Pangkal Dosa dan Sumber Petaka Menurut Imam Nawawi

Mencintai dunia adalah pangkal dari segala dosa

Syekh Nawawi Al Bantani merupakan ulama nusantara yang mendunia. Ia pernah menjadi imam besar Masjidil Haram Makkah. Ulama asal Banten ini juga termasuk intelektual muslim yang produktif.

Salah satu karyanya yang terkenal adalah Nashaih al-‘Ibad, yang di dalamnya terdapat banyak nasihat. Dalam kitabnya ini, Syekh Nawawi Al Bantani menyampaikan nasihatnya berdasarkan hadits Nabi, khususnya tentang  sumber segala dosa dan fitnah. Rasulullah SAW bersabda: 

أصل جميع الخطايا حب الدنيا وأصل جميع الفتن منع العشر والزكاة Ashlu Jamii’il khathaayaa hubbud dunya wa ashlu jamii’il fitani man’ul ‘usyri waz zakaati. 

Artinya: “Sumber segala dosa adalah cinta dunia (sesuatu yang lebih dari kebutuhan), dan sumber segala fitnah adalah tidak mau membayar sepersepuluh harta dan enggan membayar zakat pada umumnya.”

Syekh Nawawi menjelaskan, hal itu termasuk ‘athaf ‘am ‘ala al-Khas, kata al-‘Usyr (sepersepuluh)  dalam hadits tersebut adalah khusus bagi zakat tanaman dan buah-buahan. Sementara, kata al-zakat mencakup semua itu, termasuk zakat harta, ternak, dan zakat badan (fitrah).

Sementara itu, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa sumber segala dosa ada tiga perkara. Pertama, yaitu kesombongan (al-kibr). Sifat inilah yang dimiliki Iblis sehingga dia menyimpang ke jalan kesesatan.

Kedua adalah tamak (al-hirsh). Sifat inilah yang membuat Adam keluar dari surga. Sedangkan yang ketiga adalah dengki (al-hasad). Sifat inilah yang membuat salah satu anak Adam membunuh saudaranya.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Barangsiapa yang terbebas dari tiga sifat ini, maka dia akan terlindung dari segala macam kejelekan. (Ketahuilah), kekafiran itu berasal dari sifat sombong. Maksiat berasal dari sifat tamak. Sikap melampaui batas dan kezaliman berasal dari sifat dengki (hasad).”

KHAZANAH REPUBLIKA

Pakistan Umumkan tidak Naikkan Biaya Haji dan Umroh

 Menteri Federal untuk Urusan Agama dan Minoritas Pakistan Noorul Haq Qadri mengatakan pemerintah tidak akan menaikkan biaya haji dan umroh, Sabtu (2/10). Pemerintah akan melanjutkan upaya memastikan pemberian fasilitas terbaik bagi masyarakat.

Hal tersebut ia sampaikan dalam kegiatan upacara pengambilan sumpah anggota kabinet yang baru terpilih, dari Organisasi Kelompok Haji Swasta. Ia mengatakan Covid-19 telah mencengkeram seluruh dunia, tetapi dengan rahmat Allah dan kerja sama bangsa, pandemi itu terkendali.

Dilansir di GEO TV, Ahad (3/10), ia juga memberi selamat sekaligus meminta mereka bekerja dengan pemerintah, memainkan peran dalam menyediakan semua fasilitas yang memungkinkan bagi para peziarah.

Menteri Agama mengatakan pemerintah sedang berhubungan dengan Pemerintah Saudi. Setelah dua kali pelaksanaan haji ditutup bagi negara di luar Kerajaan, sekarang ada harapan larangan haji dan umroh akan benar-benar dicabut.

“Saya meyakinkan jamaah haji dan umroh, kami akan melakukan yang terbaik untuk menawarkan fasilitas yang lebih baik kepada mereka,” katanya.

Arab Saudi selaku rumah bagi situs-situs paling suci Islam di Makkah dan Madinah, telah melarang jamaah dari luar negeri dua berturut-turut melaksanakan haji. Mereka membatasi jamaah hanya dari dalam kerajaan dengan kondisi khusus, untuk menjaga penyebaran Covid-19 dan varian barunya.

