Indah Pada Waktunya

Jika kita bersyukur atas nikmat dan sabar akan derita, maka perjalanan hidup akan indah pada waktunya.

Sungguh, tiada kejadian yang memilukan dalam hidup ini, kecuali akan berujung kegembiraan. Sebab, bukan seteleh kesusahan baru ada kemudahan, tetapi setiap kesulitan selalu disertai kemudahan (QS al-Insyirah[94]: 5-6).

Terkadang, kita harus menangis menanggung beban hidup yang berat, sebelum tersenyum dikala terlepas dari impitan. Pepatah Arab mengatakan, “wa maa al-lazzatu illa ba’da at-ta’bi” (tiada kenikmatan kecuali setelah kepayahan).

Kesengsaraan akan dialami oleh setiap insan walau dalam bentuk yang berbeda-beda. Semakin tinggi kualitas iman seseorang, semakin berat pula cobaannya.

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?” Beliau menjawab, “Para nabi, lalu orang-orang saleh dan yang sesudah mereka sesuai tingkat kesalehannya. Seorang akan diberikan ujian selaras dengan kadar agamanya. Bila ia kuat, ditambah cobaan baginya. Kalau ia lemah dalam agamanya, akan diringankan cobaannya. Seorang mukmin akan tetap diberikan cobaan sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun.” (HR Turmudzi).

Nabi SAW juga mengalami cobaan yang berat. Sewaktu dalam kandungan, ia ditinggal ayahnya Abdullah. Pada usia belia, ia kehilangan ibunda Aminah dan kakeknya Abdul Muthalib.

Ketika kaum Quraish semakin semena-mena, dua penopang dakwahnya, yakni paman Abu Thalib dan istri tercinta Siti Khadijah wafat. Tapi, dalam kesedihan itulah beliau diberi karunia besar yakni rekreasi spiritual (isra dan mi’raj) untuk menyaksikan bukti-bukti kebesaran Allah SWT. (M Qurasih Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, 2011).

Teringat, cerita seorang kawan baik yang pernah terpuruk dalam hidupnya. Setelah sarjana, ia diterima menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Bogor. Setelah lebih dua puluh tahun mengabdi, ia pun mengalami cobaan yang luar biasa. Akhirnya, ia memilih keluar dari kampus tersebut dengan kesedihan mendalam.

Namun, ia menyadari bahwa setiap kejadian selalu membawa hikmah (pelajaran). Sebagaimana pesan Ilahi, “… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah[2]: 216).

Lalu, ia diterima di sebuah perguruan tinggi Islam yang lebih besar. Berkat ketekunannya, ia dipercaya menjadi salah seorang pimpinan universitas. Bahkan, tidak berselang lama, ia terpilih menjadi orang nomor satu di kampus tersebut. Bahkan, di pengujung 2021 yang lalu, ia meraih capaian akademik tertinggi seorang dosen yakni guru besar.  

Kisah inspiratif di atas membuktikan firman Allah SWT dalam surah Ali Imran [3]: 26. Memang, tidak ada yang bisa mencegah apa yang Allah berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Allah cegah (HR Bukhari).

Cerita di atas hendak menegaskan bahwa jika kita bersyukur atas nikmat dan sabar akan derita, maka perjalanan hidup akan indah pada waktunya.

Allahu a’lam bish-shawab.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

KHAZANAH REPUBLIKA

Aurat Terlihat Ketika Sujud, Apakah Sholatnya Batal?

Salah satu kewajiban bagi seseorang yang melakukan sholat adalah menutup aurat. Namun, bagi laki-laki yang memakai sarung, seringkali ketika dalam keadaan sujud, ada bagian betis atau paha yang terbuka di mana apabila ada seseorang yang berdiri di belakang, maka akan melihat bagian paha yang terbuka tersebut. Lantas, bagaimanakah hukum shalat yang aurat terlihat ketika sujud?

Dalam literatur kitab fikih, aurat laki-laki yang wajib ditutupi adalah anggota tubuh antara pusar hingga lutut. Sementara aurat perempuan dalam shalat adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan. 

Hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Qasim dalam kitab Fathul Qarib, halaman 12 berikut,

وعورة الذكر ما بين سرته وركبته ؛ وعورة الحُرَّة في الصلاة ما سوى وجهها وكفيها ظهرا وبطنا إلى الكوعين؛ 

Artinya : “Aurat lelaki ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut,……dan aurat perempuan dalam shalat ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan.” 

Dari penuturan di atas bisa dipahami bahwa ketika shalat, seorang lelaki harus menutupi area tubuh dari pusar hingga lutut. Namun demikian, kewajiban menutup aurat ini berlaku ketika terlihat dari bagian atas dan sebelah sisi-sisinya yaitu kanan, kiri, depan dan belakang, tidak dari sebelah bawah.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyatul Murtarsyidin, halaman  84 berikut,

يشترط الستر من أعلاه وجوانبه لا من أسفله الضمير فيها عائد إما على الساتر أو المصلي ، والمراد بأعلاه على كلا المعنيين في حق الرجل السرة ومحاذيها ، وبأسفله الركبتان ومحاذيهما ، وبجوانبه ما بين ذلك ، وفي حق المرأة بأعلاه ما فوق رأسها ومنكبيها وسائر جوانب وجهها ، وبأسفله ما تحت قدميها ، وبجوانبه ما بين ذلك

Artinya : “Syarat sahnya shalat adalah harus menutupi aurat baik dari arah atas atau samping, kecuali arah bawah. Maksud dari arah atas bagi laki-laki adalah menutupi pusar serta anggota yang lurus dengan pusar.

Untuk arah bawah, dimulai dari lutut serta anggota yang lurus dengan lutut. Sedangkan arah samping adalah tertutupnya semua anggota antara pusar dan lutut. Mengenai arah atas bagi perempuan adalah menutupi kepala,pundak dan sisi samping wajahnya.

Untuk arah bawahnya,bagian arah yang terletak di bawah telapak kakinya. Sedangkan arah sampingnya,semua anggota aurat di antara kepala dan kaki perempuan.”

Dari penjelasasan diatas dapat dipahami bahwa seseorang tidak diwajibkan menutup auratnya dari bagian bawah. Sehingga, apabila auratnya terlihat dari bagian bawah seperti saat melakukan shalat di atas bangunan atau terlihat auratnya saat ia melakukan sujud maka sholatnya tidak batal. Sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin juz 1 halaman 116

قَوْلُهُ مِنَ اْلا َسْفَلَ) اَيْ فَلَوْ رُؤِيَتْ مِنْ ذَيْلِهِ كَاَنْ كَانَ بِعُلُوِّ وَالَّرائِى بِسُفْلٍ لَمْ يَضُرَّ اَوْ رُؤِيَتْ حَالَ سجُوْدِهِ فَكَذَلِكَ لاَيَضُرُّ)

Artinya : “(ucapan musanif dari bawah) artinya andaikata aurat itu di lihat ujung pakaianya, seperti orang yang melihat ke bawah, maka tidak merusak salatnya atau auratnya dilihat dalam sujudnya, maka yang demikian itu tidak merusak salatnya.”

Sebagaimana juga dijelaskan dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 129 berikut,

وَإذَا تَخَرَّقَ ثَوْبُ المُصَلِّى وَظَهَرَتْ عَورَتُهُ وَامْكَنَهُ سَتْرُهَا بِدُونِ مَسِّ مَحَلِّ يُنْقِضُ الوُضُوْءَ كَقُبُلٍ وَجَبَ عَلَيْهِ سَتْرُهَا بِيَدِهِ. فَإِذَا سَجَدَ تَرَكض السَّتْرَ لِوُجُودش عَلَى الأعْضَاءِ السَّبْعَةِ وَلِكَوْنِهِ حِيْنَئِذٍ عَاجِزًا عَنِ السَّتْرِ وَهُوَ لاَيَجِبُ إلاَّ عِنْدَ القُدْرَةِ.

Artinya : “Apabila sobek pakaian orang yang sedang salat dan kelihatan auratnya sedang dia mampu menutupinya tanpa menyentuh tempat yang membatalkan wudlu seperti kemaluan, maka wajib bagina menutupinya dengan tangannya.

Apabila dia bersujud maka dia tidak menutupi aurtnya, karena dia berkewajiban sujud dengan tujuh anggota badannya dan karena keadaannya pada waktu itu menjadi orang yang tidak mampu menutupi aurat, sedang menutup aurat itu tidak wajib kecuali pada waktu mampu.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa, seseorang tidak diwajibkan menutup auratnya dari bagian bawah. Sehingga, apabila auratnya terlihat dari bagian bawah seperti saat ia melakukan sujud maka sholatnya tidak batal.

Demikian penjelasan aurat terlihat ketika sujud,  semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Mengqodo Shalat Sunah Rawatib

Bismillahirrahmanirrahim.

Salat sunah rawatib memiliki keutamaan yang sangat agung, yaitu akan mendapat rumah di surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من صلى اثنتي عشرة ركعة في يوم وليلة بني له بهن بيت في الجنة.

“Siapa yang salat rawatib sebanyak 12 rakaat dalam sehari semalam, maka akan dibangunkan untuknya rumah di surga.” (HR. Muslim, dari Ummu Habibah)

Semenjak mendengar hadis ini, Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha; sahabat yang meriwayatkannya, mengatakan,

فما تركتهن منذ سمعتهن من رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Saya tidak pernah meninggalkan salat sunah rawatib semenjak mendengar hadis ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Di dalam riwayat Tirmidzi dijelaskan 12 rakaat tersebut,

أربعا قبل الظهر وركعتين بعدها، وركعتين بعد المغرب، وركعتين بعد العشاء، وركعتين قبل الفجر.

“(12 rakat tersebut yaitu) 4 rakaat sebelum Zuhur, 2 rakaat setelahnya, 2 rakaat setelah Magrib, 2 rakaat setelah Isya, dan 2 rakaat sebelum subuh” (HR. Tirmidzi).

Mengingat pahala yang demikian besar, sering seorang merasa rugi kalau sampai tidak sempat atau lupa mengerjakan salat sunah rawatib. Lantas apakah boleh salat sunah rawatib yang lupa itu diqada?

Para ulama berbeda pendapat:

Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat tidak boleh diqada kecuali salat sunah fajar saja.

Mazhab Syafi’i berpandangan salat sunah yang waktunya tidak menentu, seperti salat gerhana dan istisqo, tidak boleh diqada. Adapun yang jelas waktunya seperti salat rawatib, ied, dhuha, boleh diqada.

Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam-, bahwa salat sunah rawatib itu boleh diqada. Sebagaimana dikuatkan dalam pernyataan An-Nawawi Rahimahullah berikut,

ذكرنا أن الصحيح عندنا استحباب قضاء النوافل الراتبة وبه قال محمد والمزني وأحمد في رواية.

“Telah kami sebutkan bahwa pendapat yang tepat menurut kami adalah dianjurkan mengqada salat sunah rawatib. Pendapat ini juga dipegang oleh Muhammad, Al Muzani, dan Ahmad dalam salah satu riwayat.”

Kesimpulan ini dikuatkan oleh sejumlah dalil berikut:

Pertama, hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من لم يصل ركعتي الفجر فليصلهما بعد ما تطلع الشمس.

“Siapa saja yang belum salat sunah dua rakaat fajar, maka hendaklah ia menggantinya setelah matahari terbit” (HR. Tirmidzi, dinilai sahih oleh Syekh Al Albani).

Kedua, hadis Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha.

Beliau menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengqado salat rawatib dua rakaat ba’da Zuhur, setelah salat Asar. Saat beliau disibukkan oleh orang-orang dari Bani Abdul Qois. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, hadis ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

Beliau berkisah,

كان إذا لم يصل أربعا قبل الظهر صلاهن بعدها

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jika belum salat rawatib sebelum Zuhur, maka beliau ganti dengan salat setelahnya” (HR. Tirmidzi).

Keempat, hadis Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من نام عن الوتر أو نسيه فليصل إذا ذكره وإذا استيقظ

“Siapa yang tertidur atau lupa melakukan salat witir, hendaknya dia ganti saat dia ingat atau di saat dia bangun” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Demikian, wallahu a’lam bis showab.

***

Penulis: Ahmad Anshori

Referensi:

Kitab Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, karya Imam Nawawi, penerbit Maktabah Al-Irsyad, Jeddah – KSA.

Makalah situs Islamweb.net berjudul قضاء السنن الرواتب fatwa nomor 55961.

Sumber: https://muslim.or.id/71871-hukum-mengqodo-shalat-sunah-rawatib.html

Fikih Nikah (Bag. 3)

Baca seri sebelumnya: Fikih Nikah (Bag. 2)

BERAPAKAH MAHAR YANG LAYAK UNTUK MEMINANG SEORANG WANITA?

Definisi Mahar dan Hukumnya dalam Agama Islam

Secara bahasa, mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib karena adanya pernikahan. Adapun secara syar’i, mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib, baik berupa harta maupun manfaat, dikarenakan adanya akad pernikahan ataupun jima’/ senggama (yaitu ketika terdapat syubhat dalam akad, namun sudah terlanjur dukhul/ senggama, ataupun terdapat syubhat tafwidh, ataupun akadnya rusak, baik itu dukhul melalui kemaluan depan ataupun dubur).

Adapum hukumnya adalah mahar merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh mempelai pria ketika hendak meminang seorang wanita. Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 4)

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk memberikan mahar kepada wanita yang hendak dinikahi. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa mahar merupakan syarat sah pernikahan yang wajib dipenuhi oleh mempelai pria. Pernikahan tanpa mahar berarti pernikahan tersebut tidak sah, meskipun pihak wanita telah rida untuk tidak mendapatkan mahar.

Syekh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya Manhajus Salikiin menjelaskan, “Jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, maka pihak wanita berhak mendapatkan mahar yang sesuai dengan wanita semisal dirinya.”

Batasan Mahar

Disebutkan di dalam matan Al-Yaquut An-Nafis, “…yaitu adalah apa saja yang dibolehkan untuk dijadikan sebagai barang dagangan, ataupun memiliki nilai tukar. Maka, semua itu sah dijadikan mahar. Dan apa yang tidak bisa menjadi alat tukar, maka tidak bisa dijadikan mahar.”

Sehingga, kita bisa simpulkan bahwa mahar bisa berupa:

Pertama, harta (materi) dengan berbagai macam bentuknya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۖ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاۤءَ ذَ ٰ⁠لِكُمۡ أَن تَبۡتَغُوا۟ بِأَمۡوَ ٰ⁠لِكُم مُّحۡصِنِینَ غَیۡرَ مُسَـٰفِحِینَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِیضَةࣰۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَیۡكُمۡ فِیمَا تَرَ ٰ⁠ضَیۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِیضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِیمًا حَكِیمࣰا

“Dan (diharamkan juga kalian mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka, isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang kalian telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’: 24)

Kedua, sesuatu yang dapat diambil upahnya ( jasa).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ اِنِّيْٓ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰٓى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍۚ فَاِنْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَۚ وَمَآ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَۗ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun. Dan jika kamu genapkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu. Maka aku tidak hendak memberatkanmu. Dan kamu insyaallah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS. Al-Qashash: 27)

Ketiga, manfaat yang akan kembali kepada sang wanita, seperti:

Kemerdekaan dari perbudakan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعتق صفية وجعل عتقها صداقها

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerdekakan Shafiyah binti Huyayin (kemudian menikahinya) dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar.” (HR. Bukhari no. 4696)

Keislaman seseorang. Hal ini sebagaimana kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keislaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bekata,

تزوَّج أبو طلحةَ ، أمَّ سُلَيمٍ ، فكان صَداقُ ما بينهما : الإسلامَ ، أسلمتْ أمُّ سُلَيمٍ ، قبل أبي طلحةَ فخطَبها ، فقالت : إنِّي قد أسلمتُ ، فإن أسلمتَ نكحتُك ، فأسلم ، فكان صَداقَ ما بينهما

 “Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, kemudian Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan, ’Saya telah masuk Islam. Jika kamu masuk Islam, aku akan menikah denganmu.’ Maka Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya menjadi maharnya.” (HR. An-Nasa’i no. 3288)

Hafalan Al-Qur’an yang akan diajarkannya. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menikahkan salah seorang sahabat dengan beberapa surah Al-Qur’an dari hafalannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Mahar Hanya dengan Seperangkat Alat Salat, Bolehkah?

Seorang wanita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang diinginkannya karena tidak ada batasan mahar dalam syariat Islam. Namun, Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ

“Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan, “Hadis ini sahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim.”)

Dan di dalam fikih mazhab Syafi’i pun tidak ada batasan minimal untuk mahar. Sehingga, tidak mengapa bila mahar hanya berupa seperangkat alat salat dengan syarat calon mempelai wanita dan walinya meridai hal tersebut. Dan tentu saja hal ini menjadi kebaikan tersendiri serta tabungan pahala untuk mempelai wanita dan keluarganya.

Hikmah di balik anjuran untuk meringankan mahar adalah mempermudah proses pernikahan. Berapa banyak laki-laki yang mundur dan tidak jadi menikahi seorang wanita hanya karena adanya permintaan mahar yang tinggi?! Tentu hal ini akan mendatangkan madharat dan kerusakan yang lebih besar. Menghadapi hal semacam ini, hendaknya pihak wanita bersikap bijak. Tidak masalah jika pihak laki-laki memiliki kemampuan untuk membayar mahar tersebut. Namun, jika ternyata yang datang adalah laki-laki sederhana yang memiliki kemampuan materi yang biasa-biasa saja, maka tidaklah layak menolaknya hanya karena ketidakmampuannya membayar mahar. Terutama jika yang datang adalah laki-laki yang sudah tidak diragukan lagi kesalehannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan menyebutkan bahwa pernikahan terbaik adalah yang sederhana dan mudah. Termasuk di dalamnya memudahkan mahar yang akan diberikan oleh pihak laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ

“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Ath-Thabrani. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jaami’.)

Hukum Mengakhirkan Mahar Setelah Akad

Diperbolehkan bagi seseorang untuk mendahulukan pembayaran mahar ataupun mengakhirkannya secara keseluruhan, atau mendahulukan pembayaran sebagian mahar dan mengakhirkan sebagian lainnya.

Apabila sang suami telah menggauli istri, sedangkan ia belum membayar mahar, maka hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, ia wajib membayar mahar mitsil (mahar senilai yang biasa diberikan kepada wanita kerabat wanita itu) apabila dalam akad nikah ia tidak menyebutkan maskawin apa yang akan ia berikan. Namun, jika ia telah menyebutnya, maka ia harus membayar maskawin sebesar apa yang telah ia sebutkan.

Dan berhati-hatilah, jangan sampai seseorang tidak memenuhi hak wanita yang telah disyaratkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

أَحَقُّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنَ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوفُواْ بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوْجَ

“Sesungguhnya suatu syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang dengannya dihalalkan bagi kalian kemaluan (wanita).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apabila sang suami meninggal setelah akad dan belum menggauli, maka istri berhak mendapatkan mahar seluruhnya. Dari ‘Alqamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Telah didatangkan kepada ‘Abdullah bin Mas’ud seorang wanita yang telah dinikahi oleh seorang lelaki, kemudian lelaki tersebut meninggal. Ia belum menentukan maskawin dan menggaulinya. ‘Alqamah berkata, ‘Mereka berselisih tentang hal tersebut dan menanyakannya kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian ia menjawab, ‘Aku berpendapat ia berhak mendapat maskawin semisal mahar yang didapat oleh wanita kerabatnya, ia berhak mendapatkan harta warisan dan ia juga wajib ber‘iddah.’ Kemudian Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i bersaksi bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menetapkan kepada Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah ditetapkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa’i)

[Bersambung]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Referensi:

Kitab Al-Yaquut An-Nafiis Fii Mazhab ibn Idris karya Syekh Ahmad Bin Umar As-Syatiri dengan beberapa penyesuaian.

Kitab Al-Wajiz fii Fiqhi As-Sunnah Wa Al-Kitab Al-‘Azizi karya Syekh Abdul Adzim Bin Badawi.

Sumber: https://muslim.or.id/71852-fikih-nikah-bag-3.html

Sebar Rumor dan Hoaks di Arab Saudi Dianggap Sebagai Kejahatan Serius

Jaksa Penuntut Umum Arab Saudi mengatakan pada Senin (17/1/2022) bahwa menyebarkan desas-desus (rumor) atau kebohongan tentang masalah apapun yang terkait dengan ketertiban umum dianggap sebagai kejahatan serius di Kerajaan. Sementara itu, siapapun yang tertangkap melakukannya akan menghadapi penangkapan dan hukuman berat.

Otoritas tersebut menambahkan, sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Kejahatan Informasi dan Hukum Acara Pidana, hal ini termasuk individu yang mempromosikan atau berpartisipasi dalam menyebarkan informasi palsu dalam bentuk apapun di media sosial, terutama fabrikasi (pemalsuan) yang berasal dari sumber yang berseteru di negara lain.

Kejaksaan mengatakan saat memantau akun-akun (pengguna) di situs jejaring sosial, mereka menemukan beberapa pengguna yang membuat atau menyebarkan rumor tak berdasar tentang acara musik Riyadh Season, yang telah ditangguhkan.

Informasi palsu tersebut dikoordinasikan dan didukung oleh pihak eksternal yang bermusuhan yang bertanggung jawab atas sebagian besar unggahan. Otoritas itu menambahkan, bahwa individu di Kerajaan yang telah berpartisipasi dalam menyebarkan rumor itu telah dipanggil dan tuntutan pidana telah diajukan terhadap mereka.

“Tindakan ini mengakibatkan hukuman berat hingga lima tahun penjara dan denda sebesar tiga juta riyal (800 ribu dolar AS),” kata Jaksa Penuntut Umum, dilansir di Arab News, Rabu (19/1/2022).

Selain itu, otoritas tersebut menambahkan perangkat dan alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan demikian akan disita. Selanjutnya, keputusan akhir diumumkan kepada publik dan tindakan dapat diambil terhadap siapa saja yang menghasut, membantu atau setuju untuk melakukan kejahatan.

Otoritas ini lantas mengimbau seluruh warga dan penduduk Saudi mendapatkan informasi hanya dari sumber resmi dan tidak terlibat dengan rumor di media sosial. Disebutkan, bahwa mereka yang gagal mengindahkan risiko peringatan menghadapi hukuman maksimum yang ditentukan oleh hukum.

IHRAM

5 Doa Hari Jumat untuk Mendapatkan Rezeki

Hari Jumat menjadi hari yang istimewa dan mulia dalam Islam. Hari Jumat juga dikenal sebagai sayyidul ayyam. Sayyidul ayyam adalah hari di mana doa-doa lebih mudah dikabulkan saat kita memanjatkan doa. Hal itu telah tercantum dalam hadist Rasulullah SAW.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pada hari Jumat terdapat waktu mustajab bila seorang hamba Muslim melaksanakan salat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rasululllah mengisyaratkan dengan tangan beliau sebagai gambaran akan sedikitnya waktu itu.” (Muttafaqun Alaih).

Oleh karena itu, setiap umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan sunnah-sunnah yang salah satunya adalah memanjatkan doa hari jumat.

Berikut ini adalah kumpulan doa hari jumat yang dapat dipanjatkan untuk meminta rezeki dan keberkahan kepada Allah SWT.

1. Doa Memohon Rezeki

Allahumma alaika tawakkaltu farzuqni wakfini, wa bika ludztu fa najjini mimma yu’dzini anta hasby wa ni’mal wakil, Allahumma raddhini bi qadhaika, wa qanni’ni bi athaika, waj ‘alni min awliyaika.”

Artinya: “Ya Allah SWT, aku berserah diri pada-Mu, berikan aku rezeki dan cukupkan aku. Selamatkan aku dari sesuatu yang menyakitiku. Engkau adalah satu-satunya pelindung terbaikku. Dan cukupkanlah aku dengan anugerah-Mu dan jadikanlah aku dari para wali-Mu”

2. Doa Memohon Pertolongan Allah SWT

As’adakallah bi sa’ati hadzal yaumi al-mubarak, wa wassa’a alaika rizqaka wa alhamaka dzikrahu, wa ajaba da’wataka, wa zadaka min fadhlihi, wa hafidha dinaka wa ayyadaka binashrihi, wa radhiya anka wa ardhaka an hubbihi wa ‘aninnari ab’adaka wa adkhalaka jannatahu, walil khairi arsyadaka wakafaka niqmatahu

Artinya: “Semoga Allah SWT memberikan kebahagiaan pada jam-jam di hari Jumat yang diberkati ini, memperluas mata pencaharianmu, memberi inspirasi kepadamu, mengijabah doamu, menambahkan bagimu keutamaan-Nya, menjaga agamamu dan mendukungmu dengan pertolongan-Nya, ridha atasmu, dan meridhaimu dengan cinta-Nya dan menjauhkanmu dari neraka lalu memasukkanmu ke surga, memberi petunjukmu kepada kebaikan dan melindungimu dari bencana-Nya.”

3. Doa Memohon Keberkahan di Hari Jumat

Adamallahu lakum barakatal Jumat duhuran, wa albasakum min taqwahu nuron, jumatan mubarakah.

Artinya: “Semoga Allah SWT memberikan berkah kepada kalimat pada hari Jumat ini, serta Allah mengenakan cahaya dari kesalehan hari ini, Jumat yang diberkahi.”

4. Doa Keberkahan

Ya Rabbi fi Yaumil Jumat wa ‘adta Ibadaka bi qabuli da’wahum, sa ad’u liqalbin qaribin min qalbi: Allahummarzuqhu ma yuridu warzuq qalbahu ma yuridu, waj’alhu laka kama turidu, Allahumma qaddirlalhu dzalik, qabla an tu’dzina syamsul Jumat bil maghib.”

Artinya:

“Ya Allah SWT, pada hari Jumat ini, kau berjanji pada hamba-hamba-Mu untuk menerima doa mereka, aku akan berdoa dari hati yang terdalam. Ya Allah SWT, berikanlah apa yang kuinginkan, dan berkatilah hatiku dengan apa yang kuinginkan. Dan jadikan diriku ini milik-Mu seperti yang dirimu inginkan, sebelum matahari hari Jumat tenggelam.”

5. Doa Terhindar dari Bahaya

Allahumma inni asaluka ya man la tughallithuhul masail, ya man la yusyagghiluhu sam’u an sami’a, ya man la yubrihumuhu ilhah al-mulihhin, Allahumma inni audzubika min juhdil bala wa darkis syaqa’ wa su’il qadha’ wa syamatatil a’da’. Allahummaksyif ‘anni wa ‘an kullil muslimin kulla syiddatin wa dhiqin wa karabin, Allahumma aslaluka farjan qariban, wa kaffa anni ma uthiq, wama la uthiq, Allahumma farrij ‘anni, wa an kullil Muslimin wa kul hammin wa ghammin, wa akhrijni wal muslimina min kulla karabin wa huznin.

