Aturan Shalat di Rumah Saat Pandemi Corona

Ada beberapa aturan shalat di rumah pada masa pandemi corona saat ini.

Beberapa aturan shalat di rumah saat corona

Pertama: Boleh mengkhususkan tempat shalat tertentu di dalam rumah.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Dulu kebiasaan para salaf, mereka mengambil tempat khusus di rumah untuk shalat.” (Fath Al-Bari li Ibni Rajab, 3:169)

Kedua: Masjid tetap mengumandangkan azan. Sedangkan pelaksanaan shalat di rumah cukup dengan iqamah, lalu shalat.

Beberapa catatan tentang azan dan iqamah:

  1. Hukum azan dan iqamah adalah fardhu kifayah, walau ada beda pendapat terkait hukum ini. Yang menyatakan hukumnya itu fardhu kifayah adalah pendapat ulama Hambali, juga perkataan Muhammad bin Al-Hanafiyyah, satu pendapat dari Malikiyyah, pendapat sebagian ulama Syafiiyyah, pendapat Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Taimiyyah, dan Daud Azh-Zhahiri. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat. hlm. 158.
  2. Hukum shalat tanpa azan dan iqamah tetap sah berdasarkan kesepakatan empat madzhab. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat. hlm. 158.
  3. Wanita tidak mengumandangkan azan dan iqamah. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (1:306) menyatakan, “Aku tidak mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah ini.”
  4. Bagi yang mengumandangkan azan hendaklah mengucapkan “SHOLLUU FII BUYUUTIKUM”, “ALAA SHOLLU FI RIHAALIKUM, “ALAA SHOLLU FIR RIHAAL”, ia bisa mengucapkan sekali atau dua kali, diucapkan di tengah atau bakda lafaz azan yang biasa diucapkan. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan, “Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebut “Alaa shollu fii rihalikum” di tengah azan. Dalam hadits Ibnu Umar, disebut lafaz ini di akhir azan (bakda azan biasanya). Dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafii rahimahullah dalam kitab Al-Umm pada Bab Azan. Begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafiiyyah. Lafaz ini boleh diucapkan setelah azan maupun di tengah-tengah azan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah azan lebih baik, agar lafaz azan yang biasa diucapkan tetap ada.”
  5. Ucapan tambahan “SHOLLUU FII BUYUTIKUM” atau semisalnya tidak perlu dijawab dikarenakan ucapan tersebut hanyalah tambahan dengan maksud tanbih (mengingatkan) bahwa ada keringanan dan kemudahan dalam shalat. Sebagian ulama menyatakan bahwa kalau ucapan tersebut menggantikan hayya ‘alash shalaah, hayya ‘alal falaah, tetap dijawab dengan “LAA HAWLA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH”.

Ketiga: Tidak perlu seorang muslim mendirikan shalat Jumat di rumah.

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menjelaskan, “Menurut kesepakatan ulama, shalat Jumat di rumah tidaklah sah. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sahnya shalat Jumat itu jika dihadiri oleh imam a’zham atau penggantinya. Ulama Malikiyyah menyaratkan bahwa shalat Jumat itu harus dilakukan di Masjid Jami’. Ulama Syafiiyah dan Hambali menyatakan bahwa shalat Jumat itu disyaratkan dengan jumlah empat puluh yang dihadiri oleh orang-orang yang diwajibkan shalat Jumat.” Lihat Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 18.

Yang tepat, jika shalat Jumat ditiadakan karena kondisi wabah corona yang semakin menyebar, shalat Jumat diganti shalat Zhuhur sebanyak empat rakaat.

Keempat: Syaikh ‘Ali bin Yahya Al-Haddadi berkata, “Termasuk bentuk tidak patuh pada pemerintah adalah sebagian orang di kampung berkumpul di suatu rumah tertentu untuk mendirikan shalat. Perbuatan ini juga menyelisihi fatwa para ulama. Tujuan menutup masjid pada saat pandemi ini adalah untuk menghindari perkumpulan. Perkumpulan ini yang menjadi sebab semakin tersebarnya wabah dan berpindah kepada yang lainnya.”

Beberapa poin tentang aturan shalat di rumah saat corona ini dikembangkan dari tulisan Syaikh ‘Ali bin Yahya Al-Haddadi dalam risalah singkat (bentuk PDF) dengan judul “Min Ahkam Ash-Shalaah fi Al-Buyuut wa Masail Tata’alluq bi Kuruunaa”.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24221-aturan-shalat-di-rumah-saat-pandemi-corona.html

Haji Tetap Jalan atau Ditunda? Dubes Saudi: Belum Diputuskan

Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Esam Abid Althagafi, mengatakan, pelaksanaan haji 2020 belum diputuskan.

Semua keputusan terkait pembukaan akses terhadap jamaah haji pun masih dibicarakan lebih jauh oleh Pemerintah Arab Saudi.

Mengingat pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) masih berlangsung di hampir mayoritas dunia, pelaksanaan atau tidaknya haji 2020 menjadi hal yang ditunggu-tunggu umat Muslim.

Namun demikian pada saat ini, Althagafi belum bisa memastikan ada atau tidaknya pelaksanaan haji tersebut. “Kami belum bisa mengkonfrimasi hal tersebut (pelaksanaan haji),” kata Althagafi kepada Republika.co.id, Jumat (1/5).

Dia menjelaskan, seluruh informasi terkait perkembangan pelaksanaan haji akan disampaikan apabila sudah ada keputusan pasti. Setiap negara, kata dia, akan dikabarkan terkait hal itu.

Perwakilan Kementerian Agama (Kemenag), Khoirul Huda Basir mengatakan, pemerintah akan mengikuti seluruh ketetapan yang diputuskan oleh Arab Saudi. Sambil menunggu keputusan tersebut, kata dia, Kemenag diklaim terus berupaya menyiapkan hal-hal yang perlu dipersiapkan.

“Prinsipnya, Indonesia selalu menyiapkan segala sesuatu yang perlu disiapkan sambil kita menunggu pengumuman kepastian dari Pemerintah Arab Saudi,” ujar dia.

Lebih lanjut, terkait dibukanya Haramain, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Dubes Thagafi membenarkan informasi terkait pembukaan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. 

“Betul informasi itu. Insya Allah dalam waktu dekat kedua masjid suci itu akan dibuka kembali,” kata Thagafi. 

Dia menjelaskan bahwa apabila Masjidil Haram dan Nabawi dibuka kembali maka dipastikan Pemerintah Arab Saudi akan menggunakan prosedur yang sangat ketat terhadap pengunjung yang masuk untuk beribadah.

Adapun para pengunjung ataupun jamaah nantinya yang diizinkan masuk hanya mereka yang telah dipastikan terbebas dari virus corona jenis baru (Covid-19).

Terkait dengan waktu pasti dibukanya kembali Masjid Haramain bagi jamaah, pihaknya belum dapat memastikan lebih lanjut. 

Yang pasti, kata dia, apabila proses tahap demi tahap yang tengah dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi telah rampung, maka pengumuman dibukanya kembali Masjid Haramain akan disampaikan.

“Kita akan sama-sama menunggu dalam waktu dekat Masjidil Haram dan Nabawi dibuka kembali. (Jika waktunya tiba) maka informasi ini akan kami sebarkan kepada seluruh jamaah di dunia,” ujar dia.

IHRAM

Muslim London Berusia 100 Tahun Keliling Kumpulkan Sedekah

Sedekah yang ia kumpulkan akan diberi kepada 26 badan amal.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Seorang warga London yang berusia 100 tahun, Dabir Choudhury, berkeliling sebanyak 100 putaran di sekitar taman untuk mengumpulkan sedekah sembari berpuasa. Uang yang terkumpul tersebut akan diberikan kepada 26 badan amal, termasuk yang mengirimkan bantuan ke Gaza, Suriah, dan Yaman. 

Mencapai usia 100 tahun itu sendiri merupakan prestasi yang langka dan menakjubkan. Namun, Dabir telah melakukan sesuatu yang lebih luar biasa dengan berjalan sembari mengumpulkan sedekah dari masyarakat untuk membantu sesama di bulan suci Ramadhan. 

Pria asal Assam, India tersebut awalnya hanya ingin mengumpulkan dana sebesar 1.000 poundsterling atau sekitar Rp 18 juta pada Ahad (26/4) lalu untuk korban Covid-19. Dia kemudian berkeliling 100 putaran di taman umum di dekat rumahnya sambil berpuasa selama Ramadhan.

Dalam sembilan jam pertama, Dabir berhasil mencapai targetnya, dan dalam 48 jam berikutnya donasi mulai mengalir dari seluruh negeri. Saat ini, total donasi atau sedekah yang dikumpulkan Dabir sudah mencapai lebih dari 6.000 poundsterling atau sekitar Rp 110 juta. 

Terkejut dengan hasil yang didapatkan, Dabir kini tidak akan berhenti berjalan untuk membantu para korban Covid-19 dan juga para pengungsi di Timur Tengah. Dia pun berterima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah menyumbangkan sebagian hartanya untuk membantu sesama di bulan Ramadhan.

“Terima kasih atas sumbangan Anda. Saya tidak berjuang sendirian untuk tersenyum pada anak-anak yang kelaparan, kami berjuang bersama. Uang ini akan membantu keluarga yang sangat membutuhkan di Inggris, Bangladesh, dan banyak negara lainnya,” kata Dabir dikutip dari laman Middle East Monitor, Sabtu (2/5).

KHAZANAH REPUBLIKA

Empat Dosa yang Harus Kamu Hindari di Bulan Ramadhan

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bi Abdillah mengatakan:

إِذَا صُمْتَ فَلْيَصُمْ سَمْعُكَ وَبَصَرُكَ وَلِسَانُكَ عَنْ الْكَذِبِ وَالْمَأْثَمِ وَدَعْ أَذَى الْخَادِمِ وَلْيَكُنْ عَلَيْكَ وَقَارٌ وَسَكِيْنَةٌ يَوْمَ صَوْمِكَ وَلَا تَجْعَلْ يَوْمَ فِطْرِكَ وَيَوْمَ صَوْمِكَ سَوَاءً

“Jika anda berpuasa hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu juga berpuasa dari dusta dan dosa. Jangan sakiti budak. Hendaknya saat berpuasa anda memiliki sikap tenang berwibawa. Jangan sikapi hari berpuasa dan hari tidak berpuasa dengan sikap yang sama.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/422 nomor 8852)

Diantara bentuk memuliakan bulan Ramadhan dan kondisi berpuasa adalah dengan memberikan sikap yang berbeda antara saat puasa dan saat tidak berpuasa.

Saat berpuasa hendaknya lebih bersikap hati-hati dengan dosa.

Berbuat dosa itu terlarang baik pada bulan Ramadhan atau pun di luar Ramadhan, saat berpuasa ataupun tidak dalam kondisi berpuasa.

Namun dosa saat di bulan Ramadhan dan dalam kondisi berpuasa itu jauh lebih besar dibandingkan dosa yang dilakukan di luar bulan Ramadhan dan dalam kondisi tidak berpuasa.

Dosa yang dilakukan dalam kondisi berpuasa itu bisa menghilangkan pahala puasa. Akhirnya yang didapat dari puasa hanya lapar dan dahaga semata.

Ada empat dosa yang penting diwaspadai saat puasa:

Pertama: Dosa pendengaran. Waspadai obrolan berisi gunjingan dll.

Kedua: Dosa penglihatan. Waspadai tontonan di YouTube dll.

Ketiga: Dosa lisan terutama dusta.

Keempat: Dosa zalim semisal menyakiti bawahan. Orang yang berpuasa semestinya memiliki sikap tenang berwibawa yaitu tidak guyonan yang berlebihan, tidak teriak-teriak yang tidak perlu, tidak mengejek dan mengolok-olok dll

Moga Allah jadikan puasa penulis dan pembaca tulisan ini benar-benar berkualitas dan jauh lebih baik dibandingkan Ramadhan sebelumnya.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.

Read more https://konsultasisyariah.com/36351-empat-dosa-yang-harus-kamu-hindari-di-bulan-ramadhan.html

Yuk Melakukan Amalan-amalan Ini di Bulan Ramadan

DARI Abu Hurairah RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu; juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasai).

Berikut ini adalah amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Ramadan:

a. Puasa

Allah SWT memerintahkan berpuasa di bulan Ramadan sebagai salah satu rukun Islam. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183).

Rasulullah SAW bersabda: “Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tidak Ilah yang berhak disembah selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul Allah SWT, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan pergi ke Baitul Haram.” (Muttafaqun alaih).

Puasa di bulan Ramadan merupakan penghapus dosa-dosa yang terdahulu apabila dilaksanakan dengan ikhlas berdasarkan iman dan hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya telah lalu.” (Muttafaqun alaih).

b. Membaca Alquran

Membaca Alquran sangat dianjurkan bagi setiap Muslim di setiap waktu dan kesempatan. Rasulullah SAW bersabda: “Bacalah Alquran, sesungguhnya ia datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi ahlinya (yaitu, orang yang membaca, mempelajari dan mengamalkannya). (HR Muslim).

Dan membaca Alquran lebih dianjurkan lagi pada bulan Ramadan, karena pada bulan itulah diturunkannya Alquran.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS al-Baqarah [2]: 185).

Rasulullah SAW selalu memperbanyak membaca Alquran di hari-hari Ramadan, seperti diceritakan dalam hadis Aisyah RA, ia berkata: “Saya tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW membaca Alquran semuanya, salat sepanjang malam, dan puasa sebulan penuh, selain di bulan Ramadan.” (HR Ahmad).

Dalam hadis Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan al-Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan tadarus Alquran bersama Jibril AS di setiap bulan Ramadan.

c. Mendirikan salat Tarawih berjemaah

“Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau salat di masjid, dan salatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Ketika Nabi SWT mengerjakan salat (di malam kedua), banyaklah orang yang salat di belakang beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya. Di malam yang ketiga, jumlah jemaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu Rasulullah SAW keluar dan melaksanakan salatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jemaah, sehingga Rasulullah SAW hanya keluar untuk melaksanakan salat Subuh.

Tatkala selesai salat Subuh, beliau menghadap kepada jemaah kaum Muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda, “Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah sama bagiku, aku merasa khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya.” Rasulullah SAW wafat dan kondisinya tetap seperti ini. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA).

Kemudian, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA, salat Tarawih kembali dilakukan secara berjemaah di Masjid. Dan hal itu disepakati oleh semua sahabat Rasulullah SAW pada masa itu. Wallahu A’lam.

d. Menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam kemuliaan yang lebih baik daripada seribu bulan. Menurut pendapat paling kuat, malam kemuliaan itu terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, terlebih lagi pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan 29. “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS al-Qadar [97]: 3).

Malam itu adalah pelebur dosa-dosa di masa lalu, Rasulullah SAW bersabda: “Dan barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar semata-mata karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Bukhari).

Yang dimaksud dengan menghidupkan lailatul qadar adalah dengan memperbanyak salat malam, membaca Alquran, zikir, berdoa, membaca selawat, tasbih, istighfar, itikaf, dan lainnya. Aisyah RA berkata, Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan lailatul qadar, maka apa yang aku ucapkan? Beliau menjawab, Bacalah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Yang suka mengampuni, ampunilah aku.”

e. Memperbanyak sedekah

Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah, dan Rasul SAW lebih pemurah lagi di bulan Ramadan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan saat Jibril AS menemui beliau, ” (HR Bukhari).

f. Melaksanakan ibadah umrah

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadan adalah melaksanakan ibadah umrah. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nilai pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji. “Umrah di bulan Ramadan sama dengan ibadah haji.”

Demikianlah beberapa ibadah penting yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan di bulan Ramadan dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang mendapat taufik dari Allah SWT untuk mengamalkannya, dan mendapatkan kebaikan serta keberkahan bulan Ramadan.

g. Memperbanyak Iktikaf

Iktikaf dalam bahasa adalah berdiam diri atau menahan diri pada suatu tempat, tanpa memisahkan diri. Sedang dalam istilah syari, itikaf berarti berdiam di Masjid untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara tertentu, sebagaimana telah diatur oleh syariat.

Itikaf merupakan salah satu perbuatan yang dikerjakan Rasulullah SAW, seperti yang diceritakan oleh Aisyah RA: “Sesungguhnya Nabi SAW selalu itikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan sampai meninggal dunia, kemudian istri-istri beliau beritikaf sesudah beliau.” (Muttafaqun alaih).[]

INILAH MOZAIK

Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Ayat-Ayat Shiyam (Bag. 1)

Tafsir QS. al-Baqarah ayat 184

Allah Ta’ala berfirman,

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah: 184]

Makna Ayat

Puasa ini diwajibkan atas kalian, wahai orang-orang beriman, hanya pada hari-hari yang berbilang, yang masanya dapat dihitung, yaitu di hari-hari bulan Ramadhan. Apabila di antara kalian ada yang sakit, bersafar, kemudian tidak berpuasa, maka dia berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar bulan Ramadhan). Dan setiap orang yang mampu berpuasa, namun tidak menunaikannya, berkewajiban menyerahkan fidyah berupa makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Apabila seseorang mengetahui kebaikan yang terdapat dalam ibadah puasa, sungguh dia tidak akan meremehkannya [Tafsir Ibnu Jarir 3/156-186; Tafsir Ibnu Katsir 1/498-500; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/320-324].  

Ketentuan yang disebutkan dalam ayat ini telah dianulir (mansukh). Tatkala Allah menetapkan kewajiban berpuasa di awal perkembangan Islam, umat muslim diberi pilihan antara melaksanakan puasa dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Apabila dia memilih berpuasa, sungguh hal itu lebih baik baginya. Kemudian Allah Ta’ala menghapus opsi tersebut bagi orang yang mampu berpuasa dengan firman-Nya,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” [QS. al-Baqarah: 185]

Dengan demikian, kewajiban berpuasa ditetapkan bagi orang yang mampu menjalankan. Sedangkan bagi orang yang tidak mampu menjalankannya, dia boleh berbuka dan berkewajiban memberi makan orang miskin [An-Nasikh wa al-Mansukh hlm. 26; Syarh Umdah al-Fiqh – kitab ash-Shiyam- karya Ibnu Taimiyah 1/262-264; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 31/250; Tafsir Ibnu Katsir 1/499-500]. 

Faidah-Faidah Ayat

  1. Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”, terdapat penetapan bahwa penyaluran fidyah hanya diberikan kepada orang miskin, sehingga berbeda dengan penyaluran zakat [Al-Iklil hlm. 39].
  2. Terdapat perbedaan tingkatan dalam amal berlandaskan firman Allah (yang artinya), “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Tentunya perbedaan tingkatan dalam suatu amal melazimkan adanya perbedaan kedudukan pelakunya di sisi Allah [Tafsir Ibnu Utsaimin – al-Fatihah wa al-Baqarah – 2/330]. 

Aspek Balaghah pada Ayat

Firman Allah “أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ” diungkapkan dengan kata “أَيَّام” yang merupakan bentuk jamak qillah dan disifati dengan kata “مَعْدُودَاتٍ” yang juga berbentuk jamak qillah. Hal ini dimaksudkan sebagai isyarat bahwa berpuasa di bulan Ramadhan bagi hamba adalah hal yang ringan dan mudah. Hal ini karena hari-hari berpuasa dibatasi oleh bilangan yang dapat dihitung dan bukan dilaksanakan dalam waktu yang lama yang tidak dibatasi oleh bilangan [Tafsir Abu Hayyan 2/180; Tafsir Ibnu Asyur 2/161].

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56273-ayat-ayat-shiyam-bag-2.html

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari Ke-9)

Hari ini kita akan merenungkan sebuah ayat dari Firman Allah swt :

ٱسۡتَجِيبُواْ لِرَبِّكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا مَرَدَّ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِۚ مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإٖ يَوۡمَئِذٖ وَمَا لَكُم مِّن نَّكِيرٖ

“Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (atas perintah dari Allah). Pada hari itu kamu tidak memperoleh tempat berlindung dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).” (QS.Asy-Syura:47)

Ayat ini menceritakan tentang kondisi di Hari Kiamat dan bagaimana manusia akan menghadapi dahsyatnya hari tersebut.

Mari kita renungkan bagian demi bagian dari ayat ini.

(1)

ٱسۡتَجِيبُواْ لِرَبِّكُم

“Patuhilah seruan Tuhanmu..”

Sebuah seruan Allah untuk hamba-Nya agar mengikuti perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Seruan ini adalah seruan cinta yang di dasari oleh kasih sayang Allah kepada setiap hamba-Nya. Karena Allah swt tidak ingin melihat hamba-Nya terjerumus dalam kehancuran dan kesengsaraan.

(2)

مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٌ لَّا مَرَدَّ لَهُۥ مِنَ ٱللَّهِۚ

“Sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (atas perintah dari Allah). “

Hari itu adalah hari kiamat. Hari yang tidak diragukan kedatangannya. Hari yang tiada seorang pun yang bisa lari darinya. Hari di saat tak ada beda antara yang kaya dan yang miskin, yang hitam dan yang putih, yang kuat dan yang lemah. Semuanya dalam keadaan ketakutan menanti hasil dari amalnya di dunia.

(3)

مَا لَكُم مِّن مَّلۡجَإٖ يَوۡمَئِذٖ

“Pada hari itu kamu tidak memperoleh tempat berlindung.”

Hari itu tiada tempat bagi siapapun untuk berlindung dari bahaya yang akan menimpanya. Tiada penolong yang mampu melindunginya dari adzab. Semua akan merasakan akibat dari apa yang mereka lakukan di dunia.

(4)

وَمَا لَكُم مِّن نَّكِيرٖ

“Dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).”

Hari itu tiada seorang pun yang bisa mengingkari apa yang telah mereka lakukan. Tidak ada yang bisa di suap, tidak ada alasan yang di terima. Semua akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang ia lakukan di dunia.

Maka kesimpulan umum dari ayat ini adalah bahwa Allah swt meminta hamba-Nya untuk mendengar dan mengikuti seruan-Nya. Mengikuti syariat yang di bawa oleh para Nabi dan penerusnya. Ikutilah mereka sebelum semuanya terlambat. Sebelum hari itu akan datang dan hanya tersisa penyesalan.

إِنَّ مَا تُوعَدُونَ لَأٓتٖۖ وَمَآ أَنتُم بِمُعۡجِزِينَ

“Sesungguhnya apa pun yang dijanjikan kepadamu pasti datang dan kamu tidak mampu menolaknya.” (QS.Al-An’am:134)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Amalan Sederhana yang Selamatkan Muslim dari Siksa Kubur

Terdapat amalan sederhana yang menyelematkan manusia dari siksa kubur.

Azab kubur merupakan salah satu sanksi Allah SWT bagi mereka yang selama hidup di dunia melakukan tindak perbuatan dosa. 

Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Ahwal memberikan resep sederhana agar terhindar dari azab kubur. Menurutnya, kunci yang bisa menyelamatkan seseorang dari siksa kubur adalah amal saleh yang dikerjakan sepanjang hidupnya di dunia.

“Dan, barang siapa yang beramal saleh, maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS ar-Ruum [30]: 44). Merujuk pada pendapat mujahid, tempat menyenangkan yang dimaksud ialah “kediaman” yang nyaman selama di alam barzah.

Fakta ini juga dipertegas dalam hadits riwayat Abu Hurairah. Disebutkan bahwa ketika mayat telah diletakkan di kuburannya, ia mendengar gesekan sandal handai tolan yang meninggalkannya sendirian.

Bila ia orang beriman maka amalan sholat akan berada di atas kepalanya, puasa di sebelah kanannya, dan zakat ada di samping kirinya. Sedangkan, amalan lainnya, seperti sedekah, silaturahim, dan perbuatan baik ada di sekitar kedua kakinya. Masing-masing akan menjadi saksi dan pelindung baginya.

Pada pengujung karyanya, Al Baihaqi yang terkenal dengan mahakaryanya, as-Sunan al-Kubra dan Dalail an-Nubuwwah, menukil beberapa riwayat yang mengisahkan tentang rasa takut dan harapan besar dari para salaf agar terhindar dari siksa neraka.

Padahal, melihat hitungan matematis, tingkat kesalehan spiritual mereka terbilang mumpuni. Ini tak lain menggambarkan ketaatan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Sebut saja, misalnya, pendiri mazhab teolog Asy’ariyah, Abu Musa al-As’yari. Ia meminta agar dijauhkan dari siksa neraka. Ia bahkan memerintahkan agar kedalaman kuburnya kelak ditambahkan. “Dalamkanlah liang lahatku,” katanya.

Al-Baihaqi yang tutup usia pada umur 74 tahun itu mengutip kisah Abu ad-Darda’. Ketika sahabat Nabi tersebut menderita sakit, seorang sahabatnya datang. Lelaki itu berkata, “Wahai Abu ad-Darda’, sesungguhnya engkau hampir meninggal dunia maka perintah kanlah aku suatu perkara yang ber manfaat bagiku dan akan mengingatkanmu.”

Abu ad-Darda’ menjawab, “Sungguh, engkau di antara umat yang diampuni maka dirikanlah sholat, tunaikan zakat hartamu, berpuasa Ramadhan, dan jauhilah perkara keji, kemudian beritakanlah kabar gembira.” Merasa tidak puas, lelaki itu pun bertanya ulang. Abu ad-Darda’ membalas dan memintanya duduk dan merenungkan perkataannya.

“Bayangkan ketika engkau berada di hari, tatkala tak ada lagi ruang kecuali liang lahat yang luasnya dua hasta sedang kan panjangnya empat hasta. Ke luarga yang konon tak bisa berpisah denganmu hari itu meninggalkanmu sendiri, kolegamu yang dulu membuat megah rumahmu kelak akan menimbunmu dengan tanah lantas beranjak pergi darimu.”

Pada saat itu, sambung Abu ad-Darda’, dua malaikat berwarna hitam biru berambut keriting datang. Mereka adalah Munkar dan Nakir. Ia akan menanyakan identitasmu, agama, Tuhan, dan nabi.

“Jika jawabanmu tidak tahu-menahu maka demi Allah engkau telah tersesat dan merugi. Sedangkan, bila jawabanmu adalah Muhammad Rasulullah dengan kitab sucinya Alquran maka demi Allah engkau selamat dan mendapat petunjuk. Kesemua itu tidak akan mampu engkau ucapkan kecuali dengan peneguhan yang dikaruniakan Allah SWT.

KHAZANAH REPUBLIKA

Adab Islami Mengkritik Pemerintah di Tengah Pandemi Wabah

Islam memberikan panduan tata cara bijak mengkritik pemerintah.

Momentum Ramadhan dengan berdiam diri di rumah digunakan untuk hal-hal yang positif, jangan sampai menjadi momen untuk mencela keadaan, terlebih mencela kebijakan pemerintah di medsos. Sebab syariat menekankan tata krama yang baik dalam mengkritik pemerintah.

Salah satu tata kramanya adalah dengan tidak mencela atau mengkritik pemerintah dengan penyampaian yang disebarkan di khalayak umum (‘alaniyah). Hal demikian seperti disampaikan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِى سُلْطَانٍ فَلاَ يُكَلِّمْهُ بِهَا عَلاَنِيَةً  

“Barang siapa yang hendak menasehati pemerintah, maka jangan disampaikan secara terbuka” (HR Hakim)

Mengkritik pemerintah melalui media sosial tentu tergolong larangan mengkritik secara terbuka dalam hadis di atas, sebab dapat diketahui masyarakat secara luas, hingga berakibat runtuhnya kewibawaan pemerintah, dan hal demikian jelas merupakan larangan dalam Agama Islam. 

Kritik yang baik adalah dengan disampaikan secara tertutup dan langsung tertuju pada kebijakan pemerintah, tanpa perlu mencela dan mencaci orang yang menerapkan kebijakan. Dengan begitu kritik dan masukan dapat dinilai secara maksimal oleh pemerintah.

Kebijakan pemerintah sudah tentu berdasarkan prinsip kemaslahatan masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah tentang larangan mudik di tengan pandemi Covid-19 pada Ramadhan tahun ini. Kebijakan demikian tentunya sudah berdasarkan pertimbangan dan penilaian yang sangat akurat dan terukur.

Mudik di tengah tersebarnya wabah selain merupakan tindakan yang membahayakan kesehatan masyarakat juga merupakan hal yang tidak etis dilakukan.

Imam As-sya’roni dalam kitabnya, Lathaif al-Minan menjelaskan pendapat gurunya, Syekh ‘Ali al-Khawwas dalam menerangkan orang yang tetap bepergian pada saat terjadinya wabah:

من ضحك أو جامع زوجته أو لبس ثوبا مبخرا أو ذهب إلى موضع التنزهات أيام نزول البلاء على المسلمين, فهو والبهائم سواء

“Orang yang tertawa, bersetubuh dengan istrinya, mengenakan baju yang dipenuhi wewangian, atau berkunjung ke tempat hiburan pada saat turunnya wabah pada umat Islam, maka dia dan binatang tidak ada bedanya” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 350)

Bersilaturrahmi pada keluarga di kampung sudah cukup dilakukan dengan cara video call atau dengan mengirimkan pesan dan pemberian hadiah kepada mereka, tanpa perlu menemui secara langsung.

Kebijakan pemerintah tentang pelarangan mudik sudah selayaknya didukung dengan kesadaran penuh, tanpa perlu mencela dan mengkritik yang tidak ada manfaatnya.

Petugas gabungan menindak pengendara motor yang tidak memakai masker di titik pemeriksaan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/5/2020). Pemerintah melakukan berbagai upaya guna mencegah penyebaran COVID-19 salah satunya menggunakan masker, namun imbauan tersebut masih saja diabaikan karena rendahnya kesadaran masyarakat – (ANTARA/Yulius Satria Wijaya)

Sudah selayaknya kita apresiasi dan kita hargai keputusan pemerintah dalam rangka kewajiban taat kepada imam yang merupakan ajaran dalam syariat Islam. Patutlah kita mencontoh adab Imam as-Sya’roni dalam menghormati kebijakan pemerintah dengan senantiasa husnudzan bahwa kebijakan yang dipilih pemerintah adalah kebijakan yang paling baik dan ideal daripada pandangan pribadi dirinya atau rakyat secara umum. Berikut penjelasan beliau:

ومما من الله تبارك وتعالى به علي أدبي مع قضاة هذا الزمان كبارا وصغارا ولا أقول بيطلان أحكامهم في العقود والوثائق كما يقع فيه بعضهم بل أرى عقودهم وأنكحتهم صحيحة أدبا مع أئمة الدين القائلين بصحتها وأدبا مع السلطان الذي ولى أولئك الحكام ولعلمي بأنه أتم نظرا مني ومن أمثالي بل ربما كان أتم نظرا من جميع رعيته وصاحب هذا المشهد لا ينكر على امامه في تولية احد او عزله ولا يذمه أبدا من ورائه كما يفعله بعضهم وقد قال العلماء رضي الله تعالى عنهم لو ولى السلطان قاضيا فاسقا نفذ قضاؤه للضرورة

“Sebagian anugerah yang Allah berikan kepadaku adalah tata kramaku kepada hakim pada zaman ini, baik yang sudah tua ataupun masih muda. Aku tidak mengatakan putusan mereka dalam akad dan perjanjian adalah putusan yang batal, seperti yang dilakukan sebagian orang. Bahkan aku berpandangan bahwa akad dan pernikahan yang mereka lakukan sah, dengan bertujuan menjaga adab terhadap para imam yang berpandangan tentang keabsahannya, dan menjaga adab pada pemerintah yang telah mengangkat hakim tersebut, dan juga karena aku tahu bahwa pemerintah lebih sempurna dalam menentukan kebijakan dibanding aku dan orang-orang yang selevel denganku, bahkan kebijakan pemerintah bisa jadi lebih sempurna dibanding semua (pandangan) rakyat.

Pemilik kesaksian ini (Imam asy-Sya’roni) tidak akan mengkritik terhadap pemerintah atas pengangkatan atau pemecatan seseorang, dan aku selamanya tidak akan mencela pemerintah di balik hadapan mereka, seperti yang dilakukan sebagian orang. Para ulama’ sungguh telah berkata: “Jika Sultan mengangkat hakim yang fasik, maka keputusan hukumnya tetap berlaku (sah) karena darurat” (Imam as-Sya’roni, Lathaif al-Minan, Hal. 275). Wallahua’lam bishawab.

Gus Ubaidillah Amin Moch, Stafsus Menteri Agama RI 

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengerikan, Ini Siksa Bagi Orang tidak Berpuasa

PUASA dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan.

Sebagaimana makna ini dapat kita lihat pada firman Allah Taala,

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” (QS. Maryam: 26).

Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.[1]

Puasa Ramadan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/ perjalanan jauh)[2]. Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadan adalah wajib adalah dalil Alquran, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma ulama)[3].

Di antara dalil dari Alquran adalah firman Allah Taala,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan salat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadan.”[4]

Hal ini dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Orang badui ini datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam, “Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

” (Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa Ramadan. Jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunah (maka lakukanlah).”[5]

Wajibnya puasa ini juga sudah malum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena ia bagian dari rukun Islam[6]. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.[7]

Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa

Pada zaman ini kita sering melihat sebagian di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban puasa yang agung ini. Bahkan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, ada yang mengaku muslim, namun tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa. Padahal mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang yang mampu untuk berpuasa.

Sebagai peringatan bagi saudara-saudaraku yang masih saja enggan untuk menahan lapar dan dahaga pada bulan yang diwajibkan puasa bagi mereka, kami bawakan sebuah kisah dari sahabat Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu anhu.

Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, “Naiklah”. Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[8]

Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadis ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku!

Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[9].

Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”[10]

Adapun hadis,

“Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya”; adalah hadits yang dhoif sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.[11][Muhammad Abduh Tuasikal/muslimorid]

INILAH MOZAIK