Denda Usai Pasutri Berhubungan Intim Saat Haid

Ulama fikih sepakat berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar.

Haid menjadi fitrah bagi setiap perempuan. Untuk Muslimah, haid adalah siklus bulanan yang memberikan bermacam konsekuensi. Salah satunya ialah perihal berjimak atau berhubungan intim bagi mereka yang sudah memiliki suami. Keharamannya sudah dituliskan dalam Alquran.

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS al-Baqarah: 222).

Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.

QS AL-BAQARAH: 222

Pengisi kolom di Rumah Fiqih Indonesia, Ustazah Aini Aryani, menjelaskan, ulama fikih sepakat bahwa berhubungan suami istri saat haid merupakan dosa besar. Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa sepasang suami istri yang melakukannya dikenai denda masing-masing satu dinar jika hubungan itu dilakukan pada masa awal haid atau seperlima dinar jika dilakukan pada pertengahan-akhir haid.

Pendapat di atas didukung oleh ulama dari mazhab Hanafi. Tetapi, mazhab Hanafi berpendapat bahwa denda tersebut hanya diwajibkan atas suami dan tidak kepada istri karena larangan itu ditujukan kepada suami.

Pendapat-pendapat di atas berdasarkan pada hadis berikut, “Seorang laki-laki menjimak istrinya yang sedang haid, apabila itu dilakukan saat darah haid istrinya berwarna merah maka dikenai denda satu dinar, sedangkan jika dilakukan saat darahnya sudah berwarna kekuningan, dendanya seperlima dinar.” (HR Tirmidzi).

Sedangkan, ulama dari mazhab Hambali mengatakan bahwa keduanya (suami-istri) dikenai denda masing-masing setengah dinar tanpa membedakan apakah itu dilakukan di awal, pertengahan, atau akhir masa haid. Mazhab Maliki berpendapat, tidak ada denda apa pun dalam perbuatan itu, baik atas si suami atau si istri.

Namun, pembayaran denda tersebut belum tentu menghapus dosa. Menurut Ustazah Aini, berhubungan suami istri saat istri sedang haid adalah perbuatan dosa besar. Selama keduanya tidak bertobat kepada Allah, dosa tersebut akan tetap melekat pada diri mereka.

Karena itu, pasangan suami istri tidak cukup hanya membayar denda sebagaimana tertulis di atas. Namun, juga harus disertai tobat dengan meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatan dengan sebenar-benarnya, dan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.

REPUBLIKA

Kesesatan yang Paling Parah

Firman Allah Ta’ala,

وَمَنۡ أَضَلُّ مِمَّن یَدۡعُوا۟ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَن لَّا یَسۡتَجِیبُ لَهُۥۤ إِلَىٰ یَوۡمِ ٱلۡقِیَـٰمَةِ وَهُمۡ عَن دُعَاۤىِٕهِمۡ غَـٰفِلُونَ

وَإِذَا حُشِرَ ٱلنَّاسُ كَانُوا۟ لَهُمۡ أَعۡدَاۤءࣰ وَكَانُوا۟ بِعِبَادَتِهِمۡ كَـٰفِرِینَ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa kepada selain Allah, sesuatu yang tidak bisa menjawab permintaannya sampai hari kiamat, dan mereka itu pun lalai dari doa yang ditujukan kepadanya. Dan apabila umat manusia kelak dibangkitkan, maka mereka itu justru menjadi musuh bagi penyembahnya. Dan mereka pun mengingkari ibadah yang dilakukan oleh para pemujanya.” (QS. Al-Ahqaf : 5-6)

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah. (lihat Al-Qaul As-Sadid fi Maqashid At-Tauhid, hlm. 52)

Ayat yang agung ini berlaku umum bagi segala bentuk sesembahan selain Allah. Baik yang disembah atau dimintai itu sudah mati atau orang yang tidak bisa dihubungi (gaib), atau orang itu tidak mungkin mampu memenuhi permintaan yang ditujukan kepadanya. Entah itu berupa thaghut yang hidup, maupun berhala yang dipuja-puja. Selain itu, ayat ini juga mencakup setiap orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah. Hasil yang akan dicapai oleh setiap orang yang beribadah kepada selain Allah (apapun bentuknya) adalah kerugian semata. Sesembahan yang mereka puja-puja di dunia akan berubah menjadi musuh mereka kelak di akhirat. (lihat Fath Al-Majid, hlm. 167)

Allah Ta’ala berfirman,

وَیَوۡمَ یَحۡشُرُهُمۡ وَمَا یَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَیَقُولُ ءَأَنتُمۡ أَضۡلَلۡتُمۡ عِبَادِی هَـٰۤؤُلَاۤءِ أَمۡ هُمۡ ضَلُّوا۟ ٱلسَّبِیلَ

قَالُوا۟ سُبۡحَـٰنَكَ مَا كَانَ یَنۢبَغِی لَنَاۤ أَن نَّتَّخِذَ مِن دُونِكَ مِنۡ أَوۡلِیَاۤءَ وَلَـٰكِن مَّتَّعۡتَهُمۡ وَءَابَاۤءَهُمۡ حَتَّىٰ نَسُوا۟ ٱلذِّكۡرَ وَكَانُوا۟ قَوۡمَۢا بُورࣰا

Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah), ‘Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?’ Mereka (yang disembah itu) menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagi kami mengambil selain Engkau (untuk menjadi) pelindung. Akan tetapi, Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup sampai mereka lupa mengingati (Engkau), dan mereka adalah kaum yang binasa.’” (QS. Al-Furqan: 17-18)

Mereka itu, yaitu orang-orang yang tenggelam di dalam kemusyrikan, ternyata terjerumus ke dalamnya akibat tidak pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Allah limpahkan kepada mereka berbagai kenikmatan dunia, namun mereka lalai dari mensyukurinya. Mereka terbuai oleh hawa nafsunya dan terlena dengan kesenangan-kesenangan dunia. Mereka berupaya keras memelihara kesenangan dunianya dan justru menyia-nyiakan agamanya. Inilah penyebab mereka bergelimang dengan kemusyrikan, yaitu bersenang-senang dengan kenikmatan dunia (tanpa mengindahkan syari’at, pent-) sehingga memalingkan mereka dari hidayah. (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 631 karya Syekh As-Sa’di rahimahullah)

