Buya Anwar Abbas: Prioritaskan Lansia untuk Berangkat Haji

Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas minta Kementerian Agama dapat memberikan prioritas bagi orang lanjut usia (lansia) untuk bisa berangkat haji. Karena penangguhan haji akibat pandemi Covid-19 menyebabkan antrean haji di Indonesia semakin panjang. 

Jumlah orang yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji sampai dengan saat ini sudah mencapai 5,1 juta orang. Dengan kuota jemaah haji dari indonesia hanya 220 ribu, jika mereka mendaftar hari ini, maka yang bersangkutan baru akan melaksanakan ibadah hajinya sekitar 23 tahun yang akan datang atau pada 2044. 

“Jadi kalau calon jemaah itu sudah berumur 60 tahun saat ini dan kalau rata-rata umur orang Indonesia itu 75 tahun maka yang bersangkutan, karena umurnya sudah 84 tahun tentu diperkirakan sudah jelas tidak bisa berangkat,” kata Abbas dalam keterangan resminya, Sabtu (13/11).

MUI berharap, pemeritah, DPR, ulama dan tokoh masyarakat bisa duduk bersama untuk membicarakan masalah ini dan mencari solusinya. Karena, ibadah haji merupakan kewajiban bagi yang mampu untuk melaksanakannya dan waktunya juga sudah ditentukan oleh Allah SWT dan rasul-Nya yaitu di bulan Dzulhijjah setiap tahunnya.   

“Oleh karena itu kalau kita merobah kebijakan dengan memprioritaskan orang-orang yang sudah termasuk lansia, yang kita dahulukan dari yang masih muda-muda tentu akan sangat baik, tapi jelas akan menimbulkan kegaduhan,” ungkapnya.

Atau ia mencoba memberikan pilihan, bagi lansia yang memiliki waktu tunggu lama bisa lebih dulu melakukan haji kecil atau ibadah umroh. Tentu hal ini pun harus menjalin kerja sama dengan negara lain, dalam hal ini Arab Saudi.

“Salah satu langkah yang kita tawarkan adalah bagaimana caranya supaya mereka-mereka yang sudah lanjut usia tersebut, yang ingin melaksanakan ibadah haji tapi waktu tunggunya masih jauh dan masih sangat lama, maka mereka diarahkan untuk melaksanakan umroh. Dan karena jumlah mereka yang akan umroh itu juga sangat besar maka negara tentu harus hadir dan ikut mengatur serta  mengendalikannya agar umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah umroh tersebut dapat mengerjakan ibadahnya dengan sebaik-baiknya,” jelas Anwar Abbas.

IHRAM

Arab Saudi Luncurkan Layanan Jamaah Umroh Luar Negeri

Kementerian Haji dan Umrah mengumumkan peluncuran layanan bagi peziarah dari luar negeri. Bekerja sama dengan Saudi Data and Artificial Intelligence Authority, inovasi ini memungkinkan jamaah mengajukan permohonan izin umroh dan sholat di Masjidil Haram dan di Raudhah Masjid Nabawi.

Kementerian mengatakan layanan itu efektif berlaku melalui aplikasi Eatmarna dan Tawakkalna setelah mendaftar di platform Quddum. Kementerian dan otoritas lantas mendesak semua pengguna untuk memperbarui aplikasi.

Dilansir di Arab News, Ahad (14/11), Kementerian Dalam Negeri sebelumnya mengumumkan pelonggaran pembatasan di seluruh Kerajaan. Pelonggaran juga berlaku Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang memungkinkan kembalinya operasi dan kapasitas penuh.

Bulan lalu, Kementerian Haji Arab Saudi mengumumkan jamaah yang ingin melakukan umroh tidak perlu lagi menunggu selama 14 hari untuk memesan ritual tersebut. Kepala perencanaan dan strategi di kementerian Amr Al-Maddah mengatakan dengan melonggarkan langkah-langkah pencegahan, kapasitas operasional Masjidil Haram untuk umroh dan sholat telah meningkat secara signifikan.

“Sejalan dengan perkembangan pada tahap ini, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan untuk melakukan umroh. Pembatasan ini sudah tidak diperlukan lagi dan kami berupaya memberikan kesempatan yang adil bagi semua karena tingginya permintaan,” ujarnya. 

https://www.arabnews.com/node/1967416/saudi-arabia

IHRAM

Makna Islam Secara Umum dan Khusus

Bismillah. Islam memiliki makna secara umum dan khusus. Makna Islam secara umum adalah,

الاستسلام لله باتباع رسله في كل حين

Berserah diri kepada Allah dengan mengikuti ajaran para rasul-Nya di setiap zaman.” (Fatawa Islam no. 195365) Artinya, Islam dalam makna umum ini adalah agama seluruh nabi dan rasul. Sehingga setiap manusia yang beriman kepada nabi atau rasul yang diutus adalah muslim. Yahudi yang taat kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam di zaman itu adalah muslim. Nasrani yang taat kepada Nabi Isa ‘alaihis salaam di zaman itu juga muslim. Karena inti agama mereka sama dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن

قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِيٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ

Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum Engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah), melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya’: 25) Allah Ta’ala juga mengabarkan,

قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ كَلِمَةٖ سَوَآءِۭ بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمۡ أَلَّا نَعۡبُدَ إِلَّا ٱللَّهَ وَلَا نُشۡرِكَ بِهِۦ شَيۡـٔٗا وَلَا يَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا

أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَقُولُواْ ٱشۡهَدُواْ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju pada satu kalimat yang sama antara kami dan kalian bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa kami adalah orang muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 64)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نحن معاشر الأنبياء أولاد علات ديننا واحد

Kami para nabi adalah saudara (satu ayah). Agama kami satu.” Kemudian, makna Islam secara khusus adalah,

عَلَم على رسالة النبي الخاتم محمد صلى الله عليه وسلم واتباع شريعته

Nama agama yang dibawa oleh nabi penutup Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan nama untuk orang-orang yang mengikuti ajarannya.” (Fatawa Islam no. 195365) Sehingga Islam dalam makna khusus adalah agama yang dianut oleh umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu setiap orang yang beriman setelah pengutusan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menjadi nabi dan rasul sampai hari kiamat. Di zaman ini, tidak boleh seorang pun beribadah kepada Allah, kecuali melalui syariat yang diajarkan oleh rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Entah itu menggunakan agama samawi lainnya seperti Yahudi dan Nasrani, atau menggunakan ajaran lain, tidak boleh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menegaskan,

لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم

يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أهل النار

Tidaklah seseorang dari umat ini baik dari Yahudi atau Nasrani mendengar ajaranku kemudian wafat dalam keadaan tidak beriman kepada ajaran yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim) Bahkan, andai masih ada nabi atau rasul yang hidup di zaman umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka harus menjadi pengikut ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

لو كان موسى حيا بين أظهركم ما حل له إلا أن يتبعني

“Andai Musa masih hidup di tengah kalian, maka tidak halal baginya, kecuali mengikuti ajaranku.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi, dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani) Jika nabi, bahkan Musa yang termasuk Ulul Azmi wajib mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian hukum yang berlaku pada beliau jika masih hidup di akhir zaman, lantas bagaimana yang bukan nabi?! Lebih haram lagi dia beribadah kepada Allah dengan cara-cara yang menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam Al-Qur’an Allah menceritakan tentang perjanjian yang disampaikan kepada para nabi. Andai di tengah-tengah mereka tiba Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka  akan tunduk dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan ajaran yang mereka bawa.

وَإِذۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ لَمَآ ءَاتَيۡتُكُم مِّن كِتَٰبٖ وَحِكۡمَةٖ ثُمَّ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مُّصَدِّقٞ لِّمَا مَعَكُمۡ لَتُؤۡمِنُنَّ بِهِۦ

وَلَتَنصُرُنَّهُۥۚ قَالَ ءَأَقۡرَرۡتُمۡ وَأَخَذۡتُمۡ عَلَىٰ ذَٰلِكُمۡ إِصۡرِيۖ قَالُوٓاْ أَقۡرَرۡنَاۚ قَالَ فَٱشۡهَدُواْ وَأَنَا۠ مَعَكُم مِّنَ ٱلشَّٰهِدِينَ

“Ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu, lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.Allah berfirman,Apakah kalian setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?“Kami setuju”,jawab mereka.Allah menjawab,Kalau begitu bersaksilah kalian (para nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kalian.” (QS. Ali ‘Imran: 81) Demikian.

Wallahul muwaffiq.

