Nasehat Abu ad-Darda’ tentang Alam Kubur dan Dua Malaikat

Imam al-Baihaqi dalam kitab Itsbat ‘Adzab al-Qabr wa Sual al-malakain meriwayatkan sebuah nasehat berharga dari seorang tokoh sahabat Rasulullah SAW, Abu Ad-Darda’ tentang bagaimana gambaran alam kubur.

Ketika sahabat Nabi tersebut tengah diserang sakit, seorang sahabatnya datang berkunjung.

Lelaki itu berkata,”Wahai Abu ad Darda’, sesungguhnya engkau nyaris meninggal dunia, maka perintahkanlah aku suatu perkara yang bermanfaat bagiku dan akan mengingatkanmu.”

Abu Ad Darda’ menjawab : “ Sungguh, engkau diantara umat yang diampuni, maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat hartamu, berpuasa Ramadhan, dan jauhilah perkara keji, kemudian beritakanlah kabar gembira.” Merasa tidak puas, lelaki itupun bertanya ulang.

Abu Ad Darda membalas dan memintanya duduk dan merenungkan perkataannya. “Bayangkan ketika engkau berada di hari, tatkala tak ada lagi ruang kecuali liang lahat yang luasnya dua hasta sedangkan panjangnya empat hasta.

Keluarga yang konon tak bisa berpisah denganmu hari itu meninggalkanmu sendiri,  kelogamu yang dulu membuat megah rumahmu kelak akan menimbunmu dengan tanah lantas beranjak pergi darimu.”

Di saat itu, sambung Abu Ad Darda dua malaikat berwarna hitam biru berambut keriting datang, mereka ialah Munkar dan Nakir.

Ia akan menanyakan tentang identitasmu, agama, Tuhan, dan nabi.

“Jika jawabanmu tidak tahu menahu, maka demi Allah engkau telah tersesat dan merugi.

Sedangkan bila jawabanmu : Muhammad Rasulullah dengan Kitab Sucinya Alquran, maka demi Allah engkau selamat dan mendapat petunjuk.

Kesemua itu tidak akan mampu engkau ucapkan kecuali dengan peneguhan yang dikaruniakan oleh Allah.”

 

sumber: Republika ONline

Pesan-pesan dalam Ibadah Haji

TELAH berkumpul jutaan orang di kota Mekah untuk menunggu prosesi puncak ibadah Haji. Haji merupakan pertemuan terbesar umat Islam dari berbagai negara di dunia ini, sebuah kewajiban ritual yang tidak dijumpai padanannya dalam tradisi agama lain.

Andai saja tidak dibatasi oleh kuota, bukan hanya tiga sampai lima juta umat muslim yang berkumpul di kota suci ini melainkan lebih banyak lagi sampai jumlah yang tidak bisa ditebak.

Lokasi prosesi ibadah haji sangat terbatas. Padang Arafah tempat berkumpul bersama untuk wukuf pada satu hari yang sama tidak mungkin lagi menampung lebih banyak orang. Mina dan Muzdalifahpun tidak lagi muat untuk muat ditempati lebih banyak manusia. Negara Saudi Arabia sebagai tuan rumah tentu akan menjadi pusing melihat ketidakseimbangan rasiojumlah peminat dan ukuran lokasi serta fasilitas.

Dulu, pembatasan kuota jamaah haji tidaklah seketat saat ini. Tidak pernah didengar ada daftar tunggu apalagi dalam waktu yang sangat lama seperti yang dialami saat ini. Untuk menunaikan ibadah haji reguler, saat ini dibutuhkan antri 24 tahun, sementara jika mendaftar untuk haji plus harus menunggu 6 tahun.

Usia minimal mendaftar hajipun saat ini ditentukan 12 tahun sehingga tidak akan ada lagi lomba “haji termuda” seperti pada 10 tahun yang lalu. Mengapa ibadah haji ini begitu banyak peminat dan seakan menjadi ibadahpaling favorit akhir-akhir ini?

Perintah kewajiban haji sebenarnya adalah sama dengan perintah kewajiban lain yang lain, terutama yang termasuk dalam ibadah rukun Islam yang kelima, seperti shalat, puasa dan zakat. Bahkan, untuk haji, dipersyaratkan adanya kemampuan (istithaah) untuk menjadi wajib dilaksanakannya. Mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial dan kemampuan fisik tidaklah berkewajiban melaksanakannya.

Apakah panjangnya antrian tunggu (waiting list)menjadi indikasi bahwa umat muslim saat ini lebih mampu secara finansial dibandingkan dengan umat muslim masa sebelumnya? Mungkin saja jawabannya adalah iya.Namun jawaban ini terasa unik ketika dihubungkan dengan fakta terjadinya krisis moneter yang begitu lama dan keadaan ekonomi yang tidak sestabil masa-masa sebelumnya.

Apakah ada hubungannya dengan peningkatan kesadaran keberagamaan umat muslim akan urgensi haji? Bisa saja jawabannya adalah iya.Namun jawaban inipun terasa janggal di tengah fenomena sosial yang sedang mengagung-agungkan hedonisme dan di saat perlombaan ekonomi yang tak mengenal hukum halal haram.

Kejanggalan ini agak tertepis dengan analisa bahwa bisa jadi membludaknya jumlah jamah haji saat ini adalah sebagai respon atau bahkan titik balik dari hedonisme dan lomba ekonomi yang tak kunjung selesai itu.

Ada satu alasan yang tidak boleh dilewatkan untuk disebut, yakni bahwa ada kerinduan ruhani yang memuncak yang telah memaksa seseorang menunaikan ibadah haji bahkan secara berulang atau berkali-kali. Interview penulis dengan banyak jamaah haji menunjukkan bahwa beribadah haji itu bagai “pulang ke rumah asal.”

Ada kebahagiaan yang tidak bisa tergantikan oleh ibadah lain. Kebahagiaannya bisa diumpamakan anak sekolah dasar yang dipulangkan lebih awal karena guru-guru sedang rapat. Mereka pulang ke rumah dengan riang gembira sambil bernyanyi “gelang sepatu gelang.”

Mengumpamakan ibadah haji dengan kembali ke rumah asal bukanlah tanpa dasar, karena al-Quran sendiri menyebut kabah, baitullah, sebagai rumah pertama yang ada di muka bumi. Sebagai rumah asal tentu saja menjadi rujukan kerinduan jiwa yang menenteramkan dan menenangkan, ketenteraman dan ketenangan yang bukan ditentukan oleh fasilitas fisik melainkan oleh sentuhan batin karena hati menjadi fokus hanya kepada Allah Swt.

Fokus hanya kepada Allah menjadi inti pesan dari “pulang ke rumah asal” ini. Para jamaah haji disadarkan kembali pada asal muasalnya, pada tugas pokoknya kini selama ada di dunia, dan pada tujuan akhir setelah menjalani episode dunia ini. Mereka yang prosesi berhajinya tidak mengantarkan pada kesadaran seperti ini adalah orang-orang yang gagal menemukan makna haji. Ibadah hajinya hanya bermakna sebagai tour fisik, bukan perjalanan spiritual (spiritual sojourn).

Pesan kedua haji adalah pesan persaudaraan berdasar egalitarianisme, kesederajatan di hadapan Allah SWT. Pakaian ihram yang sama warnanya, kabah sebagai kiblat bersama, tuntunan ibadah yang bersumber dari sumber yang sama merupakan simbol utama dengan pesan bersama bahwa persaudaraan atas dasar iman adalah persaudaraan yang tidak boleh luntur atau rapuh dengan alasan apapun.

Betapapun ada perbedaan warna kulit, perbedaan jenis kelamin dan perbedaan berpendapat, persaudaraan dan persatuan dalam keimanan haruslah tetap terjaga.Hanyaorang yang bodoh dalam beragama yang menjadikan perbedaan itu sebagai sebab bertengkar dan bermusuhan. Ketulusan dalam beragama akan mengantarkan pemiliknya untuk saling menghargai perbedaan dan menghormati hak-hak orang lain.

Kesombongan atau aroganisme diri harus dibuang melalui ibadah haji ini. Semua jamaah haji harus membawa posisi atau pangkat yang sama sebagai hamba (abd) dengan Tuhan yang sama, yakni Allah Yang Maha Segala-galanya. Mereka yang hadir ke Mekah dengan membawa posisi, pangkat atau identifikasi diri yang bersifat duniawi adalah mereka yang tidak benar-benar menjalankan ibadah haji, tak akan memperoleh kemabruran haji.

Pesan ketiga adalah pesan kesederhanaan. Prosesi haji sesungguhnya mengajarkan kesederhanaan. Pakaian ihram yang hanya dua helai saja, tenda wukuf di Arafah dan Mina dengan fasilitas yang juga seadanya saja adalah potret kesederhanaan yang harusnya mendidik jiwa para jamaah. Bahwa hotel-hotel di Mekah semakin mewah dan makanan restoran semakin banyak pilihan memang bukan fakta yang bisa ditolak. Namun, pesan kesederhanaan haji seperti disebut di atas tidak mungkin dihapus sama sekali. Sederhana adalah pilihan hidup yang diajarkan Rasulullah Saw.

Pesan keempat adalah pesan keharmonisan dengan alam sekitar. Ketika beribadah haji, ada banyak larangan-larangan ihram yang tidak boleh dilakukan. Tidak boleh berburu, tidakboleh memotong tumbuh-tumbuhan, tidak boleh berbantah-bantahan dan lain sebagainya. Ibadah haji benar-benar ibadah yang memesankan keharmonisan hidup dengan manusia dan alam.

Haji mabrur adalah haji yang pelaksananya telah mengejawantahkan pesan-pesan tersebut di atas. Seorang yang berhaji harusnya adalah menjadi teladan bagi sekitarnya dalam beribadah ritual dan beribadah sosial. Seorang haji mabrur adalah orang yang tak hanya saleh ritual melainkan pula saleh sosial. Bagaimana dengan haji kita? [*]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2323216/pesan-pesan-dalam-ibadah-haji#sthash.YyEqTV82.dpuf

Tanda Munafik: Beda Lahiriah dan Batin

ITULAH tanda munafik, beda antara yang lahir dan batin. Oleh karenanya sebagian ulama salaf mengatakan,

“Khusyunya orang munafik, jasad terlihat khusyu. Namun hati tak ada kekhusyuan.” (Jamiul Ulum wal Hikam, 2: 490)

Umar pernah berkhutbah di atas mimbar, lantas ia mengatakan,

“Yang aku khawatirkan pada kalian adalah orang berilmu yang munafik. Para sahabat lantas bertanya: “Bagaimana bisa ada orang berilmu yang munafik?” Umar menjawab, “Ia berkata perkataan hikmah, namun sayangnya ia melakukan kemungkaran.” (Idem)

Hudzaifah ditanya mengenai apa itu munafik, ia menjawab, “Ia menyifati diri beriman namun tak ada amalan.” (Idem)

Dari sini, para ulama menyebutkan bahwa pria yang mengaku muslim namun tidak pernah terlihat salat berjemaah di masjid, dinyatakan sebagai munafik. Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata,

“Aku telah melihat bahwa orang yang meninggalkan salat jemaah hanyalah orang munafik, di mana ia adalah munafik tulen. Karena bahayanya meninggalkan salat jemaah sedemikian adanya, ada seseorang sampai didatangkan dengan berpegangan pada dua orang sampai ia bisa masuk dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654).

Bahkan tetangga masjid yang tak pernah terlihat di masjid, juga disebut munafik. Ibrahim An Nakhai rahimahullah mengatakan,

“Cukup disebut seseorang memiliki tanda munafik jika ia adalah tetangga masjid namun tak pernah terlihat di masjid” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab 5: 458 dan Maalimus Sunan 1: 160. Lihat Minhatul Allam, 3: 365).

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324827/tanda-munafik-beda-lahiriah-dan-batin#sthash.YLVhEWhJ.dpuf

Nikmatilah Apa yang Dihidangkan Islam

SUATU waktu, kita pasti menjumpai sekelompok orang yang membahas dan memperdebatkan agama bagai orang yang sedang asyik memperdebatkan tentang jeruk, tentang tipe dan jenisnya, cara menanamnya, cara mengupasnya yang paling efektif dan efisien, dan cara-cara yang lainnya.

Perdebatannya sengit sekali sampai mereka lupa akan rasa jeruk itu dan bahkan lupa memakan jeruk-jeruk yang ada di hadapannya. Mereka pulang dengan kepala pusing dan baru sadar belum makan apa-apa setelah sudah masuk ke dalam kamar rumahnya.

Agama itu bukan hanya dipelajari dan diperdebatkan, melainkan adalah untuk dijalankan. Agama itu tidak akan punya makna apa-apa jika hanya diperdebatkan tanpa dilaksanakan dan dinikmati pelaksanaannya itu. Karena itulah maka Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa pelaksanaan agama dengan seksama dengan menekankan pada makna, nilai, dan hikmah yang terkandung di dalamnya merupakan cara tercepat menuju Tuhan, menuju ridla Allah. Itulah yang disebut dengan tashawwuf.

Nikmatilah apa yang dihidangkan Islam. Ada keselamatan di sana, ada kedamaian di situ, ada keberkahan pula di dalamnya, dan ada pula keindahan dalam kandungannya. Yang masih belum menemukan hal-hal tersebut dalam berislam, jangan-jangan masih terjebak dalam kemacetan fikir, keruwetan perdebatan dan hingar-bingar lomba memenangkan perdebatan keagamaan.

Bukan tak boleh diskusi dan berdebat tentang keislaman. Tapi jadilah peserta diskusi yang cerdas, waspada dan bijaksana. Jangan lupakan manisnya jeruk, rasakanlah dan sampaikanlah pada yang lain agar berlomba untuk merasakannya, bukan berlomba memperdebatkannya dengan sibuk menantang kanan dan kiri serta menyalahkan orang yang di depan, di samping dan di belakangnya.

Sadarlah bahwa paling bodohnya orang adalah mereka yang ikut-ikutan memperdebatkan sesuatu yang dia sendiri sesungguhnya tak paham apa-apa tentang sesuatu itu. Salam, AIM. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324992/nikmatilah-apa-yang-dihidangkan-islam#sthash.z1r7L6nD.dpuf

Perawatan Sumur Zamzam

Menurut sejarah, sumur itu, awalnya memiliki dua tangki air. Satu untuk air minum dan satu untuk air wudhu, dengan pagar batu sederhana yang mengelilinginya, laiknya sumur-sumur tradisional di Indonesia.

Kemudian pada era Khalifah Abbasiyah Al-Mansur pada 771 Masehi, kubah dibangun di atas sumur dengan ubin marmer. Beberapa tahun kemudian dibangun dua kubah kayu yang dihiasi mozaik, satu untuk melindungi sumur dan yang satunya untuk menaungi peziarah.

Di era modern, restorasi besar-besaran dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II di era Utsmaniah pada 1915. Untuk menghindari kerumunan, bangunan sumur zamzam kemudian dipindahkan dari lokasinya yang kini berada di area tawaf, tempat jutaan jamaah mengelilingi Kabah tujuh kali. Tapi jika jamaah jeli masih terlihat tanda bekas lokasi sumur itu di lantai tawaf.

Sumur zamzam dikabarkan digali dengan tangan dengan kedalaman sekitar 30 meter dan diameter antara dua sampai tiga meter. Sejumlah sumber menyebutkan hingga kedalaman 13,5 meter teratas menembus lapisan alluvium Wadi Ibrahim. Lapisan ini, merupakan lapisan pasir yang sangat berpori. Di bawah lapisan alluvial Wadi Ibrahim ini terdapat setengah meter lapisan yang sangat lulus air (permeable), tempat utama keluarnya air-air di sumur zamzam.

Kedalaman 17 meter ke bawah selanjutnya, sumur ini menembus lapisan batuan keras yang berupa batuan beku Diorit yang banyak di Jazirah Arab. Pada bagian atas batuan ini dijumpai rekahan-rekahan yang juga memiliki kandungan air. Salah satu celah yang mengandung air adalah rekahan yang memanjang ke arah Hajar Aswad dengan panjang 75 cm dan ketinggian 30 cm, juga beberapa celah kecil ke arah Safa dan Marwa.

Dari uji pemompaan sumur ini mampu mengalirkan air sebesar 11 – 18.5 liter/detik, hingga permenit dapat mencapai 660 liter/menit atau 40 000 liter per jam. Bila dulu air diambil dengan ember kayu, maka kini air dipompa dari sumur yang terletak dibalik gelas kaca di ruang bawah tanah itu ke seluruh kran air yang jumlahnya ratusan di seantero Masjidil Haram, terutama di antara Bukit Safa dan Marwa.

Sekalipun sumur zamzam dipercaya sebagai air suci, Pemerintah Arab Saudi tidak tinggal diam menyerahkan nasib sumur tersebut pada alam. Sebagaimana imbauan dalam kitab suci bahwa manusia harus selalu berupaya, maka pemerintah negeri kaya minyak itu membentuk sebuah lembaga khusus untuk mengawasi air zamzam pada tahun 90-an, mulai dari kelangsungannya hingga menjaga kualitasnya.

Mengingat, dari tahun ke tahun makin banyak pembangunan hotel pencakar langit di sekitar kawasan Masjidil Haram. Belum lagi beberapa tahun lalu dunia sempat dihebohkan dengan pemberitaan media yang menyebutkan bahwa air tersebut tercermar. Walaupun akhirnya terbantahkan namun upaya perawatan tetap dilakukan.

Apalagi, dengan daerah tangkapan air seluas 60 km2, cekungan yang memasok air ke sumur zamzam dinilai tidak terlampau luas sebagai cekungan penadah hujan sehingga menurut http://www.kelair.bppt.go.id/ sumur tersebut secara hidrologi tetap memerlukan perawatan.

Oleh karena itu, air siap saji yang kini bertebaran di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah konon merupakan air yang sudah diproses sehingga sangat aman diminum bahkan ada yang sudah didinginkan. Namun tentunya proses itu tidak mengubah rasa dan kandungan air tersebut.

Air zamzam secara kasat mata tidak berwarna dan tidak berbau, tetapi memiliki rasa yang berbeda, dengan pH 7,9-8,0, yang menunjukkan bahwa itu adalah basa sampai batas tertentu.

Dengan segala kisahnya, air zamzam menjadi barang yang paling dicari setiap musim haji tiba, baik oleh petugas pemeriksaan kopor jamaah di bandara kepulangan atau oleh para tamu yang mengucapkan selamat datang di Tanah Air.

 

 

sumber: Republika Online

Menyoal Penggunaan Khamar untuk Obat

Khamar, termasuk salah satu minuman yang haram dikonsumsi oleh Muslim. Baik khamar yang berasal dari anggur atau bahan dasar lainnya yang dimasak ataupun tidak. Pengharaman khamar tersebut, karena mengonsumsi khamar termasuk barang yang najis dan merupakan perbuatan setan. Ini seperti yang tertuang di ayat berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah [5] :90).

Tetapi, Dr Ismail Marhaba dalam disertasinya berjudul al-Bunuk ath-Thibbiyyah al-Basyariyah wa Ahkamuha al-Fiqhiyyah mengatakan, ketika kondisi tertentu, adakalanya menuntut seseorang bersinggungan langsung dengan khamar untuk kepentingan pengobatan. Entah dikonsumsi secara oral ataupun sekadar dioleskan di kulit atau bagian luar tubuh lainnya.

Ia mengatakan, para ulama berbeda pendapat terkait hukum penggunaan khamar untuk obat. Menurut opsi yang pertama,  pemakaian khamar untuk kepentingan pengobatan diperbolehkan. Ini merupakan pandangan salah satu opsi dari Mazhab Hanafi, riwayat lain dari Mazhab Syafii, dan bagian pendapat dari Mazhab Maliki.

Meski memperbolehkan, tetapi kelompok ini memberlakukan beberapa syarat, yaitu objek penyakit yang ditangani  ialah bagian luar tubuh, adanya prediksi yang  kuat bahwa penyakit akan sembuh lewat konsumsi khamar, tidak ditemukannya alternatif obat selain khamar, dan syarat terakhir, hendaknya kadar khamar tersebut digunakan secukupnya, tidak berlebihan dan menyebabkan hilang kesadaran.

Sedangkan kelompok yang kedua, mengutarakan sederetan dalil antara lain surah al-An’am ayat 119. Ayat itu menegaskan bahwa penggunaan media haram untuk tujuan medis diperbolehkan selama dalam kondisi darurat.

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”

Dalil lain yang mereka gunakan sebagai dasar argumentasi pendapat ialah hadis riwayat Bukhari. Hadis itu mengisahkan bahwa suatu saat, Rasulullah pernah menyarankan agar para rombongan yang datang dari Arinah, salah satu blok di Desa Bajilah, jika mereka berkenan agar meminum susu ataupun air kencing unta. Kubu ini juga mempergunakan kaidah fikih, yang berbunyi: “ Menghindari dua kerusakan daf’u a’dham al mafsadatain. Artinya, jika dua kerusakan berkumpul maka dikedepankan mudharat yang kadarnya lebih kecil.

Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh mayoritas ulama mazhab. Mereka sepakat haram hukumnya memakai khamar guna keperluan medis. Pendapat ini disuarakan oleh para ahli fikih dari kalangan Mazhab Hanafi, Maliki, salah satu opsi pendapat yang kuat dari Syafii, dan pendapat ulama Mazhab Hanbali.

Selain surah al-Maidah ayat 90, kelompok yang pertama menggunakan sejumlah dalil, antara lain, hadis riwayat Muslim dari Thariq bin Suwaid. Sahabat tersebut pernah bertanya kepada Rasulullah SAW perihal khamar, lalu Nabi melarang atau mencegahnya memproduksi khamar. Thariq berdalih, khamar yang ia produksi untuk kepentingan pengobatan. “Khamar bukan obat tapi penyakit,” kata Rasul.

Riwayat lain dari Imam Ahmad dan al-Baihaqi, menuturkan sebuah hadis dari Ummu Salamah yang memiliki perasan anggur yang telah menjadi khamar. Khamar itu hendak ia gunakan untuk mengobati putrinya. Rasulullah menegur bahwa Allah SWT tidak akan memberi kesembuhan dari media yang diharamkan.

 

sumber: Republika Online

Inilah Solusi Bagi Wanita yang Terdesak Syahwat

SERING ada pertanyaan, bolehkah seorang wanita yang sering ditinggal pergi suami karena bekerja di kota lain, karena desakan syahwat lalu bermasturbasi? Berdosakah dia?

Benar bahwa masturbasi pada dasarnya dilarang dalam Islam sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Mukminun dan al-Ma’arij bahwa seorang mukmin hanya menyalurkan syahwat kepada pasangannya yang sah; bukan dengan cara yang lain. Siapa yang menyalurkan dengan cara lain berarti melampaui batas. Karena itu jumhur ulama menegaskan bahwa hukum masturbasi baik bagi laki-laki maupun wanita hukumnya haram.

Namun dalam kondisi tertentu saat gejolak nafsu sangat besar, sementara penyaluran yang halal sulit untuk dilakukan, di lain sisi faktor yang bisa mengantarkan kepada zina begitu kuat, maka dalam kondisi demikian sebagian Imam Ahmad seperti disebutkan dalam sebuah riwayat membolehkan dengan alasan irtikab akhaffu adh-dhararayn (memilih mudharrat yang paling ringan dari dua mudharrat yang ada). Yakni hal itu untuk menjaga diri dari perbuatan zina saat faktor-faktornya sangat kuat.

Hanya saja, untuk mengurangi gejolak nafsu yang besar ada sejumlah hal yang bisa dilakukan:

1. Memperbanyak puasa sunah

2. Berteman dengan wanita saleh

3. Menjauhi hal-hal yang bisa membangkitkan syahwat seperti menonton film percintaan, sinetron asmara, majalah vulgar, dst.

4. Memperbanyak zikir dan tilawah Alquran

5. Menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas kebaikan

Wallahu alam…

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324595/inilah-solusi-bagi-wanita-yang-terdesak-syahwat#sthash.MApeagsd.dpuf

Hukum Makanan Mengandung Alkohol Seperti Tapai

TAPAI merupakan penganan yang dibuat dari beras ketan (ubi kayu dan sebagainya) yang direbus dan setelah dingin diberi ragi, kemudian dibiarkan semalam atau lebih hingga manis. Hal ini tentu membuat tapai mengandung alkohol meski dalam jumlah sedikit. Lantas, apakah hal ini membuat tapai dihukumi haram untuk dikonsumsi?

Makanan hasil peragian itu beramacam-macam tingkatannya. Tidak semua tingkatan haram, karena secara spesifik belum tentu di semua tingkatan sudah berubah menjadi khamar. Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa maksimal suatu makanan atau obat itu mengandung 1% alkohol, untuk bisa diperbolehkan atau masih ditolelir kehalalannya.

Sedangkan secara fiqih, selama makanan itu belum menjadi khamar, meski sudah mulai berubah rasanya, hukumnya masih halal. Selain itu, tidak setiap zat yang mengandung alkohol termasuk dalam kategori khamar. Dan sebaliknya, tidak semua khamar itu mengandung alkohol.

Karena bila ditilik secara ilmu kimia, banyak dari jenis makanan yang alami termasuk buah-buahan memiliki kandungan zat yang disebut sebagai alkohol seperti nasi dan sebagainya. Tentu saja kita tidak bisa mengatakan bahwa nasi itu adalah khamar karena secara alami mengandung kadar tertentu dari zat yang dikenal dengan nama alkohol.

Jadi untuk menentukan apakah suatu benda termasuk khamar, bukan dengan adanya alkohol atau tidak, tetapi dengan melihat apakah zat itu memabukkan atau tidak bila dikonsumi oleh masyarakat umum. Bila memabukkan, maka hukumnya adalah khamar tapi bila tidak maka bukan khamar.

Contohnya seperti perasan buah anggur. Pada tahap tertentu, perasan anggur dapat menjadi khamar dan pada tahap yang lain di mana bila diminum tidak memabukkan secara umum, maka bukan khamar. Karena itu dalam literatur fiqih sering dituliskan bahwa bila khamar bila telah berubah menjadi khall (cuka), hukumnya menjadi halal dan sebaliknya.

Maka dari itu sebagian besar ulama tidak memasukkan alkohol sebagai sebagai barang najis, karena bukan khamar. Dan kenajisan khamar sendiri sebagaimana yang disebutkan Alquran, bukan jenis najis secara fisik. Demikian menurut sebagian ulama. Karena dalam ayat itu dikaitkan dengan judi, anak panah sebagai rijs yang merupakan perbuatan setan.

[Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324557/hukum-makanan-mengandung-alkohol-seperti-tapai#sthash.lbMCpDwq.dpuf

Hukum Memakan Makanan Tanpa Label Halal MUI

DI Indonesia, MUI telah mengeluarkan sertifikasi halal bagi berbagai macam produk pangan. Namun, belum semua produk pangan memiliki label halal ini. Bagaimana hukum kita sebagai seorang muslim apabila memakan produk yang belum disertifikasi halal oleh MUI?

Sebenarnya yang lebih tepat memang bukan sertifikat halal, tetapi sebaliknya, yaitu sertifikat haram. Sebab kalau dibandingkan, jumlah makanan yang halal dibandingkan yang haram, tentu jauh lebih banyak yang halal.

Apalagi mengingat kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Al-Ashlu fil Asy-ya’i al-ibahah. Artinya, hukum asal segala sesuatu itu boleh. Jadi asumsi dasar kita tentang semua makanan itu seharusnya halal, kecuali yang secara tegas terbukti mengandung unsur-unsur yang tidak dihalalkan. Itu pun setelah melalui uji laboratorium.

Logika bahwa segalanya hukumnya haram kecuali yang dibolehkan itu memang ada di dalam fiqih, tetapi khusus dalam kasus hubungan seksual. Bunyi kaidahnya adalah: Al-Ashlu fil Abdha’i At-Tahrim, artinya bahwa hukum dasar hubungan seksual itu adalah haram. Kecuali lewat jalur yang dibenarkan seperti pernikahan.

Sedangkan dalam masalah hukum makanan, hukum dasarnya adalah halal, kecuali yang tertentu, maka hukumnya haram.

Kalau menggunakan logika sebaliknya, maka lembaga yang memberi sertifikat halal itu akan kehabisan waktu, karena jumlah makanan yang beredar di tengah masyarakat itu tidak terhingga. Bahkan kebanyakan tidak ada mereknya.

Kalau logika berpikirnya adalah bahwa segala sesuatu itu hukumnya haram, kecuali yang ada label halalnya, bagaimana dengan sekian banyak bahan makanan lainnya yang tidak ada ada labelnya? Haruskah kita berangkat dari asumsi bahwa semua produk makanan itu haram? Kecuali yang ada label halalnya?

Bagaimana mungkin kita mengklaim sebuah makanan itu tiba-tiba menjadi haram? Siapakah yang mengharamkannya? Sedangkan kaidah fiqhiyah menyebutkan: Al-Yaqinu Laa Yazuulu bisy-syakki. Artinya, hukum awal yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak bisa berubah hukumnya hanya berdasarkan rasa syak (keraguan).

Logika ini pun agak kurang sejalan dengan metodologi Alquran dan As-sunah ketika menyampaikan masalah halal haram. Di dalam kedua sumber syariat itu tidak pernah disebutkan satu persatu nama-nama makanan yang halal. Akan tetapi yang disebutkan hanyalah yang haram saja. Mengapa? Karena yang halal itu jumlahnya tak terhingga. Sedangkan yang haram itu jumlahnya tertentu saja dan terbatas.

Namun barangkali lembaga sertifikasi resmi yang ada di negeri ini punya pertimbangan lain yang tidak kita ketahui, wallahu a’lam bishshawab.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324554/hukum-memakan-makanan-tanpa-label-halal-mui#sthash.ydNnY15e.dpuf

Haji Politik*

HAJI adalah ibadah mahdhah (murni), yang telah ditetapkan tatacaranya dalam Islam. Hanya saja, ibadah ini berbeda dengan salat, yang tidak boleh diisi oleh apapun yang lain kecuali bacaan Alquran dan doa. Haji, meskipun ibadah, di dalamnya bisa diisi oleh aktivitas apapun, selama tidak menyalahi hukum Islam.

Karena itu, selain aspek syarat, rukun dan wajib yang tetap harus diperhatikan, maka aspek lain adalah apakah hal-hal yang dilakukan selama berhaji tersebut menyalahi hukum Islam atau tidak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam Alquran, surat al-Baqarah: 197 menyatakan: “Haji itu (dilakukan) pada bulan-bulan tertentu, maka siapa saja yang kepadanya diwajibkan (kewajiban haji) di bulan-bulan itu, hendaknya tidak mengeluarkan kata-kata porno, melakukan perbuatan maksiat dan berbantah-bantahan di dalam berhaji.”

Firman Allah ini dikuatkan oleh hadis Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallama, yang menyatakan:
“Siapa saja yang berhaji, kemudian dia tidak mengeluarkan kata-kata porno, melakukan perbuatan maksiat, maka dia pulang, pulang seperti bayi yang dilahirkan oleh ibunya.” (Hr Bukhari dan Muslim)*

Karena itu, para ulama mengaitkan haji mabrur, yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan ketiga aktivitas ini. Apakah saat berhaji seseorang mengeluarkan kata-kata porno, maksiat dan berbantah-bantahan atau tidak? Meski ketiganya bukan merupakan syarat, rukun atau wajib haji, tetapi ketiganya sangat diperhatikan oleh para ulama, karena bisa merusak haji seseorang.

Batasan Rafast, Fusuq dan Jidal
“Rafats”, dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkami Alquran, karya Imam al-Qurthubi, mengutip penjelasan Abu Ubaid, adalah ucapan apapun yang tidak ada gunanya (sia-sia). Ada juga yang mengartikan: “Ucapan porno tentang wanita, baik wanita itu ada atau tidak.” Sedangkan, “fusuq” adalah semua bentuk kemaksiatan yang dilakukan kepada Allah. Sementara “jidal” adalah berbantah-bantahan, hingga sampai pada saling-menyerang. Inilah makna dari ketiganya.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah ketika seseorang yang sedang menjalankan ibadah haji tidak boleh melakukan aktivitas lain, di luar haji, seperti aktivitas politik, bisnis dan sebagainya? Jawabannya kembali kepada aktivitas yang dilakukan, apakah aktivitas tersebut melanggar hukum syara’ atau tidak? Dengan kata lain, apakah aktivitas tersebut maksiat atau tidak? Jika tidak, maka tentu boleh.

Sebagai contoh, seorang petugas haji, yang bertugas melayani jemaah haji, mereka juga berhaji, pada saat yang sama mereka bertugas melayani jemaah. Melayani jemaah yang sedang berhaji adalah aktivitas di luar haji, bisa mubah, tetapi juga bisa wajib. Namun, adanya mereka mutlak diperlukan untuk melaksanakan ibadah haji. Di dalam ada petugas perlengkapan, keamanan, kesehatan, pembimbing, manajemen dan lain-lain.

Contoh lain, berdagang saat musim haji, selama tatacaranya tidak ada yang melanggar, dan yang dijual juga bukan barang haram, begitu juga akad ijarah, selama yang diakadkan adalah jasa yang halal, maka hukum berdagang dan ijarah saat berhaji juga boleh. Ini antara dinyatakan dalam Alquran, “Liyasyhadu manafi’a lahum.” (Agar mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat bagi diri mereka). (Q.s. al-Hajj: 28).

Konotasi, “manafi’a lahum” (manfaat bagi mereka) bersifat umum, bisa dalam bentuk barang maupun jasa. Begitu juga konotasi, “Liyasyhadu” (agar mereka bisa menyaksikan), tentu bukan hanya menyaksikan, tetapi juga meliputi konotasi benar-benar bisa mendapatkannya. Itu berari, mereka bisa berdagang atau melakukan akad ijarah agar bisa mendapatkan manfaat tersebut.

Aktivitas di Luar Haji
Karena itu, aktivitas di luar ibadah haji, yang terkait dengan syarat, rukun dan wajib, selama tidak melanggar hukum syara’, maka aktivitas tersebut tetap boleh dilakukan. Berpolitik, misalnya, dalam konteks politik Islam, yaitu mengurus urusan umat dengan hukum Islam, tentu bukan merupakan aktivitas yang melanggar hukum syara. Apalagi, jika aktivitas politik itu bisa berdampak luar biasa terhadap kemaslahatan umat. Kisah Sufyan at-Tsauri yang mengkritik Khalifah Abu

Ja’far al-Manshur, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, tentang penggunaan dana haji saat berhaji adalah contoh, bagaimana ulama di masa lalu, berhaji tetapi tetap melakukan aktivitas politiknya.

Ketika ada orang yang berhaji, kemudian melakukan aktivitas politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Sufyan at-Tsauri, tetapi dalam bentuk lain, seperti, “Tolak Pemimpin Kafir”, atau “Tolak Ahok Pemimpin Kafir”, atau mendoakan agar orang Kafir kalah, misalnya, adalah aktivitas politik yang tidak menyalahi hukum Islam. Justru sebaliknya. Bahkan, dengan aktivitas ini, akhirnya banyak orang melek, dan tahu hukum keharaman memilih orang Kafir.

Tetapi, jika sebaliknya, di Ka’bah menenteng poster berbunyi: “Kami Muslim, Dukung Ahok” jelas haram. Bahkan, dia telah melakukan dosa besar, yang dilipatgandakan dosanya. Karena mendukung orang Kafir menjadi pemimpin adalah haram. Ketika keharaman ini dilakukan di tanah haram, bahkan Masjidil Haram, maka keharaman seperti ini, menurut Imam Syafii, akan dilipatgandakan sanksinya.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa menolak pemimpin Kafir boleh, sedangkan mendukung pemimpin Kafir tidak boleh? Jawabannya, karena menolak pemimpin Kafir sudah jelas tindakan nahi munkar, yang hukumnya wajib. Sedangkan mendukung pemimpin Kafir merupakan amar munkar, mengajak orang lain melakukan kemunkaran, karena hukumnya jelas haram. Sebab, tidak ada satu pun ulama yang berbeda pendapat dalam memahami dalil tentang keharaman pemimpin Kafir.

Kalaulah hari ini ada yang membolehkan mengangkat orang Kafir menjadi pemimpin kaum Muslim, maka itu bukan ulama. Anehnya, mereka terus-menerus mengampanyekan kebolehan mengangkat pemimpin Kafir, di media, berbagai pengajian, bahkan pesantren dan masjid, yang nota bene adalah rumah Allah. Mereka ini benar-benar sudah tidak mempunyai rasa malu sedikit pun kepada manusia, apalagi malu kepada Allah.
Celakanya, pada saat yang sama, orang lain yang melakukan sebaliknya, menentang mereka dengan dasar Islam, dianggap telah mempolitisasi agama.

Sekularisasi Haji
Maka, ketika Islam tidak melarang orang berhaji melakukan aktivitas di luar haji, tetapi banyak orang Islam yang merasa risih, bahkan alergi ketika berhaji melakukan hal lain, selain ibadah saja. Kondisi seperti ini bisa disebabkan faktor sekularisasi haji, seolah haji ini ibadah, yang harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari urusan lain, di luar haji. Di sisi lain, kondisi seperti ini juga boleh jadi disebabkan oleh pemahaman yang salah tentang ibadah. Ibadah, seolah hanya diartikan, sebagai ibadah mahdhah.

Padahal, konotasi ibadah dalam Islam sangat luas. Ibn Taimiyyah, misalnya, menjelaskan ibadah ini dengan gamblang, dan sangat luas: “Ibadah adalah sebutan yang bersifat menyeluruh untuk apa saja yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan.”

Itulah konotasi ibadah. Dengan demikian, ibadah bisa meliputi ibadah mahdhah, atau ibadah khusus, dan ibadah ‘ammah (umum). Ibadah mahdah adalah ibadah yang telah ditetapkan syarat, rukun dan wajibnya secara detail. Sedangkan ibadah umum tidak, kecuali hukum syara’ yang bersifat umum. Selama aktivitas tersebut tidak melanggar hukum syara’, atau sebaliknya selama aktivitas tersebut tetap dalam koridor melaksanakan hukum syara’, maka selama itu pula aktivitas tersebut bisa dihukumi sebagai ibadah, dalam konotasi umum.

Jadi, selama aktivitas tersebut tidak melanggar ketentuan hukum syara apapun, maka aktivitas tersebut boleh dilakukan saat berhaji. Tidak perlu risih, atau merasa tidak enak. Karena semuanya itu dibolehkan, bahkan ada yang diwajibkan oleh Islam. Jika tidak dilakukan, maka kita pun berdosa. Meski kita sedang berhaji. Contohnya adalah amar makruf dan nahi munkar itu.

Begitulah seharusnya kita memahami haji dengan benar, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain. Baik politik, ekonomi, pendidikan, maupun akhlak dan ibadah yang lain. Wallahu a’lam. []

KH Hafidz Abdurrahman, Ketua Mahad Syaraful Haramain
Mina, 13 Dzulhijjah 1437, 15 September 2016

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2324808/haji-politik#sthash.e7MFSHnD.dpuf