Sholat 5 Waktu dalam Alquran dan Hadits

Kewajiban shalat 5 waktu telah ditentukan waktu-waktunya oleh Allah swt

Tidak ada perbedaan tentang kewajiban sholat lima waktu sehari semalam di kalangan orang-orang Muslim. Kewajiban sholat lima waktu ini pula adalah salah satu rukun dalam Islam dan diketahui oleh semua kalangan sehingga tidak boleh ada satu pun Muslim yang mengingkari kewajiban shalat tersebut. 

Allah SWT berfirman dalam Alquran:

فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS An-Nisa’: 103)

Ini berarti bahwa kewajiban sholat lima waktu itu telah ditentukan waktu-waktunya. Lantas di ayat-ayat lain, Allah pun menerangkan waktu-waktu yang diwajibkan untuk shalat. Yaitu sebagaimana berikut:

1. Shalat Subuh disebutkan di QS An Nur: 58

2. Shalat Zuhur disebutkan di QS Al Isra’ : 78

3. Shalat Asar disebutkan di QS Qaf : 39

4. Shalat Magrib disebutkan di QS Hud : 114

5. Shalat Isya disebutkan di QS An Nur: 58

Sebagaimana Abdullah bin ‘Abbas ra juga pernah ditanya tentang keberadaan shalat 5 waktu di dalam Alquran.

عَنْ أَبِـي رَزِين، قَالَ: سَأَلَ نَافِع بن الْأَزْرَقِ ابْنَ عَبَّـاسٍ: هَلْ تَـجِدُ مِيْقَاتِ الصَّلَوَاتِ الْـخَمْسِ فِـي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ { فَسُبْحانَ اللّهِ حِينَ تُـمْسُوْنَ } اَلْـمَغْرِبَ { وَحِينَ تُصْبِحُونَ } الْفَجْرَ { وَعَشِيًّا } الْعَصْرَ { وَحِينَ تُظْهِرُونَ } الظُّهْرَ، قَالَ: وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ. 

Dari Abu Razin, dia berkata: Nafi’ bin Azraq bertanya kepada Ibnu ‘Abbas ra: Apakah kamu menemukan ketentuan sholat lima waktu disebutkan dalam Alquran? Beliau menjawab: 

Ya; [Maka bertasbihlah menyucikan Allah pada petang hari] sholat Magrib. [Dan pada pagi hari] sholat Subuh. [Dan pada penghujung hari] sholat Ashar. [Dan pada waktu zuhur] shalat Zhuhur (QS Ar Ruum : 17-18). Beliau membaca ayat lagi: [Dan setelah shalat Isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu.] Shalat Isya. (QS An-Nuur: 58) 

Disebutkan juga dalam Riwayat lain:

عَنْ ابْنِ عَبَّـاسٍ، قَالَ: جَمَعَتْ هَاتَانِ الْآيَتَانِ مَوَاقِـيْتَ الصَّلَاةِ { فَسُبْحانَ اللّهِ حِينَ تُـمْسُونَ } قَالَ: اَلْـمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ { وَحِينَ تُصْبِحُونَ } الْفَجْرَ { وَعَشِيًّا } الْعَصْرَ { وَحِينَ تُظْهرُونَ } الظُّهْرَ

Dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: 

Dua ayat ini, menghimpun seluruh waktu shalat wajib: [Maka bertasbihlah mensucikan Allah pada petang hari] Dia berkata: Maksudnya adalah sholat Maghrib dan Isya. [Dan pada pagi hari] sholat Subuh. [Dan pada penghujung hari] sholat Ashar. [Dan pada waktu zuhur] sholat Zuhur. (QS Ar Ruum: 17-18)

Disebutkan juga dalam hadits shahih yang menguatkan hal itu:

رَوَى طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللّهِ، قَالَ: «جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ فَقَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ

Diriwayatkan oleh Thalhah bin Ubaidillah, dia berkata: Seseorang mendatangi Rasulullah SAW, dia bertanya tentang Islam. Lalu Rasulullah SAW bersabda: Sholat lima waktu sehari semalam. Pria itu bertanya: Apakah saya diwajibkan shalat selain itu? Nabi menjawab: Tidak, kecuali sekadar sunnah. 

(HR Bukhari : 2678, dan Muslim: 11)

KHAZANAH REPUBLIKA

Berhukum dengan Selain Hukum Allah

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Ma’idah: 44).

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Ma’idah: 45).

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ

“Barang siapa tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al-Ma’idah: 47).

Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, dikarenakan menentang hukum itu, dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah yang telah menurunkan hukum tersebut, seperti keadaan orang-orang Yahudi, maka dia kafir. Adapun barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dikarenakan kecondongan hawa nafsunya, tanpa ada sikap penentangan (terhadap hukum Allah pent.), maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik” (Lihat Zaadul Masir, hal. 386).

Abu ‘Ali berkata, “Sesungguhnya orang yang mencari hukum selain hukum Allah, karena dia tidak rida dengan hukum Allah, maka dia kafir. Inilah keadaan kaum Yahudi” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7: 494).

Thawus menjelaskan maksud “barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu orang-orang yang kafir” dengan berkata, “Hal tersebut bukanlah kekafiran yang secara otomatis menyebabkan pelakunya keluar dari agama” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 3: 120; cet. Dar Thaibah).

Thawus juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang makna ayat di atas. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu’anhuma berkata, “Itu bukan kekafiran, sebagaimana yang mereka sangka” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak) (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 3: 120; cet. Dar Thaibah).

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Thawus, meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas mengenai maksud ayat di atas. Ibnu ‘Abbas berkata, “Hal itu adalah penyebab kekafiran. Ia bukanlah kekafiran seperti halnya orang yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya” (Lihat al-Qaul al-Ma’mun, hal. 17).

Dalam riwayat yang lain, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka dia telah melakukan perbuatan yang menyerupai perbuatan orang kafir” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7:497).

Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapa pun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, orang tersebut membenarkan dan meyakini perbuatannya berhukum terhadap hukum selain hukum Allah. Adapun orang yang melakukannya, sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7: 497).

Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya (yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah pent.), karena dorongan hawa nafsu atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan, berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan (terbukanya) ampunan bagi para pelaku dosa besar” (Lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 7: 498-499).

Ibnul Qoyyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan akbar. Tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini, namun dia berpaling darinya karena maksiat, dan di saat yang sama dia mengakui bahwa dirinya layak untuk menerima hukuman, maka ini adalah kufur ashghar. Namun, apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas (untuk mengikutinya atau tidak, pent), sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kufur akbar. Adapun, apabila dia tidak tahu atau bersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan (yang tidak disengaja), sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.” (Lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir, 2: 400).