Hanya 60 ribu warga dan penduduk Saudi, berusia 18 hingga 65 tahun, yang sepenuhnya divaksinasi atau pulih dari virus dan tidak menderita penyakit kronis, yang dipilih untuk ibadah tahunan tersebut. Pada tahun-tahun sebelumnya, lebih dari dua juta peziarah menutupi gunung di dataran Arafah, duduk berdekatan di tengah panasnya gurun kota Makkah, membawa payung dan kipas angin agar tetap sejuk saat suhu naik menuju 40 derajat Celsius.

Tahun ini, jamaah haji harus menjaga jarak sosial dan mengenakan masker di Gunung Arafat, tempat dimana Allah SWT menguji iman Nabi Ibrahim dengan memerintahkannya mengorbankan putranya, Ismail. 

https://www.geo.tv/latest/373650-noorul-haq-qadri-announces-important-hajj-umrah-update

IHRAM

Tiap Obat Ada Dosisnya ⁣

Ada yang bilang, jangan khawatir mengkonsumsi obat herbal karena tidak akan ada efek samping. Jangan takut over dosis karena obat herbal itu aman. Tidak berbahaya jika konsumsi dalam jumlah banyak. ⁣ ⁣ Ini merupakan pernyataan yang aneh. Jika obat herbal secara pasti aman meskipun dikonsumsi dalam jumlah sangat banyak, maka bagaimana mungkin ia bermanfaat untuk pengobatan.

Contoh sederhana obat untuk darah rendah, jika konsumsi herbal diyakini dapat menaikkan tekanan darah hingga pada kondisi normal, ini menunjukkan bahwa obat herbal tersebut bermanfaat untuk menaikkan tekanan darah. Maka bagaimana mungkin obat itu tidak mendatangkan bahaya jika dikonsumsi berlebihan? ⁣ ⁣

Teringat sebuah hadis:

⁣ ⁣ عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ⁣ ⁣

Dari Sa’ad ia bertutur: Aku menderita sakit, kemudian Rasulullah ﷺ menjengukku. Beliau meletakkan tangannya di antara kedua putingku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau.

Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu sakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang thabib. Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kalidah) mengambil tujuh buah kurma Ajwah Madinah, ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (HR. Abu Dawud). ⁣ ⁣

Hadis ini memberi pelajaran bagi kita bahwa kita tidak boleh sembarangan berobat. Kita perlu bertanya kepada thabib (dokter) yang ahli di bidangnya sehingga dengan itu kita dapat mengetahui takaran, cara penggunaan dan waktu-waktu yang tepat. Zatnya sama, beda cara penggunaannya, akan berbeda manfaat maupun akibatnya. Bahan racikan yang sama, beda ukuran dan prosedurnya, dapat berbeda jauh kegunaan dan manfaatnya. Tidak terkecuali akibatnya. ⁣ ⁣

Jangankan obat. Parfum saja beda komposisi bahkan dapat berbeda golongannya. Ada parfum yang disebut khaluq. Bahan utamanya za’faran dan diracik dengan beberapa bahan lain. Tetapi tidak setiap parfum yang di dalamnya terdapat za’faran dalam jumlah cukup banyak, dapat disebut khaluq. Misk An-Najdi misalnya. Bahan pentingnya adalah za’faran, misk, ambar dan ward (mawar). Tetapi ia tidak termasuk khaluq. ⁣ ⁣

Berkenaan dengan dosis ini mengigatkan saya kepada za’faran alias saffron. Ukuran sedikit atau banyak untuk za’faran, berbeda dengan safflower —yang sering dikelirukan sebagai saffron— dan tentu saja jauh berbeda ukurannya dibandingkan beras atau gandum. Mempelai laki-laki Arab biasa disiapkan secangkir minuman dari za’faran.

Tetapi suatu ketika urusan menyiapkan za’faran diserahkan kepada orang yang tidak memahami takaran. Ia pun memberikan sejumput, kira-kira ukuran satu gram, jumlah yang luar biasa banyak untuk za’faran, meskipun tampak sangat sedikit untuk ukuran gandum. ⁣ ⁣ Apa yang terjadi? Mempelai laki-laki itu pun seperti orang yang kehilangan keseimbangan akal. Untunglah hanya seperti itu akibatnya, sebab konsumsi za’faran melebihi 0,5 gram sekali minum dapat menyebabkan seseorang pingsan atau lebih dari itu. ⁣ ⁣

Oh ya, sekedar mengingatkan, thibbun nabawi itu tidak sama dengan herbal. Tampaknya sederhana, tetapi penting sekali untuk kita pahami. Terlebih ketika banyak bermunculan mutathabbib (الْمُتَطَبِّبَ). Siapakah mutathabbib itu? Seseorang yang seakan-akan memiliki penguasaan ilmu pengobatan yang sangat matang, padahal ia tidak memiliki pengetahuan minimal yang mencukupi.

*) Mohammad Fauzil Adhim | Twitter : @Kupinang

HIDAYATULLAH

Sejarah Panggilan Haji di Indonesia

Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang memiliki kemampuan melaksanakannya. Karena untuk melaksanakan haji memerlukan biaya yang tidak murah dan juga menuntut kemampuan yang tidak mudah, acapkali kaum muslim menganggap ibadah ini sebagai ibadah paling spesial dan memiliki tempat tersendiri di hati kaum muslim khususnya di Indonesia. Hal itu terlihat dari panggilan “Haji” yang disematkan bagi orang yang pernah melaksanakan ibadah tersebut.

Sejarah mencatat, sesudah ibadah haji disyariatkan, Rasulullah hanya berhaji satu kali, yakni haji wada’. Hal ini menjadi dasar bahwa haji yang diwajibkan hanyalah satu kali seumur hidup. Riwayat juga menyebutkan bahwa semua Nabi dan Rasul pernah melaksanakan ibadah haji.

Demikian pula dengan para Sahabat, Tabiin, dan generasi Ulama sesudahnya, dikisahkan bahwa kebanyakan diantara mereka melaksanakan ibadah haji karena merupakan rukun Islam. Menarik untuk dikaji bahwa mereka para generasi Salaf, tidak pernah ada yang tercatat diberikan gelar “Haji”. Tidak ada panggilan “Haji” Muhammad SAW, “Haji” Abu Bakar RA, “Haji” Umar RA, “Haji” Utsman RA, tidak pula “Haji” Ali bin Abi Thalib KW. Pertimbangan demikianlah yang menjadikan beberapa ulama kelompok Salafi di zaman now yang menyatakan bahwa panggilan “Haji” merupakan bidah karena tidak ada contohnya dari generasi Salaf dan mencerminkan sifat riya.

Pemberian gelar haji dimulai pada tahun 654H, di mana pada saat itu, di kota Mekah sedang terjadi pertikain yang mengganggu keamanan kota Mekah sehingga bagi orang yang akan melaksanakan haji, perlu persiapan yang sangat ekstra sampai harus membawa persenjataan lengkap ibarat hendak pergi ke medan perang.

Sekembalinya mereka dari ibadah haji, mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang, dan dielu-elukan dengan sebutan “Ya Hajj, Ya Hajj”. Maka berawal dari situ, setiap orang yang pulang haji diberi gelar “Haji”.

Gelar haji nyatanya bukan hanya digunakan di Indonesia, tapi juga digunakan di negara-negara lain dengan penyesuaian bahasa lokal mereka. Dalam bahasa Farsi dan Pashto ditulis: haajii (h-a-j-ii), bahasa Yunani: Χατζής, Albania: Haxhi, Bulgaria: Хаджия, Kurdi: Hecî, Serbia/Bosnia/Kroasia: Хаџи atau Hadži, Turki: Hacı, Hausa: Alhaji dan bahasa Romania: hagiu. Di beberapa negara, gelar haji dapat diwariskan turun-temurun sehingga menjadi nama keluarga seperti Hadžiosmanović dalam bahasa Bosnia yang berarti ‘Bani Haji Usman’ alias ‘anak Haji Usman’.

Dalam sejarah Nusantara, tercatat bahwa Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371) menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi. Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.

Dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa, termasuk diantaranya putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1671.

Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda, pemberian gelar “Haji” sengaja dilakukan oleh pihak kolonial sebagai identifikasi bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji dan tentunya mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan bangsa-bangsa luar.

Interaksi tersebut kerapkali menimbulkan semangat bagi para haji untuk melakukan pemberontakan baik secara fisik seperti yang dilakukan oleh Imam Bonjol maupun Pangeran Diponegoro, maupun secara pergerakan seperti Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.

Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

Di masa sekarang ini, panggilan haji lebih bersifat sebagai sebuah penghormatan karena yang bersangkutan dianggap telah melaksanakan rukun Islam secara sempurna. Tentu saja hal ini tidaklah bertentangan dengan syariat, karena panggilan semacam itu menunjukkan sikap hormat dan penghargaan kita terhadap saudara seiman kita.

Anjuran untuk saling menghargai seperti itu sangat jelas sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul  Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 444), sebagai berikut

آداب الإخوان: الاستبشار بهم عند اللقاء، والابتداء بالسلام، والمؤانسة والتوسعة عند الجلوس، والتشييع عند القيام، والإنصات عند الكلام، وتكره المجادلة في المقال، وحسن القول للحكايات، وترك الجواب عند انقضاء الخطاب، والنداء بأحب الأسماء

“Adab berteman, yakni: Menunjukkan rasa gembira ketika bertemu, mendahului beruluk salam, bersikap ramah dan lapang dada ketika duduk bersama, turut melepas saat teman berdiri, memperhatikan saat teman berbicara dan tidak mendebat ketika sedang berbicara, menceritakan hal-hal yang baik, tidak memotong pembicaraan dan memanggil dengan nama yang disenangi.”

Demikian, semoga bermanfaat.

Tulisan ini sudah pernah dimuat di islami.co

BINCANG SYARIAH

Bekerja di Pabrik yang Pemiliknya Non Muslim, Bolehkah?

Terkadang dijumpai di tengah masyarakat Indonesia yang ragu ketika bekerja yang pemiliknya non muslim. Misalnya bekerja di pabrik yang pemiliknya non muslim. Bahkan bukan saja ragu, ada juga yang memutuskan berhenti bekerja ketika tahu bosnya seorang non muslim.

Nah dalam Islam, sejatinya bagaimana hukum bekerja di pabrik yang pemiliknya non muslim, apakah boleh?

Adapun hukum bekerja di pabri yang pemiliknya non muslim, hukumnya boleh bagi muslim dan muslimah. Tidak didapati larangan yang menegaskan tak diperkenankan seorang muslim atau muslimah untuk bekerja pada non muslim. Pendek kata, diperbolehkan bekerja pada bos yang non muslim.

Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin menjelaskan bekerja pada non-muslim dinilai sah dan diperbolehkan. Lebih lanjut, uang yang dihasilkan atau upah dari pekerjaan tersebut dihukumi halal. Simak penjelasan Imam Nawawi berikut;

يجوز أن يستأجر الكافر مسلماً على عمل في الذمة كدين ويجوز أن يستأجره بعينه على الأصح حراً كان أو عبدا

Artinya; Diperbolehkan bagi non muslim menyewa orang muslim untuk mengerjakan sesuatu yang masih ada dalam tanggungan (masih akan dikerjakan kemudian) sebagaimana orang muslim boleh membeli sesuatu dari orang non-muslim dengan bayaran yang masih ada dalam tanggungan (hutang), dan diperbolehkan bagi orang muslim menyewakan dirinya (tubuh/tenaganya) kepada non-muslim menurut pendapat yang paling shahih, baik ia merdeka atau hamba sahaya.

Pada sisi lain, terdapat sebuah hadis yang menceritakan Ali bekerja di kebun seorang Yahudi. Kemudian uang hasil pekerjaannya tersebut dibawakan pada Rasulullah, Nabi pun memakan hasil jerih payah Ali tersebut. Simak hadis Nabi berikut;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَصَابَ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَصَاصَةٌ فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا فَخَرَجَ يَلْتَمِسُ عَمَلاً يُصِيبُ فِيهِ شَيْئًا لِيُقيت بِهِ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَتَى بُسْتَانًا لِرَجُلٍ مِنَ الْيَهُودِ فَاسْتَقَى لَهُ سَبْعَةَ عَشَرَ دَلْوًا كُلُّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَخَيَّرَهُ الْيَهُودِىُّ مِنْ تَمْرِهِ سَبْعَ عَشَرَةَ عَجْوَةً فَجَاءَ بِهَا إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Artinya; Dari Ibnu Abbas, suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami kelaparan. Berita mengenai hal ini sampai ke telinga Ali. Ali pun lantas mencari pekerjaan sehingga bisa mendapatkan upah yang bisa dipergunakan untuk menolong Rasulullah.

Ali mendatangi kebun milik seorang Yahudi. Orang Yahudi pemilik kebun itu meminta Ali untuk menimbakan air untuknya sebanyak 17 ember, setiap ember upahnya adalah satu butir kurma.

Orang Yahudi tersebut meminta Ali untuk memilih 17 butir kurma Ajwah. Kurma-kurma tersebut Ali bawakan untuk Nabi. (HR. Ibnu Majah).

Sebagai kesimpulan akhir, boleh hukumnya bekerja dengan non muslim. Termasuk juga boleh hukumnya bekerja di pabrik yang pemiliknya non muslim. Tak ada masalah. Semoga bermanfaat. 

BINCANG SYARIAH

Masjidil Haram Kini Tampung 100 Ribu Jamaah Sehari

Otoritas Arab Saudi telah meningkatkan kapasitas Masjidil Haram di kota suci Makkah. Masjidil Haram mampu menampung 100 ribu jamaah sholat dan umroh setiap hari.

Kementerian Haji dan Umroh mengatakan keputusan itu muali berlaku 1 Oktober. Jamaah dapat mendaftar melalui aplikasi Tawakkalna untuk melakukan umroh dan sholat di Masjidil Haram.

Dilansir di Asharq Al-Awsat, Ahad (3/10), Kepresidenan Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi memerintahkan agar rambu-rambu jarak sosial ditempatkan di Masjidil Haram sesuai dengan aturan Covid-19. Tak hanya itu, mereka juga memerintahkan agar sebuah jalur khusus didirikan untuk orang-orang dengan kebutuhan khusus, yang dibuat sejalan dengan aturan jarak sosial.

Juru bicara otoritas, Hani Haidar, mengatakan upaya lebih sedang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas di Masjidil Haram. Kepresidenan Umum hingga saat ini disebut telah menyiapkan lingkungan yang ideal dan rencana layanan yang komprehensif, sesuai dengan prosedur dan tindakan pencegahan penyebaran Covid-19 dalam menerima umat Muslim.

Sebelumnya, otoritas terkait mengumumkan telah mengalokasikan 25 jalur baru di Masjidil Haram. Puluhan jalur ini disiapkan untuk memberikan kenyamanan bagi para pengunjung masjid sekaligus menerapkan tindakan pencegahan.

Upaya tersebut dilakukan pihak berwenang mengingat jumlah jamaah umroh yang semakin meningkat. Kepresidenan Umum mengatur stiker jarak sosial untuk 25 jalur baru di sekitar area Tawaf, sebagai bagian dari persiapan musim umrah 1443 Hijriyah.

Di sisi lain, Kepresidenan Umum Urusan Dua Masjid Suci menyiapkan area sholat baru di dalam Masjidil Haram maupun halamannya untuk jamaah umroh. Perluasan dilakukan untuk memastikan keselamatan mereka. 

https://english.aawsat.com/home/article/3219846/saudi-arabia-raises-capacity-receive-100000-umrah-pilgrims-daily

IHRAM

Hukum Memulai Salam kepada Ahli Maksiat

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Banyak orang yang bingung mengenai hukum memberi salam kepada ahli maksiat yang terang-terangan bermaksiat, ketika ia sedang melakukan maksiatnya itu. Contohnya memberi salam kepada orang yang sedang merokok. Bagaimana kaidah yang menjelaskan masalah ini dan bagaimana contohnya? Mohoh berikan kami fatwa, semoga Allah Ta’ala memberi Anda ganjaran pahala

Jawaban:

Pertama, kefasikan tidak membuat seseorang keluar dari keimanan. Dan tidak boleh memboikot (al-hajr) seorang mukmin lebih dari tiga hari [1], kecuali jika dengan diboikot itu menjadi obat baginya. Maksudnya, jika ada yang melihat bahwasanya ahli maksiat tersebut sedang diboikot, lalu orang-orang pun ikut memboikotnya. Kemudian si ahli maksiat ini pun menjadi jera dan memperbaiki diri. Ini (adalah bentuk) pemboikotan yang terpuji.

Pemboikotan itu terkadang dianjurkan dan terkadang wajib hukumnya. Tergantung bagaimana pengaruh dari pemboikotan tersebut. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memboikot Ka’ab bin Malik dan sahabat-sahabatnya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang-orang untuk memboikot mereka karena mereka tidak ikut perang Tabuk (tanpa udzur) [2]. Namun pertanyaannya, apakah pemboikotan yang Nabi lakukan ini bermanfaat? Jawabannya, ya, bermanfaat. Sehingga membuat Ka’ab bin Malik dan sahabat-sahabatnya semakin bertambah kepasrahan dirinya kepada Allah Ta’ala dan bertambah kuat imannya.

Intinya, saudaraku, pemboikotan itu jika ada maslahat bagi orang fasik yang diboikot, maka silakan diboikot. Namun jika tidak ada maslahatnya, maka jangan diboikot. Misalnya, Anda melewati orang yang sedang merokok, dan merokok itu memang perbuatan maksiat dan perbuatan haram. Jika ia terus-menerus melakukannya, (hal itu akan) membuat derajat orang tersebut turun dari derajat ‘adalah [3] ke derajat fasik. Jika Anda melewati orang seperti ini, ucapkan salam kepadanya. Jika Anda memandang bahwa memboikot orang seperti ini tidak akan memberi manfaat, maka ucapkan salam saja. Terkadang ketika Anda mengucapkan salam kepadanya, Anda bisa berhenti untuk berbicara dengannya. Anda bisa menyampaikan bahwa merokok itu haram dan bahwasanya seorang mukmin tidak layak merokok. Terkadang, ia akan menuruti perkataanmu, lalu mematikan rokoknya dan tidak mengulanginya lagi.

Namun, jika Anda tidak mengucapkan salam kepada mereka, terkadang mereka akan mempermasalahkannya. Mereka menjadi benci kepadamu dan akan membenci semua nasihat yang Engkau sampaikan.

Bahkan walaupun orang tersebut terus melakukan maksiatnya (tidak mau menerima nasihat), tetaplah ucapkan salam kepadanya dan tetap nasihati dia.

Sumber: Liqaa’ Babil Maftuh, 12: 165

Penulis: Yulian Purnama

Catatan kaki:[1] Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari 3 hari” (HR. Bukhari no. 6076, no. 6237; dan Muslim no. 2560 dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu ‘anhu).[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 2757, 4418, 4676, 6690); dan Muslim dalam Shahih-nya (no. 2769)[3] al ‘adalah adalah kondisi ketika seseorang dikatakan baik secara umum, orangnya disebut al ‘adil. Syarat seseorang disebut ‘adil atau memiliki ‘adalah yaitu:

  1. Tidak melakukan dosa besar
  2. Tidak terus-menerus melakukan dosa kecil
  3. Tidak melakukan khawarimul muru’ah, yaitu perkara yang dianggap tabu secara ‘urf

Orang yang tidak memiliki ‘adalah akan terkena beberapa konsekuensi dalam syariat, di antaranya: tidak dipercaya perkataannya, tidak diterima persaksiannya, tidak layak mengajarkan ilmu agama, dan lain-lain.

Sumber: https://muslim.or.id/69483-hukum-memulai-salam-kepada-ahli-maksiat.html

Kedudukan Iman terhadap Malaikat

Iman terhadap malaikat merupakan rukun kedua dari rukun iman. Keimanan seorang hamba tidaklah sempurna kecuali dengan beriman terhadap malaikat. Siapa yang kufur dengan malaikat, sungguh dia tersesat dengan kesesatan yang jauh. Dia juga tidak berhak disebut sebagai orang mukmin.

Allah Ta’ala telah menyebutkan bahwa rasul dan orang-orang yang beriman, mereka semua beriman kepada malaikat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan), “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa), “Ampunilah kami, ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)

Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa sifat ash-shidqu (jujur dan benar dalam keimanan) itu untuk mereka yang merealisasikan keimanan terhadap malaikat. Allah Ta’ala mengatakan,

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)

Allah Ta’ala juga mengabarkan bahwa orang yang kufur terhadap malaikat, sungguh dia telah tersesat. Dan Allah Ta’ala menggambarkan kesesatan tersebut sebagai kesesatan yang jauh. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيداً

Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa’: 136)

Semua dalil ini menunjukkan kedudukan iman terhadap malaikat. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Iman terhadap malaikat adalah salah satu pokok yang lima, yaitu rukun iman.” (Ighatsatul Lahfan, 2: 836) [1]

Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi rahimahullah berkata,

“Allah Ta’ala telah menetapkan iman itu adalah iman terhadap keseluruhan perkara ini. Allah Ta’ala menyebut siapa saja yang beriman terhadap keseluruhannya sebagai orang-orang mukmin. Sebagaimana Allah Ta’ala menyebut kafir kepada siapa saja yang mengingkari perkara-perkara tersebut.” (Syarh Ath-Thahawiyyah, hal. 297)

Kekafiran terhadap salah satu unsur rukun iman memiliki konsekuensi kekafiran terhadap rukun iman yang lainnya. Siapa saja yang ingkar kepada Allah Ta’ala, maka dia ingkar terhadap rukun iman yang lain. Siapa saja yang ingkar (tidak beriman) kepada malaikat, maka dia ingkar dengan para rasul dan kitab-kitab. Dia pun kafir kepada Allah Ta’ala, karena dia telah mendustakan kitab-kitab dan para rasul. (Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 19: 193)

Penting untuk diketahui bahwa penamaan iman terhadap malaikat dengan istilah “rukun”, adalah istilah yang ditetapkan oleh para ulama. “Rukun iman yang enam” bukanlah istilah yang secara khusus disebutkan oleh dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, istilah ini ditetapkan dalam rangka memberikan penjelasan dan kemudahan di dalam mempelajari agama ini. Dan hal ini tidaklah mengapa. [2]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/69501-kedudukan-iman-terhadap-malaikat.html

Pengakuan Dosa Sahabat yang Membuat Rasulullah SAW Menangis

Rasulullah bersedih mendengar pengakuan sahabat era jahiliyah

Tak sedikit sahabat Nabi Muhammad SAW yang berbuat kesalahan sebelum risalah Islam datang. Bagaimana hukum dari berbuat kesalahan sebelum risalah Islam datang?  

Dalam kitab Sunan Ad Darimi diceritakan seorang yang telah berbuat banyak kesalahan semasa jahiliyah, sebelum Islam yang dibawa Rasulullah tiba. 

Dalam hadits tersebut, dia menceritakan tentang semasa hidupnya yang menyembah berhala dan telah membunuh anak perempuannya, padahal saat bayi menjadi anak kesayangan. Dalam Kitab Muqaddimah, Bab Potret kehidupan manusia sebelum Nabi diutus, dijelaskan:  

 أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ النَّضْرِ الرَّمْلِيُّ عَنْ مَسَرَّةَ بْنِ مَعْبَدٍ مِنْ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ أَبِي الْحَرَامِ مِنْ لَخْمٍ عَنْ الْوَضِينِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ وَعِبَادَةِ أَوْثَانٍ فَكُنَّا نَقْتُلُ الْأَوْلَادَ وَكَانَتْ عِنْدِي ابْنَةٌ لِي فَلَمَّا أَجَابَتْ وَكَانَتْ مَسْرُورَةً بِدُعَائِي إِذَا دَعَوْتُهَا فَدَعَوْتُهَا يَوْمًا فَاتَّبَعَتْنِي فَمَرَرْتُ حَتَّى أَتَيْتُ بِئْرًا مِنْ أَهْلِي غَيْرَ بَعِيدٍ فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا فَرَدَّيْتُ بِهَا فِي الْبِئْرِ وَكَانَ آخِرَ عَهْدِي بِهَا أَنْ تَقُولَ يَا أَبَتَاهُ يَا أَبَتَاهُ فَبَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَكَفَ دَمْعُ عَيْنَيْهِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ جُلَسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْزَنْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ كُفَّ فَإِنَّهُ يَسْأَلُ عَمَّا أَهَمَّهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ أَعِدْ عَلَيَّ حَدِيثَكَ فَأَعَادَهُ فَبَكَى حَتَّى وَكَفَ الدَّمْعُ مِنْ عَيْنَيْهِ عَلَى لِحْيَتِهِ ثُمَّ قَالَ لَهُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ وَضَعَ عَنْ الْجَاهِلِيَّةِ مَا عَمِلُوا فَاسْتَأْنِفْ عَمَلَكَ

Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami Al Walid bin An Nadlr Ar Ramli dari Masarrah bin Ma’bad -dari Bani Al Harits bin Abu Al Haram dari Lakhmin, dari Al Wadliin Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu berkata: Hai Rasulullah, kami dahulu adalah orang-orang jahiliyah penyembah berhala dan kami membunuh anak-anak kami, ketika itu kami mempunyai anak yang senang apabila saya memanggilnya. Suatu hari saya pun memanggilnya dan dia langsung menyahut dan mengikuti saya.  

Ketika saya sampai di sebuah sumur keluarga, saya langsung memegang tangannya dan saya ceburkan dia ke sumur, itulah akhir kebersamaan saya dengannya. Dia memanggil ‘wahai ayahku, wahai ayahku.’ 

Rasulullah pun menangis sampai air matanya bercucuran. Lalu seseeorang yang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW berkata kepada laki-laki tersebut, “Kamu telah membuat Rasulullah SAW sedih.” 

Rasulullah SAW berkata kepada orang tersebut, “Biarkan dia karena dia bertanya tentang sesuatu yang penting yang dihadapinya,” kemudian Rasul berkata kepada laki-laki tersebut. 

“Ulangi lagi cerita kamu tadi,” lalu dia pun mengulangi ceritanya dan Rasul menangis lagi sampai bercucuran air matanya, membasahi jenggotnya.

Lalu beliau bersabda, “Allah SWT telah menghapus dosa-dosa yang dilakukan pada masa jahiliyah oleh karena itu mulailah perbuatan kamu dengan lembaran baru yang bersih.”    

KHAZANAH REPUBLIKA

Amphuri Pastikan Jamaah Umroh Tertunda Berangkat Lebih Awal

Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh Republik Indonesia (AMPHURI) Firman M Nur, memastikan jamaah umroh yang tertunda keberangkatannnya yang pertama diberangkatkan. Saat ini pemerintah sedang mengkaji teknis keberangkatan umroh setelah Arab Saudi memberikan signal Indonesia boleh mengirimian jamaah umroh.

“Insya Allah jamaah yang tertunda keberangkatannya sudah kami siapkan dengan baik,” kata Firman saat dihubungi Republika, kemarin.

Firman menuturkan jamaah yang tertunda keberangkatannnya itu sudah banyak di antara mereka yang divaksin. Artinya mayoritas dari mereka sudah siap diberangkatkan ke Tanah Suci untuk umroh.

“Sudah banyak dari mereka melakukan vaksinasi,” katanya.

Firman mengapresiasi Kementerian Agama telah mengeluarkan surat edaran untuk memberi tahu bahwa penyelenggaraan perjalanan ibadah umroh (PPIU) harus menyiapkan semua data jamaah yang akan diberangkatkan lebih awal. Firman mengaku penyelenggara siap menjalankan apa yang diperintahkan Kemenag.

“Insya Allah data tersebut akan kami lampirkan, kami serahkan kepada Dirjen PHU, untuk melihat bahwa sesungguhnya para penyelenggara sudah siap,” katanya.

Firman mengatakan, para penyelenggara umrah sudah mempersiapkan jamaahnya masing-masing yang siap diberangkatkan. Salah satu buktinya jamaah sudah selesai divaksinasi.

“Jamaah sudah kami kondisikan sudah ada yang melakukan vaksinasi lengkap,” katanya.

IHRAM