Pendiri komunitas Tionghoa Muslim Indonesia ini menjadi mualaf sejak masih anak-anak.
Dalam hidup, perkara yang sangat disyukurinya ialah berislam. Loe Kwang Ik, demikian nama aslinya, mulai mengenal agama ini dari seseorang yang dekat dengannya. Pada akhirnya, lelaki kelahiran Jakarta itu mantap mengimani tauhid. Sejak menjadi Muslim, dirinya memilih nama baru: Muhammad Abdul Aziz.
Pria yang akrab disapa Koh Aziz itu kini mendedikasikan waktunya untuk syiar Islam. Menurut sosok berdarah Tionghoa tersebut, dakwah adalah jalan hidup yang ideal bagi seorang Muslim. Dengannya, pesan rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) yang juga merupakan karakteristik agama ini dapat disampaikan kepada seluas-luasnya khalayak.
Ketertarikannya pada Islam bermula dari keluarga. Memang, kedua orang tuanya adalah non-Muslim. Namun, kakaknya menjadi mualaf ketika Aziz masih berusia kanak-kanak. Kesan yang didapatnya terus membekas dalam benak pikiran.
Ayah dan bundanya sangat menentang keputusan abangnya itu. Alhasil, suasana di rumah sempat menjadi kurang harmonis. Apalagi, keduanya menganggap budaya mereka tidak akan sesuai dengan Islam. Kaum Muslimin dipandangnya sebelah mata. Kebanyakan orang Islam distigmakan sebagai bukan kaum kaya, berpakaian tidak bersih dan rapi, serta pelbagai perilaku negatif lainnya.
Saat itu, Aziz adalah bocah berumur 11 tahun. Namun, nalarnya sudah mencoba mengurai ketidakharmonisan dalam rumah. Ia tidak ikut-ikutan menghakimi kakaknya, sebagaimana yang ditunjukkan bapak dan ibunya. Yang dilakukannya ialah berdialog dengan abangnya itu.
Dari obrolan tersebut, Aziz kecil mulai mengenal sedikit tentang dasar-dasar Islam. Misalnya, bagaimana konsep ketuhanan menurut agama ini. Selain itu, diceritakan pula tentang Nabi Muhammad SAW, sosok yang menyebarkan risalah tersebut.
“Saya ditanya mengenai keyakinan akan Tuhan dan koko (kakak) saya menjelaskan tentang konsep ketuhanan dalam Islam. Itu dikaitkannya dengan fakta yang ada. Akhirnya, saya semakin ragu dengan konsep ketuhanan yang saya yakini selama itu (di agama lama),” ujar Muhammad Abdul Aziz mengenang.
Seharian itu, ia bertukar wawasan dengan kakaknya. Sang abang tiap memasuki waktu azan, selalu pamit untuk mendirikan shalat. Begitu seterusnya hingga tak terasa, malam pun tiba.
Keesokan harinya, Aziz menemui kakaknya. Dalam hatinya, tidak ada keraguan sama sekali. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Terlebih lagi, tauhid sangat mudah dipahami. Hanya ada satu Tuhan. Dialah Allah Yang Maha Esa. Dia Yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Bagi Aziz, dalil tersebut begitu masuk akal.
Waktu itu, suatu hari pada tahun 1991, ia pun menyatakan diri masuk Islam. Oleh abangnya, lelaki kelahiran 23 Agustus 1980 itu dibimbing untuk melafalkan dua kalimat syahadat. Pelan-pelan, meski terbata-bata, akhirnya meluncurlah ikrar ini dari lisannya: “Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah”, ‘saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.’
Sesudah itu, Aziz mulai merasakan kekhawatiran. Sebabnya tidak ada selain bahwa kedua orang tuanya dapat mengetahui keislamannya. Karena itu, ia memutuskan untuk menyembunyikan iman tersebut untuk sementara waktu. Perkara ibadah dan lain-lain tetap dijalaninya. Bahkan, kadang-kadang dirinya terpaksa shalat di tempat ibadah agama sebelumnya.
Semua dijalaninya dengan penuh kesabaran. Syukurlah, kakaknya dengan setia membimbing dan mendampinginya. Abangnya itu pun membimbing dengan arahan seorang ustaz. Ada lagi mentornya, yakni seorang kawannya, mantan mahasiswa universitas Islam yang pernah kuliah kerja nyata (KKN) di kantor orang tuanya.
Tahun demi tahun berganti. Aziz berhasil melalui satu per satu jenjang pendidikan. Setelah lulus SMP, ia berpisah dengan kedua orang tuanya. Mereka kembali ke Jakarta, sedangkan Aziz tetap di Jawa Timur, tepatnya Jember. Karena jauh dari keduanya, ia merasa lebih bebas untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya sekarang: Islam.
“Tiga tahun saya menjadi Muslim dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Sejak hidup mandiri, saya bertekad untuk serius menjalani dan mendalami ajaran Islam,” katanya.
Dalam hal ini, tentu saja belajar agama tidak bisa sendirian. Ia pun mulai mencari seorang dai atau ustaz yang bersedia mengajarinya. Pemuda itu berkunjung dari satu masjid ke masjid lainnya.
Bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala. Saat itu, dia biasa mengadakan perjalanan hingga ke Yogyakarta. Di Kota Pelajar, barulah ada seorang ahli agama Islam yang bisa membimbing kalangan mualaf, seperti dirinya.
Terlebih lagi, di sana cukup banyak mualaf yang berusia sebaya dengannya. Aziz pun kian bersemangat untuk mempelajari Islam, terutama mengaji Alquran dan melancarkan bacaan-bacaan shalat. Salah seorang pengajar yang cukup berkesan baginya kala itu ialah Ustaz Nuke Anugrah Lesmana.
Banyak hal yang diajarkan Ustaz Nuke kepadanya. Tidak hanya ilmu-ilmu agama, motivasi pun kerap disampaikannya. Pesan yang berulang kali ditekankannya: seorang Muslim harus terus istikamah di jalan takwa.
Sebagai seorang mualaf, Aziz mengenang, saat itu dirinya merasakan cobaan yang cukup berat. Tiga tahun lamanya sempat menyembunyikan keimanan. Rasanya, tidak mudah untuk menerapkan hidup islami dengan baik, semisal perkara makanan dan sebagainya. Karena itu, perantauannya selama di Jawa Timur dan juga Yogyakarta adalah blessing in disguise. Mulai saat itu, konsistensi bisa dipupuknya tahap demi tahap.
Memilih takzim
Pada akhirnya, Aziz mengungkapkan jati dirinya sebagai Muslim. Sebelum itu, ia terlebih dahulu curhat ke Ustaz Nuke dan sahabat-sahabat terdekat. Semuanya mendukung keputusannya untuk mulai terbuka dengan kedua orang tuanya mengenai iman. Kalaupun nanti, umpamanya, Aziz diusir dari rumah, beberapa kawan bersedia memberikan tempat untuk bernaung.
Hari yang dinanti-nanti tiba. Tentu saja, ayah dan ibunya terkejut dengan pengakuan putranya itu. Dalam bayangan mereka, terulang lagi perkara yang pernah terjadi pada si sulung—kakaknya Aziz.
Karena itu, diputuskanlah bahwa tidak ada “pengusiran”. Menurut keduanya, percuma diusir karena nanti seisi rumah hanya menjadi sasaran cibiran tetangga. Belum lagi, di luar sana anaknya itu bisa saja mendapatkan lebih banyak dukungan.
Alhasil, Aziz dibiarkan untuk tinggal di rumah. Namun, perlakuan terhadapnya kian terasa berubah. Sering kali ia dibujuk rayu atau disindir agar kembali ke agama lama.
Sampai di sini, Aziz teringat pesan Ustaz Nuke: perlakukanlah kedua orang tua dengan penuh cinta, hormat, dan sopan santun. Sebab, itulah yang diajarkan Islam. Jangan sampai perbedaan iman menjadi penyebab kedurhakaan seorang anak terhadap ayah dan ibu.
Maka, Aziz terus menunjukkan baktinya kepada mereka. Harapannya, Allah membukakan pintu hidayah bagi kedua orang tuanya. Atau, setidaknya, suasana harmonis dapat kembali hidup di dalam rumah.
“Di keluarga, saya adalah anak paling muda. Sikap saya, ingin tetap takzim, menghormati mereka. Dengan begitu, harapannya, mereka menyadari bahwa akhlak seorang Muslim adalah (anak) tetap menghormati orang tua,” ucapnya.
Tibalah masanya Aziz lulus SMA. Dengan komitmen ingin hidup mandiri, yakni tidak terus-menerus membebani orang tua, ia memutuskan untuk menikah. Waktu itu, dia sudah memperoleh pekerjaan tetap walau dengan gaji tidak begitu banyak.
Ia pun melamar seorang perempuan Muslimah. Setelah lamaran, Aziz kemudian berbicara bahwa dia akan menikah. Tentu kedua orang tuanya terkejut. Sebab, semua itu seperti tanpa persiapan. Waktu akad hanya selang dua hari sejak lamaran.
Usai menikah, Aziz dan istrinya menyewa sebuah rumah. Pasangan ini beberapa tahun kemudian dikaruniai seorang anak. Meski dengan keterbatasan ekonomi, keluarga kecil ini tak patah semangat. Istri Aziz pun kerap menyemangatinya agar selalu memiliki waktu untuk terus belajar agama.
Pada 2000, Aziz mendaftar kuliah pada jurusan tarbiyah di sebuah kampus. Sembari itu, ia tetap meneruskan usahanya sendiri. Allah berkehendak, lambat laun usahanya itu membuahkan hasil. Keadaan ekonominya meningkat. Enam tahun kemudian, ia bisa membangun rumah sendiri.
Aziz kini memiliki lima orang anak. Sementara itu, usahanya kian maju walaupun sempat terimbas pandemi akhir-akhir ini. Bisnisnya tidak menjadi alasan untuk berpaling dari dunia dakwah.
Pada 2014 lalu, ia membentuk komunitas Tionghoa Muslim Indonesia (TMI). Organisasi itu bertujuan mempererat silaturahim dan menyebarluaskan dakwah Islam, khususnya di kalangan keturunan Tiongha. Sifatnya terbuka, baik untuk Muslimin, mualaf, atau siapapun yang tertarik mengenal agama Islam.
Hingga saat ini, TMI terus berkembang. Di Semarang, Jawa Tengah, komunitas tersebut berhasil mendirikan sebuah sekolah mualaf. Pelbagai kajian keislaman digelar rutin di sana, dengan mengundang sejumlah mubaligh.
Ia dan keluarga berniat pula untuk membangun sebuah pondok pesantren khusus penghafal Alquran di Ibu Kota. Rencananya, para santri itu tak hanya dibekali pendidikan agama dan umum, tetapi juga keterampilan berkuda. “Masih proses. Nantinya santri, selain belajar agama, juga akan diberikan homeschooling dan fasilitas maksimal lainnya,” tutur Aziz.
OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI
KHAZANAH REPUBLIKA