Cinta: Antara yang Syar’i, Haram, dan Mubah (Bag. 1)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Dasar setiap amal adalah cinta, baik amalan saleh maupun amalan keburukan

Seseorang yang melakukan sebuah amal baik atau buruk dengan sadar dan tanpa paksaan, pastilah ada rasa cinta yang mendasari perbuatannya tersebut, entah mencintai amal itu sendiri ataupun mencintai buah (konsekuensi) dari amal. Syaikhul Islam rahimahullah berkata,

محبَّة الله وَرَسُوله من أعظم وَاجِبَات الإيمان وأكبر أصوله وَأجل قَوَاعِده، بل هِيَ أصل كل عمل من أَعمال الْإِيمَان وَالدّين

“Mencintai Allah dan Rasul-Nya termasuk kewajiban iman yang teragung dan dasar serta pondasi iman yang terbesar. Bahkan, itu adalah dasar setiap amal keimanan dan dasar agama Islam ini.”

‘Ibadatullah terbangun atas dasar cinta kepada Allah, bahkan cinta kepada Allah adalah hakikat ibadatullah

Dasar penghambaan seseorang dan dasar ibadahnya kepada Allah Ta’ala adalah rasa cinta kepada Allah, yaitu mengesakan-Nya dalam ibadah cinta. Oleh karena itu, tidaklah seorang hamba mencintai dengan bentuk cinta ibadah, kecuali cinta kepada Allah semata, dan dia mencintai sesuatu yang dicintai-Nya, ikhlas karena-Nya dan di jalan-Nya. Inilah hakikat ibadah dan rahasia dari ibadah. Ketika penghambaan seseorang kepada Allah berdasarkan cinta kepada-Nya semata, melahirkan kecintaan kepada segala yang dicintai-Nya sehingga mengamalkannya, dan melahirkan kebencian kepada segala yang dibenci-Nya sehingga meninggalkannya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Miftah Daaris Sa’adah,

لا ريب أن كمال العبودية تابع لكمال المحبة ، وكمال المحبة تابع لكمال المحبوب في نفسه ، والله سبحانه له الكمال المطلق التام في كل وجه ، الذي لا يعتريه توهم نقص أصلا ، ومَن هذا شأنه فإن القلوب لا يكون شيء أحب إليها منه ، ما دامت فطرها وعقولها سليمة ، وإذا كانت أحب الأشياء إليها فلا محالة أن محبته توجب عبوديته وطاعته ، وتتبع مرضاته واستفراغ الجهد في التعبد له ، والإنابة إليه

“Tidak diragukan lagi, bahwa kesempurnaan peribadahan mengikuti kesempurnaan cinta. Dan kesempurnaan cinta mengikuti kesempurnaan sesuatu yang dicintainya. Dan Allah Subhanahu memiliki kesempurnaan yang mutlak dari segala segala sisi yang tidak terkotori dengan sangkaan kekurangsempurnaan sama sekali. Oleh karena itulah, apabila fitrah itu lurus dan akal juga sehat, maka tidak ada sesuatu yang paling dicintai oleh hati manusia melebihi mencintai-Nya. Dan jika demikian halnya, maka kecintaan kepada-Nya mengharuskan ia menyembah-Nya, taat kepada-Nya, mengikuti keridaan-Nya, dan mengerahkan segala daya upaya dalam beribadah menghamba kepada-Nya, serta dalam kembali kepada-Nya.”

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

فمحبة الله ورسوله وعباده المتقين تقتضي فعل محبوباته وترك مكروهاته

“Maka kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hamba-hamba-Nya yang bertakwa bekonsekuensi melakukan perkara yang dicintai-Nya dan meninggalkan perkara yang dibenci-Nya.”

Cinta kepada Allah itu membuahkan cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, cinta kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa, serta cinta kepada segala perkara yang dicintai Allah. Hal ini akan menuntut melaksanakan segala yang dicintai-Nya dan meninggalkan segala yang dibenci-Nya.

Macam-macam orang beriman dalam masalah cinta

Dalam masalah cinta, orang yang beriman itu terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama

Golongan yang sempurna cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu golongan yang melaksanakan kewajiban dan amalan sunah, serta meninggalkan keharaman dan kemakruhan, serta meninggalkan sebagian yang halal. Ini adalah golongan para rasul dan nabi ‘alaihimush shalatu was-salamu, serta orang-orang yang sempurna keimanannya dari “sabiqun bil khairat”.

Kedua

Golongan yang tengah-tengah cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu golongan yang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman dengan meninggalkan syirik dan setingkatnya, bid’ah, dan maksiat. Ini adalah golongan “muqtashid”, golongan pada umumnya orang-orang saleh.

Ketiga

Golongan yang teledor dan kurang sempurna cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu golongan yang teledor dalam melaksanakan kewajiban dan melakukan keharaman. Ini adalah golongan orang yang menzalimi diri sendiri (zholimun linafsih) dan golongan pelaku maksiat yang mengikuti hawa nafsu dari kaum muslimin. [1]

Tiga golongan ini, yakni (1) Sabiqun bil khairat (orang yang lebih dahulu dalam kebaikan), yaitu golongan yang sempurna cintanya kepada Allah Ta’ala; (2) muqtashid (orang yang pertengahan), yaitu golongan yang pertengahan cintanya kepada Allah Ta’ala); dan(3) zholimun linafsih (orang yang menzalimi diri sendiri), yaitu golongan yang kurang cintanya kepada Allah Ta’ala, telah disebutkan dalam surah Fathir ayat 32.

Karena ‘ibadatullah terbangun atas dasar cinta kepada Allah, bahkan cinta kepada Allah adalah hakikat ibadah, sedangkan cinta kepada Allah mendorong seseorang melaksanakan segala perkara yang dicintai-Nya. Pantas saja ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendefinisikan ibadah, bahwa ditinjau dari sisi zatnya, ibadah adalah setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Dalam kitab beliau Al-‘Ubudiyyah, beliau mengatakan,

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ.

“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, (baik) yang batin (hati), maupun yang zahir (anggota tubuh yang nampak).”

Dalam definisi ini mengandung makna bahwa ‘ibadatullah itu adalah segala perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa cinta kepada Allah maupun tuntutannya, yaitu cinta kepada segala yang dicintai-Nya dan pelaksanaan konsekuensinya.

