Sunah Pakaian Warna Putih, Apa Alasannya?

IMAM Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin berkata, “Disunnahkan memakai pakaian berwarna putih.” Pakaian warna putih itu lebih bersih dan lebih bercahaya. Itulah sebabnya Rasul shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan memakai pakaian warna putih dibanding warna lainnya.

Di antara hadits yang Imam Nawawi maksudkan adalah,

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Pakailah oleh kalian pakaian yang putih karena itu termasuk pakaian yang paling baik. Dan berilah kafan pada orang mati di antara kalian dengan kain warna putih.” (HR. Abu Daud no. 4061, Tirmidzi no. 994 dan Ibnu Majah no. 3566. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kenakanlah pakaian warna putih karena pakaian tersebut lebih bersih dan paling baik. Kafanilah pula orang yang mati di antara kalian dengan kain putih.” (HR. Tirmidzi no. 2810 dan Ibnu Majah no. 3567. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kata Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pakaian warna putih adalah pakaian yang lebih baik dari yang lain. Pakaian putih lebih bercahaya. Kalau pakaian tersebut terkena kotoran, maka begitu nampak, sehingga segera pakaian tersebut dicuci. Adapun pakaian warna lain, kotoran pada permukaannya tidak begitu nampak. Seseorang tidak tahu kalau pakaian tersebut kotor. Jika dicuci pun tidak nampak bersihnya. Makanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pakaian warna putih adalah pakaian yang terbaik, dan kafanilah pula salah seorang mayit di antara kalian dengan kain warna putih.”

Juga Syaikh rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud pakaian putih adalah pakaian atas dan bawah (kemeja maupun celana atau sarung). Yang terbaik adalah warna putih. Warna tersebut lebih baik. Akan tetapi jika seseorang memakai warna lain tidaklah mengapa asal tidak menyerupai warna pakaian wanita. Jika itu adalah warna pakaian wanita, maka tidak boleh pria mengenakannya. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan sebaliknya. Begitu pula dipersyaratkan warnanya bukanlah merah polos. Namun jika ada warna merah, juga putih, maka tidaklah masalah. Demikian penyampaian Syaikh dalam Syarh Riyadhis Sholihin, 4: 270.

Semoga bermanfaat bagi pembaca. Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

INILAH MOZAIK

Semangat Kerja Lampaui Semangat Ibadah

ORANG ini benar-benar maniak kerja. Mulai pagi hingga malam terus saja bekerja. Pulang ke rumah ternyata juga masih membawa beban kerja. Tiada waktu kecuali untuk kerja selain waktu untuk ke toilet dan waktu pejamkan mata sejenak.

Ada yang iseng bertanya kepadanya dari mana semangat kerja seperti ini didapatkannya. Jawabannya mengagetkan, yaitu: “Dari sekolah saya yang setiap hari memberikan pekerjaan rumah, sehingga di rumahpun tetap bekerja menyelesaikan PR.” Berhati-hatilah wahai para guru, jangan menutup kesempatan anak menikmati kehidupan sosialnya dengan keluarga inti dan lingkungannya.

Ada orang berikutnya yang juga iseng bertanya buat apa terus bekerja padahal yang dimiliki sudah banyak dan bahkan cukup untuk tiga turunan. Jawabannya juga mengagetkan: “Hidup ini adalah berlomba dalam kompetisi yang tiada akhir.” Luar biasa semangat kerjanya, bukan? Sepertinya, masih banyak impiannya yang belum tercapai, sampai lupa mensyukuri apa yang telah digapai. Bahagiakah orang ini?

Teringatlah saya pada kata Steven Wright yang bisa dianggap sindiran pada mereka yang tak pernah henti mengejar impian: “You can’t have everything. Where would you put it? (Anda tidak dapat memiliki segala sesuatu. Mau Anda letakkan di mana kalau semuanya menjadi milikmu?)

Agama mengajarkan jalan tepat dan cepat menuju bahagia, yaitu merasa cukup dengan apa yang dipunya dan mensyukuri apa yang ada. Caranya? Gunakan semuanya untuk segala sesuatu yang Allah suka, maka Allah akan memberikan segala sesuatu yang kita suka. Semangat kerja tak boleh melampaui semangat ibadah kepadaNya, maka kita bahagia dengan kebahagiaan hakiki.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

 

Tujuh Indikator Hidup Bahagia

TIDAK ada satupun manusia di dunia ini yang tidak ingin hidupnya bahagia. Namun, seperti apakah sebenarnya kebahagiaan itu. Apakah harta yang cukup dan bahkan berlimpah sehingga bisa membuat orang bahagia?

