Kesempatan Mengetuk Pintu Sang Raja

Kesempatan mengetuk pintu Sang Raja tidaklah terbatas di saat pelaksanaan shalat lima waktu semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan banyak kesempatan sepanjang siang dan malam.

Mengetuk Pintu Sang Raja

Sahabat ‘Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah berujar,

مَا دُمْتَ فِي صَلاةٍ فَأَنْتَ تَقْرَعُ بَابَ الْمَلِكِ ، وَمَنْ يَقْرَعْ بَابَ الْمَلِكِ يُفْتَحْ لَهُ

“Engkau tengah mengetuk pintu Sang Raja di sepanjang shalat. Dan setiap orang yang mengetuknya, niscaya akan dibukakan jalan keluar.” [Shifat ash-Shafwah, 1:156]

Siapakah Raja dimaksud, yang senantiasa kita ketuk pintu-Nya di setiap kali shalat? Tentulah Dia adalah Allah, Rabb semesta alam, yang di Tangan-Nya-lah segala perbendaharaan bumi dan langit berada, begitu pula dengan seluruh perbaikan hati dan keadaan yang dialami hamba.

Kesempatan mengetuk pintu Sang Raja tidaklah terbatas di saat pelaksanaan shalat lima waktu semata. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan banyak kesempatan sepanjang siang dan malam. Hebatnya lagi, Allah Ta’ala justru bergembira jika para hamba-Nya senantiasa mengetuk pintu-Nya, memanjatkan permohonan dan permintaan kepada-Nya. Hal yang sungguh berbeda jika kita melakukan hal yang sama kepada makhluk. Mereka akan menggerutu dan justru bosan dengan permintaan yang kita lakukan terus-menerus!

Kesempatan kita untuk mengetuk pintu Sang Raja adalah kesempatan yang berharga, namun tidak perlu meminta izin atau membuat janji sebagaimana hal itu harus dilakukan terlebih dahulu jika kita ingin bertemu dengan raja-raja dan orang-orang penting di dunia. Kesempatan yang merupakan nikmat luar biasa seperti yang dikatakan al-Muzani rahimahullah,

من مثلك يا ابن آدم؟! خلي بينك وبين المحراب والماء ، كلما شئت دخلت على الله عز وجل ليس بينك وبينه ترجمان

“Siapakah yang hidupnya lebih nikmat darimu, wahai anak cucu Adam?! Engkau bisa berkhalwat di dalam mihrab bermodalkan air untuk berwudhu, sehingga setiap kali ingin bertemu dengan Allah, Engkau tinggal masuk ke dalam mihrab dan mengerjakan shalat, dimana Engkau bisa berkomunikasi dengan Allah tanpa adanya penerjemah.” [az-Zuhd, hlm. 246]

Bukan Berarti Solusi akan Otomatis dan Segera Diberikan

Akan tetapi, ketika sahabat Abdullah ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu menyatakan bahwa setiap orang yang mengerjakan shalat tengah mengetuk pintu Allah Ta’ala dan pasti akan menemui solusi atas permasalahan hidup yang dikeluhkannya, hal itu bukan berarti bahwa solusi akan otomatis dan segera diberikan. Terkadang Allah Ta’ala menunda untuk membuka pintu-Nya dan memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi hamba-Nya karena adanya hikmah yang mendalam. Dengan demikian, ada kebaikan di atas kebaikan yang mungkin tidak akan diperoleh hamba ketika do’a dan permintaannya langsung dikabulkan Allah Ta’ala!

Boleh jadi tertundanya jalan keluar atas permasalahan yang dihadapi hamba melahirkan berbagai ibadah pada diri hamba seperti ikhbaat (merendahkan diri di hadapan Allah) dan inaabah (kembali kepada Allah); merasakan kelezatan tatkala memohon dan bermunajat kepada Allah; dan berbagai ibadah kalbu yang membawa kehidupan bagi hati, yang mungkin tidak pernah terbayang dalam benak hamba sebelumnya. 

Setiap orang yang terus-menerus mengetuk pintu Sang Raja, tentu akan mendapatkan solusi atas permasalahannya. Akan tetapi, apakah hakikat solusi itu? Apakah hanya terkabulnya do’a semata? Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengabulan do’a itu hanya salah satu respon atas do’a yang dipanjatkan hamba. Terkadang Allah mencegah musibah agar tidak menimpa hamba, yang bisa jadi lebih buruk dari permasalahan yang tengah dihadapi. Atau Allah menundanya agar balasannya diberikan kelak di hari kiamat. Minimal, dan tentu hal ini bukan berarti sedikit, Allah akan menetapkan pahala atas upayanya mengetuk pintu Sang Raja, pahala yang tentu sangat dibutuhkan karena lebih berharga daripada seisi dunia di kala seluruh hamba membaca lembaran-lembaran catatan amalnya.

Solusi yang lebih besar dari itu semua adalah Allah Ta’ala menjadikan hamba cinta dan larut dalam kesenangan bermunajat, memanjatkan do’a kepada-Nya, dan merasakan kedekatan dengan-Nya. Tidak ada nikmat dunia yang sebanding dengan itu, dan tidak ada musibah yang lebih besar ketika hamba kehilangan setelah mampu merasakannya. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

العبد قد تنزل به النازلة فيكون مقصوده طلب حاجته، وتفريج كرباته، فيسعى في ذلك بالسؤال والتضرع، وإن كان ذلك من العبادة والطاعة، ثم يكون في أول الأمر قصده حصول ذلك المطلوب: من الرزق والنصر والعافية مطلقا، ثم الدعاء والتضرع يفتح له من أبواب الإيمان بالله عز وجل ومعرفته ومحبته، والتنعم بذكره ودعائه، ما يكون هو أحب إليه وأعظم قدرا عنده من تلك الحاجة التي همته. وهذا من رحمة الله بعباده، يسوقهم بالحاجات الدنيوية إلى المقاصد العلية الدينية

“Terkadang hamba mengalami permasalahan, sehingga dia pun bertujuan memanjatkan keperluan dan memohon solusi dari kesulitan. Hal itu mendorongnya untuk meminta dan merendahkan diri di hadapan Allah, yang merupakan salah satu bentuk ibadah dan ketaatan. Pertama kali boleh jadi tujuan hamba itu adalah sekadar memperoleh rizki, pertolongan, dan keselamatan yang diinginkan. Namun, do’a dan perendahan diri membukakan pintu keimanan, makrifat, dan kecintaan kepada Allah; memberi kesempatan kepada dirinya untuk bersenang-senang dengan berdzikir dan berdo’a kepada-Nya, yang semua itu sebenarnya lebih baik baginya dan lebih bernilai daripada keperluan duniawi yang diinginkannya. Inilah salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, di mana Dia menggiring hamba untuk memanjatkan kebutuhan dunianya, namun memberikan hasil mulia yang membawa kebaikan pada agama” [Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim, 3: 312-313]

Semoga Allah Ta’ala tidak menghalangi diri kita dari kelezatan bermunajat kepada-Nya dan kenyamanan berdekatan dengan-Nya. 

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55228-kesempatan-mengetuk-pintu-sang-raja.html

Manfaat Jambu Biji Sudah Dijelaskan Ulama Besar Abad Ke-13

Ulama besar abad ke-13 telah menjelaskan manfaat jambu biji.

Manfaat dari jambu biji ternyata telah ditulis dalam kitab Ath-Thibb an-Nabawi atau Metode Pengobatan Nabi yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Kitab ini ditulis semasa hidup Ibnu Qayyim yang hidup pada abad ke-13 masehi.

Dalam kitabnya, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa khasiat jambu biji adalah bisa menghilangkan dahaga, mengilangkan rasa mau muntah, memperlancar air seni, memadatkan kotoran, mengobati luka usus, dan memberhentikan pendarahan dan sejenisnya. Selain itu, bermanfaat menghilangkan rasa mual di samping juga mencegah naiknya uap tubuh bila dikonsumsi  sesudah makan. Bila batang dan daunnya dibakar, akan berkhasiat seperti daun strawberi.