*** Penulis: Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/70254-makna-islam-umum-dan-khusus.html

Semoga Dijauhkan dari Syubhat, Syahwat, dan Amarah

Setiap muslim sangat ingin istikamah dalam beragama dan merasakan manisnya iman. Akan tetapi, ada tiga hal yang perlu kita waspadai, yang dapat menyebabkan kita tidak istikamah, bahkan futur dalam beragama, yaitu syubhat, syahwat, dan amarah. Apabila kita bisa menghindari dan mengendalikannya, Allah akan menjaga agama kita.

Perhatikan ucapan dari Ibnul Qayyim berikut,

:دخل الناس النار من ثلاثة أبواب

(١) باب شبهة أورثت شكاً في دين الله

(٢) وباب شهوة أورثت تقديم الهوى على طاعته ومرضاته

(٣) وباب غضب أورث العدوان على خلقه

“Manusia masuk ke dalam neraka melalui tiga pintu:

Pertama, pintu syubhat  yang menimbulkan keraguan terhadap agama Allah.

Kedua, pintu syahwat yang mengakibatkan seseorang lebih mengedepankan hawa nafsunya daripada ketaatan dan menggapai rida-Nya.

Ketiga, pintu amarah/emosi yang akan menimbulkan permusuhan terhadap orang lain” (Al-Fawa’id, hal. 105).

Berikut sedikit pembahasan dan bagaimana cara menghindari ketiga hal tersebut.

Pertama, menghindari syubhat dan syahwat

Kedua hal ini sangat berbahaya apabila tidak dikendalikan oleh seorang hamba.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ شَهَوَاتِ الْغَيِّ فِي بُطُونِكُمْ وَفُرُوجِكُمْ وَمُضِلَّاتِ الْفِتَنِ

“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kamu adalah syahwat mengikuti nafsu pada perut kamu dan pada kemaluan kamu serta fitnah-fitnah yang menyesatkan (syubhat)” (HR Ahmad).

Syubhat dan syahwat sangat mudah tersebar di zaman ini, terlebih melalui sosmed dan internet. Terlebih syahwat, hal ini memang menjadi tabiat manusia. Akan tetapi, apabila tidak terkontrol, maka akan sangat berbahaya.

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Ali Imran: 14).

Cara menghindari kedua hal ini adalah dengan ilmu dan sabar. Syubhat dihindari dengan ilmu yang menangkis dan menjelaskan syubhat tersebut serta membimbing ke arah penjelasan yang benar. Sedangkan syahwat dihadapi dengan sabar. Oleh karena itu, inti kehidupan adalah saling menasihati tentang kebenaran (ilmu yang benar) dan saling menasihati tentang kesabaran.

Allah Ta’ala berfirman,

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Dan mereka saling menasihati supaya menaati kebenaran, dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.\” (QS. Al-Hasyr: 3).

Kedua, mengendalikan amarah

Hal ini harus dikendalikan karena emosi yang tidak terkendali banyak merusak dan menghancurkan kehidupan seseorang. Suami menyesal menceraikan istrinya karena amarah sesaat, seseorang kehilangan pekerjaan hanya karena emosi dan amarah sesaat, dan masih banyak cerita tragis terkait dengan emosi sesaat yang tidak dikendalikan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati kita agar tidak marah, yaitu mengendalikan diri ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِيْ ، قَالَ:  لَا تَغْضَبْ . فَرَدَّدَ مِرَارًا. قَالَ:  لَا تَغْضَبْ

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Berilah aku wasiat!’ Beliau menjawab, ‘Engkau jangan marah!’ Orang itu mengulangi pertanyaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau jangan marah!’ (HR. Bukhari).

Amarah dan emosi yang memuncak menyebabkan seseorang tidak berpikir jernih. Oleh karena itu, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan marah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﻻَ ﻳَﻘْﻀِﻴَﻦَّ ﺣَﻜَﻢٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻭَﻫُﻮَ ﻏَﻀْﺒَﺎﻥُ

“Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara di antara dua orang dalam keadaan marah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Semoga kita semua selalu dihindarikan dari syubhat, syahwat dan amarah yang tidak terkendali dan semoga kita selalu istikamah di jalan Allah.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

‎”Wahai Zat Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu” (HR. ‎Tirmidzi)‎

***

Penulis: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/70180-dijauhkan-dari-syubhat-syahwat-amarah.html

2 Alasan Mengapa Kita Patut Minta Maaf kepada Rasulullah

Rasulullah SAW teladankan pentingnya berikan kemudahan beragama

Seringkali dalam berdakwah kita lebih memilih perkara yang justru menyulitkan umat. Padahal hal ini tak sesuai dengan tuntunan Rasulullah, Muhammad ﷺ.

Pendakwah dari Mesir, Syekh Ramadhan Abdul Mu’az menjelaskan hadits Nabi Muhammad ﷺ tentang seorang Arab badui yang berbuat kesalahan dan kencing di masjid Nabi. Maka Rasulullah lalu berkata kepada para sahabat yang hendak memukul orang badui itu karena kencing di masjid : Biarkanlah … karena sesungguhnya kalian itu diutus untuk memberi kemudahan,” Dan Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman dalam Alquran: 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar….(Ali Imran ayat 110). 

Syekh Ramadhan menjelaskan bahwa memang yang diutus Allah adalah Nabi Muhammad ﷺ. Akan tetapi Nabi Muhammad mengajarkan kepada setiap umatnya bahwa mereka juga sebagai orang yang diutus untuk menyampaikan tuntunan yang telah diberikan nabi baik dalam perkara kebaikan maupun dalam hal memudahkan. 

Karena itu dalam sebuah program televisi, Syekh Abdul Mu’az mengatakan bahwa kita (umat Rasul) harus meminta maaf kepada Rasulullah ﷺ karena dua alasan. Pertama, bahwa kita (umat Rasulullah) tidak meneruskan ajaran atau risalah Rasul sebagaimana mestinya serta membatasi dakwah pada jalan Allah. Yang kedua, dalam urusan mempermudah diri. (Maksudnya tidak memberikan kemudahan atau keringanan terhadap persoalan orang lain atau tidak memberikan toleransi atau kemakluman kepada kesalahan yang dilakukan orang lain karena ketidak tahuannya).

Selain argumentasi di atas, terdapat ayat lain yang menerangkan tentang kemudahan beragama. Di antaranya adalah surah Al Baqarah ayat 185:

 يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ Artinya, “Allah menghendaki kalian kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan.”

Begitu pula dengan surat Al Hajj ayat 78 yang menerangkan soal keutamaan berjihad. Ibadah ini pun tidak dimaksudkan untuk menyulitkan hidup orang-orang beriman.  

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ ۚ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.”

Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut. “Allah tidak membebani kalian melainkan sebatas kemampuan. Tiada sesuatu yang dibebankan kepada kalian kemudian kalian merasa berat atasnya, melainkan Allah sediakan jalan keluarnya.”

Sumber:  elbalad    

KHAZANAH REPUBLIKA

Hari Ayah; Rasulullah adalah Teladan Ayah Terbaik

12 November adalah tanggal peringatan Hari Ayah nasional. Peringatan ini didedikasikan kepada sosok ayah. Tidak hanya ibu yang berperan dalam merawat anak dan memberi cinta, tapi juga sosok ayah yang kadang luput dari perhatian dan kesadaran kita sebagai anak. Dalam merayakan Hari Ayah, mari kita lihat bagaimana Rasulullah menjadi teladan untuk para ayah tidak hanya di indonesia tapi juga dunia.

Sebagaimana firman Allah yang menyebutkan bahwa Rasulullah merupakan teladan terbaik bagi seluruh manusia dalam surat al-Ahzab ayat 21,

 انَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Artinya: Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.

Menurut firman Allah, sesiapa saja yang mengharap rahmat Allah maka jadikanlah Rasulullah sebagai teladan. Teladan dalam apapun. Tidak hanya perihal ibadah, tapi juga relasinya dengan manusia. Salah satunya bagaimana Rasulullah berperilaku penuh cinta dan kasih sebagai sosok ayah bagi anak-anaknya, bahkan bagi cucu-cucunya.

Berikut beberapa sikap Rasulullah yang patut kita ambil teladan sebagai sosok ayah.

Pertama, menyambut kedatangan anaknya.

Rasululullah sangat mencintai anak-anaknya. Dedikasinya sebagai sosok ayah yang penuh cinta tidak semata disalurkan lewat materi, tapi lewat perilaku. Suatu hari Fathimah datang menemui ayahnya, Rasulullah langsung menyambutnya.

 عن عائشة -رضي الله عنها- قائلة: أقبلتْ فاطمة تمشي كأن مشيتها مَشْيُ النبي فقال النبي : “مَرْحَبًا بِابْنَتِي”. ثم أجلسها عن يمينه أو عن شماله، ثم أسرَّ إليها حديثًا فبكت، فقلتُ لها: لِمَ تبكين؟ ثم أسرَّ إليها حديثًا فضحكت، فقلتُ: ما رأيت كاليوم فرحًا أقرب من حزن، فسألتها عمَّا قال.