Ibnu Abbas mengatakan ada tujuh tanda-tanda kebahagiaan hidup didunia:

1) Qalbun Syakirun

Hati yang selalu bersyukur, artinya selalu menerima apa adanya (Qana’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur.

2) Al-Azwajus Shalihah

Pasangan hidup yang saleh, pasangan hidup yang saleh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sakinah.

3) Al-Auladul Abrar

Anak yang saleh. Doa anak saleh kepada orangtuanya dijamin dikabulkan Allah, berbahagialah orangtua yang memiliki anak saleh.

4) Al-Baitus Saleh

Lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang saleh yang selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan bila kita salah

5) Al-Maalul Halal

Harta yang halal. Bukan banyak harta, tapi harta yang dimiliki mubah atau bahkan haram wal ‘iadu billah. Harta yang halal akan menjauhkan setan dari hati. Hati menjadi suci, bersih dan kokoh. Sehingga memberikan ketenangan dalam hidup.

6). Tafaquh fid-dien

Semangat untuk memahami agama. Dengan belajar ilmu agama, semakin cinta kepada agama, semakin tinggi cinta kepada Allah dan Rasulullah. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hati.

7). Umur yang barokah

Makin tua makin saleh. Setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Makin tua makin rindu untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Inilah semangat hidup orang-orang yang barokah umurnya.

Semoga Allah memudahkan kita dalam perjuangan besar untuk memiliki tujuh indikator kebahagian yang disebut Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha diatas. Aamiin Ya Allah. []

 

INILAH MOZAIK

Nasihat Ustad Somad untuk Memuliakan Ibu

Ustaz Abdul Somad mengimbau umat Islam untuk selalu memuliakan ibu. Ganjaran dari Allah SWT bagi orang yang memuliakan ibunya adalah surga. Sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW. Surga berada di bawah telapak kaki ibu.

“Perempuan adalah makhluk mulia. Perempuan adalah ibu kita. Muliakan ibumu maka sorga bagimu,” kata Ustaz Somad, saat memberikan tausiah di Masjid Al Musannif, Kota Medan, Sabtu (10/3).

Dosen UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru itu mengatakan sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk tunduk pada ibu. Setiap anak harus menyenangkan hati ibunya. Menahan diri tak tak pernah melawan kepada ibu.

Sebab ibu adalah orang yang telah berjuang bersimbah keringat dan darah, sampai hampir meregang nyawa untuk melahirkan anak-anaknya.

Penderitaan seorang ibu tak hanya sampai di situ, ia juga kerap terhenti beribadah ketika sedang hamil. Ibu tak bisa berpuasa ketika hamil, tak bisa puasa ketika menyusui. Ibu tak jadi solat Dhuha atau ingin membaca Alquran karena harus mendiamkan anaknya yang menangis.

Ustaz Somad menyebut umat Islam yang tak mampu untuk menunaikan ibadah haji atau umroh ke Mekkah untuk mengejar sorga tak perlu bersedih. Karena sejatinya sorga itu tak jauh, yaitu ada di telapak kaki ibu.

“Senangkan hati ibumu. Kalau ibumu suka marah, cerewet, kuncinya hanya satu, diam. Jangan melawan. Karena kalau kau lawan, murka Allah untukmu,” ujar Ustaz Somad.

 

REPUBLIKA

Menag: Pemerintah tak akan Pakai Satu Rupiah Pun Dana Zakat

Pemerintah berencana mengoptimalkan penghimpunan zakat Aparatur Sipil Negara (ASN). Kebijakan itu dilaksanakan sesuai syar’i dan norma hukum positif.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pemerintah tidak akan menggunakan satu rupiah pun dana zakat, apalagi untuk tujuan politis. Sebab, ada satu hal yang menjadi isu krusial dan mengapung ke permukaan bahwa rencana kebijakan itu karena dananya akan digunakan pemerintah untuk tujuan politis dalam menyambut tahun politik 2018 dan 2019.

“Kalaulah kebijakan pendayagunaan zakat di kalangan ASN akan dilaksanakan oleh pemerintah, maka harus terjamin dalam dua hal yakni hukum syari dan norma-norma hukum posisif dalam kehidupan bernegara,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (10/3).

Seluruh penghimpunan dana zakat akan disampaikan kepada Baznas dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang ada. Dua institusi inilah yang akan mendistribusikan penghimpuanan dana zakat, jadi pemerintah sama sekali tidak dalam posisi melakukan itu. “Jadi kekhwatiran dana zakat akan dimanfaatkan untuk tujuan politis tidak benar,” sambung Menag.

