Isra Mi’raj Adalah Dalil Sifat Al ‘Uluw Bagi Allah

Isra Mi’raj adalah salah satu dalil bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi berada di atas langit.

Allah Ta’ala memiliki sifat Al ‘Uluw yaitu Maha Tinggi, dan dengan ke-Maha Tinggi-an-Nya Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy. Istiwa artinya ‘alaa was taqarra, tinggi dan menetap. Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy artinya Allah Maha Tinggi menetap di atas ‘Arsy. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Dan peristiwa Isra Mi’raj adalah salah satu dalil bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi berada di atas langit. Mengapa demikian? Simak penjelasannya.

Dalil-dalil Sifat Al ‘Uluw bagi Allah

Dan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala itu Maha Tinggi dan Ia ber-istiwa di atas Arsy sangatlah banyak, baik dari Al Qur’an, Al Hadits dan ijma salaf.

Dalil-dalil dari Al Qur’an mengenai hal ini bisa dibagi menjadi lima jenis:

Pertama: Dalil-dalil yang menyebutkan bahwa Allah menamai diri-Nya dengan Al Aliy (العلي) dan Al A’la (الأعلى) dan diantara kaidah ahlussunnah dalam al asma was shifat Allah adalah:

أسماء الله أعلام وأوصاف

“nama-nama Allah Ta’ala itu mengandung nama sekaligus sifat Allah”

Kedua: Dalil-dalil yang menyebutkan bahwa Allah menyatakan diri-Nya ber-istiwa di atas Arsy. Sedikitnya ada 7 tempat dalam Al Qur’an yang menyebutkan hal ini. Diantaranya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).

Ketiga: Dalil-dalil yang menyebutkan sifat fauqiyah, yaitu bahwa Allah ada di atas. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman tentang Malaikat:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ

Para Malaikat itu takut kepada Rabb mereka yang ada di atas mereka” (QS. An Nahl: 50).

Keempat: Allah Ta’ala menegaskan bahwa kalimat thayyibah akan naik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ

Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS. Fathir: 10).

Kelima: Dalil-dalil yang menyebutkan tentang adanya hal-hal yang diangkat kepada Allah. Diantaranya firman Allah Ta’ala tentang Isa ‘alaihissalam:

بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ

Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya” (QS. An Nisa: 158).

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku”” (QS. Ali Imran: 55).

Adapun dalil-dalil dari hadits sangatlah banyak sekali hingga tak terhitung.

Ibnul Qayyim mengatakan:

إن الآيات والأخبار الدالة على علو الرب على خلقه ,واستوائه على عرشه تقارب الألوف

“Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, dan bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, itu semua mencapai ribuan” (Mukhtashar Ash Shawaiqul Mursalah, 1/386).

Para ulama ijma bahwa Allah Maha Tinggi ber-istiwa di atas Arsy

Penetapan bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi, berada di atas langit dan ber-istiwa di atas Arsy adalah ijma (konsensus) salaf serta ijma para ulama yang mengikuti jejak mereka. Bahkan nukilan ijma mengenai hal ini sangatlah banyak, jelas dan valid. Dalam kitab Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, Imam Adz Dzahabi menukil perkataan Ishaq bin Rahuwaih:

قال الله تعالى {الرحمن على العرش استوى} إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة

“Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Ar Rahman ber-istiwa di atas Arsy’, ini adalah ijma para ulama yaitu bahwa Allah ber-istiwa di atas Arsy, dan Allah mengetahui segala sesuatu hingga di bawah bumi yang ke tujuh” (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, 179).

Imam Ibnu Bathah mengatakan:

أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين، وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه، فوق سماواته بائن من خلقه، وعلمه محيط بجميع خلقه، لا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية

“Kaum Muslimin dari kalangan sahabat Nabi dan tabi’in serta para ulama kaum Mu’minin bersepakat bahwasanya Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di atas Arsy, di atas langit-langit dan terbedakan dengan makhluknya. Adapun ilmu Allah meliputi seluruh makhluk. Tidak ada yang menolak dan mengingkari keyakinan ini kecuali orang-orang yang terpengaruh madzhab hululiyyah” (Al Ibanah Al Kubra, 7/136).

Mulianya Sifat Maha Tinggi dan Istiwa Allah di Atas Arsy

Tentunya sifat Maha Tinggi dan istiwa Allah di atas Arsy ini sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak sebagaimana sifat tinggi dan sifat istiwa pada makhluk. Sebagaimana Allah juga punya sifat mendengar dan melihat, sedangkan manusia juga mendengar dan melihat. Namun sifat mendengar dan melihat pada Allah tidak sama seperti sifat mendengar dan melihat pada manusia. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syura: 11).

Isra Mi’raj adalah salah satu dalil sifat Al ‘Uluw bagi Allah

Diantara dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah Ta’ala Maha Tinggi, Ia berada di langit ber-istiwa di atas Arsy, adalah peristiwa Isra Mi’raj. Lebih tepatnya pada peristiwa Mi’raj, ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperjalankan ke langit dan bertemu dengan Allah Ta’ala menerima perintah shalat lima waktu.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu beliau berkata:

لمَّا أُسْريَ برسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ انتُهيَ بِهِ إلى سدرةِ المنتَهَى ، وَهيَ في السَّماءِ السَّادسةِ ، إليها ينتَهي ما يعرجُ بِهِ منَ الأرضِ ، فيقبِضُ منها ، وإليها ينتَهي ما يُهْبِطُ بِهِ مِن فوقِها فيقبِضُ منها ، قالَ : إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى [ 53 / النجم / الآية – 16 ] قالَ : فِراشٌ من ذَهَبٍ ، قالَ : فأُعْطيَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ ثلاثًا : أُعْطيَ الصَّلواتِ الخمسَ ، وأُعْطيَ خواتيمَ سورةِ البقرةِ ، وغُفِرَ لمن لم يشرِكْ باللَّهِ من أمَّتِهِ شيئًا ، المُقْحِماتُ

Ketika Rasullullah Shallallahu’alaihi Wasallam diperjalankan hingga ke Sidaratul Muntaha, yaitu di langit ke enam. Di sanalah terhenti segala sesuatu yang naik dari bumi, lalu diputuskan di sana. Dan di sana pula terhenti segala sesuatu yang turun dari atasnya, lalu diputuskan di sana. “Ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya” (QS. An Najm: 16). Ibnu Mas’ud mengatakan: “yaitu tempat tidur yang terbuat dari emas”. Beliau lalu mengatakan: Lalu Rasulullah diberikan tiga hal di sana: diberikan perintah shalat lima waktu, diberikan ayat-ayat terakhir surat Al Baqarah, dan diampuni orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun dari umatnya walaupun ia berbuat dosa besar” (HR. Muslim no. 173).

