Empat Hal Penting yang Perlu Diketahui dalam Menyambut Bulan Muharam

Bulan Muharram adalah salah satu dari 4 bulan haram, bulan mulia juga dijuluki “syarullah’, umat Islam dianjurkan puasa

BULAN Muharam adalah bulan yang mulia, namun demikian, tak banyak kaum Muslim yang tau bagaimana memperlakukannya, bahkan ada sebagaian melakukan kekeliruan di bulan ini.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam masalah Bulan Muharam.

Pertama, Bulan Muharram adalah bulan mulia

Bulan Muharram adalah bulan yang mulia, hal itu dikarenakan beberapa hal:

1. Bulan ini dinamakan Allah dengan “ Syahrullah “, yaitu bulan Allah. Penisbatan sesuatu kepada Allah mengandung makna yang mulia, seperti “ Baitullah “ ( rumah Allah ), “Saifullah” ( pedang Allah ), “ Jundullah” ( tentara Allah) dan lain-lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa bulan tersebut mempunyai keutamaan khusus yang tidak dimilili oleh bulan-bulan yang lain.

2. Bulan ini termasuk salah satu dari empat bulan yang dijadikan Allah sebagi bulan haram, sebagaimana firman Allah swt :

 إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

 “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu Dia menciptakan lanit dan bumi, diantaranya terdapat empat bulan haram.” (QS: at Taubah :36).

Dari Abu Bakroh, Nabi ﷺ bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

3. Bulan ini dijadikan awal bulan dari Tahun Hijriyah, sebagaimana yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa khalifah Umar bin Khattab ra. Tahun Hijriyah ini dijadikan momentum atas peristiwa hijrah nabi Muhammad ﷺ.

Kedua, pada bulan ini disunnahkan berpuasa

Bulan Muharram adalah bulan yang disunnahkan di dalamnya untuk berpuasa, bahkan merupakan puasa yang paling utama sesudah puasa pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist Hurairah ra, di atas.

Hadist di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan kaum Muslimin untuk melakukan puasa sebanyak-banyaknya pada bulan Muharram. Tetapi tidak dianjurkan puasa satu bulan penuh, hal itu berdasarkan hadist Sayyidah Aisyah ra, bahwasanya beliau berkata : “Saya tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah ﷺ berpuasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa paling banyak pada suatu bulan, kecuali bulan Sya’ban. “(HR: Muslim).

Sayyidah Aisyah RA berkata:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
Belum pernah Nabi berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR: Al Bukhari dan Muslim)

Sayyidah Aisyah RA berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ
ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ

Nabi ﷺ memberikan perhatian terhadap hilal bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR:  Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling mulia sesudah Ramadhan, padahal beliau sendiri lebih banyak melakukan puasa pada bulan Sya’ban dan bukan pada bulan Muharram ?

Jawabannya: Para ulama memberikan beberapa alasan, diantaranya bahwa Rasulullah ﷺ belum mengetahui keutamaan bulan Muharram kecuali pada detik-detik terakhir kehidupan beliau, sehingga belum sempat untuk berpuasa sebanyak-banyaknya, atau mungkin adanya udzur syar’i yang menghalangi beliau untuk memperbanyak puasa pada bulan tersebut, seperti banyak melakukan perjalan jauh (safar) atau udzur-udzur yang lain.

Puasa bulan Muharram ini berdasarkan hadist di atas adalah puasa yang paling utama dalam sesudah Ramadhan dalam satu bulan. Sedangkan puasa Arafah adalah puasa yang paling utama sesudah Ramadhan bila dilihat dari sisi hari.

Rasulullah bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الليل. (رواه مسلم عن أبي هريرة ) يضة الصلاة بعد

“Sebaik-baik puasa sesudah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram dan sebaik-baik shalat sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR: Muslim dari Abu Hurairah)

  عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريفاً

“Dari Abu Sa’id al Khudrina., dia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah seorang berpuasa selama sehari karena Allah, melainkan dengan puasanya satu hari itu, Allah menjauhkannya dari neraka sejauh 70 musim gugur.” (Muslim 3/159).

Ketiga, bulan Muharram terhadap Hari Asyura’

Hari Asyura’ artinya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari itu dianjurkan untuk berpuasa.

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّه بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ 

“Nabi ﷺ tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR: Bukhari)

Bagaimana cara berpuasa pada hari Asyura? Menurut keterangan para ulama dan berdasarkan beberapa hadist, maka puasa Asyura bisa dilakukan dengan empat pilihan: berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram atau berpuasa pada tanggal 9,10, dan 11 Muharram, atau berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, tetapi yang terakhir ini, sebagian ulama memakruhkannya, karena menyerupai puasanya orang-orang Yahudi.

Cara berpuasa di atas berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra, bahwasanya ia berkata: Ketika Rasulullah ﷺ. berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan memerintahkan kaum Muslimin berpuasa, para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah pun bersabda :”Jika tahun depan kita bertemu dengan bulan Muharram, kita akan berpuasa pada hari kesembilan.“ (H.R. Bukhari dan Muslim).*/ Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, M.A

HIDAYATULLAH

Umrah Mulai 30 Juli, Arab Saudi Menetapkan Aturan Umrah di Masjidil Haram

Kerajaan Arab Saudi telah membuka kembali layanan Umroh. Pihak berwenang Saudi juga telah mengumumkan instruksi bagi umat Islam yang ingin memasuki Masjidil Haram, situs paling suci Islam di Makkah.

Dilansir dari Gulf News, Rabu (27/7), Kementerian Haji dan Umrah kerajaan telah mewajibkan jamaah umrah untuk berada dalam kesehatan yang baik, seperti yang ditunjukkan dalam aplikasi smartphone Tawakkalna dan memakai masker wajah selama berada di Masjidil Haram.

Umat beriman juga diminta untuk meninggalkan masjid setelah izin masuk mereka berakhir dan untuk menghindari membawa barang bawaan ke dalam situs selama masuk untuk ritual.

Musim umrah baru akan dimulai pada hari pertama Muharram, bulan pertama dalam kalender Islam yang diperkirakan akan dimulai pada 30 Juli menurut perhitungan astronomi.

“Pihak berwenang di kerajaan telah bersiap untuk musim baru yang diperkirakan akan menarik lebih dari 10 juta Muslim,” menurut para pejabat.

Kepresidenan Umum Urusan Dua Masjid mengatakan telah menyelesaikan persiapan untuk ritual umrah yang dipesan melalui aplikasi smartphone Eatmarna.

Awal bulan ini, Arab Saudi mencabut izin lima perusahaan umrah karena melanggar kewajiban mereka dalam melayani jamaah. Keputusan itu dibuat oleh Kementerian Haji dan Umrah, yang menuduh lima perusahaan telah mundur dari kewajiban dan layanan mereka.

“Lisensi lima perusahaan telah dibatalkan karena kekurangan dalam menjalankan kewajiban mereka terhadap jamaah umrah,” kata kementerian itu tanpa menyebut nama perusahaan.

Ia menambahkan bahwa prosedur hukum akan diambil terhadap perusahaan-perusahaan ini dan “hukuman yang sesuai” akan dijatuhkan terhadap mereka.

Pada Oktober 2020, Arab Saudi secara bertahap memulai kembali umrah setelah sekitar tujuh bulan ditangguhkan karena pandemi global Covid-19. Umat Islam yang tidak mampu membayar biaya haji biasanya melakukan umrah di Masjidil Haram.

Hampir 900 ribu peziarah sebagian besar dari luar Arab Saudi melakukan haji tahun ini yang berakhir awal bulan ini, setelah kerajaan melonggarkan pembatasan terhadap pandemi Covid-19 yang telah mendorong pihak berwenang di sana untuk membatasi ritual bagi jamaah haji domestik selama dua tahun.

IHRAM

Meneladani Kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (Bag. 2)

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Proses penyembelihan

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ

“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah).” (QS. Ash-Shaffaat: 103)

Ketegaran saat dieksekusi

Jangankan remaja, seseorang yang sudah dewasa sekalipun, banyak yang ketika memiliki rencana lalu datanglah waktu pelaksanaannya, tiba-tiba dia berpikir untuk membatalkannya, karena terbayang beratnya tantangannya.

Namun, sosok remaja tegar Ismail, dengan istikamah berserah diri kepada Allah semata dan siap dibaringkan untuk disembelih. Tanpa sedikit pun terbesit untuk mengurungkan niatnya, padahal saat itu harus berhadapan dengan tajamnya pisau dan merasa sebentar lagi akan berpisah dengan ayahandanya. Allahu Akbar!

Allah Ta’ala berfirman,

وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ

“Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim!’”

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

“Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ

“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. Ash-Shaffaat: 104-106)

Pujian kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam

Dalam kondisi yang mencekam, hanya tinggal digerakkan saja pisau di leher sang putra, lalu darah segar akan memancar, tiba-tiba Allah memanggil beliau. Allah menyerukan bahwa beliau telah benar-benar patuh totalitas kepada-Nya semata dengan membenarkan dan melaksanakan tuntutan wahyu berupa mimpi, dan mendahulukan rida-Nya daripada hawa nafsunya. Maka, Allah kabarkan ganjaran pahala baginya yang telah menyempurnakan peribadahan kepada-Nya, sehingga layak disebut sebagai “muhsin”.

Hikmah-hikmah perintah penyembelihan

Ayat yang agung ini menunjukkan hikmah perintah penyembelihan adalah sebagai ujian keimanan dari Allah Ta’ala. Wallahi, ini benar-benar ujian yang membuktikan kesempurnaan tauhid, keikhlasan, iman, peribadahan Nabi Ibrahim dan putranya ‘alahimas salam kepada Allah, serta untuk mengangkat derajat keduanya.

Ujian yang super berat karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sudah menunggu kelahiran Ismail selama 86 tahun. Ketika lahir, beliau dididik dengan pendidikan terbaik sehingga menjadi anak yang benar-benar saleh. Lalu, tiba-tiba diperintahkan untuk menyembelihnya. Lebih berat lagi terasa ujian tersebut bahwa yang diperintahkan menyembelih adalah beliau sendiri. Allahu Akbar!

Bandingkan dengan ujian harta berupa syari’at berkurban di hari Iduladha. Tentunya jauh lebih ringan. Itu pun mungkin banyak yang mampu, namun tidak berkurban.

Pelajaran penting

Intinya bukan pada jenis ujian keluarga, namun pada kelulusannya!

Seberat apapun ujian keluarga yang kita hadapi, berhusnuzanlah kepada Allah. Siapa tahu meski berat ujian kita, namun Allah tolong kita sehingga kita lulus ujian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن العبد إذا سبقت له من الله منزلة فلم يبلغها بعمل ؛ ابتلاه الله في جسده أو ماله أو في ولده ، ثم صبر على ذلك حتى يبلغه المنزلة التي سبقت له من الله عز وجل

Sesungguhnya seorang hamba ketika ditentukan untuknya (anugerah) kedudukan (tinggi) dari Allah, padahal amalan(nya) tidak bisa mencapainya, maka Allah mengujinya pada badannya, hartanya, atau anaknya. Kemudian ia mampu bersabar menghadapinya sehingga hal itu menyampaikannya kepada (anugerah) kedudukan (tinggi) dari Allah ‘Azza wa Jalla yang telah ditentukan untuknya.” (Shahih Targhib, Shahih lighairihi)

Balasan sejenis amalan dan balasan lebih besar dari amalan

Allah berfirman,

وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۖ

“Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.”

سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ

”Selamat sejahtera bagi Ibrahim.”

كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

“Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ

Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”

وَبَشَّرْنٰهُ بِاِسْحٰقَ نَبِيًّا مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishak, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.”

وَبٰرَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلٰٓى اِسْحٰقَۗ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَّظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ مُبِيْنٌ ࣖ

“Dan Kami limpahkan keberkahan kepadanya dan kepada Ishak. Dan di antara keturunan keduanya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang terang-terangan berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. Ash-Shaffaat: 107-113)

Baca Juga: Derajat Hadits Nabi Mencium Istrinya Lalu Tidak Wudhu Lagi

Buah keberhasilan Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ‘alaihimas salam melewati ujian keimanan besar

Balasan sejenis amalan dan balasan lebih besar dari amalan. Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ‘alaihimas salam mendapat balasan berupa:

Pertama: Peristiwa ujian beliau berdua ini disebutkan dalam Al-Qur’an Al-Karim, bahkan dibaca ayat-ayatnya sampai mendekati hari kiamat.

Kedua: Peristiwa tersebut menjadi salah satu hikmah disyari’atkannya ibadah kurban di hari raya Iduladha. Sehingga kaum muslimin di seluruh penjuru dunia mengenang dan meneladani pengorbanan beliau berdua. Ini karena Allah berkahi amal saleh beliau berdua yang dilakukan dengan ikhlas dan sesuai perintah Allah, dengan keberkahan yang sangat besar dan pengaruh baik sampai hari Kiamat. Amal saleh beliau berdua itu umurnya panjang dan pengaruhnya meluas.

Ketiga: Allah ganti ketaatan dan ketundukan beliau berdua kepada Allah semata dengan segera, saat itu juga dengan seekor sembelihan yang besar.

Keempat: Pada ayat yang ke-111, Allah tambahkan ganjaran amal saleh beliau berdua dengan anugerah putra Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berikutnya, yaitu Nabi Ishak ‘alaihis salam. Bukan hanya itu saja, Allah berkahi keturunan Nabi Isma’il ‘alaihis salam sehingga di antara mereka ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah berkahi keturunan Nabi Ishak ‘alaihis salam. Sehingga di antara mereka ada Nabi Yakub dan Nabi Yusuf ‘alaihimas salam. Bahkan, dari keturunan Nabi Ishak ‘alaihis salam-lah kebanyakan para nabi terlahir ‘alahimus salam.

Bukan hanya itu, Allah berkahi dari keturunan dua putra Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, yaitu Nabi Ishaq ‘alaihis salam dan Nabi Isma’il ‘alaihis salam. Terlahir dari keturunan beliau tiga umat besar, yaitu: bangsa Arab dari keturunan Nabi Isma’il ‘alaihis salam, Bani Israil, serta bangsa Rum dari keturunan Nabi Ishak ‘alaihis salam.

Semua itu buah manis dari kesabaran, ketabahan, ketegaran, ketaatan, ketundukan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, dan Nabi Isma’il ‘alaihis salam di dunia. Bagaimana lagi ganjaran di akhirat? Padahal, akhirat itu lebih baik dan lebih kekal daripada dunia. Allah Ta’ala berfirman,

وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ وَّاَبْقٰىۗ

“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la : 17)

Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77103-meneladani-kehidupan-nabi-ibrahim-dan-nabi-ismail-bag-2.html

Apa Itu Nazar? Bagaimana Pengertian Nazar dalam Islam?

Apa itu nazar? Berikut pengertian nazar dan ketentuanya dalam syariat Islam. Pasalnya, banyak orang yang bertanya terkait pengertian apa itu nazar dan penjelasan lengkap menurut ulama Islam. (Baca: Bernazar Puasa Senin-Kamis Seumur Hidup, Apakah Boleh? )

Pengertian Nazar

Pengertian nazar adalah sebuah kesepakatan seorang hamba dengan tuhanya atas capaian yang diberikan kepadanya. Nazar secara etimologi berarti janji sedangkan secara terminologi adalah menyanggupi melakukan ibadah semata-mata karena qurbah (mendekatkan diri kepada Allah Swt.)

Para ulama berbeda pendapat soal hukum nazar. Di dalam kitab Fathul Mu’in, Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy menerangkan bahwa nazar sendiri adalah ibadah, sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa nazar hukumnya sunnah.

Sebagian ulama lagi mengatakan bahwa nazar hukumnya makruh, karena ada dalil yang melarangnya. Kebanyakan ulama menghubungkan pelarangan tersebut kepada nazar lajaj. Nazar lajaj memberi pengertian bahwa melakukan ibadah karena suatu perbuatan atau ditinggalkannya.

Perbedaan tersebut didorong adanya suatu pemikiran oleh para ulama bahwa nazar bisa saja menjadi dorongan hamba untuk mendekatkan diri kepada tuhan nya, sehingga seorang hamba bisa menyanggupi akan melakukan ibadah tanpa menggantungkan dengan sesuatu yang diharapkan dan mengandung kata kepastian. Misalnya “Saya bernazar akan bersedekah satu juta apabila diterima PNS”.

Apabila seorang tadi keterima PNS wajib baginya bersedekah sesuai nominal yang ditetapkan sebelumnya. Jika tidak, maka wajib baginya membayar kafarat (denda). Ini yang dalam kajian fikih dinamakan nazar tabarrur.

Disisi lain nazar dibuat untuk penggantungan pelaksanaan ibadah, baik itu dilakukanya maupun tidak, dan tidak mengandung kata kepastian. Misalnya ”Jika saya masuk rumah atau tidak keluar rumah maka akan kukerjakan puasa atau sedekah karena Allah”.

Dengan demikian nadzir (penadzar) bisa memilih menunaikan nazar atau tidak sebab kesepakatnya masih abstrak. Nazar semacam ini adalah nazar yang belum sah menurut syariat Islam. Dan nazar tersebut dalam kajian fiqih dinamakan nazar lajaj. (Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy, Fathul Mu’in, penerbit menara kudus, Juz 2 hal. 145) 

Seperti halnya ibadah yang lain nazar juga memiliki ketentuan yang sudah disyariatkan dalam Islam. Dari keterangan diatas sedikit mengambarkan bahwa ada nazar yang memang sah menurut syariat dan tidak sah menurutt syariat. Tulisan sederhana ini akan membahas soal definisi nazar dan ketentuan nazar mana yang sah dan tidaknya menurut syariat.

Definisi dan Syarat Utama Nazar

Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy mendefinisikan nazar sebagai berikut:

اَلنَّذْرُ اِلْتِزَامُ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ رَشِيْدٍ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ نَفْلًا كَانَتْ اَوْ فَرْضَ كِفَايَةٍ

Artinya: Nazar ialah penetapan pelaksanaan ibadah (bukan fardu ain) baik sunnah atau fardu kifayah oleh orang muslim, mukallaf yang rasyid (pandai berbuat).

Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa syarat utama nazar adalah nadzir (penazar) harus beragama Islam, mukallaf dan rasyid. Selanjutnya sesuatu yang dinazarkan tidak tergolong fardu ain seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dll.

Nazar Sah Menurut Syariat Islam 

Para ulama sepakat bahwa keabsahan nazar apabila sudah memenuhi syarat diatas dan sesuatu yang dinazarkan tergolong sunnah atau fardu kifayah. Syaikh Zainuddin Al-Malibiriy memberi contoh dalam kasus ini semisal nazar pelanggengan shalat witir, menjenguk orang sakit, menikah jika telah sampai hukum sunnah dalam dirinya dll.

Lebih lanjut Syaikh Zainuddin Al-Malibiriy menerangkan nazar bisa sah untuk orang mukallaf apabila dengan lafadz munjaz (lestari), yaitu menetapkan pelaksanaan ibadah tanpa dengan menggantungkan pada suatu kejadian.

Misalnya “kami wajib melakukan ini karena Allah”. Artinya bukan semata-mata karena ia tercapai sesuatu yang ia nazarkan, akan tetapi lebih ke sesuatu kewajiban ia atas tuhanya untuk mendekatkan diri kepada tuhanya. Ini yang tadi diatas dinamakan nazar tabarrur.

Nazar juga dikatakan sah apabila menggunakan lafadz muallaq (tergantung pelaksanaannya pada suatu kejadian). Yaitu menetapkan ibadah sebagai imbalan terjadinya suatu kenikmatan yang digemari atau tersingkirnya suatu bencana.

Misalnya ”jika Allah menyembuhkan penyakit kami ini atau menyelamatkan diri kami maka kami wajib begini, atau akan melakukan begini”. Nazar dalam kasus ini dinamakan nazar Mujazah.

Selanjutnya diterangkan dalam kitab Muhadzab bahwa:

وَلَايَصِحُّ النَذْرُ اِلَّا بِالْقَوْلِ

Artinya: Nazar tidak sah kecuali dengan sebuah ucapan (Abu Ishaq as-Syairazi, Al-Muhadzab, Juz 1 hal. 443).

Dari pernyataan diatas dapat diberi pengertian bahwa keabsahan nazar tidak cukup dengan niat dalam hati. Akan tetapi harus dibarengi ucapan yang dianggap sah menurut syariat. Nazar oleh syaikh Zainuddin Al-Malibary diibaratkan seperti akad dalam jual beli, artinya harus jelas dan ada kepastianya.

Nazar Tidak Sah Menurut Syariat Islam

Nazar yang tidak sah menurut syariat Islam apabila bernazar dengan perbuatan maksiat misalnya berpuasa pada hari tasyriq, shalat tanpa ada sebab pada waktu-waktu makruh dan tentu tindakan maksiat lainya.

Termasuk (dalam kutip tindakan maksiat) adalah perbuatan makruh misalnya shalat diatas makam atau nazar pemberian khusus kepada salah satu ayah ibu atau anak-anaknya (ditakutkan terjadinya kecemburuan sosial).

Begitu juga tidak sah apabila bernazar dengan sesuatu yang mubah. Misalnya “Saya nazar makan dan minum karena Allah”. Sekalipun ia berniat agar kuat atau semangat melakukan ibadah. Menurut pendapat yang paling sahih menazarkan perbuatan jaiz tidak sah menurut syariat. (Fathul Muin, Menara Kudus, Juz 2 hal. 147).

Selain itu juga tidak sah bernazar akan melakukan sesuatu yang wajib yang tergolong fardhu ain seperti shalat lima waktu. Sebab shalat lima waktu meskipun tidak dinazarkan sudah menjadi kewajiban seorang muslim. (Sayyid Ahmad bin Umar As-Syatiri, al-Yaqu an-Nafis fi Madzhabi Ibni Idris, hal. 227). 

Kesimpulan 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nazar adalah sebuah janji seorang hamba kepada Tuhan. Maka kewajiban seorang hamba untuk melaksanakan atas dasar kewajiban, bukan untuk penggantungan ibadah karena capaiannya sebuah harapan.

Keabsahan nazar hanya diperuntukkan perbuatan yang sunnah dan fardhu kifayah, diniatkan dengan hati serta diucapkan lewat lisan oleh orang Islam yang mukallaf dan rasyid (pandai berbuat).  Keabsahan nazar juga harus mengandung lafadz kepastian untuk menyanggupi melakukan suatu yang dinazarkan.

Efek dari sebuah nazar adalah perkara yang asalnya sunnah atau fadhu kifayah menjadi hal yang wajib baginya. Nazir (penazar) wajib melakukan apa yang ditetapkan oleh nazarnya seketika itu juga, jika tidak maka kewajibannya untuk membayar Kafarat (denda).

Adapun denda bagi pelanggar nazar adalah bisa memilih antara tiga hal (1) memerdekakan budak (2) memberi makan sepuluh orang miskin (0,6 kilogram / tiga per empat liter beras) (3) memberi 10 pakaian orang miskin. Jika tidak mampu atas tiga hal tadi maka wajib baginya puasa selama tiga hari. Wallahuaalam.

BINCANG SYARIAH

Hanya Mendengar Murotal Surat Al Kahfi, Apakah Dapat Keutamaan?

Bismillah….

Ada amalan rutin yang sunah dikerjakan setiap hari Jumat, yaitu membaca surat Al Kahfi. Tentang pahalanya tak main-main teman-teman. Nabi shalallahu alaihi wa sallam mengabarkan,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. Nasa’i dan Baihaqi)

Nah… Denger murotal surat Al Kahfi dari qori’ favorit, sambil menikmati suasana di jalan atau santai di rumah. Apakah demikian cukup untuk mendapatkan keutamaan baca Al Kahfi di hari Jumat?

Yuk kita simak penjelasan dari Fatwa Islam Wal Jawab berikut :

الأجر المترتب على قراءة سورة الكهف في يوم الجمعة ، إنما ورد في حق من قرأ السورة في ذلك اليوم ، قال عليه الصلاة

والسلام : ( مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ ) رواه البيهقي، وصححه الشيخ الألباني رحمه الله في ” صحيح الجامع”.

“Pahala yang ditawarkan dari amalan membaca surat Al Kahfi di hari Jumat, hanya dapat diraih oleh orang yang membacanya saja di hari tersebut. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua Jum’at.”

HR. Al Baihaqi, dinilai shahih oleh Syekh Albani -semoga Allah merahmati beliau-, di dalam Shohih Al Jami’.

ومعلوم أن من استمع إلى السورة ، فإنه لا يعد قارئاً لها .

Dan jelas, orang yang mendengar bacaan surat, tidak teranggap membacanya.

وعلى هذا : فمن أراد الثواب الوارد في الأحاديث ، فعليه ، بقراءة سورة الكهف ، ولا يكتفي بالاستماع .
لكن من لم يكن يحسن قراءة القراءة ، فاستمع إليها من غيره ، طلبا للأجر الوارد فيها : رجي له من الأجر ما يكون للقارئ ، لحسن قصده ، وإتيانه بما يقدر عليه .

Oleh karena itu, siapa yang ingin mendapatkan pahala yang tersebut dalam hadis, maka hendaknya membaca surat surat Al Kahfi. Tidak cukup mendengar/menyimak. Namun, bagi yang belum bisa membaca Al Qur’an dengan baik, silahkan menyimak bacaan orang lain. Niatkan untuk mendapatkan pahala yang dijelaskan dalam hadis, orang yang seperti ini kondisinya, semoga ia mendapat pahala seperti yang diinginkan oleh pembacanya, karena baiknya niatnya dan ia telah berusaha melakukan sesuai ia mampu.” (https://islamqa.info/amp/ar/answers/197900)

Nah jelas ya teman-teman….

Jadi kesimpulannya :
  •  keutamaan mendapat cahaya antara dua Jumat, hanya didapat mereka yang membaca surat Al Kahfi. Bukan mendengar.
  • ada yang dikecualikan dari kondisi ini : yaitu orang yang belum bisa membaca Al Qur’an, dan dia telah berusaha belajar. Diharapkan tetap mendapatkan pahala tersebut meski hanya dengan mendengarkan bacaan orang. Karena :
    1. niatnya yang baik
    2. dia telah berusaha sesuai batas kemampuannya.

Wallahua’lam bis showab.

Yogyakarta, di pondok tercinta : Hamalatul Quran, 14 Jumadal Ula 1441 H


Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : TheHumairo.com

Begini Cara Mengelola dan Hak Amil Zakat menurut Ulama Salaf

Imam Syafi’i cenderung pada pendapat bahwa amil digaji sesuai kadar pekerjaannya, sementara menurut Imam Nawawi, amil tidak boleh menerima lebih dari ujratul mitsli dari harta zakat

SEDANG heboh gaji amil zakat dan pengelola lembaga charity dan pengumpul donasi masyarakat. Beritanya digoreng kesana kemari. Daripada larut dalam perbincangan tanpa dasar, yuk kita tengok bagaimana para ulama mengulas masalah ini dalam karya-karya mereka.

Imam Nawawi (w. 676 H) dalam al-Majmu’ (VI/168-169) menjelaskan bahwa menarik zakat sebenarnya kewajiban imam atau negara. Maka negara menunjuk orang-orang yang ditugasi mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikannya.

Olehnya, gaji amil ditentukan oleh negara, dengan dua cara;

Pertama, tidak disebutkan nominalnya di depan dan nanti dia diberi gaji setelah menyelesaikan tugas, dengan gaji yang pantas menurut kadar pekerjaan yang dia lakukan (ujratul mitsli) yang diambilkan dari harta zakat. Mungkin, ini semacam UMR di zaman kita.

Kedua, digaji dengan suatu bagian tertentu yang telah disebutkan nominalnya sejak awal dari harta zakat itu. Pemberian ini bisa disebut ujrah (upah, gaji) bisa juga kompensasi (ju’alah).

Tapi, gaji amil tidak boleh melebihi ujratul mitsli. Lantas, bagaimana jika negara menggaji amil lebih besar dari ujratul mitsli atau UMR?

Menurut Imam Nawawi, penetapan seperti itu — dan ini yang paling sahih menurut beliau — tidak sah dan amil tidak boleh menerima lebih dari ujratul mitsli yang diambilkan dari harta zakat. Menurut pendapat lain, penetapan seperti itu tidak batal, dan amil wajib digaji sesuai ujratul mitsli yang diambilkan dari harta zakat, lalu kekurangannya diambilkan dari baitul maal (kas negara). Alasannya, akad seperti itu sah dan konsekuensinya bersifat mengikat.

Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm (II/80) — menurut kami —  cenderung pada pendapat bahwa amil digaji sesuai kadar pekerjaannya.

Menurut Syeikh Wahbah az-Zuhaili (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, III/1953), orang-orang yang termasuk dalam pengertian amil adalah pengumpul, pencatat, penggembala hewan zakat (mis. terkait zakat ternak), penghitung, penakar, penimbang, dsb.

Bagaimana dengan gajinya?

Menurut Syeikh az-Zuhaily, pemberian itu adalah upah atas pekerjaan yang dia lakukan, bukan bagian dari zakat dan sedekah. Maka, amil bisa diberi meskipun kaya. Jika bagian itu dianggap dari zakat dan sedekah, maka orang kaya tidak boleh menerimanya.

Bagaimana jika harta zakat terkumpul sangat banyak, dan jika dibagi menjadi delapan sesuai ashnaf  yang delapan itu maka bagian setiap ashnaf  (termasuk hak amil) menjadi berlebih? Imam Syafi’i merinci dalam al-Umm (II/82-84) bahwa kelebihannya harus digabungkan kepada ashnaf  yang lain. Bagaimana pun, sangat tidak mungkin jumlah amil akan lebih banyak dibanding 7 ashnaf  yang lain.

Lantas, bagaimana jika hak bagian suatu ashnaf  kurang saat dibagi kepada individu-individu yang termasuk dalam kategorinya? Dalam kasus ini, tidak boleh diambilkan dari bagian ashnaf  lain kecuali jika pada ashnaf  lain itu individu-individu yang berhak menerima sudah tercukupi semua, atau tidak ditemukan.

Dalam kasus lain, masih menurut Imam Syafi’i, bagaimana jika hak bagian suatu ashnaf  tidak memadai untuk dibagikan berdasar kadar kebutuhan per individu?

Misal, orang yang tergolong gharim (terlilit utang) ada 10 orang, sementara hutang mereka tidak sama nominalnya, dan hak ashnaf  mereka 1000 dinar. Jika tiap orang diberi sesuai kadar utangnya maka hak bagian ashnaf  itu tidak memadai.

Dalam kasus ini, mereka diberi bagian 10% dari utang mereka masing-masing. Hitungannya bukan berdasar nominal yang diberikan, tapi 10% dari tanggungan utang masing-masing. Ini adil. Sebab jika 1000 dinar langsung dibagi 10, maka akan ada yang berkelebihan atau berkekurangan, disebabkan utang mereka yang tidak sama. Wallahu a’lam.*/Alimin Muhtar, pengajar di Ponpes Arrahmah Putri-Batu, Jatim

HIDAYATULLAH

Hukum Menuntut Cerai Suami yang Malas Sholat

Bagaimana hukum menuntut cerai suami yang malas sholat. Pasalnya, suami merupakan pemimpin dalam rumah tangganya. Tentunya ia adalah pihak yang memegang kendali arah bahteranya. Maka dari itu, seorang perempuan harus pintar-pintar memilih laki-laki. Agar supaya bahtera rumah tangganya, berjalan sesuai relnya.

Menikah dengan tujuan merubah sikap seseorang memang mulia, namun apakah ia kuat dengan sikap pasangannya? Seyogyanya carilah pasangan yang sekufu, agar supaya tidak terlalu repot dalam menghadapi masalah rumah tangga.

Lalu ketika perempuan mendapat suami yang malas sholat, apakah ia boleh menuntut cerai?

Hukum menuntut cerai suami yang malas sholat menurut Imam Nawawi dalam kitab Raudh al-Thalibin wa Umdat al-Muftin adalah boleh. Pasalnya, sikap tersebut ini bisa dikategorikan pada rendahnya spiritualitas suami. Imam al-Nawawi menjelaskan;

 كِتَابُ الْخُلْعِ. هُوَ الْفُرْقَةُ بِعِوَضٍ يَأْخُذُهُ الزَّوْجُ، وَأَصْلُ الْخُلْعِ مُجْمَعٌ عَلَى جَوَازِهِ، وَسَوَاءٌ فِي جَوَازِهِ خَالَعَ عَلَى الصَّدَاقِ أَوْ بَعْضِهِ، أَوْ مَالٍ آخَرَ أَقَلَّ مِنَ الصَّدَاقِ، أَوْ أَكْثَرَ، وَيَصِحُّ فِي حَالَتَيِ الشِّقَاقِ وَالْوِفَاقِ، وَخَصَّهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ بِالشِّقَاقِ، ثُمَّ لَا كَرَاهَةَ فِيهِ إِنْ جَرَى فِي حَالِ الشِّقَاقِ، أَوْ كَانَتْ تَكْرَهُ صُحْبَتَهُ لِسُوءِ خُلُقِهِ أَوْ دِينِهِ، أَوْ تَحَرَّجَتْ مِنَ الْإِخْلَالِ بِبَعْضِ حُقُوقِهِ، أَوْ ضَرَبَهَا تَأْدِيبًا فَافْتَدَتْ. وَأَلْحَقَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ بِهِ مَا إِذَا مَنَعَهَا نَفَقَةً أَوْ غَيْرَهَا فَافْتَدَتْ لِتَتَخَلَّصَ مِنْهُ.

Kitab menerangkan tentang khulu’, yaitu perpisahan yang diminta istri dengan mekanisme pemberian kompensasi kepada pihak suami. Khulu’ ini dilegalkan oleh para ulama’, bahkan kebolehannya ini sudah disepakati. Baik ia khulu dengan mengembalikan mahar, atau hanya sebagiannya saja.

Bahkan boleh dari uang lain, yang nominalnya lebih sedikit dari jumlah mahar. Namun melebihinya juga boleh. Dan khulu’ ini sah, baik dalam kondisi perselisihan maupun terjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak.

Hanya saja Ibnu al-Mundzir, mengkhususkan ini dalam kondisi perselisihan saja. Maka tidak ada kemakruhan, jika khulu dilakukan ketika berselisih. Khulu’ diperbolehkan ketika istri tidak suka hidup dengan suami sebab buruknya perangai suaminya atau agamanya.

Boleh juga dilakukan, jika ia melakukannya dalam rangka menjauhi dosa. Sebab ketika bersama suaminya, ia tidak bisa memenuhi hak suami. Dan bahkan dalam konteks ia dipukul suami yang dalam rangka ta’dib (dididik), ia tetap diperbolehkan untuk mengajukan cerai.

Imam al-Ghazali menganalogikan kebolehannya dalam konteks suami tidak memenuhi nafkah istrinya, ia boleh menggugat cerai suaminya. (Raudh al-Thalibin wa Umdat al-Muftin  Juz 7 Hal. 374)

Senada dengan beliau, salah seorang pakar fikih dari madzhab Hambali mengatakan;

وَجُمْلَةُ الْأَمْرِ أَنَّ الْمَرْأَةَ إذَا كَرِهَتْ زَوْجَهَا، لِخَلْقِهِ، أَوْ خُلُقِهِ، أَوْ دِينِهِ، أَوْ كِبَرِهِ، أَوْ ضَعْفِهِ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، وَخَشِيَتْ أَنْ لَا تُؤَدِّيَ حَقَّ اللَّهَ تَعَالَى فِي طَاعَتِهِ، جَازَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ بِعِوَضٍ تَفْتَدِي بِهِ نَفْسَهَا مِنْهُ

Bahwasanya seorang wanita jika tidak menyukai suaminya karena berbagai faktor semisal akhlaknya, perawakannya, rupanya, agamanya, tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya.

Lalu ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan memberikan kompensasi untuk membebaskan dirinya”. Dalilnya adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229 dan beberapa hadis yang disebutkan. (Al-Mughni,  Juz 7 Hal. 323)

Dengan demikian, istri boleh menuntut cerai kepada suami atau ia mengajukan khulu’. Sebab tidak sholat merupakan salah satu perilaku yang mencerminkan rendahnya spiritualitas sosok suami, dan rendahnya atau buruknya tingkat spiritualitas suami ini memperbolehkan istri untuk menuntut diceraikan.

Maka dari itu, pilihlah suami yang saleh. Baik saleh secara spiritual maupun sosial, agar supaya mahligai rumah tangga nyaman dan memberikan ketenangan. Sehingga terciptalah kondisi sakinah mawaddah wa rahmah, yang pada akhirnya nanti akan menciptakan generasi yang saleh dan salehah.

Demikian penjelasan tentang hukum menuntut cerai suami yang malas sholat. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

73 Jamaah Haji Indonesia Wafat Hingga Hari Ini, Berikut Daftar Namanya

Mereka wafat hingga hari ke-52 operasional penyelenggaraan ibadah haji

Hingga hari ke-52 operasional penyelenggaraan ibadah haji 1443 H/2022, ada 73 jamaah haji Indonesia yang telah wafat. Ketua PPIH Arab Saudi Arsad Hidayat menjelaskan, sebanyak 27 jamaah wafat pada masa pra Armuzna dalam rentang 4 Juni sampai 7 Juli 2022.

Sementara itu, ada 16 jamaah yang wafat pada masa Armuzna pada 8-12 Juli 2022. Sisanya atau 30 jamaah wafat pada masa setelah puncak haji Armuzna, 13 Juli sampai sekarang. “Jumlah jamaah wafat sejak awal keberangkatan pada 4 Juni sampai dengan hari ke-52 operasional haji sebanyak 73 orang, terdiri atas 71 jamaah haji reguler dan dua jamaah haji khusus,” tutur Arsad.

Berikut ini data 73 jamaah haji Indonesia yang wafat di Tanah Suci pada musim haji 1443 H/2022 M:

1. SUPATMA SUHAR NURUDDIN, Wafat 24 Juli 2022, SUB-23

2. BOKI MARHABAN ABU, Wafat 24 Juli 2022, SOC-22

3. SITI TIRAHMAH NAJI, Wafat 24 Juli 2022, SUB-22

4. TITI AHMAD ADA, Wafat 23 Juli 2022, JKS-43

5. BAHARI SAID KUBIN, Wafat 23 Juli 2022, BTH-6

 6. IBRAHIM DAIHUNI HUSIN, Wafat, 23 Juli 2022, Haji Khusus

7. INTAN SANI ABDULLAH, Wafat 21 Juli 2022, BTJ-5

8. MUHAMAD ISMAIL MUHAMAD MUSAFAK, Wafat 21 Juli 2022, SOC-8

9. MUS RIBUT UNTUNG, Wafat 21 Juli 2022, SOC-34

10. SUNARTIN NAAMI HINUR, Wafat 20 Juli 2022, BPN-6

11. SIMIN BAKIR USMAN, Wafat 19 Juli 2022, UPG-11

12. MUSTAJI BIN MUKRI, Wafat 19 Juli 2022, SOC-11

13. SENIYAH MUKHIDIN TIRTAMANGGALA, Wafat 18 Juli 2022 SOC-30

14. ALI MUKSIN ABDUL LATIF, Wafat 18 Juli 2022,    SUB-36

15. SAHINUNNAH ABDUL WAHID, Wafat 17 Juli 2022, JKG-4

16. SUNGKONO SAMIAN NGASIJAN, Wafat 17 Juli 2022, SOC-8

17. NURKHARIJAH MUHAMMAD YUNUS, Wafat 17 Juli 2022, BTJ-5

18. FANANI MACHFUDZ MASRICHAN, Wafat 16 Juli 2022, SOC-8

19. ISBIR SALIM HASIB, Wafat 15 Juli 2022, SUB-24

20. SUPARDI WIRYO PRAWIRO, Wafat 15 Juli 2022, JKG-19

21. NURHADIS BUSTAMAM RAIS, Wafat 15 Juli 2022, PDG-5

22. SIBIN DARMAN JIAH, Wafat 14 Juli 2022, LOP-4

23. WATIAH SAIM MUKSIN, Wafat 14 Juli 2022, SUB-17

24. RIADY DJAMIRIN SANMIRSAD, Wafat 13 Juli 2022, SOC-27

25. MARYONO DAMAN KARSO SUWITO, Wafat 13 Juli 2022, SOC-26

26. ISHAK TARMIDI AHMAD, Wafat 13 Juli 2022, JKG-4

27. TUONGKU RAZAI MARUSIN JALI, Wafat 13 Juli 2022, BTH-5

28. SRI BANUN KARTAWI, Wafat 13 Juli 2022, JKG-23

29. MUHAMMAD YASIN MATALI, Wafat 13 Juli 2022, SUB-33

30. SITI AMINAH ALIP RAIS, Wafat 13 Juli 2022, SUB-28

31. ESA BUBA MAHMUD, Wafat 12 Juli 2022, UPG-11

32. DANA WIJAYA ILUNG, Wafat 12 Juli 2022, JKS-30

33. JAJANG SUPARMAN EENG, Wafat 11 Juli 2022, JKS-21

34. LILIK NURHASANAH JUDI, Wafat 11 Juli 2022, SUB-29

35. ERLINA RUMPIA GINTING, Wafat 11 Juli 2022, MES-6    

36. MISLINA SABERAN UDIN, Wafat 11 Juli 2022, BDJ-3

37. SESILIA EMMI DHAMAYANTI, Wafat 11 Juli 2022, JKG-2

38. ABDUL MANAF DAHLAN ABU BAKAR, Wafat 10 Juli 2022, BTJ-1

39. INDRA SAKTI LUBIS, Wafat 9 Juli 2022, MES-4

40. NGATMINAH MOENALI YUSUF, Wafat 9 Juli 2022, SUB-36

41. ROMADHON MASRUKIN MUKHAROR, Wafat 9 Juli 2022, SOC-7

42. TITIK ANDAYANI SUWADI, Wafat 9 Juli 2022, SUB-36

43. KARNO KARTO SIDO, Wafat 9 Juli 2022, SUB-6

44. GIRI SADMOKO DIRDJOPOESPITO, Wafat 9 Juli 2022, JKS-21

45. MAKHULAH SAMIAN PIRAK, Wafat 8 Juli 2022, SUB-4

46. KARNO DAMO ABAS, Wafat 8 Juli 2022, SOC-35

47. JAMHARI JOYO HARJONO, Wafat 7 Juli 2022, JKS-36

48. NUNUNG NURULAEN ABDUL HAMID, Wafat 7 Juli 2022, JKS-12

49. SAWAR TAWI MURJIYA, Wafat 7 Juli 2022, SUB-30

50. ATANG SUTARDI IDI, Wafat 6 Juli 2022, JKS-23

51. ANISAH KOMIS PURBA, Wafat 6 Juli 2022, MES-2

52. NURSIAH DARWIS CIMPIN, Wafat 5 Juli 2022, BTH-5

53. SRIWATI TILAM SARI, Wafat 3 Juli 2022, SUB-38

54. KIROATUL KHOIROH BASARI, Wafat 2 Juli 2022, SUB-37

55. MUHAMMAD RODLI TAMAM, Wafat 1 Juli 2022, SOC-3

56. AAN SUHANAH KEMIS, Wafat 30 Juni 2022, JKG-18

57. ATIH OTONG JUJUNG, Wafat 30 Juni 2022, JKS-38

58. ANTA MISDA JIAM, Wafat 29 Juni 2022, JKS-11

59. NORLIUS ILYAS INTAN KAYO, Wafat 29 Juni 2022, BTH-7

60. YULI NURANI HIDAYAH, Wafat 25 Juni 2022, SOC-27

61. SAMIRAN MUDJIONO KARTOREDJO, Waft 24 Juni 2022, SUB-10

62. FADLILAH MUHAKI AL HAPISA, Wafat 24 Juni 2022, SUB-22

63. ALFIN HARTINI SOENGEB, Wafat 23 Juni 2022, SUB-9

64. SUBAGI DARNOSO DAUD, Wafat 22 Juni 2022, SOC-2

65. SUHARNO MUHAMMAD SUDJIN, Wafat 22 Juni 2022, JKG-10

66. ROCHMA ERVIANA PRASTYAWATI, Wafat 21 Juni 2022, Haji Khusus

67. SUGIANSYAH BASUNI M YAMIN, Wafat 19 Juni 2022, BDJ-3

68. PURNOMO SOKARIYO SASTRO, Waft 18 Juni 2022, SOC-15

69. HASBULLAH BURLIAN MYIM, Wafat 15 Juni 2022, JKS-16

70. MUSLIM ABDUL WAHAB SALAM, Wafat 15 Juni 2022, BTJ-1

71. BAWUK KARSO SAMIRUN, Wafat 13 Juni 2022, SUB-4

72. BANGUN LUBIS WAHID, Wafat 10 Juni 2022, PDG-4

73. SUHATI RAHMAT ALI, Wafat 4 Juni 2022, JKG-1.

IHRAM

Bolehkah Jamaah Haji Membawa Pulang Batu dan Pasir dari Tanah Suci?

Setelah ibadah haji selesai, sejumlah jamaah membawa berbagai macam benda dari tanah haram, termasuk batu dan pasirnya. Dari sebagian mereka menganggap benda yang dibawa dari tanah haram memiliki berkah seperti halnya Makkah maupun Madinah.

Bagaimana hukumnha membawa batu atau pasir dari Tanah Haram?

Pembimbing Ibadah Haji Ustaz Rafiq Jauhary Lc memberikan penjelasan. Menurutnya, jika konteksnya hanya sebatas mengeluarkan batu, kerikil, atau pasir dari Tanah Suci dalam hal ini pendapat para ulama terbagi menjadi tiga:

Pendapat pertama dari Mazhab Hanafiyah mebolehkan jika hanya sebatas membawa batu atau pasir dari Tanah Haram. Pendapat kedua hukumnya makruh menurut Mazhab Syafi’i dan pendapat ketiga, haram.  Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari Mazhab Syafi’i.

“Jadi jika tujuannya spesifik untuk mengharap barakah dari bebatuan atau pasir dari Tanah Suci, maka mayoritas ulama mengharamkannya,” kata Ustaz Rafiq Jauhary saat menjelaskan fenomena banyak jamaah membawa batu atau pasir dari tanah haram, Senin (25/7/2022).

Menurut Ustadz lulusan Darul Hadits al-Ghamidy, Awaly, Makkah ini, hal yang dibolehkan untuk kita harapkan barakah darinya adalah membawa air zamzam pulang ke luar Tanah Suci. Adapun batu-batuan dan pasirnya tidak.

“Akan tetapi teknis membawa air zamzam harus mengikuti regulasi penerbangan,” katanya.

Imam as-Syafi’i dalam kitab alUmm menerangkan dengan jelas:

“Tidak ada kebaikan yang didapat dari perbuatan mengeluarkan bebatuan dari Tanah Haram, begitupun tanahnya keluar Tanah Halal (wilayah di luar tanah suci).” 

Ibnu Hazm al-Andalusi juga menjelaskan dalam al-Muhalla. 

“Tidak diperbolehkan mengeluarkan tanah atau bebatuan sedikit pun dari Tanah Haram ke Tanah Halal.” 

Bahkan ketika Syaikh Utsaimin ditanya bagaimana jika ada seorang diberikan wasiat untuk membawakan pasir, batu, atau air dari Tanah Haram; maka wasiat ini tidak harus ditunaikan.

Lalu bagaimana jika sudah terlanjur terbawa?

Syaikh Utsaimin menjelaskan. Jika memungkinkan maka hendaknya dia mengembalikan atau menitipkan pada orang lain untuk mengembalikannya. Beliau juga mengajarkan untuk banyak beristighfar kepada Allah.

Pendapat Syaikh Utsaimin ini senada dengan ketetapan pada Ensiklopedia Fikih Kuwait, pendapat al-Mawardi dalam al-Hawi, dan apa yang disitir oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’.

Ustadz Rafiq menceritakan, ketika itu, 20 tahun yang lalu, dia diajak oleh ayahhandanya berkunjung ke rumah seorang mualaf di suatu Kota di Jawa Tengah. Dia adalah seorang bakul beras yang baru beberapa saat masuk Islam kemudian langsung mengikuti haji.

Ia menceritakan bahwa di antara alasannya tertarik untuk berhaji walaupun baru masuk Islam adalah karena menurut temannya, orang yang berhaji kemudian membawa pulang batu yang digunakan untuk lempar jumrah, maka batu ini bisa menjadi pesugihan.

Namun begitu sampai di rumah, dia justru merasa tidak tenang, merasa bersalah karena mengikuti saran temannya untuk membawa pulang batu tersebut. Seorang mualaf itu meminta bantuan orang tua Ustadz Rafiq untuk mengembalikan batu itu ke tanah haram.

“Dia ingin bapak saya membawakan batu itu kembali ke Tanah Suci dan bertaubat atas perbuatannya,” katanya.

Menurut Ustaz Rafiq sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia adalah membawa pasir Makkah ke Indonesia sebagai oleh-oleh. Mungkin ini terbawa kebiasaan ketika mereka main ke pantai dan membawa pulang pasir pantai ke rumahnya.

IHRAM

Bulan Muharam antara Keutamaan dan Kesesatan

Muharam adalah bulan pertama dalam kalender hijriyah, salah satu dari bulan suci yang empat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita hukum-hukum yang terdapat di dalamnya, baik itu yang bersumber dari Al-Qur’an maupun yang bersumber dari sunah beliau yang mulia.

Keutamaan bulan Muharam

Ia termasuk salah satu bulan yang Allah Ta’ala agungkan dan Allah Ta’ala sebutkan di dalam kitab sucinya.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهور عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Allah muliakan bulan ini di antara bulan-bulan lainnya, hingga dinamai dengan nama yang dinisbatkan langsung kepadanya “Bulan Allah Al-Muharram”, sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap bulan ini dan sebagai tanda bahwa Allah Ta’ala sendirilah yang mengagungkan dan mengharamkan bulan Muharram ini. Sehingga tidak pantas dan tidak boleh seorang pun dari makhluk-Nya yang menghalalkannya dan melanggarnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan perkara ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الذي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya waktu berputar ini sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Di antara dua belas bulan itu, ada empat bulan suci (Syahrul Haram). Tiga bulan berurutan: Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam, kemudian bulan Rajab suku Mudhar di antara Jumadilakhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 4406 dan Muslim no. 1679)

Sebagian ulama menguatkan bahwa Muharam adalah bulan haram/suci paling mulia. Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Latha’if Al-Ma’arif mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang bulan haram apa yang paling mulia? Al-Hasan dan yang lainnya mengatakan, “Yang paling mulia adalah Muharam”; dan ini juga dikuatkan oleh beberapa ulama’ masa kini.”

Yang menguatkan hal tersebut adalah hadis yang dirawayatkan oleh Imam An-Nasa’i rahimahullah dan yang selainnya dari sahabat Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

سألتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أيُّ اللَّيلِ خيرٌ، وأيُّ الأشهُرِ أفضَلُ؟ فقال: خيرُ اللَّيلِ جَوفُه، وأفضَلُ الأشهُرِ شَهرُ اللهِ الذي تَدْعونَه المُحَرَّمَ

“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Malam apakah yang paling baik dan bulan apakah yang paling  utama?’ Beliaubersabda, ‘Sebaik–baik malam adalah pertengahannya, dan seutama–utamanya bulan adalah bulan Allah yang kalian sebut dengan nama Al-Muharram.’” (HR. An-Nasai no. 4216 dalam As-Sunan Al-Kubra)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Penyebutan Muharam di dalam hadis sebagai “bulan paling mulia” maksudnya adalah bulan yang paling mulia setelah bulan Ramadan.”

Beberapa hukum yang menunjukkan kemuliannya

Pertama: Haramnya berperang atau memulai peperangan di bulan ini serta besarnya dosa maksiat di dalamnya.

Para ulama berselisih pendapat apakah hukum larangan berperang ini sudah terhapus dan sudah tidak berlaku lagi ataukah masih berlaku hingga saat ini? Menurut pendapat yang rajih, yaitu pendapatnya mayoritas ulama bahwa hukumnya sudah terhapus dan sudah tidak berlaku lagi.

Imam Al-Aluusi rahimahullah dalam kitab tafsirnya Ruuhul M’aani mengatakan,

والجمهور على أن حرمة المقاتلة فيهن منسوخة ، وأن الظلم مؤول بارتكاب المعاصي ، وتخصيصها بالنهي عن ارتكاب ذلك فيها ، مع أن الارتكاب منهي عنه مطلقا لتعظيمها ، ولله سبحانه أن يميز بعض الأوقات على بعض ، فارتكاب المعصية فيهن أعظم وزرا كارتكابها في الحرم وحال الإحرام

“Jumhur ulama berpendapat bahwa pelarangan perang di bulan-bulan haram hukumnya telah dihapus. Bahwa ‘adz-dzulmu’ (kezaliman) di dalam ayat dimaknai dengan berbuat kemaksiatan (bukan peperangan). Adapun pengkhususan larangan berbuat maksiat di dalam bulan-bulan tersebut meskipun bermaksiat itu terlarang secara mutlak, adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap kedudukan bulan-bulan haram ini. Dan Allah Ta’ala berhak untuk membedakan satu waktu dengan waktu yang lain. Maka, bermaksiat di bulan-bulan haram dosanya lebih besar, layaknya bermaksiat di tanah suci dalam kondisi sedang ihram.”

Kedua: Anjuran memperbanyak puasa di dalamnya.

Memperbanyak puasa di bulan Muharam termasuk puasa sunah yang paling utama berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَفْضَلُ الصِّيامِ، بَعْدَ رَمَضانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ، وأَفْضَلُ الصَّلاةِ، بَعْدَالفَرِيضَةِ، صَلاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah (puasa) di bulan Allah (yaitu) Muharam. Sedangkan salat yang paling utama setelah (salat) fardu adalah salat malam.” (HR. Muslim no. 1163).

Namun, harus kita ketahui, terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa selama sebulan penuh, kecuali pada bulan Ramadan. Maka, hadis di atas dapat dipahami bahwa hendaknya memperbanyak ibadah puasa pada bulan Muharam, namun bukan berpuasa selama sebulan penuh di bulan tersebut.

Keutamaan berpuasa ini lebih ditekankan lagi pada tanggal 10 bulan Muharam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang berpuasa di hari tersebut, lalu beliau menjawab,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Dan puasa hari Asyura saya berharap kepada Allah dapat menghapus (dosa) tahun sebelumnya.” (HR. Muslim no. 1162)

Disunahkan untuk berpuasa pada tanggal sembilan juga, berdasarkan hadis,

لَئِنْ بَقِيتُ أو لئِنْ عِشْتُ إلى قابلٍ لأصومَنَّ التاسِعَ

“Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan, maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim no. 1134 dan Ibnu Majah no. 1736)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa tujuan berpuasa di hari kesembilan adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi,

خالِفوا اليَهودَ وصوموا التَّاسِعَ والعاشِرَ

“Selisihilah orang Yahudi, berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh (di bulan Muharram).” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 108).

Kesesatan dan kebid’ahan di bulan Muharram

Selain banyaknya keutamaan yang dimiliki oleh bulan Muharam ini, sayangnya masih banyak sekali kesesatan dan kebid’ahan yang dilakukan sebagian kaum muslimin pada bulan ini. Baik itu bergembira ria, memakai celak, mengenakan baju baru, bakti sosial, ataupun menjadikan hari kesepuluh, hari Asyura sebagai hari kesedihan atas wafatnya Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Sungguh kesemuanya itu jelas merupakan kebid’ahan yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.

Padahal nabi dengan jelas menyebutkan,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Kesesatan pada hari Asyura sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Sholeh Fauzan hafidzhahullah secara umum terbagi menjadi 2.

Yang pertama adalah kelompok yang menyerupai orang-orang Yahudi; dimana mereka menjadikan hari Asyura sebagai hari perayaan dan hari bergembira. Mereka menyemir rambut, memakai celak, membagikan angpau untuk keluarga, memasak makanan di luar kebiasaan, dan yang semisalnya dari perbuatan orang-orang bodoh, yang menyikapi kebid’ahan dengan kebid’ahan lainnya.

Yang kedua adalah kelompok yang menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan ratapan karena terbunuhnya Alhusein bin Ali radhiyallahu anhuma. Di mana pada hari tersebut mereka menampakkan kebiasaan-kebiasaan orang jahiliyah baik itu menampar pipi, merobek kerah baju, melantunkan bait-bait kesedihan, serta menceritakan kisah-kisah yang penuh dengan kebohongan. Tentu tujuan dari semua itu adalah membuka pintu fitnah dan perpecahan di antara umat. Inilah perbuatan orang-orang tersesat, yang menganggap bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah perbuatan baik. Mereka adalah orang-orang yang lebih buruk dari khawarij yang mudah menumpahkan darah dan merekalah yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadisnya,

يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإسْلَامِ، وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأوْثَانِ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإسْلَامِ كما يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Mereka membunuh para pemeluk Islam, namun membiarkan para penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari binatang buruannya. Jika aku mendapati mereka, sungguh aku akan memerangi mereka sebagaimana kaum ‘Ad diperangi.” (HR. Bukhari no. 4351 dan Muslim no. 1064)

Allah Ta’ala telah memberikan hidayah kepada ahlussunnah. Mereka hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berpuasa di dalamnya dengan tetap menjaga diri agar tidak menyerupai kaum Yahudi serta menjaga diri dari kebid’ahan yang berasal dari bisikan setan.

Para ahli ilmu telah menjelaskan, bahwa tidak ada amal ibadah khusus yang disyariatkan pada hari asyura, kecuali berpuasa. Tidak ada syariat untuk menghidupkan dan mengisi malamnya, atau memakai celak, dan memakai wewangian di dalamnya, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu A’lam Bisshawaab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77105-bulan-muharram-antara-keutamaan-dan-kesesatan.html