Halal Bihalal Lahir dari Silaturahmi Pemimpin Bangsa Pasca Kemerdekaan

Setiap perayaan Hari Raya Idul Fitri selalu diikuti oleh kegiatan halal bihalal. Banyak orang mengira istilah halal bihalal berasal dari Arab Saudi, tapi ternyata halal bihalal lahir dari Bumi Nusantara.

Hal itu diungkapkan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz atau Gus Kikin. Menurut Gus Kikin, di awal kemerdekaan momentum halal bi halal jadi wadah penyelesaian masalah dan menumbuhkan persatuan antaranak bangsa pasca kemerdekaan atau sekitar tahun 1948.

Gus Kikin menguraikan, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Hasbullah memperkenalkan kembali ke publik istilah halal bi halal kepada Bung Karno sebagai bentuk silaturahmi antarpemimpin politik. Hal ini karena pada masa itu kondisi nasional masih dalam konflik dengan Belanda.

Atas saran KH Wahab, Presiden Soekarno kemudian mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara pada hari raya Idul Fitri tahun 1948. Pertemuan itu pun diberi judul halal bihalal.

Di dalam acara tersebut, para tokoh politik duduk bersama dalam satu meja untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depannya. Setelahnya, berbagai instansi pemerintah pun menyelenggarakan acara halal bihalal. Tradisi halal bihalal pun akhirnya menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia secara luas

“Halal bihalal suatu forum yang luar biasa. Forum yang lahir dari kondisi bangsa untuk mencari solusi masalah nasional. Halal bi halal mampu mencari solusi permasalahan bangsa oleh tokoh nasional. Ini hanya ada di Indonesia,” jelasnya saat acara halal bihalal alumni Tebuireng di pendopo Pemerintah Kabupaten Malang, Rabu (17/4/2024), dikutip dari NU Online.

Gus Kikin menambahkan, silaturahim adalah hal baik yang harus terus dilakukan. Sejak dulu masyarakat Indonesia terbiasa saling memaafkan, khususnya momentum Idul Fitri. Meskipun saat itu, Indonesia dalam kondisi terbatas insfrastruktur dan ekonominya, kegiatan halal bi halal tetap dilaksanakan.

“Dulu silaturahim sulit kendaraan, tapi orang bisa kumpul. Bahkan dulu muktamar NU setiap tahun. Zaman sekarang sudah mudah kendaraan, ada tol, difasilitasi dengan jalan dan makan enak. Kalau tidak mau silaturrahim, kayaknya tidak pantas,” imbuhnya.

Pj Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur ini menambahkan, silaturahim dan saling memaafkan merupakan ajaran Islam. Karena memperkuat persatuan. Para tokoh bangsa menerapkan ajaran tersebut dalam konsep halal bi halal. Agar mudah diterima.

Perintah Allah tentang masalah ini ada di Surat Ali Imran ayat 103: وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Wa’taṣimụ biḥablillāhi jamī’aw wa lā tafarraqụ ważkurụ ni’matallāhi ‘alaikum iż kuntum a’dā`an fa allafa baina qulụbikum fa aṣbaḥtum bini’matihī ikhwānā, wa kuntum ‘alā syafā ḥufratim minan-nāri fa angqażakum min-hā, każālika yubayyinullāhu lakum āyātihī la’allakum tahtadụn

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.

Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. “Guyub dan rukun. Guyub dengan hati dan jangan bertengkar karena akan menjadi kita lemah. Hilang kekuatan. Menuju Indonesia 2045, menjadi negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur,” pinta Gus Kikin.

Pesan persatuan juga ajaran yang selalu disampaikan oleh pendiri Nahdlatul Ulama KH M Hasyim Asy’ari. Hal ini terlihat dalam kitab At-Tibyan adalah menjaga persatuan dalam rangka menguatkan ukhuwah persatuan.

“Saya senang sekali ketika kita berada dalam suasana kekeluargaan. Ini warisan KH M Hasyim Asy’ari. Alumni Tebuireng harus membangun ukhwah. Tidak ada istilah perpisahan di Tebuireng,” tandasnya.

ISLAMKAFFAH

Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 2)

Alasan ketiga: Akidah yang jelas dan selaras dengan akal dan fitrah

Konsep ketuhanan dalam Islam adalah konsep ketuhanan yang  logis dan sesuai fitrah, berbeda dengan agama-agama lainnya. Meskipun agama Yahudi dan Kristen mengklaim bahwa mereka mempercayai agama monoteisme yang mempercayai keesaan Tuhan, tetapi dalam praktiknya, mereka menyekutukan Allah dalam berbagai bentuk dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak kepada Allah Subhānahu Wa Ta’āla.

Sebagai contoh, dalam Taurat yang telah mereka ubah, disebutkan bahwa Allah mencari-cari Adam saat ia bersembunyi setelah makan buah, lalu Allah memanggilnya. Berikut ayatnya:

“Ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi, Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya, ‘Di manakah engkau?’” (Kejadian 3, ayat 8-9.)

Pada ayat di atas, Tuhan disifatkan dengan berjalan di dalam taman dan tidak mengetahui posisi hamba-Nya sehingga harus bertanya, ‘Di manakah engkau?’ Subhanallah, Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan.

Sedangkan konsep ketuhanan agama Kristen yang dianut mayoritas umatnya tidak kalah absurd, yaitu konsep ketuhanan trinitas. Trinitas adalah kepercayaan tritunggal yang menyatakan Tuhan adalah tiga person, Tuhan Bapak (Allah), Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus. Meskipun terdiri dari tiga person, tetapi mereka adalah satu dalam esensi.

Jika doktrin demikian diklaim sebagai monoteisme atau kepercayaan terhadap satu tuhan (tauhid), maka tidak diragukan lagi itu adalah klaim yang dipaksakan dan tidak masuk akal. Sebab esensi dari tauhid adalah mempercayai bahwa Allah adalah esa, baik dalam Zat-Nya, peribadatan hanya kepada-Nya, serta dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu pun dari makhluk-Nya yang setara dengan-Nya.

Selain tidak masuk akal, mempercayai trinitas, juga tidak selaras dengan fitrah manusia. Sebab, manusia akan selalu berdoa secara tulus kepada satu tuhan dalam keadaan sempit. Mereka tidak sempat memilih salah satu dari ketiga person trinitas dalam keadaan darurat. Hal ini membuktikan bahwa mempercayai satu tuhan adalah posisi alamiah manusia. Sedangkan percaya kepada tiga tuhan adalah konsep karangan manusia. Allah Ta’āla berfirman,

لَوۡ كَانَ فِیهِمَاۤ ءَالِهَةٌ إِلَّا ٱللَّهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبۡحَـٰنَ ٱللَّهِ رَبِّ ٱلۡعَرۡشِ عَمَّا یَصِفُونَ

Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Mahasuci Allah yang memiliki `Arasy, dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiyāʾ: 22)

Selain itu, apabila kita minta umat Kristen menjelaskan konsep trinitas, kita akan mendapati setiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, yang semakin menegaskan konsep ketuhanan mereka tidak tegas dan jelas, sehingga setiap orang dapat dengan mudah memahami. Terkadang mereka pada akhirnya mengatakan, trinitas adalah misteri ilahi. Apakah patut bagi seseorang yang logis menyandarkan kepercayaannya kepada suatu misteri?

Akan tetapi, apabila kita perhatikan sifat-sifat Allah di dalam Al-Qur’an, maka kita akan dapati kesempurnaan dan pengagungan serta kejelasan dan keindahan. Allah Subhānahu Wa Ta’āla berfirman,

ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌۭ وَلَا نَوْمٌۭ ۚ لَّهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىْءٍۢ مِّنْ عِلْمِهِۦٓ إِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ

Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Yang Mahahidup. Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya, melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Mahatinggi, Mahabesar.”  (QS. Al-Baqarah: 255)

Sifat akidah Islam: Sesuai akal dan fitrah manusia

Salah satu sifat akidah Islam adalah jelas dan sesuai fitrah manusia. Akidah Islam membuat kita mengagungkan agama ini dan membuat kita merasa tenang. Sehingga seseorang tidak berat dalam menerima konsep akidah Islam dalam ketuhanan Allah Ta’āla.

Bukti terhadap hal itu tidaklah sulit dicari sama sekali, karena Al-Qur’an dari awal sampai akhir berisi pujian, pengagungan, dan penyucian Allah Subhānahu Wa Ta’āla. Sebagai contoh, surah Al-Fatihah, surah yang  dikabarkan Nabi ﷺ bahwa ia adalah surat teragung di dalam Al-Qur’an, dimulai dengan pujian kepada Allah, kemudian pengakuan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, dan Allahlah Pemilik hari kiamat. Demikian pula, āyatul kursi, ayat teragung di dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan di atas berisi pengagungan dan penyucian terhadap Allah Subhānahu Wa Ta’āla.

Standar kelayakan disebut Tuhan

Demikian halnya, surah Al-Ikhlās, surat yang setara dengan sepertiga Al-Qur’an, berisi parameter atau alat ukur kelayakan sesuatu dapat disebut sebagai Tuhan. Artinya, apabila kita ingin mengetahui kebenaran suatu agama, maka kita harus melihat konsep ketuhanannya, dan salah satu alat ukur kebenaran konsep Tuhan adalah apa yang terkandung di dalam surah Al-Ikhlas.

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ  ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ  وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ 

Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

Dari ayat tersebut, dapat kita simpulkan 4 kriteria sesuatu layak disebut sebagai Tuhan, yaitu:

Pertama: Tunggal, tidak berbilang.

Kedua: Sumber kekuatan segala sesuatu

Ketiga: Tidak memiliki anak

Keempat: Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya

Jika ada konsep Tuhan yang tidak memenuhi salah satu dari sifat di atas, maka ia tidak layak dianggap sebagai Tuhan dan tidak layak diibadahi. Agama-agama selain Islam tidak ada yang bisa memenuhi keempat kriteria tersebut, sehingga tersisalah Islam sebagai satu-satunya agama dengan konsep ketuhanan yang masuk akal dan sesuai fitrah.

Penutup

Dengan ketiga alasan di atas, yaitu: 1) validitas sumber 2) mukjizat Al-Qur’an 3) kesesuaian konsep ketuhanan dengan akal dan fitrah manusia, membuat Islam ialah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Tuhan semesta alam, Allah Subhānahu Wa Ta’āla.

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Sumber:

Disarikan dari kitab Al-Binā’u Al-Aqadi lil-Jīli Aṣ-Sā ‘id, hal. 16-23 dengan beberapa penambahan dan pengurangan.

Sumber: https://muslim.or.id/93054-mengapa-islam-agama-yang-benar-bag-2.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Apakah Setan Tinggal di Langit?

Di mana setan berada? Apakah benar setan tinggal di langit? Menurut penjelasan pemimpin tertinggi Al-Azhar, Mesir, Grand Syekh Ahmad A-Thayyib, setan adalah diantara makhluk Allah.

Setan dahulu berasal dari surga lalu dikeluarkan dari sana akibat perilaku maksiatnya kepada Allah. Sekarang, setan tinggal di bumi bersama dengan manusia. Ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah al-A’raf: 13 yang mengisahkan kalau setan dikeluarkan dari surga karena sifat sombongnya.

Kisah ini sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian kisah dikeluarkannya Iblis dari surga setelah enggan bersujud kepada Adam, atas perintah Allah Swt.,

قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُوْنُ لَكَ اَنْ تَتَكَبَّرَ فِيْهَا فَاخْرُجْ اِنَّكَ مِنَ الصّٰغِرِيْنَ

Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu darinya (surga) karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.”

Selanjutnya, penting untuk diketahui, kalau zat setan tidak seperti fisik manusia. Allah ciptakan setan dari api, namun manusia pada dasarnya tidak bisa melihatnya. Zat setan juga ringan dan dapat berpindah dengan cepat, sesuatu yang tidak dimiliki manusia.

Ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-A’raf yang memperingati jangan sampai manusia terperdaya kembali oleh godaan setan, seperti yang terjadi pada 2 moyang manusia, Adam dan Hawa. Ini disebutkan dalam surah Al-A’raf ayat 27

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَاۗ اِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Artinya; Wahai anak cucu Adam, janganlah sekali-kali kamu tertipu oleh setan sebagaimana ia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua. Sesungguhnya ia (setan) dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak (bisa) melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu (sebagai) penolong bagi orang-orang yang tidak beriman.

Karena setan hidup di bumi, tapi manusia tidak bisa melihat, maka setan dapat berada di mana saja. Di tanah, di air, bahkan di udara di sekitar kita. Tapi yang jelas, setan tidak berada di langit. Ini seperti disebutkan dalam surah As-Shaffat ayat 6-8

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (٦) وَحِفْظًا مِّن كُلِّ شَيْطَانٍ مَّارِدٍ (٧) لا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإِ الأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِن كُلِّ جَانِبٍ (٨)

Artinya; Sesungguhnya kami hiasi langit dunia dengan keindahan bintang-bintang. Dan (langit) terjaga dari setiap setan yang terkutuk (7). Mereka mencoba untuk mencari dengar ke langit tertinggi, (tapi) mereka dilempari (dengan bintang-bintang) dari segala penjuru (8).


Maksud ayat terakhir adalah, ketika ada setan yang mencoba menuju langir, akan ada bintang jatuh yang mengikuti dan membakarnya.

Jawaban diatas adalah diantara jawab Syekh Ahmad At-Thayyib selaku Grand Syekh Al-Azhar yang menjawab sejumlah pertanyaan anak. Pertanyaan ini kemudian didokumentasikan dalam sebuah serial buku bergambar berjudul al-Aṭfāl Yas’alūna al-Imām (Anak-Anak Bertanya kepada Grand Syekh), yang dirancang oleh Dr. Nuha ‘Abbas. Buku ini ditertibkan oleh tim Majalah Nur al-Aṭfāl, sebuah lini majalah anak-anak yang dikembangkan oleh kelembagaan Al-Azhar Mesir.

Buku ini bermanfaat buat para ayah bunda yang mungkin, mengadapi pertanyaan yang sama dari anak atau teman sebaya mereka. Cek bagi yang ingin tahu lebih banyak bukunya, di tautan berikut ini (masukin link: https://shopee.co.id).

Demikian jawaban atas pertanyaan apakah setan tinggal di langit? Menurut Syekh Al-Azhar sekarang berada di bumi bersama manusia, setelah dikeluarkan dari surga oleh Allah. wallahu ‘alam.

BINCANG SYARIAH

Arab Saudi Mengubah Peraturan Visa Umroh dan Haji Tahun Ini

Visa umroh dan haji ini tak boleh digunakan untuk keperluan lain.

Visa umrah sekarang akan berlaku selama tiga bulan sejak tanggal penerbitannya, menurut aturan baru yang dikeluarkan oleh Kementerian Haji dan Umrah Saudi. Perubahan tersebut merupakan bagian dari upaya terkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi untuk menyederhanakan persiapan musim haji tahunan.

Pengumuman tersebut disampaikan sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan pada platform “X”, tentang perubahan dari sistem sebelumnya dimana masa berlaku tiga bulan dimulai sejak pemegang visa masuk ke Arab Saudi. Kementerian menekankan bahwa perubahan tersebut bertujuan untuk mengelola masuknya dan aktivitas jamaah menjelang dan selama musim haji dengan lebih baik.

Kementerian Haji dan Umrah memberi tahu pengunjung bahwa visa umrah khusus untuk keperluan haji dan tidak boleh digunakan untuk pekerjaan atau kegiatan non-ziarah lainnya. Mereka menekankan pentingnya mematuhi peraturan visa, terutama mengingat adanya penyalahgunaan visa yang terjadi baru-baru ini. Jamaah didesak untuk meninggalkan Arab Saudi sebelum visa mereka habis masa berlakunya dan menghormati ketentuan tinggal mereka, dilansir dari GulfNews.

Karena pada waktu dekat, umat muslim di seluruh dunia akan berkumpul di Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah tersebut merupakan termasuk pada rukun Islam yang kelima. Umat muslim wajib melaksanakan ibadah tersebut bila mampu secara materi serta fisik.

Seperti yang dijelaskan pada surat Al Baqarah ayat 197 yang berbunyi,

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ

Arab Latin : Al-ḥajju asyhurum ma‘lūmāt(un), faman faraḍa fīhinnal-ḥajja falā rafaṡa wa lā fusūqa wa lā jidāla fil-ḥajj(i), wa mā taf‘alū min khairiy ya‘lamhullāh(u), wa tazawwadū fa’inna khairaz-zādit-taqwā, wattaqūni yā ulil-albāb(i).

Artinya : “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” 

IHRAM

Merenungi Hakikat Umur Manusia

Umur atau bisa juga diartikan sebagai waktu manusia hidup di dunia, merupakan amanah dari Allah swt yang harus dijaga dengan benar dengan mengerjakan semua kewajiban, menunaikan segala tanggung jawab, dan meninggalkan semua larangan. Tanggung jawab berupa umur hanya Allah berikan satu kali. Nah berikut penjelasan tentang merenungi hakikat umur manusia.

Oleh karena itu, orang yang menggunakannya dengan benar akan beruntung dan yang menyia-nyiakannya akan menyesal. Tidak ada perbuatan yang paling baik dalam menjalani sisa-sisa umur selain terus berusaha untuk melakukan kebaikan, memperbanyak ibadah, dan terus berada dalam jalan kebenaran.

Rasulullah saw pernah ditanya oleh para sahabat perihal paling baik dan buruknya manusia. Kemudian Nabi menjelaskan bahwa manusia terbaik adalah mereka yang oleh Allah diberikan umur panjang, kemudian digunakan untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, paling buruk manusia adalah mereka yang diberikan umur yang panjang, namun panjangnya umur tersebut digunakan untuk keburukan. 

Hadits ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam karyanya Lathaiful Ma’arif fima li Mawasimil ‘Am minal Wazhoif, nabi bersabda:

وَفِي التِّرْمِذِي عَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ سُئِلَ: أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ؟ قَالَ: مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ. قِيْلَ: فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ؟ قَالَ: مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَ سَاءَ عَمَلُهُ

Artinya; “Dalam riwayat Imam at-Tirmidzi, dari Rasulullah saw bahwa ia pernah ditanya: siapakah paling baiknya manusia? Nabi menjawab: orang yang dikaruniai umur panjang dan baik (benar) perbuatannya. Ditanyakan lagi: Dan siapakah paling jeleknya manusia? Nabi menjawab: orang yang panjang umurnya dan jelek perbuatannya.”

Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa umur yang panjang tidak hanya menjadi nikmat dari Allah swt, tetapi juga menjadi penentu kebaikan dan keburukan manusia. Mereka yang dikaruniai umur panjang, kemudian umur tersebut digunakan untuk mengerjakan kebaikan, memperbanyak ibadah, dan terus konsisten dalam ketaatan, maka termasuk dalam golongan paling baiknya manusia. Karena mereka telah dikaruniai umur panjang dan berhasil menggunakannya untuk kebaikan.

Begitu juga sebaliknya, orang yang dikaruniai umur panjang oleh Allah namun tidak ada tambahan kebaikan sama sekali dalam hidupnya, justru selalu melakukan keburukan, kemaksiatan, melanggar perintah-perintah Allah, dan tidak pernah menunaikan kewajiban-Nya, maka orang ini termasuk dalam golongan orang-orang yang buruk.

Oleh karena itu, kita semua sudah seharusnya merenungi hakikat umur yang telah diberikan oleh Allah swt. Sudahkah tambahan umur juga menjadi perantara untuk menambah kebaikan, menambah ibadah dan ketaatan? Atau justru sebaliknya, kemaksiatan terus bertambah dan kejelekan terus dilakukan.

. Dalam kitab Lathaiful Ma’arif dijelaskan:

فَالْمُؤْمِنُ الْقَائِمُ بِشُرُوْطِ الْإِيْمَانِ لَا يَزْدَادُ بِطُوْلِ عُمْرِهِ إِلاَّ خَيْرًا وَمَنْ كَانَ كَذَلِكَ فَالْحَيَاةُ خَيْرٌ لَهُ مِنَ الْمَوْتِ

Artinya, “Maka orang beriman yang menunaikan semua ketentuan-ketentuan iman, tidak akan bertambah dari panjangnya umur selain (juga bertambah) kebaikan. Dan, siapa saja yang bisa seperti ini, maka hidup (di dunia) lebih baik baginya daripada mati.” (Ibnu Rajab, Lathaiful Ma’arif fima li Mawasimil ‘Am minal Wazhaif, [Kairo, Darul Hadits: 2002], halaman 302).

Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita semua untuk senantiasa berdoa kepada Allah untuk menjadikan hidup di dunia sebagai ajang untuk selalu menambah kebaikan. Adapun lafal doanya adalah sebagai berikut:

اللهم اجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِيْ فِي كُلِّ خَيْرٍ وَالْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍ

Allahumma ij’al al-hayâta ziyâdatan lî fî kulli khairin wal mauta râhatan lî min kulli syarrin

Artinya, “Ya Allah, jadikanlah kehidupan ini sebagai nilai tambah bagiku dalam semua kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari segala kejahatan.” (HR Muslim, dalam kitab Lathaiful Ma’arif fima li Mawasimil ‘Am minal Wazhaif, halaman 303).

Demikian tulisan akhir tahun perihal merenungi hakikat umur yang telah diberikan oleh Allah. Semoga bisa menjadi perantara untuk semakin semangat dalam meningkatkan kebaikan, ketaatan dan menjauhi larangan, serta tahun ini dan tahun-tahun berikutnya menjadi tahun yang berkah dan bermanfaat.

Demikian keterangan merenungi hakikat umur manusia. Menyadari hakikat umur manusia adalah langkah awal untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan bermanfaat. Dengan merenungkan hakikat umur, kita dapat terhindar dari kesia-siaan dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.

Semoga kita semua dapat memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Pentingnya Bersyukur

Manusia jangan kufur nikmat.

Ahli tafsir Alquran, Prof Quraish Shihab dalam bukunya “Lentera Hati” mengatakan kekayaan yang dimiliki harus disyukuri. Sebab Alquran telah melukiskan bagaimana akibat yang didapatkan karena kekufuran atas nikmat yang diberikan Allah kepada suatu bangsa.

Prof Quraish mengutip Alquran Surah Ibrahim ayat 7 tentang janji Allah tentang nikmat. Ayat tersebut berbunyi:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Wa iż ta’ażżana rabbukum la’in syakartum la’azīdannakum wa la’in kafartum inna ‘ażābī lasyadīd(un).

Artinya: ” (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”

Prof Quraish mengatakan ayat tersebut memerintahkan kepada manusia agar mensyukuri nikmat kemerdekaan dan tidak mengkufurinya. Menurut Prof Quraish, mensyukuri berarti mengisi kemerdekaan itu sesuai dengan tujuan kita dan tujuan Allah menganugerahkannya.

Prof Quraish juga mengungkapkan bagaimana kekufuran bisa mendatangkan kesusahan. Kufur nikmat dapat mengubah suatu negeri yang aman dan sejahtera menjadi negeri yang kelaparan dan tidak aman. Sebagaimana Surah an-Nahl ayat 112:

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ

Wa ḍaraballāhu maṡalan qaryatan kānat āminatam muṭma’innatay ya’tīhā rizquhā ragadam min kulli makānin fa kafarat bi’an‘umillāhi fa ażāqahallāhu libāsal-jū‘i wal-khaufi bimā kānū yaṣna‘ūn(a).

Artinya: “Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulu aman lagi tenteram yang rezekinya datang kepadanya berlimpah ruah dari setiap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan422) karena apa yang selalu mereka perbuat.”

IHRAM

Bacaan Niat Haji dan Umrah

Bacaan niat haji merupakan rukun pertama dalam ibadah haji, yang sering diistilahkan dengan ihram. Hal ini ditegaskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, di mana beliau menjelaskan bahwa ihram adalah niat dalam hati untuk melaksanakan ibadah haji atau umrah.

Oleh karena itu, penting bagi calon jamaah haji untuk mengetahui dan memahami niat haji dengan benar. Niat haji ini harus diucapkan dalam hati pada waktu yang tepat, yaitu sebelum melakukan rangkaian ibadah haji.

Niat haji memiliki makna yang mendalam, yaitu mengungkapkan keikhlasan dan kesungguhan seorang hamba untuk melaksanakan ibadah haji semata-mata karena Allah SWT. Dengan memahami dan melaksanakan niat haji dengan benar, diharapkan ibadah haji yang dilakukan menjadi lebih bermakna dan diterima oleh Allah SWT.

Imam Nawawi berkata;

ينبغي لمريد الاحرام أن ينويه بقلبه ويتلفظ بذلك بلسانه فَيَقُولُ بِقَلْبِهِ وَلِسَانِهِ نَوَيْتُ الْحَجَّ وَأَحْرَمْت بِهِ لِلَّهِ تَعَالَى لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ إلى آخر التلبية فهذا أكمل ما ينبغي له

Artinya; “Orang yang ingin ihram harus berniat dalam hati, melafalkan niat, dan bertalbiyah. Hendaklah ia mengatakan dalam hatinya sembari dilafalkan, ‘nawaitul hajja wa ahramtu bihi lillahi ta’ala, labbaik allahumma labbaik, aku niat haji dan berihram karena Allah SWT, aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah’, hingga akhir lafal talbiyah. Ini termasuk niat yang paling sempurna.”

Bacaan Niat Haji dan Umrah

Niat merupakan fondasi utama dalam melaksanakan ibadah, tak terkecuali haji. Niat haji adalah ungkapan tekad dan ikhlas seorang muslim untuk menunaikan ibadah haji semata-mata karena Allah SWT. Niat ini diucapkan dalam hati pada waktu tertentu, yaitu pada saat ihram.

Niat Haji

نَوَيْتُ الْحَجَّ وَأَحْرَمْتُ بِهِ لِلهِ تَعَالَى لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ بحَجًَةِ

nawaitul hajja wa ahramtu bihi lillahi ta’ala labbaika Allahumma hajjan.

Artinya: “Aku niat melaksanakan haji dan berihram karena Allah Swt. Aku sambut panggilan-Mu, ya Allah untuk berhaji”.

Niat Umrah

نَوَيْتُ العُمْرَةَ وَأَحْرَمْتُ بِهَا لِلهِ تَعَالَى لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ بعُمْرَة

nawaitul ‘umrata wa ahramtu bihi lillahi ta’ala labbaika Allahumma ‘umratan.

Artinya: “Aku niat melaksanakan umrah dan berihram karena Allah Swt. Aku sambut panggilan-Mu, ya Allah untuk berumrah”

Niat Haji dan Umrah Sekaligus

نَوَيْتُ الْحَجَّ والعُمْرَةَ وَأَحْرَمْتُ بِهاَ لِلهِ تَعَالَى

nawaitul hajja wal ‘umrata wa ahramtu bihi lillahi ta’ala

Artinya: “Aku niat melaksanakan haji sekaligus umrah dan berihram karena Allah Swt”.

BINCANG SYARIAH

Membedakan antara Fakir, Miskin, dan Gharim

Pada asalnya, tidak ada perbedaan antara fakir dan miskin dalam hal kebutuhan (sama-sama masih membutuhkan) dan mereka berhak menerima zakat. Namun, perbedaannya terletak pada siapa yang lebih membutuhkan karena beratnya dan besaran kebutuhannya.

Namun, jika digali lebih dalam, maka ada perbedaan antara fakir dan miskin. Orang fakir adalah orang yang membutuhkan yang tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak meminta-minta kepada manusia. Sedangkan orang miskin adalah orang yang membutuhkan, memiliki beberapa harta benda, tetapi tidak mencukupinya dan dia meminta-minta kepada manusia. Oleh karenanya, penyebutan orang fakir didahulukan dari semua golongan yang berhak menerima zakat. Allah Ta’ala berfirman,

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.[1]

Karena mereka (fakir) lebih membutuhkan dibandingkan orang lain dan keadaannya yang paling buruk. Mereka mungkin mempunyai hambatan yang menghalangi mereka untuk mencari nafkah, atau mereka mungkin tidak dapat mencari nafkah karena alasan-alasan tertentu. Sehingga orang yang tidak mengenal mereka menganggap bahwa mereka cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاء الَّذِينَ أُحصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.[2]

Adapun orang miskin sebagaimana yang disebutkan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ليسَ المِسْكِينُ الذي يَطُوفُ علَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ واللُّقْمَتَانِ، والتَّمْرَةُ والتَّمْرَتَانِ، ولَكِنِ المِسْكِينُ الذي لا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، ولَا يُفْطَنُ به، فيُتَصَدَّقُ عليه ولَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu mereka diberi makanan sesuap atau dua suap, atau sebiji-dua biji kurma. Namun, orang miskin adalah orang yang tidak mendapatkan kecukupan untuk menutupi kebutuhannya. Dan ia tidak menampakkan kemiskinannya sehingga orang-orang bersedekah kepadanya, dan ia juga tidak minta-minta kepada orang lain.[3]

Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang yang lebih berhak menerima zakat adalah orang yang tidak meminta kepada manusia, yang tidak menampakkan kebutuhannya (kemiskinannya), dan tidak mendapati sesuatu yang dapat mencukupi dirinya. Adapun orang miskin adalah orang yang masih mendapati sesuatu untuk mencukupinya dengan meminta-minta kepada manusia dan menampakkan kemiskinannya. Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي البَحْرِ

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut.[4]

Allah Ta’ala menamakan mereka dengan orang-orang miskin, padahal mereka memiliki kapal dan bekerja di dalamnya.

Adapun Gharim adalah orang yang memiliki utang dan berat untuk membayar dan melunasinya. Bisa jadi statusnya masih sebagai orang kaya dan bisa jadi pula statusnya tergolong fakir atau miskin. Maka, zakat boleh diberikan kepada orang fakir, miskin, gharim, dan yang selainnya dari golongan yang berhak menerima zakat selama dengan zakat tersebut tidak membantu mereka di dalam kemaksiatan.

Oleh karenanya, orang-orang yang ingin membayar atau menyalurkan zakat lebih mengutamakan dan mendahulukan mereka (golongan penerima zakat) yang dikenal baik agamanya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

ولا ينبغي أَنْ يُعْطِيَ الزكاةَ لِمَن لا يستعين بها على طاعة الله؛ فإنَّ الله تعالى فَرَضَها معونةً على طاعته لِمَنْ يحتاجُ إليها مِن المؤمنين كالفقراء والغارمين، أو لمن يُعاوِنُ المؤمنين؛ فمَنْ لا يصلِّي مِن أهل الحاجات لا يُعطى شيئًا حتى يتوبَ ويلتزمَ أداءَ الصلاةِ في وقتها.

Dan tidak boleh memberikan zakat kepada seseorang yang tidak menggunakannya untuk menaati Allah. Karena Allah Ta’ala telah menitipkannya sebagai pertolongan ketaatan kepada-Nya bagi orang-orang mukmin yang membutuhkan, seperti orang-orang miskin dan orang-orang yang berutang, atau bagi orang-orang yang menolong orang-orang mukmin. Barangsiapa yang tidak salat di antara orang-orang yang membutuhkan, maka ia tidak diberi apa-apa sampai ia bertobat dan menunaikan salat tepat waktu.[5]

***

Penulis: Junaidi, S.H., M.H.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber:

https://ferkous.com/home/?q=fatwa-726

Catatan kaki:

[1] QS. At-Taubah: 60.

[2] QS. Al-Baqarah: 273.

[3] HR. Bukhari no. 1479, Muslim no. 1039.

[4] QS. Al-Kahfi: 79.

[5] Ikhtiyarat Ibni Taimiyah oleh Al-Ba’li, hal 103.

Sumber: https://muslim.or.id/93084-membedakan-antara-fakir-miskin-dan-gharim.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Keislaman Saad bin Abi Waqqash

Allah kemudian menurunkan ayat setelah ada peristiwa keteguhan Saad bin Abi WaqqASH dalam mempertahankan akidah Islam

DI ZAMAN  Rasulullah  ﷺ tersebutlah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang bernama Saad bin Abi Waqqash.

Suatu hari pemuda itu berkata, “Pada suatu malam, di tahun ini, aku bermimpi seolah-olah tenggelam di dalam kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ketika aku terbenam di dalam kegelapan itu, tiba-tiba ada cahaya bulan yang menerangiku.” “Aku kemudian mengikuti arah cahaya itu dan aku dapati di sana ada sekelompok manusia, di antara mereka terdapat Zaid bin Haritsash, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakar Ash-Shidiq. Aku bertanya, “Sejak kapan kalian ada di sini?” Mereka menjawab, “Satu jam.”

“Manakala siang telah muncul, aku mendengar suara dakwah Muhammad saw. kepada Islam. Aku meyakini bahwa aku sekarang berada di dalam kegelapan dan dakwah Muhammad saw. adalah cahaya itu. Maka, akupun mendatangi Muhammad dan aku dapati orang-orang yang kujumpai dalam mimpi, ada di samping beliau. Maka, aku pun masuk Islam.”

Tatkala Ibu Sa’ad mengetahui hal ini, dia mogok makan dan minum, padahal Sa’ad sangat berbakti kepadanya sehinga dia merayunya setiap waktu mengharapkannya untuk mau makan walau hanya sedikit, tapi ibunya menolak.

Manakala Sa’ad melihat ibunya tetap teguh berpendirian, dia berkata kepadanya, “Wahai ibu! Sesungguhnya aku sangat cinta kepadamu, namun aku lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, seadainya engkau mempunyai seratus nyawa lalu keluar dari dirimu satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agamaku ini demi apapun juga.”

Tatkala sang ibu melihat keteguhan hati anaknya, dia pun menyerah lalu kembali makan dan minum meskipun tidak suka. Allah kemudian menurunkan ayat tentang mereka yang artinya, “Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kaum mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS: Luqman: 15).

Maha Benar Allah yang Maha Agung.*/ Asyabalunal ‘Ulama (65 Kisah Teladan Pemuda Islam Brilian), Muhammad Sulthan.

HIDAYATULLAH

Biografi Abdullah bin Katsir, Imam Qiraah di Makkah

Makkah memiliki banyak keutamaan. Di antaranya:

Pertama: Allah mengabarkan bahwa ia adalah induk dari segala negeri. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

لِّتُنذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا

Agar engkau (Muhammad) memberi peringatan kepada (penduduk) Ibu Kota (Makkah) dan orang-orang di sekitarnya.[1].  Semua negeri adalah cabang darinya.

Kedua: Makkah menjadi kiblat bagi seluruh penghuni bumi. Tidak ada kiblat lain di muka bumi ini. Allah berfirman,

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Dari mana pun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam.[2]

Ketiga: Makkah adalah negeri yang aman, tempat diturunkannya wahyu, dan sumber risalah. [3]

Di antara imam qiraah di Makkah adalah Abdullah bin Katsir rahimahullah. Allah memilihnya di antara para qari (pembaca) pada masanya. Berikut biografi singkatnya:

Nama lengkap

Nama lengkap beliau adalah:

عبد الله بن كثير بن عمرو بن عبد الله الداري

Abdullah bin Katsir bin Amru bin Abdullah Ad-Dariy.

Kunyahnya:  ( أبو معبد ) Abu Mu’bad.

Berasal dari Persia, dan lahir di Makkah pada tahun 45 H. [4]

Sifat-sifat secara umum

Dia rahimahullah adalah seorang tabiin dari thabaqah (tingkatan) kedua, salah satu dari tujuh imam qiraah. Dia menjadi qadhi (hakim) di Makkah, pemberi nasihat, orang yang sangat wara‘ (menjaga diri dari yang syubhat), dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Dia adalah seorang yang sangat fasih, berbicara dengan sangat baik, berjenggot putih, bertubuh tinggi besar, berkulit sawo matang, bermata sipit, menyemir rambutnya dengan hinna (inai) atau warna kuning, dan memiliki ketenangan dan wibawa. [5]

Keadaannya bersama Al-Qur’an

Abdullah bin Katsir rahimahullah adalah imam penduduk Makkah dalam qiraah dan dhabt (menghafalnya dengan baik). Dia memimpin dalam membaca dan mengajarkan Al-Qur’an di Makkah setelah wafatnya Mujahid bin Jabr rahimahullah pada tahun 103 Hijriah.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata,

لم يكن بمكة أحد أقرأ من حميد بن قيس وعبد الله بن كثير

Tidak ada seorang pun di Makkah yang lebih mahir membaca Al-Qur’an selain Humaid bin Qais dan Abdullah bin Katsir.”

Ibnu Mujahid rahimahullah berkata,

ولم يزل عبد الله هو الإمام المجتمع عليه في القراءة بمكة

Abdullah terus-menerus menjadi imam yang disepakati dalam qiraah di Makkah.

Ibnu Mujahid juga berkata,

لم أر أهل مكة يعدلون بقراءة ابن كثير قراءة أحد ممن كان في عصره

Saya tidak melihat penduduk Makkah yang sebanding dengan qiraah Ibnu Katsir, yakni qiraah satu orang pun yang semasa dengannya.”

Ibnu Katsir rahimahullah apabila hendak mengajarkan Al-Qur’an, dia terlebih dahulu menasihati murid-muridnya, kemudian mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada mereka agar bacaan mereka terpengaruh oleh nasihat tersebut sehingga menjadi lembut.

Mereka (para murid) berkata,

قراءة ابن كثير خز (نوع من أنواع اللباس الحريرية) القراءة

Qiraah Ibnu Katsir adalah khazz (sejenis kain sutera) dari qiraah.”

Mereka menggambarkannya demikian karena kelembutannya, keindahannya, dan kemudahannya. [6]

Imam Syafi’i rahimahullah mempelajari qiraah Ibnu Katsir dan memujinya. Beliau berkata,

قِرَاءَتُنَا قِرَاءَةُ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَثِيرٍ، وَعَلَيْهَا وَجَدتُّ أَهْلَ مَكَةَ

Qiraah kami adalah qiraah Abdullah bin Katsir. Dan seperti itulah yang saya dapati pada penduduk Makkah.”

Al-Asma’i rahimahullah berkata,

قُلْتُ لِأَبِي عَمْرِو : قَرَأْتَ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ، خَتَمْتُ عَلَى ابْنِ كَثِيرٍ بَعْدَ مَا خَتَمْتُ عَلَى مُجَاهِدٍ، وَكَانَ ابْنُ كَثِيرٍ أَعْلَمَ بِالعَرَبِيَّةِ مِن مُجَاهِدٍ

Saya bertanya kepada Abu Amru, ‘Apakah engkau membaca (Al-Qur’an) kepada Ibnu Katsir?’ Dia menjawab, ‘Ya, saya khatam (menyelesaikan) kepada Ibnu Katsir setelah khatam kepada Mujahid, dan Ibnu Katsir lebih paham bahasa Arab dibandingkan Mujahid.’” [7]

Dia rahimahullah berpegang teguh pada petunjuk salaf saleh dalam berpegang pada sunnah dan menghiasi diri dengan ketenangan dan wibawa, penghormatan terhadap Al-Qur’an dan keagungan firman Allah azza wa jalla. Demikianlah seharusnya para pengamal dan penghafal Al-Qur’an, karena merekalah kekasih Allah azza wa jalla dan orang-orang khususnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لله من الناس أهلون

Allah memiliki keluarga di antara manusia.’

Ditanyakan, ‘Siapa mereka, ya Rasulullah?’

Beliau menjawab,

أهل القرآن هم أهل الله وخاصته

Ahlu Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang khusus-Nya.” [8]

Gurunya dalam qiraah

Abdullah bin Katsir rahimahullah bertemu sejumlah sahabat. Di antaranya adalah Abdullah bin Zubair, Abu Ayyub Al-Anshari, Anas bin Malik, dan Abdullah bin As-Sa’ib radhiyallahu ‘anhum, serta meriwayatkan hadis dari mereka.

Dia membaca (belajar) Al-Qur’an kepada sahabat Abdullah bin As-Sa’ib Al-Makhzumi radhiyallahu ‘anhu, kepada tabiin Mujahid bin Jabr dari Ibnu Abbas, dan kepada Darbas bekas budak Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. [9]

Muridnya dalam qiraah

Banyak orang yang belajar qiraah kepada Abdullah bin Katsir Al-Makki rahimahullah. Di antaranya adalah Abu Amru bin Al-‘Ala’ Al-Bashri, Isma’il bin Abdullah bin Qustanthin, Isma’il bin Muslim, Jarir bin Hazim, Al-Harits bin Qudamah, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Khalid bin Al-Qasim, Al-Khalil bin Ahmad, Sulaiman bin Al-Mughirah, Syabl bin ‘Abbad dan anaknya Shadaqah bin Abdullah, Thalhah bin ‘Amru, Abdullah bin Zaid bin Yazid, Abdulmalik bin Juraij, Sufyan bin ‘Uyainah, dan lainnya rahimahumullah. [10]

Kedudukannya dalam ilmu hadis

Ibnu Katsir adalah seorang yang terpercaya dalam hal periwayatan hadis, meskipun dia sedikit meriwayatkannya.

Dia meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Zubair, Abu Al-Munhal Abdurrahman bin Mu’tam, Ikrimah bekas budak Ibnu Abbas, dan Umar bin Abdul Aziz.

Orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah Ayyub As-Sakhtiyani, Ibnu Juraij, Jarir bin Hazim, Al-Husain bin Waqid, Hammad bin Salamah, dan lainnya.

Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata,

كان ثقة

Dia (Ibnu Katsir) adalah orang yang terpercaya.”

Yahya bin Ma’in berkata,

ثقة

Dia terpercaya.”

Banyak dari ahli hadis meriwayatkan darinya, dan hadis-hadisnya diriwayatkan dalam Kutub As-Sittah. [11]

Wafat

Ibnu Katsir rahimahullah wafat pada tahun 120 hijriah.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah mengabarkan bahwa dia menghadiri pemakaman jenazah Ibnu Katsir Ad-Dariy pada tahun 120 Hijriah.

Ibnu Katsir hidup selama 75 tahun. [12]

Demikian, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas. Selawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabat beliau.

***

15 Ramadhan 1445, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen

Penulis: Prasetyo, S.Kom.

Artikel: Muslim.or.id

Referensi:

Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar ‘ala Ath-Thabaqat wal A’shar, Imam Dzahabi, Muassasah Ar-Risaalah, cet. ke-2, 1988 M.

Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, Abdul Fattah Al-Qadhiy, Darul Ghautsaniy, cet. ke-2, 2022 M.

Tarajimul Qurra ‘Asyr wa Ruwatihim Al-Masyhurin, Dr. Thaha Faris, Muassasah Ar-Rayyan, cet. ke-1, 2014 M.

Halus Salaf ma’al Qur’an, Prof. Dr. Badr bin Nashir Al-Badr, Darul Hadharah, cet. ke-2, 2018 M.

Catatan kaki:

[1] QS. Asy-Syura: 7

[2] QS. Al-Baqarah: 150

[3] https://www.alukah.net/culture/0/75108

[4] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 86 dan Tarikhul Qurrw’ Al-’Asyarah, hal. 36.

[5] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 34-36.

[6] Tarajimul Qurra ‘Asyr, hal. 34-36.

[7] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 37.

[8] Halus Salaf ma’al Qur’an, hal. 372-373.

[9] Tarikhul Qurra’ Al-’Asyarah, hal. 36 dab Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36.

[10] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 87 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 36-37.

[11] idem

[12] Ma’rifatul Qurra’ Al-Kibar, hal. 88 dan Tarajimul Qurra’ ‘Asyr, hal. 37.

Sumber: https://muslim.or.id/92959-biografi-abdullah-bin-katsir-imam-qiraah-di-makkah.html
Copyright © 2024 muslim.or.id