Suhu Tanah Suci Panas, Jamaah Siapkan Alat Pelindung Diri

Suhu di Tanah Suci sedang panas ekstrem  hingg mencapai 50 derajat celcius. Diperkirakan suhu panas ini berlanjut pada musim haji 2019.

Direktur Utama PT Patuna Mekar Jaya H Syam Resfiadi mengatakan suhu panas pada musim haji memang selalu terjadi setiap tahunnya. “Iya memang betul setiap musim haji selalu panas,” katanya, Ahad (24/6).
Bahkan menurut Syam suhu panas akan terjadi sampai bulan Maret Tahun 2020. Untuk itu semua pihak yang berada di Tanah Suci baik secara pribadi atau organisasi perusahaan penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) seperti Patuna sudah mengantisipasi agar tidak sakit karena suhu panas.
“Maka dari itu hindari kena terik matahari langsung,” katanya.
Syam mengatakan, antisipasi lain selain menghindari terik matahari langsung, jamaah juga disarankan menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti payung, topi dan kacamata hitam. “Dan juga jangan lupa selalu membawa air minumdi botol,”
Syam menuturkan tahun ini Patuna memiliki 400 lebih jamaah haji kusus yang diberangkatkan. Untuk mendampingi jamaah haji selama di Tanah Suci Patuna menerjunkan 4 dokter 10 pembimbing ibadah ada 10 dan 6 crew.
“Insya Allah kita berusaha agar Allah Swt memberi yang terbaik. Amiin,”katanya.

Transaksi Jual-Beli Di Masjid

Pembaca yang budiman, diantara adab ketika di masjid adalah tidak melakukan jual-beli di dalamnya. Bahkan hal ini dilarang oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Simak penjelasan berikut.

Dalil-dalil terlarangnya jual-beli di masjid

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا رأيتُم من يبيعُ أو يبتاعُ في المسجدِ، فقولوا : لا أربحَ اللهُ تجارتَك . وإذا رأيتُم من ينشدُ فيه ضالة فقولوا : لا ردَّ اللهُ عليكَ

“Jika engkau melihat orang berjual-beli atau orang yang barangnya dibeli di masjid, maka katakanlah kepada mereka: semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perdaganganmu. Dan jika engkau melihat orang di masjid yang mengumumkan barangnya yang hilang, maka katakanlah: semoga Allah tidak mengembalikan barangmu” (HR. At Tirmidzi no. 1321, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no. 573).

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan:

نهَى رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الشراءِ والبيعِ في المسجدِ وأن تُنشَدَ فيه الأشعارُ وأن تُنشَدَ فيه الضَّالَّةُ وعنِ الحِلَقِ يومَ الجمُعَةِ قبلَ الصلاةِ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang melakukan jual-beli di masjid, dan melarang melantunkan nasyid berupa sya’ir-sya’ir, dan melarang mengumumkan barang yang hilang, dan melarang mengadakan halaqah sebelum shalat Jum’at” (HR. Ahmad 10/156, Ahmad Syakir mengatakan: “sanadnya shahih”).

Hukum jual-beli di masjid

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli di masjid antara haram dan makruh. Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan:

أَمَّا الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ إلَى أَنَّ النَّهْيَ مَحْمُولٌ عَلَى الْكَرَاهَةِ، قَالَالْعِرَاقِيُّ: وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ مَا عُقِدَ مِنْ الْبَيْعِ فِي الْمَسْجِدِ لَا يَجُوزُ نَقْضُهُ، وَهَكَذَا قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ. وَأَنْتَ خَبِيرٌ بِأَنَّ حَمْلَ النَّهْيِ عَلَى الْكَرَاهَةِ يَحْتَاجُ إلَى قَرِينَةٍ صَارِفَةٍ عَنْ الْمَعْنَى الْحَقِيقِيِّ الَّذِي هُوَ التَّحْرِيمُ عِنْدَ الْقَائِلِينَ بِأَنَّ النَّهْيَ حَقِيقَةٌ فِي التَّحْرِيمِ وَهُوَ الْحَقُّ وَإِجْمَاعُهُمْ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ النَّقْضِ وَصِحَّةِ الْعَقْدِ لَا مُنَافَاةَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّحْرِيمِ فَلَا يَصِحُّ جَعْلُهُ قَرِينَةً لِحَمْلِ النَّهْيِ عَلَى الْكَرَاهَةِ وَذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ فِي الْمَسْجِدِ وَالْأَحَادِيثُ تَرُدُّ عَلَيْهِ

“Adapun masalah jual-beli di masjid, jumhur ulama berpendapat bahwa larangan dalam hadits di bawa kepada hukum makruh. Al Iraqi mengatakan: “Ulama ijma bahwa akad jual-beli yang sudah terjadi di masjid tidak boleh dibatalkan”. Demikian juga yang dikatakan Al Marwadi. Maka anda yang mengatakan bahwa larangan dalam hadits di bawa kepada hukum makruh, maka ia butuh kepada qarinah yang memalingkan dari makna yang hakiki dari larangan yaitu pengharaman. Dan ini merupakan pendapat sebagian ulama, yaitu bahwa larangan dalam hadits dimaknai secara hakiki, yaitu pengharaman. Dan inilah pendapat yang tepat.

Adapun ijma ulama bahwasanya akad jual-beli tidak boleh dibatalkan dan akadnya tetap sah maka ini tidak bertentangan dengan pengharaman. Maka tidak sah menjadikannya qarinah untuk memalingkan larangan kepada hukum makruh. Sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat hukumnya tidak makruh (baca: boleh) berjual-beli di masjid, namun ini terbantah oleh hadits-hadits yang ada” (Nailul Authar, 2/185-186).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

البيعُ والشِّراءُ والتَّأجيرُ والاستئجارُ محرَّمٌ في المسجد، لأنَّه ينافي ما بُنِيَتْ المساجِدُ من أجلِه

“Menjual, membeli, menyewakan, menawarkan sewaan, semuanya haram dilakukan di masjid, karena ini menafikan tujuan masjid dibangun (yaitu untuk ibadah, pent.)” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 33/22)

Maka dari penjelasan ini semua bentuk jual beli dan yang terkait dengannya seperti promosi, menawarkan barang, menyerahkan barang yang terutang pembayarannya, dan semisalnya semua itu terlarang.

Dari penjelasan Asy Syaukani di atas juga kita ketahui bahwa ulama ijma bahwa jual-beli yang dilakukan di masjid tetap sah akadnya, namun berdosa jika dilakukan dengan sengaja.

Alasan terlarangnya jual-beli di masjid

Jual-beli di masjid dilarang agar orang tidak sibuk dengan urusan dunia di masjid. Sehingga ia lalai dari akhirat dan lalai dari dzikir kepada Allah di rumah Allah. Lihat bagaimana sikap Atha’ bin Yasar (seorang ulama tabi’in) rahimahullah berikut ini:

كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ، دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ (1) وَمَا تُرِيدُ؟ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ، قَالَ: عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا. فَإِنَّمَا هذَا سُوقُ الآخِرَةِ

“Jika Atha bin Yasar melewati orang yang berjual-beli di masjid, ia memanggilnya dan menanyakan apa yang ia bawa dan apa yang ia inginkan? Jika orang tersebut menjawab bahwa ia ingin berjual beli maka Atha akan berkata: silakan anda pergi ke pasar dunia, karena di sini adalah pasar akhirat” (Al Muwatha Imam Malik, no. 601).

Juga sebagaimana dijelaskan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, jual beli di masjid terlarang karena tidak sesuai dengan tujuan dibangunnya masjid.Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجِلَّ وَتاصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya masjid-masjid dibangun hanya untuk dzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla, untuk shalat, dan membaca Al Qur’an” (HR. Muslim, no. 285).

Batasan area masjid yang dilarang jual-beli

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda dalam hadits di atas:

إذا رأيتم من يبيع أو يبتاع في المسجد

“Jika engkau melihat orang berjual-beli atau orang yang barangnya dibeli di masjid…”

Maka larangan berjual-beli di sini terkait dengan tempat yang disebut “masjid”. Sehingga penting untuk mengetahui apa saja batasan area masjid, karena jika suatu area termasuk batasan masjid maka berlakulah larangan berjual-beli di sana. Dalam kitab Fiqhul I’tikaf (hal. 128-134), Syaikh Khalid Al Musyaiqih menjelaskan batasan-batasan masjid. Yang ringkasnya sebagai berikut:

  1. Semua tempat yang digunakan untuk shalat adalah termasuk masjid. Para ulama sepakat akan hal ini.
  2. Atap masjid. Jumhur ulama berpendapat atap masjid adalah bagian dari masjid dan sahnya beri’tikaf di sana. Adapun Malikiyyah berpendapat atap masjid bukan bagian dari masjid karena tidak sah shalat Jum’at di sana. Namun ini pendapat yang lemah.
  3. Halaman masjid. Dalam hal ini ada tiga pendapat berkaitan dengan apakah halaman masjid termasuk masjid?
    1. Jika bersambung dengan masjid dan dilingkupi oleh sesuatu seperti pagar, maka termasuk masjid. Jika tidak bersambung atau tidak ada pagar, maka halaman masjid tidak termasuk masjid, dan dianggap keluar masjid jika berada di sana. Ini merupakan pendapat Syafi’iyyah, Imam Ahmad, sebagian Hanabilah.
    2. Halaman masjid secara mutlak (tidak ada pembatasnya), maka tidak termasuk masjid. Ini merupakan pendapat Malikiyyah dan pendapat pegangan mazhab Hanabilah.
  4. Menara masjid yang digunakan untuk adzan. Ada tiga keadaan:
    1. Jika menara berada di dalam masjid, maka ia bagian dari masjid menurut jumhur ulama. Namun Malikiyyah menyatakan tidak sah.
    2. Jika menara berada di luar masjid, ada tiga pendapat:
      1. Dianggap bagian masjid bagi muadzin tetap. Ini pendapat sebagian Hanafiyyah, pendapat pegangan mazhab Syafi’iyyah, sebagian Hanabilah dan Ibnu Hazm.
      2. Bukan bagian dari masjid, ini pendapat mu’tamad mazhab Hanafiyyah, dan sebagian Syafi’iyyah.
      3. Merupakan bagian dari masjid. Ini pendapat sebagian Syafi’iyyah, pendapat pegangan madzhab Malikiyyah dan Hanabilah. Pendapat pertama yang lebih rajih, karena menara dibangun hanya untuk kemaslahatan adzan masjid.
    3. Jika berada di halaman masjid, hukumnya sebagaimana hukum halaman masjid.

Syaikh Abdul Aziz Alu Asy Syaikh juga mengatakan:

ما كان حائط المسجد شاملاً ومُدخلاً له في المسجد فهو من المسجد، وما كان خارج محيط المسجد فهو خارج المسجد

“Selama dinding (pagar) masjid itu sempurna mengelilingi masjid maka semua yang di dalamnya termasuk masjid, dan semua yang di luarnya tidak termasuk masjid” (Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, 59/81).

Sebagaimana juga kaidah fikih:

الحَرِيمُ لَهُ حُكْمُ مَا هُوَ حَرِيمٌ لَهُ

“Lingkar luar dari sesuatu memiliki hukum yang sama dengan sesuatu tersebut” (Al Asybah wan Nazhair, As Suyuthi, 1/125).

Kaidah ini didasari oleh hadits:

أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

“Ketahuilah bahwa setiap raja itu memiliki daerah perbatasan, dan daerah perbatasan Allah adalah yang Allah haramkan” (HR. Bukhari no. 52, Muslim no. 1599).

Ringkasnya, jika masjid memiliki pagar, maka tidak boleh berjual-beli di area dalam pagar. Adapun jika masjid tidak memiliki pagar, maka batasan terlarangnya jual beli adalah area yang dipakai untuk shalat, demikian juga semua bangunan yang bersambung dengan bangunan masjid.

Boleh hutang-piutang di masjid

Kita ketahui bersama, hutang-piutang berbeda dengan jual beli. Sehingga dibolehkan dilakukan di masjid selama tidak berpanjang-panjang dan dan berlama-lama. Dalam Al Mukhtashar karya Al Khalil Al Maliki rahimahullah di sebutkan:

وجاز بمسجد سكنى لرجل تجرد للعبادة وَعَقْدُ نِكَاحٍ وَقَضَاءُ دَيْنٍ وَقَتْلُ عَقْرَبٍ وَنَوْمٌ بِقَائِلَةٍ

“Hal-hal berikut ini boleh dilakukan di masjid: bertempat tinggal di masjid bagi lelaki yang kesehariannya hanya beribadah, melakukan akad nikah, melunasi hutang, membunuh kalajengking, dan tidur qailulah” (Mukhtashar Al Khalil,1/211).

Ibnu Naji At Tanukhi rahimahullah mengatakan:

ينبغي أن تنزه المساجد عن البيع والشراء، واستخف في البيان قضاء الدين وكتب الحق فيه ما لم يطل

“Hendaknya masjid dibersihkan dari semua bentuk jual-beli, namun berdasarkan penjelasan penulis, diberikan kelonggaran untuk melunasi hutang dan menulis hak-hak hutang, selama tidak berpanjang-panjang” (Syarah Ibnu Naji At Tanukhi ‘ala Matnir Risalah, 2/482).

Ini menunjukkan bahwa boleh melakukan akad hutang-piutang di masjid, namun hendaknya tidak menyibukkan diri dengannya.

Demikian paparan singkat mengenai masalah jual-beli di masjid. Semoga bermanfaat.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/35692-transaksi-jual-beli-di-masjid.html

Tinjauan Syariat Terhadap Jual-Beli Kredit

Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam larangan-Nya.

Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur).1

Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.

Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan berbagai modifikasi.

Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit

Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:

1. Firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)

Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.

2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

beliau mengatakan,

اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)

Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.

Rambu-Rambu Kredit

Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi praktisi jual beli kredit. Di antaranya adalah:

1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan alat tukar

Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi ribawi menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll. Dan kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang tahan lama, seperti; gandum, kurma, beras, dll.

Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli antara dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas dengan uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara tunai. Artinya tidak boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar tidak terjadi praktik riba nasi’ah.

Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ رباً إلا مِثْلًا بِمِثْلٍ ويَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد

Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat:

  1. sama ukurannya

  2. dan dilakukan secara tunai (cash)

Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai” (HR Muslim).

Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak diperbolehkan jual beli uang, valas, emas atau alat tukar sejenisnya dengan cara kredit.

2. Hindari penundaan serah terima barang

Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima barang. Sebab hal itu merupakan praktik jual beli hutang dengan hutang. Artinya, barang masih berada dalam tanggungan penjual dan uang pun juga masih berada dalam tanggungan pembeli.

Inilah praktik jual beli dain bid dain yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab beliau, Al-Mughni2.

Diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343)

Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini sebagai hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil3. Meskipun demikian mereka bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir yang dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau mengatakan, “Para ahli ilmu telah bersepakat bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad mengatakan, “Ini adalah ijma’.”4

Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit

Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah akad jual beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli dengan beberapa penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka harganya sekian rupiah (satu juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara kredit maka harganya sekian (dua juta misalnya), dst.

Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang di dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini.

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi seperti ini. Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam ini, dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga dan pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.

Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)

Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas yang mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau boleh dilakukan.

Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual beli seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai: 7/296)6

Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’i. Beliau membuat sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (بيعتين في بيعة) kemudian beliau mengatakan, “Yaitu perkataan seseorang, ‘saya jual dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai, dan dua ratus dirham secara kredit.”

Pendapat yang Lebih Kuat

Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam memahami konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi tersebut (kredit dengan harga ganda) bukanlah transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di atas. Sedangkan pendapat ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.

Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran yang lebih tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya7, bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal secara kredit.

Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan:

  1. Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak terjadi dua transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang pembeli hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.
  2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيءٍ فَليُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

    Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604)
    Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad pemesanan). Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan barang dengan syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu penyerahannya jelas, maka boleh juga dalam akad kredit mengakhirkan penyerahan uang dengan syarat peyerahan barang secara kontan serta nominal pembayaran dan waktu pembayarannya jelas.

Catatan Penting

Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam akad jual beli kredit. Di antaranya adalah;

  1. Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka maka sebesar itulah jumlah uang yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual tidak berhak untuk mengambil lebih, sekalipun pembeli terlambat melunasi pembayaran.
    Misalnya, “A” membeli barang kepada pihak “B” dengan harga 10 juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika ternyata pihak “A”tidak mampu melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B” tidak berhak menaikkan harga yang telah disepakati.
  2. Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan harga juga sudah disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli. Dengan demikian, penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang dagangannya meskipun uang cicilan kredit belum selesai.

Demikian penjelasan singkat yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat.

**

Daftar Pustaka:

  1. As Syaukani, Muhammad. (2005). “Nailul Author”. Darul Hadis: Kaero, Mesir.
  2. Al Albani, Nasiruddin. “As Silsilah Ash Shahihah”. Darul Ma’arif: Riyadh.
  3. Badri, Arifin. Dr. (2009). “Hukum Perkreditan: Masalah dan Solusinya”. Tersedia: http://pengusahamuslim.com/hukum-perkreditan-masalah-dan-solusinya#.UzHdo3uXOSo. [21 April 2009]

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia

 2 Al-Mughni: 3/306

3 Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar: 5/164-165). Syaikh Albani juga menilai hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)

 4 Al-Mughni: 3/306

 5 Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Auza’I (lihat: Nailul Authar: 5/ 160) dan juga ulama-ulama yang lain, seperti; Ibnu sirin, Thawus, Sufyan Ats-Tsauri, syaikh Albani, dll. Sebagaimana dinukilkan oleh syaikh Albani tatkala mengomentari hadis no. 2326 di dalam silsilah As Shahihah.

 6 Hadis ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi, demikian pula dihasankan oleh syaikh Albani di dalam Al-Misbah no. 2868

 7 Tahdzibus Sunan

 —

Penulis: Agus Pranowo

Pemurajaah: Ust. Misbahuz Zulam, M.H.I

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/20961-tinjauan-syariat-terhadap-jual-beli-kredit.html

Larangan Jual Beli Najasy dan Bolehnya Jual Beli Lelang (Muzayadah)

Larangan jual beli najasy

Di antara bentuk atau praktek jual beli yang terlarang adalah jual beli najasy. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ تَنَاجَشُوا

“ .. dan janganlah kalian melakukan jual beli najasy … “ (HR. Bukhari no. 2150 dan Muslim 1515)

Juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّجْشِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli najasy.” (HR. Bukhari no. 2142 dan Muslim no. 1516)

 

Jual beli najasy yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seseorang yang berpura-pura melakukan penawaran terhadap suatu barang, akan tetapi dia tidak bermaksud atau tidak memiliki niat (keinginan) untuk membeli barang tersebut. Motivasi orang tersebut adalah untuk memberikan keuntungan kepada penjual atau menjerumuskan calon pembeli yang lain yang sungguh-sungguh ingin membeli barang tersebut. Orang yang melakukan najasy disebut dengan istilah naajisy.

Misalnya, ada calon pembeli (si A) yang menawar barang seharga sepuluh ribu rupiah dan dia memang benar-benar ingin membelinya. Lalu datanglah si B, yaitu orang yang berpura-pura menawar barang tersebut seharga lima belas ribu rupiah. Karena takut tidak mendapatkan barang tersebut, akhirnya si A menaikkan penawaran menjadi dua puluh ribu rupiah sehingga penjual akhirnya menjual barang tersebut kepada si A.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

وفي الشرع الزيادة في ثمن السلعة ممن لا يريد شراءها ليقع غيره فيها

“(Jual beli najasy) adalah menaikkan (penawaran) harga barang yang dilakukan oleh orang yang tidak ingin membeli barang tersebut dengan tujuan untuk menjerumuskan orang lain.” (Fathul Baari, 4: 355)

 

Jual beli najasy tersebut terlarang, baik dilakukan dengan kesepakatan (persekongkolan) dengan penjual, atau tanpa sepengetahuan penjual. Atau, bisa juga hanya dilakukan oleh penjual saja (sehingga dalam hal ini penjual bertindak sebagai naajisy).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

ويقع ذلك بمواطأة البائع فيشتركان في الإثم ويقع ذلك بغير علم البائع فيختص بذلك الناجش وقد يختص به البائع كمن يخبر بأنه اشترى سلعة بأكثر مما اشتراها به ليغر غيره

“(Jual beli najasy) terjadi bisa dengan adanya persekongkolan (kesepakatan) dengan penjual, sehingga keduanya (yaitu penjual dan naajisy, pent.) sama-sama berdosa. Bisa juga terjadi tanpa sepengetahuan penjual, sehingga hanya naajisy yang mendapatkan dosa. Selain itu, bisa jadi hanya dilakukan oleh penjual saja. Misalnya, penjual mengatakan bahwa dia membeli barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari harga penawaran pembeli untuk menipunya.” (Fathul Baari, 4: 355)

 

Hukum jual beli najasy

Lalu bagaimana status hukum jual beli najasy? Pendapat yang lebih kuat adalah jual beli najasy itu sah, namun naajisy mendapatkan dosa karena perbuatannya tersebut. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dalam masalah ini.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

فإن النار اشترى مع النجش فالشراء صحيح في قول أكثر أهل العلم منهم الشافعي وأصحاب الرأي

“Jika melakukan jual beli barang dengan najasy, maka jual belinya sah menurut pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Asy-Syafi’i dan Hanafiyyah.” (Al-Mughni, 4: 300)

Argumentasi Ibnu Qudamah untuk menguatkan pendapat ini adalah bahwa larangan tersebut kembali kepada naajisy (pelaku najasy), bukan kembali kepada akad jual beli itu sendiri. Sehingga akad jual beli tersebut tetap sah.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

ولنا أن النهي عاد إلى الناجش لا إلى العقد فلم يؤثر في البيع

“Hal ini karena larangan tersebut kembali kepada naajisy, dan bukan kembali kepada akad jual beli. Sehingga tidak mempengaruhi keabsahan status akad jual beli.” (Al-Mughni, 4: 300)

 

Karena sebab larangan adalah menjerumuskan calon pembeli yang asli, maka jika seseorang melihat suatu barang dijual di bawah harga standar, lalu dia menaikkan penawaran agar barang tersebut dijual sesuai dengan harga standar, maka perbuatan ini ini tidaklah mengapa.

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata,

أن التحريم إذا كانت الزيادة المذكورة فوق ثمن المثل فلو أن رجلا رأى سلعة تباع بدون قيمتها فزاد فيها لتنتهي إلى قيمتها لم يكن ناجشا عاصيا بل يؤجر على ذلك بنيته

“Sesungguhnya larangan tersebut jika penambahan yang disebutkan itu sampai di atas harga standar. Adapun seandainya seseorang melihat ada suatu barang yang dijual di bawah harga standar, lalu dia menaikkan penawaran agar nilai jual barang tersebut sama dengan harga standarnya, maka orang tersebut bukanlah naajisy dan tidak bermaksiat. Bahkan, dia mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.” (Subulus Salaam, 2: 42)

 

Perbedaan antara jual beli najasy dengan jual beli lelang (muzayadah)

Mirip dengan kasus jual beli najasy adalah jual beli dengan sistem lelang. Dalam sistem lelang, masing-masing calon pembeli berlomba menaikkan penawaran harga sampai didapatkan harga tertinggi dari pemenang lelang. Dan jika lelang sudah ditutup (pemenang lelang sudah ditetapkan), maka tidak boleh lagi ada yang melakukan penawaran barang.

Jual beli lelang ini diistilahkan dengan jual beli “muzayadah”, yang dalam bahasa Arab artinya “saling menambah”. Hal ini karena pada umumnya, ketika penjual membuka harga barang yang akan dilelang, dia akan mengatakan, “man yazid?” (Siapa yang mau menambah harga?)

Jual beli dengan sistem lelang ini tidak terlarang, karena setiap calon pembeli yang berlomba menaikkan penawaran harga jual barang memang betul-betul berniat ingin membeli barang tersebut, berbeda dengan naajisy yang hanya berpura-pura menawar barang, namun berniat untuk menjerumuskan orang lain.

 

Jual beli lelang adalah jual beli yang sudah dikenal pada masa sahabat dan tabi’in. Setelah meriwayatkan hadits tentang jual beli lelang, At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan,

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ: لَمْ يَرَوْا بَأْسًا بِبَيْعِ مَنْ يَزِيدُ فِي الغَنَائِمِ وَالمَوَارِيثِ

“Praktek dari kandungan hadits ini menurut sebagian ulama adalah bahwa mereka tidak mempermasalahkan jual beli lelang dalam harta rampasan perang (ghanimah) dan warisan.” (Jami’ At-Tirmidzi, 3: 514)

Disebutkannya ghanimah dan warisan adalah untuk contoh, bukan dimaksudkan untuk membatasi jual beli lelang hanya boleh untuk dua jenis harta (barang) tersebut saja.

Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan,

حكى البخاري عن عطاء أنه قال أدركت الناس لا يرون بأسا في بيع المغانم في من يزيد

“Al-Bukhari mengutip dari ‘Atha bin Abi Rabah (ulama tabi’in) bahwa beliau berkata, “Aku menjumpai manusia (yaitu sahabat) yang tidak mempermasalahkan jual beli ghanimah kepada orang yang ingin menambah harga (yaitu dengan sistem lelang, pent.)”.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 343)

Al-Mubarakfuri juga mengutip keterangan An-Nawawi rahimahullah yang mengatakan,

هذا ليس بسوم لأن السوم هو أن يقف الراغب والبائع على البيع ولم يعقداه فيقول الآخر للبائع أنا أشتريه وهذا حرام بعد استقرار الثمن وأما السوم بالسلعة التي تباع لمن يزيد فليس بحرام

“Ini (jual beli lelang) bukanlah termasuk menawar barang (yang sudah ditawar orang lain, dan perbuatan ini terlarang, pent.). Karena penawaran ini dalam bentuk seseorang yang ingin membeli barang dan penjual bertemu dan mereka belum bersepakat dengan harga barang, lalu ada orang lain lagi yang berkata kepada penjual, “Aku membelinya (dengan harga sekian, pent.)”. Tindakan ini diharamkan jika sudah terdapat kesepakatan harga (antara penjual dan calon pembeli sebelumnya, pent.). Adapun penawaran barang yang akan dijual kepada peserta lelang, maka ini tidak haram.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4: 343)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47200-larangan-jual-beli-najasy-dan-bolehnya-jual-beli-lelang-muzayadah.html

Yakinlah, Semua yang Ada di Dunia Cuma Titipan

“KITA tetap bisa melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius Ris, tapi kalau kamu mau memeluk keyakinan yang aku anut. Dan kamu tahu alasan aku gak bisa memeluk muslim.”

“Dan harusnya kamu tahu alasan ku, sorry Do, gua memang menyayangi mu, tapi maaf, gua lebih mencintai jalan yg selama ini gua yakini. Gua juga gak bisa.”

“Ya sudah. Kita akhiri saja hubungan ini. Tidak ada jalan lain”

“Ok”

Percakapan terakhirku bersama Ido. Lelaki yang selama empat tahun ini mengisi hatiku, menjalani hari demi hari bersama selama kuliah. Aku dan Ido satu universitas, namun beda jurusan. Ido jurusan teknik sipil, dan aku mengambil jurusan ekonomi, akutansi tepatnya.

Ido adalah pemuda Hindu Bali yang merantau ke Semarang, tempat tinggalku. Kami bertemu, hingga akhirnya menjalin hubungan. Tapi sayang, aku dan Ido akhirnya berpisah, empat tahun bersama bukan berarti kami akan berlabuh dalam jenjang hubungan yang lebih serius. Ditambah ada perbedaan keyakinan di dalamnya, Hindu-Islam, inilah jurang besar yang tak bisa kaim lewati bersama.

Jujur, itu masa tersulit yang ku alami, selain menyusun skripsi. Tak ada lagi kebersamaan, tak ada makan malam bersama, ngerjai tugas, nonton bioskop, dan tak ada lagi touring bersama ke tempat-tempat yang tidak aku tahu, tapi Ido tahu. Dia selalu bisa membuatku terdiam menikmati keindahan tempat-tempat yang kami kunjungi.

Sudahlah, itu hanya masa lalu terindah bersama cinta pertama ku, Ido. Kini aku punya jalan hidup baru yang harus kulalui, begitu juga Ido. Perpisahanku dengan Ido, membuatku lebih betah sendiri, tidak terasa dua tahun sudah aku menyendiri. Tapi tidak dengan keluargaku, mereka menuntutku untuk segera mencari pendamping hidup.

Usiaku 24 tahun, saat pamanku mengenalkanku pada Mas Fajar. Lelaki 12 tahun lebih tua dariku, seorang kepala HRD di sebuah perusahaan garmen di Solo dan belum menikah. Perkenalan itu berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan santai antara aku dan Mas Fajar. Dia pria dewasa yang menyenangkan, dan aku nyaman bersamanya. Mungkin aku mulai jatuh hati dengan sosok dewasa ini.

Selain Ido, Mas Fajar memberiku kenyamanan yang tidak kutemukan saat bersama Ido, ya kenyamanan spiritual. Mas Fajar memang pria dewasa dengan kepribadian yang luar biasa, selama enam bulan perkenalan kami, dia selalu berusaha mengajakku untuk semakin mendekati diri dengan Allah swt, selalu mengingatkan untuk melengkapi lima waktuku, puasa sunah Senin-Kamis, sedekah, dan tidak pernah absen membangunkanku via sms atau telepon untuk mendirikan dua rakaat malamku.

Semua hal sederhana ini yang membuat rasa sayang itu kian hari kian tumbuh. Hingga akhirnya aku menerima lamaran Mas Fajar, dan kami menikah. Setelah menikah, aku hidup bersama Mas Fajar, suamiku di kota Solo. Saat itu aku belum mengetahui satu rahasia yang Mas Fajar simpan rapi dariku.

Alhamdulillah, Allah menitipkan calon malaikat kecil di rahimku, usianya sudah tiga bulan dan Mas Fajar belum tahu tentang calon anaknya ini. Dan kehadiran calon anakku ini juga yang telah membuka rahasia suamiku selama ini. Siang itu, aku memeriksakan kandunganku ke rumah sakit. Tanpa ditemani Mas Fajar, karena ia sedang tugas ke luar kota, katanya.

Selama memeriksakan kandungan itu, tidak ada kabar dari Mas Fajar. Aku berharap dia menghubungiku, dan aku takut mengganggu kesibukannya kalau aku menghubunginya. Tapi siang itu, saat aku keluar dari ruangan dokter Yessi, dokter kandunganku, aku melihat sosok seperti Mas Fajar. Bukan hanya seperti, tapi itu memang Mas Fajar, suamiku.

Dari kejauhan ku lihat tubuh Mas Fajar terbaring di tempat tidur dorong ditemani beberapa perawat dan seorang dokter. Mereka semua masuk ke ruangan yang tak ku tahu jelas namanya, tapi dari perawat yang sedang lewat dihadapan ku, ku tahu itu ruangan cuci darah. Aku bingung. Yaa Allah, ada apa dengan suamiku? Mengapa masuk ruang itu? Adakah yang ia sembunyikan dari ku, istrinya.

Aku putuskan untuk tidak pulang, aku menunggu Mas Fajar tepat di ruangan cuci darah itu. Cukup lama ku menunggu sampai Mas Fajar didorong kembali keluar ruangan, kali ini Mas Fajar didorong dengan kursi roda. Kami terdiam saat kedua bola mata kami saling bertemu di depan ruangan. Aku belum berani bertanya, aku ikut mendorong kursi roda Mas Fajar. Sampai semua urusan di rumah sakit selesai, dan dari itu aku tahu yang selama ini Mas Fajar sembunyikan dari aku, suamiku menderita gagal ginjal kronis dan harus cuci darah.

Ya Allah, kehamilanku ini merupakan berita bahagia yang kupersiapkan untuk suamiku, tapi selama ini ternyata ada kabar buruk yang Mas Fajar sembunyikan dariku. Seakan dunia ini berhenti saat ku dengar langsung penjelasan Mas Fajar tentang penyakit ginjal kronis yang selama ini ia rahasiakan, Mas Fajar tidak ingin membuat ku sedih dan khawatir, alasannya.

Saat aku menerima Mas Fajar sebagai imamku, saat itu juga aku telah berjanji untuk menerimanya, semua tentangnya termasuk kekurangannya, bahkan penyakitnya ini. Walaupun mulai hari itu, aku selalu mengurus Mas Fajar dan menemaninya setiap kali cuci darah, dalam pikiranku beliau tidak sakit, beliau hanya mengunjungi dokter sebagai bentuk silahturahmi. Suamiku sehat, dan kami bakal hidup bahagia bersama anak-anak kami kelak, benakku.

Kandunganku memasuki usia empat bulan ini, dan pagi itu untuk pertama kalinya Mas Fajar menemaniku memeriksa calon anak kami. Alhamdulillah, sang malaikat kecil masih dalam keadaan sehat dengan bentuk yang hampir sempurna, terima kasih Rabb-ku.

Dan ternyata itulah kali pertama dan terakhir Mas Fajar menemaniku memeriksa kandungan. Dua hari setelahnya, kondisi suamiku drop dan harus dilarikan ke rumah sakit. Dalam kondisi setengah sadar, pucat dan lemas kugenggam tangannya. Ia sempat mendapat perawatan dokter selama 15 menit, hingga akhirnya Malaikat Izrail menjemput suamiku. Ia pergi meninggalkanku dan calon anak kami.

Untuk kedua kalinya, Allah memisahkanku dari orang yang kukasihi. Marah, kesal dan tidak ikhlas itulah yang kurasa saat Allah memanggil Mas Fajar. Mengapa Allah memisahkanku dari sosok imam terbaik ku, tak ada yang kurang dari sosok Mas Fajar, beliau berhasil membimbingku lebih dekat dengan-Mu, tapi mengapa Engkau pisahkan dia dari hamba Rabb?

Aku putus asa atas kepergian suamiku, hanya setahun Allah menitipkan lelaki terbaik dalam hidupku, lebih baik dari cinta pertamaku Ido. Dan aku lebih mencintai Mas Fajar dibanding Ido. Aku hampir terpuruk dalam kesedihan, hampir ku lupakan calon anak ini. Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Semua hal tentang Mas Fajar menguatkan ku.

Gibran lahir tanpa kehadiran ayahnya, tanpa diazani sosok ayah. Gibran lahir dengan kondisi keuanganku yang pas-pasan peninggalan almarhum Mas Fajar. Tidak menunggu lama, saat Gibran berusia lima bulan, aku memutuskan bangkit dari semua kehampaan hidup. Kehadiran Gibran menyadarkanku, bahwa hidupku tidak selalu berjumpa dengan perpisahan, Allah kembali mempertemukanku dengan Mas Fajar melalui sosok anakku, Gibran. Alhamdulillah, dia begitu mirip dengan almarhum Mas Fajar.

Aku harus berusaha mendapatkan rezeki demi kehidupan yang lebih baik bersama Gibran. Bermodal ijazah S-1 akutansi, aku mencari pekerjaan. Tidak mudah memang mencari pekerjaan untuk wanita yang telah berkeluarga. Berawal dari penjaga toko furniture, naik kelas menjadi bagian keuangan di perusahaan mebel namun tidak bertahan lama, hanya tujuh bulan sebelum akhirnya aku mencoba karierku di bank swasta sebagai customer service.

Dan Allah tidak pernah menutup mata dari hamba-Nya yang selalu berusaha dan bekerja keras, setelah bekerja keras dan berjuang untuk selalu lebih baik, akhirnya aku diangkat menjadi manager di bank swasta tempatku bekerja selama ini. Alhamdulillah, takdir Allah selalu lebih indah dan terbaik. Hidup berdua dengan Gibran membuatku jauh lebih baik, dan kutemukan sosok almarhum Mas Fajar pada anakku Gibran yang selalu mengingatkanku untuk terus mengingat-Mu melalui ocehan-ocehan polosnya.

Ujian itu kembali datang, ya, Allah mempertemukan ku kembali dengan Ido, lelaki cinta pertamaku, tapi itu dulu. Ido menawarkan perasaan yang sama seperti dulu. Bismillah, aku menolak lamaran Ido, walaupun ia mengatakan akan memeluk Islam sebagai agamanya. Aku percaya, semua hal yang tidak didasari niat karena Allah swt, tidak akan bertahan lama. Dan aku tidak mau dijadikan alasan Ido memeluk Islam. Kudoakan agar Allah swt memberikan Ido hidayah, dan bukan menjadikan aku sebagai alasannya.

Perpisahan mengajarkanku menjadi kuat dan menjadi pribadi yang lebih bersabar, sekalipun aku sangat mencintai Mas Fajar, sesungguhnya beliau, Gibran, seluruh hal di dunia ini, bahkan roh dalam ragaku adalah titipan. Aku percaya selalu ada hikmah di balik semua kehendak-Nya. Dan kini aku akan selalu berusaha menjaga Gibran sesuai ajaran-Nya, sebagai titipan dan tabungan ku sebelum bertemu dengan-Nya.

Rasulullah SAW bersabda , “Kita milik Allah semata dan sesungguhnya hanya kepada-Nya semata kita kembali. Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah yang telah menimpa.” (HR.Muslim) []

Jika Selesai Salat Fardu, Berdoalah!

ALLAH Taala berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Alam Nasyrah: 1-8)

Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Jika engkau telah selesai (dari shalat atau ibadah, pen.), maka berdoalah.” Ini jadi dalil sebagian ulama dibolehkan berdoa setelah shalat fardhu. (HR. Ath-Thabari dengan sanad yang tsabit dari Ali)

Ibnul Qayyim menyatakan masih boleh berdoa setelah membaca dzikir bada shalat. Namun berdoa dalam shalat lebih afdal karena saat itu orang yang shalat sedang bermunajat dengan Allah.

(Ini catatan dari Tafsir Al-Quran Al-Azhim karya Ibnu Katsir, 7:599 dan Zaad Al-Maad karya Ibnul Qayyim, 1:249-250)

 

INILAH MOZAIK

Berbicara

MENGAJARI anak kecil untuk bisa berbicara itu membahagiakan dan seringkali lucu menggelikan. Mengajari orang dewasa untuk bisa berhenti bicara itu menyedihkan dan seringkali perih menyesakkan dada. Seringkali, orang tua yang tak dewasa tak tahu kapan harus bicara apa dan dimana serta bagaimana. Saat emosi memuncak, perasaan orang lain kadang tak menjadi pertimbangan.

Menjaga mulut menjadi sangat penting, karenanya Rasulullah bersabda bahwa selamatnya manusia itu ada pada penjagaannya akan lisannya. Dalam sabdanya yang lain Rasulullah menyatakan: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat maka berbicaralah yang baik atau lebih baik diam saja.”

Kalimat yang tak baik itu bagai duri yang menusuk serta menyakitkan walau dibungkus dengan gurauan. Kalimat yang diniatkan menyakiti itu tetap akan terasa menyakitkan walaupun disampaikan dengan bermanis muka dan bermanis senyum. Pesan hati itu tajam, saudaraku, sahabatku.

Sempatkan membaca al-Qur’an surat al-Hujurat. Di sana ada tatakrama berbicara yang harus diikuti. Bagaimana berbicara dengan orang mulia, bagaimana mengatur intonasi suara dan bagaimana pula menyusun kalimat yang baik serta menata niat yang baik. Bacalah dan amalkanlah maka kita akan menjadi manusia mulia penuh pahala.

Singkat cerita: “Jangan sampai mulutmu mengeluarkan kata-kata yang membuat gigi mulutmu rontok. Jangan pula mulutmu sampaikan kata yang menyebabkan mulut orang lain membungkam mulutmu.” Mari kita jaga mulut kita masing-masing. Maafkan saya jika mulut saya sempat membuat dirimu tersakiti.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Pilih Kata, Intonasi dan Bahasa Tubuh yang Baik

ADA sebuah kalimat: “Saya tidak mencuri uangmu tadi malam.” Cobalah ucapkan dengan penekanan nada tinggi di kata “Saya.” Lalu coba ucapkan dengan penekanan nada tinggi pada “mencuri,” coba lagi pada penekanan kata ” uang” dan akhirnya pada kata “tadi malam.” Rasakan beda makna dan kesan yang berbeda pada kata yang sama dengan intonasi berbeda.

Ternyata, makna komunikasi itu hanya 7% ditentukan oleh kata-kata verbal, 93% ditentukan oleg pesan non-verbal, bukan kata-kata. 93% itu adalah dari intonasi sebanyak 38% dan bahasa tubuh atau gesture sebanyak 55%. Muka masam akan mengurangi bahkan menghilangkan manisnya pilihan kata. Lebih jauh lagi bahkan kesan “masam”nya itu yang ditangkap lawan bicara.

Rasulullah Muhammad SAW adalah orang yang paling pandai memilih kata sekaligus pandai menyampaikannya dengan cara yang indah yang menyenangkan hati semua pendengarnya. Kata-kata dan caranya berbicara dipuji setinggi langit oleh para sejarawan sebagai bentuk komunikasi yang sejuk menyejukkan bukan panas dan memanas-manasi.

Melihat dari besarnya porsi faktor non-verbal (93%) dalam komunikasi, sangatlah penting kita belajar lebih banyak lagi menata intonasi dan bahasa tubuh kita saat berbicara. Nilai komunikasi kita sangat ditentukan oleh 93% itu. Sayangnya, banyak orang yang hanya fokus pada pilihan kata, padahal pesan penting bahkan fakta benar bohongnya berita adalah juga ada pada intonasi serta bahasa tubuh.

Kalau ada orang menyampaikan kepada kita ucapan atau kata-kata orang lain, bisa jadi susunan kata dan kalimatnya sama, tidak bohong. Namun jika kata atau kalimat itu disampaikan dengan intonasi dan bahasa tubuh yang berbeda sehingga memiliki kesan berbeda dengan yang dimaksud pembicara aslinya, maka hal ini adalah sebuah bentuk kebohongan. Berhati-hatilah dengan kebohongan intonasi dan bahasa tubuh.

Sepertinya, kapan-kapan kita perlu belajar khusus bagaimana Rasulullah berkomunikasi dengan keluarga dan ummatnya. Semoga ada waktu.

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi |

INILAH MOZAIK

Pulang Lah Nak, Berbakti pada Ibu-mu

Semua orang tua pasti ingin dekat dengan anak-anaknya, terutama di masa tua dan masa sepuh mereka. Setiap orang tua, terutama ibu pasti sangat ingin berada bersama anak-anak yang sangat ia cintai. Tidak jarang sang ibu meminta anaknya agar tidak tinggal jauh darinya atau agar tidak tinggal di luar kota, atau sang ibu meminta anaknya agar segera pulang ke kampung masa kecilnya untuk menemani orang tua dan ibunya.

Kasih Sayang Ibu Tidak Lekang Oleh Jarak dan Waktu

Sekiranya sang ibu mengatakan:
“Ibu sih terserah kamu nak, jika di kota A kamu lebih sukses, ibu hanya bisa mendoakan kamu dari kampung masa kecilmu ini”

Ketauhilah, ketika engkau memilih bertahan di kota A, hati ibumu sangat kecewa sekali tetapi ia berusaha menguatkan diri dan tersenyum di depan mu dan tentunya selalu mendoakanmu, buah hati tercinta.

Saudaraku, meskipun kita sukses di kota A atau merasa sangat senang dan nyaman tinggal di kota A, jika engkau ada kesempatan tinggal bersama orang tua khususnya ibumu, maka pulang lah, temani ibumu dan berbaktilah. Mereka lah yang menjadikan engkau suskes dan berhasil dengan izin Allah

Catatan: berbakti pada ibu adalah prioritas utama anak laki-laki, adapun anak perempuan yang sudah menikah, maka ia mengikuti suaminya.

Jangan Sia-Siakan Kesempatan Berbakti Kepada Ibu

Berbaktilah kepada kedua orang tua kita, terutama ibu, karena berbakti kepada orang tua adalah salah satu amalan yang paling mudah memasukkan seseorang ke surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻮَﺍﻟِﺪُ ﺃَﻭْﺳَﻂُ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺈِﻥْ ﺷِﺌْﺖَ ﻓَﺄَﺿِﻊْ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﺒَﺎﺏَ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﻔَﻈْﻪُ

Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia-siakan pintu itu, atau kalian bisa menjaganya. (HR. Ahmad, hasan)

Maksud pintu yang paling tengah adalah pintu yang palong mudah dimasuki. Perhatikan jika ada tembok di depan kita, lalu ada pintu di tengah, di samping pinggir kanan dan kiri, tentu secara psikologi kita akan pilih yang tengah karena mudah untuk memasukinya.

Mengapa mudah berbakti pada orang tua, terurama ketika mereka sudah tua? Karena orang yang sudah tua sudak tidak menginginkan “gemerlapnya dunia” lagi.

Ibu Merindukan Kehadiranmu, Nak!

Mereka sudah tidak minta pada anaknya makanan-makanan lezat karena lidah mereka mungkin sudah kaku
Mereka sudah tidak minta pada anaknya jalan-jalan yang jauh karena kaki sudah mulai rapuh
Mereka sudah tidak minta kepada anaknya perhiasan dunia karena mata mulai merabun

Yang mereka inginkan hanyalah engkau menemani mereka, mengajak ngobrol, membawa cucu-cucu mereka untuk bermain dengan mereka. Suatu perkara yang cukup mudah dengan balasan yang surga Allah

Saudaraku, karenanya sangat celaka seseorang yang mendapati kedua orang tuanya sudah tua dan sepuh tetapi tidak masuk surga, karena tidak memanfaatkan amalan yang cukup mudah yaitu berbakti kepada mereka kemudian masuk surga.

Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [HR. Muslim 2551]

Baktimu untuk Ibu adalah Kewajiban

Perintah berbakti kepada orang tua terutama ibu

Allah memerintahkan kepada kita dalam Al-Quran agar berbakti kepada kedua orang tua. Allah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu untuk anaknya. Beliau menafsirkan,

وقال هاهنا {ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن} . قال جاهد: مشقة وهن الولد. وقال قتادة: جهدا على جهد. وقال عطاء الخراساني: ضعفا على ضعف

“Mujahid berkata bahwa yang dimaksud [“وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ”] adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qatadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atha’ Al Kharasani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah.”[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 6/336,]

Demikian juga firman Allah,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Al-Ahqaaf : 15)

Pengorbanan Ibu Tidak Akan Terbalas

Diriwayatkan Dari Abi Burdah, ia melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk Yaman yang sedang thawaf di sekitar Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya. Orang yaman itu bersenandung,

إِنِّي لَهَا بَعِيْرُهَا الْمُـذِلَّلُ – إِنْ أُذْعِرْتُ رِكَابُهَا لَمْ أُذْعَرُ

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.

Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

Orang itu lalu bertanya kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, apakah aku telah membalas budi kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Engkau belum membalas budinya, walaupun setarik napas yang ia keluarkan ketika melahirkan.”[Adabul Mufrad no. 11, shahih]

Az-Dzahabi rahimahullah menyusun sebuah tulisan yang sangat menyentuh mengenai jasa dan pengorbanan ibu dan motivasi agar kita berbakti pada ibu. Beliau berkata,

حملتك في بطنها تسعة أشهر كأنها تسع حجج و كابدت عند الوضع ما يذيب المهج و أرضعتك من ثديها لبنا و أطارت لأجلك وسنا و غسلت بيمينها عنك الأذى و آثرتك على نفسها بالغذاء و صيرت حجرها لك مهدا و أنالتك إحسانا و رفدا فإن أصابك مرض أو شكاية أظهرت من الأسف فوق النهاية و أطالت الحزن و النحيب و بذلت مالها للطبيب و لو خيرت بين حياتك و موتها لطلبت حياتك بأعلى صوتها هذا و كم عاملتها بسوء الخلق مرارا فدعت لك بالتوفيق سرا و جهارا فلما احتاجت عند الكبر إليك جعلتها من أهون الأشياء عليك فشبعت و هي جائعة و رويت و هي قانعة و قدمت عليها أهلك و أولادك بالإحسان و قابلت أياديها بالنسيان و صعب لديك أمرها و هو يسير و طال عليك عمرها و هو قصير هجرتها و مالها سواك نصير هذا و مولاك قد نهاك عن التأفف و عاتبك في حقها بعتاب لطيف ستعاقب في دنياك بعقوق البنين و في أخراك بالبعد من رب العالمين يناديك بلسان التوبيخ و التهديد ( ذلك بما قدمت يداك و أن الله ليس بظلام للعبيد )

Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan, seolah-olah sembilan tahun.

Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya.

Dia telah menyusuimu dari putingnya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu.

Dia cuci kotoranmu dengan tangan kirinya, dia lebih utamakan dirimu dari padadirinya serta makanannya.

Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu.

Dia telah memberikanmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu.

Seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suaranya yang paling keras.

Betapa banyak kebaikan ibu, sedangkan engkau balas dengan akhlak yang tidak baik.

Dia selalu mendo’akanmu dengan taufik, baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu.

Engkau kenyang dalam keadaan dia lapar.

Engkau puas minum dalam keadaan dia kehausan.

Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada ibumu.

Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat.

Berat rasanya atasmu memeliharanya padahal itu adalah urusan yang mudah.

Engkau kira ibumu ada di sisimu umurnya panjang padahal umurnya pendek.

Engkau tinggalkan padahal dia tidak punya penolong selainmu.

Padahal Allah telah melarangmu berkata ‘ah’ dan Allah telah mencelamu dengan celaan yang lembut.

Engkau akan disiksa di dunia dengan durhakanya anak-anakmu kepadamu.

Allah akan membalas di akhirat dengan dijauhkan dari Allah Rabbul ‘aalamin.

(Akan dikatakan kepadanya),

ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

“Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya”. (Al-Hajj : 10) [Al-Kaba’ir hal. 39, Darun Nadwah]

Semoga Allah Ta’ala Memudahkan Kita untuk Berbakti pada Ibu

Semoga kita termasuk orang yang bisa berbakti kepada orang tua khususnya ibu. Semoga kita termasuk orang yang tidak melupakan jasa-jasa ibu kita. Semoga anak-istri dan pekerjaan kita tidak menyibukkan kita dan melalaikan kita untuk berbakti dan memberikan perhatian kepada ibu kita. Ingatlah di masa kecil kita sangat sering membuat susah orang tua terutama ibu kita, bersabarlah ketika berbakti kepada keduanya

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44335-pulang-lah-nak-berbakti-pada-ibu-mu.html

Mencela dan Mencaci Orang Tua

Dengan semakin modern-nya peradaban, banyak kita jumpai bentuk-bentuk kerusakan akhlak yang semakin mewabah dan merajalela. Perkara jelek yang dulu mungkin tidak bisa kita bayangkan akan terjadi, karena saking buruknya perkara tersebut, sekarang dengan mudah kita jumpai di sekeliling kita.

 

Di antara bentuk kerusakan akhlak tersebut adalah mencela dan mencaci maki orang tua. Perkara ini, mungkin tidak terbayangkan pada benak orang-orang jaman dahulu. Bagaimana dulu kita diajarkan untuk bersikap patuh, menghormati, dan memuliakan orang tua. Akan tetapi pada jaman sekarang, akhlak luhur tersebut seakan ikut memudar, tergerus oleh perkembangan zaman.

Diriwayatkan dari sahabat ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ

“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang bisa mencaci maki kedua orang tuanya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Benar. Seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain tersebut mencela bapaknya. Dan seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencela ibunya.” (HR. Muslim no. 90)

 

Dalam hadits di atas, para sahabat tidak bisa membayangkan bahwa ada anak yang sampai berani mencaci-maki orang tuanya sendiri. Bagaimana tidak, dulu orang Arab rela untuk berperang ketika kehormatan nenek moyang atau orang tua mereka diinjak-injak dan dilecehkan. Mereka rela mengangkat senjata ketika orang lain mencela dan mencaci-maki kehormatan bapak-bapaknya. Lalu bagaimana mungkin anaknya sendiri yang mencela dan mencaci-maki kedua orang tuanya? Sungguh ini perkara yang sangat sulit dibayangkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum ketika itu, namun mudah kita jumpai pada zaman sekarang ini.

Dalam hadits di atas, tindakan seseorang yang mencela ayah atau ibu orang lain, dinilai sama dengan mencela orang tuanya sendiri. Hal ini karena orang lain tersebut akan membalas dengan mencaci-maki orang tuanya. Jadi, dia sendiri-lah yang menjadi penyebab kedua orang tuanya dicaci-maki. Sehingga meskipun dia tidak mencaci-maki kedua orang tuanya secara langsung, dia tetap dinilai atau disamakan dengan mencaci-maki kedua orang tuanya sendiri.

 

Hal ini sama dengan larangan untuk mencaci-maki sesembahan kaum musyrikin, karena hal itu akan menyebabkan adanya balasan dari orang-orang musyrikin, yaitu akan membalas dengan mencaci-maki Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah. Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am [6]: 108)

Tindakan yang lebih buruk dari “sekedar”mencaci-maki adalah melaknat kedua orang tua, mendoakan keduanya agar dijauhkan dari rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala. Tindakan ini juga termasuk dosa besar, karena terdapat ancaman khusus, yaitu dilaknat oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ

“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang menyembunyikan (melindungi) penjahat, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, dan Allah melaknat orang yang memindah (menggeser) batas (patok) tanah.” (HR. Muslim no. 1978)

 

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjauhkan kita dari perbuatan tersebut.

[Selesai]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/47198-mencela-dan-mencaci-orang-tua.html