Hukum Penggunaan Tespek Sebagai Pengganti Masa Iddah

Iddah merupakan masa tunggu yang harus dijalani oleh seorang perempuan mengiringi jatuhnya talak atau cerai mati. Adapun salah satu fungsi dari adanya Iddah ialah untuk memastikan kosongnya rahim dari janin. Kekosongan tersebut dapat diketahui dengan kelahiran, hitungan bulan, maupun hitungan masa suci (quru’). Bolehkah menggukanan tespek sebagai pengganti masa iddah?

Keterangan mengenai iddaah ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayah al-Akhyar.

العِدَّةُ اسْمٌ لـِمُدَّةٍ مَعْدُوْدَةٍ تَتَرَبَّصُ فِيْهَا الـمَرْأَةُ لِتَعْرِفَ بَرَاءَةَ رَحْمِهَا وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِالْوِلَادَةِ تَارَةً وَبِالأَشْهُرِ أَو الأَقْرَاءِ.

“Iddah adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran, (hitungan) bulan, atau masa suci (quru’).”

Jika fungsi dari Iddah hanya demikian, bagaimana seandainya setelah ditalak atau cerai mati, perempuan yang seharusnya menjalani Iddah itu melakukan serangkaian uji medis, kemudian didapatkan simpulan dan terbukti bahwa dirinya tidak sedang hamil.

Digambarkan saja dengan hasil negatif setelah dilakukan pengujian mandiri dengan alat yang biasa dikenal dengan tespek. Pertanyaannya, apakah pengujian medis yang menunjukkan bahwa dirinya tidak sedang mengandung janin, atau hasil negatif tespek itu dapat menggugurkan kewajiban Iddah bagi perempuan?

Jawabannya, tidak. Hasil negatif tespek–bahkan berbagai uji medis apa pun–yang menunjukkan bahwa seorang perempuan terbebas dari kehamilan, tidak bisa menggugurkan kewajiban Iddah bagi perempuan yang telah tertalak atau ditinggal mati suaminya. Atau dengan kata lain, perempuan sebagaimana yang dimaksud di atas, tetap dikenai wajib Iddah.

Karena dalam syariat Islam hanya ada satu golongan yang tidak wajib melakukan Iddah, yakni perempuan yang sudah menikah tetapi belum melakukan jimak. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab (33) ayat 49:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka Iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut‘ah (pemberian) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 49).

Sehingga bagi perempuan yang telah digauli oleh suaminya, meski belum balig, maka ketika tertalak tetap wajib baginya untuk menjalani Iddah.

Adapun alasan tetap wajibnya Iddah ialah karena Iddah termasuk ke dalam kategori amal yang sifatnya dogmatik, atau dalam ilmu fikih biasa diredaksikan dengan istilah ta’abbudi (penghambaan). Sehingga tak perlu dicari-cari alasan logis dari tujuan diperintahkannya. Meski kemudian ulama merumuskan berbagai hikmah yang terkandung dalam kewajiban menjalani Iddah.

Memang benar bahwa salah satu hikmah disyariatkannya Iddah ialah untuk mengetahui kosongnya rahim, akan tetapi hal tersebut hanya salah satu, bukan satu-satunya. Karena masih banyak hikmah lainnya, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali bin Ahmad al-Jurjawi dalam kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu.

Menurut beliau, hikmah dari Iddah itu sendiri, antara lain: Pertama, untuk mengetahui kosong atau tidaknya rahim jari janin, untuk menghindari percampuran nasab. Kedua, menjaga kesakralan dan kemuliaan akad dalam pernikahan. Ketiga, memperpanjang masa rujuk bagi orang yang menjatuhkan talak raj’i, supaya ia menyesal telah melakukan talak dan menyadari pentingnya seorang istri baginya. Keempat, menjaga kehormatan hak seorang suami yang lebih dulu wafat meninggalkan istrinya, sehingga tampaklah kasih sayang di antara keduanya. Kelima, menjaga hak lelaki lain yang hendak menikahinya supaya dalam mendapatkan kasih sayang yang penuh.

Itulah sekelumit uraian menyangkut Iddah yang telah disampaikan oleh ulama. Dan tentu masih banyak lagi yang belum kita ketahui. Wallahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH

Apakah Menyusui Anak Membatalkan Wudhu?

Dalam Islam, menyusui anak tidak harus dilakukan dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar. Ia boleh dilakukan dalam keadaan apa saja, baik dalam keadaan hadas maupun tidak hadas atau memiliki wudhu. Namun bagaimana jika menyusui anak dalam keadaan sedang memiliki wudhu, apakah menyusui anak membatalkan wudhu?

Dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa menyusui anak tidak membatalkan wudhu. Meski air susu keluar dari tubuh, namun hal itu tidak membatalkan wudhu. Menurut ulama Syafiiyah, semua hal yang keluar dari tubuh, selain dari kubul dan dubur, tidak membatalkan wudhu, termasuk air susu, ludah, ingus dan lain sebagainya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَهُوَ قَوْل رَبِيعَةَ وَأَبِي ثَوْرٍ وَابْنِ الْمُنْذِرِ: الْخَارِجُ مِنْ غَيْرِ السَّبِيلَيْنِ لاَ يُعْتَبَرُ حَدَثًا

Ulama Malikiyah dan ulama Syafiiyah berkata, ini juga pendapat Rabi’ah, Abu Tsaur, dan Ibn Al-Mundzir, bahwa semua hal yang keluar dari dua jalan (kubul dan dubur) tidak dikategorikan sebagai penyebab hadas.

Selain itu, air susu termasuk barang suci. Semua ulama sepakat bahwa barang suci yang keluar dari tubuh tidak membatalkan wudhu. Karena itu, air susu yang keluar saat menyusui anak tidak membatalkan wudhu. Ini adalah pendapat yang disepakati oleh para ulama.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

الخارج من غير السبيلين إذا لم يكن نجسا لا يعتبر حدثا باتفاق الفقهاء واختلفوا فيما إذا كان نجسا

Sesuatu yang keluar dari selain dua jalan (kubul dan dubur), jika bukan benda najis, tidak dianggap sebagai hadas (pembatal wudhu) dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berbeda pendapat, apabila benda yang keluar itu adalah benda najis.

Dengan demikian, dapat diketahui air susu yang keluar saat menyusui anak tidak membatalkan wudhu. Selain karena bukan keluar dari kubul dan dubur, juga para ulama sepakat bahwa air susu adalah suci. Dan semua ulama sepakat bahwa sesuatu yang suci jika keluar dari tubuh, maka hal itu tidak menyebabkan wudhu batal.

BINCANG SYARIAH

Jokowi: Potensi Aset Wakaf di Indonesia Mencapai Rp 2.000 Triliun per Tahun

Hidayatullah.com– Presiden Joko Widodo menyebutkan potensi wakaf tersebut memang sangat besar. Jokowi menyebut, berdasarkan data yang diterimanya, bahwa potensi aset wakaf per tahunnya mencapai Rp 2.000 triliun, di mana potensi dalam bentuk wakaf uang bisa menembus angka Rp 188 triliun.

Jokowi menyebutkan, sudah sejak lama kaum Muslim di Indonesia mempraktikkan wakaf dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, potensi wakaf tersebut masih belum termanfaatkan dengan baik. Selain itu, pemanfaatan wakaf masih lebih banyak ditujukan di bidang sosial peribadatan seperti pembangunan masjid, madrasah, dan makam.

Sehingga, pemerintah menilai Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) yang secara resmi diluncurkan Jokowi, Senin (25/01/2021), menandai dimulainya transformasi pelaksanaan wakaf yang lebih luas dan modern.

“Kita perlu perluas lagi cakupan pemanfaatan wakaf. Tidak lagi terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi dikembangkan untuk tujuan sosial ekonomi yang memberikan dampak signifikan bagi pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam masyarakat,” sebut Jokowi dirilis BPMI Setpres.

Perluasan wakaf itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf di mana harta benda wakaf diperluas tak cuma pada benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, namun juga meliputi harta bergerak seperti uang, kendaraan, mesin, sampai surat berharga syariah.

Jokowi dalam sambutannya selaku Ketua Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menyebutkan, pemerintah terus berupaya mencari jalan untuk mengurangi ketimpangan sosial dan mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh pelosok Indonesia. Di antara langkah itu ialah melalui pengembangan dan pengelolaan lembaga keuangan syariah.

“Salah satu langkah terobosan yang perlu kita pikirkan adalah pengembangan lembaga keuangan syariah yang dikelola berdasarkan sistem wakaf. Potensi wakaf di Indonesia sangat besar, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak termasuk wakaf dalam bentuk uang,” sebut Jokowi.

Jokowi menilai peluncuran GNWU ini juga menjadi penting dan relevan. GNWU katanya tak cuma meningkatkan literasi dan edukasi masyarakat terhadap ekonomi dan keuangan syariah, namun juga disebut memperkuat rasa kepedulian dan solidaritas sosial untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan ketimpangan sosial.

“Sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, sudah saatnya kita memberikan contoh praktik pengelolaan wakaf yang transparan, profesional, kredibel, dan memiliki dampak yang produktif bagi kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi umat Islam serta sekaligus memberi pengaruh signifikan pada upaya menggerakkan ekonomi nasional kita, khususnya di sektor UMKM,” sebutnya.*

Rep: SKR
Editor: Muhammad Abdus Syakur

HIDAYATULLAH

Presiden dan Wapres Luncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang

Hidayatullah.com– Hari ini, Senin (25/01/2021), pemerintah meresmikan peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) serta Brand Ekonomi Syariah Tahun 2021. Peresmian dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dari Istana Negara Jakarta.

Menurut Wapres Ma’ruf selaku Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), GNWU adalah salah satu program pengembangan ekonomi syariah yang bertujuan untuk mendukung percepatan pembangunan nasional.

Peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang ini dinilai sebagai babak baru wakaf uang di Indonesia. Gerakan ini dinilai sebagai momentum untuk mencapai potensi wakaf uang, yang jumlahnya Rp 178,65 triliun. Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia, Imam Teguh Saptono, menghitung potensi tersebut.

Sebelumnya pada Rabu (20/01/2021), Wapres Ma’ruf bertemu jajaran direksi KNEKS. Pada pertemuan virtual itu, dibahas persiapan peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Tunai.

Wapres Ma’ruf mengatakan, potensi wakaf di Indonesia saat ini masih terbatas pada tujuan sosial.

Menurut Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama RI tahun 2019, katanya, pengelolaan wakaf yang sebagian besar terdiri dari aset tidak bergerak, belum banyak diarahkan untuk kegiatan produktif.

Padahal, sebut Wapres, wakaf sebenarnya tak harus berupa benda tidak bergerak seperti tanah, tapi bisa pula berupa uang dan surat berharga.

“Ada jenis wakaf yang disebut sebagai wakaf tunai. Wakaf jenis ini masih belum dikenal di Indonesia, karena selama ini wakaf hanya dipahami sebatas wakaf tanah,” ujarnya dikutip website resmi Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada Senin (25/01/2021).*

Rep: Admin Hidcom
Editor: Muhammad Abdus Syakur

HIDAYATULLAH

Yakinlah Allah SWT tidak akan Telantarkan Orang yang Sabar

Janji Allah SWT tak akan menelantarkan orang-orang yang bersabar

Allah SWT dan Rasul-Nya mengajarkan umat manusia untuk bersabar karena sabar memiliki banyak keutamaan. 

Dalam surah Al-Anfal ayat 46, Allah menyampaikan beserta orang-orang yang sabar: 

وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَا تَنَٰزَعُوا۟ فَتَفْشَلُوا۟ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَٱصْبِرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Anfal: 46)

Dalam Kementerian Agama Arab Saudi, dari laman Tafsirweb, dijelaskan bahwa Allah tidak akan menelantarkan orang-orang yang bersabar yang tetap beriman serta bertakwa pada Allah. 

“Dan berpegang teguhlah kalian untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya dalam seluruh keadaan kalian, dan janganlah kalian saling bersilang pendapat di antara kalian, sehingga tercerai berai persatuan kalian dan bertentangan isi hati kalian, sehingga kalian akan melemah serta kekuatan dan kemenangan kalian akan sirna.

Bersabarlah ketika menghadapi musuh. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar dengan bantuan, pertolongan dan dukungan-Nya, serta tidak akan menelantarkan mereka.”    

Sementara, Pusat Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syekh Shalih bin Abdullah bin Humaid (imam Masjidil Haram) menjelaskan orang yang disertai Allah akan mendapat pertolongan dan kemenangan.

“Dan tetaplah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya dalam ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan seluruh hal ihwal kalian. Dan janganlah kalian berselisih pendapat. Karena perselisihan akan membuat kalian menjadi lemah, takut, dan kehilangan kekuatan kalian. 

Dan bersabarlah ketika kalian berhadapan dengan musuh kalian. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan bantuan. Dan barangsiapa yang disertai Allah, maka ialah orang yang pasti meraih kemenangan dan mendapatkan pertolongan.” Nabi Muhammad SAW bersabda: 

– يقولُ اللَّهُ سبحانَه ابنَ آدمَ إن صبرتَ واحتسبتَ عندَ الصَّدمةِ الأولى لم أرضَ لَك ثوابًا دونَ الجنَّةِ “Allah SWT berfirman: Hai anak Adam, jika kamu bersabar dan ikhlas saat tertimpa musibah, maka Aku tidak akan meridhai bagimu sebuah pahala kecuali surga.” (HR Ibnu Majah)   

KHAZNAH REPUBLIKA

Jangan Remehkan Dzikir!

Renungkan ayat ini dan perhatikan dimana letak kata “banyak”

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَات

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim

ِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَات

laki-laki dan perempuan yang mukmin

ِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ

laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya

وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَات

laki-laki dan perempuan yang benar

ِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَات

laki-laki dan perempuan yang sabar

ِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَات

laki-laki dan perempuan yang khusyu’

ِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَات

laki-laki dan perempuan yang bersedekah

ِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَات

laki-laki dan perempuan yang berpuasa

ِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَات

laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya

ِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَات

laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah

ِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (QS.al-Ahzab:35)

Pada ayat diatas hanya satu kalimat yang disifati dengan kata “Banyak”. Bukan banyak bersedekah ataupun banyak berpuasa, namun Allah berfirman

“laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah”

Semua tujuan dalam ibadah adalah dzikir, mengingat Allah SWT. Solat, puasa, haji, sedekah dan sebagainya berusaha mengantarkan kita untuk selalu berhubungan dengan Allah dan mengingat-Nya.

Seperti dalam ayat lain Allah memerintahkan kita untuk banyak menyebut dan mengingat-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS.al-Ahzab:41)

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang.” (QS.al-Insan:25)

Maka sebaliknya orang-orang munafik adalah mereka yang tidak mengingat Allah kecuali sedikit.

Dzikir adalah :

– Ibadah yang tidak memerlukan wudhu’.

– Tidak perlu menghadap Kiblat.

– Tidak perlu mengeluarkan harta.

– Tidak perlu berjihad.

– Tidak dibatasi oleh waktu.

– Bahkan tidak memerlukan modal apapun

Namun dzikir membutuhkan Taufiq dari Allah. Begitu mudah mengingat Allah tapi tidak semua orang tergerak untuk melakukannya.

Padahal sering mengingat Allah adalah tanda kesuksesan seorang hamba.

وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“dan banyaklah mengingat Allah supaya kamu beruntung.” (QS.al-Mu’minun:10)

Siapa yang banyak mengingat Allah akan dicintai-Nya, siapa yang dicintai Allah akan selalu diberi Taufik dan hidayah-Nya.

Semoga Allah memberi Taufik kepada kita untuk selalu mengingat-Nya.

KHAZANAH ALQURAN

Resep Manjur untuk Sembuh dari Penyakit Was-Was (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Hadits Ketiga dan Keempat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

لَا يَزَالُ النَّاسُ يَتَسَاءَلُونَ حَتَّى يُقَالَ هَذَا خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَمَنْ خَلَقَ اللَّهَ فَمَنْ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ 

“Manusia senantiasa saling bertanya (satu sama lain dalam masalah yang tidak bermanfaat), sampai dibisikkan (oleh setan) ucapan berikut ini,

“Allah menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?” Maka barangsiapa yang mendapatkan sesuatu (dari bisikan hati) tersebut, maka ucapkanlah, Aamantu billaah” (Saya beriman kepada Allah).” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ؟ مَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ؟ فَيَقُولُ اللَّهُ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِهِ وَزَادَ وَرُسُلِهِ 

“Setan datang kepada salah seorang di antara kalian, lalu mengatakan, “Siapa yang menciptakan langit?”  “Siapa yang menciptakan bumi?” Lalu dia berkata, “Allah.” Kemudian beliau menyebutkan lafazh semisalnya dan menambahkan, wa Rusulihi” (dan para Rasul-Nya).” (HR. Muslim)

Terdapat dua hal yang bisa dijadikan sebagai pelajaran dari dua hadits tersebut, yaitu:

Pertama, Was-was yang menyerang penderita was-was itu pada hakikatnya berasal dari setan, sebagaimana dalam hadits keempat.

Kedua, Solusi ketika mendapatkan was-was setan dalam hati berupa lintasan pikiran-pikiran kekufuran adalah dengan berhenti seketika itu juga, tanpa memikirkan dalil untuk membantahnya. Karena hanya sekedar was-was setan yang tidak menetap dalam hati, lalu mengatakan, Aamantu billaah wa Rusulihi” (Saya beriman kepada Allah dan para Rasul-Nya).

Ulama menjelaskan tentang solusi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di ats bahwa perintah untuk berhenti dan berpaling dari was-was setan tersebut adalah tanpa memikirkan dalil dalam menyatakan kebatilannya dan tanpa membahasnya. Hal ini karena was-was tersebut sekedar lintasan batin yang tidak menetap dalam hati dan berasal dari bisikan setan yang jelas-jelas kebatilannya.

Kesimpulan 

Dari hadits kedua, ketiga, dan keempat disimpulkan bahwa solusi was-was setan berupa bisikan kekufuran adalah sebagai berikut.

Pertama, Berdoa memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala, misalnya dengan mengucapkan,  “A’uudzu billaah minasy-syaitoonir rajiim.

Kedua, Berhenti dari was-was setan tersebut dengan makna “berhenti” yang telah disebutkan dalam penjelasan hadits kedua.

Ketiga, Mengucapkan, “Aamantu billaah wa Rusulihi” (Saya beriman kepada Allah Ta’ala dan para Rasul-Nya).

Hadits Kelima

Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata,

“Ya Rasulullah, sesungguhnya salah seorang di antara kami mendapatkan pada dirinya sesuatu (bisikan setan), yang mana dia dibakar sampai menjadi arang itu lebih baik baginya daripada dia harus mengucapkan bisikan tersebut.”

Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

اللهُ أكبرُ، اللهُ أكبرُ، اللهُ أكبرُ، الحمدُ للهِ الذي ردَّ كيدَه إلى الوسوسةِ

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan kepada (sekedar) was-was (saja).” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Albani)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa was-was adalah tipu daya setan setelah dia gagal menggoda orang shalih dengan ucapan dan perbuatan kekufuran dan dosa. Setan hanya mampu membisikkan was-was ke dalam hati seorang muslim dan ingin membuatnya sedih dan tersibukkan dari beribadah kepada Allah Ta’ala.

Hal ini menunjukkan bahwa was-was adalah tipu daya setan yang tidak membahayakan agama orang yang terkena, selama dia tidak mengucapkan atau melakukan isi was-wasnya dalam hati tersebut. Was-was itu tidak merusak ibadahnya (ibadahnya sah) dan tidak merusak imannya (imannya juga tetap sah). Bahkan seandainya terucapkan pun -tanpa ada keinginan dan tanpa kehendaknya, namun karena terpaksa karena dikuasai oleh waswas-, maka hal itu tidak membahayakannya karena keadaan akalnya memang tertutup.

Kesimpulan 

Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 الحمدُ للهِ الذي ردَّ كيدَه إلى الوسوسةِ

“Segala pujian kesempurnaan hanya bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan kepada (sekedar) was-was (saja)”, dapat disimpulkan bahwa tipudaya was-was setan tersebut tidaklah sedikit pun membahayakan orang-orang yang beriman kecuali hanya sekedar ingin membuat mereka sedih, bingung, dan galau, serta berpaling dari beribadah kepada Allah Ta’ala.

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: Muslim.or.id

Mengapa Perempuan Hanya Dapat Separuh Bagian Warisan?

Islam justru menjadi agama yang menggelorakan keadilan bagi kalangan perempuan.

Sebelum mengenal lebih teknis mengenai pembagian warisan dalam syariat Islam, terlebih dahulu diingat bahwa sejak Islam diturunkan tak ada sedikit pun agama ini memberikan wacana lebih dalam hal keadilan terhadap satu gender tertentu. Islam justru menjadi agama yang menggelorakan keadilan bagi kalangan perempuan.

Sejak Islam datang, perempuan diberikan hak-haknya dalam berkehidupan. Islam juga agama yang membolehkan perempuan untuk memiliki hartanya sendiri tanpa sedikit pun hak bagi orang lain. Baik itu orang tuanya sendiri, suaminya, atau siapa pun untuk ikut campur di dalamnya.

Dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama karya Muhammad Bagir dijelaskan, jika seorang perempuan memiliki harta warisan atau hibah dan sebagainya dari ayah, ibu, saudara atau keluarga lainnya, itu akan menjadi haknya sendiri. Si perempuan memiliki hak untuk menyimpan, membelanjakan, bahkan menginvestasikan untuk dirinya sendiri.

Jika dia menanamkan modalnya dalam suatu perusahaan bersama suaminya, lalu suaminya meninggal dunia, modal dan labanya itu harus dikeluarkan terlebih dahulu dari harta peninggalan suaminya. Harta itu dikeluarkan sebelum dibagi-bagikan kepada ahli waris yang lain. Perempuan memiliki hak untuk menyimpan, membelanjakan, bahkan menginvestasikan untuk dirinya sendiri.  SHARE

Demikian pula jika dia mengadakan perjanjian untuk saling membantu dalam perusahaan atau perdagangan

Demikian pula jika dia mengadakan perjanjian untuk saling membantu dalam perusahaan atau perdagangan yang mereka kelola bersama. Sebagai imbalannya, istri atau suami memperoleh bagian dari laba perusahaan yang ditentukan persentasinya. Maka bagian tersebut tetap menjadi hak masing-masing jika terjadi perceraian ataupun salah satu dari keduanya lebih dahulu meninggal dunia.

Di sisi lain, seorang istri nafkahnya ditanggung oleh suami apabila syarat dalam syariatnya terpenuhi. Syarat tersebut yakni dia bukanlah istri yang pembangkang, tidak berselingkuh, serta persyaratan lainnya yang ditentukan syariat yang menjadikan suami berkewajiban memberinya nafkah.

Seorang laki-laki dalam Islam memiliki sejumlah tanggungan nafkah yang dibebankan apabila telah sampai padanya masa pemberian nafkah. Jika seorang laki-laki memiliki saudara-saudara perempuan yang tidak berpenghasilan, laki-laki itulah yang wajib menafkahi mereka.

Sebaliknya, para saudara perempuan itu tidak diwajibkan menafkahi saudara laki-laki mereka betapa pun kayanya mereka dan miskinnya si saudara laki-laki itu, kecuali tentunya jika mereka ingin melakukan amal saleh sebagai silaturahim yang amat besar pahalanya.

Karena itu semua, jika dalam soal harta warisan dalam Islam dikenal bahwa laki-laki menerima dua kali bagian yang diterima oleh perempuan, pada hakikatnya setengah atau bahkan lebih dari setengah jumlah itu bukan untuk kepentingan dirinya (laki-laki) sendiri.

Bagian itu juga untuk kepentingan istri beserta keluarganya. Seandainya dia tidak berkewajiban menafkahi mereka, niscaya satu bagian saja dari warisan itu sudah cukup bagi dirinya sendiri, sebagaimana yang cukup untuk laki- laki yang tidak berkeluarga.

Sebaliknya, jika seorang perempuan menikah, semua keperluan hidupnya menjadi tanggungan suaminya. Sementara itu, satu bagian yang dia peroleh dari harta warisan boleh saja dengan tenang dia tabung atau investasikan dalam apa saja yang menjadi hobi dan kegemarannya.

Dalam hal waris, syariat Islam merujuk pada sebuah dalil dalam Alquran surah an-Nisa penggalan ayat 11. Allah berfirman, artinya “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka/warisan untuk) anak-anakmu. (Yaitu) bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”

Ayat inilah yang menjadi landasan pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan sebagaimana yang dijadikan hujah oleh mayoritas ulama.

OLEH IMAS DAMAYANTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Yahudi-Nasrani pun Konsultasi Hukum ke Nabi Muhammad SAW

Yahudi dan Nasrani ikut berkonsultasi hukum kepada Rasulullah SAW

Rasulullah Muhammad SAW memegang peran sebagai qadhi secara langsung selama masih hidup. 

Banyak fakta di mana Rasulullah SAW menjadi qadhi atau penengah dalam berbagai macam urusan agama dan persoalan kehidupan.  

“Waktu yang beliau miliki sehari-hari memang untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah hukum yang terjadi di tengah masyarakat Madinah kala itu,” kata Ustadz Ahmad Sarwat Lc.MA dalam bukunya ‘Kedudukan Qadhi Dalam Hukum Islam’. 

Dan yang memposisikan Rasulullah SAW sebagai qadhi bukan sebatas para sahabat, melainkan seluruh penduduk Madinah, termasuk yang non-Muslim pun ikut pula berkonsultasi hukum kepada beliau SAW. Hal ini seperti ditegaskan dalam surat an-Nisa ayat 65: 

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا  “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Ustadz Ahmad mengatakan, meski kelompok Yahudi tidak mengakui kenabian Muhammad SAW, namun mereka mengakui kedudukan Beliau SAW sebagai hakim yang memutuskan perkara di antara mereka. Contohnya ketika ada pasangan laki dan perempuan dari kalangan Yahudi berzina.  

“Maka urusannya diselesaikan di hadapan Rasulullah SAW. Dan untuk itu beliau memanggil saksi ahli dari kalangan pemuka agama Yahudi untuk membacakan ayat-ayat yang ada di dalam Taurat, khususnya masalah hukuman yang harus dijatuhkan kepada pasangan zina sesuai dengan ketentuan hukum Taurat yang mereka anut,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Umat yang Berada di Tengah

Allah Swt Berfirman :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.Al-Baqarah:143)

Seperti informasi yang disampaikan oleh para Ulama’, Surat Al-Baqarah turun selama 10 Tahun. Dan ayat yang kita kutip di atas yaitu :

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan”

Ayat ini berada tepat di tengah Surat Al-Baqarah yakni pada ayat 143, sementara total ayat dalam Surat ini adalah 286. Ini adalah salah satu mukjizat dan keagungan Al-Qur’an yang luar biasa.

Kata (الوسط) memiliki makna sesuatu yang berada ditengah di antara dua benda yang lain. Dan makna lainnya adalah adil dan indah serta mulia, karena keindahan dan kemuliaan ada sesuatu yang berada pas sesuai porsinya dan jauh dari kata kurang ataupun berlebihan.

Betapa indahnya istilah Al-Qur’an yang menyebut umat Islam sebagai Ummatan Wasatho (umat tengah).

Kata “umat tengah” juga bermakna umat adil dalam segala hal. Yang sesuai dalam Akidah. Tidak extreme kanan atau extreme kiri. Tidak berlebihan dan tidak kurang. Serasi antara sisi akhlak dan sisi ibadah ritualnya. Sejalan antara pemikiran, keyakinan dan muamalahnya. Dan seluruh sisi hidupnya sesuai dengan gambaran yang diberikan oleh Al-Qur’an.

Lalu bagaimana tolok ukur ummatan wasatho itu ?

Kembali lagi tolok ukurnya tentu adalah mengikuti Al-Qur’an sebagai buku petunjuk pertama menuju kebenaran. Umat Islam disebut sebagai Ummatan Wasatho sehingga mendapat kedudukan sebagai saksi bagi umat-umat yang lain di hari kiamat.

“agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Karena siapa yang adil dan berdiri ditengah, maka dia bisa menilai siapa yang melenceng dan keluar dari jalur yang lurus.

Seakan ayat ini ingin berkata :

“Kalian (umat Muhammad) adalah saksi bagi umat-umat lainnya karena kalian adalah umay yang terbaik, yang berada di tengah, yang adil dan yang berada di jalur kebenaran.”

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN