Hadits Arbain #28: Ikutilah Sunnah, Tinggalkanlah Bidah, Taatlah Pemimpin

Hadits Arbain #28 ini mengajarkan kita satu prinsip penting dalam beragama, ikutilah sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah bidah, serta diperintahkan untuk taat pada pemimpin selama bukan dalam maksiat.

الحَدِيْثُ الثَّامِنُ وَالعِشْرُوْنَ

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ العِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قاَلَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ

Hadits Kedua Puluh Delapan

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih). [HR. Abu Daud, no. 4607 dan Tirmidzi, no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].

Faedah Hadits

Pertama: Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu semangat dalam meraih kebaikan.

Kedua: Disyariatkan memberi nasihat (maw’izhah), diberikan pada tempatnya, dan sifat nasihat tersebut membekas. Syaikh ‘Abdul Muhsin menyatakan, “Maw’izhah (nasihat) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punya tiga sifat yaitu: al-balaaghah (bahasanya menyentuh dan jelas), hati bergetar, dan bisa membuat mata menangis.” (Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 95).

Ketiga: Wasiat perpisahan itu lebih membekas dalam hati.

Keempat: Hati yang dalam keadaan takut, bisa membuat air mata menangis. Jika hati dalam keadaan gelap (penuh maksiat), maka air mata tidaklah menangis, karena tidak dalam keadaan takut pada Allah. Hal ini yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dan Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.

Kelima: Disyariatkan meminta nasihat dari yang lain, lebih-lebih lagi yang dimintai nasihat adalah orang yang punya keutamaan dalam ilmu.

Keenam: Wasiat yang paling penting untuk seorang hamba adalah bertakwa kepada Allah, karena wasiat tersebut merupakan wasiat orang yang terdahulu dan belakangan.

Ketujuh: Syaikh ‘Abdul Muhsin berkata, “Takwa adalah sebab memperoleh segala kebaikan dan kemenangan di dunia dan akhirat. Banyak ayat yang menyebutkan perintah untuk bertakwa kepada Allah. Seringnya adalah ayat tersebut didahului dengan kalimat ‘Yaa ayyuhalladzina aamanuu (wahai orang-orang yang beriman). Begitu pula takwa ini menjadi wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabatnya.” (Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 96)

Kedelapan: Termasuk wasiat paling penting adalah menaati penguasa kaum muslimin dalam selain maksiat, juga berpegang pada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur rosyidin.

Kesembilan: Patuh dan taat kepada penguasa adalah selama bukan dalam perkara maksiat walaupun penguasa tersebut adalah seorang budak. Para ulama telah sepakat bahwa seorang budak tidaklah pantas untuk menjadi khalifah. Hadits ini berarti perintah untuk menaati penguasa, walau ia penguasa yang tidak pantas.

Kesepuluh: Syaikh ‘Abdul Muhsin mengatakan, “Wasiat yang paling penting adalah taat dan patuh pada penguasa kaum muslimin karena di dalamnya terdapat manfaat dunia dan akhirat untuk kaum muslimin.” (Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 100)

Kesebelas: Hadits ini menunjukkan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sepeninggal beliau akan ditemui perselisihan yang banyak.

Kedua belas: Berpegang pada As-Sunnah yaitu jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar selamat dari perselisihan, juga kita diperintahkan berpegang pada sunnah khulafaur rosyidin. Khulafaur rosyidin adalah Abu Bakar, ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan kekhilafahan mereka berdasarkan wahyu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Safinah radhiyallahu ‘anhu,

خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ المُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ

Khilafah Nubuwwah itu selama 30 tahun. Kemudian Allah karuniakan kerajaan setelah itu.” (Dikeluarkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, 460).

Masa pemerintahan

– 632–634 M: Abu Bakar Ash-Shiddiq
– 634–644 M: Umar bin Al-Khaththab
– 644–656 M: Utsman bin ‘Affan
– 656–661 M: Ali bin Abi Thalib

Ketiga belas: Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, “As-Sunnah adalah jalan yang dilalui. Maka yang dimaksud di sini adalah berpegang pada jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur rosyidin, yaitu dalam hal berakidah, amalan, dan ucapan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf terdahulu tidaklah memutlakkan begitu saja kata As-Sunnah kecuali mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan semakna dari Al-Hasan Al-Bashri, Al-Auza’i, dan Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Adapun ulama belakangan mengkhususkan istilah As-Sunnah untuk hal-hal yang terkait dengan keyakinan. Karena keyakinan (akidah) adalah pokok agama. Menyelisihi akidah ini berarti berada dalam bahaya yang besar.”

Keempat belas: Hadits ini mengingatkan bahaya bidah.

Kelima belas: Kaedah yang diajarkan dalam hadits ini adalah setiap bidah itu sesat, tidak ada bidah hasanah.

Keenam belas: Hadits yang menyebutkan menjadi pelopor dalam kebaikan (sunnah hasanah) yaitu hadits,

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ وَمِثْلُ أُجُورِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهُ وَمِثْلُ أَوْزَارِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017). Hadits ini maksudnya adalah menjadi teladan dalam kebaikan. Sebagaimana hal ini begitu jelas ketika membicarakan sebab hadits ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu memotivasi untuk sedekah. Kemudian ada orang Anshar yang membawa wadah besar, kemudian yang lainnya ikut-ikutan dalam bersedekah.

Ketujuh belas: ‘Umar menghidupkan shalat tarawih pada bulan Ramadhan juga bentuknya adalah menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah ada.

Kedelapan belas : Ajaran khulafaur rosyidin dianggap sebagai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kesembilan belas: Hendaklah menggabungkan antara targhib dan tarhib, yaitu memotivasi dan menakut-nakuti. Dalam hadits digunakan kalimat targhib “fa-‘alaikum” (hendaklah kalian mengikuti) dan kalimat tarhib “wa iyyakum” (hati-hatilah).

Kedua puluh: Wajib mempelajari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena tidak mungkin seseorang mengikutinya selain dengan belajar. Tidak belajar, tentu saja tidak mungkin mengenal ajaran beliau.