Menurut Ibnu Qayyim, bila dikonsumsi sebelum makan, jambu biji bisa mengeraskan kotoran. Namun, bila dikonsumsi setelah makan bisa memperlunak kotoran dan mempermudah pencernaan terhadap makanan berat. Namun, bila dimakan terlalu banyak, bisa membahayakan syaraf dan menyebabkan diare. Bisa juga memberhentikan produksi carian empedu kuuning berlebih dalam lambung.

Ibnu Qayyim menjelaskan, yang terbaik adalah apabila dimakan setelah dipanggang atau dimakan dengan madu. Bijinya bermanfaat untuk mengobati kekakuan pada tenggorokan bahkan juga kelainan bronkus serta berbagai penyakit lainnya.

Minyaknya bisa mencegah keringat berlebih dan memperkuat lambung. Selai dari buah ini amat berguna memperkuat lambung dan lever serta menguatkan jantung dan menentramkan jiwa.

Mengenai Ibnu Qayyim sendiri, beliau adalah seorang cendekiawan dan ahli fiqih kenamaan dalam mazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 M. Disamping itu, sosoknya juga dikenal sebagai seorang ahli tafsir, penghapal Alquran, ahli nahwu, ahli ushul fiqih, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid.

Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa’ad Zur’i ad-Damsyiq, bergelar Abu Abdullah Syamsuddin. Dilahirkan di Damaskus, Suriah pada tahun 691 H/1292 M, dan meninggal pada tahun 751 H/1352 M. Ayahnya, Abu Bakar, adalah seorang ulama besar dan kurator (qayyim) di Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Dari jabatan ayahnya inilah sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah diambil. 

Semasa hidupnya, Ibnu Qayyim berguru kepada banyak ulama untuk memperdalam berbagai bidang ilmu keislaman. Dia mendalami fiqih mazhab Hanbali, tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih, nahwu, tasawuf, dan ilmu teologi.

Ia berguru ilmu hadits pada Syihab An-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru ilmu ushul fiqih kepada Syekh Shafiyuddin Al-Hindi; berguru ilmu fiqih dari Isma’il bin Muhammad Al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris (faraidh) kepada ayahnya sendiri.

Namun, di antara sekian banyak gurunya itu, yang paling berpengaruh adalah Ibnu Taimiyah. Ia berguru kepada Ibnu Taimiyah selama 16 tahun. Ia merupakan murid Ibnu Taimiyah yang fanatik. Ia mengikuti metode sang guru untuk menentang dan memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama.

Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve disebutkan, sebagaimana gurunya, Ibnu Qayyim sangat gencar menyerang kaum filsuf, Kristen, dan Yahudi. Ia juga kerap menyebarluaskan fatwa sang guru yang berseberangan dengan fatwa jumhur (mayoritas) ulama. Salah satunya adalah fatwa yang melarang orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Karena hal inilah dia kemudian mendekam di penjara Damaskus dan baru dibebaskan setelah gurunya wafat.

Penguasaannya terhadap ilmu tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap ilmu ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai hadits dan bidang-bidang ilmu Islam lainnya sulit ditemukan tandingannya. Sehingga dapat dikatakan ia amat menguasai berbagai bidang ilmu ini.

Karena pengetahuan yang dimilikinya, Ibnu Qayyim mempunyai murid yang tidak sedikit jumlahnya. Di antara murid-muridnya yang berhasil menjadi ulama kenamaan adalah Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy penyusun kitab Al-Bidayah wan Nihayah dan Ibnu Rajab Al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah.

Suami Tidak Pernah Shalat

Jika Suami Tidak Pernah Shalat

Pertanyaan:

Suami sama sekali tidak pernah shalat wajib tapi dia adalah tipe suami yang baik dan bertanggung jawab walau memang temperamental. Apakah saya harus terus mempertahankan rumah tangga sedangkan pemimpinnya tidak pernah shalat? Saya sudah sangat lelah menasehatinya dengan berbagai cara tapi tetap saja susah.

Terimakasih atas penjelasannya

Dari: Nuyun

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’du,

Sebelum mengupas tentang masalah yang Anda tanyakan, kita perlu memahami hukum meninggalkan shalat.

Ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya statusnya kafir. Karena berarti dia mengingkari hukum Allah dan ayat Alquran yang memerintahkan untuk mengerjakan shalat. Misalnya, ada orang beranggapan bahwa shalat itu tidak wajib, yang penting ingat Allah, itu sudah cukup.

Orang yang memiliki keyakinan semacam ini dihukumi murtad para ulama.

Sedangkan orang yang meninggalkan shalat, namun masih meyakini kewajibannya, diperselisihkan oleh ulama, apakah dihukumi murtad ataukah masih muslim.

Imam Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafii berpendapat, tidak kafir, namun orang fasik. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang hukumannya. Imam Malik dan asy-Syafii berpendapat, orang yang meninggalkan shalat hukumannya dibunuh. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat, dia dita’zir dan tidak dibunuh. Sementara itu, Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan keluar dari islam (Tarik ash-Shalah, hlm. 1).

Ulama yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat, statusnya murtad, berdalil dengan beberapa hadis, diantaranya,

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

Sesungguhnya batas antara seorang muslim dengan kesyirikan atau kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Dari Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر

Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasai, dan Ibnu Majah).

Keterangan Abdullah bin Syaqiq, seorang tabiin,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلَاةِ

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak beranggapan ada satu amal yang jika ditinggalkan bisa menyebabkan kafir, selain shalat. (HR. Turmudzi dan dishahihkan al-Albani).

Keterangan di atas memberi peringatan keras bagi kita tentang bahaya meninggalkan shalat. Meskipun ulama berbeda pendapat tentang status kafir dan tidaknya, namun para ulama sepakat untuk memberikan ancaman yang sangat keras bagi orang yang meninggalkan shalat. Terlebih jika kita menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah orang murtad.

Kemudian, terkait status suami yang tidak pernah shalat, ada 2 keadaan yang perlu diperhatikan,

Pertama, si calon suami sudah meninggalkan shalat sejak sebelum menikah

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya seorang wanita yang menikah dengan lelaki yang tidak pernah melaksanakan shalat. Sebelumnya, Imam Ibnu Utsaimin termasuk ulama yang menilai kafir orang yang meninggalkan shalat.

Beliau menjawab,

Jika akadnya dilakukan ketika si lelaki sudah meninggalkan shalat maka akadnya tidak sah. Karena itu, dia wajib memisahkan diri darinya. Jika laki-laki ini masuk islam maka dia bisa memperbarui akad, dan jika tidak mau bertaubat, semoga Allah memberi ganti dengan lelaki yang lebih baik (Fatwa Islam, 4131)

Kedua, suami meninggalkan shalat setelah menikah atau setelah punya anak

Kasus semacam ini juga pernah ditanyakan kepada Imam Ibnu Utsaimin, dan beliau memberi jawaban:

Jika seorang wanita menikah dengan lelaki yang meninggalkan shalat, baik berjamaah maupun sendirian maka nikahnya tidak sah. Karena orang yang meninggalkan shalat adalah orang kafir. Sebagaimana disebutkan dalam dalil Alquran, hadis dan perkataan sahabat. Diantaranya adalah perkataan Abdullah bin Syaqiq, bahwa Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak beranggapan ada satu amal yang jika ditinggalkan bisa menyebabkan kafir, selain shalat.

Sementara orang kafir, tidak halal untuk menikahi wanita muslimah. Berdasarkan firman Allah,

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنّ

Jika kamu telah mengetahui bahwa para wanita itu beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (para wanita itu) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka…” (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Kemudian, jika si lelaki meninggalkan shalat setelah dia menikah maka nikahnya dibatalkan, kecuali jika si suami bertaubat dan kembali ke Islam. Sebagian ulama memberikan batasan sampai selesai masa iddah. Jika masa iddah selesai maka si laki-laki ini tidak boleh lagi rujuk ketika dia bertaubat, kecuali dengan akad yang baru.

Oleh karena itu, wajib bagi si wanita untuk memisahkan diri dari suaminya itu dan tidak berkumpul bersamanya, sampai suaminya bertaubat dan melaksanakan shalat, meskipun dia memiliki anak dari suami itu. Karena dalam kondisi ini, suami tidak memiliki hak pengasuhan anak (Fatwa Arkan Islam, hlm. 279).

Andaipun kita berpendapat bahwa meninggalkan shalat bukan termasuk kekafiran, istri tetap disyariatkan untuk memisahkan diri dari suaminya, sampai suaminya bertaubat. Al-Mardawi mengatakan;

إذا ترك الزوج حق الله فالمرأة في ذلك كالزوج فتتخلص منه بالخلع ونحوه

“Apabila suami meninggalkan hak Allah, maka istri dalam hal ini sebagaimana suami, dia disyariatkan memisahkan diri darinya dengan gugat cerai atau semacamnya.” (al-Inshaf, 13:321)

Hal ini, agar istri tidak dianggap merelakan sang suami melakukan pelanggaran syariat. Sebagaimana yang dinasihatkan Ibnu Allan,

وذلك لأن الرضا بالكفر الذي هو من جملة المعاصي كفر، وبالعصيان الناشيء عن غلبة الشهوة نقصان من الإيمان أيّ نقصان

“Karena ridha terhadap kekafiran yang merupakan salah satu bentuk maksiat, termasuk perbuatan kekafiran, demikian pula, ridha terhadap maksiat karena dorongan syahwat, termasuk kurangnya iman.” (Dalil al-Falihin Syarh Riyadhus Shalihin, 2:470).

Selanjutnya, perbanyaklah memohon hidayah kepada Allah. Semoga Allah membimbing anda dan suami anda untuk kembali ke jalan yang lurus.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/15418-suami-tidak-pernah-shalat.html

Pesan Rasulullah: Orang Sombong tak Masuk Surga

RASULULLAH Shallallahualaihi Wasallam mengabarkan dalam sebuah hadis bahwa tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya terdapat kesombongan.

Beliau Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Lalu ada seorang lelaki dari sahabat Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam berkata: “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan wahai Rasulullah?”. Maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Adapun kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim, no.91).

Dalam hadis ini Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam mengabarkan bahwa kesombongan menghalangi seseorang untuk masuk ke dalam surga. Dan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam juga menjelaskan hakikat kesombongan, bahwa kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh manusia. Ketika suatu kebenaran telah sampai kepada seseorang, berupa Alquran dan hadits Nabi Shallallahualaihi Wasallam, kemudian ia menolaknya karena kelebihan yang ia miliki atau kedudukan yang ia miliki. Maka ini menunjukkan adanya kesombongan dalam dirinya.

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam mengatakan, sombong itu menolak kebenaran, dan kebenaran itu adalah apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Taala, berupa Alquran dan hadis Nabi Shallallahualaihi Wasallam. Betapa banyak kesombongan yang menyebabkan seseorang terhalang dari kebenaran.

Lihatlah iblis laanahullah, ia tidak mau sujud kepada Nabi Adam alaihissalam karena kesombongan yang ada dalam hatinya. Allah Taala berfirman: “ia enggan dan sombong sehingga ia pun termasuk orang-orang kafir” (QS. Al Baqarah: 34). Lihatlah Firaun, ia merasa merasa sombong dengan kelebihannya, ia merasa sombong dengan kedudukan yang ia miliki. Sehingga ia menolak dakwah yang disampaikan Nabi Musa alaihisshalatu was salam. “Kami utus Musa dan Harun kepada Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya, dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami, maka mereka menyombongkan diri dan mereka adalah orang-orang yang berdosa” (QS. Yunus: 75). Maka lihatlah wahai saudaraku, orang yang bersombong diri biasanya ia tidak bisa mendapatkan hidayah dari Allah Subhaanahu wa Taala.

Dan Subhaanallah dalam hadis ini seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahualaihi Wasallam, “wahai Rasulullah, salah seorang dari kami ingin agar bajunya bagus, demikian pula sandalnya bagus, apakah itu termasuk kesombongan?”. Maka Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam seakan mengatakan, “itu bukan kesombongan, Allah itu indah dan mencintai keindahan”.

Artinya pakaian yang bagus bukan termasuk kesombongan sama sekali, bahkan itu suatu hal yang dicintai oleh Allah karena menunjukkan keindahan sebagai suatu nikmat yang diberikan oleh Allah. Bahkan memperlihatkan kenikmatan adalah bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wa taala. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah pada diri hamba-Nya” (HR. Tirmidzi, no.2819. Ia berkata: “hasan”, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami).

Akan tetapi kesombongan itu ketika seseorang menolak kebenaran atau ia menganggap remeh orang lain. Baik karena orang yang ia remehkan itu miskin atau ia lebih rendah derajatnya dalam masalah ilmu dan amalan shalih. Saudaraku, dalam hadits lain Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “cukuplah bagi seseorang itu keburukan, ia menganggap remeh Muslim yang lain” (HR. Muslim, no.2564).

Terkadang misalnya kita orang yang memiliki kekayaan, dan punya kelebihan. Ketika kita melihat orang miskin yang tidak punya kekayaan, kita pandang dia dengan pandangan yang remeh sekali. Ini lah bentuk meremehkan orang. Atau misalnya orang yang memiliki kedudukan, mungkin Bupati, presiden, atau camat, ketika melihat orang biasa atau rakyat jelata ia merasa dirinya punya kelebihan, lalu ia pun bersombong diri.

Atau misalnya kita diberi kelebihan berupa amalan shalih, terkadang ketika melihat orang yang amalan shalihnya kurang, kita merasa memiliki kelebihan dan melecehkan dia. Terkadang juga kita merasa punya kelebihan ilmu, punya titel yang tinggi, ketika melihat orang yang lebih rendah titelnya, dalam diri kita terasa ada sesuatu perasaan lebih baik dari dia. Inilah sebenarnya benih-benih kesombongan.

Terlebih ketika ada orang yang menasehati kita adalah orang yang lebih muda dari kita atau orang yang tidak lebih berilmu dari kita. Terkadang kesombongan dan keangkuhan muncul di hati kita sehingga kita enggan untuk menerima nasehat-nasehatnya. Ini juga merupakan fenomena kesombongan. Dan bukankah seorang Mukmin yang sejati itu senantiasa menerima nasehat? Allah Taala berfirman (yang artinya): “Berilah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat: 55).

Dan subhaanallah, ini sangat menakutkan sekali. Karena Nabi Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidak akan masuk surga, orang yang ada di dalam hatinya sebesar biji sawi kesombongan”. Hanya sebesar biji sawi dari kesombongan, ternyata menyebabkan kita tidak masuk surga.

Ikhwati fillah rahimaniy wa rahimakumullah, sudah menjadi kewajiban kita untuk menyadari bahwa apa yang Allah berikan kepada kita berupa kelebihan-kelebihan baik itu kekayaan, kedudukan, hakikatnya adalah pemberian dari Allah Subhanahu wa taala. Orang kaya hendaknya sadar, kekayaan itu datangnya dari Allah. Orang yang mempunyai kedudukan hendaknya sadar, bahwa kedudukan itu adalah amanah di sisi Allah yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. Bukan untuk disombongkan sama sekali.

Orang yang berilmu segera sadar bahwa ilmunya itu bukan untuk disombongkan, tapi untuk menjadikan ia lebih tawadhu dan lebih takut kepada Allah Subhanahu wa Taala. Orang yang beramal shalih, banyaknya amal shalih, bukan untuk dibanggakan dan disombongkan. Akan tetapi untuk membuat ia lebih dekat kepada Allah.

Maka, saudaraku aazzaniyallah waiyyakum, orang yang sombong itu pada hakikatnya tidak menyadari jati dirinya, tidak menyadari siapa dia sebenarnya. Bahwa dia hakikatnya adalah seorang hamba, hamba yang tidak punya dan tidak memiliki apa-apa. Dia faqir kepada Allah, faqir kepada rahmat-Nya dan karunia-Nya. Lalu untuk apa ia menyombongkan diri dengan segala kelebihannya sementara pada hakikatnya ia tidak memiliki apapun. Allah taala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Kalian adalah fakir kepada Allah. Adapun Allah, maka Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15).

Saudaraku, terkadang penting sekali untuk melihat bagaimana pemberian Allah kepada kita dan kekuasaan Allah yang berikan kepada kita. Allah Subhanahu wa Taala menciptakan alam semesta yang begitu luar biasa, keindahan alam yang luar biasa, semua itu milik Allah. Allah menciptakan tubuh kita dengan bentuk yang indah, Allah Subhanahu wa Taala sediakan bagi kita berbagai macam harta dan kebutuhan, jika seorang hamba menyadari semua ini saya yakin ia akan ber-tawadhu (rendah hati).

Dan tawadhu itu adalah akhlak yang sangat agung. Allah Taala berfirman (yang artinya): “Ibadurrahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu) dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63). Dan Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda: “tidaklah salah seorang di antara kalian ber-tawadhu kecuali Allah akan meninggikannya derajatnya” (HR. Muslim, no.2588).

Bahkan manusia sendiri pun tidak suka kepada orang yang sombong. Ketika kita melihat ada orang yang angkuh, pasti kita tidak suka. Tapi ketika kita melihat orang yang tawadhu, yang tidak menonjolkan kelebihannya di hadapan orang, bahkan ia merasa takut kalau Allah mengadzabnya sekonyong-konyong, itu adalah orang yang Allah jadikan kecintaan kepada dia di hati-hati para hamba karena sikap tawadhu-nya tersebut.

Maka dari itu saudaraku, jika kita diberi Allah Subhanahu wa Taala kelebihan, berhati-hatilah. Segera introspeksi diri, segera periksa hati kita. Kalau Allah Subhanahu wa Taala memberikan kepada kita kekayaan, kedudukan, atau kelebihan dalam beramal shalih, segera periksa hati kita jangan sampai itu menimbulkan kesombongan yang menyebabkan kita terhalang masuk ke dalam surga.[Ustaz Badrusalam, Lc.]

INILAH MOZAIK

4 Panduan Shalat Berjamaah Selama Pandemi Covid-19

Sejumlah negara pun mengeluarkan kebijakan menghentikan shalat berjamaah di masjid.

Menjaga jarak sosial merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah penyebaran pandemi Covid-19 yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, sejumlah negara telah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan shalat berjamaah di masjid karena ibadah ini dilakukan dengan posisi shaf yang rapat.

Beberapa hari lalu, Majelis Ulama Indonesia juga telah mengeluarkan fatwa pelarangan shalat berjamaah dan Shalat Jumat di daerah-daerah darurat Covid-19. Pelarangan ini telah tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020.

Menyikapi hal ini, Dewan Syariah Wahdah Islamiyah juga menerbitkan empat imbauan terkait pelaksanaan Shalat Jumat dan shalat fardu berjamaah di masjid. Imbaun itu dikeluarkan pada 24 Rajab 1441 H atau bertepatan dengan Kamis (19/3) ini ditandatangani oleh Ketua Dewan Syariah Wahdah Islamiyah Ustaz Dr Muhammad Yusran Anshar dan Ustaz Harman Tajang selaku sekretaris Dewan.

Keempat imbauan itu seperti diungkapkan dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (19/3).

1. Penderita maupun orang yang terindikasi Covid-19 diwajibkan untuk mengisolasi diri dan tidak diperkenankan menghadiri Shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid. Orang-orang yang mengalami sakit atau gejala seperit demam, flu dan batuk juga dilarang untuk menghadiri Shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.

2. Orang-orang yang tinggal di daerah terjangkit atau di daerah dengan potensi penularan tinggi diperbolehkan untuk meninggalkan Shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid. Kewajiban Shalat Jumat bisa diganti dengan melaksanakan Shalat Zuhur. Pelaksanaannya dianjurkan tetap berjamaah di rumah masing-masing bersama anggota keluarga.

3. Orang-orang yang tinggal di daerah terkendali atau memiliki potensi penularan rendah diharapkan untuk menjalankan ibadah shalat sebagaimana biasanya. Namun, Dewan Syariah Wahdah Islamiyah tetap mengimbau agar orang-orang tetap waspada dan memperhatikan potensi penyebaran virus.

4. Dewan Syariah Wahdah Islamiyah menyatakan bahwa penetapan status terkendali atau tidak dilakukan dengan merujuk kepada penetapan pihak yang berwenang dengan melibatkan MUI atau ulama dan tokoh masyarakat setempat.

KHAZANAH REPUBLIKA

Hukum Menghadiri Shalat Jamaah dan Shalat Jum’at di Masjid ketika Terjadi Wabah

Di tengah situasi ini, terdapat seruan untuk menghindari dan mengurangi aktivitas-aktivitas pengumpulan massa karena kerumuman massa tersebut dinilai sebagai faktor risiko tinggi terjadinya penularan virus corona.

Upaya Menghentikan Wabah Covid-19

Saat ini, dunia sedang berperang menghadapi pandemi virus SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) yang menyebabkan penyakit Covid-19 (Coronavirus Disease 2019). Sampai tulisan ini ditulis (tanggal 17 Maret 2020), virus SARS-CoV-2 telah mewabah di 150 negara (teritori), dengan jumlah orang yang terinfeksi mencapai 179,112 dan dengan angka kematian sebanyak 7,426 orang. Situasi ini terjadi hanya dalam waktu sekitar 2,5 bulan saja. [1]

Oleh karena itu, WHO memutuskan untuk menetapkan kondisi pandemi, kondisi wabah yang paling gawat karena menunjukkan penyebaran yang sangat luas di seluruh dunia dan sangat cepatnya penyebaran dan penularan penyakit dari manusia ke manusia (direct human-to-human transmission).

Di tengah situasi ini, terdapat seruan untuk menghindari dan mengurangi aktivitas-aktivitas pengumpulan massa karena kerumuman massa tersebut dinilai sebagai faktor risiko tinggi terjadinya penularan. Tentu saja, kondisi itu akan mempengaruhi aktivitas ibadah kaum muslimin, di antaranya adalah shalat jum’at dan shalat berjamaah di masjid. Tulisan ini akan membahas secara singkat hukum menghadiri shalat jum’at dan shalat berjamaah di masjid ketika terjadi pandemi SARS-CoV-2. 

Bolehkah Meninggalkan Shalat Berjamaah dan Shalat Jum’at di Masjid Ketika Terjadi Pandemi SARS-CoV-2?

Hukum menghadiri shalat berjamaah di masjid adalah fardhu ‘ain bagi laki-laki [2]. Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi (‘udzur syar’i) yang menyebabkan kewajiban tersebut menjadi gugur, di antaranya adalah hujan deras, sakit, angin kencang, dan sebagainya. Ketika terjadi pandemi SARS-CoV-2, terdapat dua kondisi yang mungkin menimpa seseorang:

Kondisi pertama, jika orang tersebut terbukti positif terinfeksi SARS-CoV-2.

Pada asalnya, jika seseorang sakit, itu adalah ‘udzur yang menyebabkan dirinya boleh meninggalkan shalat berjamaah di masjid. 

Ibnuda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika sakit beliau bersabda, “Perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang.” (HR. Bukhari no. 7303)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhu juga mengatakan,

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit.” (HR. Muslim no. 654)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat Jum’at,

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang, hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Hadits-hadits di atas tegas menunjukkan bahwa orang sakit tidak wajib shalat jama’ah di masjid atuapun shalat Jum’at. Al-Mardawi rahimahullah berkata,

وَيُعْذَرُ في تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ وَيُعْذَرُ أَيْضًا في تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Orang sakit diberi ‘udzur untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah tanpa ada perselisihan. Dan juga diberi ‘udzur (untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah) karena khawatir terkena penyakit.” (Al-Inshaaf, 2: 300)

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,

لا أعلم خلافا بين أهل العلم أن للمريض أن يتخلف عن الجماعات من أجل المرض

“Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di antara para ulama bahwa orang sakit boleh meninggalkan shalat berjamaah karena penyakitnya.” (Asy-Syarh Al-Kabiir li Ibni Qudamah, 2: 82) 

Akan tetapi, boleh jika dia menginginkan untuk tetap shalat berjamaah di masjid selama tidak membahayakan dirinya. Sebagaimana perkataan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Dan sesungguhnya ada orang -dari kalangan sahabat di zaman beliau- (yang sakit tidak bisa jalan) dipapah di antara dua orang sampai diberdirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654)

Akan tetapi, jika penyakitnya tersebut adalah penyakit menular (semisal penyakit Covid-19), maka hukumnya menjadi haram. Hal ini dengan beberapa pertimbangan berikut ini:

Pertama, tidak boleh menghadiri shalat jamaah jika kehadirannya menyakiti kaum muslimin. 

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa makan bawang merah, bawang putih, serta bawang bakung, janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga membuat manusia merasa tersakiti (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)

Juga dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا، فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah dia memisahkan diri dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” (HR. Muslim no. 564)

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang makan bawang merah dan bawang putih dilarang mengikuti shalat jama’ah di masjid karena alasan akan mengganggu dan menyakiti kaum muslimin dengan bau tidak sedap yang ditimbulkan. 

Jika menyakiti kaum muslimin dengan bau tidak sedap saja menyebabkan seseorang dilarang menghadiri shalat berjamaah di masjid, lalu bagaimana lagi jika dia mengidap penyakit menular berbahaya yang bisa merenggut nyawa? Tentu larangannya akan lebih keras lagi. 

Kedua, mengingat kaidah “tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain, baik sengaja atau tidak sengaja”.

Terdapat kaidah yang sudah dikenal,

لا ضرر و لا ضرار

 “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain, baik sengaja ataupun tidak sengaja.”

Orang yang memiliki penyakit menular berbahaya, akan menimbulkan bahaya bagi orang lain jika hadir shalat berjamaah di masjid. Apalagi jika di masjid tersebut terdapat orang-orang berisiko tinggi terinfeksi SARS-CoV-2 dengan komplikasi serius, seperti orang-orang berusia lebih dari 60 tahun. 

Ketiga, mengingat kaidah “menolak mudharat lebih didahulukan daripada meraih manfaat”.

Juga mengingat kaidah fiqhiyyah lainnya yang sudah dikenal,

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

“Menolak potensi bahaya (mudharat) itu lebih didahulukan daripada meraih manfaat.” 

Mendapatkan pahala shalat berjamaah merupakan suatu manfaat besar yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, jika hal itu dapat menimbulkan mudharat berupa semakin meluasnya penyakit menular yang mengancam jiwa, maka mudharat tersebut lebih didahulukan. Sehingga tidak boleh bagi orang tersebut menghadiri shalat berjamaah di masjid karena akan menyebabkan mudharat bagi kaum muslimin. 

Keempat, mengingat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk,

لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Jangan dikumpulkan (unta) yang sakit dengan (unta) yang sehat.” (HR. Bukhari no. 5771 dan Muslim no. 2221)

Jika orang yang positif Covid-19 tetap berkumpul bersama jamaah kaum muslimin, tentu akan bertentangan dengan isi kandungan hadits di atas.

Kelima, orang-orang yang positif menderita Covid-19 akan diisolasi oleh petugas kesehatan atas instruksi pemerintah, sehingga wajib taat. 

Dalam kondisi pandemi, pasien yang terkena wabah perlu diisolasi agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain. Isolasi tersebut memang akan membuat tidak nyaman bagi si pasien, karena dia tidak bisa beraktivitas secara bebas, termasuk tidak bisa ke masjid. Akan tetapi, itu hanyalah mudharat yang sifatnya terbatas untuk si pasien saja. Sedangkan ancaman mudharat (dharar) bagi orang banyak harus lebih diutamakan, mengingat kaidah:

يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر العام

“Membiarkan dharar yang dampaknya terbatas untuk menghilangkan dharar yang dampaknya lebih luas.” 

Ketika diisolasi, pasien tersebut bisa jadi diisolasi di dalam rumah sakit atau diisolasi di dalam rumah masing-masing, sehingga tidak mungkin ke masjid.

Keenam, ‘udzur-‘udzur yang menyebabkan bolehnya tidak shalat berjamaah juga menyebabkan bolehnya tidak shalat Jum’at. 

Dalam kitab As-Siraj Al-Wahhaaj Syarh Matni Al-Minhaaj (1: 84), Al-Ghamrawi rahimahullah berkata,

وَلَا جُمُعَةَ عَلَى مَعْذُورٍ بِمُرَخِّصٍ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ

“Tidak ada (kewajiban) shalat Jum’at bagi orang yang mendapatkan ‘udzur dengan keringanan sebagaimana yang bisa (membolehkan meninggalkan) shalat berjamaah.”

An-Nawawi rahimahullah berkata,

كل ما أمكن تصوره في الجمعة من الاعذار المرخصة في ترك الجماعة، يرخص في ترك الجمعة.

“Semua perkara yang bisa digambarkan terjadi di waktu shalat Jum’at berupa ‘udzur-‘udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jamaah, maka perkara tersebut bisa membolehkan meninggalkan shalat Jum’at.” (Raudhatuth Thalibiin, 1: 540)

Ketujuh, jika selama sehat orang tersebut terbiasa menghadiri shalat berjamaah di masjid, dia akan tetap mendapatkan pahala meskipun dia tidak bisa ke masjid karena terjangkit Covid-19.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari no. 2996)

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 menyatakan,

“Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.”

Dari fatwa di atas bisa kita pahami bahwa tidak hanya yang terbukti positif (confirmed case), akan tetapi orang-orang dengan status suspect atau dalam pengawasan, sebaiknya tidak menghadiri shalat jamaah dan shalat Jum’at di masjid.

Kondisi kedua, jika orang tersebut belum terbukti positif terinfeksi SARS-CoV-2 (masih sehat).

Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, terdapat beberapa kondisi (‘udzur syar’i) yang menyebabkan kewajiban shalat berjamaah menjadi gugur, di antaranya adalah hujan deras, sakit, angin kencang, dan sebagainya. Adanya wabah, apalagi level pandemi, tentu bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan ‘udzur-‘udzur tersebut, boleh tidak shalat berjamaah di masjid. 

Di antara alasan lain, boleh meninggalkan shalat berjamaah ketika makanan sudah dihidangkan. Dalam kondisi perut sangat lapar (sangat membutuhkan makanan) dan makanan pun sudah terhidang, seseorang diperbolehkan menyantap makanan terlebih dahulu dan meninggalkan shalat jamaah. Namun dengan catatan, tidak dijadikan sebagai kebiasaan [3]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ العَشَاءُ، فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ

“Jika shalat hampir ditegakkan (iqamah sudah dikumandangkan, pen.), sedangkan makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR. Bukhari no. 5465 dan Muslim no. 557)

Hikmahnya adalah untuk menghilangkan semua sebab yang dapat mengganggu ke-khusyu’-an shalat kita, di antaranya adalah adanya nafsu dan kebutuhan terhadap makanan dan minuman. Jika demikian, maka ketakutan akan terkena penyakit juga dapat mengganggu ke-khusyu’-an shalat. Lebih-lebih rasa takut tersebut adalah rasa takut yang beralasan karena pandemi Covid-19 ini bisa menyebabkan kematian atau sakit berat.

Dan bolehnya tidak shalat berjamaah di masjid juga sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu:

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

“Menolak potensi bahaya (mudharat) itu lebih didahulukan daripada meraih manfaat.” 

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 merinci dalam dua kondisi wabah di suatu wilayah,

Pertama, “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi, berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.”

Kedua: “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.”

Bahkan bisa jadi, kaum muslimin tidak diperbolehkan menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjamaah jika kondisi semakin gawat.

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 menyatakan,

“Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan banyak orang dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.” 

Demikian pula ulama Lajnah Daimah telah mengeluarkan fatwa khusus,

وبناء على ما تقدم فإنه يسوغ شرعاً إيقاف صلاة الجمعة والجماعة لجميع الفروض في المساجد والاكتفاء برفع الأذان، ويستثنى من ذلك الحرمان الشريفان، وتكون أبواب المساجد مغلقة مؤقتاً، وعندئذ فإن شعيرة الأذان ترفع في المساجد، ويقال في الأذان: صلوا في بيوتكم؛ لحديث بن عباس أنه قال لمؤذنه ذلك ورفعه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، والحديث أخرجه البخاري ومسلم. وتصلى الجمعة ظهراً أربع ركعات في البيوت.

“Berdasarkan pertimbangan sebelumnya, maka dibolehkan secara syariat untuk meniadakan shalat Jum’at dan shalat jamaah untuk semua shalat wajib di masjid dan mencukupkan diri dengan mengumandangkan azan. Dikecualikan dari hal ini adalah masjidil haram dan masjid nabawi. Sehingga pintu-pintu masjid ditutup sementara waktu. Dalam masa ini, syariat azan dikumandangkan di masjid. Dan dikatakan ketiak azan,

صلوا في بيوتكم

“Shalatlah di rumah-rumah kalian.”

Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata kepada muadzinnya, dan status hadits tersebut tersebut adalah marfu’ (berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. (Sebagai pengganti shalat jum’at), maka shalat zuhur empat rakaat di rumah masing-masing.” [4]

Demikian pembahasan ini, semoga Allah Ta’ala segera mengangkat wabah ini dari kaum muslimin.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55274-hukum-menghadiri-shalat-jamaah-dan-shalat-jumat-di-masjid-ketika-terjadi-wabah.html

Dalam Hal Apa Saja Kewajiban Sholat Jumat dan Berjamaah di Masjid Gugur?

Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa terkait pelaksanaan Sholat Jumat dan sholat berjamaah lain, dengan adanya wabah virus corona. Tujuan fatwa memudahkan muslim tetap menunaikan kewajiban pada Allah SWT, dengan menekan risiko tertular COVID-19 atau memperburuk kondisi yang sudah terinfeksi.

“Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan salat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya,” tulis MUI.

Dalam buku Fiqih Islam wa Adillatuhu karya Prof Dr Wahbah Az Zuhaili halaman 303 sampai 306, ada bagian yang menjelaskan alasan boleh meninggalkan sholat berjamaah di masjid dan Sholat Jumat. Berikut penjelasannya,

A. Sakit atau berada di situasi yang menyulitkan pergi sholat, misal hujan

Alasan ini juga berlaku bagi orang yang sedang merawat yang lain meski bukan kerabat atau sejenisnya. Pertimbangannya adalah jangan sampai menimbulkan kesulitan dan membantu yang sedang kesusahan. Namun kondisi ini bukan berarti menghilangkan kewajiban untuk sholat fardhu.

Tentunya, alasan tidak berlaku bagi seseorang dengan sakit ringan yang masih memungkinkannya pergi dan sholat di masjid. Allah SWT telah mengatakan dalam firmanNya dalam surat Al-Hajj ayat 78, tidak akan menyulitkan hamba yang hendak beribadah.

وَجَٰهِدُوا۟ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ ۚ هُوَ ٱجْتَبَىٰكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَٰهِيمَ ۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِى هَٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ ۚ فَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعْتَصِمُوا۟ بِٱللَّهِ هُوَ مَوْلَىٰكُمْ ۖ فَنِعْمَ ٱلْمَوْلَىٰ وَنِعْمَ ٱلنَّصِيرُ

Arab latin: Wa jāhidụ fillāhi ḥaqqa jihādih, huwajtabākum wa mā ja’ala ‘alaikum fid-dīni min ḥaraj, millata abīkum ibrāhīm, huwa sammākumul-muslimīna ming qablu wa fī hāżā liyakụnar-rasụlu syahīdan ‘alaikum wa takụnụ syuhadā`a ‘alan-nāsi fa aqīmuṣ-ṣalāta wa ātuz-zakāta wa’taṣimụ billāh, huwa maulākum, fa ni’mal-maulā wa ni’man-naṣīr

Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

B. Merasa khawatir ada bahaya

Kewajiban Sholat Jumat dan sholat berjamaah gugur pada orang yang merasa khawatir ada bahaya terhadap diri, harta, harga diri, atau mengalami sakit seperti yang disebutkan sebelumnya. Alasan ini terdapat dalam hadist yang diriwayatkan Abu Daud.

مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَال : خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ

Artinya: Orang yang mendengar panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali udzur. Seseorang bertanya,”Udzur itu apa saja?”. Beliau SAW menjawab,”Rasa takut atau sakit.” (HR Abu Daud).

Untuk orang sakit harus dipertimbangkan tidak berbahaya baginya jika harus ke masjid. Jika memang tidak berbahaya maka bisa ke masjid dengan transportasi atau bantuan yang tidak menyulitkan orang sekitar. Untuk mereka yang buta harus ada yang menuntun selama perjalanan ke masjid, sholat, dan setelahnya.

C. Pertimbangan cuaca

Hujan, tanah berair, cuaca sangat dingin, panas waktu dzuhur, angin kencang di malam bukan siang hari, dan suasana yang sangat gelap. Salju dan hujan es juga masuk dalam pertimbangan yang membolehkan tidak melaksanakan Sholat Jumat dan sholat berjamaah.

Pertimbangan ini tercantum dalam hadist yang dinarasikan Nafi’ dengan derjat shahih.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ‏.‏ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ

Artinya: Seperti dinarasikan Nafi: “Di suatu malam yang dingin, Ibnu ‘Umar mengumandangkan adzan ketika hendak sholat di Dajnan dan mengatakan Salu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu). Dia mengatakan, Rasulullah SAW pernah menyuruh muadzin mengumandangkan Salu fi rihaalikum (sholatlah di rumahmu) saat adzan di malam yang hujan atau sangat dingin dalam perjalanan.” (HR Bukhari).

D. Sedang buang hajat

Alasan ini berlaku untuk buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) yang dikhawtirkan mengganggu pelaksanaan sholat. Karena itu, muslim sebaiknya menuntaskan BAB dan BAK terlebih dulu baru kemudian sholat. Kondisi ini memudahkan muslim untuk sholat dengan lebih baik dan sungguh-sungguh.

Ajakan untuk tidak buru-buru terdapat dalam hadits yang dinarasikan Abu Hurairah, dengan derajat shahih.

إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَلاَ تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا ‏”‏ ‏.‏

Artinya: Rasulullah SAW berkata, “Ketika tiba waktunya sholat jangan terburu-buru, berjalankan dengan perlahan dan penuh hormay. Apapun yang bisa kamu dapatkan maka doakanlah, dan apapun yang dapat diperbaiki maka perbaikilah.” (HR An-Nasa’i).

Rasa ngantuk dan lelah menjadi pertimbangan selanjutnya untuk meninggalkan Sholat Jumat dan sholat berjamaah. Namun Prof Wahbah mengatakan, mereka yang bisa melawan rasa lelah dan ngantuk untuk bisa Sholat Jumat dan sholat berjamaah akan lebih disukai.

E. Makan sesuatu yang beraroma tidak sedap

Alasan berikutnya untuk meninggalkan Sholat Jumat dan sholat berjamaah adalah makan sesuatu yang bau, menjijikkan, dan sulit dihilangkan bekasnya. Di zaman Nabi Muhammad SAW contoh makanan tersebut adalah bawang merah dan bawang putih, yang saking baunya hingga menjadi suatu hadist.

Hadist ini dinarasikan Mu’awiyah bin Qurrah dengan derajat shahih.

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ قُرَّةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ هَاتَيْنِ الشَّجَرَتَيْنِ وَقَالَ ‏”‏ مَنْ أَكَلَهُمَا فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا ‏”‏ ‏.‏ وَقَالَ ‏”‏ إِنْ كُنْتُمْ لاَ بُدَّ آكِلِيهِمَا فَأَمِيتُوهُمَا طَبْخًا ‏”‏ ‏.‏ قَالَ يَعْنِي الْبَصَلَ وَالثُّومَ

Artinya: Rasulullah SAW melarang dua tanaman yaitu bawang putih (garlic) dan bawang bombay (onion) dan dia berkata, “Siapa saja yang makan dua tanaman ini jangan mendekati masjid kami. Jika perlu mengkonsumsi keduanya pastikan termasak sempura. Keduanya adalah bawang putih dan bawang bombay.” (HR Abu Daud).

Konsumsi makanan beraroma tajam berisiko menimbulkan bau napas atau badan yang kurang sedap. Aroma inilah yang dikhawatirkan mengganggu jamaah lain yang sedang fokus beribadah. Karena itu selain memasak makanan berbau tajam dengan sempurna, pastikan sudah membersihkan diri sehingga tidak tersisa bau kurang sedap.

F. Tertahan di suatu tempat

Muslim tak perlu khawatir terhadap kewajibannya melaksanakan Sholat Jumat atau sholat berjamaah, jika tertahan di suatu tempat. Kewajiban tersebut gugur dengan pertimbangan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 286,

ا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

Arab latin: Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā, lahā mā kasabat wa ‘alaihā maktasabat, rabbanā lā tu`ākhiżnā in nasīnā au akhṭa`nā, rabbanā wa lā taḥmil ‘alainā iṣrang kamā ḥamaltahụ ‘alallażīna ming qablinā, rabbanā wa lā tuḥammilnā mā lā ṭāqata lanā bih, wa’fu ‘annā, wagfir lanā, war-ḥamnā, anta maulānā fanṣurnā ‘alal-qaumil-kāfirīn

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.

Pakar Ilmu Tafsir Al Quran, Profesor KH Quraish Shihab mengatakan, agama sesungguhnya hadir dengan lima tujuan. Yaitu: memelihara agama itu sendiri, jiwa, akal, harta benda, dan keturunan. Semua yang mengantar pada pemeliharaan hal tersebut merupakan anjuran bahkan kewajiban. Sebaliknya, segala yang menghambat dan mengabaikan tujuan tersebut maka dilarang dalam agama dengan berbagai tingkat larangan.

“Ketika Sholat Jumat berkumpul orang-orang yang bisa mengalami atau memberi penularan pada orang lain. Ulama lalu memberi fatwa tidak dianjurkan sholat berjamaah yang dikhawatirkan memberi dampak buruk bagi kesehatan. Karena itu tidak dianjurkan sholat berjamaah bahkan Sholat Jumat,” kata KH Quraish Shihab dalam rekaman video yang diterima detikcom.

DETIKCOM

Belajar dari Sekelumit Catatan Sejarah Soal Wabah

DALAM kitab “Siyar A’laam al-Nubala'” jilid 18 halaman 311 disebutkan bahwa pada tahun 448 H, telah terjadi wabah hebat di Mesir dan Andalusia (Spanyol). Tak pernah ada wabah sebesar itu di masa-masa sebelumnya. Mesjid-mesjid dikunci tanpa ada seorang pun yang shalat di dalamnya. Tahun itu dikenal dengan sebutan “Tahun Kelaparan Besar.”

Dalam kitab “Al-Bayan” jilid 1 halaman 257 disebutkan bahwa pada tahun 395 telah terjadi wabah dahsyat di Afrika. Saat itu, manusia banyak terlihat sakit, mengunjungi orang sakit, sibuk menguburkan jenazah dan bertakziyah. Sungguh tahun itu adalah tahun tragedi mengerikan. Tak hanya masyarakat awam, orang alimpun banyak wafat. Wanita dan anak-anak tercatat sebagai bagian yang sangat banyak meninggal. Masjid di kota Qairuwan kosong melompong. Kota ini layak disebut kota mati.

Dalam kitab “Al-Bidayah wa al-Nihayah” jilid 12 halaman 70 disebutkan bahwa pada tahun 439 H telah terjadi wabah parah di Iran yang disebabkan oleh bangkai binatang yang tak terurus dengan baik. Karenanya maka matilah banyak manusia. Pasar menjadi sepi, barang-barang yang dibutuhkan oleh mereka yang sakit tidaklah tersedia. Masjid menjadi kosong, pendudukpun menjadi sedikit. Krisis luar biasa terjadi.

Dalam kitab “Inba’ al-Ghamar” jilid 3 halaman 326 dikisahkan bahwa pada tahun 827 H telah terjadi wabah meluas di Mekah. Setiap hari ada sekitar 40 orang yang meinggal dunia. Bahkan pada bulan Rabi’u al-Awwal ada 1700 orang yang meninggal dunia. Pada hari-hari itu, orang yang shalat di Masjidil Haram hanyalah seorang imam dan 2 orang makmum. Di tempat lain malah tak ada yang menjadi imam shalat karena memang tak ada makmumnya sama sekali.

Itulah sekelumit kisah sejarah tentang wabah. Ada ribuan kisah lainnya yang tak mungkin diungkap di sini. Wabah-wabah seperti ini menyadarkan manusia akan kelemahan dirinya, mengajari manusia untuk tak sombong dan arogan seakan bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Wabah-wabah seperti ini mengajarkan kepada kita betapa kita senantiasa perlu kembali kepada Allah, senantiasa membutuhkan pertolonganNya. Masihkah tersisa kesombongan dan arogansi dalam diri kita? Mari kita bermuhasabah.

Bertaubat, beristighfar dan bertawakkal adalah jalan tepat menghadapi wabah seperti yang terjadi kini, Virus Corona. Sertai dengan upaya dzahir berupa menjadi sebab untuk jauh dan selamat serta sembuh jika sudah terjangkit wabah. Taatlah pada pengaturan pemerintah dan tutuplah segala jalan yang memungkinkan menjadi jalur penularan wabah ini. Salam, AIM, Pengasuh Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Definisi Salat Khusyuk sesuai Contoh Rasulullah

“RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri tanpa menolah.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Khuzaemah)

Bahkan beliau pun juga pernah berjalan membukakan pintu untuk Aisyah istrinya, padahal beliau dalam keadaan sedang melakukan salat sunah. Sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut :

Dari Aisyah radhiyalahuanha berkata,

“Aku minta dibukakan pintu oleh Rasulullah padahal beliau sedang salat sunah, sedangkan pintu ada di arah kiblat. Beliau berjalan ke kanannya atau ke kirinya dan membuka pintu kemudian kembali ke tempat salatnya.” (HR. An-Nasa’i)

Dengan semua fakta di atas, masihkah kita akan mengatakan bahwa salat khusyu’ itu harus selalu berupa kontemplasi ritual tertentu?

Haruskah salat khusyu’ itu membuat pelakunya seolah meninggalkan alam nyata menuju alam gaib tertentu, lalu bertemu Allah Ta’ala seolah pergi menuju sidratil muntaha bermikraj?

Benarkah salat khusyu’ itu harus membuat seseorang tidak ingat apa-apa di dalam benaknya, kecuali hanya ada wujud Allah saja? Benarkah salat khusyu’ itu harus membuat seseorang bersatu kepada Allah?

Kalau kita kaitkan dengan realita dan fakta salat Rasul sendiri, tentu semua asumsi itu menjadi tidak relevan, sebab nabi yang memang tugasnya mengajarkan kita untuk salat, ternyata salatnya tidak seperti yang dibayangkan.

Beliau tidak pernah ‘kehilangan ingatan’ saat salat. Beliau tidak pernah memanjangkan salat saat jadi imam salat berjamaah, kecuali barangkali hanya pada salat subuh, karena fadhilahnya.

Kalaupun diriwayatkan beliau pernah salat sampai bengkak kakinya, maka itu bukan salat wajib, melainkan salat sunah. Dan panjangnya salat beliau bukan karena beliau asyik ‘meninggalkan alam nyata’ lantaran berkontemplasi, namun karena beliau membaca ayat-ayat Alquran dengan jumlah lumayan banyak. Tentunya dengan fasih dan tartil, sebagaimana yang Jibril ajarkan.

Bahkan beliau pernah membaca surat Al-Baqarah (286 ayat), surat Ali Imran (200 ayat) dan An-Nisa (176ayat) hanya dalam satu rakaat. Untuk bisa membaca ayat Quran sebanyak itu, tentu seseorang harus ingat dan hafal apa yang dibaca, serta tentunya memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalam tiap ayat itu. Kalau yang membacanya sibuk ‘berkontemplasi dengan dunia ghaib’, maka tidak mungkin bisa membaca ayat sebanyak itu.

Maka salat khusyu’ itu adalah salat yang mengikuti Rasulullah, baik dalam sifat, rukun, aturan, cara, serta semua gerakan dan bacaannya. Bagaimana Rasul melakukan salat, maka itulah salat khusyu’.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc]

Serial Fiqh Zakat (Bag. 5): Syarat Wajib Zakat (2)

Syarat yang berkaitan dengan pemberi zakat (muzakki)

Islam

Zakat diwajibkan kepada setiap muslim.

Dalil dari al-Qur’an

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Seruan (khithab) dalam perintah berzakat pada ayat di atas ditujukan kepada kaum muslimin, karena merekalah yang akan dibersihkan dan disucikan dengan mengeluarkan zakat. [Al-Muhalla, 4: 4; al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’an, 8: 124]

Dalil dari as-Sunnah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz radhiallahu ‘anhu ke Yaman, beliau berkata, “Ajaklah mereka kepada syahadah (persaksian) bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah. Jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah menaatinya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Nabi menjadikan perintah menunaikan zakat setelah menaati mereka untuk masuk ke dalam Islam. Demikian pula kata ganti (dhamir) pada frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” yang berarti adalah orang-orang kaya yang telah menaati mereka dan masuk ke dalam Islam, di mana zakat juga akan dikembalikan kepada orang-orang fakir mereka (kaum muslimin). [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil ijmak

Sejumlah ulama seperti an-Nawawi dan Ibnu Rusyd mengutip adanya ijmak bahwa zakat diwajibkan kepada seorang muslim. [Al-Majmu’, 5: 326;  Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahih) berdasarkan keumuman dalil al-Quran, as-Sunnah, dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Merdeka

Zakat diwajibkan kepada pemilik harta yang merdeka, bukan budak. Hal ini karena jika dia seorang budak, meski terkadang dapat memiliki harta (al-mukatab), kepemilikannya terhadap harta tidaklah sempurna.

Dalil ijmak

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kewajiban zakat atas setiap orang yang merdeka dan muslim adalah hal yang jelas (zhahir) berdasarkan keumuman dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijmak.” [Al-Majmu’, 5: 326]

Ibnu Rusyd mengatakan, “Adapun kepada siapa zakat itu diwajibkan, maka kaum muslimin bersepakat bahwa zakat diwajibkan kepada setiap muslim yang berakal, memiliki harta yang telah mencapai nishab dengan kepemilikan yang sempurna.” [Bidayah al-Mujtahid, 1: 245]

Hukum zakat atas budak

Tidak ada kewajiban zakat pada seorang budak. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam hal ini. [Al-Mughni, 2: 464; Syarh Mukhtashar Khalil, 2: 181]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Zakat tidaklah wajib kecuali atas setiap orang yang merdeka, muslim, dan memiliki kepemilikan terhadap harta (obyek zakat) yang sempurna. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama dan kami tidak mengetahui ada yang menyelisihinya selain Atha’ dan Abu Tsaur. Mereka berdua mengatakan seorang budak tetap wajib mengeluarkan zakat hartanya.” [Al-Mughni, 2: 464]

Alasannya adalah:

  • Seorang budak tidak memiliki hak kepemilikan. [Hasyiyah Ibnu Abidin, 2: 259]
  • Zakat menuntut adanya pengalihan hak kepemilikan. Seorang yang tidak memiliki hak kepemilikan tidak mungkin mengalihkannya kepada orang lain. [Tabyin al-Haqaiq, 1: 253]

Hukum zakat atas harta al-mukatab

Al-Mukatab adalah budak yang pembebasan dirinya ditetapkan dengan suatu harga tertentu. Apabila budak tersebut bekerja dan menebus dirinya dengan harga tersebut, maka dia dibebaskan. [Aniis al-Fuqaha, 1: 61]

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “al-Mukatab adalah para budak yang membeli kebebasan diri dari pemilik mereka. Kata al-mukatab berasal dari kata al-kitabah, karena dalam perjanjian tercantum tulisan (al-kitabah) antara pemilik dan budak.” [asy-Syarh al-Mumti’, 6: 229]

Zakat tidaklah diwajibkan atas harta al-mukatab. Ulama madzhab yang empat bersepakat akan hal ini. Sebagian ulama mengklaim adanya ijmak. [Badai’ ash-Shanai’, 2: 6; Hasyiyah ad-Dasuqi, 1: 431; al-Majmu’, 5: 326; al-Inshaf, 3: 7; Al-Mughni, 10: 415]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Kesimpulan, tidak ada zakat yang diwajibkan kepada al-mukatab tanpa ada perselisihan pendapat sependek pengetahuan kami.” [Al-Mughni, 10: 415]

Alasan mengapa al-mukatab tidak diwajibkan mengeluarkan zakat adalah karena statusnya adalah budak, maka kepemilikannya terhadap harta tidak sempurna. Karena itu tidak ada kewajiban zakat atas dirinya hingga dibebaskan. [Al-Ijma’, hlm. 47; al-Mughni, 2: 464]

Apakah muzakki dipersyaratkan harus berakal dan dewasa (baligh)?

Berakal dan dewasa bukanlah syarat wajib zakat. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. [Al-Kaafi fi Fiqhi Ahli al-Madinah, 1: 284; Tuhfah al-Muhtaj, 3: 330; al-Mughni, 2: 464]

Dalil al-Qur’an

Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” [QS. at-Taubah: 103]

Firman Allah di atas berlaku umum kepada setiap anak kecil dan dewasa, berakal dan gila. [Al-Muhalla, 4: 4]

Dalil as-Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.” [HR. al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19. Redaksi di atas adalah redaksi al-Bukhari.]

Frasa “أَغْنِيَائِهِمْ” mencakup anak kecil dan orang gila, sebagaimana hal yang sama berlaku pada lafadz “فُقَرَائِهِمْ”. Artinya, sebagaimana zakat itu dibagikan kepada kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa, demikian pula zakat diambil dari harta kaum muslimin, baik yang masih kecil maupun yang telah dewasa. [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 9: 411]

Dalil atsar

Dari al-Qasim bin Muhammad, dia berkata,

كانت عائشةُ رَضِيَ اللهُ عنْهَا تَلِيني أنا وأخًا لي يتيمينِ في حِجْرِها، فكانت تُخرِجُ مِن أموالِنا الزَّكاةَ

“Aku dan saudaraku adalah yatim, dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengasuh kami dan beliau mengeluarkan zakat dari harta kami.” [HR. Malik dalam al-Muwaththa’ 2: 353]

Dalil aqli

  • Zakat diserahkan agar pemberi zakat (muzakki) memperoleh pahala dan agar kalangan fakir memperoleh kenyamanan. Dan anak kecil maupun orang gila termasuk keduanya, yaitu kalangan yang membutuhkan pahala dan juga kenyamanan. Karena itulah, keduanya tetap diwajibkan untuk menafkahi keluarga dan kerabat; serta mereka wajib membebaskan sang ayah apabila misalnya dia  berstatus budak yang berada dalam kepemilikan mereka. dengan begitu, zakat tetap diwajibkan atas harta mereka. [Al-Majmu’, 5: 329]
  • Kewajiban zakat atas harta keduanya dianalogikan dengan status harta mereka yang tetap wajib dikeluarkan untuk menafkahi dan membayar ganti rugi (denda). [Al-Majmu’, 5: 330]
  • Zakat adalah hak fakir yang ada pada harta orang kaya, sehingga kewajiban untuk memenuhinya bersifat setara dan berlaku baik pada mukallaf maupun non-mukallaf (misal anak kecil dan orang gila). [Nihayah al-Muhtaj, 3: 128; asy-Syarh al-Mumti’, 6: 23]

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55163-serial-fiqh-zakat-bag-4-syarat-wajib-zakat-1.html