‘Conditioned Power’ dan ‘Condign Power’ yang terjadi saat seorang ayah memegang kekuasaan sebagai presiden dan melonggarkan peraturan bagi anaknya, jelas melanggar batas kekuasaan
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
(Ir. Soekarno, 1967)
BUNG KARNO berjalan memasuki ruang makan Istana Negara. Guruh, 14 tahun, sedang serius membaca. “Mana kakak-kakakmu?” tanya Sang Proklamator kepada putra bungsunya. Guruh menatap ayahnya, “Sudah pergi ke rumah Ibu.” Yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Bung Karno menghela napas gulana. “Mas Guruh, Bapak sudah tidak diperbolehkan tinggal di istana ini lagi. Kamu siapkan barang-barangmu. Kamu jangan ambil lukisan atau barang lainnya karena semua itu punya negara,” ujar Putra Sang Fajar dengan suara bergetar baru mendapat surat perintah untuk mengosongkan Istana Negara dalam 2×24 jam.
Surat pemerintah ini menyusul TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno karena teridentifikasi melakukan kejahatan atau pengkhianatan negara.
Bung Karno keluar dari ruang makan menuju ruang tamu Istana Negara. Sejumlah ajudannya berkumpul.
Dia menatap mereka satu persatu. Suaranya yang biasa menggelegar terdengar sayu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi,” ujarnya dilanjutkan dengan menyampaikan pesan yang sama seperti diberikannya kepada Guruh. “Kalian jangan mengambil apapun. Lukisan-lukisan, suvenir, macam-macam barang. Itu semua milik negara.”
Para ajudan terdiam. Sebagian ada yang mulai menitikkan air mata.
Lalu terdengar suara seorang ajudan yang murung dan ragu. “Kenapa Bapak tidak melawan?” Sukarno menatap sang penanya.
“Kalau saya melawan nanti bisa terjadi perang saudara. Perang saudara itu sulit. Jikalau perang dengan Belanda itu jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak. Wajahnya sama dengan wajahmu, keluarganya juga sama denganmu. Lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara.”
Peristiwa di atas ditulis sejarawan Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Sukarno (2012). Setelah Bung Karno keluar dari Istana Negara, pada salah satu waktu di tahun 1967, beliau mengucapkan kata-kata yang menjadi pembuka tulisan ini.
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Sebuah kesaksian pedih, ringkih, dan sudah amat terlambat. Seorang presiden dari negara dengan penduduk terbanyak di Asia Tenggara yang memulai pemerintahan dengan modal kepercayaan rakyat sangat besar, baru menyadari dengan rendah hati bahwa ‘kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya’ di tubir masa jabatan tergelincir dari genggaman tangan.
Sekiranya Bung Karno memiliki kearifan ‘kekuasaan presiden ada batasnya’ sejak tahun-tahun awal 1950-an, boleh jadi akhir hidupnya tidak setragis pengetahuan umum sekarang.
Proklamator lainnya, Bung Hatta, sudah empat dasawarsa lebih dulu menyadari jebakan kekuasaan. Dalam tulisan-tulisannya di majalah Daulat Ra’jat pada paruh pertama tahun 1930-an –dibukukan dalam buku berjudul Kumpulan Karangan— Bung Hatta secara konsisten mengkritik kesewenang-wenangan Pemerintah Hindia Belanda di satu pihak dan hipokritas para pemimpin pergerakan kebangsaan di lain pihak.
“Kata rakyat sering lekat di bibir para pemimpin, utamanya dari kalangan partai politik,” ungkap Bung Hatta. “Akan tetapi dalam praktiknya tidak kelihatan. Rakyat itu disangka seperti tikar tempat kaki sapu saja; disangka sebagai jenis yang hanya perlu buat disuruh bertepuk tangan saja, kalau mendengar seorang pemimpin yang berpidato.”
Pada 1930-an Indonesia belum merdeka, belum ada presiden. Sehingga kritik Bung Hatta bukan ditujukan untuk Bung Karno pribadi, melainkan bagi para pemimpin secara umum. Siapa pun yang candu mengucapkan kata “rakyat” dalam setiap kesempatan.
Baru pada 1 Mei 1960 muncul tulisan di Panji Masyarakat berjudul “Demokrasi Kita” tulisan Bung Hatta atas permintaan Buya Hamka, pemimpin redaksi majalah itu.
Bung Hatta sudah empat tahun meninggalkan jabatan Wakil Presiden yang dijalaninya selama 11 tahun (1945 – 1956), sampai tiba pada momen ‘ enough is enough’ ketika beliau sudah tak bisa seia sekata, sejiwa sepemikiran, dengan Bung Karno sahabatnya sejak era pergerakan.
Dalam Demokrasi Kita, Hatta menulis, antara lain, “Apa yang terjadi sekarang adalah krisis demokrasi. Atau demokrasi di dalam krisis. Demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat-syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki, lambat laun akan digantikan oleh diktator. Ini adalah hukum besi sejarah dunia! Tindakan Soekarno yang begitu jauh menyimpang dari dasar-dasar konstitusi adalah akibat dari krisis demokrasi. Demokrasi dapat berjalan baik apabila ada rasa tanggung jawab dan toleransi dari pemimpin-pemimpin politik. Inilah yang kurang dari pemimpin-pemimpin partai seperti telah berkali-kali saya peringatkan.”
Pada bagian lain Hatta mengungkap, “korupsi dan demoralisasi merajalela”, “demokrasi topeng belaka”, dan berbagai kritik lainnya sebelum menyimpulkan dengan tetap menjaga optimisme di dadanya bahwa “ demokrasi yang tertidur sementara akan terbangun kembali. “ (Basral, 2022, hal. 149 – 150).
Tulisan itu membuat Panji Masyarakat ludes di pasaran. Rakyat gembira karena salah seorang proklamator berani melakukan kontrol kekuasaan terhadap proklamator lain, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
“Demokrasi Kita” diterbitkan ulang oleh Buya Hamka sebagai brosur sendiri, dan diterbitkan juga oleh media cetak lainnya. Tetapi “Demokrasi Kita” membuat Bung Karno sangat murka.
Pada Hari Kemerdekaan Indonesia ke-15 tanggal 17 Agustus 1960, Sang Pemimpin Besar Revolusi dengan lantang mengecam Panji Masyarakat dan dua media lain yang memuat tulisan Bung Hatta, yakni Pedoman (dikelola Rosihan Anwar) dan Indonesia Raya (dinakhodai Mochtar Lubis). Ketiga media diberangus Orde Lama, dilarang terbit.
Batas kekuasaan bagi presiden tak sama dari pemerintahan ke pemerintahan. Apa yang terjadi pada Orde Lama bisa berbeda peristiwa dengan yang terjadi pada Orde Baru. Yang belakangan ini runtuh akibat begitu parahnya korupsi, kolusi dan nepotisme yang memberi banyak keuntungan kepada keluarga dan kolega Presiden Soeharto, seperti ditulis Jakob Oetama dalam Warisan (Daripada) Soeharto (2008).
Transparency International melalui “Global Corruption Report 2004” menyebutkan korupsi di masa pemerintahan Soeharto mencapai $15 – 35 miliar yang merupakan angka korupsi tertinggi di dunia. Jauh di atas korupsi Presiden Ferdinand Marcos dari Filipina ($5 – 10 miliar) di peringkat kedua.
Di peringkat ke-3 sampai ke- 10 adalah: Mobutu Sese Seko (Zaire, $5 miliar), Sani Abacha (Nigeria, $2 – 5 miliar), Slobodan Milosevic (Yugoslavia, $1 miliar), Jean-Claude Duvalier (Haiti, $300 – 800 juta), Alberto Fujimori (Peru, $600 juta), Pavlo Lazarenko (Ukraina, $114 – 200 juta), Arnoldo Aleman (Nikaragua, $100 juta), dan Joseph Estrada (Filipina, $78 – 80 juta).
Mengingat daftar ini dirilis pada 2004, maka para presiden di seluruh dunia yang baru menjabat tahun 2004 dan seterusnya, tentu tidak ada nama mereka pada laporan itu. Bukan berarti mereka tidak melakukan mega korupsi.
Jika laporan itu diterbitkan lagi menjadi “Global Corruption Report 2024” sekaligus sebagai edisi revisi 20 tahun, boleh jadi akan ada nama-nama baru yang muncul pada daftar.
Kembali ke Orde Baru, pertumbuhan ekonomi cukup mengesankan dengan rata-rata GDP per tahun 7,1% seperti dicatat pakar sejarah ekonomi Profesor Pierre van der Eng dalam Growth and Inequality: The Case of Indonesia, 1960 – 1997 (Universitas Muenchen, 2009).
Sayangnya, prestasi itu dibajak dan disandera oleh nepotisme tak terkendali yang dilakukan anak-anak dan menantu Presiden Soeharto, serta kolusi yang melibatkan lingkar dekat para sahabat dan kolega mereka.
Batas kekuasaan presiden runtuh bukan oleh musuh politik Pak Harto (yang sudah muncul sejak awal pemerintahannya di paruh terakhir tahun 1960-an dan selalu bisa diatasinya dengan berbagai cara represif), namun tersebab oleh ketidakmampuan sang presiden mengontrol tindak-tanduk anak-anaknya, sehingga krisis ekonomi 1997 – 1998 menjadi gong terakhir yang meluluhlantakkan kamuflase kemajuan ekonomi yang hanya bagus di atas kertas namun terjadi sebaliknya di masyarakat luas.
Seberapa jauh batas kekuasaan seorang presiden diperkenankan? Secara teoritis: berdasarkan amanat konstitusi dan perkembangan sosial politik di masyarakat.
Profesor Brian Lowery, Guru Besar Stanford GSB (Graduate School of Business) memberikan penjelasan metaforis tentang kekuasaan. “Anda bayangkan kekuasaan sebagai api. Bisa berguna, bisa juga sangat berbahaya.”
Dalam bahasa sehari-hari, majas Lowery bisa diparafrase begini. “Anda bayangkan kekuasaan sebagai api. Bisa dipakai untuk kegiatan bermanfaat seperti memasak, bisa juga membuat rumah Anda dan rumah tetangga terbakar habis.”
Ekonom-diplomat sohor John Kenneth Galbraith—pernah menjadi Dubes AS di India (1961 – 1963) selain penulis produktif–dalam The Anatomy of Power (1983) membagi jenis kekuasaan ke dalam ‘Tiga C’, yaitu kekuasaan yang diberikan berdasarkan paksaan (Condign); kekuasaan yang diberikan sebagai ganjaran prestasi (Compensatory); dan kekuasaan yang diberikan berdasarkan lobi dan persuasi (Conditioned).
Sebagai ilustrasi George Herbert Walker Bush (Presiden AS ke-41, masa jabatan 1989 – 1993) dan anaknya George Walker Bush (Presiden AS ke-43, masa jabatan 2001 – 2009) yang lebih dulu menjadi Gubernur Texas (1995 – 2000) setelah ayahnya George H.W. Bush lengser sebagai presiden. Tidak sedang berkuasa di Gedung Putih.
Sang ayah sudah meninggalkan jabatan presiden dua tahun sebelum sang anak menjadi gubernur. Apalagi saat George W. Bush menjadi presiden di awal abad 21, ayahnya sudah satu windu (delapan tahun) tak menjadi POTUS (President of The United States).
Pola hubungan ayah-anak sebagai sesama Presiden AS yang terjadi pada Keluarga Bush ini merupakan peristiwa kedua dalam sejarah domestik AS. Peristiwa pertama terjadi pada Keluarga Adams.
Salah seorang Bapak Bangsa AS, John Adams, menjadi Presiden ke-2 AS (masa jabatan 1797 –1801) dan anaknya John Quincy Adams menjadi Presiden ke-6 (masa jabatan 1825 – 1829) atau berselang 24 tahun setelah John Adams turun dari tampuk pemerintahan di Gedung Putih.
John Quincy Adams sang anak, sebelum menjadi Presiden AS lebih dulu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri era Presiden James Monroe selama dua periode pemerintahan (1817 – 1825).
Itu artinya, baik kekuasaan yang didapatkan kedua anak (George W. Bush dan John Quincy Adams) merupakan tipe ‘ Compensatory Power’ atas prestasi dan meritokrasi mereka sendiri karena didapatkan saat ayah mereka (George H.W. Bush dan John Adams) sudah tidak lagi menjadi Presiden AS. Tidak menjadi Panglima Militer Tertinggi.
Fakta historis yang sangat penting ini terlewatkan (atau memang sengaja dilupakan?) oleh para pendukung keberlangsungan jabatan kekuasaan ayah-anak, ketika sang ayah masih memegang tampuk kepemimpinan dengan kontrol terhadap organ-organ pemerintahan yang entah sungkan atau takut, kemudian memberikan kesempatan berkuasa kepada sang anak.
Jika karena sungkan, maka kekuasaan sang anak menjadi ‘Conditioned Power’, sementara jika karena takut, maka kekuasaan sang anak menjadi ‘Condign Power’.
Dari perspektif yang diperkenalkan Galbraith berdasarkan pengalamannya selama lebih dari 50 tahun itu (dia wafat dalam usia 98 tahun pada 2006), bisa disimpulkan bahwa ‘Compensatory Power‘ tidak melanggar batas kekuasaan presiden, sedangkan ‘Conditioned Power’ dan ‘Condign Power) yang terjadi saat seorang ayah memegang kekuasaan sebagai presiden dan melonggarkan peraturan bagi anaknya, jelas melanggar batas kekuasaan.
Sulit membayangkan seorang anak yang mendapatkan jabatan tinggi ketika sang ayah sedang menjadi presiden, semata-mata dengan pendalilan yang terkesan demokratis padahal sesungguhnya naif seperti ‘anak seorang presiden pun harus punya kesempatan sama di depan hukum untuk jabatan-jabatan publik’.
Ini sebuah ilusi sekaligus fallacy yang dipaksakan hanya sebagai justifikasi jangka pendek. Bukan dalam perspektif merawat pilar demokrasi jangka panjang bagi sebuah bangsa.
Para psikolog memperkenalkan konsep ‘Kondisi Bertentangan Kekuasaan (The Paradox of Power), yakni kondisi ketika sifat-sifat seorang pemimpin yang sangat membantunya mengumpulkan kendali kekuasaan dan karisma di awal kemudian, sebelum hilang perlahan begitu naik ke tampuk kekuasaan.
Alih-alih bersikap sopan, jujur, dan mudah bergaul, mereka justru menjadi impulsif, ceroboh, dan kasar. Ini merupakan kesimpulan eksperimen dan pengamatan Psikolog Adam Galinsky dari Northwestern University, AS
Lebih lanjut Galinsky menjelaskan bahwa masalah utama dengan pemimpin yang menjadi otoritas baru adalah mereka menjadi kurang bersimpati terhadap kesulitan, emosi, dan penderitaan orang lain.
Hasil penelitian juga menunjukkan mereka yang memiliki otoritas lebih tinggi lagi cenderung akan mengandalkan stereotip dan generalisasi ketika menilai orang lain, termasuk terhadap orang-orang yang pernah mendukung mereka naik ke tampuk jabatan.
Sisi lain yang lebih substantif dari Paradoks Kekuasaan disampaikan Michel Foucault bahwa kekuasaan bisa sangat memengaruhi cara seseorang berpikir.
“Ketika kita menaiki tangga status (kekuasaan), argumen batin kita menjadi melenceng dan simpati alami kita terhadap orang lain hilang. Sehingga daripada memikirkan dan mengkhawatirkan dampak tindakan kita, kita terus saja bertindak sesuai keinginan. Kita merasa berhak mendapatkan apa pun yang kita inginkan sebagai penguasa,” ungkap Foucault. “Dan betapa beraninya mereka menolak. Apakah mereka tidak tahu siapa kita?”
Dengan kata lain, dalam pandangan seorang pemimpin, kekuasaan bisa menjadi tak ada batasnya. Terutama jika hal itu menganggu keinginannya.
Pada titik ini perkataan Bung Karno menjadi sangat penting diresapi oleh siapa pun pemegang kekuasaan. “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Jika diabaikan dan sejarah berulang (l’histoire se répète), jangan kelak berdalih belum pernah ada yang mengingatkan. Sebab, Bung Karno sudah menyampaikan 56 tahun silam, dan membuktikan dengan akhir hidupnya sendiri yang menyayat hati.*/Cibubur, 22 Oktober 2023
Penulis adalah sosiolog dan penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 bidang Sastrawan/Budayawan Nasional, serta National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional SATUPENA
Oleh: Akmal Nasery Basra
HIDAYATULLAH