Kedua puluh satu: Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika banyak golongan-golongan (hizbiyyah), maka jangalah mengikuti hizbi yang ada. Dahulu sudah muncul banyak golongan seperti Khawarij, Muktazilah, Jahmiyyah, dan Rafidhah. Kemudian belakangan ini ada berbagai golongan seperti salafiyyun, tablighiyyun, dan semacamnya. Ini semua kelompok-kelompok, jadikanlah yang kamu ikuti adalah sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, ‘Hendaklah berpegang pada ajaranku dan ajaran khulafaur rosyidin. Tidak ragu lagi bahwa wajib bagi kaum muslimin mengikuti madzhab salaf, kita tidak disuruh mengikuti kelompok yang namanya salafiyyun. Wajib bagi umat Islam mengikuti madzhab salafush shalih, bukan mengikuti kelompok salafiyyun. Namun para ikhwah salafiyyun lebih dekat pada kebenaran. Akan tetapi, masalah mereka adalah sama dengan yang lainnya, mereka saling sesatkan dan saling memfasikkan. Kami tidak salahkan mereka jika mereka berada di atas kebenaran. Akan tetapi, yang kami ingkari adalah cara mereka mengoreksi dengan cara seperti itu. Wajib bagi kita untuk menyatukan pemimpin tiap-tiap kelompok ini. Lalu kita suruh untuk mengikuti Alquran dan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita berhukum kepada keduanya bukan kembali pada hawa nafsu, bukan berhukum pada fulan atau fulan. Setiap orang bisa benar atau salah, selama masih berada di atas ilmu dan ibadah. Akan tetapi yang maksum adalah dinul Islam.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 308-309)

Referensi:

  1. Fath Al-Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/22734-hadits-arbain-28-ikutilah-sunnah-tinggalkanlah-bidah-taat-pemimpin.html

Janganlah Berbuat Zalim!

Islam adalah agama yang penuh keadilan dan jauh dari kezaliman. Oleh karena itu Islam juga memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang berbuat zalim.

Makna Zalim

Secara bahasa, zalim atau azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Disebutkan dalam Lisaanul Arab:

الظُّلْمُ: وَضْع الشيء في غير موضِعه

Azh zhulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya”

Secara istilah, zalim artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas. Al Asfahani mengatakan:

هو: (وضع الشيء في غير موضعه المختص به؛ إمَّا بنقصان أو بزيادة؛ وإما بعدول عن وقته أو مكانه) 

“Zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an Al Asfahani 537, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).

Zalim juga diartikan sebagai perbuatan menggunakan milik orang lain tanpa hak. Al Jurjani mengatakan:

هو عبارة عن التعدِّي عن الحق إلى الباطل وهو الجور. وقيل: هو التصرُّف في ملك الغير، ومجاوزة الحد) 

“Zalim artinya melewati koridor kebenaran hingga masuk pada kebatilan, dan ia adalah maksiat. Disebut oleh sebagian ahli bahasa bahwa zalim adalah menggunakan milik orang lain, dan melebihi batas” (At Ta’rifat, 186, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memiliki penjelasan yang bagus dalam memaknai zalim. Beliau mengatakan:

واعلم أن الظلم هو النقص، قال الله تعالى (كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئاً) (الكهف: 33) ، يعني لم تنقص منه شيئاً، والنقص إما أن يكون بالتجرؤ على ما لا يجوز للإنسان، وإما بالتفريط فيما يجب عليه. وحينئذٍ يدور الظلم على هذين الأمرين، إما ترك واجب، وإما فعل محرم

“Ketahuilah bahwa zalim itu adalah an naqsh (bersikap kurang). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ‘Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu lam tazhlim (tidak kurang) buahnya sedikitpun‘. Maksudnya tidak kurang buahnya sedikit pun. Bersikap kurang itu bisa jadi berupa melakukan hal yang tidak diperbolehkan bagi seseorang, atau melalaikan apa yang diwajibkan baginya. Oleh karena itu zalim berporos pada dua hal ini, baik berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram” (Syarah Riyadush Shalihin, 2/486).

Oleh karena itu, jika dikatakan “Amr menzalimi Zaid”, artinya Amr melakukan hal yang tidak diperbolehkan terhadap Zaid atau Amr meninggalkan apa yang wajib ia lakukan terhadap Zaid.

Lawan dari zalim atau azh zhulmu adalah adil atau al ‘adl. Maka adil artinya menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya dan berada dalam koridor kebenaran.

Larangan Berbuat Zalim 

Perbuatan zalim terlarang dalam Islam. Terdapat banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mencela dan melarang perbuatan zalim. 

Allah Ta’ala berfirman:

أَلاَ لَعْنَةُ اللّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS. Hud: 18).

وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ 

Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras” (QS. Hud: 102).

نَقُولُ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّتِي كُنتُم بِهَا تُكَذِّبُونَ 

Dan Kami katakan kepada orang-orang yang zalim: “Rasakanlah olehmu azab neraka yang dahulunya kamu dustakan itu”” (QS. Saba: 40).

مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلا شَفِيعٍ يُطَاعُ 

Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya” (QS. Ghafir: 18).

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ 

“Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (QS. Al An’am: 21).

Dan ayat-ayat yang semisal sangatlah banyak. Adapun dalil-dalil dari As Sunnah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

قال الله تبارك وتعالى: يا عبادي، إني حرمت الظلم على نفسي، وجعلته بينكم محرمًا؛ فلا تظالموا

Allah Tabaaraka wa ta’ala berfirman: ‘wahai hambaku, sesungguhnya aku haramkan kezaliman atas Diriku, dan aku haramkan juga kezaliman bagi kalian, maka janganlah saling berbuat zalim’” (HR.  Muslim no. 2577).

Beliau juga bersabda: 

اتَّقوا الظُّلمَ . فإنَّ الظُّلمَ ظلماتٌ يومَ القيامةِ

“jauhilah kezaliman karena kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

Beliau juga bersabda:

المسلم أخو المسلم، لا يظلمه، ولا يسلمه

“Seorang Muslim itu adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh menelantarkannya” (HR. Muslim no. 2564).

