Bahaya Persaksian Palsu

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

”Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya. Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al-Hajj: 30)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menggandengkan perintah untuk menjauhi syirik dengan perintah menjauhi persaksian palsu (dusta). Hal ini menunjukkan besarnya dosa dan keharaman perkataan dan persaksian dusta (persaksian palsu).

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

”Dan orang-orang yang tidak menghadiri majelis dusta, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)

Ayat ini menjadi dalil tentang haramnya orang yang menghadiri suatu majelis pertemuan yang berisi kedustaan dan kepalsuan. Jika menghadiri majelis yang berisi kedustaan saja dilarang, terlebih lagi (lebih ditekankan lagi haramnya) menjadi orang yang ikut-ikutan berkata dusta pada majelis atau pertemuan tersebut.

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata bahwa saksi palsu menggabungkan beberapa dosa besar.

Pertama, seorang saksi palsu sama saja dengan berbuat kedustaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن يَكُ كَاذِباً فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِن يَكُ صَادِقاً يُصِبْكُم بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

”Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu. Dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. Al-Mukmin: 28)

Kedua, seorang saksi palsu berarti menzalimi orang lain dengan persaksiannya tersebut. Sehingga dengan persaksian palsunya tersebut, dia bisa mengambil harta, kehormatan, atau nyawa orang yang dizalimi.

Ketiga, seorang saksi palsu menzalimi orang yang dia untungkan dengan persaksiannya yang dusta. Seorang saksi palsu telah memberikan harta yang haram kepada orang yang diuntungkan karena persaksian palsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلَا يَأْخُذْهَا

“Sungguh kalian seringkali mengadukan sengketa kepadaku, barangkali ada di antara kalian ada yang lebih pandai bersilat lidah daripada yang lain. Maka, barangsiapa yang kuputuskan menang dengan mencederai hak saudaranya berdasarkan kepandaian argumentasinya, berarti telah kuambil sundutan api neraka baginya, maka janganlah dia mengambilnya.” (HR. Bukhari no. 2680 dan Muslim no. 1713)

Selain sebagai seorang Nabi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bertindak sebagai seorang qadhi (hakim) yang memutus perkara bagi pihak-pihak yang berselisih dan bersengketa. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberi keputusan berdasarkan laporan dan persaksian dari masing-masing pihak yang saling bersengketa tersebut. Laporan pihak yang paling mendekati kebenaran itulah yang dijadikan dasar untuk memenangkan suatu perkara atau memenangkan satu pihak atas pihak yang lain. Oleh karena itu, status beliau sebagai seorang qadhi adalah sebagai manusia biasa yang masih mungkin keliru dalam mengambil atau menetapkan suatu keputusan.

Keempat, seorang saksi palsu membolehkan apa yang telah Allah Ta’ala haramkan dan Allah Ta’ala lindungi, yaitu berupa harta, darah, dan kehormatan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ

”Setiap muslim haram mengganggu muslim yang lain dalam harta, darah, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Maukah kalian aku beritakan tentang dosa paling besar?” (pertanyaan ini diulang tiga kali) Mereka (para sahabat) menjawab, ”Mau wahai Rasulullah.”  Rasulullahshallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ

”Menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.” Rasulullah tadinya bersandar lalu duduk tegak dan bersabda,

أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ، أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ

”Ketahuilah, ucapan dan persaksian palsu. Ketahuilah pula, ucapan dan persaksian palsu.” 

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam terus mengulang-ulang hingga kami berkomentar, ”Seandainya saja beliau diam.” (HR. Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)

Syekh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah mengatakan terdapat tiga bentuk persaksian palsu:

Pertama, seseorang yang memberi persaksian dengan satu hal yang sebenarnya dia sudah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Akan tetapi, dia tidak mengatakan kejadian sebenarnya seperti yang telah diketahuinya tersebut.

Kedua, seseorang yang berani bersaksi dengan sesuatu yang dia sendiri masih ragu-ragu akan kebenarannya.

Ketiga, seseorang yang bersaksi dengan sesuatu yang dia mengetahui kejadian yang sebenarnya, tetapi dia menyampaikan tidak sesuai dengan realita dengan mengurangi berbagai faktor sehingga kesalahan dari orang yang dia ditunjuk sebagai saksinya, menjadi terlihat lebih rendah dari yang sebenarnya.

Hukum semua bentuk persaksian palsu adalah haram. Seseorang harus bersaksi dengan sesuatu yang dia ketahui dengan bentuk seperti yang diketahuinya. Wallahu a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/80193-bahaya-persaksian-palsu.html

Cara Agar Masjid Lebih Ramah untuk Mualaf

Penting menyediakan mentor di masjid untuk mengembangkan hubungan dengan mualaf.

Institute for Social Policy & Understanding (ISPU) melakukan penelitian penting terkait masjid di Amerika. Reimagining Muslim Spaces membahas bagaimana membuat masjid lebih ramah bagi wanita, pemuda, dan mualaf.

Peneliti ISPU bertanya kepada Muslim Amerika seperti apa masjid yang dinamis, inklusif, dan ramah. Selain itu, ketika pintu masjid kembali dibuka setelah aturan karantina, mereka bertanya bagaimana cara membuat masjid yang lebih ramah untuk mualaf.

Dalam webinar yang mereka lakukan, ISPU mendiskusikan temuan dari para mualaf dan mewawancarai tiga pembicara dari Amerika Serikat. Mereka adalah Ihsan Bagby, Tamara Gary dan Sheikh Abdullah Oduro, yang memberikan wawasan dan ide kreatif tentang bagaimana membuat masjid nyaman dan inklusif untuk mualaf.

Dilansir di About Islam, Jumat (4/11/2022), disampaikan pula terkait keluhan dari para pemimpin masjid atas kurangnya relawan untuk mengorganisir acara dan program khusus untuk mualaf. Mereka juga melihat kurangnya komitmen dari jamaah ke masjid.

Tak hanya itu, jamaah masjid mengeluhkan kurangnya persatuan dan kurangnya rasa memiliki terhadap masjid. Jadi bagaimana kita memperbaiki situasi saat ini?

Salah satu penolakan terbesar bagi mualaf adalah saat mereka mengunjungi masjid, mereka malah menerima kritikan, cemooh, atau koreksi dengan cara yang kasar. Sementara, lingkungan yang ramah, inklusif dan mendukung sangat diperlukan, untuk membangun persahabatan yang langgeng dan membantu mereka merasa benar-benar terhubung.

Ihsan Bagby, sebagai pembicara pertama, berupaya membagikan apa yang dia anggap sebagai faktor paling penting bagi mualaf agar merasa diterima dan terlibat dalam masjid. Pertama adalah menyediakan seorang mentor di masjid yang akan mengembangkan hubungan dengan mualaf baru.

“Sosialisasi adalah aspek terpenting dalam kehidupan seorang mualaf. Tugas seorang mentor adalah bersama seorang mualaf selama setahun, menghubungi mereka, bertemu dan berteman, lalu mendidik mereka. Kembangkan kelompok pendukung untuk orang yang insyaf, baik formal maupun informal,” ucap dia.

Selanjutnya, mentor disebut harus mengidentifikasi mualaf yang tertarik untuk membantu mereka. Kelompok ini lantas menyediakan dukungan dan bertemu setidaknya sebulan sekali.

Langkah ketiga adalah memastikan setiap masjid memiliki materi pendidikan yang tepat, situs web yang direkomendasikan, maupun fasilitas yang baik untuk pengalaman pendidikan para mualaf. Terakhir, ia menyebut masjid bisa mengadakan acara sosial untuk mualaf, terutama di sekitar hari libur besar yang dapat memberi mereka rasa memiliki kelompok.

Pembicara kedua, Tamara Gary, kemudian menyarankan tiga faktor kunci untuk membuat masjid lebih ramah bagi mualaf. Hal pertama adalah merefleksikan seperti apa konsep yang dimiliki tentang ruang suci dan apa tujuan masjid.

“Tujuan utama dari aula atau tempat ibadah adalah doa, ibadah dan khutbah. Kita harus memastikan orang yang bertobat memiliki akses ke ruang utama itu,” katanya.

Kedua, ia menyebut keakraban budaya dan pemicu nostalgia positif bisa menjadi langkah lain yang ditempuh. Mualaf datang ke masjid dengan harapan menemukan budaya tertentu, yang sangat sering tidak terpenuhi.

Ia pun mengajak setiap pihak, utamanya pengurus masjid, untuk memikirkan hal-hal apa saja yang bisa memicu nostalgia dan mualaf bisa merasakan perasaan yang baik selama di masjid. Hal ini bisa dilakukan dengan makanan atau aroma yang enak.

“Ingat bahwa masjid adalah pusat sosial. Sangat penting untuk memasukkan kegiatan dan acara yang membahas kebutuhan sosial dan emosional para mualaf,” kata dia.

Pembicara terakhir, Syekh Abdullah Oduro, mengenang pengalamannya dengan masjid selama belajar di Madinah, Arab Saudi. Ia merekomendasikan untuk menyediakan video, seminar dan presentasi bagi mereka yang masih dalam tahap awal belajar dan mengamalkan dasar-dasar Islam. Juga, relevansi budaya sangat penting karena itulah lensa di mana orang melihat untuk menerima sesuatu secara umum. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Problem Kristenisasi, dari Masa Buya Hamka hingga Koh Steven

Buya HAMKA dan Koh Steven berbeda generasi, namun masing-masing berusaha memberikan andilnya dalam menghadapi kristenisasi dan pembinaan mualaf

TIDAK  banyak yang penulis ketahui tentang Koh Seteven. Dulu, sempat dengar perannya, pada masa pandemi, menjual rumah dan Moge-nya (yang kabarnya laku 14 M) untuk didermakan untuk kepentingan masyarakat luas, penyintas pandemi.

Setelah kewafatannya pada hari Jum’at (14/10/2022), dunia maya tiba-tiba banyak berisi berita dan quote-quote menarik seputar sosok yang menyebut dirinya sebagai Pemulung Amal ini.

Dengan lembaga MCI (Muallaf Center Indonesia), beliau sudah mengislamkan lebih dari 60 ribu orang. Kabarnya, pernah juga mengislamkan pekerja asing di Mekkah yang jumlahnya ratusan, sehingga membuat Syekh Sudais ingin bertemu langsung dengannya. Dakwahnya, tidak berhenti pada tataran tabligh via lisan berupa ceramah dan nasihat, tapi yang menjadi titik prioritas adalah amal perbuatan.

Seorang dai yang membuktikan bisa berbisnis tanpa riba dimulai dari titik nol. Dulu bisnis kopinya diawali dari rumah kontrakan dan menyewa tanah untuk menanam kopi, sampai kemudian omsetnya bisa mencapai lebih dari 20 milyar. Ada juga bisnis ikan lele dan domba yang memiliki cabang cukup banyak. Menariknya, bisnis itu bukan untuk dinikmati sendiri.

Banyak infak dan sedekah yang telah dikeluarkan dari hasil bisnisnya. Kabarnya, sudah 900 lebih masjid yang dibangun. Belum lagi sekolah dan amal lain yang tidak bisa disebutkan semua di sini.

Dakwahnya dalam membina muallaf dan mebimbing orang untuk masuk Islam benar-benar luar biasa. Beliau bisa dikatakan praktisi, bukan sekadar pembicara problem, bahkan beliau adalah seorang problem solver.

Untuk tujuan luhur ini, bukan hanya harta, bahkan keselamatannya seringkali terancam. Beliau pernah cerita dalam salah satu obrolan di Youtube, pernah dipukuli orang hingga gigi geraham dan depannya patah, sehingga beliau tidak bisa makan makanan yang keras, dan harus menggunakan gigi palsu.

Ini sekilas yang penulis tahu tentang Koh Steven. Bagi yang ingin lebih banyak mengetahui beliau, silakan tonton di Youtube, ada banyak sekali video tentang Pemulung Amal ini.

***

Lantas apa hubungannya problem kristenisasi dari masa Buya Hamka hingga Koh Steven? Sudah jamak diketahui bahwa Hamka adalah ulama besar multitalenta yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Di antara perhatian yang beragam itu adalah perhatian beliau terhadap problem kristenisasi.

Beliau termasuk ulama yang memiliki kepedulian besar di bidang ini. Itu dibuktikan melalui karya tulis dan aksi nyata. Banyak sekali yang masuk Islam atas bimbingan beliau.

Termasuk orang keturunan China, yang di antara mereka ada disebut sebagai anak ke-11 dari Buya Hamka (untuk masalah ini bisa dirujuk dalam buku Rusydi Hamka, “Buya Hamka Pribadi & Martabat”), seperti Jusuf Hamka (Babah Alun/Joseph Alun).

Terkait hal ini, Buya Hamka pernah menulis, “Penulis,” maksudnya Buya Hamka, “hampir tiap hari menerima kedatangan pemuda Kristen masuk Islam. Ada dari Protestan, ada dari Katholik, ada laki-laki dan perempuan.”

Di antara karya tulis beliau di bidang ini misalnya “Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi”. Ada juga yang bertebaran melalui berbagai majalah. Semuanya itu menunjukkan kesungguhan beliau dalam memperhatikan dan mencari solusi masalah ini. Ini sekilas tentang Buya Hamka.

***

Lalu sekali lagi, apa kaitannya problem kristenisasi yang dihadapi Buya Hamka dengan masa Koh Steven? Meski belum pernah ada perjumpaan fisik antara keduanya, cuma kita bisa menyambungkan problem Kristenisasi yang dihadapi oleh dua sosok pemerhati dan praktisi problem kristenisasi ini.

Misalnya, masalah peternakan babi yang sengaja dilakukan oleh orang Kristen di kampung-kampung baru yang mereka tinggal di dalamnya. Pada tahun 1979, dalam rubrik Dari Hati Ke Hati, Buya Hamka menulis artikel berjudul “Hak-hak Azasi Manusia dan Pendirian Gereja” (Panjimas, 263, XX [1979]).

Di dalam artikel itu Hamka mengungkap fakta bahwa setelah Kesultanan Serdang (Sumatra Utara) di bawah kuasa Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sudah tidak ada, orang-orang Kristen berlomba-lomba menduduki tanah kosong di daerah itu. Didirikanlah rumah dan geraja.

Penduduk asli tidak bisa berbuat apa-apa. Jika bereaksi, mereka takut dituduh “Kontra Revolusioner” karena menghalangi berdirinya gereja. Apalagi kondisi masyarakat asli secara ekonomi miskin-miskin.

Mereka, para pendatang baru ini memelihara babi. Bahkan babi-babi itu dilepaskan sehingga berjalan liar ke kampung-kampung masyarakat muslim. Mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, takut disebut tidak toleran dan anti kerukunan hidup beragama.

Senada dengan cerita itu, kata Buya Hamka ada di sebelah Rao Rimba Panti (wilayah Minangkabau). Tanah-tanah kosong yang dikuasai Penghulu Ninik-Mamak dan kepunyaan Nagari, tiba-tiba ditempati begitu saja oleh pendatang Kristen.

Awalnya membuat rumah, kemudian sampai membangun gereja. Kemudian, ternak babi, yang mana berkeliaran di kampung muslim. Mereka mengangkat semboyan, atas nama hak asasi manusia. Penduduk yang tidak kuat, akhirnya pindah dari daerah itu.

Saat Buya Hamka berkunjung ke Lho’Seumawe, Aceh, beliau mendapat info dari masyarakat muslim setempat bahwa ternak babi juga dilakukan di daerah ini sebagaimana yang terjadi di Rao.

Tanah-tanah kosong diisi orang Kristen. Polanya sama, bikin rumah, gereja kemudian melepas ternak babi. Penduduk yang berani, akhirnya meracun babi itu hingga mati. Sehingga orang Kristen tidak melanjutkan melepas babi.

***

Rupanya, yang dihadapi oleh Koh Steven dalam dakwahnya di daerah-daerah pedalaman, di antaranya juga masalah peternakan babi. Itu berada di kampung-kampung muslim, bahkan yang ternak pun ada yang beragama Islam bahkan sudah bergelar haji. Kalau ditanya perihal ini, jawabnya, “Yang penting ‘kan tidak saya makan.”

Koh Steven tidak mungkin melarang tanpa ada solusi atau alternatif. Akhirnya, beliau membuat alternatif dengan memulai bisni domba. Yang mana, di samping sebagai alternatif, juga bisa memberikan masukan penghasilan untuk warga yang notabene mayoritas muslim. Kabarnya, bisnis domba ini juga sudah banyak cabangnya.

***

Kalau diperhatikan, problem Kristenisasi dari dulu pola dan ragamnya sama. Hanya saja, zaman Hamka skalanya mungkin tidak terlalu banyak, sehingga memberi peringatan dalam buku dan tulisan dirasa sebagai solusi cukup jitu sehingga menjadi peringatan di kalangan umat Islam.

Pada zaman Koh Steven, peternakan babi bukan hanyak masuk kampung muslim pedalaman, tapi juga para peternaknya pun ada yang muslim bahkan haji. Maka, yang dilakukan Koh Steven adalah solusi yang lebih konkret berupa membuat usaha alternatif berupa ternak domba yang hasilnya bisa membantu masyarakat sekitar yang sudah biasa beternak babi.

Dengan demikian, terjawablah ketersambungan problem antara zaman Hamka dan Koh Steven. Meski berbeda generasi, masing-masing berusaha memberikan andilnya dalam menghadapi kristenisasi dan pembinaan mualaf. Rahimahumallah Rahmatan Waasi’ah.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Apa Hukum Autopsi dalam Islam?

Apa hukum autopsi dalam Islam? Dan Bagaimana hukum autopsi untuk pembelajaran dan identifikasi penyebab kematian? Hal ini jamak kita jumpai praktiknya di Indonesia.

Kata Autopsi sudah tak asing lagi didengar di dunia investigasi. Autopsi pada umumnya merupakan proses pembedahan mayat yang dilakukan oleh tim forensik untuk mengetahui sebab kematian seseorang yang masih samar atau menyelidiki dalam jenazah yang meninggal karena tindak kekerasan seperti diracun, KDRT atau dalam kasus kekerasan seksual.

Selain dalam investigasi, autopsi kadang juga dilakukan untuk pembelajaran khususnya di bidang ilmu kedokteran. Autopsi jenis ini sering dikenal dengan istilah autopsi anatomis.

Hukum Autopsi dalam Islam

Tentunya dalam proses autopsi ini, mau tidak mau yang dilakukan adalah dengan membedah, merobek atau menyayat organ-organ si mayyit guna dianalisis lebih lanjut. Sekilas perlakuan ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai syariat karena merupakan tindakan yang mencelakai seseorang, dalam hadis disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Memecah tulang orang yang mati itu hukumnya sama dengan memecah tulangnya orang yang masih hidup” (HR. Abu Daud, No. 2794)

Para ulama menafsirkan hadis tersebut bahwa hukum daripada melukai mayyit adalah haram sebagaimana hukum melukai orang yang masih hidup, hal tersebut dikarenakan si mayyit masih bisa merasakan sakit ketika tubuhnya disayat atau dibedah. (Syariful Haq, Aunul Ma’budJuz.9, Hal.18)

Dari hadis itulah kemudian Imam Ahmad dan Imam Malik bertendensi untuk tidak memperbolehkan membedah mayyit walaupun dengan tujuan mengeluarkan janin yang ada didalamnya, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat hal tersebut diperbolehkan:

يرى المالكية والحنابلة عملاً بحديث: «كسر عظم الميت ككسره حياً» أنه لا يجوز شق بطن الميتة الحامل لإخراج الجنين منه؛-الى ان قال- وأجاز الشافعية شق بطن الميتة لإخراج ولدها، وشق بطن الميت لإخراج مال منه. كما أجاز الحنفية كالشافعية شق بطن الميت في حال ابتلاعه مال غيره

“Ulama’ Malikiyyah dan dan Hanabilah dengan bertendensi kepada hadis diatas bahwa tidak diperbolehkan menyayat perutnya jenazah yang hamil karena untuk mengeluarkan bayi yang ada didalamnya. 

Sedangkan Ulama Syafi’iyyah memperbolehkan pembedahan perut mayyit untuk mengeluarkan janin aatau untuk mengeluarkan harta dari perut tersebut. hal itu sebegaimana legalitas yang disampaikan oleh Hanafiyyah bahwa membedah perut mayyit diberbolehkan jika ia mene” (Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz.04, Hal.508)

Berlandaskan kepada pendapat-pendapat tersebut maka hukum pada autopsi dapat ditandzirkan kepada perumusan hukum membedah perut mayyit karena tujuan ingin mengeluarkan janin. Yakni diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah dan Hanafiyyah, dan tidak diperbolehkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanabillah.

وبناء على هذه الآراء المبيحة: يجوز التشريح عند الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية، أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول إلى الحق في أمر الجناية، للأدلة الدالة على وجوب العدل في الأحكام، حتى لا يظلم بريء، ولا يفلت من العقاب مجرم أثيم.

Berlandaskan pada pendapat yang memperbolehkan hal tersebut, maka diperbolehkan pula membedah mayyit (Autopsi) karena darurat atau adanya hajat seperti pembelajaran ilmu kedokteran, atau untuk mengetahui sebab kematian, atau menetapkan hukum pidana kepada tersangka pelaku pembunuhan dan kepentingan-kepentingan hukum pidana lain yang mana kebenarannya tidak bisa terungkap kecuali dengan melakukan autopsi. 

Hal tersebut karena terdapat dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya berlaku adil dalam memutuskan hukum, sehingga orang yang tak bersalah tidak sampai terdzolimi dan orang yang bersalah tidak sampai lepas dari hukuman” (Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu,  Juz.04, Hal.508)

Demikian pembahasan mengenai apa hukum autopsi dalam Islam karena pembelajaran dan identifikasi penyebab kematian, Wallahu A’lam bisshowab.

BINCANG SYARIAH

Kedubes Arab Saudi Dikabarkan Keluarkan Surat Hapus Kewajiban Vaksin Meningitis Umroh

Afiliasi Mandiri Penyelenggaraan Haji Umroh (Ampuh) menyebutkan pemerintah Arab Saudi melalui Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta, akhirnya mengeluarkan surat secara resmi bahwa vaksin meningitis tidak diwajibkan bagi jamaah umroh. Ampuh meminta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tidak meminta jamaah umroh menunjukkan vaksin meningitis di Bandara.

“Dengan adanya surat ini kami berharap Kementerian Kesehatan tidak lagi mewajibkan vaksin meningitis sebagai syarat keberangkatan umroh. Karena terlalu banyak kasus gagal berangkat karena vaksin,” kata Sekjen Ampuh Tri Winarto saat dihubungi Republika, Selasa (8/11/2022).

Tri mengatakan, surat yang dikeluarkan perwakilan Pemerintah Arab Saudi melalui perwakilannya di Jakarta menjadi kabar baik bagi seluruh jamaah umroh Indonesia. Surat yang isinya menyampaikan informasi bahwa vaksin meningitis bukan lagi menjadi syarat untuk masuk Arab Saudi itu baru saja dikeluarkan pada, Selasa (8/11/2022).

“Ini menjadi kabar baik yang datangnya dari Pemerintah Saudi yang disampaikan oleh kedutaan besar yang ada di Jakarta atau KBSA terkait dengan vaksin meningitis sejak tanggal 8 November Arab Saudi secara resmi tidak mewajibkan vaksin meningitis bagi orang yang datang ke Saudi,” ujarnya.

Tri mengatakan, berdasarkan surat tersebut, kewajiban vaksin meningitis hanya pada jamaah haji. Ini tentu berita yang sangat baik Afiliasi Mandiri Penyelenggara Haji Umroh atau Ampuh tentu sangat menyambut gembira berita ini. 

“Di tengah kebingungan akibat langka vaksin surat itu membuat jamaah Indonesia merasa senang,” katanya.

Tri mengatakan, setelah Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq menyampaikan vaksin meningitis bukan kewajiban lagi, namun, Kemenkes tetap mewajibkan jamaah vaksin meningitis sebagai syarat keberangkatan umroh, meski terlalu banyak kasus gagal berangkat Karena vaksin.

Namun, setelah adanya surat tersebut, Kemenkes tidak lagi ada haknya meminta bukti vaksin kepada jamaah umroh. Karena Arab Saudi sudah tegas melalui suratnya tidak mewajibkan vaksin meningitis sebagai syarat wajib untuk berangkat umroh.

“Tentu ini berita gembira mudah-mudahan kabar ini bukan hoaks sebagaimana yang disampaikan oleh menteri tapi resmi yang dirilis oleh kedutaan besar Saudia yang ada di Jakarta. Alhamdulillah,” katanya. 

Konsulat Jenderal (Konjen) RI Jeddah, Duta Besar Eko Hartono, mengonfirmasi soal surat tersebut.

“Kami juga baru dapat dari KBSA mbak, mestinya itu resmi,” kata dia dalam pesan yang diterima Republika, Selasa (8/11/2022).

Terkait surat itu, ia pun menyebut kebijakan tersebut harusnya sudah bisa mulai diberlakukan secepat mungkin.

Lebih lanjut Konjen Eko kembali mengulang informasi yang sebelumnya telah ia sampaikan. Selama ini, di Arab Saudi sudah tidak ada lagi pengecekan status vaksin meningitis jamaah umroh..

For your information, seperti yang saya sampaikan ke publik, bahwa Saudi selama ini tidak pernah cek status meningitis jamaah umroh,” lanjut dia.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengaku belum menerima surat resmi dari Kementerian Kesehatan Arab Saudi terkait tidak disyaratkannya lagi vaksin meningitis kepada jamaah umroh. Untuk itu dia masih akan meminta jamaah menunjukkan bukti vaksin meningitis. 

“Kita tunggu secara resmi dari Kemenkes Arab Saudi. Karena kita belum menerima surat resmi dari Kemkes Arab Saudi,” katanya.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (DPP (AMPHURI) Firman M Nur, menyampaikan syukur atas terbitnya surat dari Kedutaan Besar Arab Saudi. Surat tersebut kata dia disampaikan pihak Kedutaan Besar Arab Saudi langsung kepada DPP AMPHURI sebagai balasan yang meminta Arab Saudi segera mengeluarkan surat resmi.

“Akhirnya KBSA menjawab surat permohonan DPP AMPHURI untuk Kerajaan Saudi Arabia mengeluarkan surat resmi atas ditiadakannya syarat vaksin miningitis bagi jamaah Umroh asal Indonesia terjawab sudah dengan Pengumuman resmi KBSA di Jakarta bahwa Vaksin Meningitis tidak dipersyaratkan bagi Jamaah umroh,” kata Firman saat menyampaikan surat balasan dari Kedutaan Besar Arab Saudi kepada Republika

Selanjutnya, kata Firman, Amphuri berharap Kemenkes dan Kemenag untuk segera menindaklanjuti pengumuman resmi ini dengan merubah ketentuan kewajiban vaksin miningitis secara resmi dan cepat. Hal ini kata dia, agar tidak ada lagi jamaah yang gagal berangkat Umroh.

“Dan Amphuri mengapresiasi KBSA yang telah merespon positif atas surat permohonan Amphuri dengan pengumuman ini. Insyaallah kemudahan ini akan semangkin meningkatkan jumlah keberangkatan jamaah Umrah Indonesia ke Saudi Arabia,” katanya.

Sementara itu,Sekretaris Jenderal Dewan  AMPHURI Farid Aljawi mengaku bersyukur  Kedutaan Besar Saudi Arabia (KBSA) menyampaikan kabar baik dengan merilis surat edaran terkait kebijakan Pemerintah Saudi tentang vaksin meningitis. Di mana dalam pengumuman yang ditandatangani oleh Bagian Konsuler KBSA tersebut dinformasikan bahwa Kedutaan telah menerima telegram dari otoritas yang berwenang di Kerajaan Arab Saudi yang menyatakan bahwa vaksin meningitis hanya wajib bagi yang datang ke Arab Saudi dengan visa haji. 

“Dan tidak wajib bagi yang datang dengan visa umroh. Pengumuman itu tertanggal 13 Rabiul Akhir 1444H atau bertepatan dengan 8 November 2022,” katanya.

Farid berharap para stakeholder maupun pihak terkait dengan penyelenggaraan ibadah umrah di negeri ini bisa menerima dan menghormati kebijakan pemerintah

Saudi atas syarat vaksin meningitis yang tidak wajib bagi mereka yang datang ke Saudidengan visa umroh. 

IHRAM

Makna Kebenaran dan Kebebasan Beragama dalam Alquran

Kata ‘benar’ (truth) dan ‘bebas’ (freedom) merupakan persoalan filosofis yang barangkali menjadi obsesi para pemikir dari dulu hingga sekarang. Bisa kita katakan bahwa ‘benar’ sangat tergantung secara subjektif atau dalam lingkup internal meski bisa diraih secara objektif-universal. Sementara ‘bebas’ sangat tergantung pada lingkungan eksternal, meski bisa diraih dalam lingkup internal. Kebebasan dan kebenaran dengan demikian merupakan dua hal berbeda yang kerap berbenturan, antara lain jika disangkutkan dengan agama.

Dalam hal beragama, ‘kebenaran’ yang bisa diartikan secara lentur dan sangat toleran—bahwa siapapun bisa mengklaim kebenaran—menjadi keras dan kaku ketika para pemeluk agama menuntut ‘kebebasan’. Kebenaran yang sangat tergantung dalam lingkup internal, menjadi melenceng dari kebenaran ketika dalam lingkup eksternal tidak diterima sebagai kebenaran. Sehingga, mereka yang merasa benar saling menuntut dengan menyudutkan ‘kebebasan’ pihak lain. Tidak jarang, hal ini meinmbulkan perpecahan hingga titik darah penghabisan demi menuntut kebenaran dan kebebasan.

Kebenaran agama ala Sahiron Syamsuddin

Dalam artikelnya yang berjudul “Klaim Kebenaran Agama yang Eksklusif Menurut Alquran: Aplikasi Pendekatan Ma’nā-cum-Maghzā pada Q.S. 2: 111-113”, bisa kita katakan bahwa Sahiron mampu memberikan jawaban yang toleran atas nama ‘kebenaran’.

Dengan menggunakan pendekatan ma’nā-cum-maghzā, ia mempertimbangkan tiga hal dalam menafsirkan Alquran; 1) makna historis atau makna asli, 2) signifikansi/pesan utama historis, dan 3) pesan utama kontemporer pada masa reinterpretasi.

Untuk mengungkap makna historis atau makna asli, Sahiron memberikan enam sampel potongan ayat;

  1. Wa qālū lan yadkhula l-jannata illā man kāna hūdan aw naṣāraā, yang bisa diterjemahkan menjadi “Mereka (yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani), tidak seorang pun akan masuk surga kecuali orang Yahudi dan Nasrani.”
  2. Tilka amāniyyuhum; “ini angan-angan mereka saja”
  3. Qul hātū burhānakum; “tunjukkan bukti kebenaranmu”
  4. (1) Balā man aslama wajhahū li Allāhi (2) wa huwa muḥsinun; yang pertama, ia menonjolkan bahwa kata ‘aslama’ tidak berarti masuk Islam secara ‘eksklusif’, tetapi tunduk kepada Tuhan, terlepas mereka orang Yahudi atau Kristen. Yang kedua, maksud dari muḥsin—sebagaimana dia kutip dari Ibn ‘Asyūr—tidak cukup hanya menyerahkan hati seorang hamba kepada Allah dan melakukan perbuatan baik, melainkan juga ikhlas.
  5. Fa lahū ajruhū ‘inda rabbihī wa lā khawfun ‘alayhim wa lā hum yaḥzanūna; “mereka yang mengabdikan diri akan dihargai oleh Allah, tidak ada rasa takut bagi mereka, dan bahwa mereka tidak akan bersedih di akhirat nanti.”
  6. Wa qālat al-yahūdu laysat al-naṣara ‘alā syay’in wa qālat al-naṣārā laysat al-yahūdu ‘alā syay’. Menurut Sahiron, orang Yahudi dan Kristen di Madinah pernah berkonflik dan masing-masing kelompok menuduh kelompok lain tersesat. Sikap semacam inilah yang dikecam oleh Alquran.

Untuk signifikansi/pesan historis, Sahiron membagi konteks historis mikro dan makro dalam asbāb al-nuzūl. Konteks historis mikro menjelaskan perdebatan orang-orang Kristen Najrān dan para rabi Yahudi di Madinah tentang kebenaran agama masing-masing. Sementara konteks historis makro menjelaskan pertemuan antar komunitas keagamaan di Madinah yang seharusnya tidak digunakan sebagai ajang saling menyalahkan, melainkan diskusi.

Terakhir, pesan utama pada Q.S. 2: 111-113, meskipun terdapat redaksi yang menyatakan eksklusivitas beragama, ayat ini menyingkapkan pesan bahwa keselamatan di akhirat akan diperoleh siapa saja bagi mereka yang tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan perbuatan baik, terlepas itu Muslim maupun non-Muslim. Untuk lebih mendukung kesimpulan ini, Sahiron menyertakan Q.S. [2]: 62 dan 135-136.

Kebebasan beragama ala Bint al-Shāṭi’

Meski pernah dikritik oleh Sahiron dalam bukunya yang berjudul Studi Kritis atas Metode Penafsiran Bint al-Shāṭi’ (2022), bahwa penerapan metode penafsiran Bint al-Shāṭi’ terhadap kasus ḥurriyyat al-‘aqīdah tidak meyakinkan—dalam arti tidak cukup kuat dijadikan sebagai landasan—tidak ada salahnya jika saya sedikit mengulas argumentasi Bint al-Shāṭi’ mengenai kebebasan beragama.

Secara ringkas, terdapat 10 poin berikut ini dalam buku Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Alquran (1997):

  1. Ayat-ayat yang menunjukkan jalan kebebasan beragama; Yunus: 99, Albaqarah: 256, Ali ‘Imran: 20, Annahl: 35, Almaidah: 92 dan Alsyura: 48.
  2. Ayat-ayat yang menunjukkan pembelaan dalam upaya menegakkan hak kebebasan berakidah, serta mengizinkan peperangan demi mengamankan hak kebebasan bagi para pemeluknya; Alkafirun: 1-6, Annahl: 125-127, Alhijr: 94, 97-98, Alan’am: 33-35, Alhajj: 39-40, Almumtahanah: 8, Alanfal: 61, Attaubah: 7.
  3. Sikap Islam yang juga membenarkan agama-agama samāwī terdahulu; Ali ‘Imran: 3-4, Fatir: 31, Almaidah: 46-48, Albaqarah: 91, Annisa: 46, Alahqaf: 30.
  4. Persatuan agama dengan kesatuan sumber dan tujuannya yang tetap beriman kepada Allah, tanpa membeda-bedakan para utusan Allah; Fuṣṣilat: 43, Al’ankabut: 46, Ali ‘Imran: 64.
  5. Ayat yang menunjukkan agar manusia mencari keyakinannya dengan benar; Alsyura: 13, Ali ‘Imran: 84 dan 136, Alan’am: 159, Arrum: 30-32, Annisa: 150-152, Albaqarah: 285.
  6. Penghapusan Islam terhadap otoritarianisme para pendeta yang berwenang memberi kartu ampunan dan penghapusan dosa sebagai hak kebebasan umat Muslim; Albaqarah: 186, lihat juga Alsyura: 25, Ṭāha: 82.
  7. Allah-lah yang Mahatahu hambanya yang tersesat dan memperoleh hidayah; Annajm: 29, lihat juga Alqalam: 7, Annahl: 125.
  8. Allah Mahakuasa untuk memberikan ampunan terhadap hambanya, juga, memberi siksaan kepada mereka yang membangkang terhadap perintah-Nya; Almaidah: 40, lihat juga Annisa: 48-116, Azzumar: 53.
  9. Alquran menghapus model kependetaan demi kebebasan akidah, hati dan akalnya; Alan’am: 61 dan 107, Azzumar: 41, Alsyura: 6 dan 48, Alghasyiah: 22, Annisa: 80, Alan’am: 104, lihat juga Attaubah: 113-114.
  10. Yang berhak memberi syafā’at hanyalah Allah semata; Yūnus: 3, Sabā’: 23, Alanbiya’: 28, Albaqarah: 255, Almudatsir: 43 dan 48, Yāsin: 23, Alan’am: 51 dan 70, Ghāfir: 18, Assajdah: 4, Albaqarah: 254, Azzumar: 33, Ṭāha: 109.

Catatan

Mengenai kebenaran beragama ala Sahiron, yang meskipun ia mengakui bahwa hasil dari penafsiran tersebut sama—walau proses berbeda—dengan Muḥammad Syahrur, hal yang sama juga ditemui dalam penafsiran Mawlanā Abū l-Kalām Azad (1888-1958) ketika menafsirkan Q.S. 2: 111-112 dalam Tarjumān al-Qur’ān.

Sahiron juga mengakui terdapat penafsiran yang eksklusif, seperti halnya Ibn Kaṡīr ketika menafsirkan Q.S. 2: 62. Hal yang tidak jauh berbeda juga penulis temukan dalam penafsiran Jawwād Mughniyah ketika menafsirkan Q.S. 3: 85 (bahwa kesatuan agama tidak patut dibenarkan) dalam Tafsīr al-Kāsyif.

Terlepas dari itu, menurut Sahiron, klaim kebenaran eksklusif semacam itu harus dihindari demi keharmonisan masyarakat yang pluralistik. Sampai sini, bisa kita katakan bahwa ‘kebenaran’ yang dikehendaki Sahiron masih terdapat pintu pro dan kontra untuk sampai pada ‘kebebasan’ di setiap keyakinan pemeluk agama masing-masing.

Sementara terkait kebebasan beragama ala Bint al-Shāṭi’, jika mengamati komentar dan kutipan ayat yang dijelaskan olehnya, agaknya terasa meyakinkan bahwa Islam menghendaki kebebasan beragama. Namun, seiring pembacaan di setiap poinnya, Bint al-Shāṭi’ seolah menggiring pembaca kepada kebenaran tunggal; bahwa Islam memang agama yang lebih baik dari agama lain.

Prasangka semacam ini semakin diperkuat oleh argumen Sahiron bahwa metode penafsiran Bint al-Shāṭi’ terhadap kebebasan beragama kurang meyakinkan. Menurut Sahiron, Bint al-Shāṭi’ gagal dalam menerapkan metode irtibāṭ al-āyah wa al-suwār. Secara kontradiktif, Bint al-Shāṭi’ tidak mengutip Q.S. 3: 19 dan 85 yang isinya cukup polemis tersebut, dalam membahas kebebasan beragama. Malahan, Q.S. 3: 19 dan 85 tersebut ditafsirkan olehnya secara eksklusif ketika mendukung penafsiran Q.S. Alma’un [107]:1. Sampai sini bisa kita katakan bahwa ‘kebebasan’ yang dikehendaki Bint al-Shāṭi’sulit untuk sampai pada ‘kebenaran’ objektif. Wallahu a’lam.

TAFSIR QURAN

Tiga Sifat Rasulullah dalam Surah At-Taubah Ayat 128

Segala laku hidup Rasulullah saw adalah suri tauladan untuk kita semua. Tidak hanya itu, kepribadian Rasul saw sampai dipuji setinggi langit oleh Allah Swt, wa innaka la’ala khuluqin adzim (Sungguh, Engkau (Muhammad) berada di paling atas budi pekerti yang agung). Artikel ini hendak mengulas tiga sifat Rasulullah dalam Surah At-Taubah ayat 128 yang patut kita teladani untuk segala hal. Simak selengkapnya di bawah ini.

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.S. al-Taubah [9]: 128)

Istikamah dalam Mengajak Kebaikan

Sifat pertama nabi adalah azizun ‘alaihi ma anittum, artinya berat terasa baginya penderitaanmu. Al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani menafsirkannya dengan segala sesuatu yang tak diinginkan yang terjadi pada dirimu. Di masa kenabian, Nabi saw diuji dengan berbagai hal berat seperti tanda-tanda kekufuran pada kaumnya sendiri, kesyirikan, ketidaktaatan, serta ketidakpatuhan kepada perintah dan larangan Allah.

Senada dengan itu, Ibn Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Adzim, bahwa terasa berat olehnya sesuatu yang membuat umatnya menderita karenanya. Karena itu, di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ

“Aku diutus dengan membawa agama Islam yang hanif lagi penuh dengan toleransi”

Di dalam hadis sahih disebutkan:

إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَشَرِيعَتَهُ كُلَّهَا سَهْلَةٌ سَمْحَةٌ كَامِلَةٌ، يَسِيرَةٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهَا اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ

Sesungguhnya agama ini mudah, semua syariatnya mudah, penuh dengan toleransi lagi sempurna. Ia mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah dalam mengerjakannya.

Dari ujian berat ini, tak heran jika Nabi saw mampu memahami karakter semua orang dan muncul rahmah (kasih sayang) tanpa membeda-bedakan kedudukannya. Nabi itu sangat istikamah dalam mengajak kebaikan. Nabi selalu memandang bahwa saudara kita adalah lapangan atau ladang untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah, bukan sebaliknya. Semakin sulit jalan yang harus dilalui Nabi, maka semakin banyak kebaikan yang diraih.

Semangat Mengantarkan Hidayah

Pribadi nabi yang kedua adalah Nabi sangat menginginkan umatnya selamat dan berprilaku baik. Hal ini tercermin dari kata harisun ‘alaikum bahwa nabi saw sangat menginginkan bagimu keimanan, keislaman, dan perbaikan kondisimu. Ibn Katsir mengatakan, nabi itu sangat menginginkan kita semua memperoleh hidayah sehingga senantiasa mampu bermanfaat untuk orang lain, baik di dunia maupun akhirat.

Dalam bahasa al-Razi, ia menyebutkan حريص على إيصال الخيرات إليكم في الدنيا والآخرة, artinya ingin menyampaikan kebaikan (sampai ke hati dan menjadi gaya hidup) kepada kita semua. Di dalam hadits lain disebutkan,

إن اللَّهَ لَمْ يُحَرِّمْ حُرمة إِلَّا وَقَدْ عَلِمَ أَنَّهُ سَيَطَّلِعُهَا مِنْكُمْ مُطَّلَع، أَلَا وَإِنِّي آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ أَنْ تَهَافَتُوا فِي النَّارِ، كَتَهَافُتِ الْفِرَاشِ، أَوِ الذُّبَابِ

Dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak sekali-kali mengharamkan sesuatu melainkan Dia telah mengetahui bahwa kelak akan ada dari kalian yang melanggarnya. Ingatlah, sesungguhnya akulah yang menghalang-halangi kalian agar jangan sampai kalian berhamburan terjun ke neraka sebagaimana berhamburannya laron atau lalat”.

Nabi itu memiliki semangat yang mengembara (harisun) untuk mengantarkan dan menyampaikan hidayah kepada umatnya. Nabi tidak berputus asa hanya dengan satu cara, melainkan berbagai cara ia tempuh. Nabi juga tidak hanya berdakwah kepada yang jauh sehingga melalaikan sekitarnya.

Banyak fenomena pendakwah hari ini yang semangat ke sana kemari, tetapi kanan kirinya tidak. Justru, berdakwah harus dimulai dari sekitarnya. Apapun sarana prasarana yang ada, akan diambil demi mengantarkan/ menyampaikan hidayah kepada orang lain. Lebih dari itu, Nabi tidak membatasi diri untuk satu umat saja, melainkan menyentuh seluruh lapisan manusia, tanpa terkecuali.

Penyantun dan Penyayang terhadap Umat

Kepribadian nabi yang ketiga adalah bil mu’minina ra’ufun rahim (Nabi saw itu penyantun, penyayang dan mudah memaafkan orang lain). Nabi itu adalah pribadi yang pemaaf, dan kasih sayang kepada sesama. Sampai-sampai dikisahkan Nabi saw itu seringkali memaafkan dan mengasihi kepada sesama sekalipun pendosa.

Disampaikan Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil bahwa Nabi saw sangat penyantun kepada mereka yang taat akan perintah Allah dan penyayang kepada para pendosa. Senada dengan al-Baghawi, Muqatil bin Sulaiman dalam tafsirnya, menuturkan bahwa Nabi saw sangat penyayang dan belas kasihan kepada semua orang, sebagaimana yang digambarkan dalam kata al-Ra’fah (الرأفة), yaitu al-rahmah, selalu menyayangi, mengasihi dan memuliakan semua orang.

Bukti sikap kasih sayang nabi kepada manusia adalah Nabi Muhammad saw bangkit ketika ada sebuah prosesi pemakaman seorang Yahudi Madinah. Tatkala ia ditanya mengapa ia berdiri untuk seorang Yahudi, Nabi menjawab, “Bukankah ia seorang manusia?” (alaisat nafsan). (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Di sinilah letak keiistimewaan Nabi bahwa seluruh perkataan, perbuatan dan sikapnya selalu memandang dari segi kemanusiaan. Nabi melintasi sekat agama, ras, suku, budaya, bangsa. Nabi saw adalah suri tauladan untuk kita semua.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan Habib Ali Al-Jufri bahwa kemanusiaan itu mendahului keberagamaan. Kemanusiaan mengajarkan umat manusia untuk memandang dan bersikap terhadap orang lain secara patut dan manusiawi. Kemanusiaan merupakan salah satu tafsiran atas rahmatan lil alamin. Wallahu A’lam.

TAFSIR QURAN

Mencari Titik Temu Sains dan Alquran

Menjadi perbincangan hangat di antara para ilmuan dan filsuf tentang korelasi sains dan Alquran. Banyak yang beranggapan bahwa agama yang disimbolkan dengan Alquran dan sains merupakan dua kajian yang bertolak belakang. Alquran sifatnya tertutup, terbukti kebenaranya tanpa melalui pengujian, sedangkan sains bersifat objektif, terbuka, teruji dan terbukti.

Meski sudah banyak ilmuan dan peneliti yang tidak mempermasalahkan adanya integrasi sains dan Alquran, namun tidak menutup fakta masih ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan integrasi sains dengan Alquran dalam berbagai bentuknya.

Di tulisan ini dibahas tentang cara mencari titik temu antara sains dan Alquran, khususnya untuk merespon pandangan ilmuan yang masih mendikotomi dua kajian tersebut.

Terdapat empat tipologi yang dikemukakan oleh Ian G.Barbour dalam bukunya, When Science Meets Religion tentang teori hubungan sains dan kitab suci (Alquran). Keempat tipologi tersebut hemat kata dapat ditarik kepada hubungan sains dengan teks Alquran.

Pertama Ian G.Barbour menamakan tipologi konflik. Tipe ini beranggapan bahwa ada kotradiksi antara sains dengan agama. Tipologi ini dipegang oleh kelompok materialis ilmiah dan kelompok literasi kitab suci.

Menurut materialis ilmiah bahwa sains bersifat objektif, terbuka, umum, kumulasi dan progres. Sedangkan agama bersifat subyektif, tertutup, tidak kritis dan sangat sulit berubah.

Menurut literalisme kitab suci, penafsiran harfiah kitab suci mengatakan bahwa teori ilmiah seperti teori evolusi yang melambungkan filsafat materialis dan merendahkan perintah moral Tuhan. Argumentasi kelompok ini mempertentangkan antara sains dan agama.

Kedua tipologi Independensi. Tipologi ini mengatakan bahwa seharusnya antara sains dan agama tidak perlu ada konflik, sebab secara domain berbeda. Artinya memang tidak ada keterkaitan antara sains dengan agama sebab sains kajianya melingkupi alam semesta sedangkan agama dimensinya ketuhanan yang memperdalam keruhanian.

Argumentasinya adalah sains mengajukan pertanyaan “bagaimana” yang objektif, sedangkan agama mengajukan pertanyaan “mengapa” untuk mengetahui tujuan hidup. Sains diuji secara eksperimental dan melakukan prediksi kuantitatif, sedangkan agama menggunakan bahasa simbolis dan analogis karena tuhan bersifat transenden. Tipologi ini seakan-akan menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara sains dengan agama sehingga bagaimanapun juga tidak akan bisa disamakan dan dikaitkan.

Ketiga tipologi dialog yaitu membandingkan kedua dimensi sains dengan agama. Tipologi ini dapat menunjukkan adanya hubungan antara teologis dan pencarian ilmiah, kemiripan, dan perbedaanya.

Misalnya terdapat pertanyaan “mengapa alam semesta serba teratur dan dapat dipahami?” Pertanyaan tersebut melewati batas kajian sains dan mulai merambah pada teologi. Juga dialog dapat terjadi ketika konsep sains digunakan sebagai analogi untuk membahas hubungan Tuhan dengan dunia. Yakni adanya kesejajaran konseptual antara teori ilmiah dan keyakinan teologi.

Titik Temu Antara Sains dengan Alquran

Titik temu antara sains dengan Alquran dapat ditemukan di tipologi yang keempat, yaitu tipologi integritas. Pendekatan tersebut dapat terjadi pada kalangan yang mencari titik temu di antara keduanya. Tipologi ini didukung oleh tipologi sebelumnya yaitu dialog yang berusaha mengintegrasikan sanis dengan agama.

Untuk mengetaui hubungan antara sains dengan agama, dalam tipologi ini memiliki tiga versi. Pertama Natural Theology, yaitu klaim bahwa eksistensi Tuhan dapat didukung dan dibuktikan tentang desain alam yang dari alam tersebut dapat disadari tentang adanya Tuhan. Thomas Aquinas mengatakan bahwa beberapa sifat Tuhan dapat diketahui dari kitab suci, akan tetapi eksistensi Tuhan dapat diketahui hanya dari nalar sehingga perlu adanya sains untuk memperkaya naluri agar bisa merasakan eksistensi Tuhan secara mendalam.

Kedua Theology Of Nature, yakni pengalaman keagamaan wahyu historis dan doktrin tradisional dirumuskan ulang dalam sains terkini. Versi ini melakukan pengujian teologi keagamaan dengan sains sehinga dapat memunculkan adanya bukti teks-teks kitab suci dengan sinaran sains. Hal tersebut dapat terkait dan diidentikkan dengan fungsi i’jaz al-ilmi atas tafsir Alquran.

Ketiga Sintesis Sistematis, yaitu merupakan sintesa integritas yang lebih sistematis antara sains dan agama yang memberikan kontribusi ke arah pandangan dunia yang lebih koheren dengan mengelaborasianya dalam rangka metafisika yang komprehensif. Versi ini berpijak pada filsuf proses yaitu setiap peristiwa atau teori baru merupakan produk masa lalu dari tindakan dan aksi Tuhan. (Andi Rosadisastra, Metode Ayat-Ayat Sains & Sosial, hal. 15-23).

Fungsi Tafsir Alquran Terhadap Sains

Selain memberi pedoman dan petunjuk hidup beserta hukum-hukum untuk keberlangsungan kehidupan manusia, Alquran juga memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.

Para ulama mengistilahkan ayat-ayat sains dan sosial dengan istilah At-Tafsir Al-ilmi yang berusaha mengungkap kandungan sains dalam Alquran tentu dengan menggunakan kacamata sains.

Misalnya peristiwa Big Bang yang dikemukakan oleh Hubble tahun 1927. Sebuah teori yang menjelaskan dahulu jagad raya adalah satu yang kemudian meledak menjadi terpisah-pisah dan banyak. Salah satu pecahannya adalah bumi. Teori tersebut dikatakan oleh para ilmuan identic dengan surah Al-Anbiya ayat 30 yang memaparkan bahwa langit dan bumi adalah suatu yang padu setelah itu dengan izin Allah terpisah.

Menurut para mufasir, At-Tafsir Al-ilmi ada yang berfungsi sebagai tabyin, yaitu menjelaskan teks Alquran dengan latar belakang penguasaan sains yang dimiliki oleh mufasirnya. Selain itu juga berfungsi sebagai i’jaz al-ilmi yang dimiliki oleh Alquran. Adz-dzahabi menetapkan fungsi tabyin sebagai istikhraj al-ilm dari tafsir ayat sains dan Al-i’jaz merupakan proses antara tabyin menuju istikhraj al-ilm.  (Ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, hal. 474).

Walllahu a’lam

Menjaga Silaturrahim dengan Lawan Politik

Silaturrahim memiliki tujuan mulia, tidak perlu menunggu hari raya, bahkan penting mengishlahkan kembali hubungan antar sesama, khususnya di tahun politik

RASULULLAH menyebutkan amalan silaturrahim adalah amalan yang sangat dicintai Allah. Walau terdengar ringan, silaturrahim memiliki manfaat besar bagi yang merajutnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Membuka pintu rezeki yang luas, menyehatkan dan memanjangkan umur. Silaturrahim adalah ibadah muamallah demi sesama, tanpa sekat agama dan status sosial.

Istilah silaturrahim santer disebut ketika umat Islam selesai menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, yaitu ketika Idul Fitri hadir sebagai kemenangan atas umat Islam yang menjalankan ibadah puasa selama Ramadhan. Kegiatan silaturrahim dan saling memaafkan telah menjadi tradisi bangsa Indonesia saat lebaran. Ketika itulah saling bermaafan dan kegiatan halal bi halal banyak ditemukan di sekeliling kita.

Kegiatan silaturrahim memiliki tujuan mulia, yaitu untuk mengishlahkan kembali hubungan antara sesama yang mungkin renggang sebelumnya, karena berbagai persoalan yang terjadi. Diharapkan hubungan kemanusiaan (hablum-minannas) akan menguat kembali, setelah hubungan dengan Allah SWT (hablum-minallah).

Silaturrahim berarti menghubungkan kekerabatan dan persaudaraan atas dasar cinta dan kasih sayang, sekaligus menghilangkan segala kedengkian, kebencian, dan permusuhan di antara sesama. Karena itu, esensi silaturrahim, di samping bertemu secara fisik sambil bersalam-salaman, juga berusaha menebarkan kedamaian, ketenangan dan keselamatan pada sesama, atas dasar keikhlasan.

Silaturrahim tidak akan mempunyai makna apapun kalau hanya ditekankan pada aspek lahiriah saja, tidak disertai dengan kejernihan hati dan pikiran. Dalam al-Qur’an, silaturrahim yang mempertautkan hati inilah yang disandingkan dengan takwa kepada Allah SWT (QS An-Nisa’ [4]:1).

Salah satu indikator utamanya adalah kesediaan bersilaturrahim menebarkan kasih sayang, menghilangkan kedengkian dan permusuhan serta membangun rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang abadi.

Silaturrahim, tidak saja dilakukan dengan orang yang memiliki hubungan baik dengan kita. Tapi juga dianjurkan untuk dijalin dengan orang yang mempunyai masalah atau kurang baik dengan kita.

Siapa yang mendahului melakukannya, itulah orang yang mulia di sisi Allah SWT. Rasulullah ﷺ menyebut perbuatan ini dengan afdhalul-fadha’il (perbuatan yang paling utama di antara yang utama) sebagaimana dikemukakan dalam sabdanya;

“Yang paling utama di antara perbuatan yang utama adalah engkau melakukan silaturrahim dengan orang yang memutuskannya, engkau memberi kepada orang yang tidak pernah memberi (kikir), dan engkau memaafkan orang yang berlaku zalim kepadamu.“ (HR: Thabrani dari Muaz bin Jabal).

Di tengah-tengah berbagai persoalan yang sering menimbulkan konflik, saling mencurigai, saling menuduh dan saling memfitnah seperti yang banyak terjadi sekarang ini, maka silaturrahim yang berkualitas dan fungsional, dengan langkah-langkah yang konkret, merupakan keniscayaan yang harus kita lakukan. Tidak terbatas hanya pada saat berhalal bi halal dalam suasana Idul Fitri, akan tetapi sepanjang hayat dan sepanjang masa.

Syeikh Yusuf al-Qaradhawi saat datang ke Indonesia pernah mengatakan perbedaan kelompok, partai, orgAniesasi, tidaklah masalah. Yang penting semua harus menyadari bahwa sesama Muslim adalah bersaudara, karena Muslim itu satu.

Karena itulah ia meminta umat Islam untuk berpegang teguh pada kesatuan Islam yang telah mengikatnya. Ia mengatakan, umat Islam pernah mengalami fase penjajahan ratusan tahun oleh berbagai kekuatan di dunia.

Jutaan umat Islam di seluruh dunia menjadi korban. Termasuk sembilan kali Perang Salib yang kemudian dimenangkan oleh Imaduddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi, yang kemudian memaafkan kesalahan-kesalahan musuh dengan tetap membiarkan mereka hidup.

Syeikh Qaradhawi menandaskan pentingnya Muslim di Indonesia untuk bersatu dan saling membahu untuk mengangkat harkat dan martabat kaum Muslimin. “Bersatulah wahai Muslimin di Indonesia, karena hanya Islamlah yang bisa menyatukan kita. Hanya Islam saja yang memiliki garis persatuan yang bisa mengikat kita. Hanya Islam yang membimbing kita pada shiratal mustaqim, jalan yang lurus, yang menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan.”

Dalam sejarah Islam banyak disebut tentang keteladanan Rasulullah ﷺ dalam menyikapi musuh. Dengan penuh arif dan bijaksana beliau memperlakukan musuh-musuhnya dengan manusiawi.

Misalnya saja ketika pembukaan Kota Makkah, Nabi Muhammad memberikan pengampunan kepada seluruh musuhnya tanpa pandang bulu dengan budi yang luhur. Beliau telah membuang ingatan-ingatan tentang masa lampau yang penuh dengan ejekan, penganiayaan, bahkan beliau memperlakukan lawan-lawan yang paling terkemuka dengan pertimbangan yang luhur, sangat adil dan penuh rasa persahabatan.

Begitu juga sikap Rasulullah ﷺ kepada wanita Yahudi yang berusaha meracuni Nabi Muhammad. Wanita itu berusaha meracuni Nabi karena dendam sebab keluarganya ada yang meninggal dunia dalam pertempuran melawan pasukan Islam.

Mendengar kejujuran wanita itu, Rasulullah kemudian memaafkan wanita itu. Sejarah mencatat, wanita Yahudi itu kemudian masuk Islam. Dan masih banyak lagi teladan dari Rasulullah dalam menyikapi lawan-lawannya.

Teladan Hamka

Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat sosok perjalanan politik Prof KH Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) yang dikisahkan oleh putra kelima Hamka, yakni KH Irfan Hamka dalam sebuah bukunya berjudul Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka. Dalam buku itu dikisahkan, Buya Hamka memiliki jiwa besar dan sifat pemaaf kepada lawan-lawan politiknya secara ideologis: antara Islam, nasionalis dan komunis yang diwakili para tokoh seperti pencetus, penggali, Pancasila Mr Mohammad Yamin dan Soekarno.

Buya Hamka tak jarang mendapatkan fitnah dari lawan-lawan politiknya karena ia mempertahankan keyakinan ideologi dalam berpolitik. Bahkan ia juga pernah masuk penjara, disingkirkan, dan dimiskinkan. Namun Hamka tetap bersabar. Dan kesabarannya dalam menghadapi ujian itu berbuah mAnies.

Misalnya pengalaman dengan Mohammad Yamin. Tahun 1955 sampai 1957, sebagai anggota Konstituante dari Fraksi Partai Masyumi, Hamka cukup aktif dalam sidang merumuskan Dasar Negara Rl.  Saat itu ada dua pilihan: pertama, UUD 1945 Negara berdasarkan Islam. Kedua, UUD 1945 dengan dasar negara Pancasila.

Untuk kedua pilihan dasar negara itu, terbuka dua kubu yang sama kuat. Kubu pertama tentu saja kelompok Islam. Masyumi sebagai pimpinannya, mengajukan dasar negara berdasarkan Islam.

Kubu kedua, dipimpin Partai Nasional Indonesia (PNI), ingin negara berdasarkan Pancasila.Dalam suatu persidangan Hamka menyampaikan pidato politik yang cukup berani: “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka …”

Moh. Yamin sebagai anggota Konstituante dari Fraksi PNI terkejut atas pernyataan Hamka itu. Tokoh PNI itu marah dan benci kepada Hamka meskipun keduanya sama-sama dari Sumatera Barat.

Bertahun-tahun setelah Dekrit di mana Soekarno kemudian membubarkan Konstituante, parlemen, dan menetapkan UUD ’45 dan Pancasila sebagai dasar negara, terjadi peristiwa yang luar biasa. Tahun 1962,  Moh. Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD. Hamka menerima telepon dari Chairul Saleh, salah seorang menteri pada waktu itu, menyampaikan perihal sakit Moh. Yamin.

Chairul Saleh menyampaikan pesan Moh. Yamin untuk menjemput Hamka ke rumah sakit. “Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya,” kisah Chairul. Apa jawab Hamka? “Kalau begitu mari bawa saya ke RSPAD menemui beliau,” tutur  Hamka.

Sore itu juga Hamka dan Chaerul Saleh tiba di rumah sakit. Melihat kedatangan Hamka, Moh. Yamin menggapai Hamka untuk mendekat. Hamka menjabat tangan Moh. Yamin dan mencium kening tokoh yang bertahun-tahun membencinya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar dia berkata, “Terima kasih Buya sudi datang.” Dari kedua kelopak matanya tampak air mata menggenangi matanya.

Hamka pun mendampingi Moh. Yamin hingga ajal datang menjemputnya. Hamka menuntun lawan politiknya itu dengan kalimat La ilaha illallah Muhammadan Rasalullah. Dengan lemah Moh. Yamin mengikuti bacaan Hamka. Setelah tak ada respon dan merasakan genggaman Moh. Yamin mengendur, dingin dan terlepas dari genggaman Hamka. Moh. Yamin pun meninggal dunia dalam genggaman tangan Hamka.

Pengalaman dengan Soekarno juga memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia atas sikap legowo Hamka terhadap lawan politiknya. Tahun 1964-1966 Hamka pernah dipenjara atas perintah Presiden Soekarno dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno.

Ketika dipenjara, buku-buku karangan Hamka dilarang beredar. Hamka juga tidak bisa memenuhi undangan untuk berdakwah. Hamka baru bebas setelah rezim Soekarno tumbang, digantikan oleh Soeharto.

Hamka kembali melakukan kegiatan seperti sebelum ditahan Soekarno.

Tanggal 16 Juni 1970, Hamka dihubungi oleh Sekjen Departemen Agama Kafrawi Ridwan. Kafrawi membawa pesan dari keluarga mantan Presiden Soekarno untuk Hamka. Pesan itu pesan terakhir dari Soekarno, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku.”

Bahkan ada satu versi lagi menyatakan bahwa dalam keadaan sekarat, mantan Presiden RI pertama ini menyampaikan pesannya kepada keluarganya, bahwa bila datang ajalnya, ia ingin yang menjadi imam shalat jenazahnya adalah Hamka.

Pesan itu disampaikan oleh keluarganya kepada Presiden Soeharto yang telah menggantikannya sebagai Presiden RI ke-2. Hamka pun menjadi imam shalat jenazah Soekarno.

Irfan Hamka dalam tulisannya menjelaskan, walaupun dua orang ini berbeda paham politik yang tajam, namun mereka tetap menjaga tali silaturrahim. “Soekarno tidak membenci ayah. Begitu pula ayah pun tidak dendam kepada Soekarno,” tulisnya.

Akibat Hamka mengimami jenazah Soekarno, teman-teman Hamka banyak yang menyesalkan tindakan Hamka itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Soekarno itu munafik. Ada pula yang bertanya: “Apa Buya tidak dendam kepada orang yang telah membenamkan Buya dalam penjara?” kisahnya.

Namun Hamka menjawab semua kritik itu. “Hanva Allah yang lebih tahu orang-orang yang munafik dan saya harus berterima kasih, karena dalam penjara saya dapat kesempatan menulis tafsir al-Qur’an 30 juz. Satu hal lagi jangan dilupakan bahwa almarhum memprakarsai pembangunan dua buah masjid yang monumental, satu Masjid Baiturrahim di Istana Merdeka. Satu lagi masjid terbesar di Asia Tenggara, Masjid Istiqlal. Semoga ini menjadi amal yang tak terhingga untuk Soekarno.”

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS: al-Fath: 29). */Fathurroji, Muhammad Khaerul Muttaqien, Majalah Gontor

HIDAYATULLAH

Sekolah Hadis El-Bukhari Institute: Membumikan Kajian Hadis di Indonesia

Divisi Pelatihan el-Bukhari Institute (eBI) sejak tahun 2016 yang lalu telah melaunching program baru yang diberi nama dengan Sekolah Hadis. Program ini bertujuan untuk membumikan kajian hadis di Nusantara dengan menggunakan metode Short-Course dan Focus Group Discussion (FGD). Gagasan ini dimaksudkan untuk mengisi dan menyemarakkan sepinya kajian-kajian hadis di Indonesia serta minimnya para ilmuan yang bisa disebut sebagai muhaddits di zaman sekarang.

Sekolah Hadis berbeda dengan Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences Jakarta, pesantren khusus hadis yang didirikan oleh Almarhum Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA rahimahullah, yang menerapkan sistem pesantren dengan kolaborasi antara sistem klasikal & modern sebagai metodenya ataupun Lembaga Kajian Hadis al-Mughni pimpinan Ustadz Dr. Luthfi Fathullah, MA yang fokus dalam pengembangan hadis melalui dunia digital sebagai ciri khasnya.

Distingsi Sekolah Hadis ini terletak pada bentuk penyajian dan durasi belajarnya yang lebih singkat, yaitu lebih kurang 8x pertemuan untuk masing-masing programnya. Hal ini terinspirasi dari beberapa program serupa yang pernah diadakan oleh lembaga penelitian lain dalam disiplin ilmu yang berbeda, seperti Sekolah Demokrasi yang diadakan oleh Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), Pendidikan Kader Mufassir oleh Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) pimpinan Prof. Dr. Quraisy Shihab, MA, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, sasaran program ini adalah semua kalangan yang mempunyai kecenderungan terhadap kajian hadis, khususnya di daerah Jabodetabek dan sekitarnya. Kelas yang akan dibuka pada 31 Januari 2022 ini akan difokuskan ke dalam tiga kategori. Pertama, Kelas Musthalah Hadis (Ilmu Hadis Dasar). Kedua, Kelas Takhrij wa Dirasah al-Sanad (Kelas Pelacakan dan Kritik Hadis). Dan ketiga, Kelas Thuruq Fahmil Hadits (Ilmu Metode Memahami Hadis).

Sementara itu, buku yang akan dijadikan pegangan dalam setiap kelas adalah Kitab Taisir Musthalah al-Hadits karya Mahmud Thahhan untuk Kelas Musthalah, Kitab Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid karya Mahmud Thahhan untuk Kelas Takhrij, serta Kitab al-Thuruq al-Shahihah fi Fahm al-Sunnah al-Nabawiyyah karya Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA untuk Kelas Thuruq. Selain itu, juga akan dikombinasikan dengan kitab-kitab lain yang sejenis sebagai pengayaan dan bahan diskusi.

Outcome atau target utama program ini adalah agar setiap peserta dapat menguasai materi-materi dasar terkait Ilmu Mustalah Hadis, Metode Takhrij Hadits dan Kritik Sanadnya dengan metode digital, serta Metode Memahami Hadis secara benar dan humanis. Target ini sesuai dengan tingkatan kajian hadis di masa sekarang sebagaimana yang pernah dipetakan oleh Almarhum Kyai Ali Mustafa Yaqub dalam sejumlah karya-karyanya.

Terkait dengan jadwal pelaksanaan, program ini akan dimulai pada hari Senin, 31 Januari 2022 mendatang secara daring melalui platform Zoom Cloud Meeting. Adapun jadwalnya adalah setiap Senin dan Selasa, pukul 16.00 WIB untuk Kelas Ilmu Hadis Dasar, Rabu dan Kamis, pukul 16.00 WIB untuk Kelas Takhrij dan Kritik Sanad, serta Sabtu dan Ahad, pukul 16.00 WIB untuk Kelas Metode Memahami Hadis. Masing-masing kelas berdurasi 1,5 jam untuk setiap pertemuan dengan kuota maksimal tidak lebih dari 20 orang/kelas. Bagi yang berminat mengikuti program ini bisa mengklik link berikut :

http://bit.ly/SekolahHadisEl-Bukhari.

HADISPEDIA