“Sekarang (masa Covid-19) jutaan kaum muslimin rapat dalam shaf, enggak ada masalah. Nabi juga tidak menyebutkan, nanti kalau ada thaun, shafnya renggang (merenggangkan shaf). Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh lagi kita ubah, tidak boleh kita buat yang baru dalam agama ini. Kok takut shafnya rapat, ini imannya dipertanyakan. Dalilnya mana ini kok shaf renggang? Enggak ada dalil. Sudah jelas, merengangkan shaf itu melanggar perintah Rasulullah bukan? Ini melanggar. Ini akibatnya berat. Enggak sekarang, cepat atau lambat akan kena orang itu. Yang kita ikut Rasulullah SAW, merapatkan shaf,”.
Itu merupakan isi ceramah yang disampaikan oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Ceramah agama itu untuk menjawab pertanyaan dari seorang jamaah yang bertanya terkait hukum shalat jamaah dengan merenggangkan shaf. Pasalnya, ada himbauan dari pemerintah, MUI, dan juga di Saudi Arabia, melaksanakan shalat dengan shaf renggang. Isi ceramah itu bisa dilihat dalam kanal Youtube MIAH Bogor. Video tersebut berjudul Sholat dengan Shaf Renggang Tidak dibenarkan oleh Rasulullah Shollolhu ‘alaihi wasalam.
Lebih lanjut, Ustadz Yazid mengatakan pemerintah tak ikut campur urusan shalat kaum mukmin. Ada pun yang disampaikan pemerintah tersebut, sekadar himbauan semata. Penulis kutipkan transkip ceramah tersebut;
“Pemerintah tidak ikut campur berkaitan shalat kaum mukminin dari zaman dahulu sampai sekarang, itu bentuknya himbauan saja, sekarang (masa Covid-19) jutaan kaum muslimin rapat dalam shaf enggak ada masalah, Kalo di bilang masa kesehatan, enggak menular di masjid, jutaan orang shalat sejak sebelum pandemi sampai sekarang, enggak menular, aman aman saja. Masjid tempat yang bersih. Sama Corona takut, sama Allah enggak takut,” Itulah pendapat yang beliau sampaikan terkait persoalan shalat merenggangkan shaf.
Lantas benarkah pendapat Ustadz Abdul Yazid di atas? Adakah ulama yang membolehkan shalat menjaga jarak? Atau menjaga jarak dalam shaf termasuk yang dibenci Nabi? Untuk menjawab ini mari kita bahas persoalan ini dalam kacamata hukum fikih Islam. Sebagai pembanding dari jawaban yang disampaikan oleh Yang Mulia Ustadz Abdul Yazid Jawas.
Anjuran Islam untuk Menjaga Kesehatan
Menurut syariat Islam, jiwa manusia dalam Islam sangat berharga. Menjaga jiwa adalah tujuan mulia. Melindungi jiwa dari kemusnahan dan keburukan merupakan tujuan tertinggi dari syariah yang mulia. Itulah tujuan syariah yang dibawa oleh Muhammad dan juga para rasul dan nabi lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al Baqarah/2;195;
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya; Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Menurut Shihabuddin Abu’l-‘Abbās Aḥmad ibn Muḥammad ibn Abi Bakr al-Qasṭallānī al-Qutaybī al Syafi’i, yang juga dikenal sebagai Al-Qasṭallānī dalam kitab Irsyādu as Sārī, ketika menjelaskan firman Allah dalam Q.S an-Nisāa/4:102, bahwa ayat ini menjelaskan wajib waspada dari segala bahaya yang akan datang. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa berobat dengan obat ketika sakit dan menjaga diri dari wabah penyakit serta menghindari dari duduk-duduk di bawah dinding yang miring adalah wajib.
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ [النساء: 102] فيه بيانُ الرخصةِ في وضْعِ الأَسْلِحةِ إنْ ثَقُل عليهمْ حَمْلُها بِسببِ مَا يَبُلُّهُم مِن مطرٍ أوْ يُضْعِفُهمْ مِن مرَضٍ وأمَرَهُمْ معَ ذلك بِأخذِ الحذْرِ لِئلا يَغْفَلوا فيَهجُمُ عليهمُ العدوُّ، ودلَّ ذلك على وُجوْبِ الحذرِ عن جميعِ المضارِّ المظنونةِ، ومِنْ ثَمَّ عُلِم أنَّ العلاجَ بالدواءِ والاحْترازَ عنِ الوباءِ والتحرُّزَ عن الجلوسِ تحتَ الجدارَ المائلَ واجبٌ.
Artinya; Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. [an-Nisāa: 102]:
Di dalam ayat ini adanya keringanan untuk meletakkan senjata saat para pasukan terbebani dengan bawaan, seperti dalam keadaan basah kuyup kehujanan atau karena sakit. Meskipun demikian mereka tetap harus waspada terhadap musuh.
Ayat tersebut juga menunjukkan wajibnya menjaga kewaspadaan dari segala bahaya yang akan datang. Dari sinilah dipahami bahwa berobat dengan obat dan menjaga diri dari wabah penyakit serta menghindari dari duduk-duduk di bawah dinding yang miring adalah wajib.
Pada sisi lain, tujuan pokok dari penerapan syariat Islam adalah mewujudkan mashlahah. Intisari syariat adalah demi kemanusiaan. Menurut Imam Al Ghazali, ada lima hal tujuan syariah. Dalam kitab Al-Mustashfa, Imam Ghazali berkata sebagai berikut:
ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة، ودفعها مصلحة
Artinya; Tujuan syariat yang berlaku atas makhluk ini ada 5, yaitu menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan hartanya. Segala kebijakanyang berorientasi pada penjaminan terhadap kelima dasar pokok ini disebut juga sebagai maslahah. Sebaliknya, kebijakan yang meninggalkan kelima asas dasar ini, maka termasuk mafsadah. Oleh karena itu, menolaknya, adalah tindakan yang mashlahah.
Hukum Merenggangkan Shaf Dalam Tinjauan Fikih
Sejatinya terdapat hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari terkait anjuran untuk merapatkan shaf ketika sedang berjamaah. Pasalnya, menurut hadist tersebut merapatkan shalat bagian dari kesempurnaan shalat. Rasulullah bersabda:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ , فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاةِ
Artinya: Rapatkan kalianlah shaf, karena merapatkan shaf dari pada kesempurnanan mendirikan shalat (H.R. Bukhari/723)
Menanggapi hadist ini, Syaikh Saad bin Nashir bin Abdulaziz Abu Habib Al-Syatsri, menyebutkan bahwa hadis tersebut tidak menunjukkan wajib merapatkan shaf. Dewan Ulama Senior Arab Saudi dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas King Saud Arab Saudi ini juga menerangkan mayoritas ulama sepakat, hadist ini menunjukkan sunat merapakatkan barisan dalam shalat. Pasalnya, membuat rapat shaf tidak termasuk dalam rukun shalat atau syarat wajib shalat.
Syaikh Saad bin Nashir bin Abdulaziz Abu Habib Al-Syatsri, mengatakan:
إذ تمام الشيء امر زائد على حقيقة التي لا يتحقق بها
Artinya: adalah kesempurnaan sesuatu itu adalah nilai plus/ tambah atas hakikatnya yang tak akan terpenuhi melainkan dengan adanya hakikat tersebut.
Pendapat serupa juga tercantum dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah Jilid XXVII, halaman 35, bahwa hukum merapatkan shaf ketika shalat berjamaah adalah sunat, bukan wajib. Untuk itulah, seorang Imam dianjurkan untuk memerintahkan jamaah terlebih dahulu untuk merapatkan barisan sebelum shalat ditunaikan.
