Hukum Over Kredit dalam Islam, Bolehkah?

Para ulama yang melarang pengalihan utang pada makanan beralasan bahwa hal itu berarti menjual makanan yang belum dimiliki secara penuh.

Bermuamalah dengan cara mencicil cukup populer di Indonesia. Banyak pembelian kenda raan, rumah, hing ga masih barang elektronik yang dibeli lewat kredit. Di dalam Alquran pun tertera jelas tentang bagaimana ketentuan jual beli tidak secara tunai. “Hai orang-orang yang beriman, apabila ka mu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentu kan, hendaklah kamu menulis kannya.” (QS al-Baqarah: 282).

Transaksi jual beli secara kre dit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ‘adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan me nyepakati batas waktu dan harga barang). Transaksi tersebut pun harus bebas dari unsur riba. Meski demikian, adakalanya seorang yang tak sanggup membayar cicilan kemudian mengalihkannya kepada orang lain. Tak hanya cicilan, pinjam meminjam uang yang dibenarkan syara’ pun terkadang mengalami pengalihan.

Contoh kasus, yakni si A memberi pinjaman kepada si B, sedangkan si B masih punya piutang kepada si C. Begitu si B tidak mampu membayar utangnya kepada si A, ia mengalihkan beban utang tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si B kepada si A, sedangkan utang si C dianggap selesai.

Lantas, muncul pertanyaan mengenai pengalihan kredit atau over kredit dari satu debitur kepada calon debitur lain, apakah sah dalam Islam? Over kredit dalam Islam disebut dengan bahasa hawalah. Istilah ini bermakna pengalihan utang. Berdasarkan sabda Nabi SAW, hawalah termasuk transaksi muamalah yang sah di mata syara’.

“Penangguhan orang kaya itu zalim. Jika salah seorang kalian dialihkan kepada orang kaya, hendaklah ia mau menerima pengalihan itu.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Haram bagi orang yang mampu membayar utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah se orang di antara kalian mengalih kan utangnya kepada orang lain, hendaklah pengalihan itu diterima asalkan orang lain (yang di minta membayar utang) itu mampu membayarnya.” (HR Ahmad dan Albaihaqi).

Haram bagi orang yang mampu membayar utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah se orang di antara kalian mengalihkan utangnya kepada orang lain, hendaklah pengalihan itu diterima asalkan orang lain (yang di minta membayar utang) itu mampu membayarnya

HR AHMAD DAN ALBAIHAQI

Pengalihan utang mengha rus kan keberadaan orang yang meng alihkan utang (muhil), orang yang utangnya dialihkan (muhal), dan orang yang kepadanya utang dialihkan (muhal’alaih). Muhil adalah debitor, muhal adalah kre ditor, dan muhal’alaih adalah orang yang akan membayar utang.

Dikutip dari kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, para ulama menganggap hawalah me rupakan bagian dari muamalah. Mereka mempertimbangkan bah wa persetujuan kedua belah pihak diperlukan. Meski demikian, ada ulama yang berpendapat ti dak perlunya persetujuan orang yang menerima pengalihan utang berikut persetujuan orang yang dialihkan utangnya. Para ulama ini memandang jika kapasitas orang yang menerima pengalihan utang terhadap orang yang di alihkan piutangnya, sama seperti kapasitas orang yang dialihkan piutangnya terhadap debitur atau orang yang berutang pada orang lain. Dalil hadis, “…. hendaklah pengalihan itu diterima asalkan orang lain (yang diminta membayar utang) itu mampu membayarnya,” menjadi sandaran jika persetujuan tak diperlukan.

Menurut Imam Malik, pengalihan utang harus memenuhi tiga syarat. Pertama, status utang orang yang dialihkan sudah jatuh tempo. Jika utang itu belum jatuh tempo, sama dengan menjual utang dengan utang. Menurut hu kum syara’, penjualan tersebut ti dak diperbolehkan. Kedua, be saran dan sifat utang yang dialihkan harus sama dengan utang baru. Jika ada salah satunya yang tidak sama, statusnya sama de ngan menjual utang, bukan ha walah. Karena itu, menurut Imam Malik, muamalah ini tidak berarti keluar dari rukhshah atau kemurahan dalam jual beli. Jika sudah masuk dalam jual beli, ada unsur praktik menjual utang dengan utang. Ketiga, utangnya bukan be rupa makanan dari pemesanan atau salam.

Secara garis besar, para ulama menyepakati jika tanggungan utang pada penerima pengalihan harus sejenis dengan tanggungan utang yang ada pada orang yang mengalihkan utang, baik besaran maupun sifatnya. Akan tetapi, se bagian ulama yang membolehkan pengalihan utang tersebut hanya pada emas dan dirham, bukan ma kanan. Para ulama yang me larang pengalihan utang pada makanan beralasan bahwa hal itu berarti menjual makanan yang belum dimiliki secara penuh.

Mayoritas ulama berpendapat jika hukum hawalah kebalikan dari hukum kafalah. Dalam hal, kalau orang yang menerima peng alihan utang mengalami pailit ma ka kreditur tidak boleh me nagih kepada orang yang meng alihkan utang. Menurut Imam Ma lik dan murid-muridnya, dikecualikan jika orang yang meng alihkan utang melakukan peni pu an atau kecurangan. Contoh nya, ia mengalihkannya kepada orang miskin.

Sementara itu, Imam Abu Ha nifah berpendapat, kreditur boleh menagih kepada orang yang me nerima pengalihan utang kalau orang tersebut meninggal dunia dalam keadaan pailit. Kondisi lainnya, orang tersebut menyang kal pengalihan utang sekalipun tidak mempunyai saksi. Walla hu’alam.

Keringanan Syariat bagi Orang yang Sakit dalam Bersuci dan Salat

Bersuci dan salat adalah dua syariat yang wajib dilaksanakan baik oleh laki-laki ataupun perempuan muslim yang sudah mencapai usia dewasa (balig) dan memiliki akal. Kewajiban tersebut tidak gugur, meskipun pribadi muslim tersebut sedang dalam kondisi sakit. Hanya saja, dengan indahnya syariat Islam yang mulia ini, ada beberapa keringanan (rukhshah) dan kemudahan yang dapat dilakukan oleh mereka yang sedang sakit ketika hendak bersuci atau melaksanakan salat. Semua itu dimulai dari identitas agama Islam yang mudah dan memudahkan pemeluknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama Islam itu mudah.” (HR. Bukhari no. 39)

Dalam ilmu fikih juga terdapat satu kaidah utama yang berbunyi,

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر

“Kesulitan itu akan membawa kemudahan.”

Kita ketahui bersama bahwa sakit merupakan kondisi yang mengakibatkan rasa sulit dan susah bagi penderitanya. Oleh karena itu, di dalam perkara bersuci dan salat, Islam memberikan beberapa rukhshah (kemudahan dan keringanan) bagi mereka yang sedang sakit pada beberapa keadaan. Di antaranya:

Keringanan dalam bersuci

Pertama: Saat tidak mampu menggunakan air untuk bersuci dari hadas besar maupun kecil, maka diperbolehkan tayamum untuk menggantikan keduanya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)

Kapan saja orang yang sakit diperbolehkan bertayamum?