Pada hari kiamat nanti, tidak ada yang diperoleh orang-orang musyrik, selain kebalikan dari apa yang mereka harapkan. Sesembahan mereka akan berlepas diri dan tidak mau ikut bertanggung-jawab atas ibadah yang ditujukan kepadanya. Sesembahan mereka akan mengingkari perbuatan itu dengan sekeras-kerasnya. (lihat Fath Al-Majid, hlm. 167)

Allah Ta’ala berfirman,

وَیَوۡمَ نَحۡشُرُهُمۡ جَمِیعࣰا ثُمَّ نَقُولُ لِلَّذِینَ أَشۡرَكُوا۟ مَكَانَكُمۡ أَنتُمۡ وَشُرَكَاۤؤُكُمۡۚ فَزَیَّلۡنَا بَیۡنَهُمۡۖ وَقَالَ شُرَكَاۤؤُهُم مَّا كُنتُمۡ إِیَّانَا تَعۡبُدُونَ
فَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِیدَۢا بَیۡنَنَا وَبَیۡنَكُمۡ إِن كُنَّا عَنۡ عِبَادَتِكُمۡ لَغَـٰفِلِینَ

Dan (ingatlah) suatu hari ketika itu Kami mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), ‘Tetaplah kamu dan sekutu-sekutumu di tempat itu.’ Lalu, Kami pisahkan mereka dan berkatalah sekutu-sekutu mereka, ‘Kamu sekali-kali tidak pernah menyembah kami. Dan cukuplah Allah menjadi saksi antara kami dengan kamu, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang penyembahan kamu (kepada kami).’” (QS. Yunus: 28-29)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82824-kesesatan-yang-paling-parah.html

Isra Miraj dan Makna Pergantian Kepemimpinan

Salah satu yang menjadi pertanyaan besar dari perjalanan Isra Miraj, yaitu mengapa perjalanan tersebut melintasi terlebih dulu Masjid Al Aqsa untuk sampai ke langit? Mengapa dari Masjidil Haram tidak langsung ke langit?

Hal itu menunjukkan bahwa Al Aqsa adalah tempat suci di bumi yang diberkahi Allah SWT. Juga bertujuan untuk mendoakan para nabi yang menerima kerasulan dari Allah SWT di Baitul Maqdis.

Perlintasan dari Masjidil Haram ke Masjid Al Aqsa, lalu ke langit, juga menandakan bahwa kepemimpinan telah berpindah kepada yang baru, yaitu nubuat atau kenabian bagi alam semesta. Tidak seperti kenabian sebelumnya, di mana setiap nabi diutus hanya untuk kaumnya. Nubuat tersebut adalah abadi bagi semua manusia, rahmat bagi alam semesta, semua wilayah, dan berlaku sepanjang masa, yang ditetapkan hingga hari akhir.

Masjid Al Aqsa, yang dilintasi dalam Isra Miraj, adalah tanah kenabian di masa lalu, di mana Nabi Ibrahim, Nabi Ishak, Nabi Musa, dan Nabi Isa, menandai peralihan kepemimpinannya.

Dengan demikian, perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad juga menunjukkan bahwa kepemimpinan telah berpindah kepada umat yang baru dan kepada risalah yang baru dan abadi bagi alam semesta.

Mantan Mufti Mesir, Syekh Dr Ali Jum’ah menjelaskan, Isra Miraj mengandung makna persatuan bagi umat manusia. Umat manusia adalah satu bangsa dan ini adalah puncak makna dari peristiwa Isra Miraj.

“Yaitu ketika Rasul kita, bertemu saudara-saudaranya dari para Nabi yang lain. Mereka melakukan sholat di mana Nabi SAW memimpinnya,” jelasnya.

Itu menjadi tanda bahwa umat manusia mengikuti seluruh nabi dan beriman kepadanya dengan mengikuti nabi terakhir yang dalam hal ini adalah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT menjadikan umat manusia itu satu, sejak Nabi Adam AS sampai sekarang.

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Kalau begitu bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi bersama kamu.” (QS Ali Imran ayat 81)

Dalam hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaanku dengan nabi-nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut.

Lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata, ‘Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini.’ Beliau bersabda, “Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para nabi.” (HR Bukhari)

REPUBLIKA

Benarkah Shalat Sunah Sebelum Subuh Disunahkan Mengeraskan Suara?

Ketika kita melaksanakan shalat rawatib atau shalat sunah sebelum dan sesudah shalat fardhu, baik Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh, maka kita umumnya membaca al-Fatihah dan al-Quran dengan suara pelan. Jarang kita jumpai seseorang mengeraskan suara saat dia melaksanakan shalat sunah rawatib. Namun akhir-akhir ini, ada seorang ustadz yang menjelaskan bahwa khusus shalat sunah sebelum Shubuh disunahkan mengeraskan suara. Benarkah demikian?

Kebanyakan ulama Syafiiyah dan ulama lainnya mengatakan bahwa ketika kita shalat sunah rawatib, kita disunahkan untuk membaca setiap bacaan yang ada di dalamnya dengan suara pelan, baik surah al-Fatihah, al-Quran, doa dan lainnya.

Kesunahan membaca dengan suara pelan ini berlaku pada semua sunah rawatib secara keseluruhan, baik sebelum dan sesudah shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh. Hanya saja memang ada sebagian ulama salaf mengatakan bahwa khusus shalat sunah sebelum Shubuh dianjurkan untuk mengeraskan suara.

Dengan demikian, jika mengikuti pendapat kebanyakan ulama, shalat sunah Shubuh disunahkan untuk membaca dengan suara pelan. Sementara menurut sebagian ulama salaf, khusus shalat sunah sebelum Shubuh dianjurkan membaca dengan suara keras.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu berikut;

واما السنن الراتبة مع الفرائض فيسر بها كلها باتفاق اصحابنا ونقل القاضى عياض في شرح مسلم عن بعض السلف بالجهر في سنة الصبح وعن الجمهور الاسرار كمذهبنا

“Adapun shalat-shalat sunah rawatib (shalat yang mengikuti shalat fardhu), maka semuanya dianjurkan untuk membaca dengan pelan dengan kesepakatan para ulama Syafiiyah. Imam al-Qadhi Iyadh menukil dari kitab Syarh Muslim dari sebagian ulama salaf akan kesunahan membaca keras pada shalat sunah Shubuh, sementara kebanyakan ulama memilih kesunahan membaca pelan sebagaimana mazhab kami.”

Oleh karena itu, penjelasan seorang ustadz yang mengatakan bahwa shalat sunah sebelum Shubuh disunahkan untuk mengeraskan suara ada benarnya jika mengikuti sebagian pendapat ulama salaf. Adapun jika mengikuti pendapat ulama Syafiiyah dan kebanyakan ulama lainnya, maka disunahkan untuk membaca dengan suara pelan dalam setiap shalat sunah rawatib, termasuk shalat sunah sebelum Shubuh.

BINCANG SYARIAH

Ancaman Allah Bagi Pembunuh

Berikut ini ancaman Allah bagi pembunuh. Belakangan tengah heboh berita terkait pembunuhan berencana yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo cs. Pembunuhan berencana tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa Brigadir J atau Yosua Hutabarat, yang merupakan ajudan sendiri dari Ferdy Sambo.

Akibat kasus ini, hakim Pengadilan Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Ferdi Sambo. Dan hukuman 20 tahun penjara pada Putri Candrawati, yang merupakan istri dari yang bersangkutan. Pada hari Selasa siang, hakim juga telah memvonis 15 tahun, Kuat Ma’ruf, asisten rumah tangga Ferdy Sambo. Hakim menyatakan, Kuat Ma’ruf ikut dalam rencana pembunuhan Yosua Hutabarat.

Ancaman Allah Bagi Pembunuh

Sejatinya, dalam Islam membunuh orang termasuk perbuatan yang haram, dan juga terbilang perilaku maksiat.  Untuk itu, dosa membunuh orang yang tidak bersalah, maka dosanya masuk dalam kategori dosa besar. Sebab, setiap orang berhak untuk hidup dan nyawanya wajib untuk dilindungi. Untuk itu dalam Al-Qur’an QS: Al-Maidah [5]: 32, bahwa membunuh perbuatan tercela dan perbuatan yang merusak.

مَن قَتَلَ نَفۡسًا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٍ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”.

Menurut Imam Thabari dalam tafsirnya, ayat ini menjelaskan bahwa membunuh seseorang tanpa adanya sebab termasuk dalam perkara yang diharamkan, bahkan seolah-olah ia telah membunuh manusia secara keseluruhannya. Pasalnya, nyawa dalam Islam sangat berharga, dan menumpahkan darah tanpa hak termasuk dosa besar.

Imam Thabari berkata;

عن ابن عباس في قوله:”من أجل ذلك كتبنا على بني إسرائيل أنه من قتل نفسًا بغير نفسٍ أو فسادٍ في الأرض فكأنما قتل الناس جميعًا”، يقول: من قتل نفسًا واحدًة حرَّمتها، فهو مثل من قتل الناس جميعًا

Artinya:  Dari Ibnu Abbas , berkatanya firman Allah “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia”. Ia berkata, barang siapa membunuh satu jiwa tanpa ada hak, maka ia seperti membunuh manusia seluruhnya”

Sementara itu, Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Quran al-Adzim,  mengatakan  bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa sebab seperti qisas atau membuat kerusakan di muka bumi, dan ia menghalalkan membunuh jiwa tanpa sebab dan tanpa dosa maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya. Pasalnya, karena menurut Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa yang lainnya.

Lebih lanjut, dalam QS An Nisa [4]: 93 Allah juga mengancam pelaku pembunuhan dengan sengaja dan tanpa hak, maka diancam dengan ancaman neraka Jahannam. Allah juga akan marah dan melaknat orang tersebut. Hal ini tentu gambaran nyata, bahwa Allah sangat mengutuk perbuatan tersebut.

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا   ٩٣

Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.

Menurut Buya Hamka dalam kitab Tafsir Al Azhar, membunuh manusia secara sengaja adalah dosa yang paling besar. Membunuh manusia tanpa hak, termasuk dalam tujuh dosa besar. Dosa yang paling besar sekali ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain. Di bawah itu adalah dosa membunuh.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pembunuh dengan sengaja, diancam dengan empat ancaman besar. Pertama, kekal dalam neraka jahannam. Kedua, ditimpa oleh Allah dengan kemurkaan-Nya. Ketiga, dilaknat atau dikutuk hidupnya. Keempat, disediakan lagi siksaan yang besar buatnya.

Menurut Buya Hamka, tidak ada dosa lain yang diancam dengan ancaman sampai 4 macam itu, melainkan dosa membunuh orang Mukmin inilah. Ancaman yang sampai empat macam itu hanya bertemu terhadap membunuh dengan sengaja.

Demikian ancaman Allah bagi pembunuh yang notabenenya ialah dosa besar. Seyogianya kita tidak melakukan dosa besar tersebut.

BINCANG SYARIAH

Orang-Orang Yahudi Gagal Menyalib Nabi Isa,  Lalu ke Mana Beliau dan Kapan Kembali? 

Allah SWT mengangkat Nabi Isa, baik roh maupun badan setelah perbuatan makar Yahudi.

Salah satu yang membuat orang-orang Yahudi mendapat kemurkaan Allah SWT adalah karena perkataan mereka yang mengeklaim, telah membunuh Nabi Isa alaihi salam dengan menyalibnya. Padahal yang mati ditiang salib itu adalah orang lain yang diserupakan dengan Nabi Isa.  

Dan orang-orang Yahudi itu pun sejatinya ragu dengan klaimnya sendiri, mereka tak yakin bahwa yang disalib itu adalah Nabi Isa putra Maryam. Mereka pun berselisih pendapat tentang siapa yang mati di tiang salib itu.  

وَّقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْللَ اللّٰهِۚ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۗوَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ ۗمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًاۢ ۙ

“Dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka,“Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya.” (QS An Nisa ayat 157). 

Dalam tafsir tahlili Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) dijelaskan bahwa ayat tersebut menerangkan bahwa di antara sebab-sebab orang Yahudi mendapat kutukan dan kemurkaan Allah SWT ialah karena ucapan mereka, bahwa mereka telah membunuh  Almasih putra Maryam atau Nabi Isa yang merupakan utusan Allah SWT.  

Padahal, mereka sebenarnya tidak berhasil membunuh Nabi Isa dan tidak juga menyalibnya. Allah SWT menyelamatkan Nabi Isa dari upaya jahat orang-orang yahudi itu. 

Sebab yang disalib dan yang dibunuh itu ialah orang yang diserupakan oleh Allah SWT dengan Isa Almasih, yakni orang yang bernama Yudas Iskariot. Dia adalah salah seorang dari 12 orang murid Nabi Isa yang berkhianat. Lalu ke mana Nabi Isa?    

بَلْ رَّفَعَهُ اللّٰهُ اِلَيْهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا “Tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS An Nisa ayat 158). 

Tafsir tahlili LPMQ menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Isa itu diangkat atas perintah Allah SWT dengan badan dan rohnya dan akan diturunkan kembali di akhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad SAW pada saat umat Islam berada dalam keadaan lemah setelah datangnya Dajjal. 

Kejadian ini menunjukkan kekuasaan Allah SWT untuk menyelamatkan Nabi-Nya, sesuai dengan kebijaksanaanNya yang tercantum dalam firman Allah SWT:

اِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسٰٓى اِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ اِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا

“ (Ingatlah), ketika Allah berfirman, ”Wahai Isa! Aku mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku, serta menyucikanmu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikutimu di atas orang-orang yang kafir…” (QS Ali Imran ayat 55). 

Tentang diangkatnya Nabi Isa ke atas langit ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ahli tafsir, nabi Isa diangkat dengan jasmani dan rohaninya, dalam keadaan hidup sebagai suatu mukjizat.  

Maka Nabi Isa yang diangkat ke langit dengan jasmani dan rohani, sejak diangkat sampai turun kembali ke bumi, sepenuhnya di tangan Allah.

Jika manusia biasa saja, seperti Ashabul Kahfi, bisa tinggal dalam sebuah gua tanpa makan dan minum selama 309 tahun, kiranya tidak perlu dianggap aneh bagi seorang nabi seperti Nabi Isa, untuk tinggal di langit sekian lamanya, karena Nabi Isa diberi mukjizat oleh Allah SWT. 

Namun, pendapat lain mengatakan bahwa Nabi Isa diangkat ke langit sesudah wafat lebih dahulu.

REPUBLIKA

Bersegera dalam Mengurus dan Membawa Jenazah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

أَسْرِعُوا بِالْجِنَازَةِ، فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُونَهَا، وَإِنْ يَكُ سِوَى ذَلِكَ، فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

Bersegeralah (dalam membawa) jenazah. Karena apabila jenazah itu dari orang saleh, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya. Dan jika tidak, berarti kalian telah menyingkirkan kejelekan dari pundak kalian.” (HR. Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944)

Faedah hadis

Faedah pertama

Terdapat dua pengertian “bersegeralah” yang terdapat dalam hadis di atas, yaitu:

Pengertian pertama, bersegera untuk mengurus jenazah (memandikan, mengkafani, dan lain-lain) dan menyalatkan jenazah. Hal ini diperkuat dengan hadis,

لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ

Karena sesungguhnya tidak layak jasad seorang muslim ditahan di antara dua punggung keluarganya.” (HR. Abu Dawud no. 3159. Hadis ini dha’if sebagaimana penilaian Al-Albani)

Pengertian kedua, bersegera dalam mempercepat langkah ketika membawa jenazah. Ibnul Mulaqqin berkata, “Inilah makna yang lebih dekat, dan merupakan pendapat jumhur ulama.” (Syarh Al-‘Umdah, 4: 470)

Pengertian kedua ini diperkuat dengan sebuah hadis dari ‘Uyainah bin Abdurrahman, dari ayahnya,

أَنَّهُ كَانَ فِي جَنَازَةِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ وَكُنَّا نَمْشِي مَشْيًا خَفِيفًا، فَلَحِقَنَا أَبُو بَكْرَةَ فَرَفَعَ سَوْطَهُ، فَقَالَ: لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَرْمُلُ رَمَلًا

Bahwa ia berada pada jenazah Utsman bin Abu Al-‘Ash. Dan kami berjalan pelan, kemudian kami berjumpa dengan Abu Bakrah, lalu ia mengangkat cemetinya dan berkata, ‘Sungguh aku telah melihat kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami berjalan cepat.’” (HR. Abu Dawud no. 3182)

An-Nawawi rahimahullah menguatkan pengertian kedua di atas dengan argumen kalimat dalam hadis, yaitu “berarti kalian telah menyingkirkan kejelekan dari pundak kalian.”

Akan tetapi, tidak ada penghalang untuk memaknai hadis tersebut dengan kedua pengertian di atas, yaitu bersegera dalam mengurus jenazah dan bersegera dalam berjalan menuju pemakaman.

Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Tidaklah terlalu jauh kalau kedua pengertian tersebut adalah pengertian yang dimaksud (oleh hadis). Hal ini karena yang dituntut adalah “bersegera”, dan tidak disebutkan secara spesifik, bersegera dalam hal apa. Wallahu a’lam.” (Al-Mufhim, 2: 603)

Pendapat untuk memaknai dengan dua pengertian tersebut sekaligus juga dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah. (Fataawa, 13: 182)

Hal ini karena jika bersegera dalam membawa jenazah itu diperintahkan, maka bersegera dalam mengurus dan menyalatkan jenazah juga harusnya lebih diperintahkan lagi. Karena jika terlambat dalam mengurus jenazah, maka akan memperlambat membawa jenazah ke pemakaman.

Faedah kedua

Hadis ini merupakan dalil untuk bersegera mengurus jenazah, mulai dari bersegera dalam memandikan, mengafani, dan menyalatkan jenazah. Hal ini karena jika jenazah tersebut semasa hidupnya merupakan orang saleh, maka bersegera ketika mengurus jenazahnya akan mendatangkan maslahat untuk jenazah tersebut. Karena dia segera mendapatkan apa yang telah Allah Ta’ala janjikan berupa kenikmatan dan kelapangan di alam kubur. Kubur orang saleh itu lebih baik daripada kehidupan di dunia. Sedangkan jika jenazah tersebut semasa hidupnya di dunia bukan orang saleh, maka bersegera ketika mengurusnya merupakan kemaslahatan untuk kaum muslimin yang mengurus jenazahnya dengan menyingkirkan kejelekan dari pundak kaum muslimin.

Faedah ketiga

“Bersegera” yang diperintahkan dalam hadis ini adalah beresegera dalam bentuk yang teliti dan hati-hati, bukan bersegera yang terburu-buru dan ceroboh, sehingga justru menimbulkan mudarat bagi jenazah; atau jenazah tersebut sampai terjatuh dari keranda; atau menyebabkan kaum muslimin yang memikul jenazahnya menjadi sangat capek dan lelah. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan adalah tetap memperhatikan sunah dan juga memperhatikan kondisi jenazah dan juga kaum muslimin.

Adapun praktik yang kita lihat dari kaum muslimin pada zaman ini dengan menunda pemakaman jenazah selama sehari atau dua hari dengan tujuan agar seluruh keluarga berkumpul terlebih dahulu, maka perbuatan tersebut merupakan penyelisihan yang nyata terhadap perintah untuk bersegera untuk memakamkan jenazah. Juga merupakan tindakan yang merugikan si mayit sebagaimana yang disebutkan dalam hadis ini. Sehingga hendaknya disegerakan dalam pemakamannya. Jika ada sebagian dari anggota keluarga yang belum hadir, maka bisa menyalatkan ketika sudah sampai di pemakaman.

Adapun menunda dalam waktu yang tidak terlalu lama, misalnya satu atau dua jam, atau orang tersebut meninggal di pagi hari, kemudian ditunda pemakamannya sampai siang (selesai salat Zuhur atau selesai salat Jumat), agar lebih banyak dari kaum muslimin yang menyalatinya, maka hal itu tidak mengapa, insyaAllah. Atau pemakaman tersebut ditunda karena ada tujuan tertentu, misalnya ingin menyelidiki penyebab kematiannya. Karena terdapat maslahat yang nyata dari tindakan tersebut.

BACA JUGA:

Faedah keempat

Di dalam hadis ini terdapat dalil bahwa yang sesuai dengan sunah adalah memikul jenazah, bukan dinaikkan di atas kendaraan. Akan tetapi, jenazah boleh dibawa dengan kendaraan menuju pemakaman jika ada tujuan yang dibenarkan, misalnya lokasi pemakaman yang jauh, atau hujan lebat, atau semacamnya.

Adapun praktik kebiasaan kaum muslimin saat ini yang membawa jenazah dengan kendaraan, padahal lokasi pemakaman tidak terlalu jauh, maka hal itu hendaknya ditinggalkan dengan dua pertimbangan:

Pertama, karena praktik tersebut telah menyelisihi sunah.

Kedua, jika jenazah dibawa dengan kendaraan, tujuan atau hikmah membawa jenazah akan sulit tercapai, yaitu akan mengingatkan kaum muslimin terhadap kehidupan akhirat dan tempat kembalinya kelak. Hal ini karena memikul jenazah menuju pemakaman itu merupakan nasihat yang paling besar agar seseorang mengingat akhirat, bagi mereka yag hatinya masih hidup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عُودُوا الْمَرِيضَ، وَاتَّبِعُوا الْجَنَازَةَ تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ

Jenguklah orang sakit dan iringilah jenazah, hal itu akan mengingatkan kalian terhadap akhirat.” (HR. Ahmad 17: 372, sanadnya sahih)

***

@Rumah Kasongan, 20 Rajab 1444/ 11 Februari 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/82849-bersegera-dalam-mengurus-jenazah.html

Biaya Haji Disepakati Rata-rata Rp90 Juta, Menag Ingatkan Keberlangsungan Nilai Manfaat

Jakarta (Kemenag) — Pemerintah dan Komisi VIII DPR telah menyepakati besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M dengan rata-rata Rp90.050.637,26 per jemaah haji reguler. 

Angka ini terdiri atas dua komponen, yaitu Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah dengan rata-rata Rp49.812.700,26 (55,3%) dan penggunaan nilai manfaat per Jemaah sebesar Rp40.237.937 (44,7%). Dengan skema ini, penggunaan dana nilai manfaat keuangan haji secara keseluruhan sebesar Rp8.090.360.327.213,67

Kesepakatan ini diperoleh setelah Panitia Kerja (Panja) BPIH 1444 H/2023 M melakukan serangkaian diskusi panjang, membahas usulan biaya haji pemerintah. Pada 19 Januari 2023, pemerintah mengajukan usulan BPIH dengan rata-rata sebesar Rp98.893.909,11 dengan komposisi Bipih sebesar Rp69.193.734,00 (70%) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp29.700.175,11 (30%).

“Hari ini kita telah menyepakati biaya haji reguler. Rata-rata jemaah akan membayar Rp49,8 juta rupiah dengan penggunaan dana nilai manfaat mencapai Rp8,090 triliun. Kesepakatan ini sebagai hasil pembahasan atas skema usulan pemerintah dengan jemaah membayar Rp69 juta dan penggunaan nilai manfaat Rp5,9 triliun,” terang Menag Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta, Rabu (15/2/2023).

“Disepakati juga adanya afirmasi khusus bagi jemaah lunas tunda tahun 2020 dan dibutuhkan tambahan nilai manfaat mencapai Rp845 miliar. Sehingga, dana nilai manfaat yang dibutuhkan mencapai Rp8,9 triliun,” sambungnya.

Dijelaskan Menag, usulan awal pemerintah berangkat dari pentingnya memperhatikan aspek keadilan dan kesinambungan pengelolaan dana haji dalam kebijakan pemanfaatan hasil pengembangan dana haji atau nilai manfaat. Karenanya, besaran penggunaan nilai manfaat yang diusulkan saat itu hanya berkisar 30%. Namun, setelah melalui serangkaian pembahasan, muncul sejumlah alternatif pemikiran yang perlu dielaborasi dan didiskusikan, antara lain efisiensi dalam pengelolaan BPIH serta peningkatan Bipih secara gradual untuk mencapai konsep istitha’ah.

“Dinamika yang terjadi selama proses pembahasan dengan perbedaan pendapat di antara kita merupakan cerminan dari wujud demokrasi, sekaligus menunjukkan betapa besar keinginan dan harapan kita untuk senantiasa berupaya meningkatkan pelayanan kepada jemaah haji. Komitmen untuk terus memperjuangkan peningkatan pelayanan kepada jemaah haji ini semoga dapat terus dipertahankan dan ditingkatkan di masa-masa mendatang,” tegasnya.

“Saya bersyukur dengan adanya kebijakan politik bahwa prosentase Bipih lebih besar dari nilai manfaat, meski komposisinya belum sepenuhnya ideal. Saya kira ini menjadi momentum kita untuk mengarah pada skema perhajian yang lebih proporsional,” lanjutnya.

Menag bersyukur, setelah melalui serangkaian pembahasan ada sejumlah efisiensi yang disepakati. Misalnya, nilai kurs Dollar dan Riyal disepakati ada penurunan. Usulan DPR untuk mengurangi layanan katering jemaah dari yang awalnya tiga kali hanya menjadi dua kali makan juga disepakati. Dalam rapat Panja juga disepakati besaran living cost di angka 750 riyal.

“Dari proses diskusi dan pembahasan itu, jemaah tahun ini akan membayar biaya haji rata-rata Rp49,8 juta. Untuk yang jemaah lunas tunda tahun 2020 tidak usah menambah biaya pelunasan,” sebutnya.

“Hasil kesepakatan ini selanjutnya akan diusulkan kepada Presiden untuk diterbitkan Keputusan Presiden tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji,” sambungnya.

Terkait penggunaan nilai manfaat, Menag mendorong Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk melakukan optimalisasi pengelolaan dana haji pada tahun-tahun mendatang. Langkah progresif BPKH sangat diperlukan untuk memastikan dana nilai manfaat yang juga menjadi hak lebih 5 juta jemaah haji yang masih mengantri bisa terus berkesinambungan dan bisa digunakan oleh mereka pada saat keberangkatannya.

“Kesinambungan nilai manfaat perlu menjadi perhatian kita bersama. Penyelenggaraan haji akan terus berlangsung di masa-masa mendatang. Ada antrean lebih 5 juta jemaah yang juga berhak atas nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal mereka,” pesannya.

Saat ini, kata Menag, kemampuan BPKH mengalokasikan nilai manfaat maksimal hanya Rp7,1 triliun. Beruntung BPKH punya saldo Rp15 triliun hasil pengelolaan tahun 2020 dan 2021 saat tidak ada penyelenggaraan ibadah haji. Tahun 2022, saldo itu sudah digunakan untuk menutup pembayaran kenaikan biaya Masyair dan kekurangan lainya hingga hampir Rp2 triliun. Tahun ini, saldo yang ada juga akan terambil hampir Rp2 triliun.

“Hal ini perlu menjadi perhatian bersama. BPKH harus lebih produktif. Jika skema defisit Rp2 triliun per tahun ini terus berjalan, saldo BPKH bisa habis dalam lima tahun ke depan. Inilah pentingnya mulai memperhatikan keberadilan dan keberlanjutan nilai manfaat. Sebab, anggaran nilai manfaat juga hak jutaan jemaah yang masih antre,” tegasnya.

Di banding tahun sebelumnya, proses pembahasan BPIH tahun ini bisa berlangsung lebih awal. Sehingga baik Kemenag maupun Komisi VIII DPR memiliki cukup waktu untuk melakukan telaah atas usulan biaya yang disampaikan.

“Kami sampaikan apresiasi dan penghargaan kepada pimpinan dan anggota Komisi VIII DPR-RI yang terus memberikan perhatian dan dukungan terhadap upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dari tahun ke tahun,” tandasnya.

KEMENAG RI

Di Balik Kesuksesan Hakim Hebat Syuraih Al Qadi, Terpendam Kisah Pilu Semasa Kecil

Hakim Syuraih Al Qadi merupakan sosok hebat pada masa Umar bin Khattab

Bagi yang senang membaca literatur sejarah peradilan di masa awal Islam, nama Syuraih bin Al Jahm (Syuraih Al Qadi) tentu sudah tidak asing lagi. Dia adalah sosok hakim terkenal dari masa kekhalifahan Umar bin Khattab hingga kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan. 

Namun kali ini bukan bicara soal sepak terjangnya sebagai hakim, tetapi tentang dirinya di waktu kecil. Kehidupan di masa kecilnya terbilang cukup kelam, terutama di lingkungan anak-anak seusianya. 

Saat usia lima tahun, sang ayah menemani Syuraih dalam sebuah perjalanan kafilah dagang. Dalam perjalanan ini ada anak-anak yang ikut, tetapi mereka menolak bermain dengan Syuraih, sehingga Syuraih memilih bermain sendirian. 

Dari kejauhan, sang ayah melihat Syuraih sedang bermain sendirian dan dia khawatir terjadi sesuatu pada putranya bila datang bandit-bandit. Lantas menyuruh Syuraih dengan keras agar segera bermain dengan bocah-bocah yang lain. 

Syuraih pun menemui bocah-bocah itu, tetapi yang terjadi dia malah ditertawakan. Tak berhenti di situ, bocah-bocah tersebut kemudian menemui ayah Syuraih dan menyebut putranya tidak ingin bermain dengan mereka.