Kandungan dan dasar ibadah itu adalah puncak cinta dan puncak perendahan diri (puncak pengagungan) kepada yang disembah/ diibadahi

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Madarijus Salikin,

العبادة تجمع أصلين: غاية الحب بغاية الذل والخضوع

“Ibadah itu menggabungkan dua dasar, yaitu: puncak kecintaan dan puncak perendahan diri dan ketundukan.”

Puncak cinta ini membuahkan pelaksanaan perintah dari yang dicintai dan disembah. Sedangkan puncak perendahan diri itu membuahkan sikap menghindari larangan yang diagungkan (yang disembah). Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Madarijus Salikin,

فمن أحببته ولم تكن خاضعا له لم تكن عابدا له، ومن خضعت له بلا محبة لم تكن عابدا له، حتى تكون محبا خاضعا

“Barangsiapa yang anda cintai, namun anda tidak tunduk kepadanya, maka anda bukan menghamba kepadanya. Dan barangsiapa yang anda tunduk kepadanya tanpa cinta, maka anda bukan menghamba kepadanya. Barulah anda dikatakan menghamba kepadanya sampai anda mencintainya dan tunduk kepadanya.”

Oleh karena itu, Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mendefinisikan ibadah ditinjau dari sisi perbuatan hamba sebagai berikut,

التذلل لله – عز وجل – بفعل أوامره واجتناب نواهيه؛ محبة وتعظيماً

“Merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, didasari cinta dan pengagungan.”

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Artikel: www.muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] http://iswy.co/e12isr

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77109-cinta-antara-yang-syari-haram-dan-mubah-bag-1.html

Amalan di Bulan Muharram

Adakah amalan khusus di bulan Muharram?

Mendapati bulan Muharram merupakan kenikmatan tersendiri bagi seorang mukmin. Karena bulan ini sarat dengan pahala dan ladang beramal bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan hari esoknya. Memulai awal tahun dengan ketaatan, agar pasti dalam melangkah dan menatap masa depan dengan optimis.

Abu Utsman an-Nahdi[1] mengatakan: “Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”.[2]

Berikut ini amalan-amalan sunnah yang dianjurkan pada bulan ini:

Pertama: Puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling afdhol setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharram.[3]

Hadits ini sangat jelas sekali bahwa puasa sunnah yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram. Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Memperbanyak puasa sunnah pada bulan ini, utamanya ketika hari ‘Asyura (10 Muharram) sebagaimana akan datang penjelasannya pada postingan berikutnya di Muslim.or.id.

Akan tetapi perlu diingat tidak boleh berpuasa pada seluruh hari bulan Muharram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada Ramadhan[4] saja.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah puasa yang paling afdhol bagi orang yang hanya berpuasa pada bulan ini saja, sedangkan bagi yang terbiasa berpuasa terus pada bulan lainnya yang afdhol adalah puasa Daud”.[6]

Kedua: Memperbanyak amalan shalih

Sebagaimana perbuatan dosa pada bulan ini akan dibalas dengan dosa yang besar maka begitu pula perbuatan baik. Bagi yang beramal shalih pada bulan ini ia akan menuai pahala yang besar sebagai kasih sayang dan kemurahan Allah kepada para hambanya.[7]

Ini adalah keutamaan yang besar, kebaikan yang banyak, tidak bisa dikiaskan. Sesungguhnya Allah adalah pemberi nikmat, pemberi keutamaan sesuai kehendaknya dan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menentang hukumnya dan tidak ada yang yang dapat menolak keutamaanNya.[8]

Ketiga: Taubat

Taubat adalah kembali kepada Allah dari perkara yang Dia benci secara lahir dan batin menuju kepada perkara yang Dia senangi. Menyesali atas dosa yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Taubat adalah tugas seumur hidup.[9]

Maka kewajiban bagi seorang muslim apabila terjatuh dalam dosa dan maksiat untuk segera bertaubat, tidak menunda-nundanya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan menjemput. Dan juga perbuatan jelek biasanya akan mendorong untuk mengerjakan perbuatan jelek yang lain. Apabila berbuat maksiat pada hari dan waktu yang penuh keutamaan, maka dosanya akan besar pula, sesuai dengan keutamaan waktu dan tempatnya. Maka bersegeralah bertaubat kepada Allah[10].

Masih berlanjut pada pembahasan puasa Asyura, puasa yang istimewa di bulan Muharram. Semoga Allah mudahkan.

[1] Lihat biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib 6/249 oleh Ibnu Hajar.

[2] Lathoiful Ma’arif hal.80

[3] HR.Muslim: 1982

[4] HR.Bukhari: 1971, Muslim:1157

[5] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi 8/303

[6] Kitab as-Siyam Min Syarhil U’mdah, Ibnu Taimiyyah 2/548

[7] Ketahuilah, bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan keutamaan beramal amalan tertentu selain puasa pada bulan Muharram adalah hadits yang dusta dan dibuat-buat belaka!!. (al-Mauizhoh al-Hasanah Bima Yuhthobu Fi Syuhur as-Sanah, Sidiq Hasan Khon hal.180, Bida’ Wa Akhtho hal.226).

[8] at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr 19/26, Fathul Bari, Ibnu Hajar 6/5

[9] Lihat hukum-hukum seputar taubat dalam risalah Hady ar-Ruuh Ila Ahkam at-Taubah an-Nasuh, Salim bin Ied al-Hilali.

[10] Lihat Majmu Fatawa 34/180 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Penulis: Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/23078-amalan-di-bulan-muharram.html

Tegaskan LGBT Bertentangan dengan Pancasila, AILA Dukung Pemprov DKI Tertibkan Citayam Fashion Week

AILA (Aliansi Cinta Keluarga) buka suara terkait fenomena viral Citayam Fashion Week (CFW) yang berlokasi di Taman Dukuh Atas, Jakarta. AILA mendukung kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang akan menertibkan perilaku mengarah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di CFW.

“Mendukung keputusan Pemprov DKI untuk mensinergikan beberapa instansi Pemda DKI dalam menertibkan secara bijaksana perilaku yang mengarah kepada LGBT, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila,” ungkap AILA, melalui unggahan di akun Instagramnya @ailaindonesia, Kamis (28/7/2022), dikutip oleh Hidayatullah.com.

AILA menegaskan bahwa anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang sebaiknya diarahkan dan dibimbing oleh kita orang dewasa. Hal itu, menurut AILA, menuntut adanya aturan yang jelas dan tegas.

“Maka diperlukan adanya aturan yang jelas dan tegas untuk melindungi mereka dari berbagai ancaman pemahaman yang menjauhkan mereka dari Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa,” ungkapnya.

Selain itu, AILA meminta agar Pemprov mengarahkan dan membina anak-anak usia sekolah yang berada di sekitar Taman Dukuh di luar jam sekolah.

Meski demikian, AILA menyatakan mendukung sikap Pemprov DKI untuk menyediakan ruang ekspresi yang mendidik bagi generasi muda. Hal itu dengan catatan tak bertentangan dengan moral dan agama.

“Mendukung sikap Pemprov DKI untuk menyediakan ruang ekspresi yang mendidik bagi generasi muda. yang tidak bertentangan dengan moralitas, norma agama dan budaya masyarakat Indonesia. Ruang ekspresi juga harus berada dalam pengawasan Pemprov DKI dan pihak terkait agar tidak menyebabkan konflik sosial dan melanggar ketertiban umum,” ujar AILA.

AILA juga mengimbau agar Pemprov DKI melakukan pendampingan bagi anak-anak yang berperilaku mengarah LGBT yang eksis di CFW.

“Pemprov DKI dan pihak-pihak terkait, hendaknya merangkul anak-anak kita dengan memberikan penguatan moral, dan pendampingan serta konseling bagi mereka yang mulai terjangkiti perilaku menyimpang LGBT, pergaulan bebas, atau perilaku negatif lainnya, sehingga anak-anak tersebut mendapatkan haknya untuk bertumbuh kembang sesuai dengan fitrah dan terhindar dari bahaya propaganda LGBT,” pungkas AILA.*

HIDAYATULLAH

Keterlibatan Kristen dalam Pemerintahan Turki Usmani

Salah satu kerajaan Islam terbesar dalam sejarah panjang masyarakat Islam yakni Kerajaan Turki Usmani (Ottoman). Kerajaan ini berkuasa antara abad ke-13 hingga awal abad ke-20. Berikut penjelasan terkait keterlibatan Kristen dalam pemerintahan Turki Usmani.

Pada mulanya, kerajaan ini didirikan oleh Osman 1 pada tahun 1299 dengan berpusat di ibu kota di Anatolia. Hingga akhirnya mengalami fase perpindahan sebagai proses strategi politik yang dijalankan, lalu pada akhirnya berpusat di Konstantinopel atau Istanbul.

Melihat Turki bagi kita hari ini, justru terlihat sebagai negara yang pernah menjadi tempat kejayaan Islam di masa lalu. Apa yang melatarbelakangi kemajuan Turki Usmani? Pertama, mereka bangsa yang dinamis, berpikiran terbuka dan memiliki semangat juang yang tinggi. Kedua, memiliki Angkatan perang yang tangguh, ketiga, menempati wilayah strategis dalam percaturan dunia.

Artinya Kota Istanbul (Konstantinopel) berada diantara Laut Hitam dan Laut Tengah yang langsung berhubungan dengan daratan Asia dan Eropa (Betti Megawati , Kerajaan Turki Usmani “Tarbiyatul Bukhary, Jurnal Pendidikan, Agama Dan Sains“ Vol. IV Thn. 2020).

Posisi geografis di atas tersebut menjadi privilege yang dimiliki oleh Turki Usmani karena menjadikan Turki sebagai jembatan antara Timur dan barat. Artinya pemimpin Turki Usmani tidak hanya menjabatan Khalifah akan tetapi juga sebagai pemimpin agama.

Posisi ini juga didukung oleh kekuatan para ulama sebagai pemegang hukum Syariah yang memiliki kemampuan mumpuni Tabrani. Za, Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis Geo-Kultur Islam Dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani), “Jurnaledukasi” Vol. 2, Thn. 2016).

Perlu kita pahami bahwa, kerajan Turki Usmani menjadi salah satu sejarah yang didengungkan oleh para aktivis khilafah sampai hari ini, dan dijadikan alasan kuat mengapa khilafah perlu ditegakkan di Indonesia. Alasannya justru sangat sederhana bahwa, dalam sistem pemerintah Turki Usmani, mencapai puncak kejayaannya dalam menerapkan syariat Islam.

Kemudian, kehancuran kerajaan ini, salah satunya disebabkan oleh keterpesonaan terhadap budaya barat, kapitalisme, modernism, sekularisme. Maka dari itu, hal itu juga selalu menjadi alasan bagi para aktivis khilafah hari ini ketika melihat kaca mata Indonesia sebagai negara yang sudah digerogoti kapitalisme, modernisme, dll. Bagi para aktivis khilafah, jalan satu-satunya adalah mengembalikan kejayaan Islam di Indonesia dengan menerapan sistem khilafah.

Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, kemunduran Turki Usmani juga disebabkan oleh kesombongan (pride), kemewahan (luxury), dan kerakusan (greed). Semestinya, faktor ini dipahami hal yang sangat penting dalam sebuah kehidupan sosial yang terdapat aturan-aturannya.

Artinya, daripada mengklaim dan bersusah payah untuk menghidupkan negara khilafah, justru yang paling baik adalah bagaimana ketiga term di atas (red;kesombongan, dll) disingkirkan dalam diri supaya tidak menghancurkan.

Melihat struktur sosial Turki Usmani

Dalam konteks masyarakatnya, Turki Usmani terbagi dalam dua kelas, yakni: Pertama berdasarkan kelompok keagamaan yang disebut Millet. Kedua, dibagi berdasarkan hubungan dengan kekuasaan politik. Pada kelompok kedua ini, masyarakat Turki Usmani kembali terbagi dalam dua kelas sosial, yaitu: militer (askeri) atau kelas penguasa (ruling class), dan masyarakat biasa (reaya).

Pada struktur kelas penguasa/militer, terdapat beberapa strata. Pertama, keluarga Turkoman yang sejak awal sudah berjuang untuk Turki Usmani sekaligus memiliki peran penting dalam masa kejayaan Turki Usmani. Kedua, kelas penguasa yang sudah ditaklukkan kemudian dimasukkan dalam sistem Turki Utsmani. Ketiga, orang-orang Kristen yang sudah direkrut ke dalam sistem Turki Usmani melalui devshirme.

Devshirme adalah rekrutmen bagi anak-anak Kristen yang kemudian dididik dan dilatih untuk menempati posisi administrator atau kapi kulu (budak sultan) di istana kerajaan. Keempat, ulama yang bertanggung jawab untuk mengelola Lembaga hukum dan pendidikan Islam kerajaan.

Sistem Devshirme merupakan salah satu sistem yang mengangkat martabat orang lain. Inklusifitas yang diciptakan oleh Turki Usmani dalam menjalankan sistem pemerintahan menjadi salah satu pembelajaran penting untuk dilihat dalam konteks hari ini.

Melalui sistem ini, menjadikan ribuan anak petani Kristen naik ke posisi tinggi militer dan kekuasaan politik, sekaligus mengantarkan mereka pada akuisisi kekayaan dan prestise sosial. Tidak hanya itu, pengembara miskin Turki mampu menjadi komandan militer dan penguasa provinsi, atau setidak-tidaknya menjadi pemimpin unit yang memberikan hak istimewa sosial dan ekonomi ke depannya.

Melalui sistem ini, setidaknya kita memahami bahwa keterlibatan orang Kristen yang diangkat derajatnya oleh sistem yang diterapkan oleh Turki Usmani semata-mata membuka kesempatan bagi kelompok lain merasakan hal yang sama yakni, diberi kesempatan berpolitik dan ikut serta terlibat dalam pengelolaan pemerintahan (Deden A. Herdiansyah, “Di Balik Runtuhnya Turki Usmani”, (Yogyakarta: Pro U-Media, 2016).

Demikian penjelasan terkait keterlibatan Kristen dalam pemerintahan Turki Usmani. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Arab Saudi Batalkan Skema ‘Tuan Rumah Umroh’

Arab Saudi telah membatalkan skema Tuan Rumah Umroh. Skema tersebut memungkinkan warga negara Arab Saudi dan ekspatriat untuk membawa dan menampung tiga hingga lima jamaah asing untuk melakukan umroh.

Juru bicara Kementerian Haji dan Umroh Arab Saudi Hisham Bin Saeed mengatakan bahwa proyek tersebut telah dibatalkan dan tidak akan dilaksanakan. Kementerian mulai mengimplementasikan proyek ini tiga tahun lalu. 

Di bawah skema tersebut, seorang warga negara dapat menjadi tuan rumah bagi setiap Muslim dari luar Kerajaan. Sedangkan ekspatriat dapat menjadi tuan rumah bagi kerabat tingkat pertama mereka untuk melakukan ziarah umroh. 

Kementerian akan mengeluarkan visa untuk warga negara berdasarkan catatan sipil mereka sementara warga asing melalui izin tinggal mereka (iqama). Skema tersebut mengharuskan warga dan penduduk untuk menjaga dan melayani mereka yang telah ditampung di Kerajaan untuk melakukan umroh hingga keberangkatan mereka, dengan kemungkinan mengulangi proses tuan rumah tiga kali setahun. 

Patut dicatat bahwa Kementerian Haji dan Umrah mengumumkan sebelumnya mereka telah membatalkan visa tuan rumah umroh sambil mencatat bahwa mereka akan mengumumkan melalui saluran resminya jika ada perkembangan baru dalam hal ini.

https://saudigazette.com.sa/article/623384/SAUDI-ARABIA/Saudi-Arabia-cancels-Host-Umrah-scheme

IHRAM

Khotbah Jumat: Begitu Cepat Waktu Ini Berlalu

Khotbah pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ.

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ .

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدِ نِالْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Pertama-tama, marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala. Karena dengan ketakwaan inilah, kita bisa meraih rida Rabb kita dan dengannya pula kita akan mendapatkan kehidupan yang mulia. Orang yang bertakwa dicap oleh Allah Ta’ala sebagai makhluk-Nya yang paling baik. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِۗ

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 7)

Sungguh, waktu ini sangatlah cepat berlalu. Rasanya belum lama kita bertemu dengan tahun 1443 Hijriyyah. Namun, ternyata tahun 1443 sudah hampir usai dan tak akan kembali. Berlalu juga semua kesempatan ibadah di dalamnya. Ramadan yang telah kita lewati, musim haji, dan bulan Zulhijah telah usai yang ditandai dengan jemaah haji yang mulai berdatangan dari tanah suci Makkah, kembali ke tanah air ini. Sungguh, waktu sangatlah cepat berlalu, dan itu tidaklah mengherankan, karena cepatnya waktu adalah salah satu karakteristik kehidupan di akhir zaman.

Singkatnya waktu yang kita rasakan merupakan salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari kiamat sebagaimana yang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَقَارَبَ الزَّمَانُ فَتَكُونَ السَّنَةُ كَالشَّهْرِ، وَيَكُونَ الشَّهْرُ كَالْجُمُعَةِ، وَتَكُونَ الْجُمُعَةُ كَالْيَوْمِ، وَيَكُونَ الْيَوْمُ كَالسَّاعَةِ، وَتَكُونَ السَّاعَةُ كَاحْتِرَاقِ السَّعَفَةِ

“Tidak akan terjadi kiamat hingga zaman berdekatan. Setahun bagaikan sebulan. Sebulan bagaikan sepekan. Sepekan bagaikan sehari. Sehari bagaikan sejam. Dan sejam bagaikan terbakarnya pelepah pohon kurma.” (HR. Ahmad no. 10943 di dalam Musnad-nya)

Ma’asyiral Muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Alangkah bahagianya bagi siapa saja yang telah memperbanyak ketaatan, berlomba-lomba dalam kebaikan, berusaha mengangkat derajat pahalanya, dan berusaha agar Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosanya pada tahun ini, serta bisa mengambil pelajaran dari setiap hal yang telah Allah takdirkan. Allah Ta’ala berfirman,

يُقَلِّبُ اللّٰهُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّاُولِى الْاَبْصَارِ

“Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (yang tajam).” (QS. An-Nisa’: 44)

Alangkah senangnya bagi siapa saja yang mengisi hari-harinya dengan mengerjakan perintah Allah, memenuhi bulan-bulannya dengan menjawab panggilan salat, dan mengorbankan tahun-tahun kehidupannya di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala disertai dengan keikhlasan dan kesadaran bahwa inilah tujuan diciptakannya manusia di bumi ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Dan firman-Nya juga,

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas, menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).(QS. Al-Bayyinah: 5

Ma’asyiral Mu’minin, yang dirahmati Allah Ta’ala.

Di antara hak Allah Ta’ala atas hamba-Nya yang telah Allah berikan begitu banyak kenikmatan, yang telah Allah berikan kesempatan hidup hingga detik ini dalam keadaan yang baik adalah mensyukuri segala nikmat-Nya serta memuji-Nya atas segala kemulian-Nya. Karena rasa syukur menyebabkan bertambahnya kenikmatan dan mencegah dari penderitaan. Alangkah baiknya manusia selalu meresapi dan mematri dengan kuat di dalam hatinya firman Allah Ta’ala,

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7)

Saat seorang muslim bersyukur, maka kebaikannya akan kembali ke dirinya sendiri. Dan saat ia kufur terhadap nikmat Allah, maka bahayanya pun akan kembali ke dirinya sendiri. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala Mahakaya, tidak memerlukan sesuatu apapun dari seluruh alam ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

“Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)

Jemaah salat Jumat yang dirahmati Allah Ta’ala.

Tidak ada yang menjadi tugas kita, kecuali memuji Allah atas apa yang telah diberikan kepada kita. Pujian kita kepada-Nya menandakan keridaan kita atas limpahan rezeki-Nya, dan tidak ada balasan dari keridaan seseorang kepada Allah, kecuali kemenangan yang besar. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk rida kepada Allah Ta’ala dengan senantiasa memuji-Nya atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya kepada kita. Bahkan, terhadap makanan dan minuman yang kita makan setiap harinya.

إنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ العَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا، أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah rida kepada hamba yang menyantap makanan lalu memuji Allah atas makanan itu, atau minum lalu memuji Allah atas minuman itu.” (HR. Muslim no. 2734)

Ma’asyiral Mu’minin, yang semoga diridai oleh Allah Ta’ala.

Sesungguhnya di antara kemuliaan seseorang, saat ia sudah di penghujung sebuah waktu adalah meluangkan waktunya seorang diri, untuk mengintrospeksi dan mengoreksi dirinya atas amalan apa yang telah diperbuat dan amalan apa yang telah terlewat. Demikian juga dengan waktu yang telah Allah berikan, sudahkah ia manfaatkan ataukah ia sia-siakan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ 

“Orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 2459, beliau mengatakan hadis ini ‘hasan’)

Imam Tirmidzi mengatakan, “Maksud sabda Nabi ‘Orang yang mempersiapkan diri’ adalah orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada hari kiamat.”

أَقولُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيمَ لِي وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوهُ يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ، وَادْعُوهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ البَرُّ الكَرِيمُ.

Khotbah kedua

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ.

Wahai orang-orang yang beriman.

Ketahuilah, sesungguhnya kunci kesuksesan orang-orang terdahulu maupun untuk generasi yang akan datang adalah tidak menunda-nunda dalam beramal. Apa yang bisa kita kerjakan di hari tersebut, maka tidak kita tinggalkan untuk dikerjakan esok harinya. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا

“Tidak ada satu pun jiwa yang mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok.” (QS. Luqman: 34)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

اغْتَنِمْ خَمْسًا قبلَ خَمْسٍ: شَبابَكَ قبلَ هِرَمِكَ ، وصِحَّتَكَ قبلَ سَقَمِكَ ، وغِناكَ قبلَ فَقْرِكَ ، وفَرَاغَكَ قبلَ شُغْلِكَ ، وحَياتَكَ قبلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkan dengan baik lima perkara sebelum (datangnya) 5 perkara, yaitu: (1) Masa mudamu sebelum (datang) masa tua. (2) Masa sehatmu, sebelum (datang) masa sakit. (3) Masa mampumu sebelum datang masa fakir. (4) Masa luangmu, sebelum datang masa sibuk. (5) Masa hidupmu sebelum (datang) kematian.” (HR. Al-Hakim no. 7846 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 10248 dengan sanad yang sahih)

Beliau juga bersabda,

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu, seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia.” (HR. Muslim no. 118)

Jemaah salat Jumat yang berbahagia.

Di antara kunci sukses dalam beramal yang lainnya adalah membuat perencanaan untuk waktu yang akan datang, bagaimana rencana beramal kita pada tahun depan, sehingga kehidupan kita lebih tertata dan lebih tertib.

Orang yang berakal adalah yang bisa menambah intensitas ibadahnya setiap harinya. Ada sebuah ungkapan yang sangat indah,

مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ كَنَدَمِي عَلَى يَوْمٍ نَقَصَ فِيهِ أَجَلِي، وَلَمْ يَزْدَدْ فِيهِ عَمَلِي

“Sungguh aku tidak pernah menyesali sesuatu melebihi penyesalanku pada hari di mana umurku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”

Peningkatan sesuatu itu tidak hanya dalam kuantitasnya saja, akan tetapi bisa saja berupa peningkatan dalam kualitas. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

إِنَّ اللهَ ـ عَزَّ وَجَلَّ ـ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menyukai jika salah seorang kalian mengerjakan sesuatu, dia mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh (profesional).” (HR. Thabrani no. 275 dan As-Suyuti no. 1855, dihasankan oleh Syekh Albani dalam Shahih Al-Jaami’.)

Dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah yang dikerjakan secara konsisten walaupun jumlahnya sedikit. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa agama kita lebih mengutamakan kualitas sebuah amalan daripada kuantitasnya.

Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Mengusahakan amalan agar sesuai sunah Nabi itu lebih utama dari memperbanyak amalan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2)

Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala tidak berfirman, ‘yang paling banyak amalannya’.”

Semoga Allah menuliskan kita sebagai salah satu hamba-Nya yang dapat bersyukur, mengisi hari-hari kita dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala, konsisten di dalamnya dan tidak menunda-nundanya. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang lebih mengutamakan kualitas amal daripada kuantitasnya, yaitu beramal dengan ikhlas mengharap rida Allah dan sesuai dengan tuntunan serta petunjuk dari Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا،

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ،

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77107-khotbah-jumat-begitu-cepat-waktu-ini-berlalu.html

Amalan Bulan Muharram Sesuai Sunah untuk Sambut Perayaan Tahun Baru Islam

Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriah. Selain menjadi bulan perayaan tahun baru Islam, bulan Muharram juga menjadi salah satu dari bulan suci dalam Islam yang amalannya punya sejuta keutamaan.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, ada empat bulan haram yakni Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.

”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

Kini, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut bulan Muharram sebagai salah satu dari bulan haram tersebut. Tak terlupa, banyak anjuran dan amalan bulan Muharram yang bernilai pahala.

Berikut adalah beberapa amalan bulan Muharram yang mendatangkan berbagai keutamaan.

12 Amalan Bulan Muharram

Dilansir oleh laman NU Online ada 12 amalan bulan Muharram yang disunnahkan oleh Rasulullah. Berikut adalah rinciannya:

  1. Menunaikan salat (menjaga salat wajib dan menambah dengan salat sunnah),
  2. Berpuasa (terutama puasa Tasu’a dan Asyura 9-10 Muharram),
  3. Menyambung silaturahim kepada sesama,
  4. Bersedekah,
  5. Mandi atau menyucikan diri,
  6. Memakai celak mata,
  7. Mengunjungi atau berziarah kepada ulama (baik yang masih hidup dan yang sudah wafat),
  8. Menjenguk saudara yang sedang sakit,
  9. Menambah nafkah keluarga,
  10. Memotong dan membersihkan kuku,
  11. Mengusap dan menyayangi anak yatim,
  12. Mengaji surat al-Ikhlas sebanyak 1000 kali.

Puasa Tasua dan Puasa Asyura

Dalam daftar anjuran amalan tersebut, terdapat satu ibadah yang memiliki keutamaan yakni puasa Tasu’a dan Asyura pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Puasa Ayura memiliki keutamaan istimewa yakni menggugurkan dosa setahun lalu bagi yang sungguh-sungguh menunaikannya.

Adapun Rasulullah bersabda: “Dan puasa di hari ‘Asyura saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.” (HR Muslim).

Berikut adalah bunyi niat puasa Tasu’a dan Asyura bagi yang menghendaki untuk menunaikannya pada bulan Muharram mendatang:

Niat Puasa Asyura 

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâla’i sunnatil asyura lillahi ta‘ala.” 

Artinya: Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah SWT”. 

Niat Puasa Tasua 

Nawaitu shauma ghadin ‘an ada’i sunnatit Tasu‘a lillahi ta‘ala” 

Artinya: Aku berniat puasa sunah Tasu‘a esok hari karena Allah SWT. 

Kontributor : Armand Ilham

SUARA.com

Bolehkah Puasa Muharram Selama Satu Bulan Penuh tanpa Jeda?

Puasa Muharram merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan.

Amal yang dianjurkan untuk dikerjakan pada Muharram  adalah dengan berpuasa sunah. Khususnya puasa Tasua pada 9 Muharram, puasa Asyura pada 10 Muharram dan puasa 11 Muharram.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

   عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ  

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dengan status marfu, (Rasulullâh bersabda), “Puasalah kalian pada hari Asyura dan bedakan dengan kaum Yahudi, puasalah kalian sehari sebelum atau sesudahnya.” (HR Ahmad).

Namun demikian, bolehkah berpuasa sebulan penuh pada Muharram ? Pendakwah yang juga pengasuh Pondok Pesantren Daarul ‘Ilmi Semarang, Habib Muhammad bin Farid Al Muthohar, mengatakan Muharram adalah bulan yang sangat mulia.  

Muharram termasuk asyhurul hurum atau bulan-bulan yang suci. Pada Muharram, umat Muslim diperintahkan Nabi Muhammad SAW untuk memperbanyak puasa di dalamnya. 

Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan  puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada Muharram . 

Lalu, bolehkah puasa sebulan penuh dari awal sampai akhir Muharram? Habib Muhammad mengatakan hal tersebut diperbolehkan.

Meski begitu, Habib Muhammad mengatakan Rasulullah SAW ketika berpuasa sunnah satu bulan penuh akan ada yang dikosongkan beberapa hari.  

“Boleh-boleh saja (puasa sebulan penuh di bulan Muharram ) tidak ada masalah dan dibenarkan karena itu termasuk bulan Muharram . Akan tetapi Nabi Muhammad SAW itu beliau kalau berpuasa (sunah) satu bulan itu biasanya ada yang kosong, ada yang dikosongkan, ada hari yang beliau tidak puasa,” kata Habib Muhammad. 

Sementara itu, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa di luar puasa Ramadhan, Nabi Muhammad SAW berpuasa sunnah hampir sebulan penuh itu pada bulan Syaban. Para ulama berbeda pendapat seperti disebutkan dalam Syarah Nawawi Ala al-Muslim. 

Imam Nawawi menjelaskan bahwa mengapa Nabi Muhammad SAW pada Syaban bukan Muharram padahal Nabi SAW sendiri mejelaskan paling afdhal puasa setelah Ramadhan adalah puasa sunnah di Muharram.

Namun mengapa Nabi SAW justru lebih banyak bahkan hampir sebulan penuh berpuasa sunah itu dilakukan pada Syaban? 

Pertama, karena kemuliaan Muharram  datang atau diberitahukan  di akhir hayat Nabi Muhammad SAW. Sementara Nabi Muhammad SAW telah banyak melakukan puasa sunnah pada Syaban.

Kedua, Nabi Muhammad SAW banyak berpuasa sunnah pada Syaban karena pada bulan itu amal akan dilaporkan kepada Allah SWT. 

Ketiga, Nabi tidak puasa sebulan penuh baik pada Syaban dan Muharram  agar umatnya tidak menganggap itu adalah wajib hukumnya berpuasa penuh. Keempat, pada Muharram, Nabi sering safar sehingga tidak sepenuh Syaban.  

“Intinya adalah kita diperintahkan Nabi Muhammad dari dua belas bulan ini jangan sampai ada bulan yang kosong dari berpuasa. Minimal ada sehari puasa (dalam sebulan), jangan di hari yang diharamkan seperti hari raya, tasyrik, itu dilarang. Selain itu, pokonya jangan sampai sebulan itu kosong dari berpuasa,” katanya.        

KHAZANAH REPUBLIKA

Matan Taqrib: Mereka yang Dilarang Mengelola Harta Sendiri (Terkena Hajr)

Kali ini kita masuk pembahasan Matan Taqrib mengenai mereka yang di-hajr, yaitu dilarang mengelola harta sendiri.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

أَحْكَامُ الحَجَرِ:

وَالحَجَرُ عَلَى سِتَّةِ الصَّبِيِّ وَالمَجْنُوْنُ وَالسَّفِيْهُ المُبَذِّرُ لِمَالِهِ وَالمُفْلِسُ الَّذِي اِرْتَكَبَتْهُ الدُّيُوْنُ وَالمَرِيْضُ فِيْمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ وَالعَبْدُ الَّذِي لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فِي التِّجَارَةِ

وَتَصَرُّفُ الصَّبِيِّ وَالمَجْنُوْنُ وَالسَّفِيْهُ غَيْرُ صَحِيْحٍ وَتَصَرُّفُ المُفْلِسِ يَصِحُّ فِي ذِمَّتِهِ دُوْنَ أَعْيَانِ مَالِهِ وَتَصَرُّفُ المَرِيْضِ فِيْمَا زَادَ عَلَى الثُّلُثِ مَوْقُوْفٌ عَلَى إِجَازَةِ الوَرَثَةِ مِنْ بَعْدِهِ وَتَصَرُّفُ العَبْدِ يَكُوْنُ فِي ذِمَّتِهِ يُتْبَعُ بِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ.

Ada enam orang yang tidak boleh mengelola harta, yaitu:

  1. Anak kecil
  2. Orang gila
  3. Orang bodoh (idiot) yang senang membuang-buang harta
  4. Orang bangkrut yang terlilit utang
  5. Orang sakit yang dikhawatirkan mati, jika lebih dari sepertiga harta warisan
  6. Hamba sahaya yang tidak diizinkan tuannya untuk berdagang

Pengelolaan harta oleh anak kecil, orang gila, dan orang idiot tidak sah.

Pengelolaan harta yang dilakukan oleh orang bangkrut yang terlilit utang dalam hal-hal yang berada dalam dzimmahnya (tanggungannya) dan bukan ‘ainul maalnya, hukumnya sah.

Pengelolaan harta oleh orang sakit jika melebihi sepertiga dari hartanya bergantung pada izin ahli warisnya.

Pengelolaan harta oleh hamba sahaya menjadi tanggungannya sendiri dan tetap dibebankan pada dirinya apabila telah merdeka.

Pengertian Al-Hajru

Al-hajru, secara bahasa berarti al-man’u, berarti mencegah atau menghalangi.

Al-hajru, secara istilah syari berarti:

مَنْعُ التَّصَرُّفِ فِي المَالِ

“Mencegah penggunaan dalam hal harta.”

Tentang perihal hajr disebutkan dalam ayat,

فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ

Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Orang-Orang yang Dilarang Mengelola Harta

Pertama: Anak kecil, yang dimaksud adalah yang belum baligh. Ia terus di-hajr hingga baligh.

Kedua: Orang gila, yaitu yang hilang ingatannya karena sakit. Ia terus di-hajr hingga sadar.

Ketiga: Safiih (bodoh, idiot), yaitu orang yang tidak bisa menggunakan harta dengan baik. Pengertian safiihyang lebih jelas adalah yang mengeluarkan harta pada jalan yang tidak Allah halalkan atau yang membuang hartanya di jalan atau sungai dengan sia-sia, tanpa guna.

  • Lawan dari sifat safiih adalah rusydu (bisa menggunakan harta). Hukum asal manusia adalah rusydu, orangnya disebut raasyid.
  • Orang yang menyalurkan hartanya untuk membeli makanan, minuman, pakaian, ia tidak disebut safiihkarena ia masih menggunakan harta dengan tepat.
  • Orang yang menyalurkan harta pada jalan ketaatan, ia tidak disebut safiih.

Al-Mawardi membedakan antara tabdzir dan israf. Beliau mengatakan mengenai tabdzir adalah,

الجَهْلُ بِمَوَاقِعِ الحُقُوْقِ

“Ketidaktahuan mengenai tempat penyaluran harta.”

Sedangkan israf (sarf) adalah,

الجَهْلُ بِمقَادِيْرِهَا

“Ketidaktahuan mengenai jumlah penyaluran harta.” (Hasyiyah Al-Baajuuri, 2:679)

Keempat: Muflis, yaitu orang yang sedikit atau tidak ada harta untuk melunasi utangnya atau beberapa utangnya.

  • Utang yang masih lama jatuh tempo tidaklah mengakibatkan orang yang muflis itu di-hajr.
  • Utang kepada Allah seperti karena kafarah atau zakat tidaklah mengakibatkan al-madiin (orang yang berutang) itu di-hajr.
  • Hajr untuk raahin (yang berutang, yang menyerahkan gadai) dalam marhuun (barang gadai) karena itu terkait hak murtahin (yang memberikan utang, penerima gadai), maka tetap disyariatkan karena untuk menjaga harta demi hak orang lain. Oleh karena itu, penggunaan raahin (orang yang berutang) terhadap barang gadai tak diperkenankan.

Kelima: Orang yang sakit yang dikhawatirkan akan meninggal dunia yang mengeluarkan lebih dari sepertiga karena 2/3 masih hak ahli waris. Namun, jika orang yang sakit yang dikhawatirkan meninggal dunia ini memiliki utang yang menghabiskan harta peninggalannya, maka sepertiga atau lebih dari hartanya tidak boleh digunakan, ia di-hajr dalam hal ini.

Keenam: Budak yang tidak diberikan izin oleh tuannya dalam hal berdagang.

Ada juga tambahan mengenai orang yang dilarang mengelola harta:

Ketujuh: Orang yang murtad yang punya hak pada orang muslim.

Kedelapan: Raahin (orang yang menyerahkan gadai atau yang berutang) karena adanya hak dari murtahin (orang yang menerima gadai, yang memberikan utang).

Hajr Terbagi Dua

Pertama: Ada hajr karena maslahat mahjuur ‘alaih (orang yang dihajr), yaitu anak kecil, majnuun (orang gila), dan safiih.

Kedua: Ada hajr karena maslahat al-ghair (orang lain), yaitu hajr pada muflis untuk maslahat orang yang memberikan utang, hajr pada orang yang sakit yang dikhawatirkan akan meninggal dunia untuk maslahat ahli warisnya).

Pengelolaan Harta bagi Enam Orang

Pertama: Anak kecil, majnuun (orang gila), dan safiih (orang yang tidak pandai menyalurkan harta), mereka tidak sah mengelola harta dalam bentuk menjual, membeli, dan bentuk tasharruf (penggunaan harta lainnya).

  • Adapun safiih masih sah nikahnya dengan izin walinya.
  • Safiih juga masih sah talak dan khuluknya.
  • Wali bagi anak kecil dan majnuun (orang gila) adalah ayah, kemudian jadd (kakek), lalu qadhi (hakim).
  • Wali bagi safiih adalah qadhi (hakim).

Kedua: Tasharruf muflis masih boleh yang masih dalam jaminannya (dzimmahnya), seperti jual beli makanan dengan akad salam (menjual sesuatu yang diterangkan sifatnya–maw-shuf–dalam suatu tanggungan/jaminan/dzimmah) atau membeli sesuatu masih dalam dzimmahnya.

  • Harta yang ditinggalkan oleh qadhi (hakim) pada muflis untuk nafkah dirinya dan keluarganya tidak terkena hajr.
  • Harta muflis yang terkena hajr adalah tempat tinggal, kendaraan, harta, pakaian, dan segala hal yang bisa dijual. Namun, pakaian yang ia butuhkan tidaklah terkena hajr.
  • Utang yang sifatnya tertunda tidaklah dilunasi saat ini juga kecuali karena meninggal dunia atau murtad.

Ketiga: Orang yang sakit yang dikhawatirkan kematiannya boleh menggunakan harta lebih dari sepertiga jika diizinkan oleh ahli waris. Jika ahli waris mengizinkan penggunaan lebih dari sepertiga, maka sah. Namun, jika tidak diizinkan, tidaklah sah. Izin pembolehan ini ketika yang mewariskan telah meninggal dunia, bukan di saat ia hidup.

  • Yang lebih dari sepertiga yang diizinkan oleh ahli waris berstatus pemberian (‘athiyyah) dari ahli waris.

Keempat: Budak yang telah diizinkan menggunakan harta untuk berdagang, maka sah. Jika tidak diizinkan, maka tidaklah sah jual belinya karena adanya hak tuannya sehingga di-hajr dalam hal ini.

  • Boleh saja budak melakukan tasharruf tanpa izin majikannya seperti dalam perkara talak, shalat, dan puasa.

Referensi:

  • Al-Imtaa’ bi Syarh Matn Abi Syuja’ fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Hisyam Al-Kaamil Haamid. Penerbit Daar Al-Manaar.
  • Fath Al-Qarib Al-Mujib. Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Penerbit Thaha Semarang.
  • Haasyiyah Al-Baajuuri ‘ala Syarh Al-‘Allaamah Ibn Qaasim Al-Ghazzi ‘ala Matn Abi Syuja’. Cetakan kedua, Tahun 1441 H. Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Baajuuri. Penerbit Dar Al-Minhaaj.

Muhammad Abduh Tuasikal 

Sumber https://rumaysho.com/34236-matan-taqrib-mereka-yang-dilarang-mengelola-harta-sendiri-terkena-hajr.html

Ini Doa Imam Ahmad Untuk Orang yang Baru Pulang Haji

Ini adalah doa Imam Ahmad baru pulang haji. Pasalnya, ketika ada orang yang baru pulang dari tanah suci Mekkah setelah melaksanakan ibadah haji, baik itu keluarga, kerabat, tetangga maupun teman kita, maka kita dianjurkan untuk menyambutnya, berjabat tangan dengannya dan kemudian minta didoakan olehnya.

Menyambut orang yang baru pulang haji ini termasuk perbuatan sunnah yang disyariatkan dalam Islam. Selain itu, pada saat kita menyambut orang yang baru pulang haji, maka terdapat beberapa redaksi doa yang dianjurkan untuk kita baca, di antaranya adalah doa yang dibaca oleh Imam Ahmad berikut;

تَقَبَّلَ اللهُ حَجَّك وَزَكَّى عَمَلَكَ وَرَزَقَنَا وَإِياَّكَ اْلعَوْدَ إِلَى بَيْتِهِ اْلحَرَامِ

Taqobbalallaahu hajjaka wa zakkaa ‘amalaka wa rozaqonaa wa iyyaakal ‘awda ilaa baitihil haroom.

Semoga Allah menerima hajimu, menyucikan amalmu, dan semoga Allah memberikan rezeki kesempatan pada kita dan padamu untuk kembali ke Baitullah yang mulia. (Baca: Hukum Berzikir dan Berdoa Bersama di Sore Hari Arafah).

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Mathalib Ulin Nuha berikut;

وَلَا بَأْسَ أَنْ يُقَالَ لِلْحَاجِّ إذَا قَدِمَ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مَنْسَكَك وَأَعْظَمَ أَجْرَك وَأَخْلَفَ نَفَقَتَك رَوَاهُ سَعِيدٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ لِرَجُلٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ حَجَّك وَزَكَّى عَمَلَك وَرَزَقَنَا وَإِيَّاكَ الْعَوْدَ إلَى بَيْتِهِ الْحَرَامِ

Tidak masalah mengucapkan doa pada orang yang baru pulang haji dengan doa; Taqobballaahu mansakaka wa a’zhoma ajroka wa akhlafa nafaqoka (Semoga Allah menerima ibadah hajimu, memberikan pahala yang agung, dan mengganti biayamu). Ini diriwayatkan Sa’id dari Ibnu Umar.

Imam Ahmad pernah berkata pada seseorang; Taqobbalallaahu hajjaka wa zakkaa ‘amalaka wa rozaqonaa wa iyyaakal ‘awda ilaa baitihil haroom (Semoga Allah menerima hajimu, menyucikan amalmu, dan semoga Allah memberikan rezeki kesempatan pada kita dan padamu untuk kembali ke Baitullah yang mulia).

Pada sisi lain, Imam Nawawi menjelaskannya dalam kitabnya “al-Adzkar an-Nawawi” hal 287 tentang doa bagi orang yang baru pulang dari Masjidil Haram, Mekah.  Demikian penjelasan terkait doa Imam Ahmad baru pulang haji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH