DI ANTARA kita sudah tidak merasa asing dengan istilah debat, sementara agama kita (Islam), senantiasa mengingatkan adanya penyakit-penyakit hati yang menjangkiti pada pendebat. Bagaimana para ulama melihat masalah ini?
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوا الجَدَلَ (رواه الترمذي (3253), 5/ 232, وقال: هذا حديث حسن صحيح
Artinya: Dari Abu Umamah ia berkata,”Rasulullah ﷺ bersabda,’Tidaklah tersesat suatu kaum setelah adanya petunjuk yang mana mereka di atasnya, kecuali ketika mereka disibukkan oleh perdebatan.” (Riwayat At Tirmidzi [3252], 5/232, dan ia berkata,”Hadits ini hasan shahih”).
Dari hadits di atas, nampaklah bahwasannya menyibukkan diri dalam perdebatan merupakan hal yang tercela. Dengan menyibukkan diri dalam perdebatan kebanyakan manusia lalai untuk mengamalkan ilmu.
Padahal tujuan ilmu untuk diamalkan, bukan untuk menunjukkan kehebatan dalam berdebat. Sedangkan Imam Al Auzai pernah berkata,”Jika Allah Ta’ala menghendaki keburukan kepada suatu kaum, maka Ia membuka kepada mereka pintu-pintu perdebatan dan mencegah mereka dari pangamalan.” (dalam Iqtdha` Al Ilmi wa Al Amal, ha. 122).
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwasannya perdebatan yang bertujuan untuk mengalahkan lawan debat dan membungkam mereka, juga dalam rangka pamer akan ilmu yang dimiliki, yang menyebabkan terjangkitnya beberapa penyakit hati, di antaranya:
Hasad
Pendebat, terkadang menang atau kalah. Terkadang ada yang memujinya, terkadang pujian diberikan untuk lawannya. Kondisi semacam ini bisa menimbulkan rasa hasad pada hatinya, menginginkan agar lawannya kehilangan nikmat, termasuk ilmu, kesempatan atau nikmat lainnya. (Ihya Ulumiddin, 1/169).
Takabbur dan Riya`
Mereka yang suka berdebat dengan tujun menonjolkan diri akan terjangkit penyakit takabbur. Dia akan berusaha merendahkan lawan debatnya, dan meninggikan dirinya sendiri di hadapan orang lain.
Kadang ia memberikan pernyataan bahwa lawannya bodoh, tidak paham atau memiliki sedikit ilmu. Di samping itu, penyakit riya` juga sering menjangkiti mereka, karena ingin menampakkan apa yang ia rasa sebagai kelebihan kepada manusia. (dalam Ihya Ulumiddin, 1/170).
Memuji Diri Sendiri
Pendebat sering kali menyanjung dirinya sendiri di saat berdebat. Kadang ia mengatakan, ”Saya menguasa ilmu ini…”, “Saya hafal hadits ini…” Hal itu dilakukan untuk mempromosikan apa yang ia sampaikan. (dalam Ihya Ulumiddin, 1/170).
Ghibah
Yang kadang tidak bisa dihindarkan dari pendebat yang didasari niat yang salah adalah menceritakan dan menyebarkan kelemahan dan kekurangan lawannya kepada pihak lain. Orang seperti itu terkadang menisbatkan lawan debatnya kepada kebodohan. Kedunguan serta minimnya pemahaman. (Ihya Ulumiddn, 1/172).
Tajassus (Mencari-cari Aib)
Mancari aurat manusia, sering kali dilakukan pendebat terhadap lawannya. Terkadang ia mencari informasi sampai ke negeri di mana lawannya tinggal, untuk mencari hal-hal buruk darinya, yang ia simpan pengetahuan itu untuk dijadikan bekal menjatuhkannya. (Ihya Ulumiddin, 1/173).
Nifaq
Yang dimaksud di sini adalah perbuatan dhahir pendebat yang bertentangan dengan apa yang ada di dalam hati. Pendebat biasanya basa-basi, memperlihatkan keramahan dan kegembiraan jika bertemu dengan lawannya, namun sejatinya dalam hatinya terbesit kebencian yang cukup besar. (dalam Ihya` Ulumiddin, 1/173, 174).
Bergembira dengan Kesalahan Orang Lain
Setiap orang yang berdebat untuk menonjolkan diri maka otomatis kesalahan yang menimpa lawan debatnya membuat orang itu senang. Padahal hakikat ilmu menumbuhkan kasih sayang. Imam Asy Syafi’i berkata,”Ilmu bagi orang-orang berakal dan orang-orang yang memiliki keutamaan adalah kasih sayang yang bersambung.” Sedangkan bagi mereka ilmu justru yang menyebabkan pemutusan persaudaraan. (dalam Ihya` Ulumiddin, 1/174).
Imam Asy Syafi’i juga berkata, “Ketika aku mendebat seseorang aku tidak menginginkan dia jatuh kepada kesalahan.” (Tawaliy At Ta’sis, hal. 65),
Di kesempatan lainnya, Imam Asy Syafi’i juga pernah berkata,“Aku berdebat tidak untuk menjatuhkan orang.” (Tahdzib Al Asma Wa Al Lughat, 1/66).
Sombong terhadap Kebenaran
Dan yang paling dimurkai dari perdebatan adalah, jika nampak olehnya kebenaran dari lisan lawan debatnya, maka ia berusaha untuk mengingkarinya dengan pengingkaran yang kuat. (Ihya Ulumiddin, 1/175)
Adalah Qadhi Ibnu Absin, di mana suatu saat ia berselisih dengan seorang ulama Al Faqih Muhammad bin Umar Bahraq. Perselisihan berlangsung lama hingga persoalan itu terkenal di kalangan masyarakat. Hingga akhirnya datanglah Qadhi Ibnu Absin kepada Al Faqih Bahraq dengan membawai kitab Raudhah Ath Thalibin karya Imam An Nawawi dan menunjukkan permasalahannya.
Setelah itu Al Faqih Bahraq akhirnya memilih meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Qadhi Ibnu Absin kemudian beliau pun naik ke atas mimbar seraya menyampaikan,”Ketahuilah, bahwa sesungguhnya persoalan yang aku berselisih atasnya dengan Qadhi Ibnu Absin, aku mendapati kebenaran ada padanya.”
Al Allamah Abdul Qadir Al Aidrus menyatakan bahwa hal ini menunjukkan ketawadhuan Al Faqih Bahraq dan pengakuan beliau akan kebenaran, dan ini amatlah berat dilakukan kecuali bagi mereka yang memperoleh taufiq dari Allah. (Nur As Safir, hal. 79).*