Hadapi Fitnah, Ada Delapan Sikap yang Sebaiknya Dilakukan

Jika Anda dituduh dan difitnah oleh seseorang, padahal Anda yakin tidak bersalah maka ada delapan sikap yang sebaiknya kita lakukan. Pertama, hendaklah kita cek dan kita pelajari lagi jangan-jangan yang dituduhkan orang lain itu benar. Jika ternyata kita salah, jangan malu dan gengsi mengakui kesalahan dan mengikuti kebenaran.

Meskipun, cara orang yang menasihati kita kasar atau mungkin bermaksud tidak baik. Kedua, memperbaiki ucapan atau tindakan kita yang menjadi penyebab orang memfitnah kita. Misalnya, bendahara masjid dituduh mencuri uang kas disebabkan tidak transparannya laporan keuangan. Maka, hendaknya dibuat laporan yang rapi dan jelas.

Jika seseorang dituduh “nakal” karena sering bergaul dengan orang-orang “nakal”, selektiflah dalam memilih sahabat. Ketiga, ingatlah akan aib dan dosa kita. Syekh Salim Al Hilali berkata, “Kalau Anda bersih dari kesalahan yang dituduhkan itu, tapi sejatinya Anda tidak selamat dari kesalahan-kesalahan lain karena sesungguhnya manusia itu memiliki banyak kesalahan. Kesalahanmu yang Allah tutupi dari manusia jumlahnya lebih banyak. Ingatlah akan nikmat Allah ini di mana Ia tidak perlihatkan kepada si penuduh kekurangan-kekuranganmu lainnya ….” (Dinukil dari buku Ar Riyaa halaman 68).

Keempat, hendaklah kita merenung dan mengevaluasi kesalahan dan dosa-dosa kita. Baik yang berhubungan dengan muamalah antara manusia, maupun dosa-dosa antara kita dengan Allah. Tuduhan dan fitnahan bisa jadi merupakan teguran agar kita kembali dan bertobat kepada Allah. Kelima, jika kita sabar dan ikhlas, semoga tuduhan dan fitnahan ini dapat mengurangi/menghapus dosa, menambah pahala, dan meningkatkan derajat kita di sisi-Nya.

Keenam, doakanlah si penuduh agar Allah memberi petunjuk. Jika memungkinkan, nasihatilah dia secara langsung maupun melalui sindiran agar dia bisa sadar dan bertobat. Maafkan dia, tapi kita boleh membalas untuk suatu kemaslahatan asalkan tidak melampaui batas. (Lihat surah Asy Syuuraa 40-43). Jika terpaksa, doakanlah keburukan untuk si zalim agar ia menjadi sadar dan bertobat.

Ketujuh, shalat istikharah untuk meminta bimbingan Allah cara yang tepat mengklarifikasi atau membela diri. Meladeni dan membantah terkadang justru membuka pintu keburukan untuk kita. Bisa jadi, klarifikasi tanpa menyebutkan tentang tuduhan mengenai dirinya dan tanpa menyebutkan nama penuduh akan banyak memberikan manfaat untuk umat.

Kedelapan, yakinlah musibah tuduhan merupakan kebaikan untuk Anda. Si penuduh yang merugi karena dia telah melakukan kejahatan dan berhak memperoleh azab-Nya. Allah berfirman, “…. Janganlah kamu mengira berita (bohong) itu buruk bagi kamu, bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapatkan dosa yang diperbuatnya ….” (Surah an Nuur 11).

“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (Surah an Nuur 23). Semoga kita menjadi orang yang takut kepada Allah dengan tidak mudah menuduh orang lain tanpa bukti dan dapat menyikapi dengan bijaksana saat mendapat fitnah. n

Oleh: Fariq Gasim Anuz

IHRAM

Jazakallah dan Ucapan Terima Kasih

SERING kita mendengar orang mengucapkan jazakallah sebagai ungkapan terima kasih. Apa makna Jazakallah dan Ucapan Terima Kasih?

Setiaporang memahami bahwa ketika menerima kebaikan dari orang lain, sewajarnya mereka mengucapkan terima kasih kepada orang yang darinya ia memperoleh kebaikan tersebut.

Hal tersebut tidak hanya tradisi yang ada di tengah masyarakat, namun juga menjadi kewajiban yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan kepada setiap muslim sebagai bentuk bersyukur atas kenikmatan yang diberikanNya, meskipun itu melalui tangan-tangan orang lain, banyak ataupun sedikit.

Berterima kasih adalah suatu keharusan, namun akan lebih bernilai pujian di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala jika bentuk terima kasih tersebut diwujudkan dalam bentuk doa, pujian terhadap kebaikan orang lain.

Sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam kitab Zawaid, dengan isnad yang hasan, Rasulullah bersabda:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

“Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat yang sedikit, maka ia tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang banyak.” [HR: Ahmad]

Berterima kasih adalah bentuk balasan yang paling sederhana pada orang yang memberikan sesuatu pada kita. Namun ada kata yang lebih bernilai untuk diucapkan dibandingkan frasa “terima kasih”. Kata itu adalah “Jazakallah khairan” yang berarti semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kenapa Jazakallah Khairan lebih bernilai dibanding terimah kasih? Karena “Jazakallahu Khairan” terkandung doa, sedang “terima kasih” tidak ada doa.

Jazakakallah Khairan atau Jazakumulullahu Khairan berasal dari kata dasa “Jazaakallah ” (semoga Allah memberimu/membalasmu). Jadi جَزَاكَ اللهُ artinya “semoga Allah akan memberi/menambah/membalasmu”, ini digunakan sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikan seseorang dan sekaligus sebagai sebuah do’a semoga Allah akan membalas kebaikannya.

“Jazakumullah” (جَزَاكُمُ اللهُ) artinya “semoga Allah akan memberi/menambah/membalas kalian” (digunakan ungkapan jamak/orang banyak).

Penggunaan kalimat Jazakallah atau Jazakumullah sebenarnya masih kurang lengkap. Akan lebih lebih lengkap jika disambung “Khairan Katsiran” jadinya “Jazakumullahu Khairan Katsira” (خَيْرًا كَثِيْرًا جَزَاكُمُ اللهُ).

Khairan artinya kebaikan, sedangkan Katsiran artinya banyak, jadi ‘Khairan Katsiran‘ artinya kebaikan yang banyak.

Hadit berikut ini mungkin bisa sedikit menjelaskan tentang dasar dari penggunaan istilah tersebut di atas. Dari Usamah bin Zaid r.a bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda :

من صُنِعَ إليه مَعْرُوفٌ فقال لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ الله خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ في الثَّنَاءِ

“Barangsiapa yang diberikan satu perbuatan kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan “jazaakallahu khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.” [HR. At-Tirmidzi (2035)]

Nah, mulai sekarang gantilah ucapan terima kasih lebih bernilai dan berdampak pahala, maka lebih baik kita menggantinya dengan “Jazakallah Khairan Katsira”.  Wallahu ‘alam bi ash shawwab.*/ Meyra Kris Hartanti

HIDAYATULLAH

Menunda Bayar Hutang, Apa Akibatnya?

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dalam proses hidup bermasyarakat. Di mana satu dengan lainnya saling mengisi dan membantu. Dan ini sesuai dengan isyarat dari al-Quran bahwa manusia harus saling tolong menolong dalam kebaikan.

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)

Lewat ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan setiap mukmin untuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketaatan dan melarang mereka untuk saling membantu dalam kebatilan. (Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir, 5/18)

Termasuk dalam kategori tolong-menolong adalah memberikan pinjaman hutang sebagai bantuan finansial. Hal ini lumrah dalam kehidupan masyarakat, bahkan boleh jadi begitu dekat. Di mana praktik pinjam meminjam sangat lazim dan biasa di kehidupan sosial masyarakat mulai dari strata sosial bawah sampai pejabat dan konglomerat.

Tapi yang perlu jadi perhatian adalah bagaimana Islam mengatur urusan pinjam-meminjam tersebut agar berjalan baik dan tidak menimbulkan gesekan sosial antara yang berhutang dan yang memberi piutang.

Karena tidak jarang, urusan hutang-piutang ini berbuntut panjang. Mulai dari tidak adanya bukti pinjam-meminjam, atau berkelitnya si peminjam dari pelunasan, menunda-nunda pembayaran, sampai tidak mau bayar hutang. Dan tidak jarang yang berhutang lebih galak dari yang memberi piutang.

Aturan Syariat Islam tentang Hutang Piutang

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan tuntunan dalam urusan muamalah hutang-piutang. Paling tidak ada dua hal mendasar yang perlu jadi perhatian dalam hutang-piutang. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 282:

Pertama, terdokumentasi dengan baik. Mencakup tanggal, waktu, jumlah pinjaman, waktu pengembalian, dsb.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Kedua, adanya dua saksi yang adil dalam transaksi hutang-piutang.

وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحۡدَىٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.”

Dua poin di atas jadi landasan yang diatur oleh Islam perihal hutang-piutang. Dan hal tersebut akan menjaga keberlangsungan akad dengan baik, atau paling tidak menutup celah adanya unsur kezaliman di antara dua pihak.

Karena tidak dipungkiri, lupa adalah penyakit manusia. Siapa pun bisa lupa, maka menjadi penting untuk melakukan dokumentasi dengan baik perihal jumlah, penanggalan dan sebagainya.

Juga soal saksi ini tidak kalah penting, di mana saat salah satu dari pihak yang terlibat akad hutang-piutang berkelit, maka ada dua saksi yang akan memberikan penguatan di depan pengadilan, jika urusan ini membesar dan butuh diangkat di meja hijau.

Bahkan pihak pemberi piutang atau yang memberi pinjaman boleh mengambil jaminan jika tidak adanya dokumen catatan ataupun saksi dalam akad pinjam-meminjam tersebut. kecuali dua belah pihak memiliki rasa saling percaya untuk tidak melakukan tersebut.

وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ

Sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Materi Khutbah Jumat: Peristiwa Mendebarkan Setelah Kematian Prinsip keadilan adalah prinsip dasar Islam, di mana setiap muslim wajib memberikan hak sesuai dengan tempatnya, dalam arti menunaikan hak kepada yang berhak, termasuk di sini adalah soal hutang.

Maka konsepsi penulisan dan persaksian dalam soal hutang piutang ini adalah sebagai bentuk penjagaan syariat terhadap harta manusia (hifdzul mal), yang mana hal tersebut merupakan satu dari lima hal asasi yang dijaga dalam syariat. (Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, 4/464)

Soal lain yang juga penting menjadi perhatian dalam urusan hutang-piutang adalah ketepatan pembayaran sesuai kesepakatan. Dan ini sering sekali diabaikan, padahal ini termasuk janji yang harus ditepati. Urgensi memenuhi janji banyak disebut Allah dalam al-Quran salah satunya firman Allah Ta’ala:

وأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡ‍ُٔولٗا

Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra’: 34)

Menepati janji dalam ayat ini terkait hak-hak Allah dan juga hak-hak hamba. Maka jika hak (janji) itu dipenuhi dengan baik, Allah akan berikan pahala darinya. Jika tidak ditunaikan maka Allah janjikan azab yang pedih. (Taisir al-Karim ar-Rahman, Abdurrahman as-Sa’di, 526)

Hati-hati Soal Hutang

Kasus hutang-piutang sering menjadi penyebab retaknya hubungan, atau bahkan sampai kepada permusuhan yang berujung pembunuhan. Karena urusan uang, nyawa orang bisa melayang.

Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Salah satunya hilangnya semangat tolong-menolong dalam kebaikan yang harusnya jadi asas akad pinjam-meminjam tersebut.

Karena jika yang memberi piutang memberikan pinjaman dengan tendensi merampas dan memanfaatkan kelemahan finansial si peminjam, maka yang terjadi adalah kezaliman. Maka akan muncul syarat-syarat yang memberatkan, konsekuensi-konsekuensi yang menyulitkan dan tidak jarang pinjaman berbunga dengan tujuan debt trap (jebakan hutang) jadi andalan.

Begitu juga di pihak si peminjam. Jika semangat yang dibangun sejak awal dari pinjaman tersebut sekedar cari untung semata untuk kemudian melarikan diri dari tanggungan, maka hal tersebut termasuk dari dosa besar dan perbuatan tercela.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Shuhaib al-Khair radhiyallahu ‘anhu:

أًيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْناً وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللهَ سَارِقاً

Siapa saja  yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) sebagai seorang pencuri.” (HR. Ibnu Majah, hadist ini hasan shahih menurut Syaikh al-Albani)

Urusan hutang-piutang bukanlah urusan remeh semata, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di banyak hadist mengingatkan tentang perkara hutang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin itu tergantung karena hutangnya sampai dibayarkan.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Imam al-Iraqi sebagaimana dinukil oleh Imam al-Mubarakfuri menjelaskan makna hadis ini, bahwa jiwa seorang mukmin yang memiliki hutang akan ditangguhkan (pada hari kiamat), sampai ada kejelasan status hutangnya, apakah telah dibayarkan atau belum. (Tuhfatu al-Ahwazi, al-Mubarakfuri, 4/164)

Soal hutang juga menjadi penyebab terhalangnya seseorang masuk ke dalam Surga. Bahkan mereka yang meninggal sebagai syuhada sekalipun akan tertahan karena disebabkan oleh hutang yang mereka miliki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ أُحْيِيَ، ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ، ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ، مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ.

Demi jiwaku yang berada di Tangan-Nya, sekiranya seseorang terbunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lagi, kemudian terbunuh lagi, lalu dihidupkan kembali dan kemudian terbunuh lagi, sedangkan ia memiliki tanggungan hutang, ia tidak akan masuk Surga sampai hutangnya dibayarkan.” (HR. An-Nasai(

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga punya kebiasaan yang dihafal betul oleh para sahabat. Yaitu, jika ada yang meninggal dunia, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan bertanya perihal hutang yang dimiliki oleh si mayit.

Jika mayit memiliki tanggungan hutang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan menyalatkannya sampai ada yang membayarkan hutangnya atau ada yang menjadi penanggung atas hutang-hutang tersebut.

Hal tersebut menunjukkan betapa urusan hutang ini adalah urusan yang pelik dalam agama. Maka hendaknya seseorang tidak berhutang kecuali dalam keadaan terpaksa. (Fathu al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/547)

Hutang memang dibolehkan, namun para ulama mewanti-wanti dalam urusan ini, bahkan mereka memberi beberapa syarat sebelum berhutang. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, ada tiga syarat sebelum berhutang:

Pertama, hendaknya seseorang yang akan berhutang berniat untuk melunasi hutangnya.

Kedua, hendaknya seseorang yang berhutang memiliki kemampuan atau punya kemungkinan besar untuk bayar hutang.

Ketiga, hendaknya hanya berhutang dalam perkara-perkara yang masyru’ saja. (At-Tamhid, Ibnu Abdil Barr, 23/238)

Segera Lunasi, Jangan Tunda Bayar Hutang

Adalah Ibnu Mubarak rahimahullah yang pernah meminjam sebuah pena saat rihlahnya di negeri Syam. Qadarullah pena tersebut terbawa hingga ia kembali ke kampung halamannya di kota Merv (Marwa) yang ada di Khurasan.

Ibnu Mubarak baru sadar ketika ia memeriksa bawaannya, yang ternyata pena pinjaman tersebut tidak sengaja ia bawa bersamanya. Dan apa yang kemudian dilakukan ulama yang dikenal sebagai abid dan zahid atas sebuah pena tersebut. Ia memutuskan kembali melakukan perjalanan ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut.

Mari renungi, hanya karena sebuah pena bulu angsa yang pasti harganya tidak seberapa, tapi Abdullah bin Mubarak rela melakukan perjalanan nyaris 2.900 km untuk kembali ke Syam guna mengembalikan sebuah pena yang dipinjamnya.

Materi Khutbah Jumat: Karena Bertobat Jadi Kuat Memikul Derita Berat Maka hal tersebut ia lakukan tidak lain karena sikap wara’-nya dan perhatiannya terhadap pinjaman. Tentang hutang. Yang harus segera dikembalikan tanpa ditunda-tunda (Tarikh al-Baghdad, Imam adz-Dzahabi, 10/160)

Sungguh tidak terhormat dan berdosa sekali bagi mereka yang memiliki hutang, dan juga memiliki kemampuan untuk segera bayar hutang, tapi justru ia menunda-nunda. Padahal boleh jadi si pemilik piutang itu adalah tetangga sendiri, teman, atau orang-orang yang berdekatan, yang hanya berjarak selemparan batu. Tapi ia menunda-nunda hak tersebut untuk ditunaikan. Wallahu a’lam

(Fajar Jaganegara/dakwah.id)

3 Perkara yang Seandainya Semua Orang Mengetahui, Mereka Akan Lari Seperti Unta Untuk Memburunya

Di hari jumat yang penuh berkah ini, semoga kita selalu diberikan ridho untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah.

Di hari Jumat ini semoga kita dapat berangkat sholat Jumat lebih awal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini,

“Ada tiga perkara yang seandainya semua orang mengetahui apa yang ada di dalamnya, tentu mereka akan lari seperti unta untuk memburunya. Ketiganya adalah azan, barisan paling depan, dan berangkat shalat Jumat lebih awal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Mari sahabatku, kita sama-sama berlomba dalam mengejar kebaikan di hari ini.

Semoga Alloh membimbing dan menerima setiap amalan kebaikan yang kita lakukan hari ini.

MUSLIM TERKINI

Inilah 5 Tingkatan Khusyuk dalam Shalat

DALAM proses mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wajalla (taqarrub ilallah), beda orang beda kemampuan, beda semangat, dan beda kesungguhan. Tingkatan khusyuk dalam shalat salah satunya menjadi ukuran.

Ibarat kompetisi balap mobil, ada peserta yang berada di posisi paling depan, di pertengahan, sejajar dengan peserta lain, ada pula yang tertinggal jauh di belakang. Posisi mobil mereka ini bergantung pada kemampuan berlarinya mobil.

Demikian pula dalam urusan khusyuk dalam shalat. Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam urusan khusyuk dalam shalat.

Perbedaan ini muncul karena faktor tingkat kehadiran hati, tingkat kelalaian, konsentrasi, dan berpalingnya hati dari mengingat Allah ‘azza wajalla saat shalat.

Ibnul Qayyim (w. 751H) mengklasifikasikan manusia dalam beberapa tingkatan terkait tingkat khusyuk dalam shalat. Konsepsi beliau tentang tingkat khusyuk dalam shalat ini dapat dijumpai dalam kitab al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayyib (hal. 23)

Tingkatan Khusyuk dalam Shalat  yang pertama, orang yang menzalimi dan menelantarkan diri sendiri. Az-Zalim li nafsih.

Tingkatan ini ditempati orang yang tidak menjaga kesempurnaan wudhu, waktu-waktu shalat, batasan-batasan serta rukun-rukunnya.

Tingkatan Khusyuk dalam Shalat  yang kedua, orang yang memelihara waktu-waktu shalat, batasan-batasannya, rukun-rukun lahiriahnya, dan wudhunya.

Hanya saja ia mengesampingkan upaya untuk melawan bisikan jiwa. Sehingga, ia terbawa oleh bisikan-bisikan jiwa dan pikiran-pikiran.

Tingkatan Khusyuk dalam Shalat  yang ketiga, orang yang menjaga batasan-batasan shalat dan rukun-rukunnya, serta berusaha kuat melawan bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran.

