Ketika Cinta Rasulullah Bertepuk Sebelah Tangan

Perjalanan rumah tangga Rasulullah dengan Khadijah menjadi salah satu kisah cinta paling romantis sepanjang masa. Namun, meski sangat mencintai Khadijah, perempuan mulia itu ternyata bukan cinta pertama Rasulullah. Lalu siapakah perempuan yang mampu membuat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam jatuh hati untuk kali pertama?

Fakhitah, nama perempuan itu. Putri pamannya, Abu Thalib sekaligus sepupunya itulah yang menjadi cinta pertama Rasulullah. Saat berusia 20 tahun atau lima tahun sebelum menikahi Khadijah, Rasulullah sempat melamar Fakhitah. Namun harapannya bersanding dengan sang sepupu untuk membangun rumah tangga tak terwujud.

Lamarannya ditolak pamannya sendiri, Abu Thalib. Sang paman ingin menikahkan putrinya yang kemudian dipanggil Umm Hani itu kepada pria dari silsilah keluarga Aminah, ibu Rasulullah.

Dikutip dari buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik karya Martin Lings, Umm Hani merupakan putri dari paman Rasulullah, Abu Thalib. Rasa cinta tumbuh di hati Muhammad muda. Kemudian Muhammad saat itu memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya.

Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani.

Hubayrah bukan saja seorang pria yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi kekuasaan Bani Makhzum di Mekkah demikian meningkat seiring dengan merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrah-lah Abu Thalib menikahkan putrinya, Umm Hani.

“Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi (Aminah), maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka,” kata Abu Thalib dengan lembut kepada Muhammad muda.

Abu Thalib menjelaskan keputusannya menikahkan Umm Hani dengan Hubayrah demi menjaga hubungan baik kedua kabilah, sesuai tradisi arab kala itu. Dengan berlapang dada, Muhammad muda menerima penolakan paman yang amat dicintainya.

Meski ditinggal menikah oleh perempuan yang dicintainya, Muhammad muda tak lantas terus larut dalam kesedihan. Seorang saudagar perempuan terkaya di Mekkah, Khadijah dari Suku Asad, diam-diam memerhatikan Muhammad. Caranya mendekati Muhammad sangat elegan. Khadijah menjadikan Muhammad sebagai mitra kerja yang mendagangkan hartanya. Khadijah memilihnya karena nama Muhammad telah dikenal di penjuru Mekkah sebagai Al-amin, orang yang terpercaya, yang dapat diandalkan, jujur.

Khadijah yang tertarik kepada Muhammad kemudian melamarnya, meskipun ia lebih tua 15 tahun dari pemuda yang kelak menjadi nabi dan rasul terakhir. Pernikahan mereka sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan, meskipun bukan berarti tidak pernah sedih atau merasa kehilangan. Selain berperan sebagai istri yang baik, Khadijah juga menjadi sahabat bagi suaminya, tempat berbagi suka cita hingga pada tingkat yang luar biasa.

Bersama Khadijah, Rasulullah memiliki enam anak, dua putra dan empat putri. Putra sulungnya diberi nama Qasim, yang meninggal sebelum berusia dua tahun. Berikutnya seorang putri bernama Zaynab, disusul dengan tiga putri lainnya yaitu Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fathimah. Dan yang terakhir seorang putra lagi yaitu Abdullah, yang juga tidak berusia panjang.

Pada tahun 619 Masehi, Rasulullah merasa kehilangan besar atas kematian istrinya, Khadijah. Khadijah kira-kira berusia 65 tahun, sedangkan Rasullullah shalallahu alaihi wassalam berusia 50 tahun. Mereka telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Khadijah bukan hanya istri Rasulullah, tetapi juga sahabat dekatnya, penasihatnya, dan ibu seluruh keluarganya.

Keempat putrinya dirundung perasaan duka cita, tetapi Rasulullah menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa Jibril baru saja datang kepadanya, mengucapkan selamat dan mengatakan, “Allah telah menyiapkan tempat tinggal baginya (Khadijah) di surga.”

Saat Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, Fakhitah menjadi pengikutnya. Keputusan memeluk Islam membuat Fakhitah berpisah dengan suaminya, Hubayrah yang enggan masuk Islam. Ketika sudah menjadi janda, Fakhitah mengurus empat anaknya sendirian.

Setelah ditinggal wafat Khadijah, Rasulullah sempat kembali melamar sepupunya tersebut. Cinta pertamanya. Namun, Rasulullah kembali ditolak. Jika dulu pamannya yang menolak, kini Fakhitah yang menolak lamaran Rasulullah.

“Wahai Rasulullah tidak ada wanita yang tak ingin menjadi istrimu, begitu pula denganku, aku memiliki banyak anak, jika aku menikah denganmu aku bingung aku harus memilih berat ke mana. Kalau aku berat kepada suami, aku takut menelantarkan anak-anakku yang masih kecil, dan jika aku berat kepada anak aku takut zalim kepada hak suamiku. Daripada aku menjadi orang yang zalim jadi Rasulullah, maaf saya tidak bisa menerima lamaranmu.”

Berdoa Tanpa Usaha, Bohong, Usaha tak Doa Sombong

BERDOA tanpa usaha sama artinya dengan bohong. Berusaha tanpa berdoa artinya sombong.

Keduanya saling melengkapi aagar terpenuhi harapan diri. Tak akan kecewa hati karena keinginan tercukupi.

Doa adalah permohonan, pengharapan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Doa itu intinya adalah ibadah, doa adalah senjata, doa adalah obat, doa adalah pintu segala kebaikan.

Dengan banyak berdoa banyak urusan terselesaikan, banyak kesempitan terlapangkan, banyak masalah akan teruraikan. Doa yang utama kala kita memperbanyak tilawah Alquran.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda: Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman:

“Barang siapa yang sibuk membaca Alquran dan zikir kepada Ku dengan tidak memohon kepada Ku, maka ia Aku beri sesuatu yang lebih utama dari pada apa yang Aku berikan kepada orang yang meminta”.

Kelebihan firman Allah atas seluruh perkataan seperti kelebihan Allah atas seluruh makhlukNya”. (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).

Dalam sebuah kisah, Muhammad Bin Qais mengatakan:

“Diberitahukan kepadaku bahwa ketika seorang bangun pada malam hari untuk mengerjakan salat Tahajjud, maka berkah dari Surga akan diturunkan untuknya. Para malaikat akan turun untuk mendengarkan lantunan bacaan Alqurannya.

Mereka berada di rumah tersebut serta semua makhluk yang ada di atmosfer ini akan mendengarkan bacaannya. Ketika dia telah menyelesaikan salat dan duduk untuk berdoa, maka para malaikat akan mengelilinginya dan membaca aamiin untuk doanya tersebut.

Setelah dia selesai mengerjakan salat tahajjud dan beristirahat, maka akan ada seruan yang ditujukan padanya, ‘seorang hamba yang telah melaksanakan ibadah dengan baik tidur dengan penuh kenikmatan”

Apapun persoalan hidup kita, apakah kita sedang bahagia atau sedih, tetaplah berdoa kepada Allah. Jangan pernah berhenti memanjatkan doa kepada Allah, karena doa adalah masa depan kita. Doa adalah kekuatan kita, doa adalah senjata kita.

Perhatikan ada-adab berdoa, dan bersabarlah menunggu dikabulkan-Nya. [Ustazah Rochma Yulika]

 

 

INILAH MOZAIK

Laba-Laba dan Risalah Islam

Laba-laba menjadi makhluk yang memiliki torehan sejarah tersendiri dalam risalah Islam. Allah SWT pernah memerintahkan seekor laba-laba untuk menyelamatkan Nabi Muhammad SAW dari kejaran kaum kafir.

Peristiwa itu terjadi di salah satu gua di Jabal Tsur saat Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar hendak berhijrah dari Makkah ke Madinah. Saat itu, Nabi Muhammad dan Abu Bakar tengah diburu oleh orang-orang Quraisy yang hendak membunuhnya. Nabi dan Abu Bakar pun tiba di sebuah gua, kemudian bersembunyi di dalamnya.

Peristiwa tersebut diabadikan dalam Alquran, tepatnya di surah at-Taubah ayat 40. Ayat itu berbunyi, “Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrik Makkah) mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’. Maka, Allah menurunkan ketenangannya kepadanya (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang tidak kalian lihat dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah mahaperkasa lagi mahabijaksana.”

Setelah itu, Allah memerintahkan seekor laba-laba untuk membuat sarang di mulut gua. Kendati mulut gua tersebut sempat diterawang oleh kaum kafir Quraisy,  mereka tidak dapat melihat keberadaan Nabi Muhammad dan Abu Bakar di dalamnya. Menurut mereka, adanya sarang laba-laba menjadi penanda bahwa tidak ada orang yang masuk ke dalam gua. Selama tiga hari Nabi Muhammad dan Abu Bakar bersembunyi di gua Tsur. Dua sahabat itu akhirnya berhasil lolos dari kejaran kaum kafir yang hendak membunuhnya.

Laba-laba merupakan salah satu binatang yang tertera dalam Alquran. Nama makhluk yang satu ini bahkan, dipilih untuk menjadi tajuk sebuah surah, yakni al-Ankabut (laba-laba).  Kata laba-laba, dalam surah al-Ankabut muncul pada ayat ke-41. Ayat tersebut berbunyi, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah SWT adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.”

Prof Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan, ayat di atas menyamakan kaum musyrikin yang menjadi berhala-berhala sebagai pelindung dengan laba-laba yang membuat sarang sebagai pelindung. Sarangnya sangat lemah. Namanya saja rumah atau sarang. Padahal, ia sama sekali tidak melindungi dari sengatan panas dan dingin. Sedikit gerakan akan membuat sarang itu  porak poranda. Sama dengan berhala yang namanya diberikan oleh kaum musyrikin sebagai tuhan-tuhan. Padahal, mereka merupakan benda yang lemah.

Terlepas dari maknanya, secara sains, jaring laba-laba sebenarnya dianggap memiliki kekuatan dan daya elastis yang luar biasa. Sejumlah ahli zoologi menilai bahwa benang laba-laba lebih tahan lama dan elastis dibandingkan fiber terkuat buatan manusia. Namun, Allah SWT justru menyebut sarang atau jaring laba-laba adalah materi yang lemah dan rapuh.

Penulis kenamaan Mesir, Musthafa Mahmud menyatakan,  benang laba-laba yang kuat berbeda setelah dia sudah membentuk jaring. Ayat di atas menyatakan bahwa jaring atau sarang laba-laba merupakan selemah-lemahnya rumah meski dibuat dari benang yang kuat. Faktanya, seperti dikatakan Prof Quraish Shihab, kita bisa dengan mudah menghancurkan sarang laba-laba dengan sekali sentuhan.

Karena itu, ayat tersebut merupakan perumpamaan yang dibuat Allah SWT untuk menggambarkan kondisi kaum musyrik. Sebab mereka mengambil dan menyembah tuhan selain Allah SWT dan mengharapkan pertolongan dan kemurahan rezeki darinya. Keadaan kaum musyrik, menurut Allah SWT, tak ubahnya seperti sarang atau rumah laba-laba yang lemah dan rapuh. Oleh karena itu, bila mereka mengetahui dan menyadari keadaannya, tentu mereka tidak akan meminta pertolongan, selain kepada Allah SWT.

Surah al-Ankabut ayat 41 merupakan sebuah perenungan yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang berilmu dan senantiasa bertawakal kepada-Nya. Walaupun di surah al-Ankabut ayat 41 rumah atau sarang laba-laba disebut sebagai materi yang rapuh dan lemah, Allah SWT justru memerintahkan seekor laba-laba untuk membuat sarang guna melindungi Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar dari kejaran kaum kafir. Hal itu menandakan bahwa Allah SWT memiliki kuasa terhadap segala ciptaan-Nya. Yang lemah dan rapuh dapat Dia kuatkan, begitupun sebaliknya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tiga Cara Allah Kabulkan Doa

DENGAN sifat-Nya yang Agung, Allah akan senantiasa mengabulkan doa setiap hamba-Nya. Ada sebuah hadis yang menyampaikan dengan indah bahwa Allah mengabulkan doa dengan tiga cara: 1) Allah mengabulkan secara langsung doa yang dipanjatkan; 2) Allah menunda untuk mengabulkan doa tersebut; 3) Allah menggantikan doa tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.

Meski demikian, pernahkan kita merenung mengapa doa-doa kita tidak kunjung diijabah? Allah sungguh Maha Penyayang yang sangat mengerti keinginan setiap hamba-Nya. Namun, hendaknya tidak dikabulkannya doa juga menjadi bahan untuk muhasabah. Kisah pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib berikut ini insya Allah akan melimpahkan banyak hikmah yang dapat mengingatkan kepada kita tentang sebuah doa.

Dikisahkan pada masa Bani Israel, ada sepasang suami istri yang selalu berdoa kepada Allah swt, agar mereka segera dikaruniai seorang buah hati. Hingga tahun kelima yang sedih karena merasa Allah telah menjauh darinya bertanya kepada Khalifah Ali yang kebetulan sedang memberikan khutbah. “Ya Amirul Mukminin, mengapa doa kami tak diijabah? Padahal Allah swt berfiman bahwa berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan doamu.”

Ali bin Abi Thalib balik bertanya, “Apakah engkau sudah menjaga pintu-pintu doamu?”

Sang suami mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti ucapanmu, wahai Amirul Mukminin.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan melaksanakan kewajibanmu sebagai hambaNya? Kau beriman kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya. Apakah kau menjaga pintu doamu dengan beriman kepada Rasulullah? Kau beriman kepada Rasul-Nya, tetapi kau menentang sunah dan mematikan syariatnya.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan mengamalkan ayat-ayat Alquran yang kau baca? Ataukah kau juga belum sadar tatkala mengaku takut kepada neraka, tetapi kau justru mengantarkan dirimu sendiri ke neraka dengan maksiat dan perbuatan sia-sia? Ketika kau menginginkan surga, sebaliknya kau lakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari surga,” Tanya Ali bin Abi Thalib bertubi-tubi. “Apakah kau telah menjaga pintu doamu dengan bersyukur kepada-Nya saat Dia memberikan kenikmatan? Sudahkah engkau memusuhi setan atau malah sebaliknya kau bersahabat dengan setan? Apakah kau pernah menjaga pintu doamu dari menjauhi mencela dan menghina orang lain?” lanjut sang khalifah.

Sang suami terdiam mendengarnya. Khalifah Ali kembali berucap, “Bagaimana doa seorang hamba akan diterima sementara kau tidak menjaga, bahkan menutup pintu doa tersebut? Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah amalanmu, ikhlaskanlah batinmu, lalu kerjakanlah amar makruf nahi munkar. Insya Allah, Dia akan segera mengabulkan doa-doamu.” [An Nisaa Gettar]

INILAH MOZAIK

Antusias Ulama dalam Membaca Buku

ADA rahasia menarik yang menjelaskan mengapa ulama-ulama Islam tempo dulu begitu produktif dalam kepenulisan. Salah satunya adalah mereka memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Hal itu dilakukan bukan saja saat luang, bahkan ketika dalam menghadiri undangan, saat sedang berjalan bahkan sakit pun disempatkan untuk membaca buku.

Kisah-kisah inspiratif itu bisa dibaca dalam buku Abdul Fattah Abu Ghaddah yang berjudul “Qīmah al-Zamān ‘Inda al-Ulamā” (1988). Sosok kenamaan seperti Tsa’lab, Imam Nawawi, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Malik, Adz-Dzahabi dan lain sebagainya, disebutkan sebagai ulama yang ‘gila baca’ buku.

Di antara mereka ada yang tidak pernah lepas dari buku. Ahmad bin Yahya asy-Syaibani yang lebih dikenal dengan Tsa’lab (200-291 H) tidak pernah terpisah dari buku ajarnya. Ulama yang dikenal ahli dalam bahasa Arab ini ketika diundang untuk menghadiri acara, beliau memberi syarat agar di depan tempat duduknya disediakan semacam meja untuk membaca buku. Beliau tidak mau waktunya terbuang sia-sia.

Kabarnya, yang cukup mengharukan, sebab wafatnya beliau adalah saat membaca buku di jalan. Waktu itu, pendengarannya agak terganggu. Ketika ada kendaraan kuda lewat, ia sama sekali tak mendengarnya hingga tertabrak dan terpental jatuh ke suatu lubang. Ketika diangkat kondisinya tak sadar. Beliau sempat mengeluhkan sakit kepala. Kemudian, hari kedua pasca kecelakaan beliau meninggal dunia.

Imam al-Khathīb al-Baghdady pun demikian. Saat sedang berjalan dia tak lupa memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Ulama pakar Nahwu seperti Abu Yusuf Ya’qub bin Kharzad al-Nujayrimy juga melakukan hal yang sama. Dikisahkan bahwa beliau saat berjalan menuju Qarafah, ia memegang buku. Perjalanannya diisi dengan membaca buku.

Ketika para ulama tak mampu atau berkesempatan membaca secara langsung, maka mereka meminta untuk dibacakan buku. Imam Adz-Dzabi dalam buku “Tadzkirah al-Huffādz” menceritakan kisah menarik terkait Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahāny. Ulama pakar hadits dan sejarah itu sangat hobi membaca buku. Setiap hari ada orang yang membacakannya buku hingga menjelang zuhur. Saat pulang ke rumah pasca zuhur pun beliau juga dibacakan buku. Menariknya, beliau sama sekali tidak bosan mendengarnya.

Lebih menarik dari itu, kakek Ibnu Taimiyah, Majduddin Abu al-Barakat ketika memasuki toilet (WC), dia meminta pada anaknya (ayah Ibnu Taimiyah), “Bacakanlah untukku pada halaman ini dan keraskan suaramu supaya aku bisa mendengar.” Luar biasa, bahkan di tempat pembuangan hajat pun beliau tidak mau ketinggalan menyerap ilmu dari buku dengan cara dibacakan oleh anaknya.

Sementara itu, ulama lain seperti Ibnu Malik (Ulama Pakar Nahwu) membagi kegiatannya jika tidak shalat, membaca, menulis, maka selebihnya untuk membaca buku. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat disiplin dalam menjaga waktunya. Kabarnya, di saat-saat menjalang ajal pun beliau gunakan untuk menerima ilmu. Suatu hari, beliau bersama sahabat-sahabatnya sedang melakukan safar. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, segera ia menyingkir dari mereka tanpa disadari oleh mereka. Setelah dicari ke sana kemari, rupanya beliau sedang asyik bercengkrama dengan buku.

Pembaca mungkin juga tidak asing dengan sosok ulama kenamaan Ibnu Jauzy. Beliau dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam menulis buku. Seleranya untuk membaca buku sedemikian tinggi. Ia tidak pernah merasa kenyang dalam menelaah buku. Ketika beliau menjumpai buku yang belum pernah dilihat, maka seolah-olah sedang menemukan harta karun.

Imam besar lain seperti An-Nawawi juga sangat antusias dalam membaca buku. Abu Hasan al-Aththar (salah seorang muridnya) memberi kesaksian bahwa Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya baik beriring penjelasan maupun koreksi.

Bahkan dari figur Syeikh Ibnu Taimiyah pun, pembaca bisa menemukan semangat yang sama dalam membaca buku. Beliau ini dikenal sebagai ulama yang produktif menulis dan cepat. Dikisahkan bahwa untuk menulis bantahan pada orang-orang pakar manthiq (logika) Yunani, beliau selesaikan dari bakda zuhur hingga ashar. Tidak mengherankan karena beliau adalah orang yang suka baca buku.

Ketika ditanya mengenai produktifitasnya dalam menulis buku, adalah karenah beliau tidak pernah terpisah dari menelaah, membaca dan membicarakan ilmu baik ketika sakit maupun bepergian. Ibnu Qayyim dalam buku “Raudhah al-Muhibbin” bercerita bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah sakit. Oleh dokter disarankan agar mengurangi kegiatannya dalam bidang keilmuan dan membaca buku karena itu bisa memperparah sakit.

Apa jawaban Ibnu Taimiyan? Katanya, “Aku tak kuat menahan diri dari itu. Sekarang aku tanya berdasarkan keilmuanmu: bukankah kalau jiwa gembira maka berpengaruh positif pada kekuatan tabiat (kesehatannya)?” “Betul,” dokter. “Demikian juga aku. Aku sangat senang dan gembira dengan ilmu, aku merasa kuat dan rileks dengannya,” ujar Ibnu Taimiyah. Kata dokter, “Berarti ini di luar pengotan kami.”

Itulah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa ulama sangat antusias dalam membaca buku. Dan itu juga sebagai salah satu jawaban atas produktifitas mereka dalam bidang kepenulisan. Demikianlah para ulama. Mereka bisa produktif menulis dan berbagi ilmu kepada umat karena mereka punya bahannya, yang salah satunya diperoleh dengan rajin membaca buku. Sebab, kalau sekiranya mereka tak punya bahan, bagaimana bisa menulis dan berbagi ilmu. Seperti ungkapan Arab “Fāqidu asy-Syai` lā yu’thīhi” (orang yang tidak punya sesuatu, maka tak mungkin bisa memberi orang lain sesuatu).*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Kisah Ashabul Ukhdud, Rasulullah Baca Taawuz, Mengapa?

Betapa banyak kisah yang mengandung hikmah untuk memperkuat keimanan dan ketakwaan. Salah satunya tentang Ashhabul Ukhdud, yakni sekelompok rakyat pada masa pra-Islam yang beriman kepada Allah SWT.

Hanya karena meyakini ajaran tauhid, mereka mengalami penyiksaan luar biasa. Penguasa setempat menghempaskan kaum tersebut, entah laki-laki, perempuan, tua maupun muda, ke dalam parit yang dibakar.

Orang-orang keji itulah yang dinamakan oleh Alquran sebagai Ashhabul Ukhdud. Peristiwa ini diabadikan dalam surah al-Buruj dan sebuah hadits panjang riwayat Imam Muslim (no. 3005).

Para martir dalam kisah itu menolak tunduk di hadapan raja yang gemar mendewakan diri. Seluruhnya lalu dibakar dalam kondisi masih bernyawa. Hadits di atas menyebutkan, di antaranya bahkan terdapat seorang ibu yang menggendong bayinya.

Perempuan ini sempat takut ketika diperintahkan si raja untuk masuk ke dalam kobaran api. Namun, anaknya yang masih dalam buaian, atas izin Allah SWT, berkata kepadanya, “Duhai, Ibu, bersabarlah, karena engkau sesungguhnya di atas kebenaran.”

Mengutip Tafsir al-Mishbah karya M Quraisy Shihab, banyak ulama menyatakan bahwa orang-orang yang disiksa Ashhabul Ukhdud merujuk pada sekelompok kaum beriman yang memeluk agama Nasrani di Najran. Kota tersebut kini terletak di suatu lembah perbatasan antara Arab Saudi dan Yaman.

Peristiwa pembakaran yang dimaksud terjadi kira-kira pada 523 M. Jaraknya hampir setengah abad menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu, tidak mengherankan bila kisah ini cukup populer di kalangan penduduk jazirah Arab, termasuk Makkah.

Ketika nama Ashhabul Ukhdud disebutkan kepada para sahabat, Rasulullah SAW mengucapkan taawuz. Beliau SAW memohonkan perlindungan kepada Allah SWT untuk umatnya, mengingat besarnya ujian yang dialami kaum Nasrani tersebut. Diharapkannya pula, para pengikutnya mencontoh kesabaran orang-orang beriman dari masa lalu ketika menghadapi segala gangguan dan tipu-daya kaum kafir Quraisy di Makkah.

Penyiksaan atas kaum Kristen Najran dilakukan dengan instruksi Yusuf bin Syarhabiil. Bangsa Arab menggelarinya Dzu Nuwaas.

Kata dzu dalam bahasa Arab berarti ‘pemilik’, sedangkan nuwaas adalah sebutan untuk hiasan khas Yahudi ortodoks yang berupa rambut keriting dan dipasang di dekat kedua telinga (payots [Ibrani]; sidelocks [Inggris]). Sirah Nabawiyah karya Ibn Hisyam sebagaimana diringkas Abdus-Salam M Harun (2000: 10) meriwayatkan kisah pemimpin bengis ini.

KHAZANAH REPUBLIKA

Baru Saja Masuk Islam, Apakah Harus Berganti Nama Islami?

Fenomena mengganti nama, ketika menyatakan masuk Islam, tak hanya terjadi pada era sekarang, tetapi juga pernah berlaku pada beberapa dekade lalu.

Mantan Syekh al-Azhar Syekh Jad al-Haq pada 1979 pernah mendapatkan pertanyaan serupa.

Mengutip Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, Syekh Jad al-Haq menjelaskan, mayoritas ulama sepakat Islam dan iman di sisi Allah SWT itu terpenuhi dengan pengucapan lisan, dibuktikan dengan tindakan. Ini maknanya bahwa syarat kesempurnaan berislam adalah dibuktikan dengan tindakan.

Sementara rukun Islam itu sebagaimana hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar RA.

Rasulullah bersabda, ”Islam didirikan atas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selan Allah SWT dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan puasa Ramadhan.”

Masuk Islam berarti mengucapkan kedua syahadat dan menyatakan bebas dari semua agama kecuali Islam.

Jika sebelumnya seorang Nasrani, begitu dia masuk Islam, dia harus lepas dari ikatan agama Nasrani dan bersaksi bahwa Isa AS adalah seorang nabi. Tidak ada syarat harus berikrar dengan bahasa Arab, bahasa apapun tetap sah-sah saja.

Dengan demikian, merujuk berbagai hadis nabi dan pendapat para ulama, Syekh Jad al-Haq berpendapat  mengubah nama Islam begitu masuk agama ini bukan syarat apapun.

Hanya saja memang, tradisi yang berlaku, bahwa agama seseorang itu bisa tampak secara lahir dari namanya.

Tradisi ini pun berlaku di tengah-tengah umat Islam. Tak hanya dalam Islam, nama-nama yang identik juga kerap dipakai bagai pemeluk agama Yahudi atau Kristen.

Dia menyarankan, yang lebih utama memang hendaknya mereka yang baru masuk Islam mengganti nama Islam karena ini termasuk salah satu identitas Islam. Di satu sisi, tradisi yang baik dalam Islam kedudukannya sendiri dalam hukum.

KHAZANAH REPUBLIKA

Rasulullah Sang Majikan Teladan

DALAM catatan sirah, Rasulullah ﷺ memiliki beberapa pembantu. Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam “Zādu al-Ma’ād” (1/113), menyebutkan beberapa pembantu nabi ﷺ di antaranya: Anas bin Malik (bagian melayani kebutuhan Rasulullah ﷺ), Abdullah bin Mas`ud (bagian pembawa sandal dan siwaknya), `Uqbah bin `Āmir al-Juhani (bagian pemandu keledainya), Asla` bin Syuraik (bagian urusan safari), Bilal (sebagai Mu`adzin), Sa`ad maula Abu Bakar, Abu Dzar al-Ghifari, Aiman bin `Ubaid (bagian menyiapkan tempat bersuci dan yang berkaitan dengannya).

Bagi yang membaca lembaran hayat Nabi, interaksi beliau bersama pembantu sangat mengesankan. Sebagai contoh, simak baik-baik pernyataan `Aisyah berikut ini, “Rasulullah tak pernah memukul sesuatu pun dengan tangannya, baik itu perempuan, maupun pembantu, melainkan dalam jihad (perang) di jalan Allah .” (HR. Muslim).

Sebuah kesaksian luar biasa yang menggambarkan kelembutan dan kasih sayang rasul ﷺ kepada pelayannya.

Sebagai tuan dari pembantunya, beliau ﷺ mengingatkan dengan cara yang baik dan tak pernah membentak.

Ini bisa dilihat dari kesaksian Anas bin Malik, “Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling indah budi pekertinya. Pada suatu hari beliau ﷺ menyuruh Anas untuk suatu keperluan. Ia pun menjawab: “Demi Allah, aku tidak mau pergi (seolah-olah Anas tidak mau melakukan perintah Rasulullah ﷺ, namun hal itu terjadi karena beliau masih kecil), akan tetapi dalam hatiku aku bertekad akan pergi untuk melaksanakan perintah Nabi kepadaku.”

Lalu akhirnya Anas pun pergi, hingga melewati beberapa anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba Rasulullah ﷺ memegang tengkuknya (leher bagian belakang) dari belakang.

Anas bercerita: “Lalu aku menengok ke arah beliau, dan beliau tersenyum.” Lalu kata beliau: ‘ Wahai, Anas kecil! Sudahkah engkau melaksanakan apa yang aku perintahkan?’ “Ya, saya akan pergi untuk melaksanakannya ya Rasulullah..” Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah, selama sembilan tahun aku membantu Rasulullah ﷺ, aku tidak pernah mengetahui beliau menegurku atas apa yang aku kerjakan dengan ucapan: “Mengapa kamu melakukan begini dan begitu.” ataupun terhadap apa yang tidak aku kerjakan, dengan perkataan: “Kenapa tidak kamu lakukan begini dan begini.” (HR. Muslim).

Interaksi luhur dengan pembantu juga bisa dilihat dalam nasihat beliau berikut yang ditujukan kepada Abu Dzar al-Ghifari, “Saudara-saudara kalian adalah budak dan pembantu kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan (kekuasaan) kalian. Maka barang siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (kekuasaannya), hendaklah ia memberinya makanan dari apa-apa yang dia makan, memberinya pakaian dari jenis pakaian apa yang dia pakai, dan janganlah kalian membebani (memberi tugas) mereka sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah mereka.”(HR. Bukhari).

Pada hadits itu dijelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan agar pelayan diperlakukan sama dengan majikannya. Sehingga, tidak ada yang namanya diskriminasi atau merendahkan profesi pembantu. Mereka –seperti halnya manusia lainnya- memiliki hak untuk memakai pakaian dan makanan yang layak.

Di samping itu, yang tak kalah penting adalah jangan membebaninya tugas di luar kemampuannya. Bahkan, terkait masalah gaji, beliau juga pernah mengingatkan:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)

Artinya, jangan sampai menyepelekan hak dari pesuruh, pembantu atau pekerja. Bila perlu, gaji segera diberikan sebelum keringatnya kering.

Lebih dari itu, Anas menceritakan, saat pembantu nabi ﷺ (anak Yahudi) sedang sakit, dengan cepat beliau ﷺ membesuknya. Beliau juga mendakwahkan Islam padanya. Dengan suka hati –di samping dukungan orang tuanya-, akhirnya pelayan tersebut masuk Islam. Demikianlah akhlak dan interaksi Nabi dengan para pembantunya (HR. Bukhari).

Sebagai tuan atau majikan, beliau mampu menunjukkan tauladan terbaik, sehingga menimbulkan kesan mendalam bagi pembantu-pembantunya sebagaimana Anas bin Malik dan lainnya. Maha Benar Allah yang berfirman dalam Kitab SuciNya:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤

“Dan sesungguhnya kamu(Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”(Qs. Al-Qalam: 4).

Dengan akhlak luhur, beliau sukses menjadi majikan teladan yang patut diteladani oleh semua manusia.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka

SEGALA puji bagi Allah yang telah mengumpulkan kita bersama keluarga kita. Sehingga ketenangan, kenyamanan, kebahagiaan kita dapatkan dalam keluarga kita.

Tentunya kita ingin keluarga kita kekal hingga surga kelak. Tidak terpisah di akhirat kelak. Maka menjadi tugas bagi kita, setiap kepala keluarga, untuk melindungi diri dan anggota keluarga dari api neraka.

Dikutip dari Ibnu Katsir, beberapa atsar salaf tentang ayat: “Quu Anfusakum Wa Ahlikum Naroo” (QS. At Tahrim: 6)

Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari seorang lelaki, dari Ali ibnu Abu Talib Radliyallahu ‘Anhu, beliau berkata “Makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka”.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata “Yakni amalkanlah ketaatan kepada Allah dan hindarilah perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta perintahkanlah kepada keluargamu untuk berzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kamu dari api neraka”.

Sedangkan Mujahid mengatakan, “Yaitu bertakwalah kamu kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah”.

Qatadah mengatakan, “Engkau perintahkan mereka untuk taat kepada Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadap-Nya. Dan hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau anjurkan mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk mengamalkannya. Dan apabila engkau melihat di kalangan mereka terdapat suatu perbuatan maksiat terhadap Allah, maka engkau harus cegah mereka darinya dan engkau larang mereka melakukannya”.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Muqatil, bahwa sudah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim mengajarkan kepada keluarganya baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya– hal-hal yang difardukan oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang dilarang oleh Allah yang harus mereka jauhi.

Hal ini selaras dengan sabda Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam yang memerintahkan agar setiap orangtua (terutama ayah) untuk menyuruh/memerintahkan anak-anaknya mendirikan sholat sedari kecil. Rasulullah bersabda, “Perintahkanlah kepada anak untuk mengerjakan salat bila usianya mencapai 7 tahun; dan apa apabila usianya mencapai 10 tahun, maka pukullah dia karena meninggalkannya” (HR. Abu Dawud).

Memelihara diri dan keluarga dari api neraka, sesuai perintah Allah ini, akan sangat berdampak positif bagi bukan hanya kehidupan pribadi dan keluarga, namun juga kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Yaitu apabila tiap kepala keluarga muslim yang ada di Indonesia menjunjung tinggi syariat Allah ini, niscaya semua keluarga muslim di negeri ini akan menjaga sholat mereka. Dan terwujudlah masyarakat Islami, bahkan bangsa dan negara islami. Yakni masyarakat atau bangsa yang mendirikan sholat dan menjaganya.

Melindungi diri dan keluarga dari api neraka tidak hanya dengan melaksanakan perintah Allah Azza Wa Jalla, juga dalam bentuk menjaga diri dan keluarga dari hal-hal yang diharamkan Allah Azza Wa Jalla. Dari aspek tauhid, ibadah, hingga akhlak atau adab terhadap lingkungan. Hendaknya setiap kita memerhatikannya.

Persiapkanlah diri dengan ilmu agama. Terutama ilmu yang kaitannya dengan fardhu ain, atau kewajiban yang dibebankan tiap jiwa. Dan mulailah dari Tauhid. Dengan memahami tauhid, InsyaAllah akan terhindar dari syirik. Kemudian ilmu tentang ibadah yang fardhu ain. Maka dengan ilmu yang kita pelajari dan kemudian pahami, kita bisa mendidik diri dan keluarga kita agar terhindar dari Neraka.

Semoga Allah kumpulkan kita bersama keluarga kita di surgaNya kelak yang kekal abadi. [Quraniy]

INILAH MOZAIK

Jangan Lalai

”Dan, tetaplah beri peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Adz-Dzariyat: 55).

Manusia adalah makhluk yang labil. Salah satu labilitas itu adalah sering lalai. Lalai terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap lingkungan, dan terhadap Tuhannya. Lalai memang manusiawi, tapi jika lalainya berkali-kali dan disengaja, ini sudah di luar batas kemanusiaan. Inilah lalai yang dilarang, yakni lalai berulang kali dan disengaja.

Dalam Alquran, Allah mengecam orang-orang lalai yang seperti itu, ”Sungguh kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yakni, mereka yang melalaikannya.” (QS Al-Ma’un: 4-5).

Manusia lalai berkali-kali dan sengaja setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, menganggap sesuatu sebagai tidak ada gunanya, tidak bermanfaat, tidak menguntungkan dirinya. Anggapan ini jelas keliru jika dikaitkan dengan sesuatu yang memang merupakan suatu kebaikan seperti yang diajarkan oleh agama.

Secara keseluruhan, agama selalu mengajarkan kebaikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Karena itu, jika ada suatu tindakan buruk yang diklaim berlandaskan agama, tindakan itu harus dipertanyakan.

Kedua, berpikir pragmatis dan parsial (setengah hati). Manusia memandang bahwa apa yang dilakukan adalah untuk saat ini. Itu pun untuk sesuatu yang dianggapnya memiliki keuntungan. Orang yang berpikir demikian tidak memikirkan apa yang terjadi hari esok. Dengan kata lain, ia melalaikan hari esok, hanya ingat hari ini.

Allah berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang akan dilakukannya untuk esok hari.” (QS Al-Hasyr: 18).

Lalai membuat orang tidak produktif dan progresif. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, ”Barang siapa menghisab dirinya, maka dia beruntung. Barang siapa lalai terhadap dirinya, dia merugi.” (Kitab Biharul Anwar).

Orang lalai memang akan selalu merugi, karena ia tidak mendapatkan apa-apa selain kalalaian itu. Ayat di atas menegaskan kepada setiap orang untuk tidak lalai karena akibat lalai yang sangat tidak membawa manfaat.

Lalai yang sering-sering tidak lagi manusiawi, tetapi merupakan penyakit akut yang harus diobati dengan peringatan yang berkali-kali. Peringatan ini disebut membawa manfaat yang itu artinya bahwa ingat itu jauh lebih membawa manfaat daripada lalai.

Jika manusia sudah lalai terhadap dirinya sendiri, maka krisis kemanusiaan sedang mengintipnya dan kehancuran tengah merayap mendekatinya. Bangsa ini harus segera sadar dan ingat dengan kondisi krisis yang tengah dihadapi. Jika tidak ingin jatuh ke lubang krisis yang sama atau tetap dalam krisis akibat kelalaian dari para pejabatnya. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Fajar Kurnianto

KHAZANAH REPUBLIKA