sebuah riwayat, bertutur bahwa ada orang arab yang menuduh Nabi berdusta? Tidak pernah sama sekali! Ya, mereka tuduh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam seorang penyair, orang gila. Namun, tidak satupun dari mereka mengatakan Nabi berdusta. (Alasannya, karena mereka berfikir-red) Empat puluh tiga tahun beliau tidak pernah berdusta, mungkin kah beranjak dewasa tiba-tiba berdusta? Mustahil!” katanya, sebagaimana disiarkan TV Al-Azhar, 3 Januari 2013.

Dalam kesempatan yang sama, Syeikh Hisyam Kamil menjelaskan bahwa sifat jujur adalah keniscayaan bagi nabi dan rasul. Sebagai pembawa risalah langit, Allah membekali mereka dengan sifat yang mulia tersebut. Sebagai hujjah atas manusia. Hingga tidak ada alasan bagi mereka menolak kebenaran.

Pepatah Arab yang mengatakan, “Katakanlah kebenaran, sekalipun itu pahit!” Mengatakan kebenaran adalah bagian dari berkata jujur. Berkata jujur tidak hanya berangkat dari hati yang bersih, namun juga teguh. Perkasa dengan keimanan.

Bukan tanpa konsekuensi Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam menyampaikan kebenaran tanpa tending aling-aling.

Baginda Nabi jujur atas risalah yang beliau bawa. Beliau enggan berdusta atas nama Allah hanya untuk secuil ridho manusia. Demi itu beliau menerjang mara bahaya.

Gelar al-Amin yang beliau sandang di tengah kaum nya harus berganti dengan sebutan orang gila. Sanjungan dan pujian itu berubah menjadi kotoran onta yang dilemparkan ke pundaknya. Beliau diburu, dikepung, bahkan berkali kali koalisi kabilah-kabilah besar berusaha membunuh nya. Allahumma Sholli Wasaallim ala Habibina Rosulillah

Thalibul ilmi calon pewaris Nabi

Ulama ialah pewaris para nabi. Bagai pelita yang menerangi jalan manusia menuju Allah. Rasulullah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassallam menobatkan mereka melalui sabda nya, “Sungguh para ulama itu ialah pewaris para Nabi. Sedangkan para Nabi itu tidak mewariskan dinar tidak pula dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak!” [H.R Imam Turmudzi dalam Kitab Sunan no. 2681]

Pertanyaaan nya. 30 Juz Al-Quran kita khatamkan, beribu hadits telah kita hafalkan, beragam cabang ilmu juga telah kita kaji. Namun sudah kah sifat kenabian yang satu ini kita warisi? Berkata jujur tentang risalah ini, dengan ragam resikonya? Sebagai santri, ulama, sudah kah? [Muhammad Rizqi Utama]

INILAH MOZAIK

Bukti Sangat Besar Cinta Rasulullah kepada Umatnya

SUATU hari Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah SAW, Rasulullah SAW bertanya.”Ada apa wahai Jibril?”

“Wahai Muhammad sesungguhnya hari ini Allah SWT sedang mengobarkan nyala api neraka, seluruh malaikat amat ketakutan. Mereka tidak tahu harus bagaimana. Untunglah aku ingat bahwa engkau adalah sumber cinta dan sayang Allah kepala alam semesta. Karena itulah aku di sini, untuk bertabaruk dengan cinta Allah yang ada pada dirimu.”

Rasulullah SAW terdiam beberapa saat, lalu bertanya,” Wahai Jibril, Shif lii washfan naar. Ceritakanlah kepadaku bagaimanakah neraka itu sesungguhnya.”

“Wahai Muhammad,neraka itu bagaikan lobang-lobang yang terdiri dari tujuh tingkat. Jarak antara satu lobang dengan yang lain adalah 70 tahun perjalanan. Lobang yang paling bawah adalah yang paling panas.”

Lalu siapakah penghuni lobang lobang neraka itu wahai Jibril?”

“Lobang yang paling bawah diciptakan untuk orang orang munafik. Lobang berikutnya untuk penyembah berhala, lalu untuk penyembah bintang dan matahari.” Jibril terus menerangkan penghuni tingkatan lobang lobang itu.

Hingga lobang neraka yang ke lima tempatnya umat Yahudi dan ke enam Nasrani. Lalu kemudian Jibril diam cukup lama.

Rasulullah SAW bertanya,”Wahai Jibril, siapakah penghuni neraka yang ketujuh?”

Jibril terdiam. Rasulullah SAW bertanya lagi, namun Jibril tetap diam. Rasulullah SAW pun mendesak hingga akhirnya Jibril berkata.

“Umatmu wahai Muhammad, mereka itu para pelaku dosa besar di kalangan Umatmu, yang sampai mereka mati belum sempat bertaubat.”

Mendengar jawaban Jibril Rasulullah SAW langsung jatuh pingsan. Jibril merangkulnya dan meletakkan tubuh baginda SAW di atas pangkuannya. Tidak berapa lama Rasulullah SAW sadar dan langsung menangis bersimbah air mata.

Sambil terisak-isak Nabi SAW bertanya,”Yaa Jibril awayadkhulu ummatii an naar? Wahai Jibril apakah memang ada di antara umatku yg masuk neraka?”

“Benar wahai Muhammad, pelaku dosa besar di antara umatmu yang belum bertaubat.”

Setelah itu Nabi SAW langsung menghadap kiblat dan sujud menyembah Allah SWT dalam isakan tangis. Sesekali dengan lirih perlahan beliau membisikkan kata-kata,”Ummati ya Rabbummatiiummatiiummatii”

Beliau SAW tidak mengangkat kepalanya dalam keadaan seperti itu selamat tiga hari tiga malam, kecuali setiap Bilal bin Rabah mengumandangkan azan beliau barulah bangkit untuk menjadi imam dan setelahnya kembali sujud.

Pada hari ketiga Abu Bakar ra menyadari hal itu. Beliau mengetuk pintu Rasulullah SAW dan mengucapkan salam tiga kali.Namun tidak ada jawaban. Abu Bakar ra sedih dan berseru di pintu Nabi SAW,”Hal ilaa bayti Rasulillah min sabiil? Bolehkah saya masuk ke rumahmu, ya Rasulullah?”

Tetap tidak ada jawaban. Lalu beliau menangis dan melangkah pulang. Di jalan beliau bertemu sayyidina Umar.

“Mengapa engkau menangis wahai Abu Bakar?” Abu Bakar menceritakan keadaan Rasulullah SAW.

Maka Umar ra pun melangkah ke rumah Nabi SAW dan terjadilah hal yg sama, Umar pun pulang dan menangis. Di jalan beliau bertemu Salman Al Farisi.Sambil terisak Umar bercerita kepada Salman.

Salman amat sedih, namun dia tidak berani mengulang hal yang sama. Salman melangkah ke rumah Fatimah dan menceritakan hal itu.

Setengah berlari Fatimah menuju rumah Nabi SAW dan mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Mendengar suara lembut putri tercinta, sejuklah dada Nabi SAW. Baginda bangkit dari sujud dan membuka pintu.

Alangkah terkejutnya Fatimah ra melihat Nabi SAW yang amat kurus dan pucat. Fatimah memeluknya lalu menangis.”Wahai ayahanda apa yang terjadi, mengapa engkau sedih seperti ini?”

Rasulullah SAW kembali menangis dan berkata dengan suara lirih. “Wahai Fatimah belahan jiwaku. Bagaimana mungkin aku tidak sedih. Jibril mengatakan akan ada kelak umatku yang akan masuk neraka.”

Kedua anak bapak itupun menangis bersimbah air mata. Allahumma Shalli aala sayyidina wa maulana muhammadin saw..[ ]

 

INILAH MOZAIK

Awas! Jangan Curhat pada Suami Orang

BOLEHKAH seorang istri curhat pada suami orang, baik sekedar bercerita atau curhat? Yang jelas syariat kita membentengi umatnya dari perbuatan haram seperti zina,

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Syaikh As-Sadi membawakan dalam bait syairnya,
Hukum perantara sama dengan hukum tujuan
Hukumilah dengan hukum tersebut untuk tambahan lainnya
Karenanya, perantara menuju zina seperti berdua-duaan pun dilarang.

Dari Abdullah bin Amir, yaitu Ibnu Rabiah, dari bapaknya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahramnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan hadits ini shahih lighairihi)

Di antara bentuk berdua-duaan (alias: khalwat) adalah chating dengan lawan jenis, termasuk bentuknya curhat dengan suami orang.

Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perbuatan haram dan menjauhkan kita dari zina serta hal-hal yang mendekatkan pada zina. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK