Bocoran Ilmu Kedokteran dalam Setengah Ayat Alquran dan Satu Kalimat Hadis

ALQURAN merupakan kitab yang berisi pedoman hidup umat manusia. Di dalamnya tercangkup semua aspek kehidupan termasuk ilmu pengetahuan. Tak terkecuali ilmu kedokteran

Dikutip dari Buku Pintar Sains dalam Alquran, berdasarkan sebuah riwayat, seorang ulama menyebut bahwa Allah telah menghimpun seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat dari Alquran.

Diriwayatkan, Khalifah Harun ar-Rasyid memiliki seorang dokter nasrani yang hebat. Suatu ketika, dokter itu berkata kepada salah seorang ulama, “Tak satu pun dalam kitab suci kalian yang berkaitan dengan (red. ilmu) kedokteran. Ilmu itu ada dua, ilmu tentang tubuh dan ilmu tentang agama.”

Ulama itu berkata, “Allah telah menghimpun seluruh ilmu kedokteran hanya dalam setengah ayat dari kitab suci-Nya.”

“Ayat apa itu?’ tanya dokter Nasrani.

Ulama menjawab, “Yaitu firman-Nya, “Makan dan minumlah, dan jangan berlebihan.” (QS Al-A’raf: 31)

Kemudian dokter itu berkata, “Dan tak satu pun riwayat dari Rasul kalian tentang kedokteran.”

“Rasul kami telah menghimpun ilmu kedokteran dalam satu kalimat yang singkat.”

“Apa itu?’

Ulama itu menjawab, “Rasulullah bersabda, ‘Tidaklah seorang anak Adam mengisi sebuah bejana yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam untuk makan beberapa suap makanan sekedar untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika tidak maka sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk udara (napas).” (HR Ibnu Majah)

Riset ilmiah membuktikan bahwa kegemukan (obesitas) dapat membahayakan tubuh manusia. Hasil sensus sebuah perusahaan asuransi di Amerika Serikat menyimpulkan, bahwa semakin panjang garis lingkar perut, makan semakin pendek garis umur. Laki-laki yang lingkar perutnya lebih besar daripada lingkar dadanya, maka potensi kematiannya akan semakin besar.

Nabi Muhammad SAW memerintahkan umat Muslim untuk menyeimbangkan pola makan dan minum, dan tidak berlebihan dalam keduanya. Ia juga melarang untuk mengisi lambung dengan makanan secara penuh, karena dapat merusak tubuh dan termasuk pemborosan. Pelakunya dianggap sebagai orang-orang mubazir yang dicap Allah sebagai saudara-saudara setan.

Allah berfirman, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra’: 27)

Kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda, “Termasuk sikap berlebihan jika kau makan saat kau ingin makan.” (HR. Hakim)

Rasulullah juga bersabda kepada Abu Juhfah saat ia bersendawa, “Pendekkan sendawamu dari kami, karena manusia yang paling panjang rasa laparnya di hari kiamat adalah yang paling sering kenyang di dunia.” (HR. Tirmidzi)

Sahabat Nabi, Umar berkata “Janganlah sekali-kali kalian terlalu kenyang dalam makan dan minum, karena dapat merusak tubuh, menimbulkan penyakit dan membuat malas untuk salat. Kalian harus berhemat dalam keduanya (makan dan minum), karena itu lebih baik bagi tubuh dan jauh dari sikap boros. Allah membenci orang yang sejahtera dan gemuk. Seorang laki-laki tidak akan binasa sampai ia mengutamakan syahwatnya daripada agamanya.” (Riwayat Abu Nu’aim)

Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)

Makna boros adalah mengeluarkan sesuatu yang lebih dari kebutuhan. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Termasuk sikap boros jika kau makan setiap kali kau ingin makan.” (HR. Baihaqi)

Jika islam melarang sikap boros dan berlebihan maka Islam juga melarang sikap bakhil dan kikir. Karena itu, umat Islam harus bersikap seimbang dalam urusan makan, minum, berpakaian, dan hal-hal yang berhubungan dengan pembelanjaan. []

Referensi: Buku Pintar Sains dalam Alquran/Karya: Nadiah Tayyarah/Penerbit: Zaman/Tahun: 2013

ISLAMPOS

Sayangilah Anak Yatim dan Orang Miskin!

Di antara sifat orang yang mendustakan hari pembalasan adalah tidak punya kasih sayang pada anak yatim dan orang miskin. Masih ada sifat lainnya yang disebutkan dalam surat Al Maa’uun.

Allah Ta’ala berfirman,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’  dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maa’uun: 1-7).

Mendustakan Hari Pembalasan

Dalam ayat pertama disebutkan,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan?” (QS. Al Maa’uun: 1-7).

Mengenai kata “الدين” (ad diin) dalam ayat di atas, ada empat pendapat: (1) hukum Allah, (2) hari perhitungan, (3) hari pembalasan dan (4) Al Qur’an. Demikian kata Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya, Zaadul Masiir (9: 244). Jadi ayat tersebut bisa bermakna orang yang mendustakan hukum Allah, hari perhitungan, hari pembalasan atau mendustakan Al Qur’an.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ad diin adalah hari pembalasan, sehingga jika diartikan: “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan?” Dan beliau menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan pada mereka yang mengingkari hari kebangkitan sebagaimana disebutkan dalam ayat,

أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ , أَوَآَبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ

Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)? Dan apakah bapak-bapak kami yang telah terdahulu (akan dibangkitkan pula)”?” (QS. Ash Shofaat: 16-17).

مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ

Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin: 78). Mereka inilah yang mendustakan ‘yaumud diin’ yaitu hari pembalasan. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 274).

Tidak Menyayangi Anak Yatim dan Fakir Miskin

Setelah menyebutkan mengenai orang yang mendustakan hari pembelasan, lalu disebutkan ayat,

فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)

Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

Dalam dua ayat di atas digabungkan dua hal:

1. Tidak punya kasih sayang pada anak yatim. Padahal mereka itu orang yang patut dikasihi. Perlu diketahui, yatim adalah yang ditinggal mati orang tuanya sebelum ia baligh (dewasa). Dialah yang patut dikasihi karena mereka tidak lagi memiliki orang tua yang mengasihinya. Akan tetapi yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang yang menghardik anak yatim. Yaitu ketika yatim tersebut datang, mereka menolaknya dengan sekeras-kerasnya atau meremehkannya.

2. Tidak mendorong untuk mengasihi yang lain, di antaranya fakir miskin. Padahal fakir dan miskin sangat butuh pada makanan. Orang yang disebutkan dalam ayat ini tidak mendorong untuk memberikan makan pada orang miskin karena hatinya memang telah keras. Jadi intinya, orang yang disebutkan dalam dua ayat di atas, hatinya benar-benar keras.

Ayat di atas semisal dengan ayat,

كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18)

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin” (QS. Al Fajr: 17-18). Orang fakir adalah yang kebutuhannya dan kecukupannya tidak bisa terpenuhi (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691).

Orang yang Lalai dari Shalatnya

Kemudian disebutkan mengenai sifat mereka lagi,

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Kata Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud di sini adalah orang-orang munafik yaitu yang mereka shalat di kala ada banyak orang, namun enggan shalat ketika sendirian. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691)

Dalam ayat disebutkan “لِلْمُصَلِّينَ”, bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang biasa shalat dan konsekuen dengannya, lalu mereka lalai. Yang dimaksud lalai dari shalat bisa mencakup beberapa pengertian:

1. Lalai dari mengerjakan shalat.

2. Lalai dari pengerjaannya dari waktu yang ditetapkan oleh syari’at, malah mengerjakannya di luar waktu yang ditetapkan.

3. Bisa juga makna lalai dari shalat adalah mengerjakannya selalu di akhir waktu selamanya atau umumnya.

4. Ada pula yang memaknakan lalai dari shalat adalah tidak memenuhi rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan.

5. Lalai dari shalat bisa bermakna tidak khusyu’ dan tidak merenungkan yang dibaca dalam shalat.

Lalai dari shalat mencakup semua pengertian di atas. Setiap orang yang memiliki sifat demikian, maka dialah yang disebut lalai dari shalat. Jika ia memiliki seluruh sifat tersebut, maka semakin sempurnalah kecelakaan untuknya dan semakin sempurna nifak ‘amali padanya (Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691-692).

Mereka yang Cari Muka dalam Ibadah

Disebutkan dalam lanjutan ayat,

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ

Orang-orang yang berbuat riya’ ”. Riya’ adalah ingin amalannya nampak di hadapan orang lain, ibadahnya tidak ikhlas karena Allah, istilahnya ingin ‘cari muka’.

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, “Barangsiapa yang –awalnya- melakukan amalan lillah (ikhlas karena Allah), kemudian amalan tersebut nampak di hadapan manusia lalu ia pun takjub, maka seperti itu tidak dianggap riya’.”

Di antara tanda orang yang riya’ dalam shalatnya adalah:

  1. Seringnya mengakhirkan waktu shalat tanpa ada udzur
  2. Melaksanakan ibadah dengan malas-malasan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa’: 142). (Lihat bahasan Ta’thirul Anfas, hal. 533)

Celakalah Al Maa’uun

Ayat terakhir,

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.

Jika lihat dari terjemahan Al Qur’an, al maa’uun diterjemahkan dengan orang yang enggan menolong dengan barang berguna. Namun memang, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan al maa’uun. Sebagian berkata bahwa al maa’uun bermakna orang yang enggan bayar zakat. Yang lain lagi mengatakan bahwa maksud al maa’uun adalah orang yang enggan taat. Yang lainnya lagi berkata sebagaimana yang kami maksudkan yaitu “يمنعون العارية”, mereka yang enggan meminjamkan barang kepada orang lain (di saat saudaranya butuh). Tafsiran terakhir ini sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, yaitu jika ada yang ingin meminjam timba, periuk atau kampaknya, maka ia enggan meminjamkannya.

Intinya, seluruh tafsiran di atas tepat. Semuanya kembali pada satu makna, yaitu al maa’uun adalah enggan menolong orang lain dengan harta atau sesuatu yang bermanfaat. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 473).

Dalam sunan Abu Daud disebutkan riwayat dari ‘Abdullah, ia berkata,

كُنَّا نَعُدُّ الْمَاعُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَارِيَةَ الدَّلْوِ وَالْقِدْرِ.

Kami menganggap al maa’uun di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang berkaitan dengan ‘aariyah (yaitu barang yang dipinjam) berupa timba atau periuk.” (HR. Abu Daud no. 1657, hasan kata Syaikh Al Albani)

Padahal memberikan pinjaman pada orang lain bisa jadi dengan harta, bisa jadi dengan memberikan kemanfaatan dan ini semua termasuk sedekah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ

Setiap kebaikan (perbuatan ma’ruf) adalah sedekah”(HR. Bukhari no. 6021).

Semoga kita bisa semakin merenungkan ayat-ayat ini dan membuat kita lebih mengasihi orang yang membutuhkan dan dalam keadaan sengsara.

Wallahul muwaffiq.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/11213-sayangilah-anak-yatim-dan-orang-miskin.html

Hukum Adopsi Anak dalam Islam (Bag. 1)

Sebagian pasangan suami istri, terutama ketika tidak memiliki keturunan, mereka akan mengambil anak untuk diadopsi. Anak tersebut akan diakui (diklaim) sebagai anaknya, dan sebaliknya, sang anak pun akan mengakui pasangan suami istri tersebut sebagai ayah atau ibunya. Lebih jauh dari itu, bisa jadi suami istri tersebut kemudian membuatkan akta kelahiran bagi sang anak hasil adopsi, dan dicatatkan bahwa anak hasil adopsi tersebut adalah anak kandungnya. Kemudian anak adopsi tersebut dianggap setara dengan anak kandung dari sisi mahram [1] ataupun hak mendapatkan warisan.

Adopsi Anak Budaya Jahiliyyah?

Adopsi anak termasuk di antara adat atau tradisi jahiliyah. Orang-orang jahiliyah dahulu biasa mengadopsi anak, kemudian anak angkat tersebut dianggap sebagaimana anak kandung. Anak angkat tersebut dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapak angkatnya, tidak dinasabkan kepada bapak kandungnya. Juga dianggap sebagai mahramnya. Misalnya, istri dari anak angkatnya itu tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya. Dalam masalah warisan, anak angkat juga berhak mendapatkan warisan. 

Inilah di antara tradisi jahiliyah. Ketika mereka melihat ada seorang anak yang secara fisik membuat mereka tertarik, mereka pun mengklaimnya sebagai anak dan dinasabkan kepada mereka (bapak angkat). Tradisi ini pun pernah dijalani oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya setelah beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dari perbudakan. Setelah diangkat sebagai anak, Zaid pun menyebut dirinya dengan “Zaid bin Muhammad”.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata,

لقد كانوا -أيها الإخوة- يدعون الإنسان لمن تبناه، فيأتي إنسان يتبنى شخصاً له أب معروف، فيلغي اسم أبيه، وينسبه إلى نفسه، أو له أب غير معروف فيعطيه اسماً يضيفه إليه، وينسبه إلى نفسه

“Wahai saudaraku, sungguh mereka dahulu memanggil seseorang dengan nama ayah angkatnya. Ada seseorang yang mengangkat orang lain sebagai anak angkatnya, anak itu memiliki ayah kandung yang sudah dikenal. Kemudian (setelah dijadikan sebagai anak angkat), dia tutupi (hilangkan) nama ayah kandungnya, dan dia nasabkan kepada dirinya sendiri. Atau anak itu tidak diketahui siapa ayah kandungnya, kemudian dia beri nama yang dia sandarkan kepada dirinya dan dia nasabkan kepada dirinya.” (Duruus li Syaikh Muhammad Al-Munajjid, 3: 184 [Maktabah Syamilah])

Islam Berlepas Diri dari Tradisi Jahiliyyah

Tradisi jahiliyah itu pun kemudian dihapus dalam syariat Islam. Berikut penjelasan dari Al Qur’an dan Sunnah:

Menasabkan Anak Angkat pada Bapak Angkat

Allah Ta’ala dengan menurunkan ayat,

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ؛ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 

“Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahayamu). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 4-5)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang seorang anak angkat dipanggil (dinasabkan) kepada ayah angkat mereka. Dan sungguh karena keimanan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan setelah turunnya ayat ini, “Saya (bernama) Zaid bin Haritsah.” Beliau radhiyallahu ‘anhu tidak lagi menyebut dirinya dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini menunjukkan tingginya iman para sahabat, sehingga mudah bagi mereka untuk bersegera melaksanakan perintah Allah Ta’ala.

‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ القُرْآنُ، {ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ}

“Sesungguhnya Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dulu, tidaklah kami memanggilnya kecuali dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun Al-Qur’an (yang artinya), “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).” (HR. Bukhari no. 4782)

Menikahi Mantan Istri dari Anak Angkat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah

Menegaskan dihapusnya tradisi jahiliyah tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahi Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah mantan istri Zaid bin Haritsah. Di masa jahiliyah, menikahi mantan istri anak angkat adalah hal yang tabu (terlarang), karena sekali lagi, anak angkat dianggap sebagai anak kandung sendiri. 

Kisah menikahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab ini tercantum dalam firman Allah Ta’ala,

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

“Maka tatkala Zaid [2] telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (Zainab), supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 37) [3]

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata,

وتزوج النبي صلى الله عليه وسلم زينب زوجة زيد ، وكان من أكبر العيوب في الجاهلية، أن يتزوج الإنسان زوجة ابنه بالتبني، فكان تحطيمها بتزويج زينب للنبي عليه الصلاة والسلام، لإزالة تلك العادة الجاهلية، ونسخ ذلك

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab, (mantan) istri Zaid (bin Haritsah). Pernikahan semacam itu termasuk aib besar dalam tradisi jahiliyyah, yaitu seseorang menikahi istri dari anak angkatnya. Beliau menghapus tradisi itu dengan menikahi Zainab, untuk menghilangkan adat kebiasaan jahiliyah tersebut dan menghapusnya.” (Duruus li Syaikh Muhammad Al-Munajjid, 3: 184 [Maktabah Syamilah])

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52453-hukum-adopsi-anak-dalam-islam-bag-1.html

Benarkah Jin Bisa Menutup Jodoh dan Rezeki Orang?

BEBERAPA kali saya mendapati pertanyaan tentang hal ini yakni klaim sebagian orang bahwa mereka mampu melakukan hal yang sangat luar biasa yakni menutup jodoh dan rezeki orang lain.

Atau pernyataan sebagian orang bahwa jin telah menutup jodoh dan rezeki seseorang. Klaim ini terdengar sangat menakutkan terutama bagi orang-orang yang kebetulan sedang mengalami kesulitan rezeki, terlilit utang atau mereka yang kebetulan belum bertemu dengan jodohnya padahal usia telah beranjak semakin tua.

Sedemikian luar biasanya kah kemampuan jin dan dukun itu hingga mampu mencegah datangnya rezeki dan jodoh padahal keduanya adalah takdir alias wilayah kekuasaan Allah. Mungkinkah jin dan dukun itu mengintervensi kekuasaan Allah swt ? Disinilah pemahaman dan akidah kita dipertaruhkan.

Baiklah, mari kita lihat penjelasan Alquran tentang fenomena mencegah atau menutup rezeki, dan jodoh.

QS. Al Mulk : 21 “Atau siapakah yang dapat memberimu rezeki jika Dia menahan rezeki-Nya? bahkan mereka terus menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri dari (kebenaran).

QS. Al Fajr : 16 “Namun apabila Tuhan mengujinya dan membatasi rezekinya, maka dia berkata, Tuhanku telah menghinakanku.

QS An Naba : 8 “Dan kami menciptakan kamu berpasang-pasangan.

Jika kita renungkan 3 ayat di atas, maka akan terlihat dengan sangat jelas bahwa rezeki dan jodoh adalah wilayah kekuasaan Allah SWT, Dia-lah yang memiliki rezeki, Dia yang membagikannya dan Dia pulalah yang berkuasa menahan atau membatasinya. Demikian juga dengan jodoh adalah kekuasaan-Nya. Keduanya mutlak milik-Nya tanpa ada yang dapat mengintervensi. Tiga ayat di atas sangat gamblang bagi kita.

Fenomena terhalanginya rezeki memang benar adanya dan terlihat dari ayat di atas, tetapi yang mampu melakukannya adalah Allah SWT, sang Pemilik rezeki, bukan jin apalagi dukun. Ayat-ayat tersebut sangat jelas menyebutkan siapa penguasa rezeki dan jodoh itu. Kemampuan dukun dan jin untuk menutup rezeki tidak pernah disinggung dalam ayat itu atau ayat ayat lain. Karena memang mereka tidak pernah mampu melakukannya.

Terhalangnya rezeki, benar adanya dan dijelaskan dalam ayat di atas. Pertanyaannya, mengapa Allah menutup, menghalangi atau membatasi rezeki kita?

QS Nuh : 10-12″Maka aku berkata kepada mereka, “mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, sungguh, Dia Maha Pengampun.” “Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu” “Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.”

Ayat di atas menjawab pertanyaan kita mengapa jodoh dan rizki kita terhalang. Ayat tersebut menjelaskan hikmah istighfar dan memohon ampun yakni dapat mendatangkan hujan, mendatangkan rezeki, memiliki keturunan, menyuburkan lahan. Intinya adalah kemudahan dan jalan keluar atas permasalahan hidup kita terselesaikan dengan istigfar dan tobat kita.

Jika pemahaman ini kita balik maka sebenarnya yang menyebabkan rezeki kita terhalang, munculnya kesulitan hidup adalah karena dosa dan kesalahan kita kepada Allah SWT. Jika kita membaca keseluruhan ayat dalam Surat Nuh mulai ayat 1, maka kita akan mendapati bahwa perintah istigfar tersebut karena adanya dosa dan kedurhakaan yang dilakukan oleh umat Nabi NUH as.

Silahkan anda buka kitab kitab para ulama tentang hikmah tobat dan istigfar, maka kita akan menemukan hikmah yang kurang lebih akan senada dengan surat Nuh di atas.

Inilah penghalang rezeki yang hakiki. Karena dosa kitalah, yang membuat Pemilik rezeki menahan rezeki-Nya.

Lalu bagaimana penjelasan terhadap anggapan bahwa jin dapat menghalangi jodoh dan rezeki kita?

Anda mungkin akan mengernyitkan dahi membaca penjelasan saya setelah ini, atau bahkan tertawa. Iya, karena memang diluar dugaan kita..inilah yang sebenarnya dilakukan oleh jin itu. Jin itu tidak sedramatis yang kita bayangkan.

1. Menghalangi jodoh

Sebenarnya yang dilakukan jin pada dua orang laki-laki dan wanita yang akan menikah atau sedang taaruf adalah seperti ketika anda sedang dimintai pendapat teman anda tentang wanita yang ingin dinikahinya atau ingin didekatinya. Apakah anda bisa membayangkannya?

Ok contoh riil begini. Teman wanita anda sedang minta pendapat anda tentang seorang laki-laki yang akan meminangnya. Padahal anda menyukai wanita itu, dan anda tidak termasuk orang yang jujur. Kira-kira apa yang akan anda katakan ? Saya yakin anda akan mengatakan pada wanita itu bahwa lelaki yang akan meminangnya bukanlah jodoh yang tepat, bahkan bila perlu anda akan menjelek-jelekkannya. Intinya agar wanita itu semakin ragu dan mengurungkan niatnya.

Jika anda kebetulan mengenal si laki-laki maka mungkin anda akan mendatangi rumah si laki-laki itu dan berusaha untuk membuat laki-laki tersebut membatalkan pinanganya, dengan cara menyampaikan berita bohong dan keragu-raguan. Targetnya sama yakni si laki-laki itu mengurungkan niatnya.Nah, pahamkah anda sekarang?Jadi, sebenarnya persis seperti itulah yang dilakukan jin untuk menghalangi perjodohan.

Jika gangguan jin terjadi pada salah satu, yaitu si lelaki atau wanitanya saja maka jin itu akan berupaya membuat ragu agar pernikahan tidak terjadi, mungkin membuatnya selalu bimbang, membuatnya sulit memahami orang lain hingga sulit berteman, sulit bergaul, lebih nyaman berteman dengan sesama jenis, atau membuatnya tiba-tiba membenci laki-laki yang berusaha mendekatinya.

Jika gangguan jin terjadi pada kedua orang tersebut sekaligus maka jin itu tidak hanya membisikkan keraguan tetapi jin itu bisa menampakan diri dalam wajah si laki-laki atau si perempuan sehingga ketika mereka bertemu wajah seolah berubah. Jika jin berulah di tubuh si perempuan maka mungkin si laki-laki akan melihat wajah wanita tersebut aneh atau menakutkan, atau mengeluarkan bau tidak sedap, atau bahkan jin si perempuan itu akan datang dalam mimpi si laki-laki dan jin itu mengancam jika sampai pernikahan terjadi.

Jika si laki-laki termasuk orang yang baik dan tidak ada gangguan jin dalam tubuhnya maka laki-laki itu tidak akan melihat penampakan wajah yang dilakukan oleh jin yang ada dalam tubuh wanita itu.

Saya pernah menemui seorang wanita yang salah satu keluhannya adalah wajahnya terlihat tua oleh sebagian orang. Tetapi selama proses ruqyah saya tidak melihat wajah tua itu, wajahnya terlihat biasa saja. demikian pula dengan orang-orang yang hadir di dalam ruqyah itu, mereka tidak melihatnya.

Dari kejadian itu saya mengambil kesimpulan bahwa jin lebih mudah berulah pada orang yang sudah ada jin dalam tubuhnya. Oleha karena itu, jika anda seorang wanita yang sedang mengalami gangguan jin, dan suatu saat ada seorang laki-laki ingin melamar anda, tiba tiba dia mengurungkan niat karena melihat wajah anda aneh, atau tiba-tiba ia membenci anda maka bersyukurlah. Karena laki-laki tersebut termasuk mudah dikerjai oleh jin dan kemungkinan besar dalam tubuhnya juga sedang terdapat jin.

Jika kita perhatikan penjelasan diatas maka sebenarnya yang dilakukan oleh jin itu tidak lebih canggih dari yang kita lakukan untuk menggagalkan niat seseorang. Jin itu sama sekali tidak bisa mencegah takdir. Jin itu hanya berupaya agar tubuh yang ditempatinya selalu ragu, tidak mantap, membenci setiap lawan jenis yang berusaha mendekatinya, membuatnya mudah salah paham dengan lawan jenis hingga tidak bisa berteman dengan lawan jenis. Atau dia berusaha menampakan diri pada orang yang berusaha mendekati tubuh yang ditempatinya. Terutama jika orang yang ditampaki tersebut sedang mengalami gangguan jin pula. Karena jin jauh lebih mudah menampakkan diri pada orang yang ada gangguan jin dalam tubuhnya.

Namun jika wanita atau laki-laki itu berpegang teguh pada syariat, mengikuti pendapat hasil musyawarah, mengikuti orang tua dan istikhoroh maka pernikahan tetap bisa terjadi walaupun bujukan jin itu tetap ada. Jadi jin itu hanya membisikan sedangkan keputusan ada ditangan wanita atau lelaki itu. Jika pemahamannya kuat, maka dia akan mengabaikan bisikan itu.

Misalnya, bisikan jin dalam batinnya mengatakan batalkan pernikahan, tiba-tiba membenci si pelamar bahkan dia melihat wajah lelaki itu menakutkan. Tetapi semua orang mengatakan bahwa lelaki itu sholih, nasabnya baik, orang tua juga berpendapat baik, musyawarah keluarga mengatakan laki-laki itu baik, semua teman mengatakan lelaki itu baik. Maka jika wanita itu berpegang teguh pada syariat yakni mengikuti hasil musyawarah, maka dia tetap akan menerima lelaki itu menjadi suaminya walaupun bisikan jin itu ingin menggagalkan dan walaupun wajah lelaki itu nampak buruk. Musyawarah adalah bagian dari syariat dan dapat menjadi hujjah/dasar perbuatan sedangkan perasaan tidak dapat menjadi dasar perbuatan. Tentu dengan catatan bahwa musyawarah tersebut dilakukan dengan ikhlas, memohon pertolongan Allah, jernih, obyektif dan dengan data informasi yang lengkap dan valid.

Jadi kemampuan jin itu hanyalah sebatas memberikan keraguan dalam batin kita sebagaimana bujuk rayu seseorang pada diri kita, dia tidak pernah mampu menghalangi jodoh kita dalam arti sebenarnya. Karena jodoh adalah ketetapan dan kekuasaan Allah SWT.

2. Menghalangi rezeki

Jika kita memahami pembahasan diatas maka kita akan memahami cara kerja jin untuk menghalangi rezeki kita. Cara kerjanya sama seperti menghalangi jodoh.

Jin itu berupaya membisikkan keraguan, kebimbangan dalam melangkah dan memulai usaha, sulit untuk berpikir jernih dalam mencari rezeki, ada dorongan sangat kuat untuk mencari rizki dari kerja yang haram, sulit bergaul, sulit konsentrasi, mudah putus asa, fisik lemah, mudah salah paham, mendorong agar tidak amanah, dan lain-lain. Intinya jin itu berupaya agar kita lemah dalam berikhtiar mencari rezeki.

Jadi itulah ulah yang dilakukan jin, sungguh mereka tidak pernah bisa menghalangi rezeki kita dalam arti sebenarnya. Karena rezeki ada dalam kekuasaan-Nya. Maka jika kita sedang menghadapi kesulitan, sebenarnya bukanlah ulah jin tetapi mungkin karena ada dosa dan kedurhakaan kita kepada sang Pemilik Rizki baik dosa yang kita sadari maupun tidak kita sadari. Langkah terbaik adalah memperbanyak taubat dan istighfar bukan melakukan ritual tolak bala, ritual membuang sial, ruwatan atau menggunakan jimat keberuntungan. [konsultasiruqyah]

INILAH MOZAIK

10 Dosa Penghalang Rezeki

SETIAP manusia bahkan setiap makhluk melata di muka bumi ini pasti diberi rezeki oleh Allah Subhanahu wa Taala.

Firman Allah SWT, “Dan tak ada satupun makhluk melata di bumi kecuali Allah-lah yang memberikan rezekinya.”(QS. Hud: 11)

Namun ada kalanya seorang muslim seret rezekinya. Misalnya bertahun-tahun tidak mendapat penghasilan padahal telah berusaha. Mencari pekerjaan nggak dapat-dapat. Buka usaha selalu rugi.

Bisa jadi itu ujian, namun jika pernah melakukan salah satu dari 10 dosa ini, menurut Al-Ustaz Yusuf Mansur itu adalah hukuman yang harus bertobat dulu kepada Allah Subhanahu wa Taala.

Berikut ini adalah 10 dosa yang menghalangi rezeki:

– Syirik kepada Allah, menyekutukan Allah

– Meninggalkan atau melalaikan salat

– Berbuat zina

– Durhaka kepada orangtua

– Memakan uang haram

– Berjudi

– Minum khamr atau minuman keras

– Memutuskan silaturahim

– Suka ghibah

– Kikir alias pelit

Jika 10 dosa itu tidak pernah dilakukan tetapi rezekinya terkesan sulit alias seret, insya Allah itu adalah ujian dari Allah sebagaimana anak yang tak pernah melakukan kesalahan ia mengikuti ujian untuk naik kelas. Dari kelas 4 ke kelas 5, dari kelas 5 ke kelas 6, dari kelas 6 lulus SD menuju SMP.

Jika ujian, maka solusinya hanya sabar. Namun jika pernah melakukan salah satu dari 10 dosa penghalang rezeki tersebut, langkah pertama adalah bertaubat. Tobat nasuha. Tobat sungguh-sungguh terlebih dahulu, menyesal dan tidak akan mengulanginya. Setelah itu baru sabar. Insya Allah dengan demikian rezeki kembali lancar. [Bersamadakwah]

Jika ujian, maka solusinya hanya sabar. Namun jika pernah melakukan salah satu dari 10 dosa penghalang rezeki tersebut, langkah pertama adalah bertaubat. Tobat nasuha. Tobat sungguh-sungguh terlebih dahulu, menyesal dan tidak akan mengulanginya. Setelah itu baru sabar. Insya Allah dengan demikian rezeki kembali lancar. [Bersamadakwah]

INILAH MOZAIK

Sholat dan Sabarlah dalam Mengerjakannya!

SELAIN kedudukan ibadah salat yang amat tinggi di sisi Allah, efek positif dari salat juga langsung menyentuh kehidupan manusia.

Bukankah kita mendengar Firman Allah swt,

“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS.Al-Ankabut: 45).

Salat yang benar akan membentuk diri manusia untuk anti terhadap perbuatan buruk dan kejam. Tapi di samping itu, salat juga memiliki hubungan erat dengan urusan rezeki. Coba kita perhatikan dua ayat berikut ini,

“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS.Ibrahim: 37)

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang Memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS.Thaha: 132).

Pada ayat pertama, Nabi Ibrahim meninggalkan keluarganya di tempat yang gersang di sekitar Mekah agar mereka melaksanakan salat. “Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat.”

Setelah ungkapan ini ia sampaikan, baru kemudian Ibrahim berdoa agar Allah memberikan rezeki kepada keluarganya: Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Pada ayat kedua, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengajak keluarganya melakukan salat: Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya.

Setelah berfirman mengenai perintah salat ini, Allah melanjutkan tentang masalah rezeki: Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang Memberi rezeki kepadamu.

Dua ayat ini selalu meletakkan urusan rezeki setelah urusan salat. Seakan ingin menjelaskan bahwa salatlah dengan baik, maka rezeki akan datang setelahnya. Sering kita menunda salat karena ada urusan bisnis yang belum selesai. Sering kita mempercepat salat kita karena ada pembeli yang datang. Sering kita melalaikan salat hanya karena ada orang penting yang harus kita temui.

Coba pikirkan, kenapa kita harus mempercepat salat demi pembeli sementara kita sedang menghadap Sang Pengatur Rezeki?

Kenapa kita harus menunda salat demi bertemu klien sementara Allahlah Sang Pemegang urusan itu? Kenapa kita harus bertemu orang penting dan melupakan pertemuan dengan Zat yang segala urusan ada ditanganNya?

Mari kita perbaiki cara berpikir kita agar tidak lagi mendahulukan sesuatu yang penting dan melalaikan sesuatu yang jauh lebih penting. Semoga Allah menerima salat-salat kita.[]

INILAH MOZAIK

Perilakumu Menentukan Keadaan Hidupmu

MENGAPA Allah ciptakan ketaknyamanan dalam hidup kita berupa berbagai hal yang kita sebut sebagai musibah kehidupan? Salah satu jawabannya adalah karena Allah ingin tahu bagaimana reaksi dan aksi kita atas ketaknyamanan itu; siapakah di antara kita yang mempersembahkan respons terbaik.

Respons terbaik yang dimaksud adalah pandangan atau prasangka yang tetap baik kepada Allah sehingga mengantarkan pada sikap istiqamah di jalan yang disukaiNya. Reaksi terbaik adalah dengan selalu bersikap sabar dalam menjalani setiap tetesan takdir yang menjadikan hati perih dan pedih. Aksi terbaik adalah dengan semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan dengan semakin menjauh.

Secara umum, bahagia tidaknya hidup kita adalah buah dari perbuatan kita sendiri. Bagaimana alam sekitar kita bersikap kepada kita adalah segarislurus dengan bagaimana sikap kita kepada alam sekitar kita. Inilah makna dari firman Allah: “Jika kalian berbuat baik, maka sesungguhnya kalian berbuat baik kepada diri kalian sendiri. Dan jika kalian berbuat jahat, maka sesungguhnya kalian telah berbuat jahat kepada kalian sendiri.”

Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda: “Perbuatanmu adalah pegawaimu. “Maknanya adalah sama dengan uraian di atas, yakni bahwa kalau kita baik maka kebaikan akan selalu melayani kita. Kini, lihatlah “orang-orang suci” di sekeliling kita betapa hidupnya selau penuh senyum bahagia. Itu adalah buah dari perbuatan para beliau yang senantiasa membuat tersenyum orang lain. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Hati-Hati, Ini Tiga Karakter Berpikir Kelompok Khawarij

Pasca perdamaian antara kubu Imam Ali  dan Sayyidina Muawiyah muncul kelompok yang menolak dari keputusan Imam Ali untuk menerima tahkim (arbitrase) dari pihak Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada awalnya kelompok ini berpihak pada Imam Ali, namun karena keputusan Imam Ali untuk menerima perdamaian melalui proses arbitrase dengan pihak Sayyidina Muawiyah, keputusan itu dipandang sebagai langkah mundur dari menegakkan agama dan keraguan dalam iman serta mengambil hukum bukan dari hukum yang telah ditetapkan Allah Ta’ala.

Kelompok itu kemudian dikenal dengan sebutan khawarij – yang bermakna orang-orang yang keluar dari kelompok Imam Ali. Khawarij beranggapan bahwa siapa saja yang mengikuti dan menerima proses tahkim , maka telah keluar dari ajaran dan syariat Islam dan halal darahnya untuk dibunuh. Terbunuhnya Imam Ali oleh tokoh khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam, ialah salah satu bentuk kebengisan dan kekejaman kelompok ini.

Khawarij inilah yang menjadi biang kerok perpecahan umat Islam di era awal kejayaan Islam. Pemikirannya yang ekstrim dengan mengkafirkan dan menghalalkan darah orang yang diluar golongannya adalah awal dari perpecahan umat Islam.

Walaupun sebagai golongan, kaum khawarij telah lama punah berkat kekhalifahan Dinasti Umayyah dengan menghentikkan gerakan ekstrim ini, namun karakteristik pemikiran khawarijisme masih ada sampai saat ini. Karakarteristik pemikiran khawarij masih dapat kita jumpai disekitar lingkungan kita. Berikut ini karakteristik kaum khawarij:

Pertama, cara berpikir yang formalistis. Maknanya ialah mereka sangat ketat berpegang pada peraturan dan tata cara yang berlaku dalam agama atau ajaran yang mereka anut. Pemahaman ini dapat dilihat dari pendapat mereka mengenai pelaku dosa besar, bahwasanya pelaku dosa besar – seperti orang yang berzina, meninggalkan sholat, lari dari peperangan, dan lain sebagainya, telah kafir atau keluar dari agama Islam dan halal darah dan hartanya, serta harus diusir dari kekuasaan wilayah umat Islam.

Khawarij juga berpendapat siapa saja yang mengikuti perang Jamal (perang antara kubu Imam Ali dan kubu Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah, Sayyidina Thalhah dan Zubair) dan menerima dan mengikuti keputusan hasil tahkim antara Imam Ali dan Muawiyah, mereka semua itu telah kafir dikarenakan mereka tidak berhukum atau berpegang teguh dengan syariat Islam.

Kedua, pemahaman tekstualitas terhadap ayat-ayat suci. Khawarij sangat patuh dengan ayat-ayat formal dari Al Qur’an, sehingga mereka tidak mau dan mampu menemukan makna yang tersirat dari tiap ayat yang terkandung di dalamnya. Jargon mereka ketika menfatwakan bahwasanya Imam Ali As. telah kafir yakni tidak ada hukum selain hukum Allah yang mereka ambil dari makna yang terdapat dalam surah Al Maidah ayat 44

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Mereka tidak melihat sebab-sebab turunnya ayat dan makna yang tersirat dari ayat tersebut, padahal Mufasir di era Sahabat Nabi Saw. yakni Sayyidina Abdullah bin Abbas menafsirkan bahwa kafir disitu bukanlah kafir akidah, melainkan kekufuran dibawah kekufuran.

Ketiga, sempurna dalam ibadah, kurang dalam ukhuwah. Khawarij sangat bersemangat jika diserukan untuk melakukan ibadah ritual keagamaan – seperti sholat, puasa, membaca Al Qur’an, dan lain-lain. Namun, kurang bersemangat jika diajak untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Kekakuan dalam bersosialisasi di tengah masyarakat itu disebabkan karena mereka sulit menerima dan menghormati pemikiran kelompok lain.

Karakteristik kaum Khawarij yang telah dijelaskan di atas sebaiknya dijauhkan dari pemikiran dan perilaku diri dan keluarga kita. Sehingga, kita ikut andil dalam mengurangi sebab-sebab perpecahan umat Islam saat ini.

Wallaahu a’lam.

ISLAM.co

Hadis Palsu Kebersihan Sebagian dari Iman?

Kebersihan Sebagian dari Iman

Pertanyaan:

Bismillah ustadz, Apakah semboyan Kebersihan sebagian dari Iman, adal dalilnya ? kalau ada shahihkah atau tidak ? Jazakumullahu Khaeron wa baarikallahu fiikum.

Jawaban:

Saudara/Saudari penanya yang kami muliakan, Semoga Allah ﷻ senantiasa menjaga kita semua dengan bimbingan hidayah-Nya. Sholawat dan Salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah ﷺ, keluarga beliau, para sahabat beliau dan seluruh ummat yang mengikuti Sunnah-sunnah beliau sampai hari kiamat.

Telah tersebar di masyarakat kita sebuah ungkapan النظافة من الإيمان “An-Nazhofatu minal Iman” yang artinya; Kebersihan sebagian dari Iman. Namun tentunya kita harus berhati-hati terhadap ungkapan tersebut, apakah benar ia merupakan perkataan Rasulullah ﷺ atau bukan, karena menyandarkan sebuah perkataan kepada Rasulullah ﷺ namun beliau tidak benar mengatakan hal demikian, maka ini sebuah kedustaan, dan kedustaan atas nama Rasulullah ﷺ merupakan dosa besar yang pelakunya diancam dengan neraka, sebagaimana beliau ﷺ bersabda:

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

“Siapa yang berdusta secara sengaja atas namaku, maka hendaklah ia mengambil tempat di neraka. (HR. Bukhari : 107)

Adapun berbicara mengenai kebersihan, tentu saja Islam telah mengajarkannya dengan pembahasan yang sangat detail dan jelas, sehingga kebersihan memiliki peranan besar dalam syari’at ini, bahkan bukan sekedar kebersihan, akan tetapi Islam mengajarkan tentang kesucian yang lebih tinggi derajatnya dari kebersihan.

Allah ﷻ berfirman:

وثيابك فطهر

“Dan Pakaianmu sucikanlah” (QS. Al-Muddattsir: 4)

Sehingga, sangat banyak ibadah yang syarat sah nya berupa kesucian baik dari sisi badan, pakaian, tempat dan sebagainya, seperti halnya sholat 5 waktu yang syarat sahnya adalah bersuci dari hadats besar maupun kecil.

Akan tetapi, kalau kita berbicara tentang hadits “An-Nazhofatu minal Iman”, maka hal tersebut tidak sah disandarkan kepada Rasulullah ﷺ, walaupun makna ungkapan tersebut adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa dipungkiri.

Hal ini telah disebutkan oleh para ulama, diantaranya syaikh Abdul Karim al-Khudeir hafizhahullahu Ta’ala:

ينتشر على ألسنة الناس: “النظافة من الإيمان” ويجزمون بهذا، نقول: هذا ليس له إسناد أصلاً، لا يروى بإسناد عن النبي -عليه الصلاة والسلام

“Tersebar pada lisan-lisan kebanyakan manusia ungkapan “An-Nazhofatu minal Iman”, dan mereka menetapkan/melestarikan ucapan tesebut, maka kami katakan bahwa ucapan tersebut tidaklah memiliki sanad (asal-usul) sama sekali, sehingga tidak boleh disandarkan kepada Nabi ﷺ” (Syarah al-Manzhumah al-Baiquniyyah : 2/15).

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah juga menjelaskan:

ورد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : “النظافة من الإيمان” لكنه حديث ضعيف, ومعناه صحيح

“Telah datang dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: Kebersihan sebagian dari Iman, akan tetapi haditsnya lemah, walaupun maknanya benar”  (https://binbaz.org.sa).

Adapun ungkapan yang mirip dengan makna tersebut dan benar jika ingin kita sandarkan kepada Rasulullah ﷺ sebagaimana dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:

الطهور شطر الإيمان

“Kesucian/bersuci merupakan setengah/sebagian dari Iman” (HR. Muslim: 328).

Sehingga, kalau kita ingin menyandarkan ungkapan tersebut kepada Rasulullah ﷺ, maka seharusnya kita mengucapkan “At-Thohuuru Syathrul Iman”, yang artinya: “Bersuci merupakan sebagian dari Iman”.

Wallahu A’lam.

Dijawab Oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc. M.Kom

(Alumni Fakultas Syari’ah Universitas Imam Muhammad ibn Saud Al Islamiyyah, Cab. Lipia Jakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35845-hadis-palsu-kebersihan-sebagian-dari-iman.html

Saat Shalat Sunnah ada yang Bermakmum Shalat Wajib

Saat Shalat Sunnah ada yang Bermakmum Shalat Wajib

Pertanyaan:

BIsmillah, Apa yang sebaiknya kita lakukan ketika sedang Shalat Sunnah tetapi ditepuk (menjadi imam) oleh jamaah yang baru datang ?

Jawaban:

Saudara/Saudari penanya yang kami muliakan, Semoga Allah ﷻ selalu menjaga kita semua dengan bimbingan hidayah-Nya. Untaian kalimat Shalawat dan Salam semoga Allah ﷻ sampaikan kepada Rasul-Nya ﷺ, keluarga beliau, para sahabat beliau dan seluruh ummat yang mengikuti Sunnah-sunnah beliau sampai hari kiamat.

Keadaan seperti ini pernah dialami langsung oleh Rasulullah ﷺ yang bisa menjadi pelajaran untuk kaum muslimin, yaitu ketika Rasulullah ﷺ sedang melakukan sholat sunnah (Sholat malam) di rumah beliau, kemudian datanglah sepupu beliau yaitu Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu untuk menjadi makmum, sebagaimana dalam hadits yang dikabarkan oleh ibnu Abbas :

ثم قام يصلي فجئت فقمت إلى جنبه فقمت عن يساره, قال فأخذني فأقامني عن يمينه

“Kemudian beliau melakukan shalat, dan saya pun ikut shalat bersama beliau dengan berdiri di sebelah kirinya, Namun beliau memegang dan memindahkanku ke sebelah kananya” (HR. Muslim : 1279).

Sehingga dalam hal ini dibolehkan bagi siapa yang datang untuk bermakmum kepada seseorang yang sedang melaksanakan sholat secara sendiri, dan yang sedang sholat pun boleh memposisikan dirinya sebagai imam.

Namun, tentunya dalam hadits tersebut, Rasulullah ﷺ dan Ibnu Abbas melakukan sholat yang sama jenisnya, yaitu sama-sama sholat sunnah, sehingga bagaimana jika seseorang sedang melakukan sholat sunnah tiba-tiba datang orang lain yang ingin bermakmum di belakngnya padahal ia akan melakukan sholat fardhu ?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Ustaimin yang artinya:

“Ada yang mengatakan tidak boleh bagi seseorang yang melakukan sholat fardhu bermakmum di belakang seseorang yang melakukan sholat sunnah, karena tidak mungkin sesuatu yang derajatnya lebih tinggi berada di belakang yang derajatnya lebih rendah, sedangkan Sholat Fardhu derajatnya di atas sholat sunnah, bagaimana mungkin seseorang yang melakukan sholat sunnah menjadi imam bagi orang yang melakukan sholat fardhu. Dan Di antara para ulama ada juga yang mengatakan bolehnya seseorang yang melakukan sholat fardhu bermakmum kepada yang melakukan sholat sunnah, dan inilah pendapat yang Rajih (kuat)”. (www.binothaimeen.net/content/9074)

Beliau merajihkan pendapat yang membolehkan dengan dalil bahwa Muadz bin Jabal rhadiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika sholat Isya bersama Nabi ﷺ secara berjamaah, kemudian Muadz pergi menuju kaumnya untuk mengimami kaumnya melaksanakan sholat Isya tersebut, sedangkan Muadz menjadikan sholatnya ketika menjadi imam tersebut sebagai sholat sunnah, dan Nabi ﷺ tidak mengingkari hal tersebut, sehingga berbeda niat dan jenis sholatnya Muadz rhadiyallahu ‘anhu dengan sholat kaumnya. (lihat Hadits Riwayat Bukhari nomor: 5641 dan Muslim nomor: 711).

Pertanyaan serupa yaitu: Jika seseorang sedang sholat sunnah, kemudian datang seseorang bermakmum kepadanya apakah ini dibolehkan ?” pernah diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Ustaimin :

فأجاب فضيلته بقوله: نعم يجوز ذلك, فإذا دخل معه القادم نوى الجماعة, ولا ينبغي له أن يأبى فيحرم نفسه ويحرم الداخل ثواب الجماعة, وقد ثبت أن النبي صلي الله عليه وسلم قام يصلي من الليل وحده فجاء ابن عباس – رضي الله عنهما – فصلى معه ,وما جاز في النفل جاز في الفرض؛ لأن الأصل تساوي أحكامهما إلا بدليل يدل على الخصوصية

“Maka Syaikh menjawab: Iya hal tersebut dibolehkan, apabila seseorang sholat sunnah sendirian kemudian datang orang lain berniat sholat berjamaah maka tidak sepantasnya ia menghalangi dirinya dan orang yang datang untuk mendapatkan pahala sholat berjamaah, dan telah disebutkan bahwa suatu ketika Nabi ﷺ pernah sholat malam sendirian, maka Ibnu Abbas rhadiyallahu ‘anhuma datang dan bermakmum kepada Nabi ﷺ. Dan apapun yang dibolehkan pada sholat sunnah maka hal yang sama pun dibolehkan pada sholat fardhu, karena pada dasarnya adanya kesamaan hukum antara keduanya kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail al-Utsaimin: 15/171).

Maka, dengan demikian sebaiknya sikap kita adalah untuk mempersilahkan siapapun yang datang untuk bermakmum kepada kita tanpa menolaknya walaupun berbeda jenis antara sholat kita dengan sholat orang yang datang tersebut, sehingga kita tetap melanjutlkan sholat sunnah tersebut sampai selesai.

Wallahu A’lam.

Dijawab Oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc. M.Kom

(Alumni Fakultas Syari’ah Universitas Imam Muhammad ibn Saud Al Islamiyyah, Cab. Lipia Jakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35873-saat-shalat-sunnah-ada-yang-bermakmum-shalat-wajib.html