Imam Ibnu Mandah dalam Kitabut Tauhid membuat bab:

ذكر الايات المتلوة و الاخبار المأثورة بنقل الرواة المقبولة التي تدل على أن الله تعالى فوق سمواته و عرشه و خلقه قاهرا سميعا عليما

“Penyebutan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits dengan periwayatan yang diterima yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala ada di atas langit dan di atas Arsy-nya serta di atas para makhluk-Nya, dalam keadaan Ia Maha Kuasa, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (Kitabut Tauhid libni Mandah, hal. 761, cetakan Dar Hadyun Nabawi Mesir).

Dan diantara hadits-hadits yang beliau bawakan dalam bab tersebut adalah hadits Ibnu Mas’ud riwayat Muslim di atas. Mengisyaratkan bahwa beliau berdalil dengan hadits mengenai Isra Mi’raj, yaitu diperjalankannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diperjalankan ke langit, untuk menunjukkan bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi berada di atas langit, di atas Arsy dan di atas para makhluk-Nya.

Imam Adz Dzahabi dalam kitab Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar juga membawakan hadits panjang dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim mengenai kisah Isra dan Mi’raj (Al ‘Uluw li ‘Aliyyil Ghaffar, no. 17). Dan kitab tersebut seluruhnya berisi dalil-dalil mengenai sifat Al ‘Uluw sebagaimana judulnya.

Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi juga menyatakan:

وَفِي حَدِيثِ الْمِعْرَاجِ دَلِيلٌ عَلَى ثُبُوتِ صِفَةِ الْعُلُوِّ لِلَّهِ تَعَالَى مِنْ وُجُوهٍ، لِمَنْ تَدَبَّرَهُ

“Dan dalam hadits mengenai Mi’raj terdapat dalil ditetapkannya sifat Al ‘Uluw bagi Allah Ta’ala dari banyak sisi pandang, bagi orang yang mentadabburinya”(Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyyah, 1/226).

Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi menjelaskan:

أما الفوائد الأخرى العامة المستنبطة من حديث الإسراء والمعراج ففيه أولا إثبات العلو لله عز وجل من وجوه: حيث إن الرسول -عليه الصلاة والسلام- عرج به إلى ربه عز وجل ثم جاوز السبع الطباق ثم لما كان يتردد بين ربه وبين موسى في كل مرة يعلو به جبرائيل إلى الجبار -تبارك وتعالى- فيه الرد على من أنكر العلو من الجهمية والمعتزلة والأشاعرة وغيرهم

“Faidah umum lainnya yang bisa kita petik dari hadits isra mi’raj adalah: pertama, penetapan sifat Al ‘Uluw bagi Allah ‘Azza wa Jalla dari berbagai sisinya. Karena Rasulullah ‘alaihis shalatu wassalam diangkat naik menghadap Allah ‘Azza wa Jalla hingga langit yang ke-7. Kemudian beliau bolak-balik antara menghadap Allah dan bicara dengan Nabi Musa. Setiap kali setelah bicara dengan Musa, Jibril membawanya naik kembali menghadap Allah Tabaraka wa Ta’ala. Hadits ini adalah bantahan bagi orang yang mengingkari sifat Al ‘Uluw, seperti kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, Asya’irah dan selainnya” (Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyyah, 1/152).

Aneh jika merayakan Isra Mi’raj, namun mengingkari sifat Al ‘Uluw

Sebagian orang mereka mengadakan acara peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun di sisi lain mereka mengingkari bahwa Allah Maha Tinggi ber-istiwa di atas Arsy. Mereka malah mengatakan Allah ada dimana-mana, ada di hari kita, atau perkataan bahwa “Allah tidak di atas, tidak di bawah, tidak di dalam dunia dan tidak di luar dunia”, atau perkataan “Allah ada tanpa tempat”, atau sikap tawaqquf seperti mengatakan “hanya Allah yang tahu Ia dimana”, “kita serahkan maknanya kepada Allah” dan perkataan-perkataan semisalnya yang pada hakikatnya ingin mengingkari bahwa Allah Ta’ala Maha Tinggi ber-istiwa di atas Arsy sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil.

Ini menjadi aneh karena mereka justru membuat perayaan Isra Mi’raj (yang tidak ada tuntunan untuk merayakannya) namun mereka tidak menerima muqtadha (konsekuensi) dari peristiwa Isra Mi’raj tersebut yaitu penetapan sifat Al ‘Uluw bagi Allah. Syaikh Salim bin Sa’ad Ath Thawil mengatakan:

إن مناهج وعقائد أهل البدع متناقضة غاية التناقض!! وذلك لأنها من عند غير الله تعالى. فتجدهم يثبتون المعراج لرسول الله صلى الله عليه وسلم ويحتفلون بذكراه مع أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يحتفل فيه ولم يرشد إلى ذلك، كما أنهم يثبتون معراج النبي صلى الله عليه وسلم إلى السماوات العلا وينكرون أو يشكون أو يتوقفون في علو الله تبارك وتعالى

“Diantara manhaj ahlul bid’ah adalah berlaku kontradiktif hingga tingkatan kontradiksi yang paling puncak. Itu karena keyakinan mereka itu bukan berasal dari Allah Ta’ala. Anda bisa melihat mereka membenarkan peristiwa Mi’raj-nya Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam, dan bahkan membuat perayaan untuk mengenangnya, padahal Nabi Shallallahu’alahi Wasallam tidak pernah merayakannya dan tidak pernah menuntunkannya. Mereka juga membenarkan bahwa Nabi Shallallahu’alahi Wasallam diangkat ke langit. Namun mereka mengingkari atau meragukan atau bersikap tawaqquf tentang sifat Al ‘Uluw bagi Allah Tabaraka wa Ta’ala

Beliau juga mengatakan:

إذا لم نقل بأن الله تعالى فوق السماء فإلى من عرج النبي صلى الله عليه وسلم؟ ومن فرض عليه الصلاة في السماوات العلا

“Jika kita tidak mengatakan bahwa Allah Ta’ala berada di atas langit, maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika Mi’raj ke langit itu menghadap siapa? Dan siapa yang memberi perintah wajibnya shalat lima waktu di sana?” (Ayyuhal Muhtafilun bil Isra wal Mi’raj Afala Ta’qilun

Sikap Kita Terhadap Peristiwa Isra Mi’raj

Dengan demikian, sudah sepatutnya jika kita membenarkan dan beriman kepada peristiwa Mi’raj-nya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ke langit, kita juga membenarkan dan beriman bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat Al ‘Uluw, Ia Maha Tinggi di atas para makhluk-Nya, berada di atas langit, ber-istiwa di atas Arsy sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil dan ijma salaf serta para ulama.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

Penyusun: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29826-isra-miraj-adalah-dalil-sifat-al-uluw-bagi-allah.html

Perbedaan antara Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah (Bag. 2)

Jenis-jenis ibadah ghairu mahdhah

Terdapat beberapa model ibadah ghairu mahdhah, di antaranya:

Pertama, melakukan berbagai macam kewajiban dan perkara yang dianjurkan yang pada asalnya bukanlah termasuk dari ibadah.

Misalnya, memberikan nafkah kepada anak dan istri; melunasi hutang; menikah; menghutangi orang lain; memberikan pinjaman barang kepada orang yang membutuhkan; memberikan hadiah; berbuat baik kepada kedua orang tua; memuliakan tamu; dan yang lainnya.

 

Jika seorang muslim melaksanakan berbagai perkara tersebut -baik yang statusnya wajb maupun sunnah- dalam rangka mencari ridha dan pahala dari Allah Ta’ala, maka perkara-perkara tersebut statusnya adalah ibadah sehingga pelakunya berhak mendapatkan pahala karenanya.

Misalnya, seorang kepala rumah tangga yang memberikan nafkah kepada anak-anaknya dengan niat untuk memenuhi perintah Allah Ta’ala dan dengan niat untuk mendidik anak-anaknya agar mereka beribadah kepada Allah Ta’ala. Juga seseorang yang menikah dengan niat untuk menjaga dirinya dari perbuatan zina.

Perhatian: Menikah dan jual beli termasuk perkara yang pada asalnya non-ibadah atau ibadah ghairu mahdhah. Hal ini karena tanpa wahyu, manusia sudah biasa beraktivitas jual beli dan menikah. Dan juga maksud pokok kedua aktivitas tersebut adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan duniawi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, kedua perkara ini kemudian diatur dalam syariat.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bisa berpahala adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

“Dan kamu tidaklah menginfaqkan suatu nafkah yang hanya kamu niatkan untuk mencari ridha Allah, kecuali pasti diberi balasan pahala atasnya, bahkan sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk mulut isterimu.” (HR. Bukhari no. 1295 dan Muslim no. 1628)

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

“Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351 dan Muslim no. 1002)

 

Karena pahala tersebut sesuai dengan niat pelakunya, maka bisa jadi seorang suami tidak mendapatkan pahala ketika dia memberikan nafkah kepada anak dan istrinya. Misalnya, suami memberikan nafkah karena itulah memang kewajiban suami menurut adat kebiasaan di masyarakat. Kalau tidak memberikan nafkah, dia khawatir akan menjadi buah bibir di masyarakat. Atau tidak lebih dari niat dan alasan semacam itu.

Ke dua, meninggalkan berbagai hal yang haram dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala.

Misalnya, meninggalkan riba; meninggalkan perbuatan mencuri; tidak melakukan penipuan; meninggalkan minum khamr; dan perbuatan yang lainnya. Perbuatan meninggalkan yang haram tersebut hanya akan berpahala jika pelakunya meniatkan dalam hati untuk mencari pahala dari Allah Ta’ala, karena motivasi takut terhadap adzab dan hukuman-Nya.

Jadi, seseorang yang meninggalkan minum khamr, hanyalah akan berpahala jika dilandasi oleh niat dan motivasi tersebut. Jika tidak ada, maka tidak berpahala. Misalnya, seseorang tidak minum khamr karena memang tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk minum khamr atau semata-mata karena tidak suka dengan bau minuman khamr. Jika latar belakang meninggalkan minum khamr adalam semacam ini, maka tidak berpahala.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَقُولُ اللَّهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً، فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ

“Allah berfirman, ‘Jika seorang hamba-Ku ingin melakukan kejahatan (keburukan), maka janganlah kalian catat hingga dia melakukannya. Jika dia melakukannya, maka catatlah dengan yang semisalnya (yaitu satu kejelekan, pent.). Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka catatlah satu kebaikan baginya. Adapun jika dia berniat melakukan kebaikan, meskipun dia belum melakukannya, maka catatlah kebaikan baginya. Dan jika dia melakukannya, maka catatlah sepuluh kebaikan baginya, bahkan hingga tujuh ratus kali lipat’.” (HR. Bukhari no. 7501 dan Muslim no. 128. Lafadz hadits ini milik Bukhari)

Ke tiga, melakukan perkara yang pada asalnya mubah (bukan perkara wajib atau perkara sunnah), dengan niat sebagai sarana untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka perbuatan tersebut berpahala.

Misalnya, seseorang makan, minum, dan tidur. Perkara-perkara tersebut pada asalnya adalah perkara mubah, yang tidak bernilai ibadah. Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan berbagai aktivitas tersebut dengan niat untuk membantu melaksanakan ketaatan atau ibadah kepada Allah Ta’ala, maka aktivitas dan perbuatan tersebut bisa mendatangkan pahala dari sisi Allah Ta’ala.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah cakupan makna umum dari hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya berkaitan dengan memberikan nafkah kepada istri atau keluarga.

Juga dikuatkan oleh perkataan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, ketika ditanya oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkaitan dengan aktivitasnya membaca Al-Qur’an. Maka Mu’adz bin Jabal radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata,

أَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ، فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنَ النَّوْمِ، فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي، فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي

“Saya tidur diawal malam, kemudian bangun, kulaksanakan hak tidurku, dan aku baca apa yang Allah tetapkan bagiku. Aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana berharap pahala dari shalat malamku.” (HR. Bukhari no. 4341)

Dalam hadits di atas, Mu’adz tidur di awal malam dengan niat agar bisa bangun di akhir malam untuk membaca Al-Qur’an dan juga shalat malam. Jadi, Mu’adz menjadikan aktivitas tidurnya dalam rangka membantunya untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala, yaitu membaca Al-Qur’an di akhir malam (menjelang subuh).

 

Perhatian:

Perkara-perkara yang hukum asalnya mubah ini bisa mendatangkan pahala jika dijadikan sebagai sarana untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika perkara mubah itu sendiri dijadikan sebagai ibadah yang diyakini bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka dalam kondisi semacam ini, dia terjatuh ke dalam perbuatan bid’ah.

Contoh, makan daging hukum asalnya mubah. Jika seseorang makan daging, dan meyakini bahwa makan daging itu sendiri adalah aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka aktivitas makan daging dalam kondisi itu adalah bid’ah. Hal ini karena seseorang menjadikan perkara tertentu sebagai ritual ibadah, padahal tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga berpakaian. Orang pada asalnya bebas berpakaian dengan bahan apa saja, kecuali jika terdapat larangan dari syariat. Namun, jika seseorang meyakini bahwa memakai pakaian dari kain wol itu memiliki nilai lebih atau keistimewaan tertentu sehingga dengan memakainya dia bisa lebih dekat kepada Allah Ta’ala, maka keyakinan semacam ini adalah bid’ah, karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perkara ini haruslah dibedakan, sehingga seseorang dapat menjaga dirinya dari terjatuh ke dalam bid’ah.

Dari penjelasan ini, dapat kita ketahui bahwa perkara ibadah adalah perkara yang sangat luas cakupannya. Sehingga hendaknya setiap kita berlomba-lomba, siapakah di antara kita yang paling bagus amal ibadahnya.

 

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46008-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah-bag-2.html

Perbedaan antara Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah (Bag. 1)

Ibadah merupakan salah satu tujuan penciptaan manusia. Dan untuk merealisasikan tujuan tersebut, diutuslah para rasul dan kitab-kitab diturunkan. Orang yang betul-betul beriman kepada Allah Ta’ala tentu akan berlomba-lomba dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, karena ketidaktahuan tentang pengertian atau jenis-jenis ibadah, sebagian mereka hanya fokus terhadap ibadah tertentu saja, misalnya shalat, zakat, atau puasa. Padahal, jenis-jenis ibadah sangatlah banyak.

 

Luasnya cakupan ibadah dapat kita lihat dari definisi ibadah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala,

الْعِبَادَة هِيَ اسْم جَامع لكل مَا يُحِبهُ الله ويرضاه من الْأَقْوَال والأعمال الْبَاطِنَة وَالظَّاهِرَة.

“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik ucapan atau perbuatan, yang lahir (tampak, bisa dilihat) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa dilihat).” (Al-‘Ubudiyyah, hal. 44)

Para ulama menjelaskan bahwa secara garis besar, ibadah dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhahDalam tulisan singkat ini, penulis akan mencoba untuk menjelaskan perbedaan di antara keduanya.

 

Perbedaan antara ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah

Ibadah mahdhah (العبادت المحضة)

Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:

Pertama, ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.

Kedua, ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.

Ketiga, ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya.

Contoh sederhana ibadah mahdhah adalah shalat. Shalat adalah ibadah mahdhah karena memang ada perintah (dalil) khusus dari syariat. Sehingga sejak awal mulanya, shalat adalah aktivitas yang diperintahkan (ciri yang pertama). Orang mengerjakan shalat, pastilah berharap pahala akhirat (ciri ke dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian berapa kali shalat, kapan saja, berapa raka’at, gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita ketahui melalui penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari kreativitas dan olah pikiran kita sendiri.

Ibadah ghairu mahdhah (العبادت غير المحضة)

Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:

Pertama, ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat pelakunya.

Kedua, maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.

Ketiga, amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak ada wahyu dari para rasul.

Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah aktivitas makan. Makan pada asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang bebas mau makan kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan menu apa saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang makan karena lapar, atau hanya sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan agar memiliki kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid. Ini adalah ciri pertama.

Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika orang makan adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Selain itu, manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya makan dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah mencari makan.

Ini adalah contoh sederhana untuk memahamkan pengertian ibadah ghairu mahdhah, dan akan kami sebutkan lebih rinci lagi jenis-jenis ibadah ghairu mahdhah di serial selanjutnya dari tulisan ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, ibadah mahdhah disebut juga dengan ad-diin (urusan agama), sedangkan ibadah ghairu mahdhah disebut juga dengan ad-dunya (urusan duniawi). Sebagaimana ibadah mahdhah disebut juga dengan al-‘ibadah (ibadah), sedangkan ibadah ghairu mahdhah disebut juga dengan al-‘aadah (adat kebiasaan).

Kemudian untuk lebih memperjelas perbedaan antara ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah, berikut kami sebutkan rincian contoh ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

Rincian ibadah mahdhah

Ibadah mahdhah adalah ibadah yang banyak kita kenal, bahkan sebagian kaum muslimin bisa jadi menyangkan bahwa ibadah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah. Berikut ini beberapa rincian ibadah mahdhah,

Ibadah hati (al-‘ibadah al-qalbiyyah) (العبادت القلبية), bisa dirinci dalam dua jenis ibadah:

Pertama, ucapan hati (qaulul qalbi) (قول القلب)yaitu berbagai perkara aqidah yang wajib untuk diyakini, misalnya keyakinan bahwa tidak ada pencipta selain Allah Ta’ala (keimanan terhadap rububiyyah Allah Ta’ala); tidak ada yang berhak disembah selain Allah Ta’ala (keimanan terhadap uluhiyyah Allah Ta’ala); beriman terhadap semua nama dan sifat yang Allah Ta’ala tetapkan; beriman terhadap malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan juga beriman terhadap taqdir

Kedua, perbuatan (amal) hati (‘amalul qalbi) (عمل القلب)misalnya ikhlas; mencintai Allah Ta’ala; berharap pahala dan ampunan Allah Ta’ala (raja’); takut akan siksa dan hukuman-Nya (khauf); tawakkal hanya kepada Allah Ta’ala; sabar dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan; dan yang lainnya.

  • Ibadah dalam bentuk ucapan lisan (al-‘ibadah al-qauliyyah) (العبادت القولية)misalnya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lisan; membaca Al-Qur’an; berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan tasbih, tahmid, dan takbir; mengajarkan ilmu agama; dan ibadah lisan lainnya.
  • Ibadah anggota badan (al-‘ibadah al-badaniyyah) (العبادت البدنية)misalnya shalat; sujud; puasa; haji; thawaf di baitullah (Ka’bah); jihad; belajar ilmu agama; dan yang lainnya.
  • Ibadah harta (al-‘ibadah al-maaliyyah) (العبادت المالية)misalnya zakat; sedekah; menyembelih hewan kurban; dan yang lainnya.

 

Perkara-perkara tersebut hanya mengandung dua kemungkinan: jika ditujukan hanya untuk Allah Ta’ala, maka itulah tauhid. Namun jika ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, itulah kemusyrikan.

 

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah-bag-1.html

Bulan Politik, Bangun Kebersamaan dan Perdamaian

SUASANA semakin panas bukan karena matahari yang terlalu terik menyapa bumi. Rintik hujan masih mampu menyeimbangi panas matahari itu. Suasana semakin sumuk bukan karena tak ada AC atau pendingin ruangan lainnya.

Jendela dan pintu yang terbuka leluasa memberikan izin angin semilir menyapa ruangan-ruangan kita. Jangan-jangan yang menyebabkan suasana panas dan sumuk itu adalah tiadanya rintik air mata kasih sayang dan tiadanya jendela hati serta pintu rasa yang terbuka. Mari kita periksa.

Menjelang Pilpres tanggal 17 April ini, hampir semua warung kopi menjadi ruang debat masyarakat umum, hampir semua instrumen media sosial dipenuhi oleh aksi saling serang, saling caci, saling hina karena perbedaan pilihan. Jarang sekali yang saling apresiasi, saling menghormati dan menghargai. Ada apa ini sesungguhnya?

Semuanya seakan merasa dirinya adalah yang paling tahu dan yang paling benar. Mengapa mereka tidak memunculkan jawaban atas satu pertanyaan saja: “Apakah saya sudah menyampaikan pendapat saya dengan cara yang baik agar menjadi manusia terbaik di hadapan Allah?” Kalaulah satu pertanyaan itu terlalu berat, mengapa tidak selalu tanyakan kepada dirinya sendiri sebelum melakukan aksi: “Inilah yang diajarkan pancasila agar saya menjadi pancasilais?”

Dunia kampuspun ikut-ikut heboh, saling serang dan saling depresiasi, walau kadang dibungkus dengan beberapa teori dan referensi. Samar-samar mengemuka kembali pengelompokan-pengelompokan; muncul kembali garis tebal ‘ideologi’ pemisah persatuan yang sesungguhnya sempat menguat.

Positifkah efek kondisi seperti ini? Apa yang seharusnya kita lakukan? Kajian akademik murni dengan semangat obyektifitas yang baiklah yang akan mencerahkan. Sementara kajian yang bermotif biasanya hanya akan mengeruhkan suasana.

Teringatlah saya pada sebuah buku yang saya pernah resensi, buku karya Jonathan Haidt yang berjudul The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (Mengapa orang-orang baik itu dipisah-pisahkan oleh politik dan agama). Buku ini layak dibaca untuk direnungkan. Ada banyak orang baik dan benar selain kita. Sangat bisa jadi bahwa kita dan mereka adalah sama dalam banyak hal selain masalah pilihan presiden. Pahami pandangan dan pilihan mereka, hargailah mereka dan hormati mereka, maka persatuan akan tetap terjaga, kedamaian terus terpelihara.

Pagi ini, atas dasar kesedihan saya akan kondisi bangsa yang kini dipenuhi caci-maki, saya tuliskan status pendek: “Manusia itu dilahirkan berbeda-beda satu dengan yang lainnya dalam segala hal. Mulai dari warna kulit sampai warna mata, mulai dari keinginan akal sampai keinginan hati. Berusaha keras untuk menjadikan semua sama adalah melanggar fitrah. Cukuplah saling menghormati dan menghargai, jangan saling mencaci dan merendahkan.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Bagaimana Jika Dimusuhi dan Disakiti?

SIAPA yang tak sedih jika dimusuhi dan tak sakit jika disakiti? Setiap orang berkehendak memiliki banyak sahabat dan saudara yang baik, namun faktanya adalah bahwa tak semuanya berniat dan berperilaku baik.

Sejarah mencatatkan kisah permusuhan antarsahabat dan keluarga sehingga ada sebutan musuh dalam selimut. Tidak semua yang kita kenal baik-baik dan menampakkan tampilan baik itu adalah betul-betul baik, sehingga muncul istilah musang berbulu domba. Bagaimanakah sikap kita jika kita adalah korban?

Mungkin ada banyak kemungkinan pilihan sikap. Yang paling lazim adalah sikap menangis dalam diam. Banyak orang yang mempersepsi sikap seperti ini sebagai sikap lemah. Sikap lainnya adalah melawan dan membalas sikap musuh dan perilaku menyakitkan dari lawan. Banyak orang mempersepsi sikap ini sebagai sikap jantan. Benarkah? Kata para guru, tak semua diam itu lemah, kadang diam itu adalah perlawanan terkuat yang memiliki daya dahyat di luar duga.

Namun adakah sikap yang lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih Islami dibandingkan dua pilihan tersebut di atas? Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, Bada’i’ al-Fawa’id juz 2 halaman 232 berkata: “Saat seorang hamba diserang, disakiti atau ditindas musuh-musuhnya, tak ada sikap yang lebih bermanfaat dalam menghadapinya dibandingkan dengan TAUBAT NASUHA.”

Bertaubat adalah langkah terbaik. Apa maknanya? Ada banyak makna di balik nasehat ini. Di antaranya adalah bahwa bisa jadi perlakuan tak nyaman dari orang lain kepada kita adalah buah dari dosa dan kesalahan yang kita lakukan sebelumnya. Allah menegur kita dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan mengirimkan surat teguran melalui orang yang memusuhi kita. Bisa pula bermakna bahwa taubat merupakan langkah bagus untuk mengundang cinta dan kasih sayang Allah. Bisa juga bermakna bahwa orang yang bersih dari dosa akan selalu diselamatkan oleh Allah dari berbagai ketaknyamanan.

Mulai saat ini, mari kita belajar untuk melawan perilaku tak nyaman dari orang lain kepada kita dengan bertaubat, bukan dengan berteriak dan menuding-nuding, apalagi mengeluarkan jurus kelahi yang dibungkus dengan nafsu amarah. Salam AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Bulan Syaban Jadi Warming Up Jelang Ramadhan

Syaban sebagai bulan pemantapan iman, persiapan mental-spiritual sebelum Ramadhan.

Bulan Syaban bisa menjadi ajang warming up atau pemanasan menyambut bulan suci Ramadhan. Sebab, Syaban menjadi bulan yang dianjurkan agar memperbanyak puasa sunnah.

“Dia jadi warming up untuk masuk Ramadhan. Makanya nabi menganjurkan memperbanyak puasa di bulan Syaban,” kata Pemimpin Umum Wahdan Islamiyah Ustaz Zaitun Rasmin kepada Republika.co.id, Selasa (9/4).

Dalam sejumlah dalil, dia menuturkan Rasulullah SAW paling banyak manjalankan ibadah puasa sunnah saat bulan Syaban. Dia mengatakan, tidak ada amalan khusus yang harus dilakukan saat bulan Syaban selain berpuasa, sesuai anjuran Rasulullah SAW.

“Tak ada contoh khusus, selain puasa sunnah itu, ditingkatkan kualitasnya jelang Ramadhan,” ujar Ustaz Zaitun.

Dosen pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Muhbib Abdul Wahab pernah menuliskan Allah SWT ‘memonitor’ semua makhluknya pada malam pertenganan (nishfu) Syaban untuk mengampuni hambanya yang beristigfar, kecuali orang musyrik dan orang saling bermusuhan. Sebagai persiapan memasuki bulan Ramadhan, umat Islam bisa bermuhasabah dengan qiyamulail, bertobat, beristigfar, bermunajad saat bulan Syaban.

Sejarah mencatat, Allah menetapkan perubahan arah kiblat umat Islam dari Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis, Palestina ke Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Saudi. Perubahan arah kiblat tersebut membawa hikmah besar bagi Rasulullah SAW maupun umat Islam, yakni peneguhan akidah taujid dan signifikasi persatuan umat.

Karena itu, pemaknaan Syaban sebagai bulan pemantapan iman, persiapan mental-spiritual sebelum Ramadhan, dan persatuan umat Islam menjadi revelan dengan arti dan konteks historis bulan tersebut. Nama Syaban karena saat itu orang Arab banyak berpencar mencari mata air, sehingga tercerai berai. Mencari air di tengah padang pasir mengandung makna berjuang mati-matian mempertahankan hidup dan meraih masa depan yang lebih baik.

Manurut dia, bulan Syaban harus diisi dengan memperbanyak amalan sunnah yang dapat menyegarkan spiritualitas dan moralitas. Dengan demikian, umat Islam benar-benar siap berpuasa lahir batin saat Ramadhan.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Antara Ibadah dan Tawakal

Pada akhir Surat Hud kita akan temukan sebuah ayat singkat yang mencakup akidah, syariat dan kabar dari Allah swt.

وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

“Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS.Hud:123)

Ayat ini ingin memberi kita beberapa pelajaran berharga, yaitu :

1. Segala urusan hanya kembali kepada Allah swt.

Ketika Allah menjelaskan “Segala urusan akan kembali kepada-Nya“, artinya Allah sedang memperingatkan bahwa sekecil apapun perbuatanmu akan mendapat balasan. Maka setiap perbuatan kita hendaknya memiliki tujuan agar bisa menyelamatkan kita kelak di hari pembalasan.

2. Seluruh fasilitas dan kenikmatan yang diberikan kepada kita adalah milik-Nya.

Kapan saja Allah bisa memberikan kenikmatan dan kemampuan untuk menikmatinya. Dan kapanpun Allah mampu untuk mencabut seluruh kenikmatan itu. Karena segala urusan hanya kembali kepada-Nya.

3. Fokuskan ibadahmu hanya kepada Allah dan buang perhatianmu kepada selain-Nya.

Tapi yang menarik ayat ini menggandengkan antara ibadah dan tawakal. “Sembahlah Dia dan bertawakal lah kepada-Nya.”

Ketahuilah bahwa seorang hamba belum mencapai ibadah yang sebenarnya sebelum memiliki rasa tawakal kepada Allah.

Dan seseorang yang memiliki tawakal yang kuat maka ia telah mencapai tingkat ibadah yang tinggi dihadapan-Nya.

Karena hanya orang yang pasrah dan tawakal yang akan meraih semua kemuliaan serta kecukupan dari-Nya.

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.Ath-Thalaq:3)

4. Dan Allah mengakhiri ayat ini dengan “Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Tidak ada satu pun yang terlewat dari pandangan Allah swt.

Semua yang kita lakukan tidak akan pernah lepas dari pantauan-Nya. Jangan pernah kita bersandiwara dalam perbuatan ataupun kata-kata. Karena semua itu tidak akan pernah lepas dari pandangan Allah swt.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Risalah tentang Shalat Khusyuk

Shalat adalah ikhtiar seorang hamba untuk menundukkan seluruh raganya.

Shalat tak sekadar ritual dan rutinitas yang diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam. Lebih dari itu, shalat adalah ikhtiar seorang hamba untuk menundukkan seluruh raganya. Penundukan itu berfokus pada penaklukan hati yang dapat mengarah pada ketenangan jiwa.

Jiwa yang tenang inilah yang sejatinya akan meredam nafsu. Konon, nafsu amarah itu jika tidak diredam dapat menguasai dan merajai anggota tubuh. Ketenangan jiwa tatkala menjalankan shalat lebih dikenal dengan istilah khusyuk. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS al-Ankabuut [29]: 45).

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali (795 H) dalam sebuah kitabnya yang berjudul Al-Khusyu’ fi as-Shalat, membedah dan menguak rahasia dan makna di balik kekhusyukan shalat. Secara khusus, Ibnu Rajab menguraikan tema demi tema dalam kitabnya itu untuk menjelaskan tentang perkara yang berkaitan dengan shalat dan khusyuk.

Khusyuk diartikan Ibnu Rajab sebagai bentuk kelembutan hati yang tecermin dalam setiap tindakan. Menurut dia, pada hati ada poros utama bagi keseluruhan jasad seseorang. Tatkala hati bersih, luruslah segala tindakan. Begitu juga sebaliknya, hati yang dikotori dengan tindakan nista dan dosa, akan menjadi buruk dan dapat menjerumuskannya kepada perbuatan hina.

Ketika hati rusak, rusaklah anggota jasad lainnya. Makna khusyuk inilah yang digunakan oleh Rasulullah dalam ucapannya saat melakukan ruku. Rasulullah membaca doa ketika ruku yang artinya, Pendengaran, penglihatan, otak, dan tulang belulangku tunduk kepada-Mu”.

Ketika itu, Sa’id bin al-Musayyib melihat seseorang menggerak-gerakkan tangannya sewaktu shalat. Gerakan tangannya itu tanpa dimaksudkan untuk perkara yang penting dan mendesak. Said pun lantas mengatakan, seandainya hati orang tersebut khusyuk, seluruh anggota tubuhnya akan khusyuk.

Ali bin Abi Thalib mengemukakan pandangannya tentang khusyuk. Pendapatnya itu disampaikan saat mengomentari surah al-Mukminun ayat 2. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya.” Menurutnya, yang dimaksud dengan khusyuk adalah ketenangan yang berada dalam hati.

Khusyuk akan menghindarkan seseorang dari perbuatan mengganggu orang yang shalat di sampingnya. Khusyuk juga bisa terlihat karena yang bersangkutan tak akan mengalihkan pandangannya dan tak akan menoleh ke arah manapun, selain ke tempat sujudnya.

Sedangkan, menurut Ibnu Abbas, khusyuk yang dimaksud ayat tersebut diartikan sebagai sikap takut dan rasa ketenangan yang diperoleh seseorang ketika shalat. Namun, ketenangan dalam bersikap belum tentu cerminan dari kekhusyukan hati. Bahkan, justru ketenangan itu bisa menggambarkan fakta sebaliknya, yaitu kekosongan hati.

Keadaan inilah yang diwanti-wanti oleh para salaf. Mereka menyebut khusyuk kategori ini sebagai khusyuk nifaq, yaitu kekhusyukan palsu. Sebagian dari kalangan salaf meminta agar sikap tersebut dihindari.

Orang yang menampakkan kekhusyukan dalam shalat padahal sama sekali tidak ada ketentangan di hatinya, khusyuk yang ditunjukkan itu tiada bermakna dan tak berguna. Umar bin Khattab pernah menegur seorang remaja yang tengah melaksanakan shalat.

Tingkat ketajaman batin Umar dapat merasakan kepalsuan khusyuk yang dipertontonkan remaja tersebut. Ia lantas meminta agar si remaja mengangkat kepalanya dan mengatakan bahwa khusyuk itu hanya terdapat di hati.

Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 3

Kaidah ketiga: Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati
Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يستقيم إيمان عبد حتى يستقيم قلبه

Tidak akan istiqomah (tegak) iman seorang hamba hingga hatinya istiqomah.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad No. 13048, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

فأصل الإستقامة استقامة القلب على التوحيد

Pokok istiqomah adalah istiqomahnya hati di atas tauhid.”
Beliau melanjutkan, “Tatkala hati telah istiqomah dengan mengenal Allah, takut kepada-Nya, memuliakan-Nya, mengagungkan-Nya, mencinta-Nya, menghendaki-Nya, berharap kepada-Nya, berdo’a kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya. Maka anggota badan juga akan istiqomah dalam ketaatan. Karena hati adalah raja bagi tubuh dan anggota badan yang lain adalah tentaranya. Jika sang raja istiqomah (yaitu hati yang lurus) maka seluruh tubuh sebagai tentaranya juga akan istiqomah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 386)
Pernyataan ini berdasarkan dalil dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,

إن في الجسد مضغة، إذا صلحت، صلح الجسد كله، وإذا فسدت، فسد الجسد كله، ألا وهي القلب

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu.” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599)
Istiqomahnya hati dalam ketaatan dan ketundukan kepada Allah menjadi sebab istiqomahnya seorang hamba ketika melakukan amalan yang nampak baik amalan sunnah maupun yang wajib. Tentu karena hati yang bersih akan menghasilkan amalan dzahir yang bersih pula. Namun, tidak berlaku sebaliknya, ketika seorang hamba menampakkan ketaatan, bisa saja hatinya memalingkan ketaatan tersebut kepada selain Allah, karena amalan lahiriahnya bukan atas motivasi ketundukan kepada Allah, melaikan karena riya atau ujub yang ada di dalam hatinya. Wal’iyadzubillaah.
Allah Ta’ala berfirman,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ
إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Pada hari dimana harta dan anak-anak laki-laki tidak bermanfaat, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Oleh karena itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdo’a

أللَّهُمَّ إِنِّي أَسأَلُكَ قَلْبًا سَلِيْمًا

Ya Allah! Aku memohon kepadamu hati yang selamat.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’I, dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Dari kaidah ini kita bisa menyimpulkan bahwa diantara sebab istiqomahnya seorang hamba adalah ia senantiasa waspada dengan penyakit hati yang akan mungkin mengotorinya. Ia juga bersemangat untuk memperbaiki amalan hatinya sehingga ia mengapai derajat istiqomah.
Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat. Simak terus pembahasan tentang kaidah-kaidah untuk memahami hakikat istiqomah di artikel muslimah.or.id selanjutnya, in syaa Allah.

Penulis : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim
.
Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11067-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-3.html

Kaidah-Kaidah Memahami Hakikat Istiqomah Bag. 2

Istiqomah adalah jalan yang harus selalu diusahakan, karena istiqomah yang berbuah kebaikan di akhirat adalah istiqomah sampai husnul khatimah. Oleh karena itu, nasehat untuk istiqomah hendaknya menjadi santapan harian agar jiwa selalu waspada dan berbenah.
Setelah membahas kaidah pertama tentang istiqomah sebagaimana dijelaskan Syaikh Abdul Razzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam kitabnya Asyru Qawaid fil Istiqomah, kami mencoba memaparkan kepada pembaca kaidah lain yang tidak kalah pentingnya dengan kaidah pertama
Kaidah kedua: Hakikat istiqomah adalah berada di atas manhaj dan jalan yang lurus
Syaikh hafidzahullaah menjelaskan, bahwa hakikat istiqomah yaitu istiqomah di atas manhaj yang benar dan jalan yang lurus. Generasi terbaik islam dari kalangan sahabat maupun tabi’in telah menjelaskan makna dan hakikat istiqomah ini melalui banyak riwayat.
Allah Ta’ala berfirman

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah)…” (QS. Fusshilat: 30)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallaahu’anhu mengatakan (ketika menafsirkan ayat di atas),

هم الذين لم يشركوا به شيئا

Mereka (yaitu orang-orang yang disebutkan dalam ayat) adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan apapun.” (Tafsir ath-Thabari, 21/464)
Ibnu ‘Abbas radhiallaahu’anhu menjelaskan makna ayat ini dengan mengatakan,

على شهادة أن لا إله إلا الله

“(Yaitu istiqomah) di atas syahadat laailaaha illallaah.”
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh ahli tafsir lainnya seperti Anas, Mujahid, Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam, As-Suddiy, Ikrimah dan yang lainnya. (Tafsir Ath-Thabari, 21/464-465)
Qatadah juga menafsirkan kalimat ثُمَّ اسْتَقَامُوا ,

استفاموا على طاعة الله

(Yaitu) Istiqomah di atas ketaatan kepada Allah.” (Al-Mushannaf ‘Abdur Razzaq No. 2618)
Ibnu Rajab juga memberikan pernyataan serupa ketika mendefinisikan istiqomah dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam, beliau mengatakan,

والإستقامة: هي سلوك الصراط المستقيم، وهو الدين القيم من غير تعريج عنه يمنة ولا يسرة، ويشمل ذلك فعل الطاعات كلها، الظاهر والباطنة وترك المنهيات كلها كذالك، وصارت هذه الوصية جامعة لخصال الدين كلها

Istiqomah itu dengan menempuh jalan yang lurus, yaitu jalan islam yang mulia tanpa mencong ke kanan atau kekiri. Dan realisasinya mencakup semua jenis ketaatan yang dzohir (nampak) maupun batin (berupa amalan hati), juga meninggalkan larangan-larangan seluruhnya. Maka, istiqomah sejatinya adalah nasehat untuk menjalankan seluruh perintah agama.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 383-384)
Semua penjelasan sahabat maupun para tabi’in di atas saling melengkapi dan memiliki makna yang sama, yaitu hakikat istiqomah adalah istiqomah di atas kebenaran dengan menjalankan perintah agama secara menyeluruh termasuk meninggalkan larangan-larangan di dalamnya.
Demikianlah hakikat istiqomah. Tidak ada keistiqomahan dengan menyimpang dari agama, karena istiqomah yang kita minta kepada Allah adalah istiqomah dalam kebenaran dan ketaatan. Wallaahu a’lam, semoga bermanfaat.
Kaidah penting lainnya untuk memahami hakikat istiqomah akan dibahas di artikel selanjutnya, in syaa Allah.

Penulis: Titi Komalasari
Murojaah: Ustadz Ratno, Lc

Disarikan dari kitab ‘Asyru Qawaaid Fil Isiqomah karya Syaikh Abdur Razzaq bi Abdul Muhsin Al-Badr, Daarul Fadhilah, cet. I 1431 H.
Referensi lain:
Terjemahan Al-Quran Al-Kariim

Artikel Muslimah.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/11062-kaidah-kaidah-memahami-hakikat-istiqomah-bag-2.html