Antara Ilmu yang Diamalkan dan yang Tidak Diamalkan

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسوله، نبينا محمد وآله وصحبه

Ilmu memiliki kedudukan yang mulia dalam agama Islam. Ilmu merupakan cahaya yang menerangi seseorang dalam menjalani kehidupan ini. Dengan ilmu, seseorang menjadi jelas dalam menapaki jalan kebenaran yang mengantarkannya ke surga Allah Ta’ala. Menjadi jelas jalan-jalan kesesatan yang patutnya ia hindari. Seseorang dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat juga karena ilmu. Dan peribadatan kepada Allah Ta’ala tidak akan tegak, kecuali dengan ilmu. Oleh karenanya, Allah Ta’ala menuntut kita mendahulukan ilmu sebelum beramal,

فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوٰىكُمْ ࣖ

Ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu.” (QS Muhammad: 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syekh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majahno. 224)

Ilmu yang dimaksud dalam hadis di atas adalah ilmu agama, ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala.

Demikian pula, tujuan penciptaan langit dan bumi ini adalah agar seseorang dapat mengenal Allah Ta’ala,

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ

Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Thalaq: 12)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berdoa untuk meminta tambahan sesuatu, kecuali ilmu,

وَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا

Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” (QS. Thaha: 114)

Dalil-dali di atas menunjukkan keutamaan ilmu dan keagungannya.

Tujuan ilmu adalah amal

Ilmu yang dipelajari tidak akan bermanfaat jika seseorang tidak mengamalkannya. Tujuan mempelajari ilmu bukan sekedar pengetahuan dan wawasan saja, melainkan amal saleh.

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta jalan yang lurus dan berlindung dari 2 penyimpangan sikap terhadap ilmu. Yang pertama adalah beramal tanpa ilmu. Yang kedua adalah berilmu, namun tidak beramal. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)

“Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, maka mereka adalah yang dimurkai, berhak mendapat murka Allah Ta’ala, disebabkan oleh kelalaian mereka dalam mewujudkan tujuan dari ilmu, yaitu amal saleh. Dan barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka mereka adalah orang yang tersesat dari jalan Allah Ta’ala dan jalan yang lurus.” (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu, Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 13)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang rusak dari kalangan para ulama kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita, maka pada dirinya ada keserupaan dengan orang Nasrani.” (Iqtidha Sirathil Mustaqim, dikutip dari Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 14)

Orang Yahudi, mereka mengetahui dan mengenal Allah Ta’ala dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, namun tidak mau tunduk dan mengikuti. Sedangkan orang Nasrani adalah orang yang bersemangat dalam beramal, namun mereka tersesat karena tidak membangun amal tersebut di atas ilmu yang haq.

Seseorang tidak dapat menegakkan agama, kecuali dengan ilmu dan amal saleh. Karena dengan kedua hal itu, Allah Ta’ala utus Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 33)

Al-huda yakni ilmu yang bermanfaat, diinul haq yakni amal saleh. (Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin, hal. 11)

Sebab kita dimasukkan ke surga bukan sekedar karena ilmu yang kita ketahui, tetapi karena amal saleh,

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ࣖ

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 82)

Allah Ta’ala sebutkan iman dan amal saleh sebagai sebab masuk surga. Firman lainnya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Akibat ilmu yang tidak diamalkan

Di antara balasan yang diberikan Allah Ta’ala bagi yang tidak mengamalkan ilmu yang telah diamanahkan kepada seseorang adalah Allah Ta’ala hilangkan keberkahan dan Allah Ta’ala jadikan hatinya keras tidak dapat menerima hidayah. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka, kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah: 13)

“Disebabkan oleh pelanggaran janji yang mereka (bani Israil) lakukan, mereka dilaknat”, yakni dijauhkan dari kebenaran dan petunjuk. “Hati mereka menjadi keras”, maknanya yaitu tidak mampu mengambil pelajaran dari peringatan. وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ  maknanya, yaitu mereka meninggalkan beramal atas pesan dan peringatan  yang telah diberikan.” (Tafsir Ibnu Katsir)

“Melupakan janji kepada Allah Ta’ala yang telah diambil oleh para Nabi atas mereka untuk beriman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Al-Qurthubi)

Ayat ini menunjukkan bahwa meninggalkan amal akan mendatangkan laknat dari Allah Ta’ala. Selain itu, hati juga akan menjadi keras, tidak mampu menerima peringatan dan nasihat. Ketika hati keras dan tidak mendapat petunjuk, maka akan semakin menjauhkan seseorang dari Allah Ta’ala. Dan itu merupakan seburuk-buruk balasan di dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ لِمَ تُؤْذُوْنَنِيْ وَقَدْ تَّعْلَمُوْنَ اَنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْۗ فَلَمَّا زَاغُوْٓا اَزَاغَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku, padahal kamu sungguh mengetahui bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu?’ Maka, ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. As-Saff: 5)

Jika ilmu diamalkan

Allah Ta’ala akan menambahkan petunjuk bagi yang mengamalkan ilmunya. Dan Allah Ta’ala juga akan memberikan ketakwaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ

Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” (QS. Muhammad: 17)

“Orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang Allah Ta’ala anugerahi kepada mereka untuk mengikuti petunjuk. Hati mereka lapang dengan keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Mereka menjadi orang yang senantiasa mendengarkan (petunjuk) Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Ath-Thabari)

“Maka, Allah akan زَادَهُمْ هُدًى وَّاٰتٰىهُمْ تَقْوٰىهُمْ yakni tambahkan keimanan atas iman mereka. Allah Ta’ala berikan ketakwaan kepada para muhtadin (orang yang mengikuti petunjuk).” (Tafsir Ath-Thabari)

Ayat ini berkenaan dengan orang munafik yang disebutkan pada surah Muhammad ayat 16, di mana kaum munafik tersebut hadir dalam khotbah-khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di hari Jumat. Namun, ketika mereka keluar dari majelis tersebut, mereka bertanya kepada para sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Apa yang telah dikatakan Muhammad?” Mereka adalah orang yang mendengar, namun tidak dapat memahami. Hati mereka telah ditutup sehingga tidak mampu memahaminya.