Syekh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah menyimpulkan, bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah dihukumi kafir pada 3 keadaan:[1] apabila dia meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah. Karena segala hukum yang bertentangan dengan hukum Allah adalah hukum jahiliyah. Keadaan orang ini seperti keadaan orang yang menghalalkan zina dan khamr;[2] apabila dia meyakini bahwa hukum selain Allah sejajar dengan hukum Allah;[3] apabila dia meyakini hukum selain Allah lebih baik daripada hukum Allah (Lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid, 2: 69; cet. Maktabah al-‘Ilmu).

Syekh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi menambahkan, “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini, sehingga kita hanya wajib menerapkan undang-undang buatan (manusia), dengan dalih hukum Allah habis masa berlakunya, telah lewat, dan sirna (tidak cocok, pent), maka ini kekafirannya lebih parah daripada yang lainnya.” (Lihat transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 66).

Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syariat dengan undang-undang buatan manusia yang diberlakukan secara umum, sehingga hukum selain Islam yang lebih dominan, merupakan kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari agama (Lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain hal. 297-301; Fitnatu at-Takfir, hal. 98).

Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syariat dengan undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu saja. Syekh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya adalah kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan dirinya kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan tersebut mendapat uzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia terkecoh dengan pernyataan “hal ini tidak bertentangan dengan Islam”“hal ini termasuk maslahat mursalah”, “masalah ini diserahkan Islam kepada manusia (terserah bagaimana mereka mengaturnya, pent)” (Lihat al-Qaul al-Mufid, 2: 69).

Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Bahkan, seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan, bahwa di antara penguasa tersebut (pemerintah muslim) ada orang yang benar-benar kafir keluar dari agama, lantas apa faidah menampakkan sikap itu dan menyebarluaskannya? Hal tersebut justru membangkitkan kekacauan.” (Lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 35).

Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan tentang kafirnya orang yang berkeyakinan Al-Qur’an adalah makhluk (keyakinan Jahmiyah). Meskipun demikian, kita dapati beliau tidak dengan serta merta mengkafirkan pemerintah dan semua dedengkot Jahmiyah yang menyerukan kekafiran itu. Beliau tidak memberontak kepada penguasa dan tidak pula memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa saat itu yang memaksa umat – bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh para ulama – agar meyakini Al-Qur’an adalah makhluk. (Lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 263).

Ketika mendengar ada sebagian orang yang hendak melakukan pemberontakan kepada penguasa pada waktu itu, Imam Ahmad mengatakan, “SubhanallahSubhanallah! Pertumpahan darah! Pertumpahan darah! Aku tidak sepakat dengannya dan aku tidak memerintahkan hal itu. Bersabar di atas keadaan kita sekarang ini lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah. Karena terjadinya fitnah (pemberontakan) akan membuat darah tertumpah di mana-mana, harta-harta dirampas, dan kehormatan diinjak-injak.” (Lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 264).

Syekh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi salah satunya dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu, dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka untuk memberontak terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan atau provokasi.” (Lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272).

Syekh Abdul ‘Aziz bin Baz menjelaskan, “Bukanlah termasuk manhaj salaf membeberkan aib-aib pemerintah dan menyebut-nyebut hal itu di atas mimbar. Hal itu akan mengantarkan kepada kekacauan (di tengah masyarakat), sehingga tidak ada lagi sikap mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf. Hal itu juga menjerumuskan kepada pembicaraan yang membahayakan dan tidak bermanfaat. Akan tetapi, cara yang harus diikuti menurut salaf adalah dengan menasihatinya secara langsung, antara dirinya dengan penguasa tersebut. Bisa juga dengan mengirim surat kepadanya, atau berhubungan dengannya melalui para ulama yang memiliki hubungan dengannya. Sehingga dia bisa diarahkan menuju kebaikan.” (Lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 271).

Pada masa al-Hajjaj seorang pemimpin yang kejam dan bengis berkuasa, Hasan al-Bashri memberikan nasihat, “Wahai umat manusia! Demi Allah, tidaklah al-Hajjaj dijadikan Allah berkuasa atas kalian, kecuali sebagai bentuk hukuman (atas dosa-dosa kita). Maka janganlah kalian menghadapi (ketetapan) Allah ini dengan pedang (memberontak). Akan tetapi, kalian wajib untuk menghadapinya dengan sikap tenang dan penuh ketundukan.” (Lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 275).

Hasan al-Bashri juga mengatakan, “Demi Allah! Tidaklah tegak urusan agama ini kecuali dengan adanya pemerintah, walaupun mereka berbuat aniaya dan bertindak zalim. Demi Allah! Apa-apa yang Allah perbaiki dengan sebab keberadaan mereka itu jauh lebih banyak dibandingkan apa-apa yang mereka rusak.” (Lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 279).

***

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/70009-berhukum-dengan-selain-hukum-allah.html

Mungkinkah Manusia Melihat Malaikat dalam Wujudnya yang Asli?

Malaikat diberi kemampuan untuk berubah dari wujud aslinya

Allah Ta’ala menjadikan malaikat memiliki kemampuan untuk berubah bentuk dari wujudnya yang asli. Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ ؛ إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَاماً قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ ؛ فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاء بِعِجْلٍ سَمِينٍ ؛ فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mengucapkan, “Salaamun”. Ibrahim menjawab, “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata, “Silakan anda makan.” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 24-27)

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَاناً شَرْقِيّاً ؛ فَاتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَاباً فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَراً سَوِيّاً

Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur’an, yaitu ketika dia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka, lalu Kami mengutus ruh Kami (malaikat) kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.” (QS. Maryam [19]: 16-17)

Dalam hadis Jibril yang terkenal, disebutkan bahwa malaikat Jibril ‘alaihis salam mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam wujud manusia, dan bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang iman, Islam, dan ihsan. ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الْإِسْلَامِ

Dahulu kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam?’

Sampai di akhir hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Wahai ‘Umar, tahukah kamu, siapakah penanya itu?

‘Umar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ

Sesungguhnya dia adalah jibril, dia mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang pengetahuan agama kalian.” (HR. Muslim no. 8)

Salman radhiyallahu ‘anhu berkata,

وَأُنْبِئْتُ أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، أَتَى نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعِنْدَهُ أُمُّ سَلَمَةَ، قَالَ: فَجَعَلَ يَتَحَدَّثُ، ثُمَّ قَامَ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمِّ سَلَمَةَ: «مَنْ هَذَا؟» أَوْ كَمَا قَالَ: قَالَتْ: هَذَا دِحْيَةُ

Saya pernah diberitahu bahwasanya Jibril ‘alaihis salam datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang pada saat itu Ummu Salamah ada di samping beliau. Setelah itu beliau mulai berbicara, lalu berdiri, dan akhirnya bertanya kepada Ummu Salamah, ‘Siapakah ini?’ (atau sebagaimana yang beliau katakan kepadanya). Ummu Salamah menjawab, ‘Ini Dihyah Al-Kalbi.:” (HR. Muslim no. 2451)

Ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa malaikat diberi kemampuan untuk berubah bentuk (berubah wujud) dari wujudnya yang asli menjadi bentuk manusia yang sempurna (bentuk yang bagus).

Akan tetapi, terkadang malaikat berubah wujud menjadi bentuk manusia yang jelek, sebagai bentuk ujian kepada manusia. Ini sebagaimana kisah tiga orang dari Bani Israil yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ceritakan dalam sebuah hadis yang panjang.

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

Ada tiga orang dari Bani Israil yang menderita sakit. Yang pertama menderita penyakit kusta, yang kedua berkepala botak ,dan yang ketiga buta. Kemudian Allah Ta’ala menguji mereka dengan mengutus malaikat menemui mereka. Pertama, malaikat mendatangi orang yang berpenyakit kusta lalu bertanya kepadanya, ‘Apa yang paling kamu sukai?’ Orang ini menjawab, ‘Warna kulit dan kulitku yang bagus karena sekarang ini manusia menjauh dariku.’

Beliau melanjutkan, “Maka malaikat itu mengusap kulitnya hingga hilang dan berganti dengan warna dan kulit yang bagus. Lalu malaikat bertanya lagi, ‘Harta apa yang paling kamu sukai?’ Orang itu menjawab, ‘Unta.’ Perawi berkata, ‘Atau sapi’.” (Perawi ragu bahwa orang yang berpenyakit kusta ataukah yang berkepala botak. Yang satu berkata, “Unta” dan yang lainnya berkata, “Sapi.”)

“Maka dia diberi unta yang bunting, lalu malaikat berkata, ‘Semoga pada unta itu ada keberkahan buatmu.’

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang berkepala botak dan bertanya kepadanya, ‘Apa yang paling kamu sukai?’ Orang ini menjawab, ‘Tumbuh rambut yang bagus dan penyakit ini pergi dariku karena sekarang ini manusia menjauh dariku.’”

Beliau melanjutkan, “Maka malaikat itu mengusap kepala orang ini hingga hilang dan berganti dengan rambut yang bagus. Lalu malaikat bertanya lagi, ‘Harta apa yang paling kamu sukai?’ Orang itu menjawab, ‘Sapi.’ Maka dia diberi seekor sapi yang sedang bunting lalu malaikat berkata, ‘Semoga pada sapi itu ada keberkahan buatmu.’

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang buta lalu bertanya kepadanya, ‘Apa yang paling kamu sukai?’ Orang ini menjawab, ‘Seandainya Allah Ta’ala mengembalikan penglihatanku sehingga dengan penglihatan itu aku dapat melihat manusia.’ Beliau melanjutkan, ‘Maka malaikat itu mengusap mata orang ini hingga Allah Ta’ala mengembalikan penglihatannya.’ Lalu malaikat bertanya lagi, ‘Harta apa yang paling kamu sukai?’ Orang itu menjawab, ‘Kambing.’ Dia pun diberi seekor kambing yang bunting.

Kedua orang yang pertama tadi hewan-hewannya berkembang biak dengan banyak begitu juga orang yang ketiga, masing-masing mereka memiliki lembah untuk menggembalakan unta-unta, lembah untuk menggembalakan sapi-sapi, dan lembah untuk menggembalakan kambing-kambing.

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang tadinya berpenyakit kusta dalam bentuk keadaan seperti orang yang berpenyakit kusta lalu berkata, ‘Saya orang miskin yang bekalku sudah habis dalam perjalananku ini dan tidak ada yang menyampaikan aku hidup hingga hari ini kecuali Allah Ta’ala. Maka aku memohon kepadamu demi orang yang telah memberimu warna dan kulit yang bagus berupa seekor unta, apakah kamu mau memberiku bekal agar aku dapat meneruskan perjalananku ini?’

Maka orang ini berkata, ‘Sesungguhnya hak-hak sangat banyak (untuk aku tunaikan).’ Lalu malaikat bertanya kepadanya, ‘Sepertinya aku mengenal Anda. Bukankah kamu dahulu orang yang berpenyakit kusta dan manusia menjauhimu dan kamu dalam keadaan faqir lalu Allah Ta’ala memberimu harta?’

Orang ini menjawab, ‘Aku memiliki ini semua dari harta warisan turun menurun.’ Maka malaikat berkata, ‘Seandainya kamu berdusta, semoga Allah Ta’ala mengembalikanmu kepada keadaanmu semula.’

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang dahulunya berkepala botak dalam bentuk keadaan orang yang berkepala botak, lalu malaikat berkata sebagaimana yang dikatakan kepada orang pertama tadi. Orang yang dahulunya berkepala botak ini menjawab seperti jawaban orang yang dahulunya berpenyakit kusta, lalu malaikat berkata, ‘Seandainya kamu berdusta, semoga Allah Ta’ala mengembalikanmu kepada keadaanmu semula.’

Lalu malaikat mendatangi orang yang dahulunya buta dalam bentuk sebagai orang buta lalu berkata, ‘Saya orang miskin yang bekalku sudah habis dalam perjalananku ini dan tidak ada yang menyampaikan aku hidup hingga hari ini kecuali Allah Ta’ala. Maka aku memohon kepadamu demi Zat yang telah mengembalikan penglihatanmu berupa seekor kambing, apakah kamu mau memberiku bekal agar aku dapat meneruskan perjalananku ini?’

Maka orang ini menjawab, ‘Dahulu aku adalah orang yang buta, lalu Allah Ta’ala mengembalikan penglihatanku. Aku juga seorang yang faqir, lalu Dia memberiku kecukupan. Karena itu, ambillah sesukamu. Demi Allah, aku tidak akan menghalangimu untuk mengambil sesuatu selama kamu mengambilnya karena Allah Ta’ala.’

Maka malaikat itu berkata, ‘Tahan hartamu. Sesungguhnya kalian sedang diuji dan Allah Ta’ala telah rida kepadamu dan murka kepada kedua temanmu.’” (HR. Bukhari no. 3464)

Hadis ini menunjukkan bahwa malaikat diberi kemampuan untuk berubah wujud menjadi bentuk manusia yang jelek (terkena penyakit).

Tidak boleh membahas bagaimanakah cara malaikat berubah wujud

Meskipun kita mengetahui bahwa malaikat diberi kemampuan untuk berubah wujud, namun kita tidak boleh membahas, apalagi memikirkan dengan terlalu dalam, bagaimanakah cara malaikat berubah wujud. Tidak sebagaimana orang-orang ahlul kalam yang berdalam-dalam dalam membahas masalah ini. (Lihat Fathul Baari, 1: 21)

Menurut ahlus sunnah, tidak boleh membahas bagaimanakah cara atau metode malaikat berubah wujud. Hal ini karena tidak ada dalil yang menjelaskan masalah tersebut, sehingga hal ini termasuk ilmu gaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala.

Abul ‘Abbas Al-Qurthubi rahimahullah berkata,

“Membahas tentang cara perubahan wujud tersebut tidaklah menghasilkan apapun. Yang menjadi kewajiban kita adalah membenarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut. Dan siapa saja yang mengingkari wujud malaikat, jin, dan kemampuan berubah wujudnya, maka dia kafir.” (Al-Mufhim, 6: 172)

Manusia tidak mungkin melihat malaikat dalam wujud yang asli

Perkara penting lainnya yang perlu ditegaskan adalah bahwa melihat malaikat dalam wujud yang asli sebagaimana yang Allah Ta’ala ciptakan itu hanya terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga untuk selain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, tidaklah mungkin melihat malaikat dalam wujud yang asli.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُواْ لَوْلا أُنزِلَ عَلَيْهِ مَلَكٌ وَلَوْ أَنزَلْنَا مَلَكاً لَّقُضِيَ الأمْرُ ثُمَّ لاَ يُنظَرُونَ  ؛ وَلَوْ جَعَلْنَاهُ مَلَكاً لَّجَعَلْنَاهُ رَجُلاً وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِم مَّا يَلْبِسُونَ

Dan mereka berkata, ‘Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?’ Dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikit pun). Dan kalau Kami jadikan rasul itu dari malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki, dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki), tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri.” (QS. Al-An’am [6]: 8-9)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala katakan bahwa jika Allah mengutus rasul itu dari kalangan malaikat, bukan manusia, maka malaikat itu akan Allah jadikan dalam bentuk seorang lak-laki. Hal ini karena manusia tidak mampu melihat malaikat dalam wujud yang asli.

Ibnu Qutaibah berkata menjelaskan maksud ayat di atas, “Allah Ta’ala maksudkan, jika Kami menurunkan malaikat, maka tidak akan bisa dijangkau oleh indera kalian. Karena panca indera manusia tidaklah bisa melihat hakikat wujud malaikat (yang asli). Maka Kami akan jadikan terlebih dulu malaikat itu dalam bentuk (manusia) laki-laki yang semisal dengan kalian agar kalian bisa melihatnya dan bisa memahami apa yang dikatakan.” (Ta’wil Mukhtalaful Hadits, hal. 402)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/70003-mungkinkah-manusia-melihat-malaikat-dalam-wujudnya-yang-asli.html

Ini Pengalaman Jamaah yang Umroh Saat Pandemi

Arab Saudi telah membuka kembali penyelenggaraan umroh sejak Agustus 2021. Meski begitu, belum semua negara bisa memberangkatkan termasuk Indonesia.

Saat ini Saudi baru memberikan izin bagi jemaah dari 10 negara, yaitu Irak, Nigeria, Sudan, Jordan, Senegal, Bangladesh, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Uni Emirat Arab. Kedatangan jemaah kali pertama di Saudi pada 14 Agustus lalu. Sampai saat ini, tercatat sudah 12 ribu jemaah yang berumroh.

Lalu bagaimana penyelenggaraan umroh di masa pandemi seperti sekarang ini?

Konsul Haji KJRI Jeddah, Endang Jumali membagi pengalamannya. Menurutnya penyelenggaraan umroh saat pandemi berlangsung dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat.

Endang menceritakan, jamaah yang sudah mendapatkan dua kali vaksin dengan vaksin yang digunakan Arab Saudi, atau dua kali vaksin selain vaksin yang digunakan Saudi lalu ditambah dengan booster, mereka tidak menjalani karantina setibanya di Jeddah atau Madinah. Mereka bisa langsung menjalankan ibadah.

“Selama di Makkah dan Madinah, jemaah mendapat kesempatan sekali menjalankan umroh dan sekali sholat di Raudah. Adapun untuk sholat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bisa dilakukan setiap waktu,” tutur Endang dalam rapat virtual tentang persiapan penyelenggaraan ibadah umrah dengan Tim Kemenag, Kemenkes, Kominfo, dan PT Telkom, belum lama ini.

Endang mengatakan, bagi jemaah yang baru mendapatkan satu kali vaksin, maka dia harus menjalani isolasi mandiri terlebih dahulu selama empat hari. Arab Saudi selama ini menggunakan empat jenis vaksin, yaitu: Pfizer, AstraZeneca, Jhonson&Jhonson, serta Moderna.

IHRAM

Kisah Wanita AS Jadi Mualaf karena Anaknya

Islam menyelamatkan dua anak Bella dari kehancuran di jalanan.

Seorang warga negara Amerika Serikat (AS) keturunan Kolombia, Bella, mengisahkan perjalanannya dalam menemukan jalan hidup sebagai seorang Muslim. Pertemuan dengan Islam yang tidak pernah terpikirkan dan diduganya sebelumnya. 

Dilansir dari About Islam, Rabu (3/11), beberapa tahun yang lalu, Bella ingat ketika dia memiliki banyak masalah dengan putranya. Yang satu putus sekolah dan menghabiskan hari-harinya dengan minum-minum dan mencari masalah di jalanan. Yang satunya membuat dirinya sendiri dalam masalah besar dan menjalani hukuman dua tahun penjara.

Bella tidak tahu harus berbuat apa. Ia telah meninggalkan Kolumbia lebih dari 15 tahun yang lalu untuk mencari masa depan yang lebih baik bagi keluarganya di AS. Tapi suatu hari, putranya Jorge, pulang ke rumah dan wajahnya memperlihatkan sesuatu telah terjadi.

“Ketika Jorge pulang pagi itu, ia tampak berbeda. Dia tampak lelah seperti biasanya. Dia berbau seperti alkohol dan rokok. Tapi ada yang aneh. Aku mencari petunjuk di wajahnya,” kata Bella. 

Tapi Jorge tidak menatap ibunya. Bella mengikutinya, mengetuk pintunya dan masuk.  Terlihat Jorge duduk di tempat tidurnya, berpikir.

“Saya bertanya kepada putra saya apakah semuanya baik-baik saja dan dia berkata ‘ya, ibu’. Tapi dia terus memasang ekspresi aneh di wajahnya. Saya duduk di sebelahnya dan menyentuh punggungnya,” kenang Bella.  

Kemudian Jorge mengatakan dia harus berhenti minum. “Saya senang mendengarnya.  Bagaimanapun, itulah yang saya doakan selama ini. Saya hanya mengatakan kepadanya itu adalah ide yang bagus. Saya pikir hanya itu yang mengganggunya. Namun, pengakuan ini hanyalah awal dari perubahan besar pada anak saya,” katanya.

Mulai pagi itu, Jorge tidak minum lagi. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamarnya. Terkadang dia pergi keluar dengan seorang teman yang menjemputnya dari rumah.

Suatu hari, Bella mengundang teman baru Jorge masuk. Dia telah menyiapkan makan malam sederhana. Jorge dan temannya duduk. Dan kemudian mereka mulai berbicara tentang Tuhan dan Yesus dan Maria yang kudus.

“Saya tidak ingat semua yang mereka katakan. Saya sangat terkejut karena anak saya tidak pernah berbicara tentang Tuhan sebelumnya. Saya selalu berdoa dalam hati di kamar saya, kepada Maria yang kudus dan Tuhan dan kepada Yesus. Tapi saya tidak pernah menjadikannya masalah besar dalam keluarga kami,”ujarnya. 

Bella masih santai ketika putranya dan temannya berbicara tentang Tuhan dan Yesus. Tapi kemudian Jorge mengungkapkan kepada ibunya bahwa dia telah menjadi seorang Muslim.

“Bukankah Muslim itu teroris? Saya benar-benar kewalahan dengan situasi ini. Saya hanya mengambil piring, membersihkan meja dan menyuruh mereka pergi,” ujarnya. 

“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Aku pergi ke kamarku dan duduk di depan kuil kecilku dan berdoa. Itu sangat aneh. Dan rasanya seperti untuk pertama kalinya saya berbicara langsung dengan Tuhan dan meminta bantuan-Nya. Biasanya saya berdoa kepada Bunda Maria, tetapi kali ini berbeda,” tambahnya. 

Suatu hari, Jorge tidak kembali selama beberapa hari. Bella khawatir tentang dia.

Tapi setelah lebih dari dua pekan, Jorge kembali. Wajahnya bersinar dan dia memeluk Bella. 

“Jorge meluangkan waktu untuk duduk bersama saya. Kami melakukan pembicaraan dan diskusi yang panjang,” ucapnya.

“Saya bisa menerima Jorge menjadi Muslim sekarang. Tetapi ketika dia bertanya apakah saya ingin menerima Islam, saya mengatakan kepadanya saya membutuhkan lebih banyak waktu,” tambahnya. 

Setelah sekitar setengah tahun, Bella akhirnya menerima Islam. “Itu adalah momen yang indah. Alhamdulillah,” katanya. 

Ketika anaknya yang lain dibebaskan dari penjara, tidak butuh waktu lama dan dia juga memeluk Islam. Anak-anaknya telah menghindari masalah sejak saat itu.

“Melalui Islam, Tuhan memberi saya kembali dua putra saya yang luar biasa. Dia menyelamatkan mereka dari kekerasan dan kehancuran di jalanan,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Suami Istri Dimakamkan dalam 1 Liang Lahat, Bolehkah?

Ulama berbeda pendapat makam suami istri dalam 1 liang lahat

Artis Vanessa Angel dan suaminya Febri Adriansyah yang meninggal karena kecelakaan dimakamkan dalam satu liang lahat di Pemakaman Islam Malaka, Jalan Swadarma Ulujami, Jakarta Selatan pada Jumat (5/11) pagi.

Namun, tata cara pemakaman seperti itu tidak lumrah di Indonesia, sehingga masyarakat banyak yang bertanya tentang hukum memakamkan pasangan suami istri dalam satu liang lahat. Terkait masalah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang membolehkannya dengan syarat dan ada yang mengharamkannya.  

Ulama Madzhab Syafii menyatakan keharaman praktik pemakaman dua jenazah di satu lubang kubur. Menurut Madzhab Syafii, praktik pemakaman dua jenazah di satu makam hanya boleh dilakukan dalam situasi darurat dan memiliki hubungan kemahraman.

Artinya, “Haram memakamkan dua jenazah yang berbeda jenis kelamin di satu makam kecuali jika keduanya memiliki hubungan mahram dan hubungan suami-istri,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fath al-Mu’in, [Mesir, At-Tijariyatul Kubra: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 118).

Sementara itu, dalam sebuah diskusi anggota Fatwa Dar Al Ifta Mesir, Dr Mahmud Syalaby, menjelaskan bahwa memakamkan jenazah suami istri dalam satu liang lahat hukumnya haram. 

Menurut dia, dua jenazah tersebut harus dipisah di dalam lubang makam yang berbeda. “Tidak benar ayah dikuburkan bersama anak perempuannya, dan ibu dengan anak laki-lakinya. Itu dilarang,” jelasnya seperti dilansir dari Elbalad, Ahad (6/11).

Adapun anggota fatwa lainnya Dar Al Ifta, Syekh Uwaidah Utsman juga menyebut penggabungan jenazah suami istri di satu lubang adalah hal terlarang. Kasus seperti ini hanya dibolehkan saat kondisinya benar-benar terpaksa.

“Tidak benar ayah dikuburkan bersama anak perempuannya, tidak pula ibu dengan anak laki-lakinya, karena laki-laki berada di suatu tempat dan perempuan berada di suatu tempat dan tidak boleh kecuali dalam keadaan terpaksa bila ada. Seperti tidak ada tempat untuk pemakamannya dan lainnya,” katanya.   

KHAZANAH REPUBLIKA

Penjabaran Empat Kaidah Utama (Bag. 7)

Bismillah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah berkata,

“Maka apabila kamu telah mengetahui bahwa apabila syirik itu mencampuri ibadah, akan membuat ibadah itu menjadi rusak dan menghapuskan amalan serta pelakunya menjadi kelompok orang-orang yang kekal di dalam neraka, maka kamu akan mengetahui bahwasanya sesuatu yang terpenting bagimu adalah mengenali hal itu (syirik). Mudah-mudahan Allah membebaskanmu dari perangkap ini yaitu syirik kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan mengampuni apa-apa yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang Dia kehendaki’ (QS. An-Nisa: 48).”

Penjelasan

Dari apa yang telah disampaikan oleh penulis di sini, banyak hal yang bisa kita petik. Di antaranya adalah kita akan memahami bahwa rusaknya ibadah merupakan perkara yang sangat dikhawatirkan oleh para ulama. Perusak-perusak ibadah inilah yang akan membuat amal kebaikan menjadi terbang sia-sia, bahkan membuahkan malapetaka. Syirik tidaklah diragukan menjadi sebab kehinaan dan kehancuran manusia. Allah berfirman,

إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong” (QS. Al-Ma’idah: 72).

Kita wajib merasa takut terjerumus dalam perbuatan syirik. Apalagi syirik itu tidak hanya sesuatu yang bersifat lahiriyah dalam bentuk ucapan dan perbuatan anggota badan. Sebab ada juga syirik dalam bentuk amalan hati yang tidak tampak alias perkara batin. Di antara yang paling dikhawatirkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menimpa para sahabatnya adalah syirik kecil seperti riyā’. Riya’ adalah beramal saleh, namun dengan harapan mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Oleh sebab itu, sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa hakikat ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan senantiasa melihat kepada penilaian Allah Al-Khaliq.

Dan demikianlah sifat dari orang-orang yang beriman yang tidak ingin amalnya sia-sia dan ibadahnya hancur akibat dosa-dosa hati. Ibnu Abi Mulaikah Rahimahullah -seorang tabiin- mengatakan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam; dalam keadaan mereka semua khawatir dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak seorang pun dari mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan imannya Jibril dan Mikail.”

Iman adalah kekayaan paling berharga bagi seorang muslim. Tanpa iman, hidup tidak akan terasa nyaman. Tanpa iman, hidup akan sengsara. Tanpa iman, detik demi detik yang dijalani hanya akan menghasilkan kerugian di dunia dan di akhirat. Sementara tauhid adalah pokok keimanan. Tanpa tauhid, iman lenyap. Karena syirik, iman dan tauhid akan hancur lebur. Allah berfirman,

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lantas Kami pun menjadikannya bagaikan debu-debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan: 23).

Membersihkan diri dari kotoran syirik merupakan bentuk penyucian jiwa yang paling utama. Karena itulah dakwah para nabi dan rasul di sepanjang masa selalu memprioritaskan pembenahan akidah dan pemurnian ibadah kepada Allah. Dengan demikian, sebagai seorang muslim kita wajib mengenal berbagai bentuk kesyirikan dalam rangka menghindari dan menjaga diri darinya. Sebagaimana dikatakan oleh orang Arab bahwa, “Aku kenali keburukan bukan untuk melakukannya, tetapi untuk menjaga diri. Barangsiapa tidak mengenali mana yang buruk dan mana yang baik, niscaya dia akan jatuh pada keburukan tanpa dia sadari.”

Syekh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak Hafizhahullah berkata, “Apabila telah dimaklumi bahwasanya salat yang tercampuri dengan hadas, maka hal itu membatalkannya; demikian pula halnya ibadah yang tercampuri syirik, itu juga akan merusak ibadah. Seperti halnya hadas yang mencampuri taharah, hal itu membatalkannya. Akan tetapi, apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik akbar, ia akan membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Sungguh jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (QS. Az-Zumar: 65).

Dan juga firman-Nya,

وَلَوْ أَشْرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka berbuat syirik, niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 88).

Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar, akibatnya adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riyā’ saja dan tidaklah menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syekh al-Barrak, hal. 11).

Syekh Zaid bin Hadi al-Madkhali Rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik, maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah (yang benar pent.) tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, bagaimana pun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang, dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا

“Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan: 23).” (Lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11).

Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata, “Apabila seorang mukmin mengetahui bahwa apabila tauhid itu tercampuri syirik, hal itu akan merusak tauhid sebagaimana hadas merusak taharah, maka dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik. Supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena (hakikat) agama Allah dan hakikat ajaran Islam adalah tauhid. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu, maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap …” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah, hal. 11).

Kunci keberuntungan

Syekh Abdul Muhsin al-‘Abbad Hafizhahullah berkata, “… perkara paling agung yang diserukan oleh Nabi kepada umatnya adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dan perkara terbesar yang beliau larang umat darinya adalah mempersekutukan bersama-Nya sesuatu apapun dalam hal ibadah. Beliau telah mengumumkan hal itu ketika pertama kali beliau diangkat sebagai rasul oleh Allah, yaitu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai manusia! Ucapkanlah laa ilaha illallah niscaya kalian beruntung.’ (HR. Ahmad dengan sanad sahih, hadis no. 16603)…” (lihat Kutub wa Rasa’il Abdil Muhsin, 4: 362)

Bukanlah yang dimaksud semata-mata mengucapkan laa ilaha illallah dengan lisan tanpa memahami maknanya. Anda harus mempelajari apa makna laa ilaha illallah. Adapun apabila Anda mengucapkannya sementara Anda tidak mengetahui maknanya, maka Anda tidak bisa meyakini apa yang terkandung di dalamnya. Sebab bagaimana mungkin Anda meyakini sesuatu yang Anda sendiri tidak mengerti tentangnya. Oleh sebab itu, Anda harus mengetahui maknanya sehingga bisa meyakininya. Anda yakini dengan hati apa-apa yang Anda ucapkan dengan lisan. Wajib bagi Anda untuk mempelajari makna laa ilaha illallah. Adapun sekedar mengucapkan dengan lisan tanpa memahami maknanya, maka hal ini tidak berfaidah sama sekali (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Tafsir Kalimat Tauhid, hal. 10-11).

Kaum musyrikin di masa silam memahami bahwa laa ilaha illallah menuntut untuk meninggalkan segala sesembahan selain Allah. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum kafir Quraisy, “Ucapkanlah laa ilaha illallah.” Maka mereka mengatakan,

أَجَعَلَ ٱلْءَالِهَةَ إِلَٰهًا وَٰحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَىْءٌ عُجَابٌ

“Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5) (HR. Ahmad).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “Mereka memahami bahwasanya kalimat ini menuntut dihapuskannya peribadatan kepada segala berhala dan membatasi ibadah itu hanya untuk Allah saja, sedangkan mereka tidak menghendaki hal itu. Jelaslah dengan makna ini bahwa makna dan konsekuensi dari laa ilaha illallah adalah mengesakan Allah dalam beribadah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya” (lihat Ma’na Laa Ilaha Illallah, hal. 31).

Kalimat laa ilaha illallah mewajibkan setiap muslim untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan segala bentuk perbuatan syirik. Inilah yang tidak dikehendaki oleh orang-orang musyrik kala itu. Allah berfirman,

إِنَّهُمۡ كَانُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسۡتَكۡبِرُونَ (٣٥) وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓاْ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٖ مَّجۡنُونِۢ (٣٦)

“Sesungguhnya mereka itu dahulu ketika dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, mereka menyombongkan diri. Mereka pun mengatakan, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila’” (QS. ash-Shaffat: 35-36).

Berpegang-teguh dengan kalimat tauhid ini adalah dengan mengingkari segala sesembahan selain Allah (thaghut) dan beribadah kepada Allah semata. Sebagaimana firman-Nya,

فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terputus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah: 256).

Buhul tali yang paling kuat atau al-‘Urwatul Wutsqa yang dimaksud dalam ayat ini mengandung banyak makna. Mujahid menafsirkannya dengan iman. As-Suddi menafsirkan bahwa maksudnya adalah Islam. Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa maksudnya adalah kalimat laa ilaha illallah. Anas bin Malik menafsirkan maksudnya adalah al-Qur’an. Salim bin Abil Ja’d menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menyimpulkan, “Semua pendapat ini adalah benar dan tidak bertentangan satu sama lain.” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1: 684).

Kalimat tauhid ini pula yang disebut sebagai kalimatun sawaa’ atau kalimat yang adil. Sebagaimana yang Allah perintahkan,

قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ تَعَالَوْا۟ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍۭ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ

“Katakanlah; Wahai ahli kitab, marilah kami ajak kalian kepada suatu kalimat yang adil antara kami dengan kalian…” (QS. Ali ‘Imran : 64) (lihat Syahadat an Laa Ilaha Illallah karya Syekh Dr. Shalih Sindi Hafizhahullah, hal. 33).

Orang yang paling berbahagia dengan syafaat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kelak pada hari kiamat adalah yang ikhlas dalam mengucapkan kalimat tauhid ini. Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah ikhlas dari hati atau jiwanya” (HR. Bukhari).

Oleh sebab itu, kalimat tauhid yang diwujudkan dalam kehidupan menjadi sebab keberuntungan. Inilah yang diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun justru ditolak oleh kaum musyrik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ucapkanlah laa ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung …” (HR. Ahmad dan sanadnya dinyatakan jayyid oleh al-Albani dalam Sahih Sirah) (lihat Syahadat an Laa Ilaha Illallah, hal. 35).

Ilmu tentang makna dan konsekuensi kalimat tauhid inilah yang menjadi sebab keselamatan dari azab neraka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan mengetahui (berilmu) bahwasanya tidak ada ilah/ sesembahan yang haqq selain Allah, niscaya dia masuk surga” (HR. Muslim).

Orang yang mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang haqq kecuali Allah, niscaya dia akan meninggalkan segala bentuk kemusyrikan. Adapun mereka yang mati dalam keadaan berbuat syirik akbar atau tidak bertaubat darinya, niscaya dia masuk neraka dan kekal di dalamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa meninggal dalam keadaan berdoa/beribadah kepada tandingan/sesembahan selain Allah, dia masuk neraka” (HR. Bukhari).

Kenali hakikat agama Islam

Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seseorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi, yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu, dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan dia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan salat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah, maka dia bukanlah muslim (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah dalam I’anatul Mustafid, 1: 38-39).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena Islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah, sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya, dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik, bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran Islam adalah syahadat laa ilaha illallah. Syahadat mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ

‘Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi’ (QS. Ali ‘Imran: 85).” (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30).

Ibnu Taimiyah Rahimahullah juga berkata, “Banyak orang yang mengidap riyā’ dan ujub. Riyā’ termasuk mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub adalah bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri. Dan inilah kondisi orang yang sombong. Seseorang yang riyā’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub, dia tidak mewujudkan kandungan ayat iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat iyyaka na’budu, maka dia terbebas dari riyā’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat iyyaka nasta’in, maka dia akan terbebas dari ujub” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83).

Syekh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “Di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ terkandung tauhid uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang disyariatkan oleh Allah untuk mereka. Hal ini karena uluhiyah bermakna ibadah. Dan ibadah itu adalah bagian dari perbuatan hamba. Adapun ‘wa iyyaka nasta’in’ mengandung tauhid rububiyah. Karena pertolongan adalah salah satu perbuatan Rabb Yang Maha Suci. Dan tauhid rububiyah itu adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 195).

Semua ayat yang membicarakan tentang perbuatan-perbuatan Allah, itu tercakup dalam tauhid rububiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang ibadah, perintah untuk beribadah dan ajakan kepadanya, maka itu mengandung tauhid uluhiyah. Dan semua ayat yang membicarakan tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maka itu mengandung tauhid asma’ wa shifat (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 29 oleh al-Fauzan).

Demikian catatan yang bisa kami rangkum dalam kesempatan ini dengan kemudahan yang Allah berikan. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahul muwaffiq.

***

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69896-penjabaran-empat-kaidah-utama-bag-7.html

Ini Kriteria Istri Salihah Versi Rasulullah

Dunia adalah kehidupan penuh kenikmatan, dan kenikmatan yang paling baik adalah istri salihah. Begitulah bunyi hadis Rasulullah yang biasa menjadi motivasi pasangan muda mudi jaman sekarang ini. Jika ditanya kriteria istri, maka seorang tersebut menjawabnya dengan simple dan padat. Istri salihah, ya memang wanita yang bergelar istri salihah adalah dambaan semua orang. Lantas bagaimanakah sebenarnya istri yang salihah itu?

Allah menggambarkan wanita salihah dalam sebuah ayat indah dalam Surat Annisa ayat 34:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.”

Tersirat dalam ayat tersebut bahwa istri salihah itu yang taat kepada Allah dan juga pada suaminya, baik di depan atau di belakang suami. Sehingga ketika sang suami tidak lagi bersamanya, sang istri tetap bisa menjaga dirinya. Ditambahkan dalam tafsir yang diterbitkan oleh Kemenag RI bahwa istri salihah itu istri yang menyenangkan bila dipandang, menuruti jika disuruh, dan selalu menjaga menjaga dirinya dan hartanya apabila suami tak sedang bersamanya.

Keterangan tersebut senada juga dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, dari Umamah menceritakan:

عن النبي صلي الله عليه وسلم  يقول  :  مااستفاد المؤمن بعد تقوي الله خيرا له من زوجة صالحة  ان امرها  اطاعتها  وان نظر اليها سرتها  وان اقسم اليها ابرته وان غاب عنها نصحته في نفسها وماله

Dari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam,  sesungguhnya Nabi saw pernah bersabda  ;  Tidak ada lagi yang lebih berguna bagi seorang mukmin setelah bertaqwa  kecuali istri yang  salehah. Jika ia menyuruh, istrinya taat, jika ia memandang, sang isri membuatnya bahagia, jika  suaminya menggilir, ia berbuat baik dan jika suaminya tidak ada ia menjaga diri dan harta suaminya.

Hadis tersebut memberikan keterangan lebih eksplisit lagi, bahwa istri salihah juga tetap baik jika digilir. Ketentutuan itu hanya berlaku jika suami memiliki dua istri atau lebih. Namun jika suami beristri satu, tetaplah bisa mendapat predikat istri salihah dengan memiliki kriteria lain yang disebutkan di atas. Bukan menyuruh suaminya untuk berpoligami agar sang istri menjadi salihah lantaran tetap baik saat digilir.

Dengan demikian, melalui ayat dan hadis kita sedikit banyak mengetahui bagaimana cara agar kita bisa menjadi istri yang salihah. Atau juga bisa untuk diajarkan kepada anak atau istrinya untuk belajar menjadi istri yang salihah. Yaitu istri yang taat kepada Allah, taat kepada suami, bisa menjaga diri dan hartanya ketika suami tak sedang bersamanya. Dan juga istri salihah itu istri yang enak dipandang, patuh suami dan rela digilir oleh suami yang beristri lebih dari satu.

BINCANG SYARIAH

Tiga Tips Agar Menjadi Istri Salihah

Menjadi istri salihah memang tak semudah mendaftarkan diri ke universitas ternama di Indonesia. Namun demikian bukan berarti tak mungkin dan tak kan terjadi di dunia ini. Dia yang ingin menjadi dan memiliki istri salihah harus berlatih dan berusaha menjadi seorang istri yang disebutkan melalui ayat dan hadisNya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci

Hadis tersebut mengajarkan bahwa tips untuk menjadi istri salihah adalah dengan melaksanakan tiga tips yang diajarkan oleh Rasulullah. Pertama, istri yang menyenangkan suami jika dipandangnya. Yaitu dengan mempersembahkan sikap dan senyum terbaiknya kepada suami, bahkan dalam keadaan sulitpun. Sebab itulah Allah menyuratkan sebuah doa dalam QS Al Furqan ayat 34:

الَّذِينَ يُحْشَرُونَ عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ إِلَىٰ جَهَنَّمَ أُولَٰئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ سَبِيلًا

Orang-orang yang dihimpunkan ke neraka Jahannam dengan diseret atas muka-muka mereka, mereka itulah orang yang paling buruk tempatnya dan paling sesat jalannya.

Kedua, istri yang taat kepada perintah suami. Dalam artian istri salihah itu nurut apabila disuruh sesuatu oleh suami, selagi suruhan tersebut tidak melanggar ajaran agama. Keterangan tersebut senada dengan hadis Nabi:

عن عائشة   ان رسل الله صلي الله عليه وسلم  قال  :  لو امرت احدا  ان يسجد لاحد لامرت المرأة ان تسجد لزوجها  ولو ان رجلا امر امرأته ان تنقل الي جبل احمر الي جبل اسود ومن جبل اسود الي جبل احمر لكان نولها ان تفعل

Dari ‘aisyah ra, sesunguhnya telah bersabda Rasulullah saw  : Jika saja au  (boleh) memerintah seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya aku memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Jika seorang suami memerintahkan sitrinya untuk pindah dari gunung merah ke gunung hitam dan dari gunung hitam ke gunung merah niscaya bagaimana caranya pun istri harus melakukannya

Ketiga, istri yang tidak menyelisihi suami ketika sedang tidak bersamanya. Ketika istri bisa menjaga diri dan sang suami pun sanggup menjaga diri disaat sedang berjauhan, maka tidak akan hadir yang namanya pebinor (perebut bini orang) atau pelakor (peerebut laki orang). Istri yang bisa tetap menjaga diri dan hartanya di saat suami tak ada inilah yang disebut secara langsung dalam QS An Nisa ayat 34:

الصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada

BINCANG SYARIAH

Jangan Telantarkan Anak, Kelak Orang Tua Butuh Doa

Setiap orang tua wajib mendidik dan menjaga anak-anaknya dengan baik. Hal ini karena yang dibutuhkan orang tua setelah wafat adalah doa yang tulus dari anak-anaknya.

“Sungguh doa tulus mereka, “Rabbighfirli wa liwalidayya…” kelak setelah kita wafat, jauh lebih berharga dibanding seluruh kesibukan duniawi kita saat ini,” kata Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi’i Jember, Ustadz Abdullah Zaen Lc.,MA dalam keterangan tertulisnya kepada Republika

Ustadz mengungkapkan, manusia hidup di zaman yang jauh berbeda dibanding masa ayah dan kakeknya terdahulu. Satu hari saja orang tua melalaikan anak, bisa puluhan pemahaman rusak masuk ke otak anak. Puluhan atau ratusan tontonan tak pantas menyasar mata anak. Puluhan aktivitas tidak bermanfaat menyibukkan waktu anak.

“Bagaimana bila kita melalaikan anak kita selama berbulan-bulan, tanpa ada nasehat, wejangan dan arahan?,” ucap Ustadz. 

“Wahai para orang tua, kebutuhan mendesak anak kita bukanlah baju baru, gadget tercanggih, uang saku yang banyak atau warisan yang melimpah ruah. Namun yang dibutuhkan mereka adalah penanaman kecintaan kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya. Galilah potensi kebaikan anak, lalu rawatlah dan kembangkanlah potensi tersebut. Kenali potensi keburukan anak, lalu obatilah, minimalisirkanlah dan cabutlah,” lanjut Ustadz.

Ustadz Abdullah mengatakan, hendaknya para orang tua, tak beralasan tidak punya waktu. Para sahabat dahulu pergi berjihad berbulan-bulan ke seantero dunia, lalu mereka pulang menemui keluarga mereka. Mendidik putra-putri mereka, serta mewariskan iman dan akhlak.

“Jangan beralasan ini dan itu. Anak memerlukan ketegasan sang ayah dan kelembutan sang ibu. Keduanya sangat dibutuhkan anak. Jangan berdalih sibuk mencari nafkah. Apalah gunanya nafkah yang menghasilkan generasi yang kosong dari prinsip keimanan dan akhlak mulia,” kata Ustadz Abdullah. 

Zaman ini begitu berbeda, sebagian anak terlantar pendidikannya. Mereka membutuhkan perhatian orang tuanya, berlipat-lipat melebihi perhatian yang didapatkan dahulu dari orang tua terdahulu . Sebab godaan, tantangan dan rintangan yang menghadang di zaman ini jauh lebih banyak dibanding zaman dahulu.

“Wahai para orang tua, kembalilah ke rumah. Peluklah anak-anak kita. Dekatilah mereka. Bermainlah bersama mereka. Ceritakanlah pada mereka kisah-kisah yang menumbuhkan kebaikan dalam diri mereka. Dengarkanlah celotehan mereka. Tinggalkan gadget, demi mereka. Luangkan waktu untuk mereka, walaupun kita harus meninggalkan sebagian kesibukan kita,” ustaz lulusan S2 jurusan Aqidah, Universitas Islam Madinah ini.

KHAZANAH REPUBLIKA