Dan dalil-dalil yang mencela dan melarang perbuatan zalam datang dalam bentuk muthlaq, sehingga perbuatan zalim dalam bentuk apapun dan kepada siapa pun terlarang hukumnya. Bahkan kepada orang kafir dan kepada binatang sekalipun, tidak diperkenankan berbuat zalim. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ غُفِرَ لَكُمْ مَا تَأْتُونَ إِلَى الْبَهَائِمِ , لَغُفِرَ لَكُمْ كَثِيرًا

“Andaikan perbuatan yang kalian lakukan terhadap binatang itu diampuni, maka ketika itu diampuni banyak dosa” (HR. Ahmad 6/441, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42).

Al Albani setelah menjelaskan derajat hadits ini beliau mengatakan, “maknanya larangan dan peringatan terhadap perbuatan zalim pada hewan. Jadi, andaikan si pemilik binatang yang tidak memiliki kasih sayang terhadap binatangnya itu dimaafkan, maka ketika itu sungguh telah diampuni dosa yang banyak” (Silsilah Ahadits Shahihah, 2/41-42).

Jelas sudah bahwa Allah dan Rasul-Nya melarang kezaliman dalam bentuk apapun. Dan wajib untuk berbuat adil dalam segala sesuatu, Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (QS. Al Maidah: 8).

Akibat Perbuatan Zalim

Perbuatan zalim menyebabkan pelakunya mendapat keburukan di dunia dan di akhirat. Diantaranya:

  1. Akan di-qishash pada hari kiamat

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya:

أتدرون ما المفلِسُ ؟ قالوا : المفلِسُ فينا من لا درهمَ له ولا متاعَ . فقال : إنَّ المفلسَ من أمَّتي ، يأتي يومَ القيامةِ بصلاةٍ وصيامٍ وزكاةٍ ، ويأتي قد شتم هذا ، وقذف هذا ، وأكل مالَ هذا ، وسفك دمَ هذا ، وضرب هذا . فيُعطَى هذا من حسناتِه وهذا من حسناتِه . فإن فَنِيَتْ حسناتُه ، قبل أن يقضيَ ما عليه ، أخذ من خطاياهم فطُرِحت عليه . ثمَّ طُرِح في النَّارِ

“Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”. Para shahabat pun menjawab, ”Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda”. Nabi bersabda, ”Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari kiamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan saudaranya yang dizhaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 2449)

2. Mendapatkan laknat dari Allah

Allah Ta’ala berfirman:

يَوْمَ لا يَنفَعُ الظَّالِمِينَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ 

“(yaitu) hari yang tidak berguna bagi orang-orang zalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk” (QS. Ghafir: 52).

Laknat dari Allah artinya dijauhkan dari rahmat Allah.

3. Mendapatkan kegelapan di hari kiamat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2447, Muslim no. 2578).

4. Terancam oleh doa orang yang dizhalimi

Doa orang yang terzalimi dikabulkan oleh Allah, termasuk jika orang yang terzalimi mendoakan keburukan bagi yang menzaliminya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Dan berhati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya dengan Allah.” (HR. Bukhari no.1496, Muslim no.19).

5. Jauh dari hidayah Allah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al Maidah: 51).

6. Dijauhkan dari Al Falah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan mendapatkan al falah” (QS. Al An’am: 21).

Al falah artinya mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat

7. Kezaliman adalah sebab bencana dan petaka

Allah Ta’ala berfirman:

فَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا وَهِيَ ظَالِمَةٌ فَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَبِئْرٍ مُّعَطَّلَةٍ وَقَصْرٍ مَّشِيدٍ

“Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi” (QS. Al Hajj: 45).

Jenis-Jenis Perbuatan Zalim

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Zalim ada dua macam: pertama, kezaliman terkait dengan hak Allah ‘Azza wa Jalla, kedua, kezaliman terkait dengan hak hamba.

Kezaliman terhadap hak Allah

Kezaliman yang terbesar yang terkait dengan hak Allah adalah kesyirikan. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: ‘dosa apa yang paling besar?’, beliau menjawab:

أن تجعل لله نداً وهو خلقك

‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakanmu’ (HR. Bukhari no. 4477, Muslim no. 86).

lalu tingkatan setelahnya adalah kezaliman berupa dosa-dosa besar, kemudian setelahnya adalah dosa-dosa kecil. 

Kezaliman terhadap hak hamba

Adapun kezaliman yang terkait hak hamba, berporos pada tiga hal, yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam khutbahnya ketika haji Wada’, beliau bersabda:

إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم، كحرمة يومكم هذا، في شهركم هذا، في بلدكم هذا

‘Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, semuanya haram atas sesama kalian. Sebagaimana haramnya hari ini, bulan ini, di tanah kalian ini’ (HR. Bukhari no. 67, Muslim no. 1679).

Kezaliman terhadap jiwa

Kezaliman terhadap jiwa seseorang itulah yang dimaksud kezaliman dalam darah, yaitu seseorang berbuat melebihi batas kepada sesama Muslim dengan menumpahkan darahnya, melukainya, atau semisal itu. 

Kezaliman terhadap harta

Kezaliman terhadap harta yaitu seseorang berbuat melebihi batas terhadap sesama Muslim dalam masalah harta, baik berupa enggan mengeluarkan yang wajib ia keluarkan, atau dengan melakukan hal yang haram dalam masalah harta, atau berupa meninggalkan hal wajib ia lakukan, atau juga berupa melakukan sesuatu yang diharamkan terhadap harta orang lain. 

Kezaliman terhadap kehormatan

Adapun kezaliman terhadap kehormatan orang lain itu mencakup berbuat melebihi batas terhadap sesama Muslim dengan melakukan zina, atau liwath (sodomi), qodzaf, dan semisalnya. Semua jenis kezaliman ini haram hukumnya” (Syarah Riyadus Shalihin, 2/485).

Dan barangsiapa yang melakukan dua jenis kezaliman di atas, baik zalim terhadap hak Allah maupun zalim terhadap hak hamba, maka ia telah melakukan kezaliman kepada dirinya sendiri. Karena ia adalah makhluk yang dicipta untuk beribadah kepada-Nya, dengan menaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Maka dengan melanggar hal itu, ia tepat menempatkan dirinya pada tempat yang tidak sesuai dan inilah kezaliman. Oleh karena itu Allah Ta’ala menyebutkan hamba-Nya yang bermaksiat dengan “menzalimi dirinya sendiri”,

مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ

di antara hamba Kami ada yang menzalimi dirinya sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang berlomba berbuat kebaikan” (QS. Fathir: 32).

As Sa’di mengatakan: “ada yang menzalimi dirinya, yaitu dengan maksiat” (Taisir Karimirrahman).

Syirik Adalah Kezaliman Terbesar

Ketahuilah bahwa kezaliman terbesar itu bukanlah kezaliman dari penguasa, bukan kezaliman dari diktator yang keji, bukan kezaliman dari kaum kapitalis, namun kezaliman terbesar di dunia ini adalah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah, atau perbuatan syirik. Kezaliman mana lagi yang lebih besar dari menyekutukan Rabb yang telah menciptakan kita, memberi segala nikmat dan keselamatan selama ini? Oleh karena itu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: ‘dosa apa yang paling besar’, beliau menjawab:

أن تجعل لله نداً وهو خلقك

‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai sekutu bagi Allah, padahal Allah yang menciptakanmu’

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kezaliman yang terbesar” (QS. Luqman: 13).

As Sa’di menjelaskan ayat ini, “alasan mengapa syirik adalah kezaliman tersbesar adalah, bahwasanya tidak ada yang lebih parah dan lebih buruk dari orang yang menyetarakan makhluk yang terbuat dari tanah dengan Sang Pemilik semua makhluk, menyetarakan makhluk yang tidak memiliki sesuatu apapun dengan Dzat yang memiliki semuanya,  menyetarakan makhluk yang serba kurang dan fakir dari segala sisinya dengan Rabb yang sempurna dan Maha Kaya dari segala sisinya, menyetarakan makhluk yang tidak bisa memberikan satu nikmat pun dengan Dzat yang memberikan semua nikmat dalam agamanya, dunianya dan akhiratnya. Padahal hati orang tersebut beserta raganya, adalah dari Allah. Dan tidaklah keburukan tercegah darinya, kecuali karena Allah. Maka adakah kezaliman yang lebih besar dari ini?” (Taisir Karimirrahman).

Maka saudaraku, jauhilah perbuatan syirik! jauhilah semua bentuk perbuatan zalim! Berlaku adil lah dalam segala sesuatu. Semoga Allah memberi taufiq. Wallahu waliyyu dzalika wal qaadiru ‘alaihi.

Akhukum fillah,

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53105-janganlah-berbuat-zalim.html

Perselisihan tentang Isra Miraj Rasulullah

ADA sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Isra dan Mi’rajnya nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya ruhnya saja, sedangkan jasadnya tidak ikut. Pendapat ini kalau kita kaitkan dengan peristiwa-peristiwa sesudahnya serta dampak yang dialami oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, nampak kurang bisa diterima.

Sebab bila hanya ruhnya yang terbang ke langit, sedangkan jasadnya tetap di bumi, seharusnya tidak perlu ada kegegeran di tengah kaumnya. Padahal sirah nabawiyah mencatat bahwa setelah pengakuan nabi atas peristiwa itu, muncul reaksi dari para kalangan kafir Quraisy yang mengingkarinya.

Buat logika mereka, tidak mungkin ada manusia bisa terbang ke langit dengan jasadnya. Kalau sekedar ruhnya saja, banyak di antara mereka yang bisa mempercayainya. Sebagaimana masyarakat Arab saat itu percaya adanya jin yang bisa terbang tinggi ke langit. Sehingga bila yang terbang ke langit hanya ruh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja, tentu tidak akan menimbulkan bantahan.

Namun karena beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa dirinya sepenuhnya, termasuk jasad dan ruhnya, yang terbang ke luar angkasa, setelah sebelumnya ‘mampir’ ke Baitil Maqdis di Palestina, muncullah penolakan luar biasa dari orang arab. Dan pemahaman bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berisra’ dan mi’raj dengan jasad dan ruhnya secara sadar, bukan mimpi, adalah keyakinan mayoritas umat Islam, serta menjadi keyakinan paham ahlussunnah wal jamaah sepanjang zaman.

Sebaliknya, mereka yang mengingkari kalau jasadnya ikut terbang, umumnya muncul dari kalangan ahli ra’yu yang lebih menekankan pertimbangan logika manusia ketimbang wahyu. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

INILAH MOZAIK

Syariat Salat Telah Ada sebelum Isra Miraj

PERTAMA, bahwa syariat salat sudah dikenal sebelum peristiwa isra miraj. Pernah ada seseorang yang bertanya kepada Aisyah tentang salat malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Pernahkah anda membaca surat ini (surat Al-Muzammil)? Sesungguhnya Allah mewajibkan salat malam seperti di awal surat ini. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melaksanakan salat malam selama setahun, sampai kaki mereka bengkak, dan Allah tidak turunkan ayat-ayat akhir surat ini selama 12 bulan. Kemudian Allah menurunkan keringanan untuk salat malam seperti disebutkan pada akhir surat ini, sehingga salat malam hukumnya anjuran, setelah sebelumnya kewajiban.” (HR. Nasai 1601, Ibnu Khuzaimah 1127).

Kemudian keterangan lainnya juga terdapat dalam hadis panjang yang menceritakan dialog antara Heraklius dengan Abu Sufyan, ketika dia mendapat surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan,
“Apa yang diperintahkan nabi itu kepada kalian?”
Jawab Abu Sufyan, yang saat itu sedang berdagang di Syam, Nabi itu mengajarkan, “Beribadahlah kepada Allah semata dan jangan menyekutukannya dengan sesuatu apapun, tinggalkan apa yang menjadi ajaran nenek moyang kalian. Dia memerintahkan kami untuk salat, zakat, bersikap jujur, menjaga kehormatan, dan menyambung silaturahim.” (HR. Bukhari 7 dan Muslim 1773)

Ketika menjelaskan hadis ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan, “Kisah ini menunjukkan bahwa perintah terpenting yang diserukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya adalah salat, sebagaimana beliau memerintahkan mereka untuk bersikap jujur, menjaga kehormatan. Ajaran ini menjadi terkenal hingga tersebar ke berbagai pengikut agama selain islam. Karena Abu Sufyan ketika dialog itu masih musyrik, dan Heraklius beragama Nasrani. Dan sejak diutus beliau senantiasa memerintahkan untuk bersikap jujur dan menjaga kehormatan, beliau juga senantiasa salat, sebelum salat diwajibkan (salat 5 waktu).” (Fathul Bari Ibn Rajab, 2/303).

Sebagian ulama mengatakan, kewajiban salat pertama kali adalah 2 rakaat di waktu subuh dan 2 rakaat sore hari. Berdasarkan keterangan Qatadah seorang tabiin, muridnya Anas bin Malik , “Puasa pertama kali yang diperintahkan adalah puasa 3 hari setiap bulan, dan salat 2 rakaat di waktu pagi dan 2 rakaat di waktu sore.” (Tafsir At-Thabari, 3/501). Meskipun ada ulama yang menolak keterangan Qatadah ini. Apapun itu, intinya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat telah mengenal salat sebelum peristiwa isra miraj.

Kedua, tidak ada keterangan yang jelas tentang tata cara salat sebelum isra miraj. Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang masalah ini, jawaban beliau, “Yang kami tahu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melaksanakan salat sebelum peristiwa isra miraj, di pagi dan sore hari. Bagaimana cara beliau salat? Allahu alam, yang jelas beliau salat. Bisa jadi tata caranya dengan ijtihad mereka atau berdasarkan wahyu. Jika tata cara salat yang beliau kerjakan ketika itu, berdasarkan wahyu maka statusnya telah mansukh (dihapus) [dengan tata cara shalat yang saat ini]. Jika berdasarkan ijtihad, syariat telah menjelaskan tata cara salat yang benar.” (Sumber: http://islamancient.com/play.php?catsmktba=22684)

Hal yang sama juga yang dipesankan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah. Ketika menanggapi pertanyaan semacam ini, majlis fatwa mengatakan, “Yang kami ketahui, tidak terdapat keterangan yang shahih maupun hasan yang menjelaskan tata cara salat yang dikerjakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum persitiwa isra miraj. Dan tahu masalah ini tidak memberikan banyak manfaat. Karena kita beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang Allah perintahkan untuk kita, dan yang sudah ditetap dalam syariat setelah sempurna.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 41207).

INILAH MOZAIK

Untuk Para Istri, Jangan Ingkari Kebaikan Suami

Biduk rumah tangga tidak akan selamanya berlayar di lautan yang tenang

Bahaya Mengingkari Kebaikan Suami

Ketika seorang istri melihat ada satu kesalahan yang dilakukan suami, atau ada satu perbuatan suami yang kurang menyenangkan bagi dirinya, hendaklah seorang istri selalu mengingat (banyak) kebaikan-kebaikan suaminya yang lain. Dan hendaknya tidak mengingkari kebaikan suaminya selama ini.

Mengingkari kebaikan-kebaikan suami dengan bahasa general (negasi general) adalah di antara sebab yang memasukkan para wanita ke neraka. 

Contoh, ucapan istri, “Mas, mas kok TIDAK PERNAH perhatian sama saya.” (Padahal kondisinya, istri baru sangat butuh suami, dan bisa jadi saat itu suaminya baru capek. Dan biasanya, suaminya sangat memperhatikan kebutuhan istrinya.)

Contoh lain, ucapan istri, “Mas, mas kok TIDAK PERNAH ingin melihat saya bahagia.” (Padahal kondisinya, sang istri minta dibelikan barang tersier agak mahal, dan suami keberatan karena ada kebutuhan lain yang lebih mendesak untuk diperhatikan.)

Mengapa Banyak Wanita Menghuni Neraka?

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأُرِيتُ النَّارَ، فَلَمْ أَرَ مَنْظَرًا كَاليَوْمِ قَطُّ أَفْظَعَ، وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ

“Diperlihatkan kepadaku neraka, dan aku tidaklah melihat pemandangan yang lebih mengerikan pada hari itu. Aku melihat mayoritas penghuninya adalah para wanita.”

Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apa sebabnya?” [1]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

بِكُفْرِهِنَّ

“Dengan sebab kekafirannya.”

Para sahabat bertanya lagi, “Karena kekafiran mereka terhadap Allah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Karena mereka mengingkari (kebaikan) suami, mereka mengingkari kebaikan (orang lain). Jika Engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka bertahun-tahun lamanya, kemudian mereka melihat darimu sesuatu (satu kesalahan), maka mereka mengatakan, ‘Tidaklah aku melihat satu kebaikan pun darimu sama sekali.’” (HR. Bukhari no. 1052 dan Muslim no. 907)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebab mengapa wanita banyak menghuni neraka. Yaitu, ketika sang suami berbuat satu saja kesalahan, kemudian sang istri mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama ini –bertahun-tahun lamanya- dengan bahasa general, yaitu “Tidaklah aku melihat satu kebaikan pun darimu sama sekali.”

Ibarat Panas Setahun Dihapus Hujan Sehari

Padahal, sudah banyak kebaikan yang suami lakukan untuk sang istri. Dalam kata-kata bijak disebutkan, “Panas setahun dihabiskan hujan sehari.” Artinya, kebaikan yang banyak menjadi hilang dan tidak ada nilainya karena satu kesalahan yang diperbuat. 

Siapa saja, hendaklah bersikap adil. Kalau memang frekuensinya “kadang-kadang”, katakanlah “kadang-kadang”. Kalau memang frekuensinya “jarang”, katakanlah “jarang”. Kalau “kadang-kadang” suami pulang terlambat tanpa memberi kabar karena lupa, katakanlah kadang-kadang, jangan dikatakan “selalu terlambat tanpa memberi kabar.” 

Janganlah seorang istri menyakiti hati suaminya, dia ingkari kebaikan suami hanya satu kesalahan saja, itu pun bisa jadi bukan karena sengaja. Lalu dia ingkari kebaikan-kebaikan suami dan pengorbanan suami selama ini. 

Dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الحُورِ العِينِ: لَا تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ اللَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah ada seorang istri yang menyakiti suaminya di dunia, kecuali istrinya dari bidadari surga berkata, “Janganlah kamu menyakitinya. Semoga Allah membalasmu. Dia adalah tamumu, yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan mendatangi kami”.” (HR. Tirmidzi no. 1174, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Dari Al-Hushain bin Mihshan, bahwa bibinya pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk suatu keperluan. Setelah urusannya selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, 

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟

“Apakah kamu mempunyai suami?” 

Dia menjawab, “Ya.” 

Beliau bertanya lagi,

كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟

“Bagaimanakah sikapmu terhadapnya?” 

Dia menjawab, “Saya sungguh-sungguh melayani suamiku, kecuali terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup.” 

Beliau bersabda,

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Perhatikanlah selalu posisimu terhadap suamimu. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu adalah (sikapmu terhadap) suamimu.” (HR. Ahmad 31: 341)

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafidzahullah berkata, “Maksudnya, wallahu a’alam, jika Engkau bertakwa kepada Allah berkaitan dengan (hak) suamimu, maka ketakwaanmu kepada Allah itu adalah sebab yang memasukkanmu ke dalam surga. Sebaliknya, jika Engkau tidak bertakwa kepada Allah Ta’ala berkaitan dengan (hak) suamimu, dengan tidak menunaikan hak suami, maka hal itu adalah sebab yang memasukkanmu ke dalam neraka.” (Fiqh ta’aamul baina az-zaujain, hal. 21)

Jika Istri Menemui Kesalahan pada Suami

Jika kita melihat ada sikap atau perilaku suami yang tidak pas di sisi istri, hendaklah sang istri ridha terhadap akhlak suami yang lainnya. Hal ini karena memang tidak ada sosok manusia yang sempurna. Dia memiliki kesalahan, keburukan, atau kekurangan di satu sisi, namun dia memiliki (banyak) kebaikan di sisi yang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ أَوْ قَالَ: غَيْرَهُ

“Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah. Jika dia membenci salah satu perangainya, niscaya dia akan ridha dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469) [2]

Dan hal ini di antara sebab yang menyebabkan awetnya rumah tangga pasangan suami istri tersebut.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/53076-untuk-para-istri-jangan-ingkari-kebaikan-suami.html

Yang ingin Membunuh Rasulullah

DIKISAHKAN bahwa seorang wanita Yahudi bernama Zainab binti Al-Harts, istri Salam bin Misykam menghadiahi beliau seekor kambing bakar yang telah diberi racun.

Ketika tahu bahwa yang disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian paha, maka ia memperbanyak racun di bagian itu. Setelah Rasulullah menggigit dagingnya, tulang kambing itu memberitahu beliau bahwa ia telah diberi racun, maka beliau memuntahkan daging yang ada di mulutnya.

Rasulullah kemudian mengumpulkan orang-orang Yahudi, lalu berkata, “Apakah kalian akan menjawab jujur jika aku bertanya kepada kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau berkata, “Apa yang menjadikan kalian melakukannya?”

Mereka menjawab, “Kami ingin mengetahui, jika kamu seorang pembohong maka kami dapat terbebas dari kebohonganmu. Dan jika kamu seorang nabi, tentunya racun itu tidak akan membahayakanmu.”

Lalu wanita yang memberi racunpun dipanggil. Ia berkata, “Aku ingin membunuhmu.” Rasulullah berkata, “Allah tidak mengizinkanmu memperdayaku.” Kaum muslimin berkata, “Tidakkah kami membunuhnya?” Rasul menjawab, “Tidak.” Beliau tidak memberi hukuman apapun kepadanya.

Akan tetapi ketika Bisyr bin Bara’ bin Ma’rur yang ikut makan daging itu meninggal dunia, maka wanita itu dibunuh.

INILAH MOZAIK

Bahaya Futur yang Diperlihatkan pada Masa Rasulullah SAW

Masa-masa futur adalah situasi yang patut diwaspadai.

Manusia adalah makhluk yang lemah meski beragam keistimewaan melekat pada dirinya. Salah satu bentuk kelemahan itu adalah sulitnya mengendalikan hati. Setiap orang merasakan, hati mudah berubah dan berbolak-balik. Futur adalah bagian dari perubahan itu. Dr Nashir al- Umar menjelaskan, “futur adalah rasa malas, menunda, lambat setelah bersemangat, tidak bergairah dalam kebaikan.” (Al futur, maddzohir asbab ilaj, Hal. 22).

Saat futur mendera, semangat berbuat kebaikan melemah bahkan anjlok. Kondisi seperti ini tidak terelakkan. Nabi telah menyebutkan dalam hadis yang artinya, “setiap amalan ada masa bersemangat dalam melakukannya dan setiap masa bersemangat ada waktunya melemah.” (Riwayat Ahmad disahihkan Albani).

Masa-masa futur adalah situasi yang patut diwaspadai. Pasalnya, keadaan futur bukan saja semangat berbuat baik yang menurun, dorongan melakukan keburukan juga menjadi menguat. Pertahanan menghadapi bisikan syaitan dan ajakan hawa nafsu menjadi sangat rapuh.

Alhasil, seorang yang sedang futur mudah takluk oleh godaan dan rayuan. Tak mengherankan jika terkadang kita menjumpai orang yang sudah bertobat, bahkan begitu gigih dalam kebaikan, tapi beberapa waktu kemudian terperosok kembali dalam keburukan.

Dalam sejarah Rasulullah, bahaya futur itu telah Allah perlihatkan. Tatkala kaum Muslimin hijrah ke Habasyah, ada di antara peserta hijrah yang futur hingga akhirnya murtad dari Islam. Dalam salah satu perang juga terdapat seseorang yang begitu gigih dan penuh semangat. Namun, nabi menghukuminya sebagai penghuni neraka. Ternyata orang tersebut bunuh diri. Saat terluka parah, semangatnya melemah sehingga godaan setan menggiringnya untuk menusukkan tombak ke perutnya.

Secara konkret Umar berpesan tentang taktik meraih kestabilan dalam kebaikan. Ia berkata, “sesungguhnya hati itu memiliki masa bersemangat kepada kebaikan dan masa membelakangi kebaikan itu. Jika ia bersemangat, maksimalkan dalam amalan-amalan sunah, dan jika sedang membelakangi maka tetapkan dia untuk tidak meninggalkan yang wajib.” (Robiul Abrar, Hal. 158).

Singkatnya, dalam setiap keadaan selalu berusaha dalam koridor sunah meski terkadang ada perubahan intensitas dalam kebaikan. Nabi bersabda yang artinya, “siapa yang semangatnya dalam koridor sunahku, ia sungguh beruntung. Namun, siapa yang sampai futur (malas) hingga keluar dari sunahku, dialah yang binasa.” (Riwayat Ahmad dishohihkan Albani).

Menetapi sunah Rasululullah adalah jalan keselamatan. Saat semangat berbuat baik meningkat, tetap berada dalam batasan yang ditetapkan oleh Rasulullah. Demikian pula sebaliknya, ketika sedang lemah, tetap bertahan dalam sunah nabi dengan tidak meninggalkan yang wajib atau melakukan yang diharamkan.

Allah menilai amalan kita bukan pada kuantitasnya, tapi pada kesesuaiannya dengan tuntutan Rasulullah. Semangat beramal harus dikendalikan jika menggring kita keluar dari sunah nabi. Yang sedikit, tapi kontinu dan sesuai sunah lebih dicintai dan lebih membantu dalam meraih keistiqamahan dalam segala situasi.

Nabi bersabda yang artinya, “wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan (dalam koridor sunah) yang kontinu walaupun sedikit” ( HR Muslim). ¦

Oleh: Ahmad Rifai

KHAZANAH REPUBLIKA

Agar Terhindar dari Gaya Hidup Boros

Islam memberi peringatan bahwa boros atau berlebihan berbahaya.

Setiap usaha yang kita lakukan seperti bekerja, berwirausaha, berdagang, dan bertani tujuan utamanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa usaha, tentunya kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup berupa sandang, papan, dan pangan. Karena itu, sebagai seorang Muslim, kita diperintahkan Allah untuk bersungguh-sungguh berusaha. Sebab, dengan berusaha, berarti kita telah menempuh jalan kemandirian memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun, terkadang sesaat setelah usaha ditempuh, kita masih merasa serbakekurangan dan kepayahan untuk memenuhi apa yang kita butuhkan. Saat itulah sering timbul godaan dari nafsu syahwat, nafsu yang selalu mengajak pada perilaku boros, dengan cara meminjam uang kepada lembaga keuangan karena saat membutuhkan sesuatu harus segera mungkin dipenuhi. Dengan kondisi demikian, dalam era digital, bermunculan pinjaman daring (online) ilegal yang merampas kebebasan kreditur sehingga banyak terjadi bahaya yang mengancam.

Tentunya, fenomena tersebut patut kita renungkan karena telah menciptakan perilaku boros (konsumtif) sehingga merenggut korban. Salah satu kasus bunuh diri seorang supir taksi, misalnya, karena terjerat utang pinjaman daring haruslah menjadi bahan renungan bersama. Pinjaman daring (baca: teknologi finansial) itu, seperti ditulis sang supir dalam surat wasiatnya sebelum bunuh diri, disebut sebagai jebakan setan.

Pinjaman akan menjadi jebakan setan bila kita meminjam tanpa mampu membayarnya. Kita bekerja hanya bertujuan tidak untuk mengumpulkannya, apalagi dibelanjakannya dengan bijak, tetapi untuk membayar cicilan. Parahnya lagi, kita hanya mementingkan nafsu dengan cara foya-foya tanpa peduli terhadap dampak pemborosan. Padahal ,di dalam Islam seperti tercantum di dalam Alquran cara pengelolaan ekonomi yang baik (good financial planning) mencakup dua hal.

Pertama, kecakapan mencari materi (usaha atau kerja). Allah SWT berfirman, Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS al-Jumu’ah [62]: 10). Untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, kita perlu mengoptimalkan daya diri untuk mencari rezeki melalui aktivitas usaha dan bekerja.

Kedua, kecakapan membelanjakan harta pada pos-pos pengeluaran yang tepat dengan cara berhemat (tidak boros). Allah SWT berfirman, Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS al-Isra` [17]: 29). Tanpa kemampuan berhemat, materi yang kita dapatkan akan serta-merta habis dan menyebabkan kita menjadi serbakekurangan karena kebutuhan hidup yang makin meningkat secara hierarkis.

Karena itu, Islam hadir ke muka bumi untuk menciptakan mentalitas yang baik, kokoh, dan tahan banting dengan cara berhemat dan menjauhi gaya hidup mewah. Allah SWT memerintahkan kita agar memenuhi kebutuhan dengan cara sederhana dan bersahaja. Dalam bahasa lain, kita dilarang untuk hidup boros dalam mengelola keuangan.

Di dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman, Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS al-A’raf [7]: 31). Bahkan, teladan agung kita, Rasulullah SAW, bersabda, Jauhilah gaya hidup bermewahan. Sesungguhnya hambahamba Allah itu bukan orang-orang yang bermewahmewahan.

(al-Hadits). Beliau memperingatkan kita bahwa hidup bermewah-mewah, meskipun dengan barang-barang yang sifatnya mubah, berpotensi menyeret diri pada laku boros. Hal ini juga menandakan kita tidak mengapresiasi harta dan kekayaan dengan baik yang merupakan nikmat Allah sehingga laku boros termasuk ke dalam menyianyiakan harta. Karena itu, Islam memberi peringatan bahwa boros atau berlebihan dalam membelanjakan harta berbahaya bagi diri kita di dunia dan di akhirat.

Karena itulah, dengan mewaspadai bahaya dunia dan akhirat, kita bisa memiliki neraca tetap aman saat mendapatkan rezeki dari Allah; tidak besar pasak daripada tiang. Penghasilan dan pengeluaran pun menjadi seimbang. Allah SWT berfirman, Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengahtengah antara yang demikian (baca: berhemat). (QS al- Furqan [25]:67). Wallahua’lam bishshawwab.

Oleh: Biki Zulfiki Rahmat

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengaqiqahi Anak yang Sudah Baligh

Jika ada anak yang belum diaqiqiahi hingga si anak sudah besar, apakah orang tua juga tetap harus meng-aqiqahinya?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pembahasan kita kali ini adalah hukum bagi orang tua yang belum sempat memberikan aqiqah bagi anaknya ketika bayi, hingga anaknya sudah menginjak usia baligh. Apakah anak ini masih perlu aqiqahi ayahnya?