Adapun orang beriman dan bertakwa, Allah Ta’ala tambahkan ketakwaan dan Allah Ta’ala ilhamkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Imam Al-Fakhr rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa orang munafik itu mendengar (seruan Rasul), namun tidak memberi manfaat. Menyimak, namun tidak mendapat faedah. Adapun orang beriman al-muhtadi (yang mendapat petunjuk), mereka mendengarkan dan memahaminya, kemudian beramal dengannya. Sehingga hal ini membantah uzur orang munafik yang mendengar, namun tidak memahami apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Tafsir Shafwah Tafasir)

Ditambahkannya petunjuk, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala tambahkan petunjuk (pendapat Rabi’ bin Anas).

Kedua: Mereka mengetahui apa yang mereka dengar dan mengamalkan apa yang mereka ketahui (pendapat Adh-Dhahak).

Ketiga: Allah Ta’ala tambahkan ilmu agama dan tunduk kepada perintah Nabinya (pendapat Al-Kalbi).

Keempat: Allah Ta’ala lapangkan hati mereka atas keimanan yang mereka yakini.

Ditambahkannya ketakwaan, maksudnya antara lain (Tafsir Qurthubi),

Pertama: Allah Ta’ala hadirkan rasa takut (pendapat Ar-Rabi’).

Kedua: Balasan ketakwaan di akhirat kelak (pendapat As-Suddi).

Ketiga: Allah Ta’ala beri taufik untuk beramal dengan amalan yang diwajibkan (pendapat Muqatil).

Keempat: Allah Ta’ala jelaskan kepada mereka apa yang perlu mereka jauhi (pendapat Ibnu Ziyad dan As-Suddi).

Kelima: Meninggalkan mansukh dan beramal dengan an-nasikh (pendapat ‘Athiyah dan Al-Mawardi).

Keenam: Meninggalkan kemudahan dan beramal dengan sungguh-sungguh.

Demikian. Semoga bermanfaat.

***

Penulis: dr. Abdiyat Sakrie, Sp.JP, FIHA

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/85666-antara-ilmu-yang-diamalkan-dan-tidak-diamalkan.html

Teladan Fatimah Az-Zahra Menjadi Seorang Ibu

Berikut ini kisah teladan Fatimah Az-Zahra menjadi seorang ibu. Fatimah Az-Zahra bukan saja manifestasi kelembutan dan kasih sayang seorang istri, namun beliau juga merupakan manifestasi kelembutan dan kasih sayang seorang ibu. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah seorang yang haniyah, yaitu seorang perempuan yang sangat mengasihi, menyayangi dengan lembut terhadap suami dan anak-anaknya.

Beliau juga mewasiatkan kepada Ali agar senantiasa lembut dan baik terhadap anak-anaknya. Bernazar demi kesembuhan putra-putrinya, bermain, membaca kisah-kisah dan syair-syair untuk putra-putrinya. Mengadakan perlombaan dan mengajari cara penilaian yang terbaik.

Suatu hari, Rasulullah Saw menyuruh Hasan dan Husein untuk berlomba menulis. Barangsiapa yang tulisannya bagus maka dialah yang menang. Hasan dan Husein kemudian menulis, setelah menulis, mereka kemudian menyerahkan tulisannya untuk dinilai oleh sang kakek. Namun, Rasulullah tidak memberikan penilaian, tetapi mereka berdua dikirim ke ibunda mereka untuk memberikan penilaian, karena Fatimah tidak ingin mengecewakan anaknya.

Akhirnya, terbersit suatu ide dari Fathimah, beliau berkata, “Wahai putra-putriku sayang, ibu akan melepaskan butiran-butiran kalung ibu, barang siapa yang mengumpulkan butiran-butiran tersebut maka tulisan dia yang paling bagus.” Ternyata, Hasan dan Husein keduanya mengumpulkan butiran kalung dengan jumlah yang sama, dan keduanya pun menjadi pemenang. Hal ini dilakukan oleh Fatimah sebagai bukti kasih sayangnya terhadap kedua putranya.

Lalu pelajaran apa yang diperolehnya?

Berdasarkan kisah di atas, terlihat teladan Fatimah Az-Zahra yang dapat kita ambil pelajarannya;

Pertama, yang diberikan Fatimah kepada putra dan putrinya, adalah cinta dan kasih sayang. Hati ibu yang penuh kasih dan sayang, dan dengan asuhan yang hangat, serta cinta sang Ayah terhadap putra putrinya dengan tulus. Maka, dengan demikian sangat jelas bahwa kasih sayang adalah pelajaran yang paling penting dalam mendidik anak-anak kita sebagaimana yang telah dilakukan oleh Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

Kedua, yang dilakukan Fatimah kepada putra putrinya adalah, menumbuhkan kepribadian agar anak menjadi manusia yang berkualitas. Maka, sebagai seorang pendidik, Fatimah menumbuhkan pada anak-anaknya sikap percaya diri, menghormati orang lain, dan bercita-cita tinggi, menghargai keberadaan dirinya, agar anak jauh dari perbuatan buruk dan tidak menyerah karena merasa hina dan rendah.

Ketiga, yang dilakukan Fatimah adalah menumbuhkan iman dan takwa. Setiap anak harus ditanamkan pendidikan agama islam sejak usia dini, hingga akhir hayatnya, karena merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat Islam untuk terus berikhtiar belajar, mencari ilmu sepanjang kehidupannya di dunia. Rasulullah Saw. senantiasa menanamkan ajaran agama dirumah Fatimah sejak masa kanak-kanak yang paling awal bahkan sejak masa penyusuan.

Keempat, yang dilakukan Fatimah kepada putra putrinya, adalah mematuhi aturan dan memperhatikan hak-hak orang lain. Salah satu yang harus diperhatikan oleh para orang tua adalah mengawasi anak-anaknya agar ia tidak melampaui batas terhadap orang lain, menghormati hak-hak mereka, belajar disiplin, dan tidak mengurangi hak orang lain.

Seorang anak yang memperhatikan hak-hak orang lain didalam rumah, maka ia akan senantiasa memperhatikan hak-hak orang lain ketika ia keluar rumah. Sebaliknya jika dalam rumah tangga dikuasai oleh perselisihan dan kekacauan, maka anak-anaknya akan terdidik untuk bermusuhan, melakukan pelanggaran, dan berbuat zalim terhadap orang lain.

Kelima, yang dilakukan Fatimah kepada anak-anaknya adalah berolahraga dan bermain. Olahraga dan bermain juga memiliki banyak manfaat bagi anak-anak, selain untuk kesehatan, juga untuk meningkatkan kecerdasan, lebih sportif, dan melatih jiwa sosialnya, serta membangun kepercayaan diri, membangun kerjasama, menjadi lebih fokus dan juga menjadi lebih bahagia. Olahraga dan bermain juga dilakukan oleh Rasulullah bersama dengan cucunya.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. memegang pundak Hasan dan Husein, dan kaki mereka berdua berada di atas kaki Rasulullah. Lalu beliau berkata, “Naiklah,” Maka anak itu naik sampai kedua kakinya berada di atas dada Rasulullah. Kemudian beliau mengatakan padanya, Bukalah mulutmu”, lalu beliau menciumnya dan setelah itu berdoa, “Ya Allah, sayangilah dia karena aku menyayanginya.”

Masih tentang Fatimah. Selain sebagai seorang sosok ibu dan istri, Fathimah juga aktif dan terjun langsung dalam masyarakat pada bidang dakwah dan pendidikan. Fathimah senantiasa menjawab pertanyaan dari para wanita kota Madinah tentang hukum Islam. Pernah suatu ketika perempuan datang menghadap Sayyidah Fathimah, untuk menanyakan berbagai hukum.

Suatu ketika seorang perempuan hendak bertanya kepada Fatimah “wahai putri Rasul, aku memiliki seorang ibu yang sudah tua. Dia mempunya banyak pertanyaan tentang shalat, karena itu dia mengirimku untuk menanyakan hal ini kepadamu,” kata perempuan tersebut. “Bertanyalah,” kata Fathimah.

Kemudian, perempuan tersebut menanyakan berbagai hukum dan permasalahan, hingga Ia malu untuk bertanya lagi karena banyaknya pertanyaan yang dilontarkan.

Namun, Fathimah masih tetap menjawab semua pertanyaan, dan tidak merasa terbebani atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahkan Beliau berkata “aku mendapatkan pahala dari setiap jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan melebihi jarak antara bumi dan arsy dari perhiasan dan mutiara-mutiara, maka pantaskah aku merasa terbebani atas pertanyaan-pertanyaan ini?”.

Demikisan teladan Fatimah Az-Zahra jadi seorang ibu yang sangat lembut dan penuh kasih sayang.  Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH

Keutamaan Puasa Bulan Muharram 

Berikut ini keutamaan puasa bulan Muharram. Bulan Muharram disebut juga sebagai syahrullah (bulannya Allah). Hal ini menunjukkan betapa mulianya bulan Muharram. Karena mulianya bulan ini, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan beberapa hal sebagai kesunnahan. 

Salah satunya adalah berpuasa di bulan yang mulia tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang disebutkan oleh ash- Shan’ani di dalam kitab Fath al-Ghaffār al-Jāmi’ liahkām Sunnah Nabiyyinā al-Mukhtār juz. 2, hal. 909, No. 2818:

عن أبي هريرة أن النبي – صلى الله عليه وسلم – سئل أي الصيام بعد رمضان أفضل، قال: ‌شهر ‌الله المحرم

“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya, puasa apakah yang paling utama setelah puasa Ramadhan? Rasulullah bersabda, puasa pada bulan Allah, yakni Muharram”.

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa bulan Muharram adalah waktu yang paling utama untuk melakukan puasa sunnah. Menurut Imam as-Suyuthi di dalam kitab Syarah al-Suyūthi ‘ala Muslim juz. 3, hal. 252, puasa di bulan muharram menjadi puasa (sunnah) yang paling utama karena Muharram adalah awal permulaan tahun. 

Sehingga ketika seseorang membuka lembaran barunya di awal tahun dengan berpuasa maka ia telah membuka awal tahunnya dengan pekerjaan yang paling afdhal. Karena puasa adalah paling utamanya amal.

Selain dari keutamaan yang disebutkan di dalam hadits tersebut, ada pula keutamaan lain ketika seseorang melakukan puasa di bulan Muharram. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, pada bulan Muharram ada satu hari di mana dosa diampuni. Sebagaimana sabda Rasulullah yang disebutkan oleh Ibn Syaibah di dalam kitab al-Kitāb al-Mushannaf fī al-Ahādīts wa al-Atsār juz. 2, hal. 300, No. 9223:

«إِنْ كُنْتَ صَائِمًا شَهْرًا بَعْدَ رَمَضَانَ، فَصُمِ الْمُحَرَّمَ فَإِنَّهُ شَهْرُ اللَّهِ، وَفِيهِ يَوْمٌ تَابَ فِيهِ قَوْمٌ، وَيُتَابُ فِيهِ عَلَى آخَرِينَ»

“Jika kamu melakukan puasa sebulan setelah Ramadhan, maka berpuasalah di bulan Muharram. Karena sesungguhnya Muharram adalah bulannya Allah. Dan pada bulan tersebut terdapat satu hari di mana Allah telah menerima taubatnya satu kaum dan akan menerima taubat kaum yang lain”.

Kedua, puasa di bulan Muharram setara dengan berpuasa 30 hari pada selain asyhurul hurum (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Sebagaimana hadis yang dikutip oleh Syekh Ali al-Kalantany di dalam kitab Sīru al-Sālikīn fī Tharīqah al-Sādāt al-Shūfiyyah juz. 1 hal. 137:

صومُ يومٍ مِنْ شهر حرام افضل من ثلاثين من غَيرهِ وصوم يوم من رمضانَ افضلُ من ثلاثين من شهرٍ حرامٍ

“Puasa satu hari di bulan haram lebih mulia dari pada puasa 30 hari di selain bulan haram. Dan puasa satu hari di bulan Ramadan lebih utama daripada puasa 30 hari di bulan haram”.

Ketiga, Rasulullah SAW senantiasa melakukan puasa pada asyhurulhurum yang salah satunya adalah bulan Muharram. Sebagaimana riwayat dari Abu Dawud yang disebutkan di dalam kitab Fiqh al-Shiyām wa al-Hajj min Dalīl al-Thālib juz. 8, hal. 7:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصوم الأشهر الحرم

“Sesungguhnya Rasulullah SAW sering melakukan puasa pada asyhurul hurum (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab)”.

Demikianlah beberapa keutamaan yang ada di balik melakukan puasa pada bulan Muharram. Selain beberapa keutamaan ini tentu masih banyak keutamaan lain yang akan diberikan kepada orang yang melakukan puasa. Karena puasa sendiri adalah salah satu ibadah yang pahalanya Allah sendiri yang mengetahui kelipatan ganjarannya. 

Demikian penjelasan terkait keutamaan puasa Bulan Muharram. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Layanan Haji Terus Meningkat dari Tahun ke Tahun? Ini Pengakuan Jamaah 

Jamaah haji merasakan perbaikan layanan dari tahun ke tahun

Oleh : Agung Sasongko, reporter Republika TV dari Madinah, Arab Saudi

Secara bertahap dan terjadwal, rombongan jamaah haji Indonesia gelombang kedua bakal tiba di Madinah. Selama di Madinah, mereka menempati sejumlah hotel di sekitar Kompleks Markaziyah atau Masjid Nabawi. 

Salah satunya, Kloter JKS 39 dan 40 yang tiba di Hotel Madinah Arjwan di Sektor IV.  Mereka tiba di hotel sekitar pukul 14.00 Waktu Arab Saudi (WAS). Petugas sektor yang telah menunggu dengan sigap langsung membantu jamaah haji.  

Dedeli Ahmad Sadili,61, warga Bandung, Jawa Barat menilai, jika pelayanan haji tahun ini sudah banyak perbaikan dibandingkan sebelumnya. Dede yang pernah pergi haji pada 2010 menyebut, ada banyak perbaikan dalam pelayanan haji.  

“Makan, alhamdulillah baguslah. Kami dapat makan tiga kali pagi, siang, malam. Kalau dulu 2010 di Makkah enggak di kasih makan. Di Madinah dikasih dua kali habis Zuhur sama Maghrib. Sama sekali di Makkah enggak dikasih makan,” ujarnya, Senin (10/7/2023).

Untuk makan, kata Dede, jamaah masak sendiri. Meski kadangkala ada dermawan yang sedekah memberikan makan tapi hanya sesekali saja. “Saat di Arafah dan Mina jamaah juga dikasih makanan, cuma prasmanan. Kita nasinya ambil sendiri, kalau sekarang kan nasi boks. Kalau terlambat ya kehabisan,” ujarnya.  

Selain itu, pelayanan yang juga mengalami perbaikan adalah toilet. Dede membandingkan bagaimana ketersediaan toilet pada 2010 dengan 2023.  

“Alhamdulillah pelayanan sudah banyak perbaikan. Kalau dulu di Arafah 2010 kalau mau ke toilet antrenya sampai 20 orang di depan pintu. Kalau sekarang cuma tiga orang, jadi tidak terlalu lama. Alhamdulillah sekarang banyak peningkatan,” ucapnya.  

Begitu juga dengan pelayanan akomodasi di Mina. Menurut Dede, tempat tidur jamaah haji saat ini sudah lebih baik. “Kalau dulu tempat tidur cuma karpet saja, kalau sekarang kan pakai kasur. Tendanya permanen, kalau sekarang ada AC, kalau dulu cuma blower aja 

Di sisi lain, Dede mengaku cuaca di Arab Saudi pada 2010 itu sama dengan Jakarta sehingga bisa kapan pun ke Masjidilharam. Berbeda dengan saat ini cuaca sangat panas sehingga dirinya memutuskan untuk mengambil Nafar Awal.  

“Kalau dulu di Makkah saya tinggal di Bakhutmah dekat sekitar 1 Km ke Masjidilharam, kalau naik taksi cuma 2 riyal. Kalau sekarang di Mahbas Jin lebih jauh,” ucap penjual spare part mobil di Baleendah, Bandung Selatan ini. 

Kepala Sektor (Kasektor) IV M Soleh mengatakan, telah menyiapkan layanan untuk jamaah haji gelombang dua yang dari Makkah. “Alhamdulillah, ini kedatangan kloter pertama JKS 39 dan 40 di Sektor IV. Insya Allah kita kedatangan empat kloter, semua ditempatkan di hotel ini. Sejauh pengamatan kami tidak ada kendala,” ujarnya.  

M Soleh mengaku telah melakukan berbagai persiapan dan perbaikan pelayanan di antaranya, pelayanan lansia dengan menambah jumlah kursi roda dari semula 4 kursi roda menjadi 8 kursi roda. 

“Petugas lansia juga bertambah dari 8 sekarang menjadi 12 orang. Mudah-mudahan penambahan ini meningkatkan pelayanan kepada jamaah lansia khususnya,” ucapnya.    

IHRAM

Mengenal Thawaf Wada, Wajib Haji Sebelum Meninggalkan Makkah

Thawaf wada’ adalah thawaf yang dilakukan setelah melakukan seluruh manasik ketika akan meninggalkan kota Makkah. Thawaf ini gugur bagi wanita haidh.

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

كِتَابُ اَلْحَجِّ

Kitab Haji

بَابُ صِفَةِ اَلْحَجِّ وَدُخُولِ مَكَّةَ

Bab Sifat Haji dan Masuk Makkah

Hukum Thawaf Wada’

Hadits #777

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { أُمِرَ اَلنَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرَ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ, إِلَّاأَنَّهُ خَفَّفَ عَنِ الْحَائِضِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Orang-orang diperintahkan agar akhir dari ibadah haji mereka adalah thawaf di Baitullah, tetapi diberikan keringanan bagi wanita haidh.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1755 dan Muslim, no. 1328, 1327, 380].

Faedah hadits

  1. Hadits ini menjadi dalil wajibnya thawaf wada’ jika telah selesai dari manasik haji. Dalil wajibnya karena ada perintah dalam hadits dan ada kalimat diberikan keringanan, berarti perintahnya itu perintah yang muakkad (ditekankan).
  2. Thawaf wada’ termasuk dalam wajib haji.
  3. Menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, thawaf wada’ termasuk dalam wajib haji. Walaupun jika ditinggalkan tidaklah terkena dam karena tidak ada dalil khusus yang menunjukkan demikian. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa thawaf wada’ itu wajib, tetapi jika ditinggalkan, tidaklah terkena kewajiban apa pun. Yang meninggalkan thawaf wada’ berarti meninggalkan kewajiban sehingga terkena dosa, tanpa dikenakan dam.
  4. Thawaf wada’ hendaklah menjadi akhir dari manasik haji. Thawaf wada’ tidaklah boleh dilakukan melainkan setelah manasik sempurna seperti melempar jumrah pada hari tasyrik yang tiga.
  5. Tidaklah masalah menunggu setelah thawaf wada’ untuk persiapan safar, menunggu rombongan, berpamitan, menyiapkan kendaraan, yang penting bukan memilih untuk menetap lagi setelah itu.
  6. Wanita haidh termasuk mendapat uzur meninggalkan thawaf wada’ karena wanita haidh tidaklah diperkenankan untuk shalat dan thawaf. Jika wanita haidh tidak thawaf wada’, maka tidaklah kena kewajiban apa pun. Wanita haidh pun tidaklah mesti menunggu hingga suci.
  7. Jika wanita haidh pergi tanpa menunaikan thawaf wada’, lalu ia suci sebelum meninggalkan bangunan kota Makkah, maka wanita tersebut hendaklah mandi, lalu kembali untuk melakukan thawaf wada’. Inilah pendapat jumhur atau mayoritas ulama. Jika wanita haidh telah meninggalkan bangunan kota Makkah, barulah suci, ia tidaklah perlu kembali.
  8. Ada ulama yang mengatakan bahwa thawaf wada’ itu bagian dari manasik, ada pula yang menyatakan bukan bagian dari manasik.
  9. Ibnu Rusyd menukil adanya ijmak (kata sepakat ulama) bahwa thawaf wada’ tidaklah berlaku bagi orang yang berumrah. Orang yang berumrah cukup melakukan thawaf qudum (thawaf kedatangan), yaitu thawaf umrah. Lihat Bidayah Al-Mujtahid, 2:266.

Baca juga:

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 5:357-360.

Diselesaikan di Hotel Maya Palace Ka’kiyyah Makkah, 17 Dzulhijjah 1444 H, 4 Juli 2023

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/37122-mengenal-thawaf-wada-wajib-haji-sebelum-meninggalkan-makkah.html

Selain Manasik Haji Tamattu’, Ada juga Manasik Haji Qiran, Apa Perbedaan Keduanya?

Selain ada manasik haji tamattu’, ada juga manasik haji qiran. Apa perbedaan di antara keduanya?

Manasik haji qiran adalah berihram dengan niatan haji dan umrah di mana haji dan umrah digabungkan pada bulan-bulan haji, kemudian melakukan amalan haji secara sempurna, ia memasukkan amalan umrah pada amalan haji, cukup dengan sekali thawaf dan sai untuk haji. Namun, untuk haji qiran wajib ada penyembelihan hadyu (menurut madzhab Syafii disebut dengan dam) karena diqiyaskan dengan haji tamattu’, bahkan haji qiran lebih pantas kena dam ini (menurut kalangan Syafiiyah).

Seperti kita ketahui sebelumnya ada tiga jenis manasik.

  1. Tamattu’: berniat ihram untuk umrah dari miqat pada bulan haji dengan niatan LABBAIK ‘UMROTAN, lalu tahallul, kemudian berniat haji pada delapan Dzulhijjah dengan niatan LABBAIK HAJJAN.
  2. Qiran: berniat ihram untuk umrah dan haji sekaligus dari miqat. Niatannya adalah LABBAIK ‘UMROTAN WA HAJJAN.
  3. Ifrad: berniat ihram untuk haji saja dari miqat. Niatannya adalah LABBAIK HAJJAN. Setelah berhaji, barulah berihram.

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

كِتَابُ اَلْحَجِّ

Kitab Haji

بَابُ صِفَةِ اَلْحَجِّ وَدُخُولِ مَكَّةَ

Bab Sifat Haji dan Masuk Makkah

Hadits #773

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ ( قَالَ لَهَا: { طَوَافُكِ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ اَلصَّفَا وَاَلْمَرْوَةِ يَكْفِيكَ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Thawafmu di Baitullah dan saimu antara Shafa dan Marwa telah cukup bagimu untuk haji dan umrahmu.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 1211, 133]

Faedah hadits

  1. Hadits ini menjadi dalil untuk yang memiliki manasik haji qiran, haji dan umrahnya cukup dengan satu kali thawaf dan satu kali sai. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Yang memilih pendapat ini adalah Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Ishaq. 
  2. Para ulama berselisih pendapat untuk haji tamattu’, apakah cukup dengan sekali sai saja. Yang tepat, tetap ada dua sai yaitu sai untuk umrahnya dan sai untuk hajinya. 
  3. Urutan pelaksanaan manasik haji dengan qiran: (1) ihram dengan niat, (2) thawaf qudum, (3) sai haji, (4) tetap berihram, (5) ke Mina di hari Tarwiyah, (6) pergi ke Arafah lalu wukuf, (7) menuju Muzdalifah lalu mabit, (8) menuju Mina pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) untuk melempar jumrah ‘Aqabah, (9) menyembelih hadyu, (10) halq atau taqshir (cukur botak atau memendekkan rambut, sudah tahallul awa), (11) thawaf ifadhah, (12) melempar jumrah Ula, Wustha, dan ‘Aqabah pada hari tasyrik, (13) thawaf wada’.
  4. Bedanya dengan urutan pelaksanaan manasik haji dengan tamattu’: (1) ihram dengan niat, (2) thawaf umrah, (3) sai umrah, (4) tahallul untuk umrah dengan halq atau taqshir, sudah boleh melakukan larangan ihram, (5) ihram untuk haji lalu menuju Mina di hari Tarwiyah, (6) pergi ke Arafah lalu wukuf, (7) menuju Muzdalifah lalu mabit, (8) menuju Mina pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) untuk melempar jumrah ‘Aqabah, (9) menyembelih hadyu, (10) halq atau taqshir (cukur botak atau memendekkan rambut, sudah tahallul awa), (11) thawaf ifadhah, (12) sai haji, (13) melempar jumrah Ula, Wustha, dan ‘Aqabah pada hari tasyrik, (14) thawaf wada’.

Baca juga: Penjelasan Dalil Haji Tamattu’ dan Qiran, serta Konsekuensinya dan Manakah yang Lebih Afdal

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 5:349-352.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:697-698.

Diselesaikan di Pondok Pesantren Darush Sholihin, 22 Dzulhijjah 1444 H, 11 Juli 2023

Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber https://rumaysho.com/37142-selain-manasik-haji-tamattu-ada-juga-manasik-haji-qiran-apa-perbedaan-keduanya.html

Kaum yang Gagal Mengejar Syafaat

Bismillah

Imam Bukhari rahimahullah menuturkan, Abdul Aziz bin Abdullah menuturkan kepada kami, dia berkata, Sulaiman menuturkan kepadaku, dari Amr bin Abi Amr, dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi, dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’at Anda pada hari kiamat kelak?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Sungguh aku telah mengira, wahai Abu Hurairah, bahwasanya tidak ada seorang pun yang akan menanyakan masalah hadis ini sebelum engkau. Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dari hati atau jiwanya.” (lihat Shahih Al-Bukhari bersama Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, 1: 233)

Di antara faedah hadis di atas adalah menunjukkan keutamaan yang ada pada diri Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu. Hadis ini juga menunjukkan besarnya keutamaan bersemangat dalam menimba ilmu syari’at. Demikian makna keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (lihat Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, 1: 233)

Di dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan ‘Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah.’ Kata-kata ini mengandung makna bahwa orang musyrik (kafir) tidak termasuk di dalamnya. Adapun kata-kata ‘dengan ikhlas’, maka di dalamnya terkandung faedah bahwa orang munafik tidak termasuk kategori orang yang akan meraih janji dan keutamaan yang disebutkan di dalam hadis ini. (lihat Fath Al-Bari tahqiq Syaibatul Hamd, 1: 234)

Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Di antara pelajaran yang bisa dipetik dari hadis ini adalah bahwasanya orang-orang yang akan memperoleh syafa’at adalah kaum yang ikhlas (bertauhid) saja. Mereka adalah orang-orang yang membenarkan keesaan Allah dan beriman kepada para rasul-Nya, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda beliau ‘alaihis salam, ‘ikhlas dari hati atau jiwanya.’” (lihat Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibni Baththal, 1: 176)

Salah menempuh jalan

Allah berfirman,

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ 

“Orang-orang yang menjadikan selain-Nya sebagai penolong (sesembahan), mereka itu mengatakan, ‘Tidaklah kami beribadah kepada mereka itu, melainkan supaya mereka mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti memberikan keputusan di antara mereka dalam apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3)

Syekh Ibnu Baz rahimahullah menjelaskan, “Maknanya adalah bahwa mereka tidaklah beribadah kepada nabi-nabi dan orang-orang saleh, kecuali supaya mereka itu mendekatkan dirinya kepada Allah sedekat-dekatnya.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Ibnu Baz, hal. 16)

Syekh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Allah telah menyebut mereka di dalam ayat ini dengan sebutan para pendusta dan kafir. Maka, ini menunjukkan bahwa ibadah yang mereka lakukan kepada sesembahan-sesembahan itu dengan alasan untuk mencari kedekatan diri adalah suatu kekafiran dan kemurtadan, meskipun mereka tidak mengatakan bahwa sesembahan-sesembahan itu bisa mencipta dan memberikan rezeki…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Ibnu Baz, hal. 16)

Kejadian semacam ini pun banyak menimpa pengikut tarekat sufi. Syekh Shalih As-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Sebagian thaghut pemilik tarekat menanamkan di dalam benak pikiran pengikut-pengikutnya bahwa barangsiapa yang tidak memiliki syekh/guru yang menjadi perantara antara dirinya dengan Allah, maka amalnya tidak akan sampai kepada Allah. Mereka juga mengatakan, ‘Barangsiapa yang tidak punya syekh/guru tarekat, maka gurunya adalah setan.’ Maka, kita katakan kepadanya, ‘Barangsiapa yang mengangkat syekh, lalu dia menujukan ibadah kepadanya sehingga menjadi sekutu (tandingan) bagi Allah, dia menjadikannya sebagai perantara (antara dirinya dengan Allah), dia meminta diberi syafa’at dengan perantaranya, bernazar kepadanya, atau menyembelih untuk dipersembahkan kepadanya, maka orang seperti inilah yang gurunya adalah setan.” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syekh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, hal. 11)

Syekh Muhammad Raslan hafizhahullah berkata, “Maka, orang-orang musyrik yang disebut oleh Allah sebagai kaum musyrikin, dan Allah tetapkan bahwa mereka dihukum kekal di neraka, mereka tidak mempersekutukan Allah dalam hal rububiyah. Sesungguhnya mereka itu hanyalah berbuat syirik dalam hal uluhiyah. Mereka sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa sesembahan-sesembahan mereka itu adalah sesembahan yang mandiri atau berdiri sendiri. Mereka mengatakan bahwa ‘sesembahan itu semua hanya akan menjadi sarana (perantara) bagi kami untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi penghubung antara kami dengan Allah.’…” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ oleh Syekh Raslan, hal. 18)

Allah berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

“Mereka itu beribadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak mendatangkan marabahaya maupun manfaat bagi mereka, dan mereka mengatakan, ‘Mereka ini adalah pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah.’.” (QS. Yunus: 18)

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya adalah mereka itu biasa beribadah kepada mereka (sesembahan selain Allah) dengan harapan untuk bisa mendapatkan syafaatnya di sisi Allah.” (Tafsir Ath-Thabari, sumber: http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/tabary/sura10-aya18.html)

Kedua ayat di atas mengandung pelajaran bahwa banyak orang berbuat syirik dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan syafa’at di sisi-Nya. Tidaklah diragukan bahwa mendekatkan diri kepada Allah adalah perkara yang terpuji apabila hal itu dilakukan dengan cara-cara yang Allah ridai. Adapun mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembah selain Allah, maka hal ini justru membuat pelakunya dimurkai oleh Allah.

Begitu pula mendapatkan syafa’at adalah keinginan yang terpuji. Akan tetapi, syafa’at tidak akan diberikan, kecuali bagi orang yang bertauhid. Oleh sebab itu, orang yang berdoa kepada selain Allah tidak akan mendapatkan syafa’at itu karena dia telah berbuat syirik kepada-Nya.

Ibadah adalah hak Allah semata. Tidak boleh menujukan ibadah (apakah itu doa, istighotsah, nazar, sembelihan, dsb) kepada selain Allah. Allah berfirman,

وَأَنَّ ٱلۡمَسَـٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدࣰا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/berdoa bersama dengan Allah ada (sesembahan) yang lain, siapa pun ia.” (QS. Al-Jin: 18)

Maka, tidak boleh berdoa kepada penghuni kubur, wali yang sudah mati, jin atau nabi dengan alasan untuk menjadikan mereka sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah atau untuk mendapatkan syafa’at. Ini adalah alasan-alasan yang tertolak di dalam Islam.

Hukum berdoa kepada selain Allah

Syekh Faishal Al-Jasim hafizhahullah menyebutkan 3 keadaan di mana berdoa kepada selain Allah itu dihukumi termasuk perbuatan syirik :

Pertama, apabila dia berdoa (meminta) kepada makhluk sesuatu yang tidak dikuasai, kecuali oleh Allah, seperti memberi petunjuk ke dalam hati, mengampuni dosa, memberikan keturunan, menurunkan hujan, dsb.

Kedua, apabila dia berdoa kepada orang yang sudah meninggal dan meminta kepadanya.

Ketiga, apabila dia berdoa kepada orang yang gaib (tidak hadir) dan tidak berhubungan dengannya dengan sarana telekomunikasi. Karena tidak ada yang bisa meliputi semua suara, kecuali Allah. Tidak ada yang bisa membebaskan dari kesulitan dari jarak jauh, kecuali Allah. Karena hanya Allah yang mampu mendengar semua suara dari mana pun datangnya. (lihat penjelasan beliau dalam Tajrid At-Tauhid min Daranisy Syirki, hal. 24-26)

Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan, tentunya dengan taufik dari Allah semata. Semoga bermanfaat bagi kita untuk menjauhkan diri dari syirik dan kekafiran. Wallahul musta’aan.

Alhamdulillah selesai disusun ulang di markas YPIA.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Jangan Lupa Bersyukur

Jika belum pernah sakit, kita tidak akan pernah merasakan nikmatnya sehat. Jika belum menderita, kita tidak akan pernah mensyukuri hidup yang serba ada. Jika tidak pernah merasakan lapar, kita terkadang tidak bisa menghargai nikmatnya kenyang.

Jangan pernah bersyukur ketika lepas dari suatu masalah. Namun, kita hendaknya selalu bersyukur ketika tidak mendapati masalah. Artinya, setiap hari seharusnya kita selalu membiasakan bersyukur atas nikmat Tuhan yang tiada batas di dunia ini.

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (QS Ibrahim : 7).

Kenapa Allah menegaskan akan menambah nikmat? Karena sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari itu adalah nikmat Allah. Dari udara, makan, sinar matahari, hingga ketiadaan masalah dan musibah adalah nikmat. Jika kita menyadari dan bersyukur atas kondisi itu, Allah akan menambah nikmat.

Kondisi normal seringkali kita anggap ketiadaan nikmat. Tidak sakit, tidak punya hutang, tidak ada musibah dan hidup berjalan normal sering dianggap bukan nikmat. Itulah yang terkadang membuat kita lupa dan mengingkari nikmat-nikmat itu.

Allah berfirman : Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS : An-Nahl : 18).

Kita baru sadar ketika mendapati hal yang tidak normal dalam hidup. Ketika sakit, kita memohon nikmat sembuh, ketika lapar kita memohon nikmat kenyang, ketika terkena musibah kita berdoa menghilangkan musibah.

Di situasi apa kita akan refleks dan secara spontan ingat Tuhan? Di suatu yang kita anggap ekstrem sangat merugikan atau ketika ada kondisi mendadak yang mengagetkan dan menyakitkan.

Ketika pada batas sakit, sedih dan menderita, kita baru merengek : Ya Allah. Baru pada saat itu kita merasa lemah dan tidak berdaya. Seolah sebelumnya kita perkasa dan tidak membutuhkan Tuhan, bahkan tidak pernah ingat adanya Tuhan.

Terkadang kita masih masih mengeluh kenapa saat musibah dan sangat membutuhkan doa kita tidak terkabul, padahal Allah telah berjanji akan mendengar dan menerima doa hambanya. Lalu kita menyitir ayat menyindir Tuhan :  “berdoalah kepadaKu niscaya Aku akan mengabulkannya.

Namun, kita sudah lupa untuk membaca secara lengkap ayat tersebut. “berdoalah kepadaKu niscaya Aku akan mengabulkannya. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahku, akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina”. (Q.S Al-Mu’min : 60).

Kenapa doa kita tidak terkabul? Jangan-jangan kita terlalu merasa sombong saat tidak ada masalah. Kita lupa ketika Bahagia dan bersuka cita. Kita hanya ingat Allah ketika berduka dan menderita. Lalu, apakah kita mengeluh karena Allah melupakan dan tidak menerima doa kita?

Dalam ayat lain Allah menegaskan : Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku (QS : Al Baqarah : 152).

Bagaimana Allah akan mengingat kita ketika dalam kondisi terjatuh, saat bangun gagah kita tidak pernah mengingatNya. Bahkan, terkadang kita ingkar atas semua yang diberikan Tuhan dan merasa nikmat yang didapat selama ini karena jerih payah kita. Ketika hanya diguncang sedikit saja, tiadalah diri kita sebenarnya benar-benar mandiri dan tidak tergantung.

Karena itulah, patut selalu kita bersyukur dalam kondisi apapun. Dalam kondisi normal, mendapatkan kebahagiaan bahkan dalam keadaan berduka cita, kita sepatutnya bersyukur. Selalu ada hikmah di balik cerita suka dan duka yang diberikan Tuhan.

Bukankah kebahagiaan itu bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi bagaimana cara kita menikmati?

ISLAMKAFFAH

10 Malaikat yang Wajib Diketahui Beserta Tugasnya

MALAIKAT terbuat dari cahaya atau “nur” sedangkan jin berasal dari api atau “nar”. Malaikat selalu tunduk dan taat kepada Allah sedangkan jin ada yang muslim dan ada yang kafir. Yang kafir adalah syetan dan iblis yang akan terus menggoda manusia hingga hari kiamat agar bisa menemani mereka di neraka.

Malaikat tidak memiliki hawa nafsu sebagaimana yang dipunyai jin. Jin yang jahat akan selalu senantiasa menentang dan menjalankan apa yang dilarang oleh Tuhan Allah SWT. Malaikat adalah makhluk yang baik dan tidak akan mencelakakan manusia selama berbuat kebajikan, sedangkan syetan dan iblis akan selalu mencelakakan manusia hingga hari akhir.

Maka berikut ini tugas-tugas malaikat yang wajib di ketahui oleh setiap muslim:

1. Malaikat Jibril tugasnya adalah menyampaikan wahyu Allah kepada nabi dan Rasul.

2. Malaikat Mikail tugasnya adalah memberi rizki / rejeki pada manusia.

3. Malaikat Israfil tugasnya adalah meniup terompet sangkakala di waktu hari kiamat.

4. Malaikat Izrail tugasnya adalah mencabut nyawa makhluk hidup.

5. Malikat Munkar tugasnya adalah menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur.

6. Malaikat Nakir tugasnya adalah menanyakan dan melakukan pemeriksaan pada amal perbuatan manusia di alam kubur bersama Malaikat Munkar.

7. Malaikat Raqib / Rokib tugasnya adalah mencatat segala amal baik manusia ketika hidup.

8. Malaikat Atid / Atit tugasnya adalah mencatat segala perbuatan buruk / jahat manusia ketika hidup.

9. Malaikat Malik tugasnya adalah untuk menjaga pintu neraka.

10. Malaikat Ridwan tugasnya adalah menjaga pintu sorga / surga.

Malaikat merupakan makhluk Allah yang tunduk dan patuh terhadap perintah Allah SWT. Beda Malaikat dengan manusia adalah, kalau Malaikat tidak diberi nafsu oleh Allah sedangkan manusia diberi nafsu, maka dengan itu manusia diberi Allah kelebihan.

Bahkan apabila manusia bisa mengendalikan nafsunya maka manusia bisa lebih mulia dari pada Malaikat karena Allah menciptakan Malaikat tanpa nafsu sehingga terhindar dari segala dosa.

Akan tetapi apabila manusia tidak bisa mengendalikan nafsunya maka manusia bisa lebih hina daripada binatang, karena binatang diciptakan Allah tidak diberi pikiran. Wallahu’alam. []

SUMBER: DINULISLAMI.BLOGSPOT

ISLAMPOS

Gerakan Indonesia Beradab Menolak Penyelenggaraan Pekan LGBT Asia di Jakarta

Gerakan Indonesia Beradab (GIB) menolak rencana diselenggarakanya aktivitas LGBT di Jakarta. Sebelumnya beredar kabar akan diselenggarakannya acara ASEAN QUEER ADVOCACY WEEK yang konon akan dilaksanakan pada tanggal 17-21 Juli 2023 ini.

“Maka, atas rencana akan diselenggarakannya aktivitas ASEAN QUEER ADVOCACY WEEK oleh ASEAN SOGIE Caucus bekerjasama dengan Arus Pelangi dan FORUM ASIA pada tanggal 17-21 Juli 2023 di Jakarta, maka kami, Gerakan Indonesia Beradab, yang menghimpun 206 organisasi kemasyarakatan di Indonesia, menyatakan secara terbuka dan tegas bahwa kami MENOLAK SEPENUHNYA RENCANA TERSEBUT, baik sebagian atau seluruhnya, diselenggarakan secara terbuka atau tertutup, termasuk segala aktivitas yang semakna serta setujuan dengannya,” demikian disampaikan  Ketua Presidium Gerakan Indonesia Beradab Dr. Bagus Riyono, M.A., dalam pernyataan yang diterima redaksi hari Senin (10/7/2023).

GIB yang keanggotaan banyak didominasi psikolog, cendekiawan dan tokoh agama ini mengatakan Allah telah menciptakan segalanya berpasang-pasangan.  Karena penyelenggaraan acara yang mendorong pria-wanita menolak proses dan sunnah perkembangbiakan yang telah dianjurkan Tuhan harus ditolak dan bertentangan dengan ideology NKRI.

“Segala aktivitas –baik individual maupun kolektif, sporadis maupun terorganisir—yang bertentangan dengannya adalah perbuatan melanggar hukum, moral dan ideologis di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, di media social beredar kabar penyelenggaraan ASEAN Queer Advocacy Week (AAW) di Jakarta yang akan diselenggarakan pada 17 Juli sampai 21 Juli 2023.

Namun Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) Teuku Faizasyah kepada Republika Online mengatakan acara tersebut tidak terkait dengan rangkaian acara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

“Saya tidak tahu statusnya. Yang pasti tidak terkait dengan rangkaian ASEAN di Jakarta dan Kemlu,” ujar juru bicara Kemlu RI.

Menurut Faiz, ASEAN SOGIE Caucus memiliki nama resmi Southeast Asia Sexual Orientation and Gender Identity and Expression Caucus. Organisasi tersebut berbadan hukum di Filipina. “Bukan entitas resmi ASEAN,” ujarnya.

Penyelenggara acara yang bekerja sama dengan komunitas Arus Pelangi ini pun tidak diketahui oleh Kemlu RI. “Saya tidak ada informasi,” ujar Faiz kepada Republika. Sebelumnya, dalam unggahan Instagram yang kini telah dihapus, akun @aseansoegicaucus mengumumkan penyelenggaraan acara AAW. “Apakah kalian aktivis queer yang berbasis di Malaysia, Thailand, Laos, Singapura dan negara lain di Asia Tenggara? Mari bergabung bersama kami dalam ASEAN Queer Advocacy Week (AAW) Juli ini,” kata keterangan akun tersebut dikutip Republika.*

HIDAYATULLAH