Tiga Ketentuan Prokes Haji dan Umroh yang Harus Dipatuhi

Tiga Ketentuan Prokes yang Mesti Selalu Diperhatikan Sarikat Penyelenggara Umrah Haji Indonesia (SAPUHI) mengingatkan ada tiga ketentuan protokol kesehatan (prokes) yang mesti ditaati. Untuk itu semua pihak yang memiliki kepentingan dengan umrah dapat memperhatikan ketentuan prokes yang sudah ditetapkan.

Sekjen SAPUHI Ihsan Fauzi Rahman menyampaokan, tiga ketentuan prokes di masa umroh new normal yang mesti diperhatikan jamaah dan peyelenggara di antaranya pertama hotel karantina WNI saat kedatangan minimal Hotel bintang tiga. Kedua, PCR saat kedatangan di Indonesia dua kali saat kedatangan dan saat keluar dari hotel Karantina.

“Ketiga biaya karantina ditanggung oleh jamaah umroh sendiri,” kata Ihsan kepada Republika, Jumat (15/1).

Selain itu Ihsan juga mengingatkan, bahwa Kemenag telah menetapkan harga umrah di masa pandemi sebesar Rp 26 juta. Jika menjual paket umrah di bawah Rp 26 maka penyelenggara melanggar KMA no 777 tahun 2020 tentang Biaya Perjalanan Ibadah Umroh Referensi di Masa Pandemi

“Jika menjual dibawah BPIU referensi di atas maka wajib melakukan laporan secara tertulis ke Dirjen PHU Kemenag RI,” katanya.

Ihsan mengatakan, pada Rabu (13/1) telah diberangkatkan jamaah umroh sebanyak 106 orang dari Surabaya menggunakan maskapai Lion Air. Penerbangan ini merupakan perdana jamaah Indonesia pasca ditutupnya 21 Desember 2020 yang lalu.

“Alhamdulillah. Kabar baik, telah terbang ke Jeddah sebanyak 106 jamaah dari Surabaya,” ujarnya.

Suksenya pendaratan 106 jamaah umrah asal Indonesia terpantau sosial media Kementrian Haji Saudia :https://twitter.com/HajMinistry/status/1348042527551729665

Ihsan menuturkan, pada Kamis  (14/1) ada sejumlah jamaah umroh diberangkatkan di Bandara Soekarno Hatta menyusul 106 jamaah umrah. Mereka terbang menggunakan maskapai Saudia Airline.

“Insya Allah pada Jumat (15/1) menyusul penerbangan umroh dari Indonesia menggunakan Garuda Indonesia,” katanya.

IHRAM

Berhias dengan Ghadhul Bashar

Ghadhul bashar artinya menundukkan pandangan atau menjaga pandangan. Menundukkan dan menjaga pandangan dari perkara-perkara yang dilarang syariat akan melahirkan ketentraman jiwa. Hati lebih tenang karena dengan membiarkan pandangan mata, kebersihan hati ternoda bahkan bisa membuat jiwanya tertawan cinta. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :

قل للمؤمنين يغضوا من ابصرهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن اله خبير بمايصنعون

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. An Nur: 30).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: “Allah menjadikan menahan pandangan dan menjaga kemaluan sebagai penyebab terkuat untuk mensucikan jiwa. Dan konsekuensi dari menjaga kesucian jiwa ialah dengan menghilangkan segala bentuk kejahatan perbuatan keji, kezaliman, syirik” (Al-Ubudiyah, hal. 100-101).

Ibnul Jauzi rahimahullah juga mengatakan: “Wajib bagi orang yang tak sengaja melihat kecantikan wajah yang dipandangnya, kemudian dia merasa nikmat di dalam hatinya untuk memalingkan pandangannya. Namun ketika dia terus menerus memandang atau kembali memandang, maka ketika itulah dia dicela oleh syariat dan akal.

Jika ada yang bertanya: Jika seseorang terlambat hatinya walaupun hanya sekilas memandang, kenapa orang yang memandang tersebut harus dicela?. Maka jawabannya, bahwa sekilas memandang jarang sekali dapat membuat seseorang jatuh hati adalah karena terus menerus memandang orang yang dikaguminya. Andai saja ada yang jatuh kasmaran walau hanya pandangan yang sekejap, maka efek dari pandangan tersebut mudah menghapuskannya.” (Dzammul Hawa, hal. 439).

Seorang penyair hikmah berkata: “Mata yang beradu mata dalam pandangan adalah jalan kerusakan hati beberapa saat. Terjadi peperangan hingga berlumuran darah dan mati”.

Dalam syair hikmah lainnya disebutkan: “Wahai kedua mata, kau nikmati pandangan lalu kau susupkan kepahitan ke dalam hati. Jangan lagi kau ganggu hati ini berbuat lalim dengan sekali tebasan”.

Pandangan ibarat anak panah yang melesat menembus hati, ketika dibiarkan ia bisa membelah hati, ketika iman mulai pudar dan keinginan syahwat menguat maka bisa mengantarkan pada pintu-pintu maksiat, seperti, bersetubuh, berkhalwat, pacaran bahkan perzinaan.

Al-Qurthubi rahimahullah memberikan nasehat: “Mata adalah gerbang terbesar menuju hati dan panca indera yang paling berpengaruh terhadapnya, karena itu banyak terjadi kebinasaan (karenanya) dan wajib diwaspadai. Menjaganya dari yang haram hukumnya wajib, dan juga (harus menjaganya) dari setiap yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/148).

Adapun dalam menafsirkan surat An-Nur: 30, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya untuk memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar mereka menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Karena awalnya disebabkan oleh pandangan, maka perintah menjaga pandangan lebih dikedepankan dari pada tekanan untuk menjaga kemaluan.

Pasalnya, kasus-kasus yang terjadi bermula dari pandangan, kronologisnya (dimulainya dengan) pandangan, angan-angan, langkah dan kemudian terjadi dosa. Ada ungkapan: Barangsiapa bisa menjaga empat hal ini, niscaya akan dapat membentengi agamanya, (yaitu) detik-detik waktunya, angan-angan, tutur kata, dan langkah-langkah” (Ad-Da’ wa Ad Dawa, hal. 232).

Demikianlah indah dan mulianya Islam yang begitu perhatiannya dalam masalah menjaga pandangan, agar manusia terhindar dari dosa dan maksiat.

Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:
Majalah As-Sunnah, edisi 01/tahun IX/ 1426 H
Majalah As-Sunnah, edisi 05/ Tahun VIII/ 1425 H
Tanda-Tanda Orang-Orang Jatuh Cinta Dan Memendam Rindu (terjemah) Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, darul Falah, Jakarta. 1423 H

Artikel Muslimah.or.id

Ketika Dokter Gagal Menangani Pasien, Apakah Wajib Bertanggung Jawab?

Tak jarang kita dengar bahwa seorang dokter gagal mengoperasi pasien sehingga mengakibatkan kematian pasien tersebut. Kadang keluarga pasien minta tanggung jawab pada dokter dan pihak rumah sakit terkait atas kegagalan dan kematian pasien tersebut. Dalam Islam, ketika dokter gagal menangani pasien, apakah wajib bertanggung jawab?

Dalam masalah ini, para ulama membaginya dalam dua bagian hukum terkait apakah dokter wajib bertanggung jawab atau tidak ketika gagal menangani pasien.

Pertama, jika seorang dokter belum ahli di bidang kedokteran dan pengobatan dan kemudian salah menangani pasien sehingga mengakibatkan penyakit pasien makin parah atau malah mengakibatkan kematian, maka dia wajib bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya. Jika pasien sampai meninggal, maka dia wajib diqishas (dipenjara) atau membayar diyat (ganti rugi) pada keluarga pasien.

Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Daud dan Nasai, bahwa Nabi Saw bersabda;

من طبب ولم يعلم منه طب فهو ضامن

“Barangsiapa yang mengobati sedangkan dia tidak mengerti tentang pengobatan, maka dia wajib dhamin atau bertanggung jawab.”

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin disebutkan sebagai berikut;

فلو قال غير العارف للمريض: ابلع هذا الدواء فبلعه، فإن كان مميزاً وجبت الدية، وإلا فالقصاص بشرطه

“Jika orang yang tidak tahu (dokter yang belum ahli) mengatakan kepada orang yang sakit, ‘Telanlah obat ini dan kemudian dia menelannya, jika dokter tersebut bisa membedakan antara obat yang bermanfaat dan tidak, maka dia wajib membayar diyat, dan jika tidak bisa membedakan, maka dia wajib diqishas sesuai dengan syarat-syarat qishas.”

Kedua, jika dokter tersebut sudah ahli di bidang kedokteran dan pengobatan, jujur, adil, memiliki kemahiran dan sudah terbukti banyak berhasil mengobati pasien, maka dia tidak wajib bertanggung jawab atas kegagalan menangani pasien. Bahkan jika pasien mati sekalipun, dia tetap tidak bisa dituntut untuk bertanggung jawab.

Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berikut;

أما العارف بالطب فلا ضمان عليه إن كان صدوقاً عدلاً صاحب ذكاء وحذق ومهارة،

“Adapun orang yang tahu (dokter ahli) tentang pengobatan, maka dia tidak wajib bertanggung jawab jika dia jujur, adil, memiliki kecerdasan dan kemahiran.”

BINCANG SYARIAH

Mengapa Bencana Terus Melanda?

Bencana demi bencana menimpa negeri ini secara bertubi-tubi; tanah longsor, tsunami, kebakaran, gunung meletus, dan yang sedang marak sekarang ini adalah bencana banjir.

Tentu saja, sebagai seorang muslim kita harus yakin bahwa di balik bencana tersebut terkandung hikmah bagi kita semuanya, di antaranya agar kita semua berintrospeksi dan berbenah diri, bertaubat dan bersimpuh di hadapan Allah.

Sungguh, termasuk kesalahan yang amat fatal jika kita hanya meyakini seperti kebanyakan orang bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah sekadar bencana alam murni tanpa ada sebab dan hikmah di dalamnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata dalam khutbahnya yang berjudul Atsaril Ma’ashi:

“Sesungguhnya kebanyakan manusia sekarang menganggap bahwa musibah yang menimpa mereka baik dalam bidang perekonomian, keamanan, atau politik disebabkan karena faktor-faktor dunia semata.

Tidak ragu lagi bahwa semua ini merupakan kedangkalan pemahaman mereka dan lemahnya iman mereka serta kelalaian mereka dari merenungi al-Qur‘an dan sunnah Nabi.

Sesungguhnya di balik musibah ini terdapat faktor penyebab syar’i yang lebih besar dari faktor-faktor duniawi. Allah berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS ar-Rum [30]: 41)”.

Semoga Allah merahmati para ulama salaf yang selalu melakukan introspeksi atas segala musibah yang menimpa mereka, lalu segera sadar dan memperbaiki diri.

Ibnu Sirin berkata, “Saya tahu dosa apa yang menyebabkan aku sekarang ini memikul hutang, karena dahulu empat puluh tahun silam saya pernah mengatakan kepada seorang: ‘Wahai muflis (orang yang bangkrut)’”.

Sufyan bin Uyainah mengatakan, “Dahulu aku diberi pemahaman tentang al-Qur‘an, namun tatkala aku menerima kantong uang maka pemahaman itu hilang dariku”.

Demikianlah orang-orang yang cerdas, mereka selalu melakukan introspeksi dan mengakui kesalahan dan dosa yang menyebabkan musibah yang terjadi pada dirinya.

***

Penulis: Ust. Abu Ubaidah As Sidawi

Artikel Muslim.or.id

Ini Wirid Harian dari Imam Al-Ghazali Agar Hidup Berkah

Dalam kitab Mujarrabat Al-Dairabi disebutkan bahwa Imam Al-Ghazali memiliki wirid harian yang beliau anjurkan untuk diamalkan. Menurut beliau, siapa saja yang mengamalkan wirid harian ini, maka hidupnya akan mendapatkan keberkahan dan dimudahkan untuk memperoleh ilmu.

Amalan wirid harian dimaksud adalah sebagai berikut;

Pertama, hari Jumat membacat dzikir berikut sebanyak seribu kali;

يَا اللهُ

Yaa alloh.

Kedua, hari Sabtu membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

لَااِلَهَ اِلاّ الله

Laa ilaaha illallooh.

Ketiga, hari Ahad membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

يَاحَيُّ يَا قَيُّوْمُ

Yaa hayyu yaa qoyyuum.

Keempat, hari Senin membaca dzikir berikut sebanyak seribu kali;

لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ

Laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim.

Kelima, hari Selama membaca shalawat kepada Nabi Saw sebanyak seribu kali.

Keenam, hari Rabu membaca istighfar berikut sebanyak seribu kali;

اَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ

Astaghfirulloohal ‘azhiim.

Ketujuh, hari Kamis membaca tasbih berikut sebanyak seribu kali;

سُبْحَانَ اللهَ اْلعَظِيْمَ وَبِحَمْدِهِ

Subhaanalloohal ‘azhiima wa bihamdih.

Disebutkan dalam kitab Mujarrabat Al-Dairabi sebagai berikut;

فائدة: قال الغزالي رحمه الله تعالى ما حصل لي الفتوح والبركة الا بهذه الاوراد وهي ان تقول في يوم الجمعة يا الله الف مرة وفي يوم السبت لا اله الا الله الف مرة وفي يوم الاحد يا حي يا قيوم وفي يوم الاثنين لا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم وفي يوم الثلاثاء تصلى على النبي الف مرة وفي يوم الاربعاء استغفر الله العظيم الف مرة وفي يوم الخميس سبحان الله وبحمده الف مرة

Faidah; Imam Al-Ghazali berkata; Aku tidak mendapatkan futuh dan keberkahan kecuali dengan wirid-wirid ini. Yaitu di hari Jumat membaca; Yaa alloh, seribu kali, hari Sabtu membaca; Laa ilaaha illalloh, seribu kali, hari Ahad membaca; Yaa hayyu yaa qoyyuum, seribu kali, hari Senin membaca; Laa hawla walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim, seribu kali, hari Selasa membaca shalawat kepada Nabi Saw seribu kali, hari Rabu membaca; Astagfirullaahal ‘azhiim, seribu kali, hari Kamis membaca; Subhaanallaah wa bihamdih, seribu kali.

BINCANG SYARIAH

Katanya Allah Dekat, Mengapa Tidak Terlihat?

Dalam benak seorang Muslim, mungkin pernah terlintas sekali-dua kali atau bahkan berkali-kali pertanyaan tentang keberadaan dan wujud Allah Swt. Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: katanya Allah dekat, lalu mengapa tidak terlihat?

Kita merasa Allah Swt. begitu dekat, bahkan sangat dekat, melebihi urat nadi kita sendiri. Tapi, sebagai manusia yang hanya memiliki lima indera yang sangat terbatas, perasaan dekat dengan Allah Swt. Tersebut kembali dipertanyakan mengingat wujud-Nya tak bisa dilihat dengan kasat mata.

Dalam sebuah video ceramahnya di Wamimma TV, Buya Syakur Yasin pernah memaparkan sebuah analogi: “Siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan.”

Melalui analogi tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa ada kesinambungan antara memahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an dengan baik sesuai kaidah tafsir dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya yakni Allah Swt.

Melihat Tuhan Perspektif Qur’an dan Hadits

Saat surat An-Nasr turun, diriwayatkan bahwa Sayyidina Ali, Umar, dan Abu Bakar menangis. Turunnya ayat tersebut menandakan bahwa sebentar lagi mereka semua akan ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. Para sahabat pun paham makna ayat-ayat yang telah turun tersebut sebab merekalah yang paling dekat dengan Rasulullah Saw.

Dari peristiwa tersebut, muncul pertanyaan: apakah kedekatan dengan Allah Swt. juga berarti harus dekat dengan Nabi Muhammad Saw.? Lantas bagaimana dengan umat lslam yang hidup setelah Rasulullah Saw. wafat?

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, tercatat hanya ada dua ayat saja yang berkaitan dengan melihat atau bertemu dengan Allah Swt. Sebagai berikut:

Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 22

 وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

Wujụhuy yauma`iżin nāḍirah

Artinya: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.”

Quran Surat Al-Qiyamah Ayat 23

 إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Ilā rabbihā nāẓirah

Artinya: “Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”

Makna kalimat “dan wajah-wajah (orang-orang Mukmin) pada hari itu berseri-seri” berasal dari kata an-nadhaarah yang artinya rupawan, menawan, cemerlang lagi penuh kebahagiaan.

Sementara itu, makna “kepada Rabb-nyalah mereka melihat” adalah melihat dengan kasat mata.

Dalam riwayat al-Bukhari r.a., dalam Shahih-nya disebutkan: “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan kasat mata.”

Dalam ayat tersebut ditegaskan tentang penglihatan orang-orang Mukmin terhadap Allah Swt. di akhirat kelak.

Abu Sa’id dan Abu Hurairah ra., yang keduanya terdapat di dalam Kitab ash-Shahihain (Al-Mustadrak alaa al-Sahihain) tercantum bahwasanya ada beberapa orang bertanya:

“Wahai Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari Kiamat kelak?”

Beliau menjawab, “Apakah kalian merasa sakit saat melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?”

Mereka menjawab, “Tidak.”

Beliaupun bersabda, “Sesungguhnya seperti itulah kalian akan melihat Rabb kalian.”

Masih dalam kitab yang sama, disebutkan bahwa dari Jarir ra., ia berkata: “Rasulullah Saw. pernah melihat bulan pada malam purnama, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan ini. Jika kalian mampu untuk tidak dikalahkan (oleh perasaan lelah/ngantuk) dari mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelamnya, maka kerjakanlah.’”

Waktu matahari terbit dan tidak juga sebelum tenggelam dalam hadits tersebut yaitu waktu shalat Subuh di pagi hari dan shalat ‘Ashar di sore hari.

Dalam Kitab ash-Shahihain juga tercantum: dari Abu Musa, ia berkata: “Rasulullah Saw. telah bersabda: ‘Ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari emas, dan ada dua Surga yang bejana dan semua isinya terbuat dari perak. Tidaklah terdapat tirai antara suatu kaum dengan penglihatan mereka kepada Allah Swt. melainkan terdapat selendang kebesaran pada wajah-Nya di Surga ‘Adn.’”

Melihat Tuhan Perspektif Filsafat Islam

Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang eksistensi Tuhan dipaparkan dalam sebuah kalimat sebagai berikut: “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya.”

Perlu digarisbawahi di sini bahwa frasa “mengetahui Tuhannya” di sini bukan bermakna mengetahui bentuk secara harfiah dari sosok Tuhan tersebut, tapi lebih kepada kehadiran rasa ihsan dalam diri manusia saat menjalani kehidupan sehari-hari.

Ihsan di sini berarti bahwa di mana pun seorang Muslim berada, maka ia akan merasa melihat Tuhannya. Atau, di mana pun ia berada, ia selalu merasa dilihat oleh Tuhannya. Dua perasaan tersebut mengukuhkan bahwa Allah dekat dan mengetahui segalanya.

Dalam buku Filsafat Islam (1957), Hasyimsyah Nasution menuliskan bahwa terkait wujud atau zat Allah Swt., Imam Al-Ghazali menjelaskan dengan metodologi filsafat yang menitikberatkan “tidak ada sesuatupun yang ada kecuali ada yang mengadakan” Al-Ghazali juga tidak menyetujui pendapat yang menyebutkan bahwasannya Tuhan itu wujudnya sederhana, wujud murni, dan tanpa esensi.

Dari dua pijakan pemikiran tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali berpikir Tuhan adalah wajibul Wujud di mana akan dapat dirasakan kehadirannya jika benar-benar dapat mengetahui sebenarnya hakikat dari diri kita sendiri. Merasakan bahwa Allah dekat adalah karena seorang manusia telah memahami hakikatnya.

Kesekatan tersebut bukan berarti bahwa Tuhan dan hambaNya menjadi satu, tapi lebih pada praktik dalam menghadirkan sifat-sifat Tuhan, atau berusaha menerapkan sifat-sifat Tuhan kedalam diri seorang Muslim dalam menjalani kehidupan di dunia.

Sebagai misal, menerapkan sifar Ar-Rohman dan Ar-Rohiim yang berarti seorang Muslim mesti berusaha menjadi penyayang. Cara yang dipaparkan Al-Ghazali bertujuan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Sang Kholiq, dan merasakan Sifat-Nya ada dalam diri manusia.

Bisakah Manusia Melihat Wujud Allah?

Dalam buku Etika Al-Ghazali, Etika Majemuk di Dalam Islam(1988), Kamil, Ph.D dan M.Abul Quasem, M.A. menyatakan bahwa untuk bisa mencapai wujud Allah Swt., Al-Ghazali tidak mengartikannya sebagai penyamaan dengan Allah Swt. atau Ittishol atau peleburan diri dengannya (Hulul) atau percampuran hakikat kemanusiaan (Nasut) dengan Hakikat Ilahiyah (Lahut).

Bagi Al-Ghazali, dekat dengan Allah dan melihat Allah bisa diwujudkan dalam konsep yang bernama Wahdatusy Syuhud yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Kesatuan Penyaksian. Sebab bagi Al-Ghazali, apa yang manunggal adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.

Melalui konsep tersebut, seorang Muslim yang mencapai Allah Swt. akan mampu menumbuhkan sifat-sifat yang mirip dengan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam  Asmaulhusna dan diterapkan dalam dirinya, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari selama ia hidup di dunia.

Al-Ghazali menambahkan bahwa Allah Swt. diketahui eksistensinya dengan akal. Allah Swt. terlihat zat-Nya dengan mata hati sebagai kenikmatan dari-Nya dan kasih sayang bagi orang-orang yang berbuat baik dan sebagai penyempuurnaan dari-Nya bagi kenikmatan yang memandangNya yang Mulia.

Analogi Buya Syakur Yasin tentang “siapa orang yang paling paham dengan firman Tuhan? Ia adalah orang yang sudah paham (paling dekat) dengan Tuhan” bisa kita pahami dengan pemikiran Al-Ghazali mengenai Tuhan lewat konsep Wahdatul Syuhud.

Perasaan dekat dengan Allah bisa jadi muncul karena seorang Muslim telah berusaha menerapkan sifat-sifat Allah Swt. dengan baik dalam hidupnya. Ia telah berlaku ihsan. Meski merasa dekat, seorang manusia tidak akan bisa melihat Tuhannya dengan kasat mata sebab Allah Swt. hanya bisa diketahui dengan akal dan dilihat dengan mata hati.[]

BINCANG SYARIAH

Hukum Suami Memakai Uang Istri

Dalam Islam, suami yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban menafkahi dan memenuhi kebutuhan istri. Sementara istri hanya berkewajiban taat pada suami. Namun dalam realitasnya, banyak istri yang bekerja untuk membantu suami dan keluarga, sehingga tidak jarang suami memakai uang istri. Sebenarnya, bagaimana hukum suami memakai uang istri?

Menurut para ulama, uang atau harta istri adalah penuh milik pribadinya. Karena itu, suami tidak boleh memakai atau memanfaatkan uang atau harta istrinya kecuali dengan seizin dan keridaan istrinya. Jika istrinya mengizinkan, maka suami boleh memakainya. Namun jika tidak mengizinkan, maka suami tidak boleh memakainya.

Hal ini disebutkan oleh Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushulul Fiqih berikut;

وأعطى الإسلام المرأة حقوقها كاملة وجعل ماليتها في الأسرة مفصولة عن مالية الزوج

Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga.

Meski uang atau harta istri adalah penuh milik pribadinya dan suami tidak boleh memakai kecuali mendapat izin darinya, namun Islam sangat menganjurkan agar istri membantu suami dan keluarganya jika mereka sedang membutuhkan bantuan. Bahkan suami termasuk orang yang paling berhak mendapat bantuan pertama kali oleh istri. Bila sudah berkecupan, suami wajib mengganti uang istri yang dipinjamnya.

Ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Abu Sa’id, dia berkata;

جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

Zainab, istri Ibnu Mas’ud, datang meminta izin untuk bertemu Rasulullah. Ada yang memberitahu; Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab. Beliau bertanya; Zainab yang mana? Maka ada yang menjawab; istri Ibnu Mas’ud.

Beliau menjawab; Baiklah, izinkanlah dirinya. Maka kemudian Zainab berkata; Wahai, Nabiyullah, hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku. Lalu Nabi Saw menjawab; Ibnu Mas’ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.

BINCANG SYARIAH

Apakah Allah Mengampuni Muslim karena Makan Daging Babi?

Ada situasi tertentu dimana Muslim dibolehkan memakan daging babi.

Mengonsumsi babi dalam Islam hukumnya haram. Namun, bagaimana jika situasi membuat kita untuk mengonsumsi babi, apakah Allah akan mengampuni?

Seorang anomin berusia 13 tahun bertanya di laman About Islam. “Umurku 13 tahun, jadi aku jelas masih tinggal dengan orang tuaku dan mereka beragama Kristen. Aku baru saja masuk Islam, tapi keluargaku mnegonsumsi daging babi. Aku harus makan atau aku akan kelaparan. Akankah Allah mengampuni aku karena makan babi?” ujarnya.

Salah seorang penulis About Islam, Leah Mallery menanggapi pertanyaan tersebut. Pertama, perlu diketahui, makan makanan haram diperbolehkan jika dalam keadaan mengerikan atau jika kesehatan terancam bahaya.

“Tidak ada dosa dalam tindakan ini. Islam adalah keyakinan yang logis dan kami tidak percaya Tuhan meminta seseorang membuang nyawanya demi sepotong daging,” kata Mallery.

Namun, jika situasinya seperti yang digambarkan anonim, Mallery menyarankannya untuk mulai belajar memasak. Sebab, kemampuan memasak penting dalam hidup, terlepas apakah keluarga mengonsumsi daging babi atau tidak.

Usia 13 tahun juga merupakan waktu yang tepat untuk mulai belajar masak. Tidak hanya memiliki kemampuan memasak yang didapat, tapi juga bisa mengontrol menu.

“Anda juga dapat meminta agar orang tua Anda membeli lebih banyak ayam dan daging sapi atau bahkan mencoba menjadi vegetarian sekali atau dua kali dalam sepekan,” ujar dia.

Mallery mengatakan karena sang anonim masih di bawah umur, perlu dipastikan bagaimana situasi keluarganya. Jika memang terjalin baik, bisa mengikuti saran di atas. Namun, jika keluarga belum mengetahui dia mualaf, perlu mengikuti saran lain. Banyak mualaf terutama yang masih muda merahasiakan identitasnya sebagai Muslim.

“Jika Anda merasa berada dalam situasi yang rentan, tidak apa-apa untuk menyembunyikan iman Anda! Beribadahlah sebaik mungkin secara rahasia. Saya berdoa semoga Anda tidak berada dalam situasi seperti ini,” ucap dia.

Mallery menyebut ada sejumlah kasus tentang mualaf yang dipaksa makan daging babi karena jika mereka menolak, keluarga akan curiga terhadap mereka. Terpenting, perlu diketahui, Allah adalah rahman dan rahim. Hampir setiap ayat dalam Alquran dimulai dengan bismillah ar-rahman ar-raheem atau atas nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Nama Allah lainnya adalah Al-Ghaffur atau Yang Maha Pengampun. Alquran berbicara secara ekstensif tentang rahmat Allah dan cinta pengampunan-Nya. Dalam sebuah hadits yang diklasifikasikan sebagai hasan, Abu Sa’id al-Khudri melaporkan, Rasulullah SAW berkata, “Setan berkata: Demi kehormatanmu, ya Tuhan, aku akan terus menyesatkan anak-anak Adam selama jiwa mereka ada di tubuh mereka. Tuhan berkata: Dengan kehormatan dan keagungan saya, saya akan terus mengampuni mereka selama mereka mencari pengampunan saya.”

“Jadi ketahuilah, selama ada keinginan di dalam hatimu untuk meminta ampun, maka Allah akan mengampunimu,” kata dia. 

https://aboutislam.net/counseling/ask-about-islam/will-allah-forgive-me-for-eating-swine/

KHAZANAH REPUBLIKA

Shamsi Ali: Salah Satu Musibah Bagi Umat, Meninggalnya Ulama

Jika satu ulama wafat, maka terjadi sebuah lubang dalam Islam.

Umat Islam akhir-akhir ini banyak dirundung duka, dengan ragam cobaan dan musibah. Satu diantara cobaan itu adalah wafatnya beberapa Ulama mu’tamad (ulama rujukan umat) yang setiap saat hadir sebagai lentera di tengah kegelapan yang menyelimuti kehidupan dunia saat ini.

Imam di Kota New York sekaligus Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali, menyatakan, salah satu di antara ulama yang telah mendahului umat adalah Syeikh Ali Saleh Jaber. Beliau, kata dia, seorang ulama yang ilmuan, saleh, mukhlis, dan insya Allah muhsin. Ulama yang selalu hadir dengan kesejukan dan penampilan moderasi sebagai jembatan pemersatu bagi seluruh elemen Umat dan bangsa.

Terdapat sebuah hadits yang tidak terlalu populer di kalangan sementara umat Muslim berbunyi: “Mautul-aalimi mushibatun laa tujbaru wa tsulmatun laa tusaddu, wa najmun thumisa mautu gabilatin aysaru min mauti aalimin,”. Yang artinya: “Kematian seorang alim itu adalah musibah yang tak tergantikan, lobang yang dapat ditambal. Wafatnya seorang alim bagaikan bintang yang padam. Bahkan meninggalnya satu suku (kampung) itu lebih ringan dari pada meninggalnya seorang ulama,”. Hadits ini diriwayatkan At-Thobarani.

Syeikh Ali Jaber, menurutnya, meninggalkan tidak saja ilmu. Tapi yang lebih penting lagi adalah ketauladanan dalam mempertahankan keimanan dan keilmuan dalam bingkai akhlakul karimah. Bahwa seberat dan sepelik apa pun tantangan yang dihadapi, seorang Mukmin tidak bokeh lepas kendali karakter moral seperti yang diajarkan secara prinsip oleh baginda Rasulullah SAW.

“Saya tidak akan berbicara banyak tentang Syeikh Ali. Beliau sedang tersenyum menghadap Rabbnya. Beliau sedang bersenandung dalam keindahan ridho Ilahi,” kata Imam Shami Ali dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/1).

Hal itu sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Fajr ayat 27-30: “Yaa ayyatuhannafsul-muthmainnah. Isrji’iy ila Rabbiki raadhiyan mardhiyyah. Fadkhulii fiy ibadi. Wadkhuli jannatiy,”. Yang artinya: “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Rabbmu dalam keadaan ridho dan diridhoi. Masuklah ke dalam golongan hambaKu dan masuklah Ke dalam syurgaKu”.

“Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk menangis, merasakan kesedihan yang dalam atas meninggalnya para ulama kita. Cinta kita kepada para ulama bukan cinta biasa. Tapi cinta sebagai bukti kecintaan kita kepada ilmu. Dan cinta kepada ilmu adalah cinta kepada kebenaran (Al-Haq),” ungkapnya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah menegaskan: “barangsiapa yang tidak merasa sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik” (diriwayatkan oleh Imam Suyuuthi). Dalam hadits selanjutnya, Imam Al-Baihaqi menyebutkan: “kematian seorang Ulama itu lebih disukai oleh Iblis dari pada kematian 70 ahli ibadah”.

Jika Iblis la’natullah senang dengan kematian ulama, lalu bagaimana mereka yang mematikan ulama? Maksudnya, mungkin saja tidak mematikan secara fisik, tapi mematikan segala langkah dan juang para ulama dalam menebar ilmu dan kebaikan.

“Iblis dan konco-konconya sangat wajar untuk bersenang dengan meninggalnya Ulama. Karena memang ulama memiliki posisi yang sangat tinggi. Selain derajatnya ditinggikan, seperti yang disebutkan dalam Alquran,” ujarnya.

Allah berfirman dalam Alquran Surah Al-Mujadalah ayat 11: “Yarfai’llahulladzina aamanu minkum walladzina utul-ilma darajaatin,”. Yang artinya: “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat,”.

Kedudukan para ulama itulah yang menjadikan seluruh makhluk-makhluk Allah, bahkan semut-semut dalam lubangnya, bahkan ikan-ikan kecil dalam air (al-hiitaan fil maa) mendoakan mereka semuanya.

Sunggguh meninggalnya para ulama memang musibah besar bagi Umat ini. Karena meninggalnya mereka adalah pertanda tercabutnya keilmuan dari Umat ini. Rasulullah bersabda: “Ambillah ilmu itu sebelum menghilang. Para sahabat bertanya: Bagaimana Ilmu menghilang ya Rasulullah? Beliau menjawab: Sesungguhnya hilangnya ilmu ketika para pembawanya pergi/meninggal” (At-Thabarani).

Dengan meninggalnya Syeikh Ali Jaber dan ulama lainnya, kata dia, hal itu juga membangun keyakinan bahwa umat pastinya lebih tertantang lagi. Tapi umat dengan iman pastinya juga bakal optimistis jika di balik kesulitan itu ada kemudahan. Dan di balik tantangan itu pasti ada peluang.

Dan karenanya, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin: إذاماتالعالم ثلم في الإسلام ثلمة لايسدها الا خلف منه (jika satu ulama wafat, maka terjadi sebuah lubang dalam Islam yang tidak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya).

“Semoga kita semua dapat menjadi generasi penerus para ulama kita. Generasi yang punya komitmen untuk meneruskan keilmuan, keikhlasan dan karya/amal para waratsatul ambiya (pewaris para nabi) itu,” ujarnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ayat Pembuka Surat Alquran yang Misterius Menurut Barat

Terdapat ayat-ayat pembuka surat yang disebut misterius menurut Barat.

Di kalangan peneliti Barat, keberadaan ayat-ayat fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surat) atau awail al-suwar (permulaan surat) atau al-huruf al-muqatta’ (huruf-huruf terpotong atau terpisah) ini disebut dengan nama ‘huruf-huruf misterius’. 

Kemisteriusannya terlihat dari makna ayatnya yang tidak mudah untuk diterjemahkan atau ditafsirkan. Karena itu, keberadaan ayat-ayat pembuka surat itu merupakan pembeda dan keistimewaan Alquran dengan kitab suci lainnya. 

Imam al-Suyuti, pengarang kitab Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, menyatakan, “Menurut Ibnu Abbas RA, huruf-huruf pembuka surat itu merupakan singkatan dari nama-nama Allah SWT (asma’ al-husna).” 

Misalnya, alif lam mim adalah singkatan dari Allah Lathif Majid. Kemudian, alif lam mim ra adalah singkatan dari Ana Allahu A’lam wa Ara. Lalu, alif lam mim shad adalah Allah, al-Rahman, al-Shamad. 

Sedangkan, ha mim singkatan dari Al-Rahman. Alif lam ra adalah Al-Rahman Al-Rahim, ha mim ain sin qaf adalah Al-Rahman Al-Alim, Al-Quddus Al-Qahir. Tha sin mim adalah Dzuu Al-Thawl dan kaf ha ya ain shad adalah Kafi, Hadi, Amin, Aziz, Shadiq. Adapun huruf nun adalah Nur, huruf qaf berarti Qadir atau Qahir, dan shad adalah shadaqallah. Sedangkan, yaa sin dimaknai dengan Ya Sayyid al-Mursalin.

Beberapa pendapat lain menyatakan, keberadaan huruf-huruf tersebut merujuk pada nama-nama nabi (misalnya, Thaha, Haa mim, dan Yaa sin), nama gunung (Kaf ha ya ain sin qaf). 

Selain itu, ada pula yang berpendapat, keberadaan huruf-huruf pembuka ini sebagai media untuk membangkitkan perhatian Nabi kepada wahyu Ilahi yang akan disampaikan Jibril untuk membuat orang-orang terpesona yang mendengarnya serta menjadi pemisah antara yang satu dan yang lain.

Namun, dari semua pendapat yang beredar, penafsiran yang paling dianggap mewakili dan sedikitnya bisa diterima kalangan umat Islam, dalam beberapa terjemahan Alquran, diartikan bahwa huruf-huruf tersebut masuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabihat yang memiliki makna “hanya Allah yang tahu”. 

KHAZANAH REPUBLIKA