Sudah Tahu Tahapan Pengharaman Khamar?

Pengharaman khamar itu datang secara bertahap. Pengharamannya tidak langsung tegas diharamkan.

Pelajaran penting yang bisa kita petik adalah syariat itu datang secara bertahap. Lihat Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 355.

Dalil-dalil yang menunjukkan haramnya khamar

Dalil pertama:

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ , إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah rijsun (kotor) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah: 90-91).

Dalam ayat ini dari beberapa sisi kita dapat melihat keharaman khamar:

  • Khamar dalam ayat tersebut dikaitkan dengan penyembahan pada berhala.
  • Allah menyebut khamar dengan rijsun (jelek).
  • Khamar termasuk perbuatan setan. Setan pastilah datang dengan membawa kejelekan dan hal yang kotor.
  • Kita diperintahkan untuk menjauhi khamar.
  • Seseorang yang menjauhinya akan mendapatkan keberuntungan. Jika seseorang mendekati khamar, malah termasuk orang yang merugi.
  • Khamar dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian.
  • Allah menutup dengan mengatakan “fahal antum muntahuun”, berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:385.

Dalil kedua:

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا وَمُبْتَاعَهَا وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ

Allah melaknat khamar, orang yang meminumnya, orang yang menuangkannya, penjualnya, pembelinya, orang yang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta untuk diantarkan.” (HR. Abu Daud, no. 3674 dan Ibnu Majah, no. 3380. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Dalil ketiga:

Ijmak atau kesepakatan para ulama umat Islam menyatakan bahwa khamar itu haram. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 5:15.

Tahapan dalam pengharaman khamar

Pertama: Awalnya khamar dibolehkan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” (QS. An-Nahl: 67).

Kedua: Turun ayat berisi perintah menjauhkan diri dari khamar karena mudaratnya lebih besar daripada maslahatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219).

Ketiga: Turun ayat untuk melarang khamar pada satu waktu, dibolehkan pada waktu lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43).

Keempat: Terakhir, khamar diharamkan secara tegas.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90).

Penjelasan tahapan dalam pengharaman khamar disarikan dari Tafsir Az-Zahrawain dan Tafsir As-Sa’di.

Silakan unduh bahasan lengkap tentang khamar dalam buku PDF:

Miras Biang Kerusakan

Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi semua yang membaca. Semoga Allah menjauhkan kita dari minuman yang menjadi biang kerusakan, moga keluarga kita pun dijauhi.

Referensi:

  1. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait.
  2. Shahih Fiqh As-Sunnah.Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-
  3. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  4. Tafsir Az-Zahrawain. Cetakan pertama, Tahun 1437 H. Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Obekan.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Jumat pagi, 19 Syakban 1442 H, 2 April 2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Ngaji Aqidah Sampai Kapan?

Bismillah.

Saudaraku yang dirahmati Allah, seorang muslim tentu mengharapkan surga dan takut akan azab neraka. Dia beribadah kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dia melaksanakan aturan-aturan Allah dalam menjalani kehidupannya di alam dunia. Dia menyadari bahwa kelak ada hari pembalasan atas amal dan perbuatannya.

Allah berfirman,

ٱلَّذِی خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَیَوٰةَ لِیَبۡلُوَكُمۡ أَیُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلࣰاۚ 

Artinya:

“[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2).

Hidup ini penuh dengan cobaan dan ujian. Apakah ia berupa kesenangan maupun kesulitan dan kesusahan. Meskipun demikian pada hakikatnya nikmat yang Allah berikan sangatlah banyak, tetapi pada saat yang sama ternyata teramat sedikit di antara hamba Allah yang pandai mensyukurinya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak bisa menghadapi ujian berupa nikmat dan kelapangan.

Allah berfirman,

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِینَ أَعۡمَـٰلًا  ٱلَّذِینَ ضَلَّ سَعۡیُهُمۡ فِی ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا وَهُمۡ یَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ یُحۡسِنُونَ صُنۡعًا

Artinya:

“Katakanlah, maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa mereka telah melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104) .

Banyak orang menyangka bahwa dirinya menemukan kesuksesan dengan harta, jabatan dan kemewahan dunia yang lainnya. Padahal kebahagiaan hakiki hanya bisa diraih dengan iman dan amal saleh. Dengan keikhlasan dan mengikuti tuntunan/sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan dengan membuat-buat ajaran baru dan melenceng dari aturan.

Dengan demikian setiap muslim membutuhkan panduan dan landasan yang benar dalam membangun hidup dan kehidupannya. Hidup bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani. Hidup bukan sekedar mencari uang dan mencicipi berbagai menu masakan kesukaan. Hidup ini memiliki arti dan tujuan yang mulia.

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

Artinya:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Melakukan ibadah kepada Allah mengandung makna dan cakupan yang sangat luas. Ia berkaitan dengan hati, lisan, dan perbuatan anggota badan. Sebagaimana halnya iman terdiri dari keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal dengan anggota badan. Ibadah kepada Allah merupakan kebutuhan hamba kepada Rabbnya. Tanpa ibadah itu maka manusia akan kehilangan jati diri dan kemuliaannya. Dia hanya akan hidup seperti binatang ternak. Bahkan bisa jadi lebih tersesat darinya. Ruh dari ibadah itu adalah kecintaan kepada Allah. Kecintaan yang disertai dengan pengagungan. Oleh sebab itu, seorang muslim tunduk dan merendahkan dirinya kepada Allah.

Banyak orang beranggapan bahwa mempelajari aqidah atau tauhid itu sesuatu yang tidak menarik atau mungkin dianggap membosankan. Mereka pun lebih senang membicarakan topik-topik kekinian yang bersifat wah dan serba mentereng. Sibuk dengan berita politik, sibuk dengan perbincangan pengamat ekonomi dan larut dengan obrolan budayawan. Hari demi hari hanya berpindah dari satu isu menuju isu berikutnya. Belajar agama pun seadanya. Apa yang disajikan di media maka itulah yang dia cerna dan dia jadikan pedoman. Kitab Allah dan Sunnah Rasul pun seolah terkesampingkan. Karena beralasan kita cukup mengikuti para ulama. Akhirnya al-Qur’an jarang dibaca, jarang direnungkan, dan apalagi untuk didakwahkan dan diamalkan dalam keseharian.

Dulu saat kita kecil kita sering membaca atau mendengar para guru atau ustaz membaca hadis bahwa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُخَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَه

Artinya:

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

Dengan mudahnya kita mengikuti kegiatan TPA, menghafalkan doa-doa dan pernak-pernik ajaran Islam yang disampaikan oleh para guru dan pengajar TPA. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saat lulus SD atau lulus SMP dan tamat SMA kegiatan mempelajari al-Qur’an seolah tidak lagi penting. Mungkin ada yang beranggapan yang penting sudah bisa baca huruf hijaiyah. Atau mungkin ada yang beranggapan bahwa belajar agama itu tidak usah dalam-dalam khawatir nanti malah jadi ekstrim dan jadi teroris… Subhanallah!

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, bukankah kita telah menyaksikan bersama bahwa sekian banyak bentuk penyimpangan itu sesungguhnya adalah buah dan dampak dari kebodohan tentang agama. Tidakkah kita lihat orang-orang yang terjebak oleh paham ekstrim dan suka mengkafirkan; mereka sesat juga karena tidak paham agama dengan benar. Orang yang suka bom bunuh diri dan merusak tempat-tempat umum; itu juga akibat tidak mengerti ajaran agama dengan benar. Sebaliknya orang yang tenggelam dengan hawa nafsu dan kemungkaran itu juga pada dasarnya tidak mengerti agama dengan benar. Bukankah segala bentuk kerusakan di alam semesta ini akarnya adalah kebodohan hamba kepada Rabbnya, dan ketidakpahaman manusia tentang hidayah….

Allah berfirman,

فَمَنِ ٱتَّبَعَ هُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَلَا یَشۡقَىٰ

Artinya:

“Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123).

Ahli tafsir ternama dan sahabat nabi yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajarannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak pula celaka di akhirat.”

Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهٖ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

Artinya:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka Allah pahamkan dia dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam adalah agama yang sempurna. Dia mengajarkan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Cara yang diterima oleh Allah.

Allah berfirman,

وَمَن یَبۡتَغِ غَیۡرَ ٱلۡإِسۡلَـٰمِ دِینࣰا فَلَن یُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

Artinya:

“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan dia di akhirat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran : 85).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Artinya:

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka hal itu pasti tertolak.” (HR. Muslim).

Ibadah kepada Allah tidak cukup bermodalkan niat baik, tetapi ia juga harus dilakukan dengan cara yang benar/sesuai dengan tuntunan. Oleh sebab itu, Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada umat manusia.

Di sinilah kita mengetahui letak pentingnya aqidah bagi seorang muslim. Karena dengan aqidah yang kuat seorang muslim akan bertahan dalam menghadapi segala bentuk cobaan dan godaan. Dengan aqidah yang benar seorang muslim akan mewujudkan tujuan hidupnya dalam menghamba kepada Allah dengan lurus. Allah berfirman

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

Artinya:

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Dengan aqidah yang benar maka seorang muslim menjauhkan diri dari segala bentuk syirik dan kekafiran. Karena hal itu akan menghapuskan amal-amal kebaikan dan sebab kesengsaraan abadi di akhirat.