Para ulama menganjurkan agar aqiqah disembelih pada hari ketujuh pasca kelahiran. Dalil tentang masalah ini adalah hadis dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, yang harus disembelih di hari ketujuh, dicukur dan diberi nama. (HR. Ahmad 20083, Abu Daud 2840, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dan jika tidak memungkinkan di hari ketujuh, maka aqiqah dilakukan pada hari ke-14. Jika tidak memungkinkan, aqiqah dilakukan di hari ke-21. Dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali dan salah satu pendapat dalam Malikiyah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 30/278)

Bagaimana jika lebih dari 21 hari?

Menurut syafi’iyah, aqiqah masih menjadi tanggung jawab itu hingga si anak menginjak usia baligh.

Dalam ensiklopedi fiqh dinyatakan,

وقال المالكية: إن وقت العقيقة يفوت بفوات اليوم السابع. وقال الشافعية: إن وقت الإجزاء في حق الأب ونحوه ينتهي ببلوغ المولود

Menurut Malikiyah, waktu kesempatan aqiqah menjadi hilang jika sudah berlalu hari ketujuh kelahiran. Menurut Syafiiyah, bahwa waktu bolehnya bapak atau siapapun mengaqiqahi anak, berakhir sampai baligh. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 30/279)

Jika anak sudah baligh dan belum diaqiqahi maka tanggung jawab orang tua telah berakhir dan selanjutnya anak bisa meng-aqiqahi dirinya sendiri. Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

وقال الشافعي: إن أخرت إلى البلوغ، سقطت عمن كان يريد أن يعق عنه، لكن إن أراد هو أن يعق عن نفسه، فعل

Imam as-Syafii mengatakan, jika aqiqah tertunda sampai anak itu baligh, maka telah gugur tanggung jawab orang yang meng-aqiqahinya. Akan tetapi jika dia ingin mengaqiqahi diri sendiri, oleh dilakukan. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 16868)

Kesimpulan dalam madzhab Syafiiyah bisa kita jadikan acuan, bahwa tanggung jawab orang tua untuk memberi aqiqah anak, berakhir ketika sang anak belum baligh.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/35991-mengaqiqahi-anak-yang-sudah-baligh.html

Utang Istri Untuk Kebutuhan Anak, Suami Wajib Menanggungnya?

Utang Istri Setelah Cerai, Suami Wajib Melunasi?

Assalamu’alaikum..

Ustadz saya mau tanya, siapa yg harus melunasi hutang setelah cerai?

Selama sebelum cerai suami saya nganggur, dan saya punya hutang karna untuk kebutuhan anak. Setelah kami bercerai, kami msh memiliki hutang2.. Lalu siapakah yg hrs melunasi hutang nya setelah kami bercerai??

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullah

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Nabi Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya . Amma Ba’du:

Utang seorang Istri ada dua jenis:

  1. Utang pribadi untuk kebutuhan pribadi atau untuk kebutuhan dia dan kebutuhan tersebut di luar nafkah yang diwajibkan atas suaminya, seperti seorang istri membeli perhiasan tertentu, dan pembelian itu bukan atas tanggung jawab suaminya, tapi atas tanggung jawab dia sebagai seorang pribadi, maka hutang tersebut menjadi kewajiban dan tanggung jawab si istri untuk membayarnya.
  2. Utang untuk kebutuhan rumah tangga, baik itu untuk kebutuhan istri atau kebutuhan anak-anak atau untuk kebutuhan bersama, dan utang tersebut termasuk pada urusan yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban suami dalam memberi nafkah. Utang yang jenis ini menjadi tanggung jawab suami untuk membayarnya, berikut ini penjelasannya;

Dalam kehidupan rumah tangga suami memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan anak dan istri berupa kebutuhan dasar, yaitu makanan, pakaian dan tempat tinggal, atau kebutuhan penunjang seperti pengobatan dan pendidikan untuk anak. Hal ini dikenal dengan kewajiban suami dalam memberi nafkah.

Tanggung jawab nafkah anak istri merupakan kewajiban seorang suami yang bersifat tetap, artinya tetap harus dipenuhi oleh suami dan menjadi utang atas diri suami tersebut kalau dia tidak membayarnya.

Jika seorang suami safar ke luar negeri dan dia terhalang untuk mengirim uang, sehingga istri menafkahi diri dan anaknya dari hasil pinjaman, maka pinjaman tersebut menjadi utang dan tanggung jawab suami.

Kewajiban memberi nafkah adalah kewajiban yang melekat pada suami dan kalau tidak dilaksanakan akan menjadi utang yang berada pada tanggung jawabnya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (QS. Al Baqarah: 233)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ

Diperintahkan bagi orang yang mampu (suami) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (QS: At Thalaq: 7)

Pada kedua ayat tersebut menjelasan bahwa nafkah itu merupakan tanggung jawab suami karena itu adalah kewajiban yang diperintahkan kepadanya, tanggung jawab artinya harus dilaksanakan, kalau tidak dilaksanakan maka akan menjadi utang yang harus dia penuhi. Seperti seseorang tidak melaksanakan perintah puasa karena dia sakit, maka dia wajib menggantinya setelah dia sehat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa, “kewajiban memberi nafkah telah melekat pada diri seorang suami dan jika dia tidak melaksanakannya maka kewajiban itu menjadi utang atasnya, dan hal itu tidak memerlukan keputusan pengadilan atau penerimaan dari suami” ( Al Mufashal fi ahkamil mar’ah, Abdul Karim Zaidan, 7/178).

Dari penjelasan ini dapat kita pahami bahwa utang yang dipertanyakan adalah hutang yang menjadi tanggung jawab suami dan suami yang wajib melunasinya, baik itu atas persetujuan dia atau tidak, karena utang tersebut adalah untuk nafkah yang merupakan kewajiban suami, dan melekat pada dirinya. Oleh karena itu walaupun telah terjadi perceraian maka dia wajib membayarnya, karena yang punya utang adalah dirinya. Wallahu a’lam.

***

Dijawab oleh Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf , Lc. MA. (Dosen Ilmu Hadits STDI Jember)

Read more https://konsultasisyariah.com/35926-utang-istri-untuk-kebutuhan-anak-suami-wajib-menanggungnya.html