Diakui Menag, dalam persoalan zakat, Kemenag tengah menghadapi dua arus pandangan yang antara satu dan lain saling kontradiktif. Pandangan pertama menyatakan pemerintah harus tegas menangani zakat dengan segala aturan resminya. Sementara kutub lain menyatakan pemerintah tidak boleh intervensi lantaran zakat merupakan kewajiban individu dan bukanlah wewenang negara.

“Jadi dua hal inilah yang harus betul-betul dijamin tidak ada kontra kalaulah kebijakan ini dijalankan. Inilah dua padangan yang tentu tidak bisa kita abaikan begitu saja. Apalagi dua pandangan ini sangat memenuhi ruang publik seperti di sosial media,” ujar Menag.

Menurutnya, fakta lain alasan di balik Kemenag merasa perlu mengandeng komisi fatwa MUI dan ulama dalam Mudzakarah Zakat Nasional ini karena potensi zakat yang luar biasa. Indonesia adalah negara besar dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

 

REPUBLIKA

Wahai Orangtua Milenial, Waspadai ‘Sharenting’

MEMBAGIKAN foto dan pengalaman tentang anak di media sosial sudah menjadi tren di kalangan orangtua generasi milenial. Kegiatan ini disebut sharenting (perpaduan kata “share” dan “parenting”), bahkan istilah ini resmi masuk ke dalam Collin English Dictionary pada tahun 2016.

Meski sharenting bernilai positif, seperti berbagi pengalaman dan tips kepengasuhan anak dengan sesama orangtua di media sosial, namun terlalu sering mendokumentasikan setiap tingkat perkembangan anak di media sosial, ada konsekuensi besar dibaliknya. Orangtua harus tetap berhati-hati.

Dikutip dari Internet Matters, inilah yang akan terjadi pada anak jika orangtua terlalu oversharing di media sosial:

Pertama, anak kehilangan hak privasi

Dengan melakukan sharenting, Anda memamerkan sisi kehidupan anak kepada pengikut Anda di media sosial, padahal anak Anda belum bisa mengatakan “tidak” atas apa yang Anda lakukan.

 

Anak-anak masih terlalu muda untuk memahaminya, tapi Anda telah mengambil hak privasi mereka, yang mana sebagai orangtua, Anda seharusnya melindungi privasi anak.

Kedua, anak merasa malu dan menjadi sasaran bullying.

Anda mungkin pernah memposting foto anak Anda dengan caption lucu yang berkomentar tentang ekspresi wajahnya atau kegiatan yang mereka lakukan. Bisa jadi ketika si anak mulai besar, justru hal tersebut membuatnya merasa tidak nyaman atau bahkan menjadi bahan ejekan teman-temannya.

Ketiga, orang lain menilai anak Anda dari apa yang Anda posting.

Apa saja yang Anda bagikan, berkontribusi kepada reputasi online Anda; seperti status, foto, link yang dibagikan, atau komentar. Semua hal ini adalah jejak yang sulit Anda hapus di internet. Jadi, ketika memposting tentang anak Anda, sebenarnya Anda sedang membentuk reputasi online mereka.

 

Seiring bertambahnya usia anak, kelak ia akan terjun ke dalam dunia pendidikan dan kerja. Apa yang Anda bagikan dapat mempengaruhi masa depan mereka. Misalnya, Anda pernah mengeluh tentang perilaku anak di media sosial. Hal itu akan menciptakan reputasi online negatif tentang anak.

Keempat, menjadi sasaran predator online.

Masih segar di ingatan kita kasus grup pedofil di Facebook. Atau kasus penipuan yang ternyata bermula dari infomasi yang didapat pihak yang tidak bertanggungjawab dari media sosial. Kasus-kasus tersebut hanyalah salah satu contoh akibat ketidaktahuan orangtua akan bahaya yang mengintai di dunia maya.

Jika Anda tidak memperhatikan pengaturan privasi media sosial Anda, orang asing manapun bisa dengan mudah mencari tahu nama anak Anda, sekolah, tanggal lahir, dan teman anak Anda. Logikanya, apakah Anda bersedia berbagi informasi seperti ini begitu saja dengan orang asing yang Anda temui di jalan? Tentu tidak, kan? Tapi tanpa sadar, ternyata Anda telah membagikannya kepada predator online.

Jadi, apakah sharenting berbahaya? Tentu ini kembali kepada orangtua. Sharenting bisa memberikan dampak positif jika dilakukan dengan aman dan benar. Berikut tips aman sharenting di media sosial.

Pengaturan Privasi

Cek siapa saja yang bisa melihat postingan Anda. Pastikan postingan tersebut tidak untuk publik atau semua kontak. Cari tahu bagaimana melakukan pengaturan privasi di media sosial mana saja yang Anda gunakan. Jika Anda menggunakan Instagram, ganti akun Anda menjadi akun privat.

Pertimbangkan dulu sebelum posting

Apakah foto ini akan membuat anak saya malu ketika ia besar nanti? Apakah orang lain nanti akan mengejek anak saya? Apa caption seperti ini nantinya akan disalahartikan? Jika ragu, jangan bagikan.

Pilah-pilih audiens

Daripada membagikan foto anak kepada semua pengikut, teman, atau kontak yang ada di media sosial, bagikan saja kepada orang-orang terdekat Anda yang memang ingin tahu tentang perkembangan anak Anda.

Bicarakan pada anak

Jika anak sudah bisa diajak berdiskusi dan tahu lebih banyak tentang media sosial, Anda harus meminta izin padanya jika ingin mengunggah foto atau memposting status tentang dirinya.*/Karina Chaffinch

 

HIDYATULLAH

Anda Memelihara Kuku hingga Panjang? Ini Hukumnya!

APA hukum memelihara atau memanjangkan kuku? Perlu dipahami bahwa Islam amat menyukai kebersihan. Kebersihan pada kuku pun diperhatikan oleh Islam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada lima macam fitrah, yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari no. 5891 dan Muslim no. 258)

Kalau kuku ini tidak bersih, maka makan pun jadi tidak bersih dikarenakan kotoran yang ada di bawah kuku. Begitu pula dalam bersuci jadi tidak sempurna karena ada bagian kulit yang terhalang oleh kuku yang panjang. Karenanya memanjangkan kuku itu menyelisihi tuntunan dalam agama ini.

Ada riwayat dari Al Baihaqi dan Ath Thobroni bahwa Abu Ayyub Al Azdi berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ia bertanya pada beliau mengenai berita langit. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Ada salah seorang di antara kalian bertanya mengenai berita langit sedangkan kuku-kukunya panjang seperti cakar burung di mana ia mengumpulkan janabah dan kotoran.” (Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Al Matholib Al Aliyah bahwa hadits tersebut mursal, termasuk hadits dhaif).

Hukum memanjangkan kuku adalah makruh menurut kebanyakan ulama. Jika memanjangkannya lebih dari 40 hari, lebih keras lagi larangannya. Bahkan sebagian ulama menyatakan haramnya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh Imam Asy Syaukani dalam Nailul Author. Dasar dari pembatasan 40 hari tadi adalah perkataan Anas bin Malik radhiyallahu anhu.

Anas berkata, “Kami diberi batasan dalam memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketika, mencukur bulu kemaluan, yaitu itu semua tidak dibiarkan lebih dari 40 malam.” (HR. Muslim no. 258). Yang dimaksud hadits ini adalah jangan sampai kuku dan rambut-rambut atau bulu-bulu yang disebut dalam hadits dibiarkan panjang lebih dari 40 hari (Lihat Syarh Shahih Muslim, 3: 133).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun batasan waktu memotong kuku, maka dilihat dari panjangnya kuku tersebut. Ketika telah panjang, maka dipotong. Ini berbeda satu orang dan lainnya, juga dilihat dari kondisi. Hal ini jugalah yang jadi standar dalam menipiskan kumis, mencabut bulu ketiak dan mencabut bulu kemaluan.” (Al Majmu, 1: 158).

Imam Syafii dan ulama Syafiiyah berkata bahwa memotong kuku, mencukur bulu kemaluan dan mencabut buku ketikan disunnahkan pada hari Jumat. (Idem).

Kuku yang tidak bersih bisa membawa dampak masalah. Apa masalahnya? Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Seandainya di bawah kuku ada kotoran namun masih membuat air mengenai anggota wudhu karena kotorannya hanyalah secuil, wudhunya tetaplah sah. Namun jika kotoran tersebut menghalangi kulit terkena air, maka wudhunya jadilah tidak sah dan tidak bisa menghilangkan hadats.” (Idem)

Semoga bermanfaat bagi pembaca. Hanya Allah yang memberi taufik. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Berniatlah untuk Melakukan Suatu Amalan Baik

Setiap kali kita mendengar tentang sesuatu fadhilah atau amal kebaikan, yang kita sendiri tak memiliki kemampuan atau kecakapan mengerjakannya, hendaknya meniatkan dengan tulus amalan tersebut meski Anda belum bisa mengerjakan atau terlibat di dalamnya.

SETIAP mukmin yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Allah, mendapatkan kedudukan yang dekat kepada-Nya, dan beroleh kemuliaan dan tempat kediaman di sisi-Nya, hendaknya bersungguh-sungguh berdaya upaya meraih semua keutamaan yang bersifat keagamaan serta kebaikan-kebaikan ukhrawi yang diketahuinya. Hendaknya ia juga benar-benar mengamalkannya sejauh tidak terhambat oleh tiadanya kesempatan ataupun kemampuan.

Di antara fadha’il (fadhilah-fadhilah) dan amal-amal khair(kebaikan) ada yang dapat dikerjakan oleh setiap orang, seperti shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah, tilawah Al-Quran, zikir, dan lain sebagainya. Ada lagi yang tidak mampu atau tidak sempat mengerjakannya kecuali beberapa orang saja. Ada pula fadha’il yang sebagian dari kaum mukmin mampu mengerjakannya, tetapi terhalang karena mereka sedang sibuk mengerjakan suatu fadhilah atau amal khair yang lebih utama dan lebih wajib bagi mereka, dan di samping itu tak ada kemungkinan mengerjakan keduanya dalam saat yang bersamaan.

Oleh sebab itu, setiap kali Anda mendengar tentang sesuatu fadhilah atau amal khair apa pun, yang Anda sendiri tak memiliki kemampuan atau kecakapan untuk mengerjakannya –atau Anda mampu mengerjakannya tetapi Anda harus meninggalkan suatu amal khair lainnya yang lebih utama dan lebih baik untuk Anda– hendaknya Anda meniatkan dengan tulus amal khair tersebut meski Anda belum bisa mengerjakan atau terlibat di dalamnya.

Selanjutnya, jika Anda tak pandai atau tak sempat mengerjakan amal khair –atau Anda pandai mengerjakannya tetapi tak ada kesempatan untuk itu kecuali apabila Anda meninggalkan pekerjaan yang lebih utama dan lebih baik untuk Anda sendiri– hendaknya Anda berazam mengerjakannya segera setelah Anda beroleh kesempatan. Dengan demikian, dengan niat kuat yang baik tersebut, Anda akan termasuk dalam kelompok orang yang mengerjakannya dan memerhatikannya. Sebab, niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya, dan adakalanya niatnya itu akan menyampaikannya ke tingkatan yang justru tak dapat dicapai oleh amalannya.

Sebagai misal, pada suatu saat, Anda mendengar tentang keutamaan-keutamaan jihad fi sabilillah, sedangkan Anda tak mampu atau tak sempat mengerjakannya. Atau, tentang keutamaan-keutamaan (fadha’il) sedekah dan memberi makan orang miskin, sedangkan Anda tak memiliki kemampuan untuk itu disebabkan kemiskinan atau sedikitnya harta milikAnda. Atau, tentang fadha’il dalam pemerintahan yang adil atau menegakkan amr bi al-ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar, sedangkan Anda tak mampu untuk itu karena tak memiliki jabatan kekuasaan atau kekuatan, maka dalam keadaan-keadaan seperti itu hendaknya Anda niatkan sekiranya ada kemampuan dan kesempatan, niscaya Anda mengerjakan amal-amal khair tersebut, serta akan berusaha sungguh-sungguh dan mencurahkan segala daya upaya dan kecakapan sepenuhnya untuk itu.

Selain dari itu, sudah seharusnya pula Anda memberikan bantuan kepada orang-orang yang mengerjakan fadha’il ini serta kewajiban-kewajiban keagamaan lainnya sesuai dengan kemampuan Anda walaupun –paling sedikit– dengan mendoakan mereka, juga dengan mencintai mereka mengingat tugas keagamaan yang mereka laksanakan demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sepatutnya pula Anda tak segan-segan mengajak, mengimbau, dan memberi semangat kepada mereka agar dapat melaksanakan tugas-tugas dan amal-amal saleh yang sedang mereka tangani itu dengan cara sebaik-baiknya sehingga dengan begitu, terbukalah kemungkinan bagi Anda memperoleh pahala besar seperti pahala yang mereka peroleh. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam:

Orang yang menunjukkan jalan ke arah amal khair sama seperti orang yang mengerjakannya.” (HR Al-Bazzar dari Ibn Mas’ud).

Sabda beliau pula:

Barang siapa menyeru pada jalan kebaikan, niscaya ia memperoleh pahala sebanyak pahala-pahala semua orang yang mengikutinya, sementara hal itu tidak mengurangi sedikit pun pahala-pahala untuk mereka.” (HR Ahmad dan Al-Thurmudzi dari Abu Hurairah).

Kemudian, apa saja amal-amal khair yang Anda dapat kerjakan pada waktu yang bersamaan, kerjakanlah. Apa yang tidak dapat Anda gabungkan, pilihlah yang lebih afdhal dan lebih sempurna sesuai dengan kemampuan dan kesempatan Anda sendiri. Dan, apa saja yang tidak dapat Anda kerjakan, hendaknya Anda memiliki niat baik untuk sewaktu-waktu melaksanakannya apabila keadaan telah memungkinkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Di antara amal-amal kebaikan ada yang tidak mengandung bahaya sejak awal maupun sampai akhir, misalnya mempelajari ilmu yang bermanfaat, memperbanyak shalat, puasa sunnah, dan sebagainya. Amal-amal khair seperti itu hendaknya Anda berusaha dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya dengan segala kemungkinan dan kemampuan.

Tetapi, di antara amal-amal kebaikan ada pula yang mengandung bahaya dan kekhawatiran terjerumus dalam kejahatan dan pantangan-pantangan bagi orang yang terlibat di dalamnya. Yaitu, seperti jabatan-jabatan kekuasaan pemerintahan dan yang berkaitan dengan keuangan, serta lain-lainnya yang serupa dengan itu. Seorang yang berakal dan bijaksana sebaiknya tidak melibatkan diri atau berusaha mendapatkan jabatan-jabatan seperti itu. Sebab, dikhawatirkan apabila ia memperoleh sesuatu darinya, justru akan mendatangkan kebinasaannya seperti yang telah terjadi pada banyak orang yang melibatkan diri dalam jabatan-jabatan tersebut. Sehingga, hilanglah agama dan dunia mereka, dan terjerumuslah mereka ke dalam jurang kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan fadha’il yang mungkin diraih oleh orang-orang yang beroleh taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menangani jabatan-jabatan kekuasaan dan keuangan itu dengan baik, cukupkan diri Anda dengan niat yang baik saja antara Anda dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala andaikata Anda meraih sebagian dari jabatan itu atau ditunjuk untuk menduduki posisi-posisi itu, Anda berjanji akan mengelolanya demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan melaksanakannya demi mencapai keridhaan-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya. Cukup itu saja bagimu dan mudah-mudahan Anda beroleh pahala dengan niat yang tulus dan baik itu seperti yang didapat oleh pelaksana jabatan-jabatan tersebut –yang mengelolanya demi Allah– seraya terhindar dari bahaya dan cobaan-cobaan padanya.

Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada seorang sahabatnya:

Jangan sekali-kali meminta suatu jabatan kepemimpinan. Sebab, apabila Anda mendapatkannya berdasarkan permintaan Anda, akan beratlah tanggung jawab Anda. Namun, jika hal itu diberikan tanpa permintaan dari Anda, niscaya Allah akan memberikan bantuan-Nya kepada Anda.” (HR Muslim dari ‘Abdurrahman bin Samurah)

Demikian pula kisah yang masyhur tentang Tsa’labah yang meminta Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan dirinya agar Allah memberinya banyak rezeki, harta yang berlimpah, untuk ia sedekahkan nantinya dan berbuat kebajikan dengannya. Namun, ketika hal tersebut dikabulkan, ia mengingkari janjinya sehingga ditimpa murka Allah.

Berkenaan dengan itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan firman-Nya:

Dan, di antara mereka ada yang membuat perjanjian dengan Allah, ‘Jika Allah memberikan karunia-Nya kepada kami, pastilah kami memberi sedekah dan masuk golongan orangyang saleh.’ Tetapi, setelah datang kepada mereka karunia Allah, mereka menjadi kikir dengan karunia itu, berpaling dan menolak memenuhi janjinya. Maka, Allah menghukum mereka disebabkan kemunafikan dalam hati mereka, sampai hari mereka bertemu dengan Allah, karena mereka melanggar apa yang mereka janjikan kepada-Nya dan berdusta.” (QS Al-Taubah [9]: 75-77).*Al-‘Allamah ‘Abdullah Al-Hadad, dikutip dari bukunya Meraih Kebahagiaan Sejati.

 

HIDAYATULLAH

Jauhkan Anak dari Tathoyyur!

Tathoyur secara istilah diartikan menanggap adanya kesialan karena adanya sesuatu

 

DUK! Terdengar suara keras dari halaman. Ternyata si kecil Fida’ terjatuh keras. Lalu sang ibu pun tergopoh-gopoh berlari dari dalam. “Nah… nak… itu tandanya harus berhenti main. Ayo masuk rumah!” Lain lagi di rumah tetangga. Sang anak yang sudah berusia 11 tahun mendengar pembantu di dapur berkata, “Aduh… nasinya basah… siapa ya yang sakit di kampung?”

Wahai ibu… kasihanilah anakmu dan keluarga yang menjadi tanggung jawabmu di rumah. Sungguh dengan terbiasa melihat dan mendengar kejadian semacam itu, maka akan mengendap dalam benak mereka perbuatan-perbuatan yang tidak lain merupakan tathoyyur. Padahal tidaklah tathoyyur itu melainkan termasuk kesyirikan. Apakah kita hendak mengajarkan kepada anak kesayangan kita dengan kesyirikan yang merusak fitrah tauhid kepada Allah? Wal’iyyadzubillah.

Tathoyyur

Tathoyyur atau thiyaroh secara bahasa diambil dari kata thair (burung). Hal ini dikarenakan tathoyyur merupakan kebiasaan mengundi nasib dengan menerbangkan burung; jika sang burung terbang ke kanan, maka diartikan bernasib baik atau sebaliknya jika terbang ke kiri maka berarti bernasib buruk. Dan tathoyur secara istilah diartikan menanggap adanya kesialan karena adanya sesuatu (An Nihayah Ibnul Atsir 3/152, Al Qoulul Mufid Ibnu Utsaimin, 2/77. Lihat majalah Al-Furqon, Gresik). Walaupun pada asalnya anggapan sial ini dengan melihat burung namun ini hanya keumuman saja. Adapun penyandaran suatu hal dengan menghubungkan suatu kejadian untuk kejadian lain yang tidak ada memiliki hubungan sebab dan hanya merupakan tahayul semata merupakan tathoyur. Misalnya, jika ada yang bersin berarti ada yang membicarakan, jika ada cicak jatuh ke badan berarti mendapat rezeki, jika ada makanan jatuh berarti ada yang menginginkan dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak ada dasarnya sama sekali.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللّهُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]:131)

Syaikh Abdurrahman berkata, “Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Kesialan mereka, yaitu ‘Apa yang ditakdirkan kepada mereka.’ Dalam suatu riwayat, ‘Kesialan mereka adalah di sisi Allah dan dari-Nya.’ maksudnya kesialan mereka adalah dari Allah disebabkan kekafiran dan keingkaran mereka terhadap ayat-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Fathul Majid).

Sedangkan firman Allah yang artinya,

“Kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas.” (QS. Yaasiin [36]:19)

Ibnul Qoyyim rohimahullah menjelaskan bahwa bisa jadi maksudnya adalah kemalangan itu berbalik menimpa dirimu sendiri. Artinya, tathoyyur yang kamu lakukan akan berbalik menimpamu (Fathul Majid).

Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan bahwa relevansi kedua ayat dalam masalah tathoyyur adalah tathoyyur berasal dari perbuatan orang-orang jahiliyah dan orang-orang musyrik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga telah menafikan adanya tathoyyur dalam sabdanya,

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَ لاَ هَامَةَ صَفَرَ، زَادَ مُسلِمُ: وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ

Artinya, “Tidak ada ‘adwa, tidak ada tathoyyur, tidak ada hamah dan tidak ada shafar.” (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Muslim menambahkan dengan, “Tidak ada bintang dan tidak ada ghul (hantu).” (*)

(*) Penulis pada kesempatan ini hanya akan membahas penafian Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dengan adanya tathoyyur. Adapun pengertian istilah-istilah dalam hadits ini akan dibahas tersendiri dalam rubrik akidah, insya Allah.

Bahaya Mempercayai Tathoyyur

Ketahuilah wahai Ibu, sesungguhnya tathoyyur adalah perbuatan yang dapat merusak tauhid karena ia termasuk kesyirikan. Terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud rodhiallahu ‘anhu secara marfu’,

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وماَ مِنَّا إلاَّ، وَلَكِنَّ اللّهض يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ

“Tathoyyur adalah kesyirikan, tathoyyur adalah kesyirikan, dan tidak ada seorang pun dari kita kecuali (telah terjadi dalam dirinya sesuatu dari hal itu), akan tetapi Allah menghilangannya dengan tawakal.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menyatakan shahih dan menjadikan perkataan terakhir adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud. Lihat Fathul Majid)

Syaikh Abdurahman bin Hasan menjelaskan bahwa thiyarah termasuk kesyirikan yang menghalangi kesempurnaan tauhid karena ia berasal dari godaan rasa takut dan bisikan yang berasal dari setan (Fathul Majid).

Wahai ibu… kesyirikan merupakan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah hingga sang pelaku bertaubat atas kesalahannya. Lalu bagaimana lagi jika kesyirikan yang kita lakukan diikuti oleh anak cucu kita. Itu berarti kita menanggung dosa-dosa mereka (karena telah mengikuti bertathoyyur) dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. Na’udzubillah mindzalik. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melakukan amal keburukan maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Keyakinan Adanya Tathoyyur

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sebaliknya manusia adalah jiwa yang lemah yang juga memiliki musuh-musuh yang akan selalu membisikan was-was dari arah depan, belakang, samping kiri dan kanan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallambersabda,

“Dari Mu’awiyah bin Al Hakam bahwasannya ia berkata kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, ‘Di antara kami ada orang-orang yang bertathoyyur.’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah sesuatu yang akan kalian temukan dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai penghalang bagimu’.” (HR. Muslim)

Syaikh Abdurrahman bin Hasan berkata ketika mengomentari hadits ini, “Dengan ini Beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang ditimbukan dari sikap tathoyyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan pada sesuatu yang di-tathoyyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya itulah yang membuatnya ber-tathoyyur dan menghalangi dirinya, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.”

Hal ini jelas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan satu tanda apapun yang menunjukkan adanya kesialan atau menjadi sebab bagi sesuatu yang dikhawatirkan manusia. Ini adalah termasuk kasih sayang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala karena jika ada tanda-tanda semacam itu, tentu manusia tidak akan tenang dalam menjalankan aktifias di dunia. Maka jika muncul rasa was-was dalam hati seseorang karena mendengar atau melihat sesuatu yang itu merupakan tathoyyur, maka hendaklah ia mengucapkan,

اللّهُمَّ لاَ يَأْتِي بِااْحَسَنَاتِ إلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيِّآتِ إلاَّ أنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بشكَ

“Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Engkau.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)

Adapula riwayat hadits dari Ibnu ‘Amr, “Barangsiapa yang mengurungkan hajatnya karena tathoyyur, maka ia benar-benar telah berbuat kemusyrikan. Mereka berkata, ‘Lalu apa yang dapat menghapus itu?’ Ia berkata, ‘Hendaknya orang itu berkata,

اللًّهُمَّ لاَ خَيْرَ إلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إلاَّ طَيْرُكَ

‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada kesialan kecuali kesialan dari engkau dan tidak ada Ilah yang haq selain Engkau.’” (HR.Ahmad)

Jauhkan Anak dari Tathoyyur

Terkadang memang terjadi pada diri sang ibu atau anggota keluarga lain yang mengeluarkan kalimat atau perbuatan yang pada hakekatnya adalah tathoyyur baik disadari atau tidak. Maka kini ketika menyadari bahwa itu adalah kalimat tathoyyur, hendaknya anggota keluarga saling mengingatkan dan menggantinya dengan kalimat yang mengarahkan anak untuk kecintaannya pada dinul Islam. Hal ini dikarenakan anak sangat mudah menyerap hal-hal yang didengar atau dilihatnya dan akan terus membekas sampai sang anak dewasa (dengan tanpa menyadari itu adalah sebuah kesalahan atau kebaikan). Penulis memberikan beberapa contoh yang mungkin biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika anak jatuh atau terluka, maka tidak dikatakan, “Itu tandanya kamu begini dan begitu. Tidak usah diteruskan, dll.” Tetapi karena ia kesakitan dan menangis maka doakanlah ia semacam doa, “La ba’sa thohurun insya Allah.” Dengan demikian anak terbiasa mendengar doa tersebut dan sang ibu menjalankan salah satu sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.

Termasuk kesalahan dalam mendidik adalah ketika mereka terluka kemudian yang disalahkan adalah benda-benda di sekitarnya semisal, “Batunya nakal ya”. Ini hanya akan mengajarkan anak selalu mencari-cari kesalahan pada yang lain tanpa melihat kesalahan dirinya sendiri.

Contoh lainnya, ketika ada yang bersin, tidak dikatakan, “Wah ada yang ngomongin tuh” atau perkataan-perkataan yang tidak berdasar lainnya. Tetapi jika yang bersin mengucapkan “Alhamdulillah”, maka jawablah dengan “Yarhamukallah” yang kemudian akan dijawab kembali oleh yang bersin dengan bacaan, “Yahdikumullah wa yushlih baalakum”.

Bacaan-bacaan ini adalah termasuk sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang perlu dibiasakan pada diri anak. Dalam hal pendidikan pada anak yang banyak memerlukan pembiasaan, perlu adanya kerjasama dari anggota keluarga untuk saling mendukung dalam mendidik anak. Pembiasaan pada anak juga terpengaruh dari kebiasaan yang ada pada orang tua dan keluarga. (Lihat kitab Hisnul Muslim karya Sa’id bin Wahf al Qothoni -sudah diterjemahkan- untuk mengetahui do’a-do’a menurut sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari).

Sungguh manis apa yang bisa kita tanamkan kepada sang anak ketika kecil jika mengikuti sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Insya Allah buahnya akan kita rasakan baik dalam waktu yang relatif dekat atau ketika sang anak telah besar nantinya. Ini juga menunjukkan betapa Nabi kita shollallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan segala hal yang baik untuk umatnya. Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada kita.

 

Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi

MUSLIMAH.or.id