Allah berfirman,

وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

Artinya:

“Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan terhapus semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Tidak boleh kita menyepelekan syirik. Karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja imamnya ahli tauhid dan bapaknya para nabi berdoa kepada Allah untuk dijauhkan darinya.

Allah berfirman (menceritakan isi doa beliau),

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَـٰذَا ٱلۡبَلَدَ ءَامِنࣰا وَٱجۡنُبۡنِی وَبَنِیَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ

Artinya:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai Rabbku, jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung.’.” (Ibrahim : 35).

Kalau beliau saja khawatir dirinya tertimpa syirik maka bagaimana lagi dengan kita yang baru saja mengenal tauhid dan belum lama mengerti ilmu agama?!

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; mereka semuanya takut apabila dirinya terjerumus dalam kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan iman Jibril dan Mika’il.” (HR. Bukhari secara mu’allaq). Hal ini menunjukkan kedalaman ilmu dan ketawadhu’an para sahabat. Mereka tidak merasa aman dari bahaya kemunafikan.

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Orang mukmin akan memadukan dalam dirinya antara perbuatan baik/ihsan dan merasa takut. Adapun orang kafir/fajir akan memadukan dalam dirinya antara berbuat buruk/dosa dengan merasa aman.”

Sebagian salaf mengatakan, “Tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk bersantai-santai kecuali apabila dia telah berjumpa dengan Allah (di surga).” Oleh sebab itu, seorang muslim senantiasa butuh belajar aqidah tauhid dan mengokohkan aqidah itu di dalam hatinya. Karena fitnah yang datang menyambar-nyambar; sedangkan hati manusia itu berbolak-balik. Ya Allah teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu… Ya Allah palingkanlah hati kami menuju ketaatan kepada-Mu…

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si

MUSLIMor.id

Kaya

ISTILAH Istilah “ghoniyyun” (غَنِيٌّ) atau “ghinaa” (غِنَى) biasanya diterjemahkan “kaya”. Terjemah ini tidak persis tepat, karena “kaya” dalam bahasa Indonesia berarti mempunyai banyak harta, sementara dalam Bahasa Arab berbeda.

Makna asli “ghoniyyun” atau “ghina” adalah cukup dengan dirinya sendiri, tidak membutuhkan kepada selainnya. Ini sebetulnya lebih bersifat psikis atau sikap mental, bukan fenomena fisik-material. Wanita yang sangat cantik disebut “ghoniyah” (غانية), karena sudah cukup dengan dirinya dan tidak memerlukan perhiasan. Suara nyanyian yang sangat merdu disebut “ghinaa’” (غناء), karena sudah cukup dengan dirinya dan tidak butuh apa-apa lagi untuk memperindahnya.

Alhasil, makna “ghinaa” dan “ghoniyyun” bukan kaya sebagaimana dimengerti dalam bahasa Indonesia. Makna yang lebih tepat adalah mandiri, tidak menjadi beban dan kerepotan orang lain, merdeka.

Orang yang “ghoniy” bisa jadi tidak berharta banyak, tapi ia tidak membebani siapa pun bahkan bisa berkontribusi untuk orang lain. Sebaliknya, ada orang berharta banyak namun sebenarnya tidak “ghoniy”, sehingga pelit dan tidak memiliki sumbangsih bagi umat.

Maka, di antara nama-nama Allah adalah “al-ghoniyyu” (الغني), yakni Dzat yang mandiri, cukup dengan diri-Nya, tidak butuh kepada selain-Nya. Bahkan, Dia bisa mencukupi yang lain. Sebaliknya, ketika manusia “merasa tidak butuh kepada Allah”, ia menjadi tercela. Perasaan ini akan mengantarkannya kepada tindakan-tindakan liar, tak terkendali, melampaui batas kewajaran.

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَىٰ . أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَىٰ

Artinya: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas; karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Qs al-‘Alaq: 6-7)

Dalam surah ‘Abasa: 5, istilah serupa juga digunakan dan merujuk kepada sikap sombong, tidak membutuhkan hidayah, atau merasa sudah benar. Meski banyaknya harta juga bisa berkontribusi pada munculnya sikap tertipu (ghurur) tsb, namun kata ini — dalam ayat-ayat ini — sesungguhnya lebih menunjuk kepada sikap mental ketika berhadapan dengan bimbingan agama.

Untuk itu pula, ketika Rasulullah dan para ulama memperingatkan kita dari bahaya “al-maal” (المال), titik tekannya ada pada potensi ketertipuan itu, bukan pada manfaat harta yang sudah dimaklumi. Sebenarnya, jiwa kita memang teramat rapuh ketika berhadapan dengan pesona harta, wanita, dan tahta.

Lawan dari “ghoniy” adalah “faqir” (فقير), artinya membutuhkan. Oleh karena itu, dalam Al-Quran dinyatakan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Artinya: “Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Qs Fathir: 15)

Kekayaan berupa banyaknya harta memang bisa menjadikan seseorang merasa cukup dengan dirinya sendiri. Namun, banyaknya harta yang diiringi ketamakan, sebenarnya adalah hakikat kefakiran itu sendiri.

Faktanya, harta itu tidak bisa menutupi rasa butuhnya yang terus menganga, tidak terpuaskan, sehingga terus-menerus mengejar tambahan. Demikianlah, karena makna dasar “faqir” sesungguhnya adalah “adanya celah terbuka yang membutuhkan penambal”.

Maka, jangan meminta dan berharap menjadi “orang kaya”, sebab ini hanya tampilan fisik-material. Jadilah “ghoniyyun“, orang-orang mandiri, bisa mencukupi diri sendiri, tidak menjadi beban orang lain, dan bahkan berkontribusi untuk umat. Betapa banyak orang kaya, tapi hatinya faqir, tidak ghoniy. Ia terus-menerus haus dan tidak kunjung puas. Jiwanya dikepung hasrat tak terperi, sementara tubuhnya lelah mengejar angan-angan kosong. Tangannya rapat menggenggam, tidak mau berinfak, sebab hatinya masih merasa kurang.

Umat Islam harus “ghoniy”, ini ucapan yang benar. Tapi, kalau “umat Islam harus kaya”, ini hanya tipu daya syetan yang sangat halus dan menggelincirkan; apalagi jika “istaghna”, merasa tidak butuh kepada Allah dan cukup dengan kekuatannya sendiri. Na’udzu billah. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar, pengasuh Pesantren Hidayatullah Arrahmah Malang

HIDAYATULLAH

Teror Bunuh Diri dan Jalan Pintas Spiritual

Istilah jalan pintas spiritual (spiritual bypass) mula-mula diperkenalkan oleh John Welwood pada 1984, yang mengacu kepada penyalahgunaan spiritualitas sebagai pelarian dari masalah psikologi yang tengah dihadapi seseorang. Jadi, jalan pintas spiritual ini merupakan bentuk pengalihan yang membuat seseorang menghindari berhadapan langsung dengan rasa sakit, kesulitan hidup, dan kebutuhan untuk tumbuh. Banyak manusia tidak cukup toleran untuk menghadapi, masuk ke dalam, dan memroses luka. Sebagian mereka memilih mematikan rasa sebagai solusi yang tampak lebih mudah.

Jalan pintas spiritual bisa diejahwantakan dengan berbagai cara: hasrat berlebihan untuk mengendalikan dan menghakimi orang lain (sindrom “dasar bid’ah, sesat, kafir, riba, penghuni neraka!”), kurang memiliki tanggung jawab personal, represi emosi, obsesi terhadap ritual, dan narsisisme spiritual (bisikan ego “saya sudah mendapat hidayah” atau “saya sudah syar’i”, ungkapan untuk memberikan perasaan ekslusif).

Jalan spiritual yang salim melibatkan kesadaran dan penerimaan terhadap realitas saat ini. Sebaliknya, para pelakon jalan pintas akan menyangkal sejumlah pengalamannya sendiri. Misalnya, pelakon jalan pintas mungkin terobsesi dengan ritual karena sebelumnya sangat lama tenggelam dalam gaya hidup duniawiyah yang profan. Jadi, orang ini menggunakan ritual sebagai wahana menghukum dirinya (bawah sadar), bukan sebagai latihan atau suluk untuk meningkatkan level kesadaran transendental, kebijaksanaan, serta memperluas kasih. Dia menolak menerima realitas kehidupan hura-hura sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Kenarsisan Spiritual

Terkait kasus teror bunuh diri di Makassar dan Jakarta baru-baru ini yang tak merenggut nyawa siapa pun kecuali pelakunya, tentu ada banyak sudut pandang untuk menjelaskan motif pelaku. Saya sendiri lebih leluasa untuk membahasnya dari sisi perilaku dan latar keluarga, dengan melihatnya sebagai jalan pintas spiritual tadi. Tulisan ini berangkat dari informasi dari media, termasuk surat wasiat dari pelaku (Lukman dan Zakiah).  Sebetulnya, untuk melihat lebih dalam, kita membutuhkan data lebih detil terkait riwayat pelaku, termasuk genogramnya.

Yang pertama perlu dicermati adalah lelakon jalan pintas spiritual tak bisa dilakukan kecuali dengan merepresi emosi (misalnya dengan mengatakan, “Tak bahagia di dunia fana tak mengapa, yang penting happy di dunia lain”) atau dengan menghindari pemrosesan luka (menyangkal dengan kalimat, “Saya baik-baik saja kok.”).

Selain itu, pelakon juga biasanya menyalahgunakan narsisisme spiritual, yang dilakukan untuk memberikan rasa aman. “Sejak migrasi ke jalan Tuhan, kesulitan datang bertubi-tubi; aku menangis bukan karena sedih, tapi karena melihat bukti cintaNya dengan didatangkannya berbagai ujian ini.”

Yang sebetulnya terjadi, bisa saja, adalah dia berprasangka buruk kepada Tuhan bahwa Dia seperti orang tua kejam, yang mengatakan, “Papa itu marah karena sayang sama kamu!” Jadi, sayang tapi marah-marah, cinta tapi menyulitkan; di mana logikanya?

Ketika seseorang mendaku agama atau spiritualitas sebagai bagian terpenting dari kehidupan dirinya, kita perlu selanjutnya melihat apakah ada perasaan yang direpresi atau kenarsisan. Jika keduanya terkonfirmasi ada pada orang tersebut, gejala dia melakukan jalan pintas spiritual patut menjadi perhatian.

Baik Lukman maupun Zakiah terkonfirmasi DO dari kampus. Lukman adalah anak yatim sejak usia 5 tahun dan dikenal penyabar—orang awam bisa saja tak bisa membedakan antara penyabar dan mati rasa. Sementara itu, Zakiah dikenal sebagai perempuan berkepribadian pendiam dan tertutup, lebih-lebih sejak tak lagi menyandang status mahasiswa—orang awam juga sangat mungkin tak dapat membedakan antara tertutup dan represi emosi. Zakiah beberapa kali memosting doktrin jihad ISIS di grup WA keluarga—dan tidak ada tindakan dari anggota keluarga, yang berarti dia diabaikan; apalah beratnya ketika kehadiran kita tak diharap lalu memilih pergi?

Sementara itu, di antara ciri penyalahgunaan narsisisme spiritual adalah delusi telah mencapai maqam tertentu secara spiritual (bandingkan dengan Robert Augustus Masters, 2010). Padahal, spiritualitas yang otentik tidak muluk-muluk, tak terburu-buru (bertahap), dan bukan pelarian dari masalah pribadi. Informasi yang kita terima dari media tentang latar belakang kedua peneror maut tersebut menunjukkan tanda-tanda kedua pelaku memiliki persoalan hidup yang tak mudah.

Pada kasus Lukman dan Zakiah, ciri-ciri kenarsisan spiritual sangat tampak. Mari kita lihat penggalan surat Lukman, pelaku bom bunuh diri di komplek gereja Katedral Makasar, “Ummy sekali lagi minta maaf ka, ku sayang sekali tapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan ki dan bisa ki kembali berkumpul di surga.” Identifikasi bom bunuh diri sebagai jalan Nabi terlalu silap untuk dinalar dan sama sekali bertolak belakang dengan berbagai riwayat yang sampai kepada para pelajar agama yang belajar secara tertib. Dari mana dia tahu Allah lebih suka dia mati daripada hidup bersama ibunya; atau, sebetulnya dia memilih mati hanya karena ingin segera lari dari kehidupannya yang sempit sejak kecil?

Tak berbeda dengan pesan Lukman, surat wasiat Zakiah Aini menyebutkan, ” … Makanya Zakiah tempuh jalan ini sebagaimana jalan Nabi/Rasul Allah untuk selamatkan Zakiah dan dengan izin Allah bisa memberi syafaat untuk Mama dan keluarga di akhirat.” Dia juga menyebut jihad sebagai ekspresi tauhid tertinggi—bandingkan dengan konsep maqamat dan ahwal dalam tasauf yang sama sekali tak menyinggung jihad (dengan makna perang/membunuh) sebagai indikasi kualitas spiritual seseorang. Terlalu naif jika kita membayangkan gaya “berperang” dengan mondar-mandir menodongkan pistol dan tak menghasilkan apa-apa selain tewasnya diri sendiri sebagai jalan para nabi—equivalensi keliru sebab ketidakmampuan bernalar.

Zakiyah adalah bungsu dari enam bersaudara. Jika melihat relasinya di keluarga, sebagai mahasiswa DO pengangguran, dia tentu belum bisa memberikan apa-apa bagi keluarganya (terkait sistem memberi-menerima di keluarga, sila baca Hellinger 1998). Jalan pintas bagi situasi ini adalah fantasi memberi syafaat atau pertolongan masuk surga, seolah-olah dia tahu bahwa keluarganya bakal mencicipi neraka (mungkin karena mereka dianggap bersikap tak sesuai harapannya) sehingga membutuhkan bantuannya untuk membuka pintu firdaus. Gadis ini ingin menebus dengan sesuatu yang muluk, yang tak mungkin diberikan kakak-kakaknya—perlu ditelusur lebih lanjut tentang riwayat apakah dia sering dibanding-bandingkan dengan saudara yang lain. Selanjutnya, baik Lukman atau Zakiah gagal membedakan antara ajaran agama dan tuntunan sekte.

Untuk menghindari spiritualitas gadungan seperti ini, jika menghadapi masalah, kita perlu memahami prosedurnya, yaitu: (1) jangan lari darinya, (2) kita tak bisa menentukan sepenuhnya bagaimana masalah akan teratasi, dan (3) kita harus siap mengalami apa pun konsekwensi dari tindakan/keputusan yang sudah kita ambil. Jika ketiga prosedur ini kita abaikan, masalah akan tetap ada di sana, dan semua bentuk pengalihan (spiritual, alkohol, sabu, cimeng, makanan, lem, pornografi, atau seks) hanya akan memberikan penyelesaian semu atau bahkan palsu.

BINCANG SYARIAH

Bencana HP dan Gadget

Modal awal kesalehan anak adalah taufiq dan karunia dari Allah semata, bila Allah (dengan hikmah dan keadilan-Nya) menginginkan ia tumbuh besar menjadi baik dan berkah maka jadilah ia  anak yang saleh, sebaliknya bila Allah tahu ia tak layak menjadi hamba yang saleh, maka ia akan tumbuh menjadi hamba yang kufur, sombong, pembangkang, bergelimang maksiat dan dosa, sebagaimana putera Nuh ‘alaihissalam yang tak berguna sama sekali, bahkan menjadi musuh sang ayah.

Setelah faktor taufiq dari Allah, maka kedua adalah modal doa, contoh suri teladan dan didikan orang tua. Dengan doa yang tak putus dipanjatkan, suri teladan dan didikan orang tua yang baik, semoga kelak anak akan terwarnai dan terpengaruh menjadi lebih baik.

Faktor ketiga adalah guru, sekolah, teman-teman dan lingkungan yang membentuk. Bila gurunya baik, sekolahnya bagus, kawan dan lingkungan yang mengitari anak bagus, insyaallah harapannya anak kelak akan bagus pula.

Anak-anak terlahir di atas fitrah kesucian tauhid dan taat pada Allah, sebagaimana ungkapan baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

كلُّ مولودٍ يولَدُ على الفطرةِ فأبواه يُهوِّدانِه أو يُنصِّرانِه أو يُمجِّسانِه

”Setiap anak terlahir di atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang mengubah anak menjadi Yahudi, Nashrani maupun Majusi” (HR. Bukhari no.1385, Muslim no.2658).

Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman:

وإنِّي خلَقْتُ عبادي حُنَفاءَ كلَّهم وإنَّهم أتَتْهم الشَّياطينُ فاجتالَتْهم عن دِينِهم

”Aku menciptakan hamba-hambaku dalam fitrah yang lurus, kemudian datanglah setan-setan yang menyesatkan mereka dari agama mereka” (HR. Ath-Thabarani [3/206], disahihkan oleh Al-Albani dalam Ghayatul Maram no.9).

Tugas orang tua, dan para pendidik adalah menjaga kemurnian fitrah mereka yang lurus agar tidak menyimpang.

HP Sarana Perusak

Perusak berat fitrah anak di era Milenial ini, adalah handphone android, gadget, laptop, dan sejenisnya yang menjadi jembatan mulus anak-anak pelajar untuk membuang-buang waktu, lalai dengan game-gamenya, bermedia sosial dengan yang lain, untuk main bareng, janjian bertemu, nonton bareng, pacaran, mengakses pornografi dan seterusnya.

Handphone (HP) yang membuat anak- anak pelajar bahkan orang dewasa menjadi bak kelelawar, yang hidup dan beraktivitas di malam hari dan tidur panjang di siang hari. Bagaikan burung hantu yang hanya bisa menikmati malam dan tidak beraktivitas di siang hari.

Lihatlah tubuh-tubuh yang kurus dan loyo karena badan tidak bergerak, mata yang sembab karena kurang tidur malam, warna kulit yang pucat karena tidak terkena sinar matahari, semua itu dampak dari HP.

Belum lagi sifat malas, tak peka lingkungan, tak mau tahu kerja, berkurung di kamar, menambah kesal para orang tua.

Dari HP-lah mereka berdusta, alasan belajar ke rumah teman, nyatanya pacaran, ber-khulwat, hura-hura, foya-foya, ngebut-ngebutan yang tak jarang memakan korban. Ada yang hamil di luar nikah, tewas tabrakan dengan kepala pecah, gegar otak, kepala bocor dan seterusnya.

Apalagi di masa pandemi covid-19 sekarang ini, terpaksa orang tua merogoh kocek lebih banyak untuk membeli pulsa, paket data bahkan HP untuk kepentingan belajar di rumah. Alih-alih mengerjakan PR, setor hafalan, eh malah semangat belajar melemah dikalahkan dengam game maupun bersosialita dengan WA, FB, IG dan semacamnya.

HP terkadang merubah anak jadi durhaka, tak patuh orang tua, bahkan melawan mereka. HP yang membuat mereka menjadi robot-robot yang gagal berinteraksi dengan manusia sekitarnya.

HP yang membuat mereka menggerogoti harta orang tua untuk beli paket, belanja, bergaya, bahkan berhutang online.

Ya Rabb..

Peliharalah diri kami, keluarga dan anak-anak kaum muslimin dari bencana HP ini. Jadikan kami orang-orang yang bijak dalam menggunakannya ya Rabbal ‘Alamin.

Batam, 1 Zulqa’dah 1441 / 23 Juni 2020

Penulis: Ust. Abu Fairuz Ahmad Ridwan, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Masalah Menumpuk ? Kembali lah Pada-Nya !

Allah Swt berfirman :

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ

Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. (QS.as-Shaffat:99)

Jika engkau mengharapkan hidayah, janganlah engkau menoleh ke kanan dan kiri tapi pergilah menuju Allah Swt. Karena hanya Penciptamu yang mampu memberi hidayah padamu.

الَّذِي خَلَقَنِي فَهُوَ يَهْدِينِ

(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. (QS.as-Syuara:78)

Hidayah tidak akan turun kepada orang yang tidur dan bermalas-malasan, namun hidayah akan turun kepada orang yang bergerak dan mencari Tuhannya.

قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS.al-Baqarah:142)

Jika kau merasa hidupmu sempit dan penuh kegelisahan maka pergilah menuju Tuhanmu, karena segala sesuatu berada dibawah kekuasaan-Nya.

Ingatlah Nabi Musa as ketika terjepit di antara kejaran pasukan Fir’aun dan dihadapannya lautan yang ganas, beliau hanya berkata (seperti yang di abadikan dalam Al-Qur’an.

قَالَ كَلَّا ۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS.asy-Syuara:62)

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Belum Qadha Puasa tapi Ramadhan Sudah Datang Lagi

Ulama menjelaskan soal qadha puasa Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Ramadhan juga bulan suci umat Islam di mana semua amal kebajikan yang dilakukan di bulan ini akan berlipat-lipat ganda pahalanya.

Pada bulan Ramadhan, umat Islam diperintahkan untuk menjalankan ibadah puasa. Yakni tidak makan dan minum sepanjang hari, hingga tiba waktu berbuka puasa pada waktu maghrib.

Bagaimana jika seseorang tidak dapat melakukan puasa ketika Ramadhan, maka ia diwajibkan mengqadha puasanya. Kewajiban qadha ini diperintahkan Allah dalam Alquran:

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, (kemudian tidak puasa), maka wajib menggantinya pada hari-hari yang lain,” (QS. Al-Baqarah ayat 184)

Pertanyaannya adalah sampai kapan batas waktu qadha tersebut. Apakah boleh menunda qada puasa sampai kapan pun ataukah ada batasnya. Dilansir dari buku Belum Qada Puasa Sudah Masuk Ramadhan Berikutnya karya Muhammad Aqil Haidar, masalah qadha puasa ulama telah berbeda pendapat mengenai batasan waktu qadha puasa. Ada yang mengatakan sampai kapan saja, ada pula yang membatasi tidak boleh lebih dari Ramadhan berikutnya.

A. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Kasani (w. 587 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi As-Syarai’ menyebutkan, apabila seseorang menunda qadha sampai masuk ramadhan berikutnya maka tidak wajib fidyah baginya.

Sedangkan Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir juga menyebutkan, ketika menunda qadha puasa sampai masuk bulan Ramadhan berikutnya maka diwajibkan berpuasa Ramadhan yang kedua. Setelah selesai Ramadhan, maka diperbolehkan untuk mengqadha puasa Ramadhan yang telah lewat tersebut, bahkan juga dibolehkan untuk melakukan puasa sunnah lebih dahulu.

B. Mazhab Al-Malikiyah

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan, jika seseorang mempunyai kewajiban puasa Ramadhan kemudian tidak puasa dan mengakhirkan qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya sedangkan ia mampu untuk menqadhanya (sebelum datang Ramadhan kedua), maka jika dia tidak puasa pada Ramadhan tersebut wajib baginya menqadha hari-hari yang ditinggalkanya dan memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan satu mud dengan ukuran mud Nabi SAW.

C. Mazhab Asy-Syafi’i

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah di dalam kitabnya Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin – Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan, ketika seseorang menunda qadha sampai masuk Ramadhan berikutnya tanpa udzur maka ia berdosa. Dan wajib baginya berpuasa untuk Ramadhan yang kedua, dan setelah itu baru menqadha untuk Ramadhan yang telah lalu. Serta wajib juga baginya membayar fidyah untuk setiap hari yang ia tinggalkan dengan hanya masuknya Ramadhan kedua. Yaitu satu mud makanan beserta dengan qadha.

Dasar kewajiban fidyah ini adalah atsar sahabat, yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah. Sebagaimana disebutan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab.

Dalilnya adalah riwayat dari Ibn Abbas, Ibn Umar dan Abu Hurairah bahwasanya mereka menghukumi orang yang memiliki hutang puasa kemudian tidak mengqadhanya sampai datang Ramadhan berikutnya wajib memberi makan (fidyah) untuk puasa ramadhan yang pertama.

D. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan, ketika seseorang mengakhirkan qadha, bukan karena udzur, sampai melewati dua Ramadhan atau lebih, maka tidak wajib baginya kecuali qadha dan fidyah.

Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan, tidak diperbolehkan menunda qadha puasa Ramadhan sampai Ramadhan beikutnya. Dan ini yang di nashkan dan tidak ada perbedaan di sini. Dan ketika ia melakukanya maka wajib baginya qadha dan memberi makan orang miskin. Untuk setiap harinya satu mud.

KHAZANAH REPUBLIKA

#TanyaBincangSyariah: Bagaimana Cara Membedakan Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme?

Pertanyaan

Assalamu Alaikum Wr. Wb.

Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok Islam radikal. Ada istilah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Apa perbedaan ketiganya dan apakah ketiganya saling berhubungan satu sama lain? Bagaimana cara membedakan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme? Terima kasih.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Dalam diskursus keislaman, kekeliruan sering terjadi saat mengartikan istilah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, terutama saat ketiga istilah tersebut bersanding atau muncul dalam waktu yang bersamaan. Meski serupa dan berkait-kelindan satu sama lain, ketiga istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang berbeda.

Orang sering salah mengartikan, radikalisme dianggap sebagai ekstremisme dan sudah pasti terorisme. Padahal, orang yang radikal belum tentu ekstrem dan menjadi teroris. Radikalisme pun belum tentu berbentuk perbuatan. Ada juga orang dengan paham radikalisme yang hanya bertaut dalam pikiran.

Hal sama juga berlaku bagi mereka yang dianggap ekstrem. Meskipun sudah pasti radikal, orang yang terpaut dalam pikiran maupun tindakan ekstremisme belum tentu terlibat dalam aksi atau tindakan terorisme.

Tentang Radikalisme

Jika dipahami melalui pengertian dalam kamus, term “radikalisme” dalam The Concise Oxford Dictionary (1987) disebutkan berasal dari bahasa Latin yakni Radix dan Radicis. arti kata tersebut adalah akar, sumber, atau asal mula. Kamus Oxford menyatakan bahwa term radikalisme berasal dari akar kata radikal.

Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, term “Radikalisme” memiliki definisi sebagai berikut: paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan.

Bertolak dari kamus, meminjam pengertian dari Prof. Dr. Irfan Idris dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), radikalisme diartikan sebagai proses tersendiri atas seseorang yang mengalami perubahan dari seseorang yang radikalis, ekstrimis, hingga menjadi teroris. Radikalisme mengalami perubahan secara total dan bersifat drastis.

BNPT juga menyatakan bahwa radikalisme adalah aksi menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada. Ciri-ciri radikalisme adalah intoleran atau tidak memiliki toleransi pada golongan yang memiliki pemahaman berbeda di luar golongan. Orang yang radikal cenderung fanatik, eksklusif dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis.

Kembali pada akar kata radikalisme yakni radikal. Masalah muncul saat terjadi penambahan sufiks “–isme” dalam term “radikalisme”. Penambahan sufiks tersebut memberikan makna tentang pandangan hidup atau paradigma yang bisa juga dikatakan sebagai sebuah paham dan keyakinan atau ajaran. Penggunaan kata radikal atau radikalisme juga sering disambungkan dengan aliran atau kepercayaan tertentu.

Menanggapi hal tersebut, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher dari Dewan Masjid Indonesia, memberikan komentar tentang makna radikalisme. Ia menyatakan bahwa sebenarnya ada radikalisme yang bemakna positif. Radikalisme postitif yang dimaksud adalah radikalisme yang memiliki makna tajdid yakni pembaharuan dan islah yakni perbaikan.

Radikalisme yang dimaksud Taher bisa diartikan sebagai spirit perubahan menuju kebaikan. Jika radikalisme diartikan dalam bingkai makna tersebut, maka dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara, para pemikir radikal dalam makna ini adalah seorang pendukung perubahan dan reformasi jangka panjang.

Perkembangannya pemahaman terhadap term radikalisme kemudian mengalami pemelencengan makna. Radikalisme melulu dianggap sebagai radikalisme yang negatif yakni radikalisme yang berhubungan erat dengan intoleransi.

Hal tersebut disebabkan karena minimnya sudut pandang yang digunakan dalam memahami makna term radikalisme. Hal inilah yang sering menimbulkan kekeliruan dalam pemaknaan dan penggunaan term radikal atau radikalisme.

Umumnya, masyarakat hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan dalam ranah praktik kekerasan. Masyarakat cenderung tidak mau atau bahkan tidak pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya kaum radikalisme cari yakni tentang perbaikan.

Tentang Ekstremisme

Ekstremisme adalah istilah yang sangat sering digunakan untuk menggambarkan sebuah doktrin atau sikap. Sikap yang dimaksud bisa berupa sikap politik atau agama. Ekstremisme juga dikaitkan dengan sikap menyerukan aksi dengan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Saat ini, ekstremisme diartikan sebagai sikap berlebih-lebihan dalam beragama, tepatnya menerapkan agama secara kaku dan keras sampai melewati batas kewajaran. Hal tersebut membuat ekstremisme kerap menjadi sorotan. Padahal, ekstremisme bukanlah monopoli satu agama semata.

Dalam sejarah Islam, memang ada banyak sekali nama dari gerakan-gerakan ekstrem yang sering timbul-tenggelam. Prof. Hugh Goddard, Ph.D, seorang pakar sejarah Islam dari Nottigham University, Inggris, menyatakan bahwa sebenarnya tidak hanya agama Islam dan Kristen yang pengikutnya memiliki sikap liberal dan ekstrem. Pengikut agama lain juga memiliki sikap yang sama.

Di negara Irlandia misalnya. Ada konflik yang terjadi antara umat Katolik dan Kristen. Negara India memiliki ekstrimis Hindu. Sementara itu di Indonesia, belakangan ini memang sering muncul ekstremis dari golongan Muslim, terutama di media sosial.

Merujuk kamus Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah berarti “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem” atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrim”. Istilah eskstremisme sangatlah beragam dan banyak dipakai dalam pembahasan politik atau agama.

Penggunaan istilah ekstremisme merujuk kepada ideologi yang dianggap berada jauh dari pemikiran dan perilaku atau sikap masyarakat umum. Padahal, sama seperti istilah radikalisme, term ekstremisme juga kerap dipakai dalam hal di luar agama dan politik seperti misalnya diskursus dalam ekonomi.

Radikalisme dan ekstremisme saling berkaitan satu sama lain. BNPT menyatakan bahwa ada proses perubahan seseorang dari yang tadinya radikalis menuju ekstrimis. Hal tersebut bisa membuat seseorang melakukan aksi teror yang tidak terlepas dari proses radikalisasi.

Itulah mengapa orang yang sudah teradikalisasi tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan yang ekstrem untuk mewujudkan perjuangannya, termasuk aksi teror. Meski begitu, ada juga ekstremisme yang hanya ada dalam pikiran dan tidak dipraktikkan dalam tindakan. Proses radikalisme menuju ekstremisme harus melalui tahapan radikalisasi terlebih dahulu.

Tentang Terorisme

Menurut UU Nomor 15 Tahun 2003, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas harta benda orang lain yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional.

Seseorang atau kelompok yang radikal bisa mengalami perubahan pemikiran dan perilaku menggunakan cara-cara ekstrem, termasuk kekerasan ekstrem dalam aksi teror yang dipengaruhi oleh banyak hal. Ada pengaruh atau faktor yang bersifat internasional, ada juga yang berasal dari dalam diri.

Faktor yang bersifat internasional bisa berupa ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan penjajahan. Faktor dalam diri bisa berupa orang yang dikucilkan dalam masyarakat.

Terorisme adalah hal yang kompleks sebab bisa berasal dari berbagai macam faktor. BNPT mencatat bahwa selain dua faktor di atas, ada juga faktor domestik seperti persepsi ketidakadilan, kesejahteraan, pendidikan, kecewa pada pemerintah, dan pembalasan dendam.

Ada pula faktor kultural di mana terjadi pemahaman agama yang dangkal dalam diri seseorang, ditambah dengan penafsiran agama yang sempit dan tekstual. Faktor ini bisa lebih parah jika terjadi indoktrinasi ajaran agama yang salah.

Secara etimologi, istilah atau term terorisme sendiri berasal dari kata “to Terror” dalam bahasa inggris. Dalam bahasa latin, terror disebut sebagai Terrere yang memiliki makna “gemetar” atau menggetarkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, terror diartikan sebagai suatu usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu.

Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup ataufasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).
  3. Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakanoleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:
  • Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  • Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
  • Menggunakan kekerasan.
  • Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi
  • Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yangdapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

Bijak dalam Menggunakan Istilah

Setelah memahami dengan baik perbedaan antara radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, alangkah lebih baik apabila kita mengontrol diri dengan tidak menggunakan ketiga istilah tersebut secara sembarangan.

Saat akan memilih menggunakan sebuah istilah, kita mesti menimbang dengan matang kecocokan istilah yang digunakan dengan keperluan yang dituju dan bagaimana istilah tersebut dipakai dalam konteks tertentu, terlebih istilah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang kerap memicu polemik.[]

BINCANG SYARIAH

Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 2)

Menyingkirkan Gangguan dari Jalan Merupakan Bagian Iman

Iman itu memiliki pokok dan cabang-cabang. Ia bisa bertambah hingga mencapai taraf kesempurnaan. Dan ia juga bisa berkurang hingga menghilang dari diri seseorang. Semakin besar ketaatan yang dilakukan dan kemaksiatan yang ditinggalkan maka iman akan bertambah berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas amalan. Semakin besar kemaksiatan yang dilakukan dan kewajiban yang ditinggalkan maka iman akan berkurang berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas kemaksiatan. Syari’at Islam yang indah ini telah menjadikan tauhid sebagai pokok keimanan, ucapan yang sopan dan menjauhkan dari segala sebab yang dapat mencelakakan sebagai cabang-cabang dan penyempurna baginya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ini adalah lafaz Muslim)

Kalau menyingkirkan gangguan semisal duri dari jalan merupakan bagian dari iman, sebuah amal salih yang diperintahkan, maka bagaimanakah lagi dengan menyelamatkan nyawa-nyawa manusia yang terancam oleh ledakan bom yang bukan pada tempatnya?!

Sebagaimana halnya rasa malu menjadi bagian dari iman. Rasa malu itulah yang akan mencegah manusia dari melakukan hal-hal yang menjatuhkan kehormatan mereka. Berbeda keadaannya dengan orang yang telah menipis atau lenyap rasa malunya, maka maksiat terang-terangan seperti pamer aurat (baca: tidak mengenakan jilbab dengan benar) dan meninggalkan sholat pun seolah-olah perkara yang ringan dan biasa.

Kita tidak hanya bersedih dengan teror yang dilakukan oleh sebagian pemuda ingusan dengan bom bunuh diri dan aksi-aksi perusakan ala berandalan. Namun, kita juga bersedih dengan aksi ‘teror’ bertubi-tubi yang dilakukan oleh para wanita tak tahu malu yang berjalan kesana kemari, mengobral harumnya minyak wangi di tengah kaum lelaki dan memajang aurat-aurat mereka di layar-layar televisi. Kalau teror yang pertama merusak agama pelakunya dan merenggut nyawa orang lain, maka teror yang kedua ini merusak akhlak para pemuda dan menyeret dirinya sendiri ke jurang kenistaan. Aduhai, betapa banyak pemuda dan pemudi yang terjerumus ke dalam dua jurang tersebut. Wahai Rabb kami, sesungguhnya keduanya telah menyesatkan banyak orang, maka jauhkanlah kami dan anak keturunan kami darinya…

Tipu Daya Syaithan

Saudaraku, ada satu hal yang perlu kita ingat baik-baik. Sesungguhnya syaitan yang bersumpah untuk menyesatkan dan menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus tidak hanya memiliki satu jurus untuk melemahkan lawannya. Seribu satu trik dan cara akan dia tempuh untuk mengajak umat manusia agar bersama-sama dengannya menjadi penghuni tetap neraka Jahannam. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kalian maka jadikanlah dia sebagai musuh. Sesungguhnya dia hanya akan mengajak kelompok/pengikutnya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fathir: 6)

Salah satu bentuk tipu daya syaithan kepada bani Adam adalah dengan menghias-hiasi kebatilan dan kemaksiatan agar tampak seolah-olah sebagai kebenaran dan kebaikan. Tidakkah kita ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan neraka itu diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan nafsu.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu)

Bahkan, Allah ta’ala juga telah memberitakan dalam firman-Nya,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآَهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Maka apakah sama orang yang dijadikan terasa indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatannya itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki.” (Qs. Fathir: 8)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Syaithan menghias-hiasi perkara buruk dan memperindahnya di mata manusia ‘lalu menganggap baik perbuatan itu’ dibandingkan dengan orang yang diberi petunjuk oleh Allah menuju jalan dan agama yang lurus, apakah sama antara ini dengan itu? Orang yang pertama, melakukan kejelekan namun melihat kebenaran sebagai kebatilan dan melihat kebatilan sebagai kebenaran. Orang yang kedua, melakukan kebaikan dan melihat kebenaran sebagai kebenaran, dan batil tetap sebagai kebatilan…” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/944] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)

Seperti contohnya, kejadian yang menimpa sebagian pemuda yang terbius oleh paras yang elok dan menawan. Ada di antara mereka yang mengangankan bahwa kecintaan dan kasih sayangnya kepada seorang amrad (pemuda yang belum tumbuh rambut wajahnya atau yang wajahnya mirip perempuan) atau kepada seorang perempuan bukan mahram (baca: pacarnya) semata-mata dia lakukan ikhlas karena Allah ta’ala, bukan untuk melakukan kekejian, dan dia hanya ingin berteman atau menjalin persaudaraan dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk bentuk tipu daya syaithan. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka perbuat dengan menyukai rupa-rupa tersebut, mencium, atau bersenang-senang dengan memandanginya adalah ikhlas karena Allah. Mereka menganggapnya sebagai pendekatan diri kepada Allah, ketaatan kepada-Nya dan bentuk akhlak mulia. Padahal, sesungguhnya keyakinan mereka itu merupakan kesesatan dan penyimpangan yang paling besar dan pemutarbalikan ajaran agama. Mereka menganggap sesuatu yang dibenci Allah sebagai sesuatu yang disukai-Nya. Perbuatan mereka itu tergolong syirik dan termasuk dalam kategori mengangkat thaghut sebagai sesembahan selain Allah. Bahkan, yang lebih parah lagi -akibat kebodohan mereka yang sangat- mereka menyangka bahwa saling tolong menolong dalam melakukan perbuatan keji itu merupakan bentuk kerjasama dalam kebaikan. Mereka berdalih ingin mendapatkan pahala dengan membantu meringankan kesulitan sesama saudaranya, padahal di balik itu semua tersimpan keinginan-keinginan yang terlarang dan dicela oleh agama! (diambil dengan peringkasan dan sedikit tambahan dari penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya yang menakjubkan Ighatsat al-Lahfan, cet. Dar Thaibah hal. 642)

Apabila golongan pemuda di atas tertipu oleh bujukan syaitan yang bernama syahwat, maka golongan pemuda yang lain -yang menjadi supporter dan partisipan bom bunuh diri- tergoda oleh bujukan syaitan yang bernama syubhat. Mereka mengira bahwa jerih payah mereka dengan membakar semangat para pemuda melalui podium-podium untuk memerangi orang kafir secara membabi buta, dengan merakit bom, merekrut sukarelawan dan menyusun rencana-rencana rahasia, membuat gerakan bawah tanah, menyelundupkan bom ke dalam hotel atau lokasi-lokasi wisata, diuber-uber polisi dan intelejen, dan pada akhirnya meledakkan bom dengan mengatasnamakan agama merupakan sebuah taqarrub ilallah (pendekatan diri kepada Allah). Sampai-sampai pekik takbir yang biasa terdengar dari lisan penyembelih kurban pun mereka kumandangkan dengan penuh semangat sebagai ungkapan suka cita atas kematian saudaranya dan melayangnya nyawa-nyawa yang tidak tahu-menahu apa-apa. Wallahul musta’aan wa ilaihil musytaka! (Kepada Allah lah kita memohon pertolongan dan mengadukan permasalahan)

Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membunuh seorang mu’ahad (orang kafir yang dilindungi oleh ikatan perjanjian dari pemerintah muslim, pent) maka dia tidak akan mencium baunya surga. Padahal baunya bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhuma)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai hukuman aksi bunuh diri,

وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu maka kelak dia akan disiksa dengannya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin adh-Dahhak radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Alangkah tepat gambaran yang diberikan Allah ta’ala tentang orang-orang seperti mereka,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalnya. Yaitu orang-orang yang sia-sia usaha mereka di dalam kehidupan dunia sementara mereka menyangka bahwa mereka sedang melakukan kebaikan yang semestinya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Seperti itu pulalah yang terjadi pada pelopor kebid’ahan di masa silam semisal Khawarij dan orang-orang yang mengikuti jejak langkah mereka di sepanjang masa. Mereka mengira sedang menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman. Padahal, sebenarnya mereka itulah orang-orang yang menebarkan kerusakan dan kezaliman di alam semesta. Mereka mengaku membela agama, padahal tindakan mereka justru merobohkan dan mencemarinya. Mirip sekali karakter orang-orang seperti ini dengan sifat kaum munafikin yang diceritakan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian melakukan perusakan di atas muka bumi.’ Maka mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami ini hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ketahuilah, sesungguhnya mereka itulah para perusak, akan tetapi mereka tidak menyadari.” (Qs. al-Baqarah: 11-12)

Reaksi yang Salah

Dengan mencermati beberapa keterangan di atas, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa salah satu sebab utama munculnya aksi-aksi bom bunuh diri dan perusakan tempat-tempat umum dengan mengatasnamakan jihad adalah racun pemikiran Khawarij yang bercokol di dada sebagian pemuda yang ‘cetek’ pemahaman agamanya. Mereka sama sekali tidak berjalan di bawah bimbingan para ulama Rabbani. Semangat mereka membara, namun ilmu yang mereka miliki tidak cukup untuk menopang cita-citanya. Niat mereka mungkin baik, namun cara yang mereka tempuh jelas-jelas menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah serta pemahaman salafus shalih.

Akibatnya, musuh-musuh dari luar Islam pun dengan mudah menyamaratakan bahwa Islam mengajarkan kekerasan dan agama yang tidak mengenal perikemanusiaan. Mereka ingin menanamkan kesan kepada publik bahwa siapa saja yang ingin menegakkan kembali syari’at Islam dan tauhid maka mereka pasti identik dengan terorisme dan gemar membuat kekacauan. Oleh sebab itu mereka pun melekatkan gelaran Islam Fundametalis kepada kelompok mana saja yang bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan Islam sebagaimana yang diraih oleh para pendahulu mereka, tidak terkecuali kepada Ahlus Sunnah as-Salafiyun. Sayangnya, sebagian kaum muslimin yang tidak mengerti juga ikut-ikutan latah menuduh saudaranya yang mengikuti Sunnah Nabi dan berupaya untuk menebarkan dakwah tauhid sebagai aliran sesat dan menyimpang gara-gara penampilan mereka yang mirip dengan tokoh-tokoh teroris yang dimunculkan fotonya di media-media massa. Semata-mata karena beberapa helai jenggot dan secarik cadar maka julukan teroris pun dengan enteng dilekatkan kepada mereka. Padahal memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di sini bukanlah tempat yang tepat untuk membicarakannya secara panjang lebar.

Kembalikan Semuanya Kepada al-Kitab dan as-Sunnah!

Saudaraku sekalian, ternyata isu terorisme ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Di sana bermain kepentingan musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, dari dalam maupun dari luar. Dari yang terang-terangan memusuhi maupun yang berpenampilan shalih dan shalihah. Maka waspadalah dari penyimpangan pemikiran dan penyikapan yang salah terhadap kenyataan ini. Marilah kita tundukkan akal dan perasaan kita kepada bimbingan Rabb alam semesta yang telah digariskan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (Qs. an-Nisaa’: 59)

Beribadah kepada Allah tidak cukup dengan modal semangat tanpa ilmu. Bukankah kita masih ingat sebuah kaidah yang ditorehkan oleh Amirul Mukminin fil Hadits Imam Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya di dalam Kitab al-‘Ilm, beliau membuat bab dengan judul yang indah, “Ilmu sebelum berkata dan berbuat”. Dakwah Islam yang diserukan oleh Nabi dan para pengikut setianya bukanlah dakwah yang dibangun di atas kejahilan/kebodohan, namun ia adalah dakwah yang ditegakkan di atas bashirah/ilmu. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

“Katakanlah (hai Muhammad): Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas bashirah, demikianlah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku.” (Qs. Yusuf: 108)

Semoga Allah ta’ala berkenan mengampuni dosa-dosa kita, dan menyadarkan para pemuda dari ketergelinciran mereka akibat jeratan syubhat maupun rayuan syahwat. Kepada Allah sematalah kita meminta pertolongan dan perlindungan. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permintaan. Saya pun memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha mulia, semoga Allah membimbing para pemimpin negeri ini untuk menegakkan dakwah tauhid dan memberantas kemusyrikan, mengibarkan panji-panji Sunnah dan meluluh lantakkan sarang-sarang kebid’ahan, menyuburkan negeri ini dengan ketaatan serta membersihkannya dari berbagai kotoran kemaksiatan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Selesai disusun di Yogyakarta,
Kamis, 8 Sya’ban 1430 H

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya dan kaum muslimin

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Akar Terorisme di Tubuh Umat (bag. 1)

Terorisme seringkali ditudingkan kepada umat Islam. Sebagian orang yang cemburu kepada agamanya mengira bahwa tudingan itu hanya sekedar propaganda barat untuk menjatuhkan harga diri kaum muslimin di mata dunia internasional. Sehingga mereka senantiasa menuduh barat (baca: Amerika, khususnya Yahudi) sebagai dalang di balik semua peristiwa semacam ini. Sebagian lagi justru sebaliknya, mengira bahwa terorisme -dengan melakukan pengeboman di tempat-tempat umum- merupakan bagian dari jihad fi sabilillah dan tergolong amal salih yang paling utama. Sehingga mereka beranggapan bahwa pelaku bom bunuh diri adalah sosok mujahid dan mati syahid. Itulah sekilas dua cara pandang yang bertolak belakang mengenai berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi di negeri-negeri Islam atau di negeri kafir yang banyak menelan korban warga sipil.

Terlepas dari apa yang mereka sangka, sebenarnya kita bisa melihat dengan kaca mata yang adil dan objektif bahwa di samping adanya makar musuh-musuh Islam dari luar, sebenarnya kita juga menghadapi musuh-musuh dalam selimut yang berupaya meruntuhkan kekuatan umat dari dalam. Salah satu di antara mereka adalah sekte Khawarij di masa silam dan para penganut pemikiran sekte tersebut di masa kini yang gemar melakukan aksi teror dengan mengatasnamakan jihad. Mereka menampakkan diri sebagai kaum muslimin yang punya komitmen terhadap agama, berpenampilan seperti layaknya orang-orang salih dan taat, dan bersikap seakan-akan membela ajaran Islam, namun sebenarnya mereka sedang melakukan upaya penghancuran Islam dari dalam, sadar ataupun tidak!

Sejarah Hitam Sekte Khawarij

Tidakkah kita ingat sejarah hitam kaum Khawarij yang diabadikan di dalam kitab-kitab hadits? Sebuah sekte yang diperselisihkan status keislamannya oleh para ulama (yang kuat mereka tidak dikafirkan, lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/390 dan 393]). Mereka adalah sekelompok orang yang memiliki ciri khas pandai membaca al-Qur’an dan menghafalkannya, suka mengusung slogan keadilan dan pembelaan rakyat yang tertindas guna menghalalkan pemberontakan kepada penguasa muslim. Berawal dari kedangkalan berpikir mereka, akhirnya hal itu menyeret mereka ke jurang kebid’ahan yang mengerikan. Mereka bunuhi umat Islam sementara para pegiat kemusyrikan justru mereka biarkan.

Munculnya sosok pengacau yang bengis namun berpenampilan salih seperti itu pernah terjadi di masa hidup Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma. Ketika itu, ada sebagian penduduk Bashrah yang terseret pemahaman Qadariyah -menolak takdir- yang diusung oleh sekelompok orang yang pandai membaca al-Qur’an dan memiliki banyak wawasan keilmuan dengan tokoh mereka Ma’bad al-Juhani, sebagaimana disebutkan di bagian awal kitab al-Iman dalam Shahih Muslim. Yahya bin Ya’mar -sang periwayat hadits ini- mengadukan problematika umat yang terjadi di masyarakatnya kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma,

أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ – وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ – وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لاَ قَدَرَ وَأَنَّ الأَمْرَ أُنُفٌ

“Wahai Abu Abdirrahman! Sesungguhnya di tengah-tengah kami muncul sekelompok orang yang suka membaca al-Qur’an dan mengumpulkan berbagai jenis ilmu -lalu dia menceritakan sebagian keadaan mereka lainnya- namun mereka menyangka bahwa takdir itu tidak ada dan segala urusan terjadi dengan sendirinya.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim. Cet. 1427 penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.27)

Nah, berikut ini kami nukilkan sebagian hadits yang mengisahkan tentang kekejian manhaj kaum Khawarij dan sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat dalam menghadapi mereka. Agar jelas bagi siapa saja bahwa sikap ulama Ahlus Sunnah as-Salafiyun dalam memerangi Khawarij dan pemikiran mereka bukanlah karena motif menjilat penguasa atau mencari muka di hadapan mereka, namun hal itu mereka lakukan semata-mata demi ‘melanjutkan kehidupan Islam’ sebagaimana yang mereka inginkan, dan tentu saja dengan cara meneladani metode perjuangan generasi terbaik dari umat ini.

Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma menceritakan,

أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْجِعْرَانَةِ مُنْصَرَفَهُ مِنْ حُنَيْنٍ وَفِى ثَوْبِ بِلاَلٍ فِضَّةٌ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْبِضُ مِنْهَا يُعْطِى النَّاسَ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ. قَالَ « وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ لَقَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ ». فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنه دَعْنِى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَأَقْتُلَ هَذَا الْمُنَافِقَ. فَقَالَ « مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ يَتَحَدَّثَ النَّاسُ أَنِّى أَقْتُلُ أَصْحَابِى إِنَّ هَذَا وَأَصْحَابَهُ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْهُ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ »

“Ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ji’ranah -nama tempat- sepulangnya beliau dari -peperangan- Hunain, ketika itu di atas kain Bilal terdapat perak yang diambil sedikit demi sedikit oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada orang-orang. Kemudian lelaki itu mengatakan, ‘Hai Muhammad, berbuat adillah!’. Maka Nabi menjawab, ‘Celaka kamu! Lalu siapa lagi yang mampu berbuat adil jika aku tidak berbuat adil. Sungguh kamu pasti telah celaka dan merugi jika aku tidak berbuat adil.’ Maka Umar bin al-Khatthab radhiyallahu’anhu berkata, ‘Biarkanlah saya wahai Rasulullah untuk menghabisi orang munafiq ini.’ Maka beliau bersabda, ‘Aku berlindung kepada Allah, jangan sampai orang-orang nanti mengatakan bahwa aku telah membunuh para sahabatku sendiri. Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya adalah suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar darinya sebagaimana keluarnya anak panah yang menembus sasaran bidiknya.’” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ungkapan ‘mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak melampaui pangkal tenggrorokan mereka’ memiliki dua penafsiran. Pertama, dimaknakan bahwa hati mereka tidak memahami isinya dan tidak bisa memetik manfaat darinya selain membaca saja. Kedua, dimaknakan amal dan bacaan mereka tidak bisa diterima oleh Allah (lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/389] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya di belakang orang ini akan muncul suatu kaum yang rajin membaca al-Qur’an namun tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka. Mereka membunuhi umat Islam dan justru meninggalkan para pemuja berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari sasaran bidiknya. Apabila aku menemui mereka, niscaya aku akan membunuh mereka dengan cara sebagaimana terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Di dalam hadits ini terkandung dorongan untuk memerangi mereka -yaitu Khawarij- serta menunjukkan keutamaan Ali radhiyallahu’anhu yang telah memerangi mereka.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/391] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Mereka bukanlah orang yang malas beribadah, bahkan mereka adalah sosok yang menakjubkan dalam ketekunan dan kesungguhan beribadah. Namun di sisi yang lain, mereka telah menyimpang dari manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sehingga membuat mereka layak menerima ancaman dan hukuman yang sangat-sangat berat, yaitu hukum bunuh!

Dalam teks riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ciri mereka,

فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلاَتَهُ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ

“Sesungguhnya orang ini -Dzul Khuwaishirah, gembong Khawarij, pent- akan memiliki pengikut-pengikut yang membuat salah seorang di antara kalian meremehkan sholatnya apabila dibandingkan dengan sholat mereka, dan meremehkan puasanya apabila dibandingkan dengan puasa mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَيَخْرُجُ فِى آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِى قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Akan muncul di akhir masa ini nanti sekelompok orang yang umurnya masih muda-muda dan lemah akalnya. Apa yang mereka ucapkan adalah perkataan manusia yang terbaik. Mereka suka membaca al-Qur’an akan tetapi bacaan mereka tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama seperti halnya anak panah yang melesat dari sasaran bidiknya. Apabila kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya dengan terbunuhnya mereka maka orang yang membunuhnya itu akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, ini lafaz Muslim)

an-Nawawi rahimahullah menerangkan, “Hadits ini menegaskan wajibnya memerangi Khawarij dan pemberontak negara, dan hal itu merupakan perkara yang telah disepakati oleh segenap ulama.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [4/397] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu -salah seorang bekas budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan bahwa ketika terjadi pemberontakan kaum Haruriyah (Khawarij) sedangkan saat itu dia bersama pihak Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, mereka -kaum Khawarij- mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Maka Ali bin Abi Thalib pun menanggapi ucapan mereka dengan mengatakan, “Itu adalah ucapan yang benar namun dipakai dengan maksud yang batil…” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dalam riwayat lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan tentang betapa buruknya mereka,

هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ وَالْخَلِيقَةِ

“Mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu)

Keamanan Adalah Nikmat yang Harus Disyukuri

Ketahuilah saudaraku -semoga Allah membimbing kita berjalan di atas jalan yang lurus- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan kepada umatnya untuk membuat keonaran dan kekacauan di masyarakat. Nabi memerintahkan untuk taat kepada penguasa muslim selama bukan dalam hal maksiat dan melarang rakyat memberontak kepada mereka sezalim apapun mereka -selama mereka masih sholat dan tidak melakukan kekafiran yang nyata yang kita memiliki bukti yang sangat jelas atasnya- serta melarang dari tindakan mengobral aib-aib pemerintah di muka umum. Itu semua disyari’atkan demi terpeliharanya sebuah nikmat yang agung yaitu stabilitas keamanan negara dan ketentraman umum.

Keamanan adalah nikmat yang agung dan harus dipelihara, tidakkah kita ingat doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada Rabbnya,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آَمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini aman tentram, dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung…’” (Qs. Ibrahim: 35)

Yang dimaksud ‘negeri’ dalam ayat di atas adalah tanah suci Mekah (lihat Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Aayil Qur’an [17/ 17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Doa meminta keamanan ini pun dikisahkan di dalam ayat lainnya, Allah ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا بَلَدًا آَمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Ingatlah ketika Ibrahim berdoa; ‘Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini aman tentram dan curahkanlah rezeki kepada penduduknya dari berbagai jenis buah-buahan, yaitu kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir di antara mereka…’” (Qs. al-Baqarah: 126)

Maka Allah pun kabulkan doa beliau, sebagaimana dalam firman-Nya,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ

“Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok.” (Qs. al-Ankabut: 67)

Ibnu Jarir at-Thabari rahimahullah meriwayatkan dari Mujahid tentang tafsiran surat Ibrahim ayat 35 di atas bahwa beliau mengatakan, “…Allah mengabulkan doa beliau, yaitu dengan menjadikan negeri tersebut (Mekah) aman, mencurahkan rezeki kepada penduduknya dengan berbagai jenis buah-buahan, menjadikan beliau sebagai sosok imam/pemimpin teladan, menjadikan keturunanannya sebagai orang yang mendirikan sholat, dan Allah pun mengabulkan permintaannya…” (Jami’ al-Bayan [17/17] Tahqiq Ahmad Muhammad Syakir. Maktabah as-Syamilah)

Allah juga memerintahkan untuk mensyukuri nikmat keamanan dengan beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman,

فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

“Maka hendaknya mereka beribadah kepada Rabb pemilik rumah/Ka’bah ini, yaitu yang telah memberikan makanan kepada mereka sehingga terbebas dari kelaparan, dan memberikan keamanan kepada mereka sehingga terlepas dari cekaman ketakutan.” (Qs. Quraisy: 3-4)

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengaruniakan kepada mereka keamanan dan murahnya segala sesuatu diperoleh di sana, maka semestinya mereka mengesakan-Nya semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam beribadah dan tidak justru menyembah kepada selain-Nya, entah itu berujud patung, sesembahan tandingan, ataupun berhala dalam bentuk apa saja.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [4/593] cet. 1417 Penerbit Dar al-Fikr)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Rezeki yang melimpah ruah dan rasa aman dari cekaman ketakutan termasuk nikmat keduniaan yang paling besar, yang sudah semestinya melahirkan sikap dan perilaku bersyukur kepada Allah ta’ala.” (Taisir al-Karim ar-Rahman [2/1305] cet 1418 penerbit Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)

Maka ayat yang mulia di atas mengajarkan kepada kita untuk mensyukuri nikmat keamanan, sedangkan bentuk syukur yang paling agung -bahkan yang menjadi pokoknya- adalah dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam beribadah. Termasuk dalam realisasi rasa syukur ini adalah dengan memelihara keamanan dan tidak merusaknya dengan berbagai bentuk teror dan kekacauan.

Oleh karena itulah, dakwah tauhid yang diserukan oleh para ulama Ahlus Sunnah di sepanjang jaman senantiasa memperhatikan hal ini yaitu terjaganya keamanan dan ketentraman umum serta keselamatan umat dari kekacauan politik dan sosial serta menyingkirkan ambisi-ambisi pribadi atau golongan yang ingin meraih tampuk kekuasaan -walaupun dengan tujuan memberantas kemungkaran-. Sebab dengan stabilitas keamanan itulah akan muncul manfaat yang meluas bagi masyarakat secara umum dan umat Islam pada khususnya, dan Ahlus Sunnah terlebih khusus lagi.

Tidakkah anda ingat kisah kesabaran Imam Ahmad bin Hanbal -salah seorang imam Ahlus Sunnah- semoga Allah merahmatinya? Beliau rela disiksa dan menahan kejamnya hukuman penguasa yang zalim. Beliau tidak mengajak ribuan pengikutnya untuk berdemonstrasi serta memberontak kepada penguasa tatkala itu, padahal beliau berada di pihak yang benar. Karena tekanan itu pula, beliau terpaksa mendekam di dalam penjara selama tiga masa pemerintahan. Ingatlah juga, kesabaran para sahabat ketika menghadapi kekejaman al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Kenapa penderitaan yang sedemikian berat itu rela mereka tanggung? Hal itu tidak lain dikarenakan mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa maslahat yang didapatkan dengan tidak memberontak dan tetap berada di bawah satu kepimpinan yang sah dan diakui merupakan salah satu sebab utama keamanan dan stabilitas negara.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Wajib untuk mendengar dan taat kepada para pemimpin dan Amirul Mukminin yang baik maupun yang fajir dan siapa pun yang menduduki tampuk khilafah, yang umat manusia telah bersatu di bawah kekuasaannya dan ridha kepadanya. Demikian juga terhadap orang yang berhasil menggulingkan kekuasaan mereka dengan pedang/senjata sehingga merebut posisi khalifah dan dijuluki sebagai Amirul Mukminin.” (Ushul as-Sunnah yang dicetak bersama Syarah Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafzihahullah, hal. 51 Penerbit Dar al-Minhaj cet. 1428 H)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Nabi Allah! Bagaimana pendapat anda jika ada pemimpin-pemimpin yang menguasai kami yang meminta agar hak-hak mereka dipenuhi namun mereka menghalangi kami dari mendapatkan hak-hak kami, maka apakah yang anda perintahkan kepada kami di saat seperti itu?” Maka beliau pun berpaling darinya. Lalu dia pun bertanya kembali kepada beliau dan beliau pun berpaling darinya. Lalu dia bertanya untuk kedua atau ketiga kalinya maka al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu’anhu pun menariknya seraya mengatakan (ketika itu Nabi hadir dan tidak mengingkari ucapannya, pent),

اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Tetaplah kamu mendengar dan taat. Sesungguhnya dosa yang mereka lakukan itu adalah tanggungan mereka, dan wajib bagi kalian menunaikan apa yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim)

Dalam hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan bahwa akan muncul sesudah beliau wafat para pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan Sunnah beliau. Di antara mereka terdapat orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan yang menjelma di dalam tubuh manusia. Mendengar hal itu Huzdaifah pun bertanya, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah, jika saya menemui hal itu?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya- bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Tetaplah kamu mendengar dan patuh kepada pemimpin, meskipun punggungmu harus dipukuli dan hartamu diambil. Kamu harus bersikap mendengar dan patuh.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi bersabda,

إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ « لاَ مَا صَلَّوْا ». أَىْ مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ

“Sesungguhnya akan menguasai kalian pemimpin-pemimpin yang kalian kenali kekeliruan mereka dan kalian pun mengingkarinya. Barang siapa yang membenci hal itu sungguh dia telah berlepas diri darinya. Dan barang siapa yang mengingkari sungguh telah selamat. Akan tetapi yang salah ialah apabila orang justru meridhai dan setia mengikuti kekeliruannya.” Maka para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kami perangi saja mereka itu?” Maka beliau menjawab, “Jangan, selama mereka masih melaksanakan sholat.” Arti ungkapan di atas adalah, “Barang siapa yang membenci dengan hatinya dan mengingkari dengan hatinya.” (HR. Muslim)

an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak mampu menghilangkan kemungkaran maka dia tidak berdosa semata-mata karena dia bersikap diam. Akan tetapi dia menjadi berdosa apabila dia meridhainya, tidak mau membencinya dengan hati, atau justru dengan setia mengikutinya.” (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj [6/485] cet. 2003 penerbit Dar Ibn al-Haitsam)

Camkanlah hadits-hadits di atas baik-baik, wahai para pemuda!
Pikirkanlah masak-masak dampak yang akan muncul di esok hari sebagai akibat dari tindakan kita…

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id