Pertama, saat khawatir timbulnya bahaya ketika menggunakan air.

Kedua, khawatir bertambahnya rasa sakit karena penggunaan air.

Dan yang terakhir, khawatir jika menggunakan air, maka akan memperlama sakit yang dideritanya. Atau timbulnya rasa sakit yang tidak tertahankan jika ia menggunakan air.

Pada keadaan-keadaan di atas, sangat disarankan untuk bertayamum sebagai pengganti bersuci dengan air baik ketika safar maupun ketika mukim (tidak safar).

Adapun rasa sakit atau luka yang tidak membuat penderitanya khawatir terhadap penggunaan air, seperti sakit kepala (pusing) atau dia bisa menggunakan air hangat, atau penyakitnya tersebut tidak membuatnya harus meninggalkan penggunaan air, maka ia tidak diperbolehkan untuk bertayamum. Mengapa? Karena tayamum diperbolehkan dengan tujuan untuk menjauhkan bahaya dan rasa sakit yang ditimbulkan oleh penggunaan air. Sedangkan pada kasus di atas, orang yang sakit tersebut, sama sekali tidak merasakan kesulitan yang menjadi penyebab diperbolehkannya tayamum.

Kedua: Saat tidak bisa mencuci atau mengusap langsung pada anggota tubuh yang diwajibkan untuk dicuci atau dibasuh, diperbolehkan untuk mengusap pada gips atau perban luka saja, baik bersuci untuk hadas besar maupun untuk hadas kecil.

Diperbolehkan bagi orang yang sakit dan memiliki luka perban ataupun gips untuk mengusap gips atau perbannya. Yaitu, tatkala ia tidak bisa dan tidak dimungkinkan untuk mencuci langsung bagian anggota tubuh yang sedang diperban atau digips tersebut. Baik lukanya tersebut karena patah tulang, atau adanya luka sayatan, ataupun karena sebab lainnya. Hal ini diperbolehkan manakala ia takut bertambahnya rasa sakit jika ia langsung mengusap pada lukanya, atau bertambah lamanya pemulihan, atau timbulnya rasa sakit yang tak tertahankan, atau timbulnya rasa sakit baru apabila ia langsung mengusap pada luka tersebut.

Dalil yang menyebutkan bolehnya mengusap perban, gips, dan yang semisalnya ketika bersuci adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu. Beliau menceritakan,

“Kami keluar untuk bersafar. Kemudian salah seorang di antara kami ada yang terkena batu sehingga kepalanya terluka. Kemudian orang tersebut mimpi basah, lalu orang tersebut bertanya kepada para sahabatnya, ‘Apakah kalian mendapati keringanan bagiku untuk melakukan tayamum?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu sementara kamu mampu untuk menggunakan air.’ Kemudian orang tersebut mandi, lalu meninggal.

Setelah kami datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau diberi tahu tentang hal ini, maka beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak mau bertanya jika mereka tidak tahu. Sesungguhnya obat tidak tahu adalah bertanya. Sesungguhnya cukup baginya untuk bertayamum dan menutup lukanya tersebut dengan potongan kain, kemudian dia mengusap di atasnya.” (HR. Abu Dawud no. 33, Ad-Daruqutni 1: 189, dan Al-Baihaqi no. 1115)

Keringanan dalam salat

Adapun keringanan bagi orang yang sakit dalam bab salat, maka terdapat dalam beberapa hal:

Pertama: Bolehnya salat tidak menghadap kiblat ketika tidak mampu atau ketika tidak ada yang membantunya untuk menghadapkannya ke arah kiblat.

Hukum asalnya, orang yang sakit tetap harus menghadap kiblat ketika salat. Hanya saja ketika ia sudah tidak mampu bergerak untuk menghadap ke arahnya dan tidak ada orang lain yang bisa membantunya untuk menghadap ke kiblat, maka ia diperbolehkan untuk salat ke arah yang sesuai dengan kondisi dan posisinya ketika itu. Boleh baginya untuk menghadap ke arah manapun yang mudah bagi dirinya.

Hal ini sejalan dengan kaidah,

الوُجُوْبُ يَتَعَلَّقُ بِاْلاِسْتِطَاعَةِ , فَلاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ , وَلاَ مُحَرَّمَ مَعَ الضَّرُوْرَةِ

“Pelaksanaan kewajiban berkaitan erat dengan kemampuan. Oleh karenanya, kewajiban melaksanakan sesuatu menjadi gugur jika seseorang tidak mampu melaksanakannya. Dan sesuatu yang dilarang (diharamkan) menjadi boleh dalam kondisi darurat.”

Kedua: Boleh salat sambil duduk atau menyesuaikan kemampuannya (seperti salat dalam posisi berbaring menyamping) ketika tidak mampu lagi duduk pada salat wajib.

Imran bin Al-Husain radhiyallahu ‘anhu suatu ketika terkena penyakit wasir, lalu ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam perihal tata cara salatnya. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ 

“Salatlah dengan berdiri! Jika kamu tidak bisa, maka duduklah! Dan jika tidak bisa, maka salatlah dengan berbaring.” (HR. Bukhari no. 1117)

Orang yang sakit, tatkala sudah tidak mampu lagi berdiri total di dalam salatnya, atau dengan ia berdiri maka akan memberatkannya dan menyusahkannya, atau dengan berdiri maka akan menjadikan sakitnya semakin parah, maka diperbolehkan baginya untuk melaksanakan salat dengan posisi menyesuaikan kemampuannya, baik salat sembari duduk di atas lantai, tidur dalam posisi menyamping, atau dengan posisi telentang, namun kakinya tetap menghadap kiblat.

Jika cara-cara di atas tidak mampu juga untuk dilakukan, maka ia boleh salat dengan cara apapun yang ia bisa dan sanggupi.

Ketiga: Membuat isyarat dengan kepala saat tidak mampu ruku’ atau sujud.

Orang yang sakit, apabila ia mampu berdiri pada salat wajib, namun ia tidak mampu ruku’ maupun sujud, maka ia tetap harus salat sembari berdiri. Karena kewajiban berdiri tidak gugur dari dirinya selama ia mampu melakukannya.

Barulah ketika sudah sampai pada posisi ruku’, ia membuat isyarat anggukan dengan kepalanya, kemudian duduk dan memberi isyarat dengan kepalanya sebagai pengganti sujud dalam kondisi duduk tersebut semampunya.

Adapun orang sakit yang sudah tidak mampu berdiri, maka ia salat sembari duduk. Jika ia tidak mampu ruku’ dan sujud, maka ia memberi isyarat dengan kepalanya sebagai pengganti keduanya. Untuk posisi sujud, maka isyarat kepalanya harus lebih rendah dari posisi ruku’. Berdasarkan kisah Jabir radhiyallahu ‘anhu,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menjenguk orang yang sedang sakit. Ternyata Rasulullah melihat ia sedang salat di atas bantal. Kemudian Nabi mengambil bantal tersebut dan menjauhkannya. Ternyata orang tersebut tetap mengambil benda berupa kayu untuk salat beralaskan dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam pun mengambil kayu tersebut dan menjauhkannya. Lalu, Nabi bersabda, ‘Salatlah di atas tanah jika kamu mampu! Jika tidak mampu, maka salatlah dengan isyarat! Jadikan posisi sujudmu lebih rendah dari rukukmu.“ (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 2: 306)

Jika tidak mampu juga untuk duduk, maka ia salat dengan posisi berbaring menyamping. Jika tidak mampu juga, maka ia salat dengan posisi berbaring telentang sedangkan posisi kakinya menghadap ke arah kiblat dan ia membuat isyarat juga untuk melakukan ruku’ dan sujudnya.

Saat orang yang sakit tersebut sudah tidak bisa lagi membuat isyarat dengan kepalanya, namun ia masih bisa membaca doa-doa dalam salat, maka doa-doa tersebut tetap wajib dibaca dan tidak gugur hukumnya darinya menurut pendapat yang lebih kuat. Karena ia masih mampu melakukan bacaan doa-doa tersebut dan yang gugur darinya hanya gerakannya saja, karena ketidakmampuannya di dalam melaksanakan hal tersebut.

Keempat: Meninggalkan salat Jumat dan salat jemaah saat sakit parah.

Orang yang sakit, namun masih mampu untuk berangkat ke masjid, maka ia wajib untuk melaksanakan salatnya secara berjemaah menurut pendapat yang lebih kuat. Salat berjemaah dengan berdiri jika ia masih mampu atau menyesuaikan kondisi kesehatan dirinya. Yang jelas tetap harus berjemaah.

Adapun jika ia benar-benar tidak mampu berangkat ke masjid, maka ia salat berjemaah di tempatnya sendiri. Jika tidak mampu berjemaah, maka ia mendapatkan keringanan untuk salat sendirian.

Dalilnya adalah ketika Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam sakit parah, beliau tidak salat di masjid padahal beliau adalah imam kaum muslimin. Lalu, beliau memerintahkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu untuk menggantikannya sebagai imam.

Kelima: Menjamak salat ketika mendapati rasa berat dan susah.

Sakit parah yang membuat penderitanya merasa susah dan berat untuk melaksanakan setiap salat pada waktunya merupakan salah satu uzur yang memperbolehkan seorang muslim untuk menjamak antara dua salat, baik antara zuhur dengan asar atau magrib dengan isya.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Sebab diperbolehkannya jamak adalah rasa susah dan berat. Sedangkan sakit merupakan kondisi yang menyebabkan rasa susah pada diri seorang hamba. Oleh karenanya, para ulama memperbolehkan jamak bagi orang yang sakit apabila ia mendapati kesulitan dan kesusahan untuk melaksanakan setiap salat pada waktu aslinya.

Ada dua catatan penting terkait menjamak salat ini:

Catatan pertama: Untuk menjamak salat karena sakit atau sebab lainnya, tidak disyaratkan adanya uzur (sebab) yang memperbolehkan jamak tersebut pada permulaan salat pertama (zuhur atau magrib). Jika semisal dia telah menyelesaikan salat pertamanya (zuhur atau magrib), lalu uzurnya (sebab) tersebut baru muncul, dia tetap diperbolehkan untuk menjamak salat pertamanya tersebut dengan salat yang berikutnya (asar atau isya).

Begitu pula, tidak disyaratkan bertahannya uzur (sebab) sampai berakhirnya salat yang kedua (asar atau isya). Contohnya: Seseorang yang menggabungkan dan menjamak salat zuhur dan asar karena sakit. Dan pada salat yang kedua penyakitnya terangkat darinya dan ia sembuh, maka hukum jamak salatnya tidak batal dan tetap terhitung sah. Di dalam jamak salat tidak disyaratkan berkelanjutan dan bertahannya uzur yang membolehkan jamak hingga berakhirnya salat yang kedua.

Catatan kedua:  Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah salat Jumat tidak boleh digabungkan dan dijamak dengan salat asar dengan cara jamak ta’khir (dilakukan di waktu salat asar). Hal ini dikarenakan salat Jumat merupakan syariat salat tersendiri, memiliki syarat-syarat tertentu dan tata cara yang berbeda. Berbeda pula rukun-rukunnya dan pahalanya dengan salat lima waktu lainnya.

Adapun jika dilakukan dengan cara jamak taqdim, maka sebagian ulama membolehkannya, seperti dalam mazhab Syafi’iyyah misalnya.

Walaupun yang lebih aman (wallahu a’lam bisshawab) hendaknya tidak menjamak salat Jumat dengan salat asar secara mutlak, baik dengan di-taqdim maupun di-ta’khir. Karena jika melihat hadis-hadis yang menyebutkan perkara jamak salat, maka yang disebutkan hanyalah menjamak antara zuhur dan asar dan tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menggabungkan salat asar dengan salat Jumat. Sehingga tidak benar apabila salat Jumat dikiaskan dan disamakan dengan salat zuhur.

Oleh karena itu, orang yang sakit apabila berada di hari Jumat dan ingin menjamak antara salat zuhur dan salat asar, hendaknya ia tidak ikut hadir dalam salat Jumat. Dan sebagai gantinya, ia melaksanakan salat zuhur lalu menjamaknya dengan salat asar.

Atau jika ia berpegang dengan mazhab Syafi’iyyah yang membolehkan jamak antara salat Jumat dengan salat asar dan tetap ingin menghadiri salat Jumat serta menjamak salatnya, maka ia harus menjamak salat Jumatnya tersebut secara jamak taqdim dan tidak boleh menjamaknya secara jamak ta’khir.

Wallahu a’lam bishawwab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86534-keringanan-syariat-bagi-orang-yang-sakit-dalam-bersuci-dan-salat.html

Mencumbui Istri Saat Haid, Bolehkah?

Mencumbui istri yang sedang mengalami menstruasi, atau yang dikenal sebagai haid, telah menjadi topik yang diperdebatkan dalam berbagai perspektif dan konteks. Dalam artikel ini, kita akan menggali batasan mencumbui istri saat haid dari sudut pandang agama Islam.

Dalam Islam, bahwa hubungan seksual harus dihindari selama periode haid. Pendekatan ini didasarkan firman Allah dalam Al-Quran bahwa perempuan haid dilarang untuk berhubungan intim dengan suaminya, sebagaimana dalam QS al-Baqarah ayat 222;

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ

Artinya; Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran. Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid).

Namun larangan tersebut bukan berarti seorang suami tidak boleh mencumbui istri saat haid. Karena larangan hubungan badan yang disepakati oleh para ulama di atas adalah apabila terjadi jima’ dalam arti yang sesungguhnya, yaitu terjadinya dukhul atau penetrasi. Sebagaimana hadis Rasulullah:

وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya: “Dari Aisyah RA beliau berkata : Rasululullah menyuruhku untuk memakai sarung, kemudian beliau mencumbuiku dalam keadaan haid.” (Muttafaq Alaih)

Jika demikian, adakah batasan suami saat mencumbui istri ketika haid? Batasan-batasan yang diungkapkan oleh beberapa mazhab itu berbeda-beda. Mazhab Hanafi memperbolehkan suami mencumbui istri ketika haid, dengan syarat memakai penghalang seperti sarung, kain, atau sejenisnya.

Suami pun boleh memegang bagian-bagian antara lutut dan pusar namun suami tidak boleh melihatnya. Pada intinya, mazhab Hanafi memperbolehkan cumbu secara tidak langsung dan tidak boleh melihat. Keterangan yang demikian tertulis dalam kitab Hasyiah Ibn Abdin karya Ibn Abdin.

Pendapat Imam Syafi’i sedikit mirip dengan pendapat di atas, Sebagaimana Imam Nawawi mengungkapkan dalam kitab al Majmu Syarh al Muhaddzzab bahwa ketika seorang istri dalam keadaan haid, suaminya boleh mencumbuinya itu di bagian mana saja yang diinginkan.

Hanya saja, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain penghalang, sehingga tidak ada sentuhan kulit secara langsung. Yang membedakan hanyalah mazhab ini membolehkan suami untuk melihat bagian-bagian antara pusar dan lutut, dengan atau tanpa syahwat.

Adapun pendapat Imam Malik menyatakan bahwa seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh istri yang ada di antara lutut dan pusarnya pada saat isterinya itu sedang mengalami haid, walaupun itu dibatasi dengan kain penghalang. Namun mereka membolehkannya untuk melihat bagian-bagian tersebut, walaupun dengan syahwat. Keterangan madzhab Imam Malik ini dijelaskan oleh ad Dasuqi dalam kitab Hasyiah ad Dasuqi

Dan yang terakhir adalah pendapat Imam Hambali. Dalam kitab Kasyaf al Qinna disebutkan bahwa madzhab ini  membolehkan suami mencumbui isterinya yang sedang haid di bagian manapun yang ia inginkan. Syaratnya adalah tidak sampai terjadi jima’ yang sesungguhnya, yakni dukhul (penetrasi).

Dengan demikian seorang suami boleh mencumbui istrinya di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut, kecuali organ intim, baik itu dengan melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.

*Tulisan ini telah di Bincangmuslimah.com

Beginilah Pola Hidup Sehat Ala Rasulullah

Sebelum dunia mengenal manfaat olahraga, bahaya makanan dan minuman berlebihan, 1400 tahun lalu Islam dan Rasulullah sudah menjelaskan pola hidup sehat  

ISLAM adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,  mengatur kebersihan, kesehatan, bahkan kemakmuran di bumi guna menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Salah satu penunjang kebahagian tersebut adalah dengan memiliki tubuh yang sehat, sehingga dengannya kita dapat beribadah dengan lebih baik kepada Allah Swt. Agama Islam sangat mengutamakan kesehatan (lahir dan batin) dan menempatkannya sebagai kenikmatan kedua setelah Iman.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan umatnya memohon kepada Allah pengampunan, kesehatan dan kesembuhan. Nabi pernah meminta perlindungan kepada Allah untuk anggota keluarganya dengan tangan kanannya dan berdoa :

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِه وأَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَآءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

“Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain.”  (HR: Bukhari dan Muslim).

Sebagaimana seseorang yang ingin pandai tentu saja harus belajar dan berusaha mengenal prinsip-prinsip hidup sehat setelah itu melaksanakannya dan inilah beberapa pola hidup sehat Rasulullah yang berhubungan dengan kesehatan:

Makanan

1. Tidak Makan Berlebihan

Dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf: 31  Allah SWT berfirman

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS: Al-A’raf [7] : 31).

Dan dalam Surat Thaha ayat 81, Allah SWT berfirman

كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَلَا تَطْغَوْا۟ فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِى ۖ وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِى فَقَدْ هَوَىٰ

“Yang artinya: Makanlah di antara rizqi yang baik yang telah kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia.” (QS: Surat Thaha [20]: 81). 

Dalam ilmu kesehatan, makan dan minum merupakan kebutuhan dalam pemenuhan nutrisi sebagai penunjang hidup, yang jumlah dan macamnya harus sesuai dengan keperluan tubuh, tidak boleh kekurangan dan tidak boleh berlebihan. Yang bila kekurangan atau berlebihan akan menggangu kesehatan tubuh.

Sehubungan dengan ini Nabi ﷺ telah bersabda: 

ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه

 “Tidaklah seseorang anak Adam (manusia) memenuhi satu wadah yang lebih buruk daripada perutnya, Cukuplah bagi anakmanusia beberapa makanan yang dapat menegakkan tulang rusuknya, jika memang harus makan banyak maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, An-Nasai)

2.  Makan Makanan Sehat

Dalam Surat Al-Maidah (makanan) Allah SWT berfirman;

وَكُلُوا۟ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلًا طَيِّبًا ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤْمِنُونَ

“Yang artinya:  Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizqikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS: Al-Maidah [5]: 88).

Dengan memenuhi makan yang memenuhi unsur gizi ini lagi baik (thayyib) diharapkan tubuh berada dalam keadaan yang optimal sehingga daya tahan tubuh akan bekerja secara maksimal dalam menolak segala macam penyakit.

3. Menghindari Makanan Panas

Di samping itu pula Baginda Nabi ﷺ menganjurkan agar mendinginkan makanan atau minuman sebelum dimakan atau diminum.  Dengan sabdanya yang artinya: “Dinginkan makanan dan minuman kamu sesungguhnya tidak ada kebaikan pada makanan/minuman yang panas.” (HR. Al-hakim dan Ad-Dailami).

Dari Urwah bin az-Zubair radliyallahu anhuma berkata dari Asma binti Abu Bakar radliyallahu anha, bahwasanya ia (yaitu Asma’) pernah membuat tsarid. Lalu ia menutupnya sehingga asap panasnya hilang. Kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْبَرَكَةِ

“Sesungguhnya (makanan) itu lebih besar berkahnya.” (HR ad-Darimiy: II/ 100, Ibnu Hibban: 1344, al-Hakim, Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqiy dan Ahmad: VI/ 350]. [37]

Meski demikian, Nabi melarang mendinginkan makanan dan minuman dengan cara ditiup dengan nafas. Dari  Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الْإِنَاءِ أَوْ يُنْفَخَ فِيهِ

“Rasulullah ﷺ melarang dari bernafas dan meniup di wadah (makanan atau minuman).” ((Shahih Al Jami’, 6820,  HR. Abu Dawud (3728), At-Tirmidzi (1888), dan Ibnu Majah (3288)).

Sebenarnya dalam bidang gastroenterologi diketahui bahwa makanan yang panas dapat menyebabkan perlukaan pada selaput lendir saluran cerna yang menyebabkan rasa sakit, perih, rasa panas, kembung, rasa penuh, mual, rasa seperti diiris Dll.

4.  Tidak Minum Alkohol  

Semua ulama tidak ada perselisihan tentang keharaman dan larangan minum khamr, miras atau minuman jenis alkohol. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْخَمْرِ وَٱلْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَآ إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ ٱلْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمُ ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

“Mereka bertanya tentang khamar dan judi, katakanlah, pada keduanya ad bahaya yang besar dan pula manfaatnya pada manusia, dan bahyanya lebih besar darimanfaatnya.” (QS: Al-Baqarah: 219).

Ada ayat lain dikatakan juga oleh Allah SWT

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan Syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu  agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS: Surat Al-Maidah [5]:90).

Islam dan Kebersihan

Nabi ﷺ bersabda:

“Bersihkan halaman-halaman rumah kalian, karena Yahudi tidak memebersihkan halaman-halaman mereka.” (HR. Thabrani, lihat Silsilah Shahihah: 1/418, no. 263).

Nabi ﷺ. Bersabda: ((إن الله جميلٌ يحب الجمال، الكبر بطر الحق وغمط الناس)) رواه مسلم.

“Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR: Muslim).

Dalam Al-Qur’an Allah SWT. Berfirman

إِذْ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ ٱلشَّيْطَٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلْأَقْدَامَ

“Artinya: (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu).”(QS: Al-Anfal: 11)

Diriwayatkan dari para sahabat, bahwa mereka tidak pernah melihat noda atau kotoran pada baju Nabi ﷺ. Walaupun beliau menyukai pakaian atau baju berwarna putih.

Juga mereka tidak pernah mencium bau tidak sedap dari diri Nabi ﷺ. Beliau tidak senang melihat salah seoarang sahabat yang rambutnya tidak terurus rapi apabila menghadap beliau, dan memerintahkan untuk mencuci dan menyisir rambut terlebih dahulu apabila ingin menghadap beliau.

Demikian juga Baginda Nabi ﷺ memerintahkan para sahabat/umatnya untuk bersiwak/membersihkan gigi tiap akan shalat, dan memotong kuku tiap Jum’at dan mencukur rambut ketiak dan rambut aurat minimal sekali dalam setiap 40 (empat puluh) hari.

Ini mencerminkan betapa besar perhatian beliau terhadap masalah kebersihan individu. Selanjutnya Nabi ﷺ menganjurkan para sahabatnya agar memberi tutup pada tempat makan dan minumnya. (HR. Ahmad).

Untuk lebih jelasnya silakan merujuk kitab Subul al-Huda wa al-Rasyad Fi Sirah Khairil Ibad, karya Imam Muhammad ibn Yusuf al-Shalihi al-Syami (w. 942.H), tahqiq wa ta’liq Syaikh Adil Ahmad Ahmad Abdul Maujud dan Syaikh Ali Muhammad Mu’awwidh, di sana ada bab-bab mengenai perjalanan Rasulullah mengenai kesehatan dan kedokteran.

Olahraga 

Olahraga berguna untuk kesehatan. Oleh karenanya, dengan berolah raga yang teratur, terukur dan bersifat aerobik akan memberikan banyak manfarat.

Antara lain mencegah kegemukan dengan segala dampak negatifnya, menguatkan dan lebih mengefisienkan kinerja otot-otot tubuh, seperti otot jantung, otot pernafasan dan otot-otot rangka tubuh, dan lebih melancarkan aliran darah ke dalam sel-sel tubuh, dan pembuangan bahan-bahan sisa dari sel-sel tubuh menjadi lebih baik.

Nabi ﷺ suka berolah raga. Diriwayatkan oleh Siti Aisyah, bahwa beliau suka mengajak Siti Aisyah berlomba lari sejak Siti Aisyah masih belia sampai tua.

Diriwayatkan pula bahwa Nabi ﷺ suka berjalan kaki walaupun kuda dan unta tersedia untuk beliau. Diriwayatkan pula, bahwa cara nabi berjalan, yaitu seperti jalannya orang yang menuruni bukit, yaitu berjalan cepat.

Demikian pula Nabi ﷺ pernah mewajibkan para orang tua untuk mengajaarkan renang dan memanah kepada putra putrinya (HR. Al-hakim). Lari cepat dan renang merupakan jenis olah raga aerobic yang dianjurakan saat ini oleh para pakar kesehatan olah raga untuk menjaga kebugaran.

Beginilah pola hidup sehat menurut Rasulullah dan Islam yang sudah dijelaskan 1400 tahun sebelum dunia mengajarkan kepada kita tentang semua hal yang kita bahas ini.*

HIDAYATULLAH

Dianjurkan Menutupi Badan (Jasad) Jenazah sebelum Dimandikan

Dari Abu Salamah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ

Sesungguhnya ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepadanya bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, beliau ditutupi dengan kain hibarah (kain yang direnda atau bergaris).” (HR. Bukhari no. 5814 dan Muslim no. 942)

Yang dimaksud dengan (سُجِّيَ) adalah seluruh badan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditutupi dengan kain.

Sedangkan (حِبَرَةٍ) adalah kain bercorak dari Yaman yang terbuat katun, dan merupakan pakaian paling bagus untuk penduduk Yaman ketika itu.

Faedah hadis

Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya menutupi seluruh badan (jasad) jenazah dan tidak membiarkannya terbuka, termasuk wajah dan ujung jari tangan/kaki. Hal ini sebagai bentuk penjagaan untuk jenazah tersebut dari tersingkapnya badannya yang bisa jadi berbeda atau berubah disebabkan karena kematiannya. Hal ini dianjurkan sebelum jenazah tersebut dimandikan dan dikafani. Dikecualikan dalam hal ini adalah jika jenazah tersebut meninggal dalam keadaan ihram, sebagaimana pembahasan pada artikel sebelumnya, di tautan ini.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai jenis kain ini (ketika masih hidup). Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dunia, jasad beliau ditutupi dengan kain tersebut dan tidak dibiarkan dalam kondisi terbuka. Hal ini karena jasad beliau bisa jadi berubah dan juga terdapat urgensi untuk menutupinya dari dilihat oleh manusia ketika sudah menjadi jenazah. Oleh karena itu, badan jenazah itu ditutupi (dengan kain) setelah baju yang dipakainya dilepas. Hal ini karena itulah yang dikerjakan (oleh para sahabat) pada jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tashilul Ilmam, 3: 20)

Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat.

***

@Rumah Kasongan, 1 Muharram 1445/ 19 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 248) dan Tashilul Ilmam bi Fiqhi Al-Ahadits min Bulughil Maram (3: 20).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86520-menutupi-badan-jenazah-sebelum-dimandikan.html

Tambahan Air Zamzam Masih dalam Pengiriman

Air zamzam jadi oleh-oleh jamaah haji.

Pihak Kantor Wilayah Kementerian Agama Lampung mengatakan bahwa tambahan air zam zam hingga kini masih dalam tahap pengiriman dan pendistribusian, sehingga jamaah haji diharapkan bersabar.

“Kami harap jamaah haji dapat sabar, karena bila sudah waktunya maka akan dikirimkan ke kabupaten dan kota,” kata Kepala Kemenag Lampung Puji Raharjo, di Bandarlampung, Selasa (1/8/2023).

Ia mengatakan bahwa jamaah haji nantinya dapat mengambil tambahan lima liter air zamzam tersebut di kantor kemenag di kabupaten dan kotanya masing-masing.

“Oleh karenanya, apabila air zam zam sudah tersedia akan diinformasikan melalui website, media sosial dan kantor kemenag di masing-masing daerah bahwa sudah bisa diambil,” kata dia.

Ia mengatakan bahwa banyak jamaah bertanya dan berfikir bahwa setelah pulang dari ibadah haji akan langsung mendapatkan tambahan air zam zam.

“Padahal tambahan air Zamzam itu proses di akhir pemulangan haji dan mungkin bergiliran juga negaranya,” kata dia.

Pada sisi lain, Puji mengatakan bahwa jamaah haji Lampung yang sudah kembali dari Tanah Suci sebanyak 7.182 orang.

“Tersisa sekitar 101  haji lagi yang akan pulang pada tanggal 3 Agustus mendatang,” kata dia.

Diketahui, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan kabar gembira bahwa Jemaah haji Indonesia 1444 H/2023 M akan mendapatkan air Zamzam sebanyak 10 liter.

Dimana sebelumnya jatah Zamzam hanya 5 liter, namun tahun ini pemerintah memutuskan menambahkan 5 liter Zamzam untuk jemaah haji dan petugas. Kebijakan menambah 5 liter air Zamzam ini sebagai bentuk kecintaan atau tali asih kepada jamaah.

sumber : Antara

Bagaimana Cara Bertaubat dari Dosa Riba?

Berikut ini bagaimana cara bertaubat dari dosa riba? Ajaran Islam menegaskan bahwa riba dikategorikan sebagai perbuatan dosa yang tentunya harus dihindari oleh umat muslim. Riba sendiri mengacu pada praktik atau perbuatan mengambil keuntungan tambahan dalam kegiatan jual beli atau bunga aktivitas utang piutang. 

Dalam Al-Qur’an pun sudah tegas menjelaskannya, bahkan Allah bukan sekadar melarangnya, namun juga memberikan ancaman azab bagi siapa saja yang terlibat dalam praktik riba. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 275:

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا‌ ؕ فَمَنۡ جَآءَهٗ مَوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّهٖ فَانۡتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَؕ وَاَمۡرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ‌ؕ وَمَنۡ عَادَ فَاُولٰٓٮِٕكَ اَصۡحٰبُ النَّارِ‌ۚ هُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya Larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang Larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya (Q.S Al-Baqarah ayat 275).

Melihat penjelasan ayat di atas maka sudah jelas bahwa Allah maupun Rasul sangatlah membenci perbuatan Riba. Lantas bagaimana cara agar dosa riba puluhan tahun dapat diampuni oleh Allah SWT? Pun bagaimana cara bertaubat dari dosa riba? 

Bertaubat dengan Sungguh-sungguh dan Tidak Mengulanginya

Menurut Ustadz Adi Hidayat dosa riba dapat diampuni oleh Allah SWT meskipun sudah puluhan tahun dilakukan, yakni dengan melakukan taubatan nasuha. Lebih jelasnya beliau menegaskan, bahwa ketika ingin dosa riba yang sudah puluhan tahun dilakukan, dimaafkan oleh Allah SWT, maka syaratnya harus melakukan taubat dari dosa riba tersebut dengan sungguh-sungguh dan benar benar menyesali apa yang sudah dilakukannya, serta tidak mengulanginya lagi.

Cara Membersihkan Harta Riba

Lalu bagaimana dengan harta dari riba agar bisa dibersihkan. Atau ada keuntungan dari riba agar tidak mengganjal terhadap taubat dari dosa riba? Ketika masih ada harta atau keuntungan dari sisa riba, maka bisa dikeluarkan dalam bentuk sedekah untuk kepentingan umum. Contohnya seperti fasilitas umum layaknya bangun Sumur, WC Umum, Jalan, Masjid, dan sebagainya. 

Ustadz Adi Hidayat, juga menjelaskan dengan bertaubat dan meniatkan sisa harta riba tersebut untuk sadaqah kepentingan umum maka pokok-pokok hartamu dimaafkan oleh Allah SWT dan yang telah lalu dilupakan. “Intinya tinggal anda perbaiki kehidupannya. Isi dengan taubat dan amal sholeh. Rajin sedekah, rajin infaq, dan sebagainya,” kata Ustadz Adi Hidayat.

Jika sudah terbiasa melakukan amal sholeh, rajin sedekah, itu tandanya dosa kita sudah diampuni dan dimaafkan oleh Allah SWT. Ketika seorang hamba bertaubat, maka mustahil Allah akan menyakiti dan menyengsarakan mereka. 

Semoga setelahnya Allah menjamin surga untuk para umat muslim yang bertaqwa, amiin. Itulah cara taubat dari dosa riba yang sudah puluhan tahun dilakukan, sehingga dosa riba diampuni oleh Allah SWT.

BINCANG SYARIAH

Bersama Orang Jujur

Bismillah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119)

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah membawakan riwayat di dalam tafsirnya. Dari Nafi’ mengenai maksud dari firman Allah ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah dengan orang-orang yang jujur’ bahwa artinya “Hendaklah kalian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.” (sumber: Tafsir Ath-Thabari surah At-Taubah ayat 119)

Beliau juga menukil penafsiran dari Sa’id bin Jubair bahwa yang dimaksud adalah hendaklah kalian bersama Abu Bakar dan Umar, semoga rahmat Allah tercurah kepada mereka berdua. (sumber: Tafsir Ath-Thabari surah At-Taubah ayat 119)

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu menafsirkan bahwa ayat ini mengandung larangan terhadap perbuatan dusta (kebohongan), baik dalam keadaan serius maupun ketika sedang bercanda. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kebohongan itu tidak halal, entah dalam keadaan serius ataupun sedang bercanda.” (sumber: Tafsir Ath-Thabari surah At-Taubah ayat 119)

Ayat di atas disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an setelah menceritakan kisah diterimanya tobat 3 orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak ikut berangkat berjihad dalam perang Tabuk. Salah satu di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik radhiyallahu ’anhu yang membawakan kisah yang sangat mengharukan terkait peristiwa ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah di dalam Sahih-nya (lihat Sahih Bukhari Kitab Al-Maghazi, hadis no. 4418)

Di dalam ayat ini beserta kisah yang melatarbelakanginya terdapat pelajaran yang sangat berharga tentang sifat jujur dan keutamaannya bagi seorang muslim. Dengan bekal kejujuran inilah Ka’ab bin Malik bertobat dan mengakui kesalahannya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tidak mau mengarang cerita tentang alasan mengapa tidak ikut berangkat jihad, padahal ketika itu jihad diwajibkan atas mereka.

Setelah 50 hari para sahabat dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbicara (meng-hajr) Ka’ab bin Malik dan 2 orang temannya sebagai bentuk hukuman atas kesalahannya, maka tibalah waktu yang ditunggu-tunggu, yaitu turunnya ayat Allah yang mengabarkan bahwa Allah telah menerima tobat 3 orang tersebut. Setelah menerima kabar gembira itu, Ka’ab bin Malik radhiyallahu ’anhu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkanku dengan sebab kejujuran, dan sesungguhnya sebagai bagian dari tobatku bahwa aku tidak akan berbicara, kecuali selalu jujur seumur hidupku.” (HR. Bukhari)

Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita bahwa para sahabat Nabi (padahal mereka adalah generasi terbaik umat ini) adalah manusia-manusia yang juga bisa terjerumus dalam dosa dan kesalahan yang tidak ringan. Meskipun demikian, mereka adalah teladan bagi kita dalam mewujudkan tobat kepada Allah. Sebagaimana pernah disebutkan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa setiap anak Adam pasti punya banyak kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang selalu bertobat.

Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa kejujuran merupakan kunci keselamatan dan jalan menuju segala bentuk kebaikan yang akan mengantarkan manusia ke dalam surga. Tidak lain karena jujur adalah bagian dari ketakwaan kepada Allah. Sebaliknya, kedustaan adalah sumber segala kerusakan dan kehancuran. Di antara bentuk kedustaan yang paling berat adalah perilaku orang munafik yang menampakkan keimanan, tetapi menyimpan kekafiran di dalam hatinya. Di dalam Al-Qur’an, Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik adalah para pendusta.

Imam Bukhari rahimahullah juga meriwayatkan sebuah asar dari Ibnu Abi Mulaikah (seorang tabiin) bahwa beliau telah bertemu dengan 30 orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mereka semuanya khawatir dirinya terjangkit kemunafikan. Hal ini menunjukkan kepada kita betapa besar rasa takut para salaf terhadap penyakit kemunafikan. Mereka tidak merasa aman dari keburukan dan sifat yang tercela menimpa dirinya.

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

إن المؤمن جمع إحسانا وشفقة ، وإن المنافق جمع إساءة وأمنا

“Sesungguhnya orang mukmin memadukan dalam dirinya antara berbuat baik (ihsan) dengan perasaan takut. Sedangkan orang munafik menggabungkan dalam dirinya antara perilaku buruk dengan merasa aman (baik-baik saja).” (disebutkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab Az-Zuhd)

Demikian sedikit kumpulan catatan yang Allah beri kemudahan bagi kami untuk menyusunnya, mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Baca juga: Tanda Jujurnya Keimanan

***

Yogyakarta, 5 Muharram 1445 H / 23 Juli 2023

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Referensi :

Tafsir Ath-Thabari Surah At-Taubah. Link: https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura9-aya119.html)

Sahih Bukhari, Kitab Al-Maghazi. Link: https://hadithprophet.com/hadith-35019.html

Mudawwanah Asy-Syaizhami. Link: https://shaydzmi.wordpress.com/2017/04/02/qissat-3/

Atsar wa Ta’liq Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr. Link: https://al-badr.net/muqolat/3929

Tafsir Ibnu Katsir Surah Al-Mu’minun. Link: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura23-aya57.html

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86625-bersama-orang-jujur.html

Rekomendasi MUI Terkait Al Zaytun Bocor, Ini Poin-Poinnya

Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum juga mengeluarkan hasil investigas tentang penyimpangan paham dan ajaran pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun  Panji Gumilang. Tapi bocoran tentang hasil investigasi itu sudah beredar.

Dikutip dari Republika.co.id, Senin (31/07/2023), sedikitnya ada tujuh video menunjukan penyimpangan pemahaman Panji Gumilang. Pertama, Panji Gumilang menyatakan Allah tidak mengerti bahasa Indramayu bila Allah berbahasa Arab. Pernyataan Panji Gumilang ini terdapat pada sebuah video bersumber dari media al zaytun movie dengan tema Manusia dan Kemanusiaan part 1. Dalam video itu, Panji Gumilang mengucapkan perkataan sebagai berikut:

“Saya sejak awal tahun berdiri Ma’had ini sudah menganjurkan baca, baca, mengapa? Nabi Muhammad juga sudah mendeclare dzalikal kitab la roib. Itu nabi Muhammad yang mendeclare itu atas Wahyu Ilahi, bukan Kalam Allah. Kalam nabi Muhammad yang didapat daripada wahyu. Nah kalau Allah berbahasa Arab, susah nanti ketemu dengan orang Indramayu. Prewek ngga ngerti, Gusti Allah ngga ngerti kalau, artinya bacalah semua itu saudara-saudara dzalikal kitab la roibaz, Alkitab, Alkitab ini mungkin perjanjian lama,”

Disebutkankan bahwa terdapat penyimpangan pemahaman AS Panji Gumilang terhadap Alquran yang telah disepakati oleh para ulama yang mutabar bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang nampak maupun yang tersembunyi yang lalu, sekarang maupun yang akan datang.

Kedua, pernyataan PG bahwa dzalikal kitab la roiba itu bukan Kalam Allah. Dari video yang sama dengan yang di atas, PG mengatakan: “Nabi Muhammad juga sudah mendeclare dzalikal kitab la roib. Itu nabi Muhammad yang mendeclare itu atas Wahyu Ilahi, bukan Kalam Allah. Kalam nabi Muhammad yang didapat daripada wahyu,”.

Disebutkan dari dokumen yang diterima Republika.co.id bahwa terdapat penyimpangan pemahaman AS Panji Gumilang yang berpendapat bahwa Alquran adalah Kalam Nabi Muhammad atau sabda Nabi Muhammad SAW, bukan Kalam Allah SWT seperti yang dipahami dan diyakini oleh Ahlussunah wal Jamaah, bahwa Alquran adalah kalam Allah SWT baik secara makna, lafadz, dan bahasa. Pernyataan PG tersebut bertentangan dengan Alquran surat At Taubah ayat 6.

Ketiga, Panji Gumilang meragukan kesempurnaan Alquran. Disebutkan dari dokumen yang diterima Republika.co.id berdasarkan sumber video yang sama dengan yang di atas, bahwa terdapat pernyataan PG yang meragukan kepaling benaran dan kesempurnaan Alquran.

Indikasinya yakni pernyataan PG yang menyayangkan sikap masyarakat yang tidak mau memahami kitab-kitab suci selain Alquran. “…mengapa? Karena menganggap yang paling benar adalah satu saja (maksudnya Alquran saja),” mengutip pernyataan PG dalam video tersebut.

Keempat, Pernyataan Panji Gumilang bahwa Adam Alaihissalam diciptakan oleh Allah dalam bentuk Allah SWT.  Pernyataan ini disampaikan Panji Gumilang dalam sumber video yang sama dengan yang di atas.

Disebutkan dari dokumen yang diterima Republika.co.id bahwa terdapat kesesatan akidah PG yang berpendapat dan meyakini bahwa Allah menciptakan nabi Adam dalam bentuk Allah SWT. Walaupun bukan dalam bentuk dzat Allah SWT, tapi seperti yang terkandung dalam dzat Allah, hampir sama dengan kemampuan sang pencipta (Allah SWT). Padahal dalam akidah Islam disepakati bahwa Allah tidak sama dengan makhluk -Nya dalam bentuk apapun, termasuk dalam kemampuan. Sebagaimana firman Allah dalam surat As Syura ayat 11 dan Al Ikhlas ayatn5.

Kelima, pemahaman menyimpang PG soal shaf sholat. Panji Gumilang menyatakan:

“tafassah bukan berapat-rapat, berlonggar-longgarlah,” pernyataan ini disampaikan PG pada video yang bersumber di Al Zaytun Official dengan tema Silaturahim Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Indramayu kepada Syekh Al Zaytun di Ma’had Al Zaytun.

Konteksnya pernyataan PG itu disampaikan untuk merespon hiruk pikuk perbincangan di medsos terkait praktik sholat berjamaah sholat Idul Fitri 1444 H di Ma’had Al Zaytun. PG mengatakan: “sholat berjarak -jarak , baca quran saja. Kalau baca quran ketemu surat berapa itu coba (kemudian dia membaca ayat) kan tafassah bukan berapat-rapat, berlonggar-longgarlah sehingga makan pete bebas…,”

Disebutkan dari dokumen yang diterima Republika.co.id bahwa terdapat penyimpangan dalam memahami ayat Alquran tentang merenggangkan temalt duduk di dalam sebuah majelis Rasulullah SAW, Alquran surat Mujadilah ayat 11, yang dipahami. Hal ini juga diperkuat dengan praktik oleh PG di Al dengan merenggangkan shaf yaitu pada pelaksanaan Shalat Id dan Idul Adha 2023, serta sholat Jumat.

Keenam, penyimpangan pemahaman Panji Gumilang soal wanita boleh jadi khatib Jumat. Pernyataan ini disebutkan dalam video yang diunggah Al Zaytun dengan judul Tausiyah Profesional dalam mendidik di Al Zaytun .

Disebutkan dari dokumen yang diterima Republika.co.id bahwa terdapat penyimpangan paham keagamaan As Panji Gumilang yang berpendapat bahwa perempuan atau wanita boleh menjadi khatib Jumat. Padahal syariah Islam tidak membolehkan perempuan menjadi khatib Jumat. Hal ini juga bertentangan dengan fatwa MUI no 38 tahun 2023 tentang hukum wanita menjadi khatib dalam rangkaian sholat Jumat.

Ketujuh, menafsirkan Alquran tidak sesuai dengan kaidah tafsir. Berdasarkan dari video Liputan ekslusif di salah satu televisi swasta bertema Dituding sesat ini Jawaban Panji Gumilang.

Disebutkan dari dokumen yang diterima Republika.co.id bahwa terdapat penyimpangan dalam memahami ayat Alquran surat at Taubah 71 dengan menjadikannya dalil pelaksanaan ibadah yang mencampurkan laki-laki dan perempuan sejajar dalam shaf sholat berjamaah. Penyimpangan paham keagamaannya adalah menafsirkan ayat-ayat Alquran tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir Alquran. Hal ini diperkuat pengakuan eks NII dan Al Zaytun, Leny Siregar bahwa dijajaran lingkungan Al Zaytun Panji Gumilang boleh memiliki otoritas menafsirkan Alquran dengan caranya sendiri.

ISLAMKAFFAH

Ini Alasan PP Aisyiyah Dukung SEMA Larangan Nikah Beda Agama

Pernikahan beda agama telah berlangsung lama di Indonesia, hal ini dimungkinkah terjadi karena di Indonesia mengakui beberapa agama secara resmi, legalitas secara negara juga mendapatkan keabsahan dari Pengadilan Negeri (PN). Namun beberapa waktu lalu Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang pada intinya melarang Hakim atau pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama.

Pimpinan Pusat Aisyiyah mendukung penuh atas Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama.

Kendati demikian, masih banyak masyarakat yang berbeda agama melangsungkan pernikahan di Indonesia.

Ketua Umum Aisyiyah Salmah Orbayinah menjelaskan bahwa menikah seharusnya sesuai dengan ketentuan agama masing-masing.

“Ketika kita atau anak-anak kita menikah maka tujuan utamanya adalah membentuk keluarga sakinah sehingga perlu dicatat secara resmi di KUA dan dibangun visi dan komitmen yang sama terutama ideologi dan kepercayaan yang sama,”ujar dia seperti dilansir dari laman Republika.co.id, Selasa (25/7/2023).

Menjadi keluarga sakinah maka diharapkan diantara pasangan ada rasa nyaman, tenang dan hormat menghormati. Untuk itu diperlukan memiliki ideologi dan visi misi yang sama.

Hal itu yang menjadi poros utama keluarga dalam membangun generasi unggul. Ini pun sejalan dengan program pemerintah untuk menciptakan generasi unggul 2045.

Bagi Bayyin sapaan akrabnya, fenomena nikah beda agama ini sangat disayangkan. Meski isu ini berangkat dari toleransi, Bayyin melihat hal itu tidak dianggap sebagai toleransi.

Toleransi antarumat beragama dapat dilakukan dengan banyak cara. Bukan berarti meleburkan dua agama dalam pernikahan.

Karena pernikahan beda agama memiliki dampak salah satunya ketika anak lahir dari pasangan tersebut. Mereka akan mengalami kebingungan untuk memilih agama.

Muhammadiyah khususnya Aisyiyah sangat mengutamakan toleransi beragama. Karena lembaga ini adalah lembaga yang inklusif, yakni terbuka dan sangat menerima adanya perbedaan agama tetapi tidak dengan menikah beda agama.

SEMA Nomor 2/2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan resmi diundangkan oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin 17 Juli 2023.

Dalam SEMA tersebut dijelaskan, untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

  1. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan
  2. Pengadilan tidak mengabulkan pemohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan

Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, penerbitan SEMA yang menginstruksikan hakim agar tak mengabulkan pernikahan beda agama itu dinilai menjadi legitimasi jika perkawinan beda agama sudah tidak boleh lagi disahkan.

“Saya kira sudah selesai yang kemarin soal pengadilan boleh menetapkan atau tidak boleh menetapkan, dengan edaran Mahkamah Agung itu berarti sudah tidak boleh lagi kedepan untuk ditetapkan. Artinya MA memberikan legitimasi terhadap pendapat bahwa perbedaan, perkawinan beda agama itu tidak boleh dicatatkan,” ujar Ma’ruf Amin.

ISLAMKAFFAH