فقالت: ما كنتُ لأفشي سرَّ رسول الله r. حتى قُبِضَ النبي r، فسألتها، فقالت: أسرَّ إليَّ: “إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يُعَارِضُنِي الْقُرْآنَ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّة وَإِنَّهُ عَارَضَنِي الْعَامَ مَرَّتَيْنِ، وَلا أُرَاهُ إِلاَّ حَضَرَ أَجَلِي، وَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِ بَيْتِي لَحَاقًا بِي”. فبكيتُ، فقال: “أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ تَكُونِي سَيِّدَةَ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَوْ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ”. فضحكتُ لذلك

Dari Aisyah Radhiyallahu anha berkata, Fathimah datang menemui Rasulullah dengan berjalannya yang persis seperti cara berjalannya Rasulullah, lantas Rasulullah berkata (menyambut), “selamat datang wahai anakku!” Lalu Rasulullah mengarahkan Fathimah agar duduk di kanannya atau di sisi kirinya. Nabi menyampaikan kepadanya sebuah cerita rahasia lalu Fathimah menangis. Lantas aku bertanya kepadanya, “mengapa engkau menangis?” kemudian Rasulullah menyampaikan cerita rahasia lagi kepadanya lalu Fathimah tertawa. Akupun bertanya; aku tak pernah melihatnya seperti ini, bahagia dan sedih jaraknya begitu sebentar, maka aku bertanya, “apa yang Rasulullah katakan?”

Lalu Fathimah menjawab, “aku akan merahasiakannya sampai Rasulullah wafat.” Lalu aku bertanya kepadanya suatu hari lagi, “apa yang Rasul sampaikan?” Fathimah menjawab, “sesungguhnya Rasulullah menyampaikan kepadaku suatu rahasia, yaitu ‘jibril sungguh membacakanku Alquran sekali dalam setahun, tapi kali ini ia membacakanku dua kali, dan aku tidak melihat itu sebagai tanda ajalku. Dan engkau yang akan menjadi pengikut pertamaku.’ Maka itulah aku menangis. Lalu Rasul kembali berkata, ‘tidakkah engkau ridho menjadi pemimpin bagi perempuan ahli surga dan perempuan mukmin?’ maka aku tertawa.” (HR. Bukhari)

Dari dialog ini, kita bisa melihat bagaimana sikap Rasulullah dengan Fathimah. Pertama Rasulullah akan menyambutnya dan mengajaknya duduk di sisi kanan atau kiri. Ini menunjukkan sikap yang manis dan penuh cinta kepada seorang anak.Baca Juga:  Ba’do Katupat dari Sulawesi, Warisan Budaya dari Pangeran Diponegoro

Kedua, menyayangi anaknya sekalipun telah pergi.

Peristiwa wafat putranya, Ibrahim adalah kisah yang begitu pilu. Nabi Muhammad begitu bersedih saat kehilangan putranya, Ibrahim. Dalam sebuah hadis, disebutkan tentang ungkapan cinta dan kesedihan atas kepergian putranya,

“يَا إِبْرَاهِيمُ، لَوْلا أَنَّهُ أَمْرُ حَقٍّ، وَوَعْدُ صِدْقٍ، وَيَوْمٌ جَامِعٌ، لَوْلا أَنَّهُ أَجَلٌ مَحْدُودٌ، وَوَقْتٌ صَادِقٌ، لَحَزِنَّا عَلَيْكَ حُزْنًا أَشَدَّ مِنْ هَذَا، وَإِنَّا بِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ، تَدْمَعُ الْعَيْنُ، وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ، وَلا نَقُولُ مَا يُسْخِطُ الرَّبَّ”. وحينما قُبض إبراهيم ابن رسول الله قال لهم: “لا تُدْرِجُوهُ فِي أَكْفَانِهِ حَتَّى أَنْظُرَ إِلَيْهِ”. فأتاه فانكبَّ عليه وبكى

Artinya: wahai Ibrahim, jikalau bukan karena Allah adalah perkara (yang datang darinya) adalah benar, dan janjinya benar, dan adanya hari manusia dikumpulkan, jikalah karena bukan ajal itu telah ditentukan, dan waktunya pasti benar (datang), kami akan benar-benar bersedih atas peristiwa ini. Sungguh karena engkau kami bersedih, air mata mengalir, hati bersedih, dan kami tidak berkata Tuhan akan murka.” (HR. Muslim)

Lalu pada hadis lain disebutkan,

 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا قُبِضَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُدْرِجُوهُ فِي أَكْفَانِهِ حَتَّى أَنْظُرَ إِلَيْهِ فَأَتَاهُ فَانْكَبَّ عَلَيْهِ وَبَكَى

Artinya:  dari [Anas bin Malik] ia berkata, “Ketika Ibrahim putra Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Jangan kalian bungkus dengan kafan hingga aku melihatnya. ” Kemudian beliau mendatanginya dan memeluk sambil menangis.”

Kedua hadis tersebut menggambarkan betapa Nabi Muhammad mencintai putranya. Saat telah wafat, karena hendak menunjukkan larangan adanya meratapi tapi juga kebolehan untuk bersedih atas kepergian seseorang yang dicintai. Ungkapan kesedihan adalah ungkapan cinta yang begitu dalam.

Ketiga, mengajarkan ilmu kepada anaknya.

Suatu kala Fathimah mengeluhkan pekerjaan rumah tangga yang berat. Atas itu, Fathimah meminta kepada Nabi seorang budak dari tawanan perang yang bisa meringankan pekerjaan rumahnya. Nabi pun menolaknya dengan halus dan justru memberikan amalan yang lebih baik daripada seorang pembantu yang mengerjakan urusan domestik.

إِنَّكُمَا جِئْتُمَانِي لأَخْدُمَكُمَا خَادِمًا، وَإِنِّي سَأْخُبِرُكُمَا بِمَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنَ الْخَادِمِ، فَإِنْ شِئْتُمَا أَخْبَرْتُكُمَا بِمَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنَ الْخَادِمِ: تُسَبِّحَانِهِ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ ثَلاثًا وَثَلاثِينَ، وَتَحْمِدَانِهِ ثَلاثًا وَثَلاثِينَ، وَتُكَبِّرَانِهِ أَرْبَعًا وَثَلاثِينَ. وَإِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعُكُمَا مِنَ اللَّيْلِ، فَتِلْكَ مِائَةٌ”

Artinya: engkau berdua mendatangiku agar aku memberikanmu seorang pembantu. Sungguh aku akan kabarkan kepada engkau berdua suatu hal yang lebih baik daripada seorang pembantu. Jika kalian berkehendak maka aku kabarkan tentang hal itu kepada kalian berdua, sesuatu yang lebih baik daripada pembantu. Yaitu, bertasbih kepada Allah di penghujung hari setiap shalat sebanyak 33 kali, bertahmidlah 33 kali, dan bertakbirlah 34 kali. Jika engkau membacanya saat berbaring maka genaplah seratus. (HR. Ibnu Hayyan)

Nasihat tersebut untuk penguat bagi Ali dan Fathimah. Hikmahnya adalah agar keduanya tetap tabah menjalani kehidupan rumah tangga. Rasulullah tidak memberikan Fathimah pembantu agar apa yang ia kerjakan jadi ladang pahala baginya.

Selain bersikap penuh cinta kepada anak-anaknya, Rasul juga menyayangi cucunya. Tidak hanya kepada cucunya yang kembar, Hasan dan Husein. Tapi juga cucunya yang lain. Seperti saat Rasulullah menggendong Amamah, putri Zainab saat Rasulullah shalat.

Begitulah beberapa teladan Rasulullah sebagai sosok ayah, bahkan cucu yang patut diteladani. Semoga apa yang sudah dicontohkan dengan baik oleh para ayah. Wallahu a’lam.

BINCANG MUSLIMAH

Perbuatan yang Dosanya Lebih Bahaya dari Utang tak Terbayar

Ghibah dan adu domba sangat berbahaya dampaknya bagi masyarakat

Ghibah dan adu domba (namimah) adalah salah satu dosa besar yang Allah SWT dan Rasulullah SAW larang. 

Syekh Ali Jumah, mantan Mufti Agung Mesir dan anggota senior Dewan Ulama Mesir, mengatakan dilarang duduk bersama orang-orang yang melakukan dosa-dosa tersebut, sebagaimana dilarang bagi seseorang untuk mendengarkan pantangan dan melihat hal-hal yang buruk.

Syekh Jumah mengutip pernyataan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan sebagai berikut:  

الْغِيبَةُ أَشَدُّ مِنَ الدَّيْنِ، الدَّيْنُ يُقْضَى، وَالْغِيبَةُ لَا تُقْضَى “Ghibah lebih parah daripada utang. Utang bisa saja ditunaikan, tetapi ghibah tidak bisa ditunaikan (maafnya).” 

Oleh karenanya, Komite Kajian Islam Mesir, menyarankan jika seseorang duduk di majelis dan ada banyak omong kosong, membuang-buang waktu, atau berbicara berdosa atau tidak berguna, atau bahkan berbicara fitnah dan gosip, lebih baik dia memperbanyak dzikir dan doa kafaratul majelis.   

مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ فَكَثُرَ فِيهِ لَغَطُهُ، فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ فِي مَجْلِسِهِ ذَلِكَ

“Barangsiapa yang duduk di dalam suatu majlis, lalu banyak senda guraunya yang tidak bermanfaat dalam majlis tadi, lalu dia mengucapkan sebelum berdiri meninggalkan majelis itu: 

(subhanakallahum wa bihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik/Mahasuci Engkau, ya Allah dan saya mengucapkan puji-pujian padaMu. Saya menyaksikan bahawasanya tiada Tuhan melainkan Engkau, saya mohon ampun serta bertaubat pada-Mu), melainkan orang tersebut pasti diampunkan untuknya apa-apa yakni dosa yang diperolehnya dari majlis yang sedemikian tadi.

Komite menjelaskan ghibah dan adu domba termasuk sifat-sifat tercela dan perbedaan di antara mereka, bahwa ghibah adalah menyebut seseorang dalam ketidakhadirannya dengan apa yang dia benci, sedangkan adu domba adalah melihat orang yang dibicarakan sedang berjalan di antara orang-orang demi menjatuhkan mereka. Allah pun melarang ghibah dan gosip melalui firman Nya, dalam Al Hujurat ayat 11-12, 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). 

Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. 

Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Mahapenerima Taubat, Mahapenyayang.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Balasan Bagi Mereka yang Gemar Bergunjing

Seorang Muslim tidak sepantasnya menjatuhkan kehormatan orang lain dengan membongkar aib, mencari-cari kesalahan, dan membicarakan keburukan-keburukannya. Perbuatan ini jelas dilarang dalam syariat dan termasuk di antara dosa besar.

Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat ayat 12)

Rasulullah SAW melarang dan memperingatkan agar tidak mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak menjatuhkan kehormatan orang lain. Dari Ibnu Umar, dia berkata bahwa Rasulullah SAW menaiki mimbar lalu menyeru dengan suara yang lantang:

“Wahai sekalian orang yang telah berIslam dengan lisannya namun keimanan belum tertancap di hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin dan jangan pula kalian memperolok mereka, jangan pula kalian menelusuri dan membongkar aib mereka. Siapa yang menyelidiki aib saudaranya seIslam niscaya Allah akan menyelidiki aibnya. Siapa yang aibnya diselidiki oleh Allah niscaya Allah akan membongkar aibnya meskipun di dalam rumahnya sendiri.”

Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, juga telah menyampaikan bahwa menjatuhkan kehormatan orang lain secara tidak adil itu dilarang oleh syariat Islam dan ini merupakan dosa besar.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, “Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka.

Lalu aku berkata, ‘Siapakah mereka ya Jibril?’ Jibril berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia.'” (HR Abu Dawud)

IHRAM

Doa Terbaik untuk Anak Tercinta

Anak adalah aset berharga kedua orang tuanya. Tentu setiap orang menginginkan anaknya menjadi anak yang salih. Salah satu yang harus dilakukan oleh orang tua dan terus diulang-ulang adalah mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya.

Doa orang tua adalah doa mustajab

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu doa kedua orang tua, doa orang yang bepergian (safar), dan doa orang yang dizalimi” (HR. Abu Daud, hasan).

Doa orang tua, baik bapak atau ibunya adalah doa yang mustajab, baik itu berisi doa kebaikan maupun keburukan. Di antara manfaat seringnya mendoakan kebaikan untuk anak adalah:

Pertama, doa kedua orang tua untuk anak adalah termasuk doa yang mustajab dan akan dikabulkan oleh Allah berdasarkan keterangan dalam hadis Nabi.

Kedua, mendoakan anak akan menambah semangat dan motivasi dalam mendidik anak.

Ketiga, mendoakan anak akan memperkuat rasa kasih sayang dan kedekatan hati dari kedua orang tua.

Keempat, hal ini merupakan sunah para nabi dan rasul, karena mereka selalu mendoakan kebaikan untuk anak dan juga keturunannya di masa yang akan datang sebagaimana banyak disebutkan dalam Al Qur’an.

Berbagai doa untuk kebaikan anak di dalam Al Qur’an

Di antara sebaik-baik doa adalah doa yang diajarkan oleh Allah di dalam Al Qur’an. Doa untuk kebaikan anak yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an antara lain:

Pertama, doa para ‘Ibadurrahman dalam Al Qur’an

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (jiwa) kami, dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Furqan: 74).

Baca Juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak

Kedua, doa Nabi Zakariya ‘Alaihis salam

فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا (5) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آَلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

“Anugerahilah kepadaku dari sisi-Mu seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi (ilmu dan kenabian) dari sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikanlah dia, ya Rabbku, seorang yang diridhai di sisi-Mu” (QS. Maryam: 5-6).

Beliau ‘Alaihis salam juga berdoa,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Ya Tuhanku, anugerahilah kepadaku dari sisi-Mu seorang anak yang shalih. Sesungguhnya Engkau Maha Mengabulkan doa” (QS. Ali-‘Imran: 38).

Ketiga, doa Nabi Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihimas salam

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) di antara anak keturunan kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu” (QS. Al-Baqarah: 128).

Keempat, doa khalilullah Nabi Ibrahim ‘Alaihis salam

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih” (QS. Ash-Shaffat: 100).

Demikian pula doa beliau yang lain,

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan dari anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, kabulkanlah doaku” (QS. Ibrahim: 40).

Beliau juga berdoa,

وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ

“Jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala” (QS. Ibrahim: 35).

Perhatikan pula doa Nabi Ibrahim tatakala telah mencapai usia matang yaitu usia 40 tahun,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي

“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat beramal shalih yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku” (QS. Al-Ahqaf: 15).

Jangan doakan keburukan untuk anak

Tidak selayaknya orang tua mendoakan keburukan untuk anaknya. Doa keburukan akan menimbulkan bahaya dan merusak anak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mendoakan keburukan bagi anak, karena ini bertentangan dengan akhlak Islam dan menyelisihi cara pendidikan yang diajarkan para nabi. Bahkan ini jauh dari metode nubuwah dalam mengajak manusia kepada Islam. Sampai-sampai Nabi ketika berdakwah di Thaif dan mendapat perlakuan buruk, beliau tidak mendoakan keburukan bagi mereka dan keturunan mereka. Beliau bahkan beraharap kepada Allah seraya bersabda,

أرجو أن يُخْرِجَ اللَّهُ مِن أصلابِهِم مَن يعبدُ اللَّهَ

“Aku berharap kepada Allah semoga akan lahir dari tulang sulbi mereka keturunan yang senantiasa menyembah hanya kepada Allah.”

Dan Allah pun merealisasikan harapan baginda Nabi.

Oleh karena itu, Nabi pun melarang untuk mendoakan keburukan bagi anak melalui sabda beliau,

لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لَا تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ، فَيَسْتَجِيبُ لَكُمْ

“Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian, dan juga untuk anak-anak kalian, atau harta kalian. Jangan sampai kalian menepati suatu waktu yang pada waktu itu Allah Subhanahu wa Ta’ala diminta sesuatu lantas Dia kabulkan doa kalian tersebut” (HR. Muslim).

Demikian, semoga bermanfaat dan menjadi pengingat serta motivasi bagi kita untuk terus senantiasa mendoakan dan mengulang-ulang doa kebaikan untuk anak-anak kita.

Penulis: Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

1. Fiqhu Tarbiyatil Abnaa ‘wa Ma’ahu Nukhbatu min Nashaaihil Athibbaa’ karya Syaikh Musthafa Al-‘Adawi.

2. Manhajut Tarbiyyah an Nabawiyyah lit Thifli karya Syaikh Muhmmad Nur bin ‘Abdil Hafiidz Suwaid.Pembagian Tauhid Menjadi Tiga, Ide Siapa?

Pembagian Tauhid Menjadi Tiga, Ide Siapa?

Dapatkan ebooknya langsung di email Anda

Sumber: https://muslim.or.id/70101-doa-terbaik-untuk-anak-tercinta.html