Ia sibuk melawan musuhnya agar tidak mencuri shalatnya, maka ia berada dalam shalat dan jihad.

Tingkatan Khusyuk dalam Shalat  yang keempat, orang yang bila berdiri untuk shalat ia menyempurnakan hak-hak shalat, rukun-rukunnya, serta batasan-batasannya.

Hatinya tenggelam memelihara batasan-batasan dan hak-haknya, supaya ia tidak menyia-nyiakannya sedikit pun darinya. Bahkan seluruh perhatiannya tercurah untuk menegakkan shalat sebagaimana mestinya, dan selalu berusaha menyempurnakannya.

Hatinya tenggelam dalam urusan shalat dan penghambaannya pada Rabb dalam shalat.

Tingkatan Khusyuk dalam Shalat  yang  kelima, orang yang bila berdiri shalat, ia melakukannya seperti tingkatan keempat.

Tapi selain itu, orang ini telah mengambil hatinya dan meletakkannya di hadapan Rabb seraya melihat-Nya dengan hatinya, merasa diawasi oleh-Nya, penuh cinta dan mengagungkan-Nya, seolah-olah ia melihat dan memandang-Nya.

Bisikan-bisikan, pengalihan-pengalihan, dan was-was dalam jiwa yang mengganggu itu telah meredup. Penghalang antara ia dan Allah telah terangkat.

Maka jarak antara tingkatan orang ini dan tingkatan lainnya perihal khusyuk dalam shalat lebih jauh dibanding jarak antara langit dan bumi.

Dalam shalat ia sibuk bermunajat dengan Rabb, bahagia dengan-Nya. []

SUMBER: DAKWAH.ID

ISLAMPOS

Cara Rasulullah Merawat Kesehatan Mata

Di antara bagian tubuh yang sangat diperhatikan oleh Rasulullah Saw kesehatannya adalah mata. Rasulullah Saw punya cara tersendiri untuk selalu menjaga kesehatan mata. Dalam kitab Muhammad Al-Insan Al-Kamil, Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan bahwa cara Rasulullah merawat kesehatan mata adalah dengan bercelak, terutama setiap hendak menjelang tidur. 

Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki berkata;

اعتناؤه بعينه: قال ابن عباس رضي الله عنهما: ان النبي صلى الله عليه وسلم كانت له مكحلة يكتحل منها كل ليلة ثلاثة في هذه وثلاثة في هذه

Perhatian Rasulullah Saw terhadap matanya; Ibnu berkata; Sesungguhnya Nabi Saw memiliki tempat celak yang mana beliau bercelak darinya setiap malam, tiga kali di mata satunya dan tiga kali di mata yang lain.

Ini juga sesuai dengan hadis riwayat Imam Ahmad, dari Abdullah bin Abbas, dia berkata;

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْتَحِلُ بِالْإِثْمِدِ كُلَّ لَيْلَةٍ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ وَكَانَ يَكْتَحِلُ فِي كُلِّ عَيْنٍ ثَلَاثَةَ أَمْيَالٍ

Sesungguhnya Nabi  Saw bercelak dengan istmid (batu hitam yang biasa digunakan untuk bercelak), setiap malam tatkala menjelang tidur, dan beliau bercelak tiga kali pada setiap matanya.

Selain itu, Rasulullah Saw memerintahkan kepada para sahabatnya untuk senantiasa bercelak. Ini karena bercelak memiliki banyak faidah untuk menjaga kesehatan mata. Dengan bercelak, mata menjadi bersih dari kotoran, pandangan mata tetap jernih sehingga bisa memandang dengan jelas dan terang, dan juga bisa menumbuhkan bulu mata sehingga mata terlihat lebih indah.

Terdapat beberapa hadis yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw mengenai manfaat bercelak ini. Di antaranya adalah hadis riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Abbas, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

اكْتَحِلُوا بِالإِثْمِدِ فَإِنَّهُ يَجْلُو البَصَرَ وينبت الشعر

Bercelaklah kalian dengan itsmid, karena  hal itu dapat menjernihkan pandangan mata dan menumbuhkan bulu mata.

Di antara para sahabat yang sangat perhatian menjaga kesehatan matanya dengan cara bercelak ini adalah Sayidina Utsman. Beliau senantiasa bercelak dan menyuruh sahabat yang lain untuk bercelak untuk menjaga kesehatan mereka. 

Dalam kitab Tafsir Al-Baghawi, Imam Al-Baghawi menyebutkan sebuah riwayat bahwa Sayidina Utsman pernah berkata; 

عليكم بالكحل ، فإنه ينبت الشعر ويشد العين

Bercelaklah kalian, karena itu dapat menumbuhkan bulu mata dan menguatkan mata.

Dengan demikian, cara Rasulullah Saw merawat kesehatan mata adalah dengan cara bercelak. Adapun waktu paling baik untuk bercelak adalah ketika hendak tidur, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

BINCANG SYARIAH

Cara Rasulullah Menjaga Kesehatan Mulut dan Gigi

Menjaga kesehatan mulut dan gigi merupakan salah satu rutinitas yang dilakukan oleh Rasulullah Saw setiap hari. Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesehatan mulut dan giginya. Dalam kitab Muhammad Al-Insan Al-Kamil, Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan dua cara Rasulullah dalam menjaga kesehatan mulut dan gigi.

Pertama, takhlilul asnan atau membersihkan gigi dari sisa kotoran makanan. Setiap kali selesai mengkonsumsi makanan tertentu, maka Rasulullah Saw segera menyela-nyelahi giginya agar sisa makanan terbuang dan tidak menempel di gigi. 

Oleh karena itu, menurut para ulama, takhlilul asnan setelah mengkonsumsi makanan adalah sunnah. Ini karena selain telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, juga takhlilul asnan dapat membersihkan mulut dan kotoran.

Dalam kitab Al-Mu’jam Al-Ausath, Imam Al-Thabrani menyebutkan sebuah riwayat yang bersumber dari Abdullah bin Mas’ud;

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَخَلَّلُوْا فَإِنَّهُ نَظَافَةٌ وَالنَّظَافَةُ تَدْعُوْ إِلَى الْإِيْمَانِ وَالْإِيْمَانُ مَعَ صَاحِبِهِ فِى الْجَنَّةِ

Rasulullah Saw bersabda; Buanglah sisa-sisa makanan di gigimu, karena perbuatan itu adalah kebersihan, dan kebersihan itu akan mengajak (menggiring) kepada iman, dan iman itu akan bersama orang yang memilikinya dalam surga.

Dalam kitab Lubabul Hadis, Imam Al-Suyuthi menyebutkan sebuah riwayat sebagai berikut;

قال صلى الله عليه وسلم: رَحِمَ الله المُتَخَلِّلينَ مِنْ أمَّتِي في الوُضُوءِ وَالطَّعامِ.

Rasulullah Saw bersabda; Semoga Allah merahmati orang-orang dari umatku yang mau menyela-nyelahi (anggota wudhu) di dalam wudhu dan menyela-nyelahi (gigi) dari sisa makanan.

Kedua, senantiasa memakai siwak. Menurut Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki, di antara perhatian Rasulullah Saw terhadapat kesehatan mulut dan gigi beliau adalah dengan cara selalu bersiwak, terutama ketika hendak wudhu, melaksanakan shalat, hendak tidur dan bangun dari tidur, serta ketika hendak masuk rumah dan keluar rumah. 

Dalam hadis riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam Al-Nasa’i dari Sayyidah ‘Aisyah, Nabi Saw bersabda;

السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ وَمَجْلاَةٌ لِلْبَصَرِ

Memakai siwak itu mengharumkan mulut, membuat Allah ridha dan membuat terang mata.

Dalam hadis lain riwayat Imam Al-Bukhari dari Huzaifah bin al-Yaman, dia berkata;

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ، يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

Nabi Saw apabila bangun malam, beliau membersihkan mulutnya dengan bersiwak.

Dengan demikian, cara Rasulullah Saw dalam menjaga kesehatan mulut dan giginya adalah dengan cara takhlilul asnan setelah makan dan senantiasa bersiwak. Karena itu, kita sebagai umatnya, hendak kita menjaga kesehatan mulut dan gigi kita dengan cara menghilangkan kotoran sisa makanan dengan cara melakukan sikat gigi, dan juga senantiasa bersiwak sebagaimana telah dicontohkan oleh beliau. 

BINCANG SYARIAH

Menyembunyikan Kebenaran, Bisa Menjadi Terhalangnya Hidayah

Sombong dan menyembunyikan kebenaran, bisa menjadi terhalangnya hidayah yang datang dari Allah Azza Wa Jalla

KEBODOHAN, kesombongan dan menyembunyikan kebenaran, bisa menjadi penyebab terhalangnya seseorang mengenal Islam dan terhalangnya hidayah. Apalagi jika  ia memiliki rasa benci.

Patut disesalkan, adanya kebodohan terhadap hakikat Islam yang tengah melanda kaum Muslimin akhir-akhir ini. Bahkan di antara mereka ada yang berkata, “Apabila aku bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla, dan kembali ke jalan Allah Azza wa Jalla kemudian beramal shaleh maka rezeki akan menjadi sempit bagiku dan akan mempersulit pekerjaanku. Jika aku kembali dalam kemaksiatan dan mengikuti kemauan hawa nafsuku justru rezeki akan mengalir kepadaku dan banyak orang yang membantuku.”

Ini adalah tipe orang yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata-mata karena perut dan hawa nafsunya. Tidakkah ia membaca Allah telah berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS: Al Hajj: 11).

Orang yang tidak mengamalkan ilmunya juga terhalang dari hidayah. Terkadang seseorang memiliki pengetahuan yang sempurna, akan tetapi dia meninggalkannya karena kegersangan hatinya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَلَوْ عَلِمَ اللهُ فِيهِمْ خَيْرًا لأَسْمَعَهُمْ وَلَوْ أَسْمَعَهُمْ لَتَوَلَّوْا وَّهُم مُّعْرِضُونَ

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri dari apa yang mereka-mereka dengar itu.”  (QS: Al-Anfaal: 23).

Seperti tanah yang keras yang dibasahi air, maka hal itu tidak dapat menjadikan tumbuhnya tanaman lantaran tanah tersebut tidak dapat menerima (menyerap) air. Ketika hati itu keras, maka tidak dapat menerima nasehat sedangkan hati yang paling jauh dari Allah Azza wa Jalla adalah hati yang keras.

Demikian halnya ketika hati itu sakit, maka tidak ada kekuatan padanya dan tekad pun menjadi lemah, sehingga ilmu tidak berpengaruh terhadapnya. Sifat mereka sebagaimana yang Allah Azza wa Jalla sifatkan,

وَإِذَا ذُكِرَ اللهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Dan apabila nama Allah saja yang disebut, kesal hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” (QS: Az Zumar: 45).

Sombong menjauhkan hidayah

Demikian juga sifat hasad dan sombong terhalang dari hidayah. Kesombongan menyebabkan iblis tak sudi mentaati Allah Azza wa Jalla.

Kesombongan juga menyebabkan orang-orang Yahudi tidak mau beriman kepada Rasulullah ﷺ, padahal mereka mengenal Nabi,  menyaksikannya dan mengenali pula tanda-tanda kenabian beliau. 

Allah Azza wa Jalla berfirman,

الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”  (QS: Al Baqarah: 147).

Seringkali manusia dihadapkan pada dua pilihan, antara tunduk kepada kebenaran atau jabatan. Lalu dia lebih condong kepada kedudukan sebagai  pejabat dengan segala fasilitasnya.

Sebagaimana keadaan Heraklius di akhir perbincangannya dengan dengan Abu Sufyan dia mengatakan, “Jika apa yang engkau katakan itu benar, niscaya dia akan menguasai tanah yang aku injak ini, dan kalau saja aku bisa selamat untuk menemuinya niscaya dengan susah payah aku akan menjumpainya, kalau saja aku berada di sisinya, niscaya akan aku basuh kedua telapak kakinya.”

Maksudnya adalah dia tidak kuasa untuk menjumpai Nabi karena ia takut akan nasib hidupnya dan khawatir akan kehilangan jabatannya sebagai raja. Dan tiada yang selamat dari penyakit ini melainkan orang dijaga oleh Allah Azza wa Jalla semacam raja Najasyi.

Inilah penyakit yang menjangkiti Fir’aun beserta antek-anteknya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ

“Dan mereka berkata: ”Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?” (QS: Al Mukminun: 47).

Diriwayatkan bahwa tatkala Fir’aun hendak mengikuti Musa dan membenarkannya dia bermusyawarah dengan Haman sebagai menterinya. Maka Haman berkata, ”Apakah tuan ingin menjadi hamba yang menyembah kepada selain tuan setelah tadinya orang lain yang menyembah tuan?” Maka Fir’aun memilih riyasah (jabatan) daripada hidayah.”

Adapun penyebab datangnya hidayah ada beberapa, di antaranya doa, Al Qur’an, para Rasul dan bashirah akal. Sebagaimana sembuhnya seseorang dari sakitnya adalah karena adanya sebab, maka demikian pula halnya dengan hidayah.

Orang yang sakit ketika dia merasa sakit mendorong dirinya untuk mendatangi dokter karena ingin mencari sembuh  dan sehat. Demikian pula dengan hidayah, tiada penghalang darinya melainkan sebab-sebab di atas yang membutakan hati sekalipun tidak buta matanya.

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menghindari penghalang hidayah dan membuka mata hati untuk meraih ridha-Nya. Wallahu a’lam bishawab.*/Bagya Agung Pranawa, penulis pengajar fakultas hukum UII, Yogyakarta

HIDAYATULLAH

Tantangan Pemuda Islam Masa Kini

Umat dekade ini tengah mengidamkan siapa yang akan meraih kejayaannya kembali, mengentaskan umat ini dari kemunduran pengetahuan, dan menuntaskan problem-problem keumatan. Bukan hanya para pejabat (umara), ahli agama (ulama), pengusaha hingga politikus yang mampu mengatasi problematika umat, tapi pemuda memiliki peran yang lebih urgen. Eksistensi pemuda Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sangatlah penting, karena pemuda Islamlah yang memiliki potensi untuk mewarnai perjalanan sejarah perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam.

Selain itu, jika kita menelaah ideologi yang berorientasi pada strategi revolusi, yang menganggap pemuda sebagai tenaga paling revolusioner karena secara psikologis manusia mencapai puncak hamasah (gelora semangat) dan quwwatul jasad (kekuatan fisik) pada usia muda. Hal tersebut menumbuhkan semangat pergerakan, perubahan, bukan stagnasi ataupun status quo dan  hal ini merupakan salah satu alasan yang menjadi dasar dan tolak ukur penting dalam menyikapi peran pemuda Islam.

Ibnu Jauzyrahimahullah menuliskan dalam kitabnya Shifatush Shofwan [1], “Wahai para pemuda, kerahkan potensi dirimu selagi masih muda karena belum pernah aku lihat karya yang paling berharga selain yang dilakukan oleh para generasi muda”.

Ibnu Jauzy dalam tulisannya memiliki harapan besar terhadap peran pemuda, begitu juga dengan para Founding Father Negara Indonesia seperti Ir. Soekarno, M. Hatta, dan para pejuang kemerdekaan masa lampau, yang memiliki harapan besar terhadap peran pemuda dalam mempertahankan dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemuda meraih ketinggian itu atas dasar kesadaran yang tertanam dalam benaknya bahwa masa muda adalah masa yang paling menentukan dalam meniti langkah berikutnya. Kesadaran tersebut berupa kesadaran iman dan mental. Bahkan, dalam kehidupan akhirat nantinya, pemuda akan dapat naungan dari Allah ‘Azza wa Jalla, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan ‘Arsynya pada hari tidak ada naungan selain naungan Allah ‘Azza wa Jalla, (yaitu) salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” [2]

Oleh karena itu, Syekh Prof. ‘Abdurrazaq berpesan bahwa hendaknya para pemuda benar-benar memperhatikan fase usia mudanya ini dan selalu berusaha mengingat bahwa Rabbnya akan menanyakan masa mudanya pada hari kiamat, yaitu apa yang ia lakukan di usia mudanya. [3]

***

Penulis: Arif Muhammad N., S.Pd.

Catatan kaki: [1] Shifatush Shofwan, jilid. IV, hal. 24 terbitan Pustaka Azzam [2] Dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri, dalam Kitab al-Adzân, no. 660, dan Muslim, kitab Zakât, no.1031 [3] Terjemahan 15 Wasiat Salaf Kepada Para Pemuda, cetakan pertama, Tahun 2017. Syekh Al-’Abbad Al-Badr penerbit Digital Publishing hal. 13

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79708-tantangan-pemuda-islam-masa-kini.html

Perbedaan antara Salat Wajib dan Salat Sunah

Pertanyaan:

Fadhilatus syaikh, apakah terdapat perbedaan antara salat wajib dan salat sunah?

Jawaban:

Iya, terdapat perbedaan antara salat wajib dan salat sunah. Di antara perbedaan yang paling jelas adalah bahwa salat sunah itu sah dikerjakan di atas kendaraan, meskipun tidak terdapat kondisi darurat. Jika seseorang sedang safar, dan ingin mendirikan salat sunah di atas kendaraannya, baik kendaraan tersebut berupa mobil, pesawat terbang, atau unta, atau selain itu, maka dia boleh mendirikan salat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja kendaraannya menghadap. Dia memberi isyarat untuk rukuk dan sujud. Hal ini karena terdapat riwayat (keterangan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau melakukan hal tersebut (HR. Bukhari no. 1000 dan Muslim no. 700)

Di antara perbedaan antara salat wajib dan salat sunah adalah jika seseorang memulai salat wajib, maka tidak boleh (haram) baginya membatalkan salat wajib tersebut, kecuali karena kondisi darurat yang nyata. Adapun salat sunah, maka boleh untuk dibatalkan ketika ada suatu maksud (tujuan) yang sahih. Adapun jika tidak ada suatu maksud (tujuan) tertentu, maka tidak masalah (tidak berdosa) jika dibatalkan. Meskipun demikian, hal itu hukumnya makruh sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.

Perbedaan lainnya, bahwa salat wajib itu berdosa jika ditinggalkan, berbeda dengan salat sunah.

Perbedaan lainnya, salat wajib itu disyariatkan dilaksanakan secara berjemaah, sedangkan salat sunah tidak, kecuali salat sunah tertentu saja, seperti salat istisqa’ dan salat kusuf (menurut pendapat yang menyatakan hukumnya sunah). Tidak masalah jika seseorang terkadang mendirikan salat sunah secara berjemaah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama sebagian sahabatnya di sebagian salat malam. Terkadang beliau salat sunah bersama Ibnu ‘Abbas, terkadang dengan Hudzaifah, dan terkadang dengan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhum.

Adapun di bulan Ramadan, terdapat keterangan bahwa beliau berjemaah dengan para sahabat selama tiga hari kemudian meninggalkannya karena khawatir akan diwajibkan kepada umat beliau. (HR. Bukhari no. 2012 dan Muslim no. 761) Hal ini menunjukkan bahwa salat jemaah dalam salat tarawih itu hukumnya sunah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya. Akan tetapi, beliau kemudian meninggalkan salat tarawih berjemaah tersebut karena khawatir akan diwajibkan kepada umat beliau. Kekhawatiran itu tentu saja hilang setelah wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/79710-fatwa-ulama-perbedaan-antara-salat-wajib-dan-salat-sunah.html