Mendengar ucapan mereka, Syuraih dipukul ayahnya, dan tidak bisa membuktikan bahwa bocah-bocah itu telah berbohong. Tidak ada pula orang yang dapat memberikan saksi untuk membantunya. 

Apa yang dialaminya ini membekas dalam dirinya. Sekaligus memberi pengaruh yang besar bagi jiwa dan pikirannya tentang apa itu ketidakadilan dan kebenaran yang perlu dibuktikan. 

Sejak itulah dia bertekad menjadi sang pembela bagi mereka yang lemah dan tertindas. Kelak di masa depan dia menjadi hakim yang dikenal karena keadilannya. 

Syuraih pertama kali menjabat sebagai hakim pada usia 47 tahun, dan saat itu ia menjadi hakim pertama di Kufah. Tinggal di sana selama 60 tahun, sampai usia 107 tahun. 

Ada hal unik yang dimiliki Syuraih selama menjabat sebagai hakim. Di atas tempat dia duduk, tertulis, “Orang yang menindas, sekalipun kamu menghakiminya, menanti hukuman. Sedangkan orang yang tertindas, sekalipun kamu menghakiminya, menanti keadilan.” 

Juga terdapat sabda Nabi Muhammad, “Jika kalian berselisih, sungguh aku hanyalah seorang manusia. Maka siapapun lelaki yang mengurangi hak saudaranya, dia tidak berhak mendapatkannya. Dan itu akan menjadi sepotong api yang mengelilinginya di Hari Kiamat.” 

Salah satu kisah populer tentang kehebatan Syuraih, yaitu ketika dia memutus perkara antara Ali bin Abi Thalib yang saat itu sebagai khalifah, dengan seorang Nasrani. 

Keduanya berselisih tentang sebuah perisai dan sama-sama mengaku sebagai pemilik perisai tersebut. Ali mengatakan kepada Syuraih bahwa perisai itu adalah miliknya. “Wahai Syuraih, perisai ini milikku. Aku tidak menjualnya dan tidak pula memberikannya,” kata Ali. 

Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW

Lalu Syuraih bertanya kepada orang Nasrani itu, soal tanggapannya terhadap apa yang disampaikan oleh Amirul Mukminin. Orang Nasrani ini juga mengaku sebagai pemilik perisai yang dimaksud. 

“Perasai itu tidak lain adalah perisaiku, dan Amirul Mukminin bukanlah pendusta bagiku,” kata orang Nasrani tersebut. Kemudian Syuraih menoleh ke Ali, dan bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, engkau punya bukti?” Lalu Ali menjawab, “Aku tidak punya bukti.” 

Berdasarkan perkataan kedua belah pihak, Syuraih memutuskan bahwa perisai itu milik orang Nasrani. Namun orang Nasrani ini merasa heran karena ada seorang hakim yang mengadili pemimpinnya.

“Amirul Mukminin telah membawaku ke hakimnya, dan hakimnya malah akan mengadili dirinya,” kata orang Nasrani itu. Kemudian dia memeluk Islam dengan mengucapkan kalimat syahadat. Lalu dia berkata, “Demi Allah, perisai ini milikmu, wahai Amirul Mukminin.”

Sumber: youm7    

REPUBLIKA

Perempuan Lebih Baik Salat di Rumah atau di Masjid?

Perempuan dan laki-laki sebetulnya diberi hak yang sama untuk beribadah kepada Allah. Termasuk dalam hal ini laki-laki dan perempuan sama-sama dianjurkan untuk beribadah di masjid, karena masjid bukan monopoli laki-laki. Tapi realitas di masyarakat, dalam beberapa kasus masih ada saja orang yang melarang perempuan pergi ke masjid dengan alasan perempuan lebih baik salat di rumah ketimbang di masjid.

Secara umum, terdapat dua hadis yang seringkali dijadikan dalil keutamaan perempuan salat di rumah ketimbang di masjid. Pertama, kisah istri Abu Hummayd al-Sa‘idi yang meminta izin kepada Rasulullah untuk selalu salat berjamaah dengannya, namun Rasulullah mengatakan salat di rumah lebih baik. Berikut kutipan lengkap riwayatnya:

عن عبد الله بن سويد الأنصاري، عن عمته امرأة أبي حميد الساعدي أنها جاءت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت: يارسول الله إني أحب الصلاة معك. فقال: قد علمت أنك تحبين الصلاة معي، وصلاتك في بيتك خير من صلاتك في حجرك، وصلاتك في حجرك خير من صلاتك في دارك، صلاتك في دارك خير من صلاتك في مسجد قومك، وصلاتك في مسجد قومك خير من صلاتك في مسجدي

Artinya: “Dari ‘Abdullah Ibn Suwayd al-Anshari, dari bibinya, yaitu istri Abu Humayd al-Sa‘idi, bahwa ia pernah menemui Rasulullah Saw. dan bertanya, ‘Wahai Rasululullah saw., saya sangat senang salat bersamamu’. Rasul Saw. menjawab, ‘Saya tahu kamu senang salat bersamaku, tetapi salat di ruangan paling kecil dan tertutup di kamarmu lebih baik dari salat di kamarmu, salat di kamarmu lebih baik dari salat di ruangan tengah rumahmu, salat di rumahmu lebih baik dari salat di masjid kampungmu, dan salat di masjid kampungmu lebih baik dari salat di masjidku’” (HR: Ibn Khuzaymah, Ibn Hibban, dan lain-lain).

Kedua, hadis riwayat Aisyah yang merasa prihatin dengan fenomena perempuan di masanya, sehingga ia berkata:

لو أدرك رسول الله صلى الله عليه وسلم ما أحدث النساء لمنعهن (أي المساجد) كما منعت بني أسرائيل

Artinya: “Andaikan Rasulullah Saw. tahu apa yang terjadi pada perempuan sekarang, niscaya beliau akan melarang perempuan ke masjid, sebagaimana dilarangnya perempuan Bani Israil.” (HR: Malik, Ibn Khuzaymah, Muslim, dan lain-lain).

Berdasarkan kedua hadis di atas, sebagian ulama memakruhkan perempuan salat berjamaah di masjid bersama laki-laki, terlebih lagi perempuan muda. Al-Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa perempuan lebih utama salat di rumah, khususnya pada bagian rumah yang paling tertutup berdasarkan hadis di atas.

Dalam mazhab Syafi‘i dimakruhkan perempuan dewasa atau muda salat bersama laki-laki di masjid dan dimakruhkan pula bagi orang tua atau pun suami untuk mengizinkan mereka salat di masjid. Akan tetapi, mayoritas ulama membolehkan perempuan tua, aman dari fitnah, dan tidak syahwat melihatnya, untuk salat berjamaah di masjid.

Kemakruhan perempuan salat di masjid sesungguhnya dikarenakan adanya kekhawatiran terjadinya fitnah. Fitnah yang dimaksud berupa gangguan terhadap perempuan atau perempuan dapat menggoda kekhusyukan laki-laki pada saat salat. Oleh sebab itu, ulama yang membolehkan perempuan salat di masjid bersama laki-laki mensyaratkan agar mereka tidak menggunakan pakaian ketat, tidak memakai wangi-wangian, dan berusaha menjaga aurat.

Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) mengatakan bahwa penyebab larangan perempuan salat di masjid dikarenakan mereka menggunakan pakaian dan perhiasan yang dapat menggoda laki-laki.

Dengan demikian, pendapat yang dikemukakan oleh Aisyah bersifat temporal dan situasional serta tidak berlaku umum. Penggunaan hadis Aisyah untuk melarang total perempuan masuk masjid juga dikritik oleh al-Syawkani (w. 1250 H), karena yang dilarang dalam hadis tersebut adalah menggunakan pakaian bagus, parfum, perhiasan yang dapat menimbulkan fitnah.

Dalam pandangan Jasser Auda, ijtihad Aisyah dalam konteks ini lebih cenderung kepada sadd al-dhari‘ah, yaitu melarang perbuatan baik untuk menghindari kemungkinan buruk dan terjadinya kemudaratan. Pada dasarnya salat berjamaah di masjid adalah boleh bagi perempuan, namun dikarenakan ada sesuatu negatif yang dapat membahayakan dan merusak, maka perempuan dianjurkan salat di rumah.

Oleh sebab itu, pernyataan Aisyah ini tidak berlaku umum dan bersifat temporal. Ibn Qudamah (w. 629 H) mengatakan sunah Rasulullah Saw. lebih utama diikuti dan pendapat Aisyah bersifat situasional dan tidak berlaku untuk seluruh perempuan.

Seiring dengan perubahan sosial dan perkembangan Islam, pendekatan sadd al-dhari‘ah dalam memahami persoalan ini tampaknya tidak relevan lagi. Menurut Jasser, dalam konteks dunia modern, seharusnya yang dilakukan adalah fath al-dhari ‘ah, yaitu membuka kemungkinan baik dan selalu berusaha berpikir positif.

Perempuan harus dimotivasi dan didorong untuk aktif beribadah di masjid, mengikuti pengajian agama, dan mengikuti kegiatan apapun yang bermanfaat untuk dirinya sendiri dan keluarga. Apalagi saat ini, umat Islam tengah dilanda krisis moral dan sebagian muda-mudi Islam sudah tidak tertarik lagi pergi ke masjid. Mereka lebih tertarik pergi ke tempat hiburan daripada salat berjamaah di masjid.

Abd al-Halim Abu Shiqqah, sebagaimana dikutip Jasser, mengatakan andaikan Aisyah melihat kondisi perempuan pada zaman sekarang, niscaya dia akan menarik pernyataannya dan mewajibkan perempuan pergi ke masjid.

Adapun alasan larangan perempuan salat di masjid yang didasarkan pada kisah Umm Humayd, menurut Jasser hadis tersebut perlu diperhatikan secara komprehensif. Hadis tidak dapat dipahami setengah-setengah dan mesti dikomprasikan dengan hadis lain guna mendapatkan pemahaman yang utuh. Sebagaimana hadis Aisyah, kisah Umm Humayd juga tidak berlaku umum untuk seluruh perempuan.

Jasser memahami hadis tersebut berdasarkan teori pemilahan posisi Nabi untuk melihat konteks dan tujuan pembicaraan Nabi Saw. Berdasarkan konteksnya terlihat bahwa Nabi saw. sedang menasihati dan memberi masukan untuk Umm Humayd yang sedang bertengkar dengan suaminya.

Konteks hadis ini dapat diketahui dari riwayat al-Bayhaqi (w. 458 H), sebab hampir sebagian besar riwayat tidak menyebutkan konteks hadisnya. Dalam riwayat al-Bayhaqi disebutkan:

قالت: يارسول الله، إنا نحب الصلاة تعني معك فيمنعنا أزواجنا

Artinya: “Umm Humayd berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw., kami sangat senang salat bersamamu, tapi suami kami melarangnya’”. (HR: al-Bayhaqi)

Abu Humayd melarang istrinya untuk salat bersama Nabi Saw. dikarenakan rumah mereka jauh dari masjid Nabi dan ia merasa sangat keberatan bila istrinya salat lima waktu bersama Nabi Saw. Sebab itu, Rasul Saw. menyarankan agar Umm Humayd lebih baik salat di rumah supaya mereka tidak bertengkar.

Tujuan Nabi Saw. melontarkan pernyataan ini hanya untuk melerai pertengkaran dan mencari solusi terbaik untuk Umm Humayd dan suaminya. Apabila hadis ini dipahami bermakna umum, maka ia akan bertentangan dengan riwayat lain, bahkan Alquran, yang menunjukan praktik salat jamaah laki-laki bersama perempuan pada masa Rasulullah Saw. Untuk menghindari kontradiksi dalil dan pengabaian salah-satunya, semua hadis terkait perempuan salat di masjid perlu dipahami berdasarkan konteks dan maksud tujuan Nabi Saw.

BINCANG SYARIAH