Para ulama dalam Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah mengeluarkan fatwa berikut:
ذهب الجمهور إلى أنه يستحب تسوية الصفوف في صلاة الجماعة بحيث لا يتقدم بعض المصلين على البعض الآخر, حتى لا يكون في الصف خلل ولا فرجة، ويستحب للإمام أن يأمر بذلك
Artinya: para jumhur ulama berpendapat bahwa sunah hukumnya meluruskan saf ketika shalat jamaah, sekira-kira barisan orang yang shalat tidak lebih maju satu dengan yang lain, sehingga tidak ada dalamshaf itu yang kosong dan berlobang, dan Imam disunatkan menyuruh makmum untuk merapatkan shaf.
Pada sisi lain, Imam Nawawi dalam kitab Syarah al Muhadzab,Jilid IV, mengatakan bahwa pada saat melaksanakan shalat berjamaah sunah hukumnya meluruskan shaf. Pun sunah hukumnya Imam menyuruh para makmun merapatkan shaf. Sehingga tidak ada lobang-lobang di antara jamaah. Imam Nawawi berkata;
اتفق أصحابنا وغيرهم على استحباب الصف الأول والحث عليه، وجاءت فيه أحاديث كثيرة في الصحيح، وعلى استحباب يمين الإمام، وسد الفرج في الصفوف، وإتمام الصف الأول ثم الذي يليه إلى آخرها، ولا يَشرع في صف حتى يتم ما قبله
Imam Nawawi Nawawi berkata: “Para sahabat kami dan yang lainnya sepakat bahwa shaf pertama adalah mustahab dan menghimbaunya, dan terdapat banyak hadits-hadist shahih yang membahas tentang hal itu, dan sunah juga makmum mengisi sebelah kanan imam, menutup celah-celah di shaf, melengkapi baris pertama dan kemudian berikutnya sampai akhir, dan tidak disyariatkan pada shaf berikutnya sehingga sempurna shaf sebelumnya.
Ada dua hal yang menjadi catatan dalam keterangan hadis di atas dan juga pendapat para ulama tersebut. Pertama, terkait hukum merapatkan shaf dalam shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Artinya, tanpa merapatkan shaf pun shalat tetap sah dilakukan. Kedua, kesunnahan merapatkan barisan tersebut berlaku dalam keadaan normal. Bukan dalam keadaan darurat dan uzur.
Hukum Merenggangkan Shaf Saat Darurat
Lantas bagaimana dalam keadaan darurat, seperti adanya wabah, cuaca ekstrim, dan pandemi? Menanggapi persoalan ini Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain mengatakan bila dalam keadaa uzur atau darurat, maka merenggangkan shaf dalam shalat tidak makruh hukumnya. Di samping itu, menjaga jarak ketika shalat berjamaah saat keadaan darurat, juga tetap mendapatkan fadhilah shalat berjama’ah—pahala shalatnya sempurna.
Imam Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain berkata:
نَعَمْ، إِنْ كَانَ تَأَخُّرُهُمْ عَنْ سَدِّ الفَرَجَةِ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الحَرِّ بِالـمَسْجِدِ الحَرَامِ لَـمْ يُكْرَهْ لِعَدَمِ التَّقْصِيْرِ فَلَا تَفُوْتُهُمُ الفَضِيْلَةُ
Artinya; Tetapi jika mereka tertinggal (terpisah) dari shaf karena uzur seperti cuaca panas di masjidil haram, maka tidak (dianggap) makruh karena tidak ada kelalaian. Dan mereka tidak kehilangan fadhilah shalat jama’ah”
Sementara itu, Syekhul Islam, Ibn Taimiyah dalam kitab Majmu’ al Fatawa berpendapat bahwa merenggangkan shaf, atau menjaga jarak dalam shalat jamaah adalah boleh hukumya, apabila ada uzur syariat. Misalnya dalam keadaan wabah dan cuaca ekstrim. Syekh Islam Ibnu Taymiyah berkata;
وإذا كان القيام والقراءة وإتمام الركوع والسجود والطهارة بالماء وغير ذلك يسقط بالعجز. فكذلك الاصطفاف وترك التقدم
Artinya: dan apabila berdiri ketika shalat, membaca fatiha, menyempurnakan rukuk, sujud, bersuci dengan air dan selain itu, gugur kewajibannya karena ada uzur (lemah), maka demikian juga dengan merapatkan dan meluruskan shaf.
Sementara itu, Menurut Doktor Syauqi Ibrahim Allam, ulama besar yang pernah jadi Mufti di Lembaga Fatwa Mesir (Dar Ifta Mishriyah) mengatakan bahwa dalam keadaan wabah dan pandemi boleh hukumnya shalat dengan merenggangkan shaf. Pasalnya, dikhawatirkan bila merapatkan barisan, akan memudahkan virus menularkan pada jamaah lain. Syekh Syauqi Allam berkata;
ومن هنا جاز هذا التباعد بين المصلين في صلاة الجماعة؛ بحيث يترك المصلي مسافةً بينه وبين من يجاوره؛ وبينه وبين من يصلي أمامه وخلفه؛ تحرزًا من الوباء، وخوفًا من انتقال عدواه.
Artinya: Oleh karena itu, menjaga jarak antar jamaah dalam shalat berjamaah diperbolehkan; sehingga orang yang beribadah menjaga jarak antara dia dan orang-orang di sekitarnya; dan antara dia dan orang-orang yang shalat di depannya dan di belakangnya; Untuk menghindari epidemi/wabah, dan karena takut menularkan virus yang menginfeksinya.
Panduan Rasulullah dalam Menghadapi Wabah
Rasulullah sebagai pun memberikan panduan pada umatnya dalam menghadapi pandemi dan wabah. Panduan dari Rasulullah itu termaktub dalam pelbagai hadist shahih yang bersumber dari para sahabat yang terpercaya dan memenuhi klasifikasi dalam ilmu hadist. Misalnya sebagaimana dalam hadis Shahih Bukhari vol 7, nomor 5707 yang memerintahkan untuk menghindar dari wabah.
و فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسدِ
Artinya; Larilah dari penyakit sebagaimana kamu lari ketika melihat singa
Selanjutnya, disebutkan dalam Shahih Bukhari volume 7 hadist 5728 nabi bersabda agar menjauh dari wabah. Tak memasuki daerah yang terkena wabah. Nabi bersabda;
قَالَ سَمِعْتُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، يُحَدِّثُ سَعْدًا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ “ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya; Aku berkata, aku mendengar Usamah bin Zayd berkata, kami mendengar Saad, ia mendengar Rasulullah bersabda, “ketika kamu mendengar tersebarnya wabah disuatu negeri, jangan memasuki negeri itu, dan jika ditempat mu tinggal tersebar suatu wabah, jangan tinggalkan tempat itu”.
Pesan yang sama juga disebutkan dalam Shahih Bukhari vol 7, nomor 5730;
فَجَاءَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
Artinya; Abdurrahman bin Auf kemudian datang, ia tidak hadir musyawarah sebelumnya karena ada keperluan. Abdurrahman lalu berkata, “Sesungguhnya aku punya ilmu tentang hal ini yang aku dengar langsung dari Rasulullah, beliau bersabda;
“Jika kamu mendengar tersebar wabah di suatu negeri, jangan memasuki tempat itu, dan jika ditempat tinggal mu terdapat wabah dan jangan melarikan diri dari tempat itu,”.
Selanjutnya ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa sekelompok orang datang menemui Rasulullah untuk berbaiat, datang untuk mengungkapkan janji setia kepada Rasulullah. Salah seorang mereka terkena penyakit lepra. Jadi rasul mengirim pesan pada orang itu, “Pulanglah, dan baiat mu telah diterima,”.
Demikianlah, penjelasan terkait kebolehan menjaga jarak dalam shalat berjamaah. Terlebih dalam keadaan darurat. Semoga bermanfaat.
BINCANG SYARIAH