Artinya: “Ya Allah, Aku meminta kepadamu wahai Yang tidak dicampuradukkan perkara (bagi-Nya), wahai Yang tidak disibukkan pendengaran mereka yang mendengarkan, wahai Yang ketentuannya tak berpengaruh rintihan orang yang (berdoa) merintih, aku berlindung kepada-Mu dari malapetaka dan kesengsaraan, ketetapan yang buruk, dan caci maki musuh. Ya Allah, lepaskanlah diriku dan dari setiap Muslim setipa kesusahan dan kesempitan dan himpitan. Ya Allah aku meminta kepada-Mu jalan keluar segera, cukupkan dari apa yang aku mampu dan apa yang aku tidak mampu, Ya Allah angkatlah kesedihan dan kegundahan dariku dan dari setiap Muslim. Hentikan hamba pada sesuatu yang dapat saya tanggung dan yang tidak bisa saya tahan. Angkat semua kekhawatiran dan kesusahan dari diri saya dan semua Muslim. Singkirkan keresahan dan kesedihan dari diri saya dan umat Muslim.”

Demikian 5 doa untuk meminta rezeki dan keberkahan yang dapat diamalkan saat hari Jumat.

SUARAcom

Doa yang Rutin Dibaca Nabi Muhammad SAW di Malam Jumat

Selain dianjurkan memperbanyak membaca shalawat dan membaca Alquran pada malam dan hari Jumat, kita dianjurkan juga untuk memanjatkan doa kepada Allah. Doa yang dipanjatkan pada malam dan hari Jumat lebih dekat untuk diterima oleh Allah dibanding malam dan hari lainnya.

Di antara doa yang diajarkan Nabi Saw. untuk dibaca pada malam dan hari Jumat adalah doa berikut;

اَللَّهُمَّ اَنْتَ رَبّي لاَ اِلَهَ إلاَّ اَنْتَ خَلَقْتَنِي وَاَنَا عَبْدُكَ وَابْنُ اَمَتِكَ وَفِي قَبْضَتِكَ وَنَاصِيَتِي بِيَدِكَ اَمْسَيْتُ عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْـتَطَعْتُ اَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ شَـرِّ مَا صَنَعْتُ اَبُوءُ بِنِعْمَتِكَ وَاَبُوءُ بِذُنُوبِى فَاغْفِرْ لِى ذُنُوبِى اِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ اَنْتَ .

Allahumma anta robbi la ilaha illa anta kholaqtani wa ana ‘abduka wabnu amatika wafi qobdhotika wa nashiyati biyadika amsaitu ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu a’uzu biridhoka min syarri ma shona’tu abu-u bini’matika wa abu-u bizunubi faghfirli zunubi innahu la yaghfiruz zunuba illa anta.

“Ya Allah, Engkaulah Tuhanku tiada Tuhan kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu, putra hamba-Mu dan berada dalam genggaman-Mu dan nasibku berada di tangan-Mu. Aku memasuki petang ini atas perjanjian kepada-Mu sesuai dengan kemampuanku, aku berlindung dengan ridha-Mu dari keburukan perbuatanku, aku kembali kepada-Mu dengan nikmat-Mu dan aku kembali kepada-Mu dengan membawa dosa-dosaku, maka ampuni dosa-dosaku, karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

MADANI NEWS

Mengapa Kita Dilarang Buruk Sangka kepada Sesama Muslim?

Buruk sangka kepada sesama Muslim tidak diperbolehkan

Berburuk sangka (suuzan) menjadi salah satu penyakit hati yang sangat diwanti-wanti Islam.

Suuzan (berburuk sangka) kepada seorang Muslim tanpa sebab merupakan perilaku buruk dan bencana besar yang membahayakan masyarakat Islam. 

Namun demikian, berburuk sangka kepada Muslim yang jelas-jelas melakukan keburukan diperbolehkan.

Syekh Hasan Ayyub dalam kitab As-Suluk Al-Ijtima’i menjelaskan, bahwa diperbolehkannya berburuk sangka kepada Muslim yang jelas-jelas melakukan keburukan adalah berburuk sangkanya adalah jelas terhadap keburukan yang dilakukannya. 

Dijelaskan bahwa kebanyakan suuzan yang terjadi justru masuk ke dalam kategori yang diharamkan.

Maka agar lebih menuju ke arah preventif, maka umat Islam seyogianya menghindari sikap demikian. Sikap menghindari prasangka buruk ini sebagaimana firman Allah ﷻ dalam Alquran Surat Al Hujurat ayat 12: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima Taubat lagi Mahapenyayang.” 

Bahaya berprasangka buruk juga diwanti-wanti para sahabat Rasulullah  ﷺ. Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab pernah berpesan demikian: 

لا يحلُّ لامرئ مسلم يسمع من أخيه كلمة يظنُّ بها سوءًا، وهو يجد لها في شيء من الخير مخرجًا.

“Janganlah kamu berprasangka dengan satu kata-kata terhadap saudaramu seiman kecuali berprasangka baik, karena bisa jadi engkau dapati kata-kata itu kandungan kebaikan.” 

Baca juga: Mualaf Syavina, Ajakan Murtad Saat Berislam dan Ekonomi Jatuh 

Berawal dari bisikan yang ada dalam diri kita dan tiupan setan inilah berburuk sangka sesama manusia itu muncul. Berburuk sangka sesama manusia pada gilirannya melahirkan kesombongan dalam diri seseorang. 

KHAZANAH REPIUBLIKA

Safinatun Naja: Aturan Shalat Jumat dan Khutbah Jumat

[KITAB SHALAT]

[Syarat Shalat Jumat]

شُرُوْطُ الْجُمُعَةِ سِتَّةٌ:

1- أَنْ تَكُوْنَ كُلُّهَا فِيْ وَقْتِ الظُّهْرِ.

وَ2- أَنْ تُقَامَ فِيْ خِطَّةِ الْبَلَدِ.

وَ3- أَنْ تُصَلَّى جَمَاعَةً.

وَ4- أَنْ يَكُوْنُوْا أَرْبَعِيْنَ أَحْرَاراً، ذُكُوْراً، بَالِغِيْن، مُسْتَوْطِنِيْنَ.

وَ5- أَنْ لاَ تَسْبِقَهَا وَلاَ تُقَارِنَهَا جُمُعَةٌ فِيْ ذلكَ الْبلَدِ.

وَ6- أَنْ يَتَقَدَّمَهَا خُطْبَتَانِ.

Fasal: Syarat shalat Jumat ada 6, yaitu [1] dikerjakan di waktu Zhuhur, [2] didirikan di perbatasan daerahnya, [3] dikerjakan dengan berjamaah, [4] berjumlah (minimal) 40 orang merdeka laki-laki baligh yang mustawthin (penduduk yang menetap), [5] tidak didahului atau berbarengan jumatan lainnya di daerah tersebut, dan [6] didahului dua khutbah.

Catatan:

Syarat wajib Jumat ada tujuh:

  1. Islam
  2. Baligh
  3. Berakal
  4. Merdeka
  5. Laki-laki
  6. Sehat
  7. Mukim

Yang tidak wajib Jumatan: orang kafir, anak-anak, orang gila, budak, perempuan, orang sakit, musafir.

Syarat sah shalat Jumat yang merupakan tambahan dari syarat-syarat lain yang ada pada berbagai shalat ada enam syarat.

1- أَنْ تَكُوْنَ كُلُّهَا فِيْ وَقْتِ الظُّهْرِ.

[1] dikerjakan di waktu Zhuhur

Syarat pertama dari syarat sah shalat Jumat adalah dilakukan semuanya dengan khutbahnya pada waktu Zhuhur (artinya: khutbah dan shalat di waktu Zhuhur).

Apabila waktu tidak mencukupi untuk melaksanakan shalat beserta khutbah yang singkat, maka wajib mengerjakan shalat Zhuhur.

وَ2- أَنْ تُقَامَ فِيْ خِطَّةِ الْبَلَدِ.

[2] didirikan di perbatasan daerahnya

Syarat kedua adalah shalat Jumat harus dilaksanakan di dalam batas bangunan dari suatu daerah, walaupun batas itu dari kayu atau bambu atau pelepah kurma, di mana daerah tersebut orang yang mau safar tidak boleh mengqashar shalat.

Apabila sekelompok orang mendirikan kemah di suatu padang pasir, maka:

  • tidak sah shalat Jumat di perkumpulan kemah tersebut.
  • wajib bagi mereka menghadiri shalat Jumat di suatu daerah jika mereka mendengar azan dari tempat mereka.
  • jika tidak mendengar azan, maka tidak wajib shalat Jumat.

وَ3- أَنْ تُصَلَّى جَمَاعَةً.

[3] dikerjakan dengan berjamaah

Syarat ketiga adalah rakaat pertama dari shalat Jumat dikerjakan berjamaah.

Bila mereka shalat Jumat berjamaah di rakaat pertama, lalu mereka berniat berpisah di rakaat kedua, diselesaikan shalatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumatnya sah. Berjamaah hanya dipersyaratkan pada rakaat pertama, berbeda dengan jumlah. Jumlah 40 itu harus ada hingga selesai shalat Jumat.

Maka, bila batal satu orang di antara mereka, seperti berhadats sebelum salam, maka batal shalat semua orang, walaupun mereka telah salam dan pulang ke rumah mereka. Hal ini bisa terjadi bila jumlah orang yang hadir shalat Jumat hanya 40 orang, termasuk khatibnya.

وَ4- أَنْ يَكُوْنُوْا أَرْبَعِيْنَ أَحْرَاراً، ذُكُوْراً، بَالِغِيْن، مُسْتَوْطِنِيْنَ.

[4] berjumlah (minimal) 40 orang merdeka laki-laki baligh yang mustawthin

Mustawthin adalah orang yang tidak bepergian dari tempat mukimnya, baik di musim panas atau dingin kecuali untuk suatu keperluan, seperti dagang atau ziarah.

Syarat keempat adalah orang yang menghadiri shalat Jumat berjumlah 40 orang dari kelompok orang-orang yang wajib shalat Jumat:

  1. merdeka
  2. laki-laki
  3. baligh
  4. mustawthin

Tidak berpengaruh terlambatnya makmum melakukan takbiratul ihram setelah ihramnya imam, dengan syarat mereka memungkinkan membaca Al-Fatihah dan rukuk sebelum imam mengangkat dari minimal gerakan rukuk. Namun, bila tidak terpenuhi syarat tersebut, maka tidak sah shalat Jumatnya. Ini berlaku jika yang hadir adalah 40 orang termasuk khatib.

Di dalam kitab Busyrol Karim dan lainnya disebutkan bahwa manusia yang ada di hari Jumat terbagi menjadi enam bagian yaitu:

  1. Orang yang wajib, terhitung, dan sah, yaitu orang yang terpenuhi syarat wajib shalat Jumat dan tidak ada uzur.
  2. Orang yang tidak wajib, tidak terhitung, tetapi sah shalat Jumatnya, yaitu budak, musafir, anak kecil yang belum baligh, wanita, dan orang yang tidak mendengar panggilan azan.
  3. Orang yang tidak wajib, terhitung, dan sah shalat Jumatnya, yaitu orang yang ada uzurnya, seperti orang sakit.
  4. Orang yang wajib, tidak terhitung, dan tidak sah shalat Jumatnya, yaitu murtad.
  5. Orang yang wajib, tidak terhitung, dan sah shalat Jumatnya, yaitu orang yang mukim, tetapi bukan mustawthin, dan orang yang tinggal di luar daerah, tetapi mendengar suara azan dari daerah tersebut.
  6. Orang yang tidak wajib, tidak terhitung, dan tidak sah, yaitu orang gila dan semacamnya.

PERBEDAAN AL-MUSTAWTHIN, ORANG MUKIM, DAN MUSAFIR

Mustawthin adalah orang yang menetap di negerinya, ia tidak melakukan perjalanan pada musim panas atau musim dingin kecuali ketika ada hajat. Contohnya seperti kita yang lagi menetap di tempat kita saat ini.

Orang mukim adalah:
– Yang singgah di suatu negeri selama empat hari sempurna atau lebih (di luar hari masuk dan keluar).
– Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari DENGAN NIATAN IQAMAH (menetap).

Musafir adalah:
– Yang melakukan perjalanan safar.
– Yang singgah di suatu negeri selama kurang dari empat hari TANPA BERNIAT UNTUK IQAMAH (menetap).

Mustawthin itu wajib shalat Jumat.
Mukim juga wajib shalat Jumat. Namun, jika menghadiri shalat Jumat tidak masuk dalam pelengkap jumlah bilangan 40.

Dalam madzhab Syafii:
Sebab jamak shalat: (1) safar, (2) hujan, (3) sakit
Sebab qashar shalat: safar

Dari pembagian di atas, dapat disimpulkan kapan bisa menjamak shalat saat safar—misalnya—Jogja ke Jakarta.
1. Jika bersafar ke Jakarta, menetap di sana tujuh hari, maka sudah masuk mukim.
2. Jika bersafar ke Jakarta, menetap di sana tiga hari, tetapi dengan niatan mukim, maka masuk mukim.
3. Jika bersafar ke Jakarta, menetap di sana tiga hari, tanpa berniat untuk mukim, maka dihukumi masih musafir.

وَ5- أَنْ لاَ تَسْبِقَهَا وَلاَ تُقَارِنَهَا جُمُعَةٌ فِيْ ذلكَ الْبلَدِ.

[5] tidak didahului atau berbarengan Jumatan lainnya di daerah tersebut

Syarat kelima adalah tidak didahului atau dibarengi dengan shalat Jumat lainnya di daerah tersebut, walaupun besar dan banyak masjidnya.

Hal ini berlaku bila tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan orang-orang di daerah tersebut. Namun, bila tidak ada tempat yang cukup luas untuk menampung orang-orang yang biasa hadir shalat Jumat atau ujung daerah itu saling berjauhan, yaitu suara azan tidak sampai kepada mereka atau terpisah antara mereka dengan adanya peperangan, maka diperbolehkan mendirikan shalat Jumat di beberapa tempat sesuai keperluan, dan yang lebih dari itu dianggap batal.

Apabila ada yang mendahului sedangkan tidak sulit untuk mengumpulkan dalam satu tempat, maka yang dahulu dianggap sah dan yang setelahnya dianggap batal. Apabila bersamaan, maka keduanya dianggap batal.

وَ6- أَنْ يَتَقَدَّمَهَا خُطْبَتَانِ.

[6] didahului dua khutbah

Syarat keenam adalah didahului dengan dua khutbah dan tidak dijadikan setelah shalat, seperti shalat Id. Karena kedua khutbah ini merupakan syarat sehingga didahulukan, berbeda dengan khutbah lain yang hukumnya sunnah sehingga diakhirkan.


[Rukun Khutbatain]

أَرْكَانُ الْخُطْبَتَيْنِ خَمْسَةٌ:

1- حَمْدُ للهِ فِيْهِمَا.

وَ2- الصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ فِيْهِمَا.

وَ3- الْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى فِيْهِمَا.

وَ4- قِرَاءَةُ آيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ فِيْ إِحْدَاهُمَا.

وَ5- الدُّعَاءُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فِيْ الأَخِيْرَةِ.

Fasal: Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir.

Catatan:

1- حَمْدُ للهِ فِيْهِمَا.

[1] memuji Allah pada kedua khutbah

Rukun pertama dari khutbah Jumat adalah mengucapkan hamdalah pada dua khutbah, ataupun kata-kata semacamnya yang disandarkan kepada lafaz Allah.

Contoh:

ALHAMDULILLAH/ LILLAHIL HAMDU/ HAMDAN LILLAH/ ANAA HAAMIDUN LILLAH.

Namun, tidak dapat mewakili hamdalah ucapan-ucapan berikut ini:

LAA ILAHA ILLALLAH/ ASY-SYUKRU LILLAH/ ALHAMDU LIR-ROHMAAN.

وَ2- الصَّلاَةُ عَلَى النَّبِيِّ فِيْهِمَا.

[2] bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada dua khutbah

Contoh:

ALLOHUMMA SHOLLI/ SHOLLALLAHU/ USHOLLI/ NUSHOLLI/ ASH-SHOLAATU ‘ALA MUHAMMAD/ ‘ALA AHMADA/ ‘ALAR ROSUUL.

Namun, tidak diperbolehkan membaca shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafaz-lafaz semacam ini, yaitu:

ROHIMALLAHU MUHAMMADAN/ SHOLLALLAHU ‘ALAIHI

وَ3- الْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى فِيْهِمَا.

[3] berwasiat takwa pada kedua khutbah

Takwa artinya menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.

Rukun ketiga adalah memberi wasiat takwa pada dua khutbah. Contoh:

UUSHIIKUM BI TAQWALLAHI/ ATHII’ULLAHA WAHDZARUU ‘IQOOBALLAH.

Artinya: Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah/ Taatlah kalian kepada Allah dan berhati-hatilah kalian terhadap siksa Allah.

Tidak cukup bila sekadar mengingatkan untuk waspada terhadap dunia. Namun, harus berisi anjuran untuk taat atau ancaman dari maksiat.

وَ4- قِرَاءَةُ آيَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ فِيْ إِحْدَاهمَا.

[4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya

Rukun keempat dari khutbah Jumat adalah membaca satu ayat yang sempurna dan dipahami dari Al-Qur’an pada salah satu khutbah. Utamanya dijadikan di akhir khutbah pertama. Tidak cukup bila hanya sebagian ayat saja, kecuali jika panjang dan dapat dipahami.

وَ5- الدُّعَاءُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فِيْ الأَخِيْرَةِ.

[5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir

Rukun kelima adalah berdoa pada khutbah kedua dengan doa yang bersifat ukhrawi bagi kaum mukminin, khususnya bagi yang hadir atau umumnya bagi seluruh kaum mukminin.

Tidak cukup bila dikhususkan kepada orang-orang yang tidak hadir shalat Jumat, walaupun mereka berjumlah banyak. Sunnah menyebutkan kaum mukminah, dan berdoa bagi pemimpin kaum muslimin dan tentara mereka.

[Syarat Khutbatain]

شُرُوْطُ الْخُطْبَتَيْنِ عَشَرَةٌ:

1- الطَّهَارَةُ عَنِ الْحَدَثَيْنِ الأَصْغَرِ وَالأَكْبَرِ.

وَ2- الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسِةِ فِي الثَّوْبِ، وَالْبَدَن، وَالْمَكَانِ.

وَ3- سَتْرُ الْعَوْرَةِ.

وَ4- الْقِيَامُ عَلَى الْقَادِرِ.

وَ5- الْجُلُوْسُ بَيْنَهُمَا فَوْقَ طُمَأْنِيْنَةِ الصَّلاَةِ.

وَ6- الْمُوَالاَةُ بَيْنَهُمَا.

وَ7- الْمُوَالاَةُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الصَّلاَةِ.

وَ8- أَنْ تَكُوْنَا بِالْعَرَبِيَّةِ.

وَ9- أَنْ يُسْمِعَهَا أَرْبَعِيْنَ.

وَ10- أَنْ تَكُوْنَ كُلُهَا فِيْ وَقْتِ الْظُهْرِ.

Fasal: syarat khutbatain ada 10, yaitu [1] suci dari dua hadats: kecil dan besar, [2] suci dari najis pada baju, badan, dan tempat, [3] menutup aurat, [4] berdiri bagi yang mampu, [5] duduk di antara dua khutbah seperti thumakninah shalat, [6] muwalah (tanpa diselingi apapun) keduanya, [7] muwalah keduanya dengan shalat, [8] khutbah berbahasa Arab, [9] didengarkan oleh 40 orang, dan [10] semua itu dilaksanakan di waktu Zhuhur.

Catatan:

Ada 13 syarat:

  1. Laki-laki
  2. Memperdengarkan khutbah
  3. Khutbah dilakukan di dalam batas bangunan daerahnya

Khutbah-khutbah yang lain (khutbah Id, gerhana, istisqa’) tidak disyaratkan kecuali memperdengarkan bukan mendengarkan, dan khatibnya harus laki-laki, dan rukun khutbah dibaca dengan bahasa Arab.

1- الطَّهَارَةُ عَنِ الْحَدَثَيْنِ الأَصْغَرِ وَالأَكْبَرِ.

[1] suci dari dua hadats: kecil dan besar

Syarat pertama adalah khatib suci dari hadats kedcil dan hadats besar.

Apabila berhadats di tengah-tengah khutbahnya, maka harus bersuci dan memulai khutbahnya kembali, walaupun tidak lama jarak semisalnya.

وَ2- الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسِةِ فِي الثَّوْبِ، وَالْبَدَن، وَالْمَكَانِ.

[2] suci dari najis pada baju, badan, dan tempat

Syarat kedua adalah khatib dalam keadaan suci pakaian, badan, dan tempatnya dari najis yang tidak dimaafkan.

وَ3- سَتْرُ الْعَوْرَةِ.

[3] menutup aurat

Syarat ketiga adalah menutup aurat bagi khatib, walaupun menurut pendapat yang kuat bahwa dua khutbah Jumat bukanlah pengganti dua rakaat Zhuhur.

وَ4- الْقِيَامُ عَلَى الْقَادِرِ.

[4] berdiri bagi yang mampu

Syarat keempat adalah berkhutbah dalam keadaan berdiri jika mampu. Apabila tidak mampu, maka khutbah dapat dilakukan sambil duduk. Bila tidak mampu duduk, maka dapat berbaring, tetapi lebih utama digantikan dengan yang lain.

وَ5- الْجُلُوْسُ بَيْنَهُمَا فَوْقَ طُمَأْنِيْنَةِ الصَّلاَةِ.

[5] duduk di antara dua khutbah seperti thuma’ninah shalat

Syarat kelima adalah khatib duduk di antara dua khutbah sesuai kadar thumakninah shalat. Yang paling sempurna: sekadar baca Al-Ikhlas. Bahkan disunnahkan membaca Al-Ikhlas saat duduk di antara dua khutbah.

Seandainya tidak duduk di antara keduanya, dihukumi hanya sekali khutbah.

وَ6- الْمُوَالاَةُ بَيْنَهُمَا.

[6] muwalah (tanpa diselingi apapun) antara keduanya

Artinya: Tidak terlalu lama duduk di antara dua khutbah dengan pemisah yang tidak ada kaitannya dengan dua khutbah yang mencapai kadar dua rakaat ringan.

Antara dua khutbah misalnya masih ada nasihat antara rukun-rukun yang ada walaupun lama, juga walaupun ada bacaan surah lama, maka khutbah tetap sah.

وَ7- الْمُوَالاَةُ بَيْنَهُمَا وَبَيْنَ الصَّلاَةِ.

[7] muwalah keduanya dengan shalat

Artinya tidak ada jeda yang lama antara dua khutbah dengan shalat Jumat. Jaraknya paling maksimal sekadar dua rakaat ringan.

وَ8- أَنْ تَكُوْنَا بِالْعَرَبِيَّةِ.

[8] khutbah berbahasa Arab

Diucapkan dengan bahasa Arab, walaupun orang yang mendengarkannya bukan orang Arab dan tidak memahami bahasa tersebut.

Catatan:

Masih boleh nasihat khutbah Jumat disampaikan dengan bahasa yang bisa dipahami. Walau tidak rukun khutbah tetap dengan bahasa Arab.

وَ9- أَنْ يُسْمِعَهَا أَرْبَعِيْنَ.

[9] memperdengarkan kepada 40 orang

Artinya 40 orang yang dianggap terhitung dalam shalat Jumat. Berarti ada minimal 39 orang yang mendengarkan khutbah.

وَ10- أَنْ تَكُوْنَ كُلُهَا فِيْ وَقْتِ الْظُهْرِ.

[10] semua itu dilaksanakan di waktu Zhuhur

Artinya: dilakukan kedua khutbah setelah tergelincirnya matahari, tunggu waktu Zhuhur masuk dulu.

Referensi utama:

Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.

Catatan 11-11-2021

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/31804-safinatun-naja-aturan-shalat-jumat-dan-khutbah-jumat.html

Hukum Ayah Tidak Mau Menikahkan Putrinya

Dalam urutan wali nikah, ayah merupakan orang pertama yang berhak untuk menikahkan putrinya. Selama masih ada ayah, yang lain tidak boleh menjadi wali. Namun, bagaimana jika ternyata sang ayah tidak mau menikahkan putrinya padahal sudah ada pria sekufu’ yang datang melamarnya. 

Berdosakah sang ayah? Lalu siapakah yang menjadi walinya? Dalam literatur fikih, tindakan ayah semacam ini disebut ‘adhal, Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan;

العضل هو منع الولي المرأة العاقلة البالغة من الزواج بكفئها إذا طلبت ذلك، ورغب كل واحد منهما في صاحبه

“‘adhal adalah menghalanginya wali kepada wanita yang berakal dan baligh dari menikahi pria yang sekufu’ dengannya, sementara wanita itu menginginkannya. Dan mereka berdua saling mencintai.”

Selain itu, ‘adhal merupakan satu dari sekian banyak dosa kecil bahkan Imam Nawawi dalam fatwanya mengkategorikan ‘adhal sebagai dosa besar. Oleh-karenanya sang ayah dihukumi berdosa ketika tidak mau menikahkan putrinya. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt pada QS. al-Baqarah ayat 232; 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan suaminya, apabila telah terdapat kerelaan antara mereka dengan cara yang ma’ruf.

Ayat ini turun berkaitan dengan kasus salah seorang sahabat bernama Ma’qil bin Yasar yang menikahkan saudarinya dengan seorang lelaki. Nahas seiring berjalannya waktu,  lelaki tersebut menceraikannya. Begitu masa iddah berakhir, si lelaki menyesal dan berniat untuk menikahi saudarinya Ma’qil kembali.

Ma’qil pun marah lantas berkata; “Dulu aku nikahkan engkau dengan saudariku dan aku memuliakan dirimu tapi engkau malah menceraikannya. Lalu sekarang engkau ingin menikahi saudariku lagi. Tidak! Demi Allah aku tidak akan mengembalikannya padamu” sedangkan saudarinya sendiri menginginkan kembali kepada mantan suaminya itu. Maka turunlah ayat di atas.

Kemudian Rasulullah Saw memanggil Ma’qil dan membacakan ayat tersebut, Ma’qil pun khilaf dan bersedia menikahkan saudarinya kembali dengan laki-laki tersebut. (HR. Bukhari 5331)

Meski demikian, ‘adhal tidaknya seorang ayah tergantung kepada keputusan hakim sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Wahhab Juz II halaman 37;

ولا بد من ثبوت العضل عند الحاكم ليزوج كما في سائر الحقوق

“Vonis ‘adhal harus berdasarkan ketetapan hakim agar hakim bisa menikahkan (si putri) sebagaimana seluruh hak-hak”. Jadi hakimlah yang berhak menentukan apakah seorang ayah ‘adhal atau tidak dan untuk konteks saat ini yang dimaksud hakim adalah pihak KUA.

Oleh-karena itu, apabila sang ayah telah divonis sebagai wali yang ‘adhal maka yang berhak menikahkan adalah hakim (pihak KUA) bukan wali yang lain seperti kakek, paman, dan seterusnya.

Kenapa begitu? Dalam Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu jilid IX, halaman 6723, diebutkan bahwa sang ayah dianggap telah melakukan kedzaliman dengan tidak mau menikahkan putrinya dan yang berhak menumpas kedzaliman adalah Hakim. 

Namum, jika sang ayah tidak mau menikahkan putrinya sampai tiga kali, maka dia dianggap fasiq sehingga hak perwaliannya berpindah kepada wali yang lain sesuai dengan urutan wali.  Demikian penjelasan dalam kitab Fathul Wahhab jilid II, halaman 37.

Demikianlah hukum ayah yang tidak mau menikahkan putrinya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH