Kemenag Tegaskan Biaya Haji tidak Bedakan Usia Jamaah

Kemenag menilai biaya haji sejalan dengan konsep istitha’ah.

Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan  penyusunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak membedakan usia jamaah, apakah masuk kategori muda atau lanjut usia (lansia). Pembahasan BPIH juga dilakukan secara terbuka dengan Komisi VIII DPR.

Penegasan ini disampaikan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief untuk merespons pernyataan tertulis yang disampaikan Haris Azhar Law Office.

Dalam keterangannya, Haris Azhar Law Office mendesak agar negara mengecualikan pembebanan biaya tambahan pelunasan haji pada jamaah haji lansia yang masuk kategori lunas tunda tahun 1443 H/ 2022 Masehi sebesar Rp 9.400.000 dan jamaah haji lansia tahun 1444 H/ 2023 M sebesar Rp 23.500.000.

“Biaya haji (reguler) ini sama semua, tidak ada pembedaan antara muda dan tua. Ini juga sejalan dengan konsep istitha’ah, karena haji adalah kewajiban bagi mereka yang mampu,” kata Hilman melalui pesan tertulis kepada Republika.co.id, Selasa (14/3/2023).

Ia mengatakan, semua proses pembahasan dana haji juga dilakukan terbuka, transparan dan akuntabel melalui mekanisme pembahasan bersama antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama bersama Komisi VIII DPR.

Hilman menjelaskan BPIH yang telah ditetapkan bersama DPR tidak semestinya diistilahkan sebagai pembebanan. Pasalnya, tidak semua BPIH itu dibayarkan sepenuhnya oleh jamaah haji.

Dalam rapat kerja yang berlangsung pada 15 Februari 2023, Pemerintah dan Komisi VIII DPR telah menyepakati besaran BPIH 1444 H/2023 M dengan rata-rata Rp 90.050.637 per jamaah haji reguler. Angka ini terdiri atas dua komponen, yaitu Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah dengan rata-rata Rp49.812.700 (55,3 persen) dan penggunaan nilai manfaat per jamaah sebesar Rp 40.237.937 (44,7 persen).

Dengan skema ini, penggunaan dana nilai manfaat keuangan haji secara keseluruhan mencapai Rp 8.090.360.327.213. Selain itu, disepakati juga adanya afirmasi khusus bagi jamaah lunas tunda tahun 2020 sehingga dibutuhkan tambahan nilai manfaat mencapai Rp 845 miliar.

“Jadi dalam komposisi BPIH, jamaah sebenarnya hanya membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji atau Bipih dengan rata-rata 55,3 persen. Sisanya, anggaran diambilkan dari nilai manfaat dengan rerata 44,7 persen,” jelas Hilman.

Dirjen PHU mengakui jamaah haji lansia yang akan berangkat tahun ini cukup banyak. Dari 203.320 kuota jamaah haji reguler, diperkirakan ada lebih 64 ribu di antaranya yang masuk kategori lansia.

“Banyaknya jamaah haji lansia, menjadi perhatian Kementerian Agama. Bahkan, penyelenggaraan tahun ini mengusung tagline Haji Ramah Lansia, Menag Yaqut Cholil Qoumas sangat menekankan untuk bisa memberikan layanan terbaik kepada jamaah, termasuk mereka yang lansia,” ujar Hilman.

Hilman mengatakan, semangat Haji Ramah Lansia ini juga merepresentasikan ikhtiar Kemenag dalam memberikan layanan terbaik untuk mereka yang sudah lanjut usia. Tentu dengan tidak mengabaikan hak-hak jamaah secara keseluruhan.

IHRAM

4 Hal yang Dilaknat Allah dan Malaikat-Nya

BERHATI-hatilah akan hal yang dilaknat Allah dan malaikat-Nya. Apa sajakah itu?

Dalam hidupnya, manusia senantiasa berdampingan dengan makhluk Allah yang lainnya, di antaranya adalah malaikat.

Ia memiliki spesifikasi yang wajib diimani oleh kaum muslimin sebagai makhluk Allah yang paling taat dan tidak memiliki nafsu. Ia memiliki tugas khusus di alam semesta ini maupun akhirat, seperti menyampaikan rezeki kepada makhluk lainnya, mencatat amal perbuatan kita, mencabut nyawa bertanya di alam barzah, dan lain sebagainya.

Namun, Malaikat pun memiliki kehendak yang itu atas perintah Allah SWT. Malaikat dalam menjalankan tugasnya akan memilih-milih perbuatan yang baik menurut Allah.

Begitulah Allah menyuruh kepada Malaikat, barangsiapa yang tidak mematuhi perintah Allah maka akibatnya akan mendapatkan laknat Allah, melalui Malaikat. Inilah perbuatan-perbuatan yang pelakunya dilaknat oleh para Malaikat.

1. Hal yang Dilaknat Allah dan Malaikat-Nya: Mencaci maki sahabat Rasulullah 

“Barangsiapa yang mencaci maki dan mengumpat sahabat-sahabatku, maka ia mendapatkan laknat Allah SWT, para Malaikat dan seluruh manusia”.

2. Hal yang Dilaknat Allah dan Malaikat-Nya: Istri yang Tidak memenuhi ajakan suaminya

“Jika seorang istri meninggalkan tempat tidur suaminya, maka ia dilaknat oleh para Malaikat hingga ia kembali,” (HR. Bukhari)

https://youtube.com/watch?v=jWdEeNTjsfo%3Ffeature%3Doembed

3. Hal yang Dilaknat Allah dan Malaikat-Nya: Wanita yang keluar rumah tanpa seizing suaminya

“Sesungguhnya hak suami terhadap istrinya yaitu jika suami menghendaki dirinya, sekalipun dia berada di atas kendaraan, ia tidak mencegah dirinya untuk datang, dan hak suami atas istrinya yaitu, istrinya tidak boleh puasa sunnah tanpa izin suaminya, jika terus melakukannya, ia hanya mendapatkan lapar dan haus dan tidak diterima puasa yang dilakukannya itu, dan tidak boleh keluar rumah tanpa izinnya, jika ia terus keluar, maka malaikat langit dan malaikat rahmat serta malaikat adzab akan mengutuknya sampai ia pulang.”

4. Hal yang Dilaknat Allah dan Malaikat-Nya: Mengacungkan besi kepada saudaranya

Akhir Zaman, Tanda Kiamat, Musuh Allah di Hari Kiamat, Hal yang Dilaknat Allah dan Malaikat-Nya
Foto: Pixabay

“Barangsiapa yang mengacungkan besi kepada suadaranya, maka para malaikat melaknatnya. Sekali pun saudranya itu saudara sebapak dna seibu (sekandung),” (HR. Muslim)

Pelaknatan para malaikat dalam hadits ini menunjukkan pada pengharaman perbuatan ini, karena telah menimbulkan rasa takut pada diri saudaranya. Karena setan kadang-kadang menyesatkannya sehingga ia betul-betul membunuh saudaranya. Khususnya, jika senjata yang digunakan untuk mengacung-acung tersebut adalah senjata modern yang kadang-kadang bisa lepas hanya dengan satu kesalahan kecil, atau rabaan lembut yang tidak disengaja. []

Sumber: Berkenalan Dengan Malaikat/ Abdul Hamid Kisyik/ Gema Insani

ISLAMPOS

Mengenal Tujuh Tingkatan Pakar Hadis

Berikut ini adalah artikel yang membahas mengenai tingkatan para pakar hadis. Definisi hadis sendiri adalah apa saja muncul dari Rasulullah Saw baik itu berupa ucapan, pekerjaan, atau bahkan persetujuan Nabi yang itu biasanya ditandai dengan diamnya Nabi atas suatu urusan umat Islam pada masa itu.

 Dan telah diketahui bahwa hadist yang muncul dari Nabi sejatinya adalah wahyu, hanya saja pelafalannya melalui Rasulullah Saw. hal ini sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Al-Qur`an surat An-Najm ayat 3-4;

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى.(3) اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ (4).

Artinya; “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. (3).

Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(4).”

Dari kedua ayat di atas maka menjadi jelas bahwa apa yang didawuhkan atau dikerjakan nabi bukan keinginan nabi sendiri melainkan murni adalah wahyu Allah Swt. maka tak pelak jika hadist juga menjadi dalil rujukan utama yang harus diperhatikan setelah Al-Quran.Amirul Muminin fil Hadist

Gelar ini merupakan gelar tertinggi dan paling terhormat untuk para khalifah atau imam para pakar hadis yang dibawahnya. Dan ulama yang menyandang gelar ini adalah seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ad-Daruquthni dan banyak lainnya.

2. Al-Hakim

Al-Hakim adalah gelar yang disematkan kepada pakar hadis yang telah menguasai segala hal yang berkaitan dengan hadist, seperti matan, sanad, rawi, dan hal-hal yang menjadi syarat untuk sahnya sebua hadist, serta telah hafal lebih dari 300.000 hadis. Dan Ulama yang menyandang gelar ini adalah diantaranya Imam Syafii, Imam Malik, Imam Laist bin Saad.

3. Al-Hujjah

Pakar hadist yang telah menghafal matan hadist, sanad, rawi, dan sejumlah 800.000 hadist. Daya hafalnya telah benar-benar kuat dan terpercaya, dengan demikian umat bisa ber-hujjah atas hafalannya tersebut. dan ulama yang menyandang gelar ini diantaranya adalah Hisyam bin Urwah, Abu Handzil Muhammad bin Al-Walid, dan Muhammad bin Abdullah bin Amr.

4. Al-Hafidz

Ahli hadis yang telah menguasai hadis secara mendalam dan telah hafal diluar kepala. Dan sudah tergolong kepada pakar hadis yang mampu menghasilkan matan, sanad,serta dapat men-tarjih dan men-ta`adulkan hadist.

Dan hadis yang dihafalkan pun telah lebih dari 100.000 hadis. Adapun ulama yang menyandang gelar ini diantaranya adalah Imam Al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Syaifuddin Ad-Dimyathi.

5. Al-Muhaddist

Orang yang sudah mulai menguasai sejumlah besar ilmu hadis, dan telah mampu membedakan mana hadis sahih dan hadis dhaif. Selain itu telah mengetahui sanad-sanad, illat-illat serta paham betul terhadap enam kitab hadis (kutub as-Sittah), meskipun hadis yang dihafalnya baru berjumlah 1000 hadist. Ulama yang menyandang gelar ini seperti Atha` bin Abi Ribah dan Imam Az-Zabidiy.

6. Al-Musnid

Gelar ini dianugerahkan kepada orang yang telah sanggup meriwayatkan hadis  lengkap dengan sanadnya. Gelar ini biasa juga disebut dengan Ar-Rawi atau Ar-Rawiyah, karena mereka hanya bersifat perawi saja. Ulama yang menyandang ini seperti Syaikh Yasin Isa Al-Fadani, bahkan beliah diakui sebagai Musnid ad-Dunya karena menjadi salah satu sumber rujukan sanad hadis.

7. Thalibul Hadist

Orang yang baru memulai debutnya dalam menekuni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis, seperti sanad, perawi, serta ulumul hadis lainnya.

Demikian penjelasan mengenai tujuh tingkatan pakar hadis yang masyhur dalam ulumul hadis. Semoga bermanfaat, Wallahu a`lam.

BINCANG SYARIAH

Ancaman Al-Qur’an Terhadap Koruptor

Berikut ini adalah ancaman Al-Qur’an terhadap koruptor. Sudah maklum diketahui bahwa korupsi adalah masalah yang hingga kini masih belum ada satu kekuatan yang mampu mengatasinya. 

Ada ungkapan, untuk menjauhi keburukan suatu hal, haruslah diketahui terlebih dahulu keburukannya. Hal tersebut perlu dilakukan khawatir yang terjadi malah terjerumus dalam keburukan itu. Ungkapan tersebut juga berlaku dalam korupsi. Korupsi harus sepenuhnya dipahami supaya keputusan hukum yang diambil tepat pada sasarannya.

Dalam undang-undang, yang dimaksud dengan korupsi adalah setiap perbuatan atau tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan atau kelompok yang merugikan negara, orang banyak, dan pihak lain. 

Bentuk-bentuknya yaitu dengan cara melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara, menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan dapat merugikan keuangan negara, suap menyuap, memberi dan menerima hadiah karena jabatan, penggelapan, pemerasan, dan sebagainya.

Larangan Korupsi dalam Al-Qur’an 

Dalam Islam, sebetulnya tidak ada ayat yang secara khusus menunjuk term korupsi. Hal ini dapat dimengerti, sebab di dalam bahasa Arab pun tidak ditemukan terjemahan yang secara khusus menunjuk pada pengertian korupsi.

Akan tetapi yang ada hanya ungkapan-ungkapan yang merujuk pada unsur atau sifat dari korupsi itu, seperti risywah (suap menyuap), ghulul atau suht (gratifikasi), hirabah (merampok), sariqah (mencuri), ghasab, dan khasr (mengurangi takaran) yang kesemuanya adalah haram.

Namun demikian, terdapat banyak ayat-ayat yang melarang dengan cara mengancam perbuatan yang tergolong dalam mengambil harta atau hak orang lain dengan cara yang tidak benar. Di antara ayat-ayat yang mengancam perbuatan korupsi adalah Firman Allah SWT, surat Al-Baqarah, ayat 188 berikut,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ  

Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” 

Dalam ayat yang lain, Allah memerintahkan kepada manusia agar menunaikan tanggung jawab yang diembannya dengan baik. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, Q.S An-Nisa’, ayat 58 berikut,

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا 

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,” 

Dengan melakukan korupsi, para koruptor seolah memerangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dalam syariat-syariatnya. Para koruptor melakukan tindakan yang merusak sistem atau tatanan hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan moralitas suatu bangsa. Bagi mereka yang melakukan tindakan yang demikian itu, hendaknya perlu merenungkan firman Allah surat Al-Ma’idah, ayat 33-34 berikut,

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيم 

Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya),

yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

Ancaman Al-Qur’an Terhadap Koruptor

Menurut mayoritas ahli tafsir, ayat di atas turun berkenaan dengan perilaku perampokan disertai pembunuhan (qathi’ at-thariq). Bagi para perampok yang melakukan pembunuhan dalam aksinya, dikenai sanksi yang lebih berat dari pada pencurian. Mereka dikenai hukuman pancung, salib, dan dibuang dari kediamannya. 

Hukuman tersebut lebih berat daripada hukuman pencurian sebab di antara keduanya ada perbedaan. Perampokan dikenai hukuman pancung sebab ada satu hal prinsip dalam perampokan yang tidak dimiliki oleh pencurian, yaitu kekuasaan (al-mana’ah). 

Perampok disebut berkuasa sebab ia mampu melakukan tindakan kriminal majemuk, yakni selain merampas harta, ia juga mampu membunuh pemiliknya. Korupsi berbeda dengan pencurian biasa. Ia merupakan akumulasi dari kesewenangan dan pengkhianatan terhadap jabatan. Dengan kekuasaan yang dimiliki koruptor, ia seenaknya melakukan pemotongan-pemotongan dana yang seharusnya tersalurkan kepada kemaslahatan masyarakat. 

Dalam ayat tersebut juga terdapat kalimat “membuat kerusakan di muka bumi” (ifsad fi al-ardl). Menurut as-Syaukani, melihat susunan redaksi al-Qur’an, kata tersebut mencakup tindakan apapun yang mengakibatkan kerusakan di muka bumi,  termasuk korupsi.

Korupsi telah memporak-porandakan berbagai aspek kehidupan. Berbagai aspek yang diporak-porandakan oleh korupsi itu adalah hal-hal yang Tuhan berkepentingan untuk melestarikannya. Korupsi telah merongrong prinsip kemaslahatan yang ingin dilestarikan Tuhan bagi manusia. 

Sebagaimana dikatakan al-Ghazali, yang dimaksud dengan kemaslahatan adalah melestarikan tujuan atau kepentingan Tuhan dalam syariatnya bagi manusia. Maksud tujuan atau kepentingan Tuhan yang dimaksud untuk dilestarikan adalah agama (hifzhu ad-din), nyawa (hifdzu an-nafs), akal (hifdzu al-‘aql), keturunan/harga diri (hifdzu an-nasl/’irdl), dan harta/ekonomi (hifdzu al-mal). 

Tindakan apapun yang mengandung cara atau tujuan yang dapat melestarikan kelimanya disebut maslahat. Sementara tindakan apapun yang mengandung cara atau tujuan yang dapat memporak-porandakan kelimanya adalah mafsadat.

Tindakan korupsi adalah perbuatan yang dapat menghilangkan tujuan dan memporak-porandakan apa yang telah menjadi ketetapan syariat untuk dilestarikan, dan tentu keberadaannya harus dimusnahkan.

Demikian Penjelasan terkait hukuman dan ancaman Al-Qur’an terhadap koruptor. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Indonesia Punya Asosiasi Lembaga Pemeriksa Produk Halal

Indonesia kini memiliki asosiasi lembaga-lembaga pemeriksa produk halal yakni Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI) yang pembentukannya dibidani oleh 31 Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang ada di Tanah Air.

Peresmian asosiasi tersebut diselenggarakan di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Senin.

Pada acara itu Elvina Agustin Rahayu dari Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayyiban Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah terpilih sebagai Ketua Umum ALPHI periode 2023-2025.

Elvina mengatakan kehadiran ALPHI ini akan menjadi wadah kerja sama dan solidaritas antarsesama LPH dalam penguatan rantai ekosistem halal di Indonesia dan mendukung target sebagai pusat industri halal dunia pada 2024 yang dicanangkan pemerintah.

“ALPHI ini menjembatani, mengomunikasikan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Artinya kita stakeholder ekosistem halal. Sehingga bagaimana menyinergikan semua itu untuk menguatkan ekosistem halal,” katanya.

Menurutnya, pada tahun pertama ALPHI, pihaknya akan fokus pada penguatan kompetensi dan integritas para pemeriksa halal. Ia ingin selain dari penguatan sisi kuantitas produk halal, juga menjaga kualitas dari produk yang akan diaudit.

“Masalah kompetensi dan integritas (LPH) akan kami tekankan. Karena tanpa kompetensi mungkin kita tidak bisa melahirkan jaminan kepada konsumen muslim, itu menjadi penguatan kami pada periode pertama. Lalu mengkoordinasikan regulasi-regulasi yang juga memihak kepada LPH,” kata dia.

Ia menjelaskan puluhan LPH yang tergabung dalam asosiasi ini berasal dari dari LPH BUMN, LPPOM MUI, LPH Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, hingga LPH swasta.

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan pihaknya mengapresiasi terbentuknya asosiasi lembaga pemeriksa halal itu.

Menurutnya, LPH bertindak sebagai mata dan telinga MUI dalam pemeriksaan proses produk halal.

“Dan hasil pemeriksaan tersebut dilaporkan dan disampaikan ke MUI sebagai bahan di dalam pembahasan dan penetapan kehalalan produk,” kata dia.

Di sisi lain, kata dia, kehadiran ALPHI sangat penting untuk membangun kesepakatan, kesepahaman, dan mendiskusikan berbagai masalah yang muncul untuk menguatkan fungsi dakwah, utamanya bidang halal.

Sementara itu, Kepala Unit Halal PT Sucofindo Agus Suryanto mengatakan bahwa pihaknya turut membidani lahirnya ALPHI. Menurutnya, pembentukan asosiasi LPH ini dapat mendukung kesuksesan program pencapaian sertifikasi halal yang dicanangkan pemerintah.

“LPH PT Sucofindo itu sejak awal berpartisipasi dalam proses pendirian ALPHI, karena kami punya ‘concern’ membantu pemerintah mencapai target industri halal 2024 dunia. Sebagai BUMN kami berkewajiban membantu pemerintah untuk mencapai target tersebut,” katanya.

sumber : Antara

Imam Cepat, Makmum Ingin Lambat, Bagaimana Hukumnya?

Meski diperbolehkan melaksanakan shalat dengan cepat, namun shalat harus tetap dilakukan secara sempurna rukun-rukunnya. Salah satu rukun dalam shalat adalah thuma`ninah

Hidayatullah.com | SEJAK 3 tahun ini saya sangat menikmati ibadah, khususnya  punya kebiasaan shalat fardhu dan Sunnah yg  cukup lama. Namun setelah pindah rumah, satu2nya tempat ibadah paling dekat mushola samping rumah, sayangnya, kebiasaan di situ sholatnya cepat, bacaannya pendek, jadi saya merasa kurang tenang dan tidak tuma’ninah. Saya merasa kurang sreg, terganggu. Akhirnya saya akali, saya sering masbuk, harapanya masih ada sisa yangg saya gunakan untuk rukuk dan sujut dengan lama dan nikmat. Tapi apakah cara ini benar? (Amir |Surabaya)

***

Jawaban: Banyak dari nash-nash Hadits yang mengandung perintah bagi imam untuk meringankan shalat, di antaranya adalah:

عن عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ، قَالَ: ((آخِرُ مَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَمْتَ قَوْمًا، فَأَخِفَّ بِهِمُ الصَّلَاةَ)) (أخرجه مسلم: 468, 1/342)

عن عُثْمَانُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((أُمَّ قَوْمَكَ. فَمَنْ أَمَّ قَوْمًا فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيهِمُ الْكَبِيرَ، وَإِنَّ فِيهِمُ الْمَرِيضَ، وَإِنَّ فِيهِمُ الضَّعِيفَ، وَإِنَّ فِيهِمْ ذَا الْحَاجَةِ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ وَحْدَهُ، فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ)) (أخرجه مسلم: 468, 1/(

Dari Utsmin bin Abi `Ash ia berkata, ”Rasulullah ﷺ bersabda, ’Imami kaummu, maka barangsiapa mengimami suatu kaum maka hendaklah ia meringankan, seseungguhnya pada mereka ada lansia, pada mereka ada yang sakit, pada mereka ada yang lemah, dan pada mereka ada yang memiliki hajat, dan jika salah satu dari kalian shalat secara sendiri maka ia bisa melaksanakan shalat sesukanya.’” (Riwayat Muslim: 468, 1/342).

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه ((أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنْ أَخَفِّ النَّاسِ صَلَاةً فِي تَمَامٍ)) (أخرجه مسلم: 467, 1/342)

Dari Anas Radhiyallahu `anhu ia berkata, ”Sesunggunya Rasulullah ﷺ adalah termasuk orang yang paling ringan dalam shalat secara sempurna.” (Riwayat Muslim: 467, 1/342).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ صَلَّى الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَى أَصْحَابِهِ، فَأُخْبِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذٍ: ” أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ، خَفِّفْ عَلَى النَّاسِ، وَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَلَا تَشُقَّ عَلَى النَّاسِ ” (أخرجه البيهقي في السنن الكبرى: 5272, 3/165).

Dari Jabir bin Abdillah bahwa sesungguhnya Mu`adz bin Jabal melaksakan shalat isya` Bersama kaumnya, lantas ia memanjangkannya. Maka dikabarkanlah hal itu kepada Nabi ﷺ. Lantas Rasulullah ﷺ bersabda kepada Mu`daz,”Apakah engkau menjadi seorang pembuat fitnah wahai Mu`adz? Ringankanlah shalat bersamaa manusia, dan bacalah “wasyamsi wadhuhaha”, dan “sabbihisma rabbikal a`la” dan sejenisnya dan janganlah engkau menyusahkan manusia.” (Riwayat Al Baihaqi dalam As Sunan An Kubra: 5272, 3/165).

Berpedoman kepada hadits-hadits di atas, para ulama dari madzhab empat juga menyatakan sunnahnya meringankan shalat bagi imam. Demikian pendapat mereka:

Madzhab Hanafi

Imam Badr Al Aini berkata, ”Jama’ah merupakan sunnah yang pertama, sedangkan meringkankannya merupakan sunnah yang kedua.” (dalam Minhah As Suluk, hal. 164).

Madzhab Maliki

Az Zurqani berkata, ”Hendaklah bagi imam meringankan mujahadahnya jika ia telah menyempurnakan rukun-rukunnya. Dan jika ia tahu mengenai kuatnya siapa saja yang ada di belakangnya namun ia tidak tahu apa yang terjadi pada siapa yang berada di belakangnya, termasuk adanyakesibukan, buang air kecil, atau hajat. Hal itu berlaku baik bagi imam wajib maupun sunnah, yang mana kesunnahaannya merupakan perkara yang disepakati.” (dalam Syarh Az Zurqani `ala Mukhtashar Khalil, 1/372).

Madzhab Asy Syafi`i

Imam Asy Syafi`i berkata, ”Dan aku menyukai bagi imam untuk meringankan shalatnya dan menyempurnakannya.” (dalam Al Umm, 1/188).

Imam Al Mawardi berkata, ”Perlu bagi imam untuk meringankan shalat bagi makmumnya setelah melaksanakan apa-apa yang diwajibkan dalam shalat, yang disunnahkan dan yang termasuk hai`ah.” (dalam Al Hawi Al Kabir, 2/351).

Madzhab Al Hanbali

Musa bin Ahmad Al Hijawi berkata, ”Dan disunnahkan bagi imam meringankan shalat dengan menyempurnakannya jika para makmum tidak menghendaki lama, namun jika mereka semua menginginkan lama maka disunnahkan memanjangkan.” (dalam Al Iqna` fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hanbal, 1/164)

Apakah Thuma`ninah itu?

Meski diperbolehkan melaksanakan shalat dengan cepat, namun shalat harus tetap dilakukan secara sempurna rukun-rukunnya. Salah satu rukun dalam shalat adalah thuma`ninah.

Para ulama menjelaskan bahwa makna dari thuma`ninah adalah diam setelah gerakan, atau diam di antara dua gerakan. (dalam Hasyiyah Qalyubi, 1/175).

Adapun mengenai kadar lamanya, Syeikh Syihab Ar Ramli menyatakan,”Dan minimal waktu thuma`niah dalam shalat sebagaimana pengucapan subhanallah.” (Asna Al Mathalib dengan Hasyiyah Ar Ramli, 1/443).

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, tidak mengapa atau bahkan disunnahkan bagi imam untuk meringankan shalat bagi para makmumnya. Tentu hal itu dilakukan setelah menyempurnakan rukun-rukun shalat.

Dan tidaklah mengapa bermakmum kepada  imam yang shalatnya cepat selama masih terpenuhi rukun-rukunnya. Sedangkan makmum jika ingin melaksanakan shalat lebih lama ia masih bisa melakukannya ketika shalat sunnah yang dilakukan sendirian. Wallahu`alam bish shawab.*/Thoriq, LC, MA

HIDAYATULLAH

Ramadhan, Saat Tepat Menyerap Solusi Langit Menghadapi Keterpurukan Bangsa

Ramadhan bisa menjadi media tepat mengangkat segala kesulitan hidup bangsa ini, dan mengirimkan kita pemimpin dan penyelenggara negara yang  jujur

Oleh: H. J. Faisal

Hidayatullah.com | SOLUSI untuk segala macam permasalahan yang ada di dalam  bangsa ini sebenarnya sudah ada. Ya, ini adalah solusi dari langit, solusi yang datangnya dari Tuhan langsung, Allah Ta’alla, bukan dari manusia-manusia yang terkadang merasa memiliki kemampuan atau ilmu yang lebih dari Tuhan.

Allah Ta’alla sebenarnya telah memberi sebuah solusi yang sangat manjur atas segala macam permasalahan yang membelit sebuah bangsa, yaitu dengan menjadi sebuah bangsa yang bertaqwa, yang dimana isi dari bangsa tersebut adalah manusia-manusia atau hamba yang bertaqwa, bukan hamba yang durhaka.

Bagi manusia yang menjalankan agamanya (khususnya muslim) secara setengah-setengah (ibadah wajibnya dijalankan, tetapi maksiatnya juga lancar), hal tersebut mungkin terdengar sangat naif dan tidak ada hubungan ilmiahnya. Tetapi sikap dan pemikiran manusia-manusia ‘serba tanggung’ seperti ini juga sudah diperingatkan oleh Allah Ta’alla.  

Hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah Ta’alla terangkan di dalam firman-Nya, di dalam Surah Al-A’raf: 96, yang artinya:

وَلَوۡ اَنَّ اَهۡلَ الۡقُرٰٓى اٰمَنُوۡا وَاتَّقَوۡا لَـفَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالۡاَرۡضِ وَلٰـكِنۡ كَذَّبُوۡا فَاَخَذۡنٰهُمۡ بِمَا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf:96).

Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan, yang dimaksud keberkahan dari langit dan bumi adalah hujan dan tumbuh-tumbuhan. Sementara itu, Al-Baghawi dalam kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil menjelaskan, keberkahan dalam ayat tersebut adalah diluaskan dan dimudahkannya berbagai macam kebaikan di seluruh penjuru.

Ramadhan Solusi Keterpurukan

Banyak cara agar manusia menjadi hamba yang bertaqwa kepada Allah Ta’alla, salah satunya adalah dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Hal ini sesuai dengan yang telah Allah Ta’alla firmankan di dalam Al-Quran Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183, Allah SWT berfirman, yang artinya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. (berpuasa) agar kamu bertaqwa.” (QS: Al-Baqarah: 183).

Tak hanya dalil Al-Quran, dalil hadits pun juga menegaskan posisi hukum puasa Ramadhan.

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: (بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ البَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: ” Rasulullah ﷺ bersabda: ”Islam itu dibangun di atas lima dasar: persaksian (syahadat) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji (ke Baitullah) dan puasa di bulan Ramadhan.” (HR: Al Bukhari dan Muslim).

Menurut tafsir dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan, yaitu:

1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah Ta’alla berupa makan, minum, jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’alla, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa.

2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’alla, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah Ta’alla mengawasinya

3.Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya, maksiat pun dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga niatnya untuk berbuat kejahatan, seperti korupsi, mencuri, membunuh, menindas, mabuk, berzina, membohongi rakyat, curang, pamer harta, mencari-cari cara untuk memuluskan jalan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, menilap uang pajak negara,  dan segala bentuk kejahatan pribadi maupun kejahatan sosial lainnya dapat dihilangkan. 

4.Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan dan keimanan kepada Allah Ta’alla, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa.

5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar, sehingga ia akan lebih peduli dan berempati kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”.

Ramadhan sesungguhnya adalah kesempatan bagi umat manusia untuk mendapatkan kasih sayang dan pendidikan dari Allah Ta’alla. Dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan, manusia sebagai hamba Allah Ta’alla digembleng untuk menjadi hamba yang bertaqwa, sehingga dengan menjadi hamba yang bertaqwa.

Karenanya pasti Allah Ta’alla akan meridhoi, menyelamatkan dan memberkahi negeri dimana manusia-manusia itu tinggal. Apakah ada keberuntungan yang lebih tinggi di dunia ini, selain keberuntungan karena ridho, keberkahan, dan keselamatan dari Allah Ta’alla?

Dengan berpuasa di bulan suci Ramadhan, dan mendidik diri menjadi pribadi yang bertaqwa, itu artinya kita telah menyelamatkan bangsa dan negara kita dari keterpurukan akibat dari kebodohan kita sendiri, dan semoga berlanjut terus di 11 bulan berikutnya, dan begitupun seterusnya sampai menjelang hari akhir. 

Dengan demikian jelaslah bahwa selama ini, dari banyaknya kesulitan atau masalah yang membelit negeri ini, baik itu dalam masalah rendahnya adab, ekonomi, politik, hukum, Pendidikan, dan lainnya, apakah kita sebagai manusia-manusia hamba Allah Ta’alla yang tinggal di negeri yang bernama Indonesia ini sudah termasuk kategori sebagai manusia atau hamba yang bertaqwa menurut Allah Ta’alla?

Atau mungkin sebaliknya, kita masih termasuk kategori sebagai manusia dan hamba yang mendurhakai-Nya, sehingga terlalu banyak kesulitan atau masalah yang membelit negeri ini, yang notabene disebabkan oleh kebodohan dan ‘ngeyelnya’ manusia-manusia Indonesia (baca: kita) itu sendiri.

Ya, bodoh karena tidak pernah mau mencaritahu semua petunjuk dari Allah Ta’alla, dan ‘ngeyel’ karena kalaupun kita sudah tahu tentang petunjuk-petunjuk-Nya tersebut, kita malah membandingkan semua petunjuk-petunjuk Allah Ta’alla tersebut dengan segala ‘petunjuk-petunjuk’ dari sesama manusia lainnya, atau juga malah membandingkannya dengan hukum-hukum buatan manusia.

Jadi, janganlah merasa heran jika harga-harga kebutuhan pokok selalu menjadi naik menjelang bulan suci Ramadhan, dan inflasi harga yang tinggi di setiap tahunnya. Mungkin itulah ‘resiko’ yang harus kita terima karena ketidakbertaqwaan kita sebagai hamba penghuni sebuah bangsa yang bernama Indonesia selama in.

Semoga dengan menjadi manusia yang bertaqwa di bulan suci Ramadhan 1444 H ini, dan juga 11 bulan lainnya kedepan, dan seterusnya sampai hari akhir tiba, baik dengan ketaqwaan secara pribadi maupun ketaqwaan secara sosial, kita dapat menempuh cara singkat yang cepat (fast short cut) dalam menyelamatkan bangsa ini.

Hal in agar Allah Ta’alla mengangkat segala kesulitan hidup bangsa ini, dan mengirimkan kita pemimpin-pemimpin atau penyelenggara negara yang baru, yang bertaqwa, amanah, cerdas, beradab, dan  bukan pemimpin-pemimpin atau para penyelenggara negara yang durhaka, korup, licik, munafik, bodoh, dan pandai membohongi rakyat. Aamiin ya Rabbal’alamiin.*

Pemerhati Pendidikan/ Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor/ Anggota PJMI/ Anggota PB Al Washliyah

HIDAYATULLAH

Apakah Wajib Mengqadha Shalat Saat Pingsan Dibius?

Salah satu pertanyaan yang jamak ditanyakan masyarakat ialah apakah wajib mengqadha shalat saat pingsan dibius? Simak penjelasan ulama berikut. 

Dalam khazanah Islam, kesehatan merupakan salah satu rahmat Allah Swt yang diberikan kepada umat manusia. Tanpa kesehatan, manusia akan menemui kesulitan dalam menjalankan kegiatannya. Memelihara jiwa atau kesehatan merupakan salah satu bagian dari lima maqashid al-syariah yakni hafizuddin, Hifdzud nafs, hifdzul-aql, hifzun nasl, dan hifzul-mal.

Perkembangan dunia medis yang semakin maju menjadikan umat Islam dihadapkan dengan persoalan yang rumit, yakni ketika adanya pertentangan antara ajaran agama dengan realitas dunia medis yang tidak jarang menggunakan suatu zat yang diharamkan oleh agama Islam. 

Lantas bagaimana para ulama menyikapi penggunaan obat bius yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan akal? Wajibkah mengganti shalat yang ia tinggalkan setelah pingsan dibius obat? 

Hukum Menggunakan Obat Bius

Mengenai penjelasan ini, Imam Nawawi dalam kitab  al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab, bahwa boleh hukumnya mengkonsumsi obat yang dapat membuat diri pingsan.  Kebolehan menggunakan obat tersebut dengan tujuan untuk meredam rasa sakit meskipun sampai menghilangkan kesadaran. Berikut redaksinya:

يَجُوزُ شُرْبُ الدَّوَاءِ الْمُزِيلِ لِلْعَقْلِ لِلْحَاجَةِ 

“Diperbolehkan mengkonsumsi obat yang dapat menghilangkan akal, karena ada hajat”

وَلَوْ اُحْتِيجَ فِي قَطْعِ يَدِهِ الْمُتَآكِلَةِ إلَى تَعَاطِي مَا يُزِيلُ عَقْلَهُ فَوَجْهَانِ أَصَحُّهُمَا جَوَازُهُ

“Seandainya dibutuhkan untuk mengkonsumsi sebagian narkoba untuk meredam rasa sakit ketika mengamputasi tangan, maka terdapat dua pendapat. Menurut pendapat yang benar adalah diperbolehkan.”

Apakah Wajib Mengqadha Shalat Saat Pingsan Dibius?

Lebih lanjut, orang yang pingsan tidak diwajibkan mengqadha shalat ketika sembuh. Sebagaimana berikut ini;

وَإِذَا زَالَ عَقْلُهُ وَالْحَالَةُ هَذِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاءُ الصَّلَوَاتِ بَعْدَ الْإِفَاقَةِ لِأَنَّهُ زَالَ بِسَبَبٍ غَيْرِ مُحَرَّمٍ

“Dan ketika akalnya hilang, ia tidak harus mengqadha shalat setelah sembuh, karena ia hilang akal sebab alasan yang tidak dilarang”

وأما من زال عقله بجنون أو إغماء أو مرض فلا يجب عليه لقوله صلى الله عليه وسلم ” رفع القلم عن ثلاثة ” فنص على المجنون وقسنا عليه كل من زال عقله بسبب مباح 

“Adapun seseorang yang akalnya hilang sebab gila, epilepsi, atau sakit. Maka dia tak perlu mengqadha shalatnya, karena ada hadist Nabi Muhammad Saw ‘pena diangkat dari tiga perkara’. Maka Nabi telah menetapkan gila (sebagai salah satu dari tiga hal), lalu kami mengkiaskan setiap orang yang hilang akal karena sebab yang diperbolehkan terhadap sifat gila”

Kesimpulan Hukum

Dari ibarat yang disampaikan oleh Imam Nawawi dapat disimpulkan bahwa: 

Pertama, terdapat dua pendapat mengenai penggunaan obat bius, adapun pendapat yang benar adalah kebolehan menggunakan obat bius karena ada kebutuhan.

Kedua, seseorang yang akalnya hilang disebabkan oleh perkara yang mubah, seperti hilang akal karena sakit, gila, epilepsi. Maka tak perlu mengqadha shalatnya ketika ia sadar.

Sekian jawaban dari pertanyaan apakah wajib mengqadha shalat saat pingsan dibius?Semoga bermanfaat.

*Editor: Zainuddin Lubis

BINCANG SYARIAH

Hukum Mendonorkan ASI Kepada Bayi Non-Muslim

Bagaimana hukum mendonorkan kepada bayi non muslim? Pertanyaan tentang hukum mendonorkan ASI tersebut banyak yang ditanyakan oleh masyarakat di Indonesia.

Pentingnya ASI bagi Anak

Masalah kesehatan ibu dan anak adalah salah satu problem kesehatan utama di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah asupan gizi, baik pada perempuan usia subur, ibu hamil, ibu nifas juga bayinya. Nutrisi esensial, terutama untuk bayi pada bulan-bulan pertama adalah Air Susu Ibu (ASI).

Berdasarkan rekomendasi WHO, setelah Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pasca kelahiran, enam bulan setelahnya ASI diberikan tanpa tambahan makanan dan minuman lain. ASI eksklusif enam bulan pertama ini menjadi asupan yang cocok dengan perkembangan fisik bayi, sejalan dengan kebutuhan gizinya.

Selain sumber nutrisi, ASI dinilai dapat mendekatkan ibu dan anak secara emosional, serta sifatnya lebih higienis dan ekonomis. Pemberian ASI eksklusif di berbagai daerah terus digalakkan oleh pemerintah. Hambatan program ASI eksklusif ini antara lain minimnya pengetahuan ibu dan keluarga, kesibukan kerja ibu, atau adanya faktor penyakit yang menjadi kontraindikasi untuk memberikan nutrisi dasar bagi anaknya.

Pemberian susu bayi menurut WHO diklasifikasikan sebagai berikut: ASI yang diberikan langsung; ASI perah ibu sendiri; ASI dari pendonor; serta susu formula. Akibat faktor kesibukan ibu atau penyakit, atau malah karena kultur tertentu, bayi juga bisa disusui oleh orang lain.

Sejarah Rasulullah Diasuh Ibu Susu

Dalam sejarah Islam diketahui Nabi Muhammad SAW dititipkan oleh keluarganya kepada Tsuaibah, perempuan dari Bani Aslam; serta Halimah, perempuan dari Bani Sa’ad, untuk disusui dan dirawat oleh mereka.

Al-Quran menyatakan kebolehan anak disusui perempuan lain, salah satunya disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 233;

“Dan jika kamu ingin anak kamu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah 233).

Para ulama klasik menjelaskan ibu susuan dalam Islam layak mendapat upah dari jasa menyusui dan merawat sang anak. Definisi menyusui dalam fikih adalah: memberikan ASI kepada bayi, baik secara langsung dari payudara perempuan maupun tidak.

Pada masa sekarang, telah dikenal Donor ASI. Jika donor ASI mengikuti definisi di atas, maka ia juga tergolong dalam kriteria fikih radla’ah.

Teknologi penyimpanan air susu ibu telah menjadikan ASI dapat disimpan lebih lama, dan dapat diberikan pada siapa pun yang membutuhkan. Hambatan memberikan ASI yang telah disebutkan baik karena sakit atau kesibukan, menjadikan jasa donor ASI baik melalui bank ASI atau via relasi cukup diminati, jika ibu kandung anak merasa tidak mampu mengelola ASI sendiri.

Hukum Mendonorkan ASI Kepada Bayi Non Muslim

Persoalan pemberian donor ASI ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, terkait dengan aturan-aturan fiqih radla’ah yang erat kaitannya dengan masalah mahram dan nasab. Seseorang yang kendati beda orang tua, namun disusui oleh ibu yang sama, dalam kriteria frekuensi dan cara tertentu dalam fikih akan menjadi saudara sepersusuan, yang menjadikannya mahram – haram dinikah, seperti saudara kandung.

Untuk masalah ini, penolakan donor ASI karena kekhawatiran tentang masalah kekaburan nasab disebabkan pemberian ASI, terlebih melalui bank ASI. Hal ini mungkin disebabkan kekurangtahuan tentang teknis pendonoran ASI.

Pendonor ASI telah diatur dalam Permenkes RI nomor 33 tahun 2013 tentang pemberian ASI, bahwa donor ASI memiliki syarat berikut:

“Permintaan ibu kandung atau keluarga bayi identitas, agama, dan alamat pendonor diketahui oleh keluarga atau ibu bayi penerima ASI Persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi penerima ASI Pendonor.

ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai kontraindikasi menyusui (semisal seperti pada penyandang HIV/AIDS, penderita hepatitis B atau C, penerima transfusi, atau pengguna obat yang dilarang pada ibu menyusui) ASI tidak diperjualbelikan.

Kekhawatiran kekaburan nasab dalam donor ASI khususnya via bank ASI bisa diantisipasi dengan pelabelan identitas lengkap pendonor. Selain itu, seseorang baru dinilai sebagai ibu susuan jika konsumsi ASI dari perempuan yang sama identitasnya dalam beberapa kali. Mayoritas ulama menyebutkan bahwa status ibu susuan ditetapkan setelah lima kali susuan.

Dalam kondisi tidak urgen saja ibu susuan itu mubah (boleh), terlebih dalam kondisi darurat seperti masalah kesehatan. Keamanan ASI juga baiknya sudah memerhatikan mekanisme penyimpanan dan check up kesehatan para pendonor. Namun agaknya ASI ibu kandung sendiri untuk sang anak adalah yang terbaik, dan momen menyusui akan menjadi kedekatan anak dengan ibunya.

Demikian penjelasan terkait hukum mendonorkan asi kepada bayi non-muslim. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Masjidil Haram Sediakan Ribuan Kendaraan Listrik untuk Jamaah Umroh

Presidensi Umum untuk Urusan Dua Masjid Suci telah menyediakan kendaraan listrik (EV) sepanjang waktu untuk pendatang dan jamaah umrah lanjut usia serta penyandang cacat. Kendaraan ini membantu mereka melakukan ritual yang dibutuhkan dengan mudah.

Dilansir dari laman Saudi Gazette pada Rabu (8/3/2023) Lebih dari 9.000 EV melayani pengunjung Masjidil Haram dan dapat dipesan terlebih dahulu melalui aplikasi smartphone Tanaqol (transportasi). Ini bertujuan untuk melayani pendatang dan jamaah umrah melalui kemajuan teknologi terkini.

Aplikasi ini membantu membeli tiket, memesan EV sebelumnya, dan mengurangi kepadatan di titik penjualan dan pengiriman.

Di samping itu, Presidensi Umum Urusan Masjidil Haram dan Masjidil Nabawi telah memberikan serangkaian layanan berkualitas kepada pengunjung Masjidil Haram untuk menjamin kenyamanan jamaah, dan pengunjung masjid.

Layanan yang diberikan kepada jamaah dan pelaku umrah termasuk membagikan booklet dan leaflet kepada 1.100 pengunjung, meningkatkan kesadaran melalui kode QR yang berisi informasi panduan, mengamankan panggilan virtual dengan mufti menggunakan teknologi canggih, dan dengan personel Kepresidenan yang tersedia di seluruh Masjidil Haram. Sekitar 85.676 pengunjung mendapat manfaat dari layanan kesadaran.

Dari jumlah pengunjung, 2.471 orang dibantu untuk melakukan tawaf oleh personel Kepresidenan yang bekerja untuk memfasilitasi pelaksanaan ritual tersebut.

Sumber: saudi Gazzete