Mau ke Raudhah? Jamaah Haji Daftar Dulu di Aplikasi Nusuk

Menjadi harapan seluruh jamaah haji untuk bisa sholat, doa, dan dzikir di Raudhah (Taman Surga). Namun, berbeda dengan kebijakan sebelumnya, untuk menuju Raudhah, jamaah harus lebih dulu mendaftar via aplikasi nusuk.

Dalam situs Nusuk.sa dijelaskan jika Nusuk merupakan platform perencanaan, pemesanan, dan pengalaman resmi pertama, untuk membuat rencana perjalanan haji atau umrah Anda ke Makkah, Madinah, dan sekitarnya. Dengan Nusuk, jamaah dari seluruh dunia dapat dengan mudah mengatur seluruh kunjungan mereka, mulai dari mengajukan e-Visa hingga memesan hotel dan penerbangan.

Aplikasi ini bisa diunduh oleh mereka yang akan menjalankan ibadah umroh atau haji. Seperti yang Republika.co.id lakukan saat berada di Madinah.

Berikut langkah-langkah unduh dan daftar aplikasi Nusuk.

1. Kunjungi aplikasi Appstore lalu tekan unduh. Setelah selesai pilih buka.

2. Masuk halaman utama muncul pertanyaan izin akses lokasi, kalender. Pilihan bahasa Arab dan Inggris. “Login” dan “New User”. Jika belum pernah, bisa dipilih “New User”.

3. Masuk ke pengisian data, pilih kanan atas sebagai visitor. Isi nomor visa, paspor, kebangsaan, nomor telepon, email dan password akun Nusuk. Sudah lengkap, klik tiga pertanyaan di bawahnya lalu tekan register.

4. Sistem kemudian mengirim empat nomor pin via email sebagai aktivasi aplikasi Nusuk.

5. Berhasil. Saat akan masuk ke aplikasi, sistem kembali mengirim kode verifikasi via email.

6. Selesai di menu utama ada pilihan aktivitas. Pilih menu ke Raudhah dibedakan antara perempuan dan laki laki. Seusai dipilih, akan muncul pilihan lagi, klik, dan tinggal pilih tanggal dan jam berkunjung. Jika sudah, aplikasi akan mengirim jadwal kunjungan sesuai pilihan. Ini yang digunakan sebagai bukti ke askar saat berkunjung ke Raudhah.

Dengan proses tersebut, jadwal kunjungan bisa lebih terencana. Jika memungkinkan, keluarga jamaah juga bisa bantu unduh dan registrasi sebelum orang tua atau kerabatnya berangkat sehingga memudahkan saat di Madinah. Untuk pendaftaran bisa dibantu petugas haji.

IHRAM

Buah Syukur

Syukur merupakan salah satu sifat seorang mukmin. Oleh karena itu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda tentang keadaan seorang mukmin, “Sungguh menakjubkan keadaan (urusan) seorang mukmin. Semua urusannya baik baginya. Dan yang demikian itu tidak terjadi, kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 7692)

Syukur mempunyai banyak buah (faedah) yang dapat dipetik. Semuanya kembali kepada hamba dan tiada satu pun yang kembali kepada Allah. Apabila seorang hamba bersyukur, maka sejatinya dia telah bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri.

Sebaliknya, apabila seorang hamba kufur (mengingkari) nikmat, maka kekufurannya itu akan merugikan dirinya sendiri pula. Nabi Sulaiman ‘alaihis salam pernah berkata sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an,

هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia”. (QS. An-Naml: 40)

Buah-buah dari syukur antara lain adalah sebagai berikut:

Selamat dari azab (siksa) Allah

Allah tidak akan mengazab seseorang selama ia mau beriman dan bersyukur. Allah Ta’ala berfirman,

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

“Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’: 147)

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, ”Sesungguhnya Allah Jalla Tsanaauhu tidak akan menyiksa orang yang bersyukur dan beriman.” (Tafsir Ath-Thabari, 4: 338)

Mendapatkan rida Allah

Buah syukur yang kedua sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa akan mendapatkan rida dari Allah Ta’ala. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

“Sungguh Allah benar-benar rida kepada seorang hamba yang memakan suatu makanan, lalu mengucapkan alhamdulillah atas makanan tersebut, atau meminum suatu minuman, lalu mengucapkan alhamdulillah atas minuman tersebut.” (HR. Muslim no. 2734)

Dikhususkan dengan nikmat dan anugerah hidayah

Sungguh Allah telah mengabarkan kepada hamba-Nya yang senantiasa bersyukur dengan dikhususkan sebagai hamba yang mendapat hidayah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَٰؤُلَاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا ۗ أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ

“Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah (hidayah) Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?’” (QS. Al-An’am: 53)

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, “Allah lebih mengetahui mana di antara hamba-hamba-Nya yang bersyukur maupun kufur. Dan nikmat hidayah diberikan kepada mereka yang senantiasa bersyukur.” (Tafsir Ath-Thabari, 5: 204)

Terpelihara dan terjaganya nikmat

Syukur adalah penjaga (pengawal) nikmat dari segala sebab yang mengakibatkan hilangnya nikmat tersebut. Oleh karena itu, sebagian ulama menamakan syukur itu sebagai pengikat nikmat karena syukur itu mengikat nikmat sehingga tidak lepas dan kabur.

Umar bin Abdul Azis rahimahullah berkata, ”Ikatlah nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur kepada Allah.” (Syu’abul Iman, no. 4546)

Ditambahkannya nikmat

Allah Ta’ala telah menjanjikan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa Allah akan memberikan tambahan nikmat kepada orang-orang yang bersyukur. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

Mungkin ada orang-orang di sekitar kita yang usahanya tidak sekeras kita, namun Allah berikan nikmat yang banyak kepadanya. Hal ini bisa jadi disebabkan karena besarnya rasa syukurnya kepada Allah.

Balasan syukur tidak terikat kehendak Allah

Allah Ta’ala menggantungkan banyak balasan (pahala) suatu amal dengan kehendak, seperti firman Allah,

بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ

“(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki.” (QS. Al-An’am: 41)

يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ

“Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Ali Imran: 129)

وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah: 212)

وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ

“Dan Allah menerima tobat orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. At-Taubah: 15)

Adapun syukur, maka Allah tidak gandengkan dengan kehendak, tetapi langsung Allah balas. Allah Ta’ala berfirman,

وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

“Dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 144)

وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ

“Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145).

Dikabulkannya doa

Ibrahim bin Adham, seorang tokoh tabi’in pernah ditanya, “Mengapa kami berdoa, namun tidak dikabulkan?” Dia menjawab,

“Karena kalian mengenal Allah, tetapi tidak menaati-Nya.”

“Kalian mengenal Rasulullah, tetapi kalian tidak mengikuti sunnahnya.”

“Kalian mengetahui Al-Quran, tetapi tidak mengamalkannya.”

“Kalian memakan nikmat-nikmat Allah, namun kalian tidak mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.”

“Kalian mengetahui surga, namun tidak memburunya. Dan kalian mengetahui neraka, namun tidak berlari darinya.”

“Kalian mengetahui setan, namun tidak memeranginya malah menyepakatinya.”

“Kalian mengetahui kematian, namun tidak bersiap untuknya dan kalian menguburkan orang mati, namun tidak mengambil pelajaran dan kalian meninggalkan aib-aib kalian sendiri, namun sibuk dengan aib-aib orang lain.” (Tafsir Ath-Thabari, 2: 303)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan kita dan seluruh kaum muslimin untuk bisa menjadi hamba yang bersyukur dan menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hamba yang pandai bersyukur. Aamiin.

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Arikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari A’malul Qulub bab As-Syukur, hal. 306-308 karya Syekh Muhammad Shalih Al Munajjid hafizhahullah.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84953-buah-syukur.html

Sampai Kapan Belajar Akidah?

Bismillah (dengan menyebut nama Allah). Hanya kepada-Nya kita bertawakal.

Saudaraku yang dirahmati Allah, di antara perkara paling mendasar yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah adalah apa tujuan Allah menciptakan kita di alam dunia ini. Hal ini sudah begitu jelas diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat: 56)

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud beribadah di sini bukan sekadar melaksanakan salat atau membayar zakat. Lebih daripada itu, ibadah yang dituntut ialah yang dimurnikan untuk Allah semata alias bertauhid.

Dalam sebagian risalahnya Syekh Muhammad At-Tamimi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ibadah tidaklah dikatakan sebagai ibadah, kecuali apabila disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya salat tidak dikatakan salat, kecuali jika disertai dengan thaharah/bersuci.”

Apa beda tauhid dengan ibadah?

Ya, mungkin kita bertanya-tanya. Apakah perbedaan antara tauhid dengan ibadah? Perlu kita pahami bahwa secara bahasa Arab ibadah itu mengandung makna perendahan diri dan ketundukan. Adapun dalam istilah agama yang dimaksud ibadah mencakup puncak kecintaan dan puncak perendahan diri kepada Allah. Ibadah itu diwujudkan dalam bentuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Ada juga yang memberikan definisi ibadah yang lebih luas, yaitu segala hal yang dicintai dan diridai oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan yang lahir maupun batin. Definisi ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam risalah Al-’Ubudiyah.

Dari situlah para ulama membagi ibadah menjadi tiga bentuk: 1) ada ibadah dengan lisan, 2) ada ibadah dengan anggota badan, dan 3) ada ibadah dengan hati. Adapun istilah tauhid dalam bahasa Arab bermakna menunggalkan atau menjadikan sesuatu sebagai satu-satunya. Dalam pengertian agama, tauhid yang dimaksud adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Dengan kata lain menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah tidak kepada selain-Nya. Tauhid ini juga sering diungkapkan dengan istilah ikhlas sebagaimana banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an.

Ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu ke Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepadanya, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim. Ini lafal Bukhari. Dalam redaksi riwayat lainnya disebutkan dengan ungkapan “Hendaklah yang paling pertama kamu serukan kepada mereka adalah syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah.”)

Hal ini memberikan pelajaran penting bagi kita bahwa ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita adalah ibadah yang bersih dari syirik. Tidak boleh kita beribadah kepada Allah, tetapi di sisi lain kita juga mempersembahkan ibadah kepada selain Allah. Allah berfirman,

وَٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَیۡـࣰٔاۖ

“Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apa pun.” (QS. An-Nisa’: 36)

Allah juga berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوۤا۟ إِلَّاۤ إِیَّاهُ

“Dan Rabbmu telah menetapkan bahwa janganlah kalian beribadah, kecuali kepada-Nya.” (QS. Al-Isra’: 23)

Kemudian hal ini juga menegaskan kepada kita bahwasanya tauhid bukan semata-mata keyakinan bahwa Allah menjadi satu-satunya pencipta dan pengatur alam semesta. Adapun keimanan bahwa Allah merupakan pencipta alam ini serta yang mengatur segala urusan merupakan sebuah keyakinan yang sudah dimiliki oleh kaum musyrikin Quraisy. Keyakinan seperti itu juga belum cukup untuk memasukkan pemiliknya ke dalam agama Islam.

Apa hubungan tauhid dengan akidah?

Ya, sebagian kita mungkin juga bertanya. Apa kaitan antara tauhid (sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas) dengan istilah akidah. Bukankah akidah itu perkara keyakinan yang ada di dalam hati. Hal ini akan mudah dimengerti apabila kita melihat kepada penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang iman (sebagaimana disebutkan dalam hadis Jibril) bahwa iman itu adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dst. Iman kepada Allah inilah yang biasa disebut dengan istilah tauhid oleh para ulama. Oleh sebab itu, Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa tauhid ini merupakan pokoknya keimanan.

Dalam sebuah riwayat disebutkan ucapan Hasan Al-Bashri rahimahullah“Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.” Dengan bahasa lain, iman itu mencakup keyakinan hati dan amal dengan anggota badan. Intisari keimanan kepada Allah sendiri ada pada kalimat laa ilaha illallah atau kalimat tauhid. Di dalamnya terkandung pengakuan dan keyakinan bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah. Menetapkan bahwa Allah yang berhak disembah dan menolak segala bentuk sesembahan selain-Nya. Inilah yang diserukan oleh setiap rasul kepada kaumnya. Allah berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl : 36) Imam Malik rahimahullah menafsirkan thaghut sebagai segala bentuk sesembahan selain Allah.

Maksudnya, jika kita meyakini bahwa hanya Allah sesembahan yang benar, maka kita juga harus tunduk beribadah kepada Allah semata, melakukan amal saleh, dan menjauhi syirik. Tidak cukup bermodalkan keyakinan tanpa disertai dengan amal ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, Allah berfirman,

وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰ⁠لِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya agama/amal dengan hanif/bertauhid, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Demikian pula sebaliknya, tidak cukup ucapan dengan lisan atau syahadat jika tidak disertai dengan keyakinan di dalam hati tentang keesaan Allah dalam hal ibadah dan wajibnya mengimani apa-apa yang wajib diimani. Oleh sebab itu, ucapan syahadat dari kaum munafikin tidak bermanfaat di akhirat. Bahkan, mereka dihukum di kerak neraka yang paling bawah selama-lamanya disebabkan ucapan mereka hanya di lisan dan tidak disertai dengan keyakinan hati. Pada hakikatnya, mereka itu adalah para pembohong, menampakkan beriman padahal hatinya penuh dengan kekafiran.

Penjelasan ulama tentang akidah

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

“Akidah adalah hal-hal yang diyakini di dalam hati dan dipastikan olehnya. Ia disebut dengan akidah, bisa juga disebut dengan ‘iman’ sebagaimana para salaf dahulu menamainya dengan istilah ‘iman’. Dan ia juga bisa disebut dengan nama ‘as-sunnah’.

Oleh sebab itulah, anda temukan bahwasanya karya-karya ulama salaf itu berbeda-beda namanya. Sebagian diberi judul ‘Iman’ atau ‘Ushul/pokok keimanan’. Sebagian yang lain diberi judul dengan nama ‘As-Sunnah’. Seperti contohnya adalah kitab As-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad, kitab As-Sunnah karya Al-Atsram. Demikian pula kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah karya Al-Lalika’i. Di antara para ulama ada yang menyebut perkara akidah dengan sebutan ‘iman’. Di antara ulama juga ada yang menyebutnya dengan nama ‘akidah’. Dan di antara mereka ada yang menamainya dengan sebutan ‘tauhid’.

Itu adalah nama-nama yang berbeda, akan tetapi maknanya satu. Setiap nama ini diambil dari dalil-dalil. Ia bukan sekedar istilah buatan manusia sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian kalangan. Dari sanalah para ulama memberikan perhatian besar terhadap masalah ini, yaitu persoalan akidah, iman, atau as-sunnah.

Mereka mencurahkan perhatian yang sangat besar terhadap hal ini. Mereka menekuni hal ini dengan serius. Mereka pun menyusun banyak karya tulis untuk menjelaskan masalah ini, menerangkan pokok-pokoknya, dan menjabarkan dalil-dalilnya. Karena masalah ini menjadi asas/pondasi tegaknya agama. Mereka menulis dalam bidang ini baik dalam bentuk prosa ataupun sajak. Di dalamnya mereka kumpulkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.” (lihat Syarh Ad-Durrah Al-Mudhiyyah, hal. 13)

Dari keterangan beliau di atas, kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa sesungguhnya tauhid ini juga merupakan nama lain dari akidah dalam istilah yang digunakan oleh para ulama salaf. Mari kita simak keterangan beliau di kitab lain yang menunjukkan bahwa maksud utama dari penjelasan akidah oleh para ulama bukan sekedar keyakinan tetapi juga mencakup ibadah kepada Allah. Karena akidah saja tanpa amal ibadah kepada Allah tidak akan diterima di sisi Allah.

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Akidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan akidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apa pun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan akidahnya.” (lihat Ia’nat Al-Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah Ar-Risalah)

Meskipun demikian, kita tidak menafikan bahwa akidah dalam artian keyakinan hati memang memiliki peran dan kedudukan yang sangat agung di dalam Islam. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah menerangkan bahwa kedudukan akidah bagi ilmu-ilmu maupun amal-amal yang lain laksana pondasi bagi sebuah bangunan. Laksana pokok bagi sebatang pohon. Sebagaimana halnya sebuah bangunan tidak bisa berdiri tanpa pondasi dan pohon tidak akan tegak tanpa pokok-pokoknya, maka demikian pula amal dan ilmu yang dimiliki seseorang tidak akan bermanfaat tanpa akidah yang lurus. Oleh sebab itu, perhatian kepada masalah akidah harus lebih diutamakan daripada perhatian kepada masalah-masalah apa pun. Apakah itu kebutuhan makanan, minuman, atau pakaian. Karena akidah itulah yang akan memberikan kepada seorang mukmin kehidupan yang sejati, yang dengannya jiwanya menjadi bersih, amalnya menjadi benar dan ketaatan bisa diterima. Dan dengan sebab itu pula derajatnya akan semakin meninggi di hadapan Allah ‘Azza Wajalla. (lihat Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Aqidah Al-Hafizh Abdul Ghani Al-Maqdisi, hal. 8 cet. I, 1424 H)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati syariat, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan anggota badan tidak akan bermanfaat tanpanya. Dan amalan hati lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara mukmin dengan munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah anggota badan, lebih banyak, dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di sepanjang waktu.(lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)

Dengan begitu, kita bisa memahami bahwa belajar akidah itu tidak boleh berhenti. Karena akidah itu merupakan bagian dari amalan hati yang wajib di sepanjang waktu. Sementara hati manusia ini sering berbolak-balik, terkadang ia condong kepada kebaikan, tetapi terkadang ia juga condong kepada keburukan. Begitu pula belajar tauhid tidak boleh ditinggalkan karena tauhid inilah syarat diterimanya seluruh amalan. Allah berfirman,

إِنَّهُۥ مَن یُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِینَ مِنۡ أَنصَارࣲ

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Wallahu a’lam bish-shawaab.

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84927-sampai-kapan-belajar-aqidah.html

81 Persen Jamaah Haji Indonesia Lunasi Pembayaran Melalui BSI

BSI akan membuka Gerai Layanan Offline di 14 titik Embarkasi Haji.

Direktur Sales & Distribution BSI Anton Sukarna mengungkapkan 81 persen jamaah haji yang berangkat tahun ini, melunasi melalui Bank Syariah Indonesia. Tercatat, total jamaah haji regular BSI yang berangkat tahun 2023 yakni lebih dari 165 ribu jamaah haji dari total jamaah haji Indonesia sebesar 203.320.

\”Keberangkatannya tersebar di 14 Embarkasi Haji di Indonesia,” ujar Anton, dikutip Ahad (21/5/2023).

Adapun prosentase tertinggi di embarkasi Solo sebesar 17.7 persen. Selanjutnya, embarkasi Surabaya 16 persen dan sisanya tersebar di kota-kota seluruh Indonesia.

Menurut Anton, BSI terus berkomitmen untuk menjadi sahabat finansial, sosial, dan spiritual bagi masyarakat Indonesia. Haji dan umrah adalah salah satu fokus BSI dalam mengembangkan ekosistem Islam. Ibadah Haji ini menjadi ciri khas dan amanah bagi bank syariah untuk memberikan layanan prima bagi seluruh jamaah.

“Alhamdulillah, seluruh proses pelunasan biaya haji sudah selesai 100 persen. Terima kasih kepada seluruh nasabah BSI atas kepercayaannya dan dukungan dari berbagai pihak. Kami siap bekerja sama dengan Kementerian Agama guna mendukung peningkatan layanan ibadah haji,” kata Anton.

Anton melanjutkan pada musim keberangkatan Haji tahun 2023 ini, BSI hadir lebih dekat dengan calon jemaah. Dalam hal ini, BSI ditunjuk oleh Kantor wilayah Kemenag Provinsi untuk dapat menyediakan dan mendistribusikan Living Cost dalam bentuk mata uang IDR kepada Jamaah Haji.

Selain itu, BSI akan membuka Gerai Layanan Offline di 14 titik Embarkasi Haji. Calon jamaah haji dapat menukarkan mata uang Riyal (SAR) dan BSI menyediakan uang SAR dengan pecahan kecil dalam bentuk Paket (1 Paket = SAR250).

Selain itu, BSI juga membuka layanan Kartu BSI Debit Haji berlogo VISA yang dapat digunakan jamaah selama di tanah suci untuk kebutuhan transaksi penarikan uang tunai di ATM berlogo VISA maupun kebutuhan berbelanja di merchant-merchant yang berlogo VISA. Selanjutnya, BSI Mobile juga dapat digunakan untuk transaksi dimanapun dan kapanpun dengan call centre 14040 yang siap melayani nasabah.

IHRAM

Berkah Haji Buat UMKM

UMKM penjual oleh-oleh haji mengalami peningkatan penjualan.

Penjualan perlengkapan haji di Kota Medan, Sumatera Utara mengalami peningkatan menjelang musim haji 2023.

Salah seorang pedagang perlengkapan haji, Agus Salim, di Medan, Ahad, mengaku peningkatan penjualan perlengkapan haji tahun ini mencapai 45 persen.

“Alhamdulillah, penjualan meningkat. Jika dibandingkan tahun lalu, naik hingga 45 persen, rata-ratanya segitu,” ujarnya.

Pria yang berjualan di Pasar Ikan Lama Jalan Perniagaan Kota Medan ini menjelaskan, pembeli tidak hanya warga Kota Medan, tetapi juga dari Banda Aceh, Lhokseumawe, Pekanbaru, Langkat, Gunung Tua dan sejumlah daerah lainnya.

“Di sini kita menjual cukup lengkap seperti kain ihram, ikat pinggang haji, handuk, sarung, sepatu dan lain-lain. Rata-rata harganya mulai dari puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah,” katanya.

Hal serupa juga diungkapkan Muklis. Pedagang yang sudah 15 tahun berjualan perlengkapan haji ini juga mengaku mendapati penjualan yang meningkat tahun ini.

“Iya, menjelang musim haji tahun ini banyak calon jamaah haji yang mencari perlengkapan ibadah haji,” ujarnya.

Muklis menyebut perlengkapan haji yang paling banyak dicari yakni kaos, celana bargo-bargo, kerudung besar, kaos kaki serta pakaian dalam.

“Cuma tahun ini ada kenaikan harga di beberapa barang, seperti pakaian dalam atau kaos oblong yang kemarin kita jual Rp20.000 sekarang kita jual Rp30.000,” katanya.

sumber : Antara

Tips Agar Menjadi Haji Mabrur

 Berikut tips agar menjadi haji mabrur. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Haji yang diterima atau disebut sebagai haji mabrur adalah haji yang dilakukan dengan ikhlas, sesuai tuntunan Rasulullah SAW, dan mendapatkan ridha Allah SWT.

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ

Artinya: (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu109) mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.

Tips Agar Menjadi Haji Mabrur

Dalam upaya untuk mendapatkan haji mabrur, ulama telah memberikan petunjuk dan pedoman yang lengkap. Berikut adalah beberapa tips agar mendapatkan dan menjadi haji mabrur menurut ulama.

  1. Memperbarui Niat dan Meningkatkan Iman

Niat yang tulus dan iman yang kuat merupakan fondasi utama untuk mendapatkan haji mabrur. Seorang Muslim harus memiliki niat yang murni dan benar-benar ikhlas dalam menjalankan ibadah haji.

Dalam kitab “Fathul Majid” karya Syaikh Abdul Rahman bin Hasan Al-Alshaikh, dijelaskan pentingnya niat yang tulus dan kuat dalam melakukan segala ibadah, termasuk haji.

“إن النية المخلصة هي أساس العبادة، فعلى المسلم أن يكون له نية طاهرة وصادقة في أداء مناسك الحج، وهذا ما يشرحه الشيخ عبد الرحمن بن حسن الألشيخ في كتابه “فتح الماجد”.

Artinya: Niat yang tulus adalah dasar ibadah, sehingga seorang Muslim harus memiliki niat yang murni dan tulus dalam melakukan manasik haji, dan inilah yang dijelaskan oleh Sheikh Abd al-Rahman bin Hassan al-Sheikh dalam bukunya “Fath al-Majid. ”

2. Memperdalam Pengetahuan tentang Rukun dan Sunnah Haji

Sebelum melaksanakan haji, penting untuk memperdalam pengetahuan tentang rukun dan sunnah haji. Kitab “Bidayatul Mujtahid” karya Ibnu Rusyd memberikan penjelasan mendalam tentang tata cara haji berdasarkan dalil-dalil syar’i.

Dengan memahami rukun dan sunnah haji, seorang Muslim dapat menjalankan ibadah haji dengan benar dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.

3. Memperbaiki Akhlak dan Meningkatkan Ketaqwaan

Selain melaksanakan rukun-rukun haji secara fisik, penting juga untuk memperbaiki akhlak dan meningkatkan ketaqwaan. Kitab “Riyadhus Shalihin” karya Imam Nawawi memberikan panduan mengenai akhlak yang harus ditingkatkan dalam menjalankan ibadah haji. Dengan memiliki akhlak yang baik dan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, seorang Muslim dapat meraih haji mabrur.

4. Berbuat Baik kepada Sesama

Dalam menjalankan ibadah haji, seorang Muslim juga harus berbuat baik kepada sesama manusia. Bantuan kepada orang lain, berbagi rezeki, dan menahan diri dari sikap buruk adalah beberapa bentuk kebaikan yang harus diperhatikan.

Dalam kitab “Al-Adab al-Mufrad” karya Imam Bukhari, terdapat hadis-hadis yang menunjukkan pentingnya berbuat baik kepada sesama dalam mendapatkan haji mabrur.

5. Menghindari Dosa dan Perbuatan Haram

Untuk mendapatkan haji mabrur, seorang Muslim harus menjauhi dosa dan perbuatan haram. Mengikuti tuntunan syariat Islam, menjaga lidah dari ghibah (mencela), memelihara pandangan dari hal-hal yang terlarang, dan menjauhi perbuatan maksiat adalah beberapa langkah penting dalam mencapai haji mabrur.

Kitab “Mukhtasar Minhajul Qashidin” karya Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi menjelaskan mengenai pentingnya menjaga diri dari dosa dalam pelaksanaan ibadah.

Dalam rangka mendapatkan haji mabrur, sangat penting bagi seorang Muslim untuk memperbarui niat, memperdalam pengetahuan tentang haji, memperbaiki akhlak, berbuat baik kepada sesama, serta menghindari dosa dan perbuatan haram.

Pedoman-pedoman ini didasarkan pada kitab-kitab klasik seperti “Fathul Majid” karya Syaikh Abdul Rahman bin Hasan Al-Alshaikh, “Bidayatul Mujtahid” karya Ibnu Rusyd, “Riyadhus Shalihin” karya Imam Nawawi, “Al-Adab al-Mufrad” karya Imam Bukhari, dan “Mukhtasar Minhajul Qashidin” karya Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi.

Dengan mengikuti petunjuk ulama dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara konsisten, diharapkan setiap Muslim dapat meraih haji mabrur yang diiringi ridha Allah SWT. Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji dengan sempurna dan mendapatkan haji mabrur.

Demikian penjelasan terkait tips agar menjadi haji mabrur. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Menjauhi Dosa Gibah

Hubungan sosial dalam masyarakat tergambar dari komunikasi yang dibangun dalam pergaulan sehari-hari, khususnya di kalangan anak muda. Hal ini juga tidak terlepas di kalangan kaum tua. Namun sayang, disadari atau tidak, kita kadangkala terjerumus pada perbuatan dosa. Dosa itu dikenal dengan nama “gibah”.

Percakapan dan diskusi dalam hubungan sosial tersebut seakan terasa hambar jika tidak membicarakan tentang seseorang, baik dari segi positif maupun negatifnya. Orang yang dibicarakan tersebut umumnya tidak berada di tengah-tengah percakapan atau diskusi tersebut.

Kita pun menyadari bahwa sebagian besar topik pembicaraan itu terkadang berkaitan dengan aib seseorang yang semestinya kita jaga dan tidak dibicarakan. Meskipun kita tahu kebenaran tentang aib tersebut. Namun, rasa-rasanya godaan setan dan dorongan nafsu untuk tetap membicarakan aib orang lain seakan tak terbendung sehingga tanpa sadar kita telah melakukan perbuatan menggibahi saudara kita sendiri. Wal’iyadzu billah.

Gibah dalam definisi syariat

Perhatikan hadis berikut:

قيل يا رسولَ اللهِ ما الغيبةُ ؟ قال : ذِكرُك أخاك بما يكرهُ . قال : أرأيتَ إن كان فيه ما أقولُ ؟ قال : إن كان فيه ما تقولُ فقد اغتبتَه ، وإن لم يكنْ فيه ما تقولُ فقد بهَتَّه

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Ya Rasulullah, apakah gibah itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “(Gibah) adalah engkau menyebutkan perkara yang tidak disukai saudaramu.” Beliau ditanya, “Bagaimana pendapat engkau, jika yang aku ceritakan tentang saudaraku benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau katakan benar ada padanya, maka sungguh engkau telah menggibahinya. Namun, jika tidak, maka engkau telah menebarkan kedustaan atasnya.” (HR. Muslim (2589), Abu Daud (4874),  At-Tirmidzi (1934), An-Nasa’i (11518), dan Ahmad (8985), disahihkan oleh Al-Albani, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Gibah bersumber dari prasangka. Padahal setiap pikiran memiliki keterbatasan. Hanya saja banyak manusia yang tidak menyadarinya sehingga cukup mudah berprasangka, menghakimi, bahkan menyimpulkan hal-hal yang berkaitan dengan sisi buruk orang lain. Wal’iyadzu billah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujarat: 11)

Saudaraku, renungkanlah! Meski aib orang yang kita bicarakan itu adalah nyata, selama hal itu merupakan perkara yang tidak disukai oleh orang yang kita bicarakan, maka tetap menjadi hal yang terlarang dalam agama. Karena itulah yang disebut dengan gibah. Sedangkan jika hal itu tidak benar adanya, maka kita telah berbuat kedustaan.

Prasangka adalah awal mula daripada perbuatan gibah karena prasangka membawa seseorang untuk mencari keburukan orang lain. Bayangkan, dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa perumpamaan orang yang menggunjing (menggibah) adalah bagaikan memakan daging saudaranya yang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa sungguh gibah adalah perbuatan yang menjijikkan yang seharusnya kita jauhi.

Agar terhindar dari perbuatan gibah

Pertama: Menjauh dari lingkungan yang buruk

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرَّجلُ على دِينِ خليلِه ، فلْينظُرْ أحدُكم مَن يُخالِلْ

“Seseorang di atas agama sahabatnya. Hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang hendak ia jadikan sahabatnya.”  (HR. Abu Dawud, lihat Kitab Shahih Abu Dawud hal. 4833, dihasankan oleh Al-Albani)

Sebenarnya, kita telah mengetahui karakteristik setiap majelis yang sering kita hadiri, topik apa yang sering dibicarakan, dan bagaimana sifat teman-teman kita yang notabene menyampaikan pikiran dan pendapatnya dalam majelis tersebut. Kemudian, kita pun menyadari bahwa kadangkala percakapan dan diskusi dalam majelis tersebut tidak bisa lepas dari perbuatan gibah.

Oleh karenanya, apabila kita telah mengetahui hal tersebut, itu adalah pertanda bahwa majelis tersebut tidak baik untuk kita sehingga kita bisa mengantisipasi diri untuk tidak terlibat dalam perbuatan gibah. Namun, alangkah lebih baik apabila kita mampu mewarnai majelis tersebut dengan mengalihkan setiap pembicaraan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat seperti mendiskusikan tentang rencana mengikuti kajian Islam, ide-ide baru tentang bisnis, serta motivasi untuk saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran sehingga majelis tersebut menjadi majelis yang memberikan manfaat bagi diri kita dan para sahabat kita.

Kedua: Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ من حُسْنِ إسلامِ المرءِ تَركَهُ ما لا يَعْنِيهِ

“Sesungguhnya tanda kebaikan seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya, lihat kitab Tarikh Baghdad karya Al-Khatib Al-Baghdadi nomor 12/64, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat adalah hal yang sangat mulia. Di era digital ini, kita mudah hanyut dalam hal-hal yang bahkan tidak bermanfaat sama sekali bagi diri kita, baik terkait urusan dunia maupun akhirat. Utamanya berkaitan dengan pergaulan dalam suatu majelis baik dengan satu, dua, atau banyak manusia. Lagi-lagi, kita lebih mengetahui apakah dengan melibatkan diri dalam majelis tersebut akan mendatangkan manfaat bagi diri kita atau tidak?

Saudaraku, seorang muslim yang bertekad untuk menjalani hari-hari dengan penuh manfaat hendaknya membuat rencana detail apa yang akan ia lakukan. Pada hari itu, pekan itu, tahun itu, dan bahkan apa yang akan ia ikhtiarkan untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Seorang muslim adalah visioner. Ia mengetahui apa yang harus ia lakukan dengan berbagai manfaat bagi dirinya dan bagi umat. Dengan rencana detail yang telah kita persiapkan, kita menjadi lebih sibuk dengan muhasabah diri. Dan dengannya kita terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi diri kita khususnya dari perbuatan gibah yang justru mendatangkan dosa.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,

فطُوبى لمن شغله عيبُه عن عيوب النَّاس

Maka, berbahagialah bagi orang yang menyibukkan dirinya (dengan mengintrospeksi diri) dari aibnya sendiri daripada ia sibuk mencari aib orang lain.” (Lihat Kitab Miftah Darussaadah wa Mansyur Wilayatil Alam wal Iradh karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 344)

Menjaga aib orang lain = Menutupi aib diri sendiri

Saudaraku, sadarilah bahwa kita sebagai hamba (yang penuh dengan kekurangan, kesalahan, kekhilafan, dan dosa) adalah manusia yang selamanya bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Di antara ketergantungan kita tersebut adalah keinginan agar aib-aib dan dosa-dosa kita ditutupi oleh Allah Ta’ala agar kita dipandang mulia di hadapan manusia.

Ingat! Sekali Allah Ta’ala membuka aib kita, maka sungguh bisa jadi kita akan jauh lebih hina di mata manusia daripada orang-orang yang selama ini kita sebut-sebut aibnya. Oleh karenanya, janganlah kita menjadi penyebab terbukanya aib diri sendiri dengan menyebut-nyebut aib saudara kita sendiri. Allah Ta’ala Mahatahu siapa hamba-hamba-Nya yang lebih hina atau lebih bertakwa di hadapan-Nya.

Muhammad ibnu Wasi’ rahimahullah berkata,

وْ كَانَ لِلذُّنُوبِ رِيحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ

“Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Lihat Kitab Muhasabatu An-Nafsi li Ibni Abi Dunya karya Ibnu Abi Dunya, hal. 82)

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84901-menjauhi-dosa-gibah.html

Pentingnya Muslim Membangun Kesungguhan

Termasuk salah satu pendorong kesungguhan adalah melihat perjalanan hidup para nabi dan sahabat dalam hidup dan ibadah mereka

KESUNGGUHAN dan keseriusan seorang muslim merupakan cerminan jiwa yang telah tersiram oleh Kitabullah. Karena al-Qur’an adalah Kitab yang haq yang tidak ada laghwu (kesia-siaan) dan juga tidak ada senda gurau di dalamnya.

Allah subhanahu wata´ala berfirman, artinya,

اِنَّهٗ لَقَوۡلٌ فَصۡلٌۙ

وَّمَا هُوَ بِالۡهَزۡلِؕ

“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil, dan sekali-kali bukanlah dia sendau gurau.” (QS: At-Tariq [86]:13-14)

Firman Allah subhanahu wata´ala yang lain, artinya,

إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.“(QS: 33:72)

Keseriusan dan kesungguhan memiliki tanda-tanda dan fenomena yang amat banyak, di antaranya yaitu:

1. Ikhlash

Ikhlas merupakan salah satu pembeda yang pokok antara seorang yang bersungguh-sungguh dengan yang main-main. Orang yang tidak ikhlas, maka bisa jadi seorang munafik dan bisa jadi adalah riya’.

Sedangkan orang muslim yang sesungguhnya, tidak berbuat munafik dan tidak riya’, sebab tujuannya adalah ridha Allah subhanahu wata´ala dan mengharap pahala-Nya.

2. Ittiba’ (mengikuti) Nabi ﷺ

Ini merupakan pembeda ke dua dari keseriusan seorang muslim, karena seorang muslim akan berusaha maksimal agar amal ibadahnya diterima, sedangkan suatu amal akan diterima jika memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas dan mutaba’ah.

3. Adil dan Pertengahan

Serius bukan berarti ekstrim atau berlebihan, namun maknanya adalah adil dan pertengahan. Allah subhanahu wata´ala melarang dari sikap ghuluw (ekstrim), dan Rasulullah ﷺ memberitahukan bahwa ghuluw merupakan sebab kehancuran dan kerusakan.

Sikap pertengahan akan dapat memelihara kelangsungan suatu amal, kontinyuitas dalam ketaatan dan menjaganya agar tidak terputus atau mengalami kebosanan.

4. Intens dalam Ketaatan

Intensif dalam melakukan ketaatan dan mengambil setiap kesempatan untuk melaksanakan berbagai bentuk ibadah, bersyukur dan berdzikir kepada Allah subhanahu wata´ala dan terus menambah hal itu bukan termasuk ghuluw selagi dilakukan dalam batas-batas syara’.

Sebagaimana dimaklumi bahwa iman itu bertambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dan mempertahankan ketaatan, membuka pintu-pintuk kebaikan dan ikut andil di dalamnya merupakan penambah keimanan sekaligus merupakan bukti dari kesungguhan seorang muslim dalam beribadah.

5. Jelas dalam Tujuan

Seorang muslim meskipun berbeda profesi dan bermacam-macam bidang yang mereka geluti namun mereka memiliki tujuan pokok dan prinsip yang sama yakni mencari keridhaan Allah subhanahu wata´ala dan mengharap pahala di sisi-Nya.

Oleh karena itu seorang muslim menjadikan seluruh aktivitasnya sebagai bentuk ibadah, wasilah dan sarana untuk mencapai tujuan pokok tersebut.

Dengan tujuan yang terpuji ini maka kita dapat menjadikan tidur, makan,minum, kesibukan dan juga waktu luang kita sebagai bagian dari ibadah yang mendapatkan pahala, jika diniatkan dengan benar ketika melakukaknnya.

6. Berkemauan Tinggi

Berkemauan tinggi merupakan ciri dari orang-orang yang serius, sebab seorang yang berkemauan tinggi tidak rela dengan kemalasan, tidak mudah bosan dan tidak suka berleha-leha.

Keinginannya selalu menggiringnya kepada perkara-perkara yang tinggi dan permasalahan yang besar, maka di antara mereka ada yang tekun dalam mendalami ilmu, ada yang serius dalam beribadah, ada yang sungguh-sungguh dalam menerapkan akhlaq dan adab dan lain sebagainya.

Meskipun umur mereka pendek, namun dengan keseriusan dan kesungguhan, mereka mampu berpindah dari satu kondisi ke kondisi yang lebih sempurna, dari satu kedudukan ke kedudukan yang lebih tinggi dan seterusnya hingga ajal menjemput. Allah subhanahu wata´ala berfirman,

وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr [15]:99).

7. Berteman dengan Orang Serius

Salah satu hal yang dapat menjadi kan seorang muslim tetap dalam keseriusan adalah berteman dengan orang serius, karena manusia akan terpengaruh dengan teman pergaulan nya.

Jika seseorang berteman dengan orang yang senang berbuat sia-sia, main-main dalam hidup, senang kepada kebatilan, menyia-nyiakan waktu, maka dia pun akan terpengaruh oleh mereka dan akan menjadi salah satu bagian dari mereka.

8. Tegar Menghadapi Masalah

Orang yang sungguh-sungguh akan tegar dalam menghadapi masalah dan dia tidak lari darinya tanpa berusaha mencari solusinya. Dia hadapi masalah dengan bijak dan tenang, dan ia jadikan itu sebagai tonggak untuk memulai sebuah langkah baru, sehingga dengan kemampuan dan pikiran yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wata´ala permasalahan akan terselesaikan dan jalan keluar dari berbagai ujian dan cobaan akan diperoleh.

Di antara yang perlu diperhatikan adalah mencari waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah, yakni waktu-waktu yang lapang dan tenang untuk dapat merenung dan mencurahkan pikiran dengan maksimal.

Selain itu juga terkadang perlu untuk meminta pendapat dari pihak lain, terutama teman-teman dan sahabat yang diketahui responsif, mempunyai kemampuan berpikir dengan teliti dalam memandang suatu masalah.

9. Syamil (Universal)

Seorang muslim yang bersungguh sungguh tidak pilih-pilih dalam melaksanakan agamanya, sebagai mana hal itu diperintahkan Allah subhanahu wata´ala dalam firman-Nya, artinya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya.” (QS. Al-Baqarah:208)

Ibnu Abbas radhiyallahu `anhu berkata, ” Makna ayat ini adalah kerjakan seluruh amal perbuatan dan seluruh sisi kebaikan.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/324)

Seorang muslim tidak boleh membuang bagian dari agama Allah sekehendaknya, mengambil yang ini dan meninggalkan yang itu sesukanya. Juga bukan cermin keseriusan bila hanya mengerjakan perkara-perkara yang mudah dan enak saja lalu enggan dengan berbagai kewajiban lainnya.

10. Pantang Menunda-nunda

Seorang yang berjiwa serius pantang menunda-nunda dan pantang bersandar kepada angan-angan dusta. Tetapi dia bersegera untuk melakukan ketaatan, menyibukkan diri dengan ibadah dan aktivitas yang berguna.

Dia bertaubat dan beristighfar setiap saat, sebelum dan sesudah melakukan ibadah, dan dia tidak mengatakan, “Nanti saja aku bertaubat, besok saja aku introspeksi diri dan lain sebagainya.” Dia kerjakan shalat dengan baik dan tepat waktu, membaca al-Qur’an dan merenungkan isinya dan dia tidak mengatakan, “Nanti aku akan shalat dengan baik dan banyak membaca al-Qur’an.”

11. Melihat Sirah Nabi dan Shahabat

Termasuk salah satu pendorong kesungguhan adalah dengan melihat perjalanan hidup para nabi dan shahabat sebagai manusia yang penuh dengan kesungguhan dalam hidup mereka. Allah subhanahu wata´ala berfirman, artinya,

لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ۗ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS: Yusuf:111)

12. Menjauhi Sikap Glamour dan Mewah

Setiap orang yang berakal sepakat bahwa nikmat itu tidak dapat diperoleh dengan leha-leha, dan kemuliaan tidak akan tercapai kecuali dengan susah payah.

Maka menghindari gaya mewah dan menjauhi sikap berlebihan merupakan jalan untuk mencapai tingginya himmah (keinginan). Sebagian salaf berkata, “Ilmu itu tidak dapat diraih dengan bersantai-santai.”*/Abdullah Hadrami, sumber “Al Jiddiyah, Thariqul Khairiyah”  

HIDAYATULLAH

Adab Tidur Sesuai Sunnah Rasulullah

Berikut ini adalah adab tidur sesuai sunnah Rasulullah. Sering kali kita dihadapkan dengan kondisi tubuh yang lemah, letih, lesu, usah jalani aktivitas keseharian. 

Dari mulai pegal-pegal karena kerja, ribetnya mengurus rumah, pusing kuliah ataupun merasa capek usai keluar bepergian. Tentunya obat dari lelahnya tubuh adalah istirahat, rehat dari segala aktifitas dan tidur sejenak khususnya di malam hari. 

Adab Tidur Sesuai Sunnah Rasulullah

Nah agar kualitas tidur kita baik, berikut diantaranya beberapa sunnah Rasul yang dapat dilakukan kaum muslimin ketika hendak tidur. 

  1. Ambil Wudhu Sebelum Tidur

Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat untuk berwudhu sebelum tidur :

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ 

“Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR Al Bukhari dan Muslim no 2710).

  1. Mengibaskan Tempat Tidur

Dalam sebuah hadis ada yang menjelakan terkait adab ketika hendak tidur dalam ajaran Islam, yakni sunnah untuk melafatkan basmalah, serta mengibaskan kain pada alas kasurnya ketika umat muslim hendak tidur: 

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَأْخُذْ دَاخِلَةَ إِزَارِهِ فَلْيَنْفُضْ بِهَا فِرَاشَهُ وَلْيُسَمِّ اللهَ فَإِنَّهُ لاَ يَعْلَمُ مَا خَلَفَهُ بَعْدَهُ

“Jika salah seorang di antara kalian akan tidur, hendaklah mengambil potongan kain dan mengibaskan tempat tidurnya dengan kain tersebut sambil mengucapkan, bismillaah, karena ia tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalnya tadi.” (HR Al Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, dan Abu Dawud).

  1. Ketika Tidur Memiringkan Tubuh ke Kanan

اِضْطَجِعْ عَلَى شَقِّكَ اْلأَيْمَنِ 

“Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  1. Meletakan Tangan di bawah Pipi Kanan

Ketika umat mencintai Nabi Muhammad ﷺ, dia akan senantiasa mengikutinya, termasuk beberapa adab yang telah beliau ajarkan sebelum tidur, seperti meletakan tangan kanan di bawah pipi.

كـان إذا رقـد وضع يده اليمنى تحت خـده 

“Rasulullah SAW apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya.” (HR Abu Dawud).

  1. Membaca Surat Al Kafirun

قُلْ يا أيُّها الكافِرُونَ ثُمَّ نَمْ على خاتِمَتِها فإنَّها بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ 

“Bacalah surat Al Kafirun kemudian tidurlah engkau di penghujung ayatnya karena dia melepaskanmu dari kesyirikan.” (HR Abu Dawud).

  1. Mengusap Tubuh

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ كانَ إذا أوَى إلى فِراشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمع كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ فِيهِما فَقَرَأَ فِيهِما: قُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ وقُلْ أعُوذُ برَبِّ الفَلَقِ وقُلْ أعُوذُ برَبِّ النَّاسِ، ثُمَّ يَمْسَحُ بهِما ما اسْتَطاعَ مِن جَسَدِهِ، يَبْدَأُ بهِما علَى رَأْسِهِ ووَجْهِهِ وما أقْبَلَ مِن جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذلكَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ

Dalam hadis tersebut menceritakan tentang kebiasaan Rasulullah ﷺ ketika hendak tidur. Beliau meniupkan pada telapak tangan sambil membaca Qul Huwallahu Ahad (surat Al Ikhlas) dan mu’awwidzatain (surat An Naas dan Al Falaq), kemudian beliau mengusapkan pada wajah dan seluruh tubuh. Ketika beliau sakit, beliau menyuruhku melakukan hal itu (HR Bukhari). 

  1. Membaca Ayat Kursi 

Ayat kursi akan menjaga umat muslim yang membacanya, dari gangguan setan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis:

إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ، فَاقْرَأْ آيَةَ الكُرْسِيِّ: {اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ}، حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika kamu hendak tidur, bacalah ayat kursi sampai selesai satu ayat. Maka akan ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.” (HR Bukhari).

  1. Membaca Dua Ayat Terakhir Al Baqarah 

الآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ البَقَرَةِ، مَنْ قَرَأَهُمَا فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ 

“Dua ayat terakhir surat Al Baqarah, siapa yang membacanya di suatu malam, itu sudah cukup baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).

  1. Bertakbir Pada Allah SWT 

Dalam salah satu riwayat hadis Bukhari mengkisahkan putri Rasulullah Fatimah yang mengadukan kepada Nabi SAW perihal tangannya yang lecet akibat mengaduk gandum. Fatimah meminta seorang pelayan, tetapi dia tidak menemui beliau, lalu Fatimah menitipkan pesan kepada Aisyah. 

Ketika Nabi datang, Aisyah pun menyampaikan pesan kepada baginda Nabi. Ali melanjutkan, 

“Kemudian beliau datang kepada kami ketika kami tengah berbaring (di tempat tidur), maka akupun bangkit berdiri, namun beliau bersabda: “Tetaplah pada tempat kalian berdua.” 

Kemudian Rasul duduk di samping Ali dan Fatimah sampai putrinya merasakan dinginnya kedua telapak kaki beliau, lalu Nabi Muhammad bersabda;

 “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pelayan, apabila kalian berdua hendak tidur maka bertakbirlah kepada Allah sebanyak tiga puluh tiga kali, bertasbihlah sebanyak tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah sebanyak tiga puluh empat, dan ini semua lebih baik buat kalian berdua dari seorang pelayan.” (HR Bukhari).

  1. Membaca Doa Tidur

Dalam kitab Al-Adzkar karya Syaikh Abu Zakariya Muhyiddin an-Nawawi dituliskan doa sebelum tidur yang dibaca Rasul yaitu seperti di bawah ini:

بِاسْمِكَ اللهُمَّ أَحْيَا وَأَمُوْتُ

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang menghidupkan dan mematikan.”

Demikian penjelasan terkait adab tidur sesuai sunnah Rasulullah. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH