BH dan Pandangan Misoginis Terhadap Perempuan

BH tengah viral. Jadi bahan gunjingan nitizen dan masyarakat Indonesia. Berseliweran di pelbagai media. Portal media mainstream dan media sosial. Di Twitter, topik BH ramai dibahas nitizen. Jamaah Facebook pun tak mau ketinggalan. Begitu juga dengan Instragram. Semua beramai-ramai mengeroyok BH. Ini artinya, terdapat pandangan misoginis terhadap perempuan karena pakaian perempuan pun turut dikomentari dan dihujat.

Apa musabab BH jadi obrolan? Hal itu tak terlepas dari sebuah berisi hukum memakai BH bagi perempuan. Dalam tulisan tersebut mengutip fatwa dari Lembaga Fatwa Saudi (yang menurut si penulis lembaga fatwa tersebut melarang pakai BH. Ini hasil teks resmi dari media temanshalih.com:

Hukum memakai BH dalam Islam, memakai BH mengakibatkan bentuk payudara menjadi tampak dan membuat para perempuan tampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah. Wanita muslim tidak boleh memakai BH di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya.

Dalam tulisan itu jelas sekali si penulis melarang perempuan muslimah untuk memakai bra atau BH. Terlebih saat bersama dengan yang bukan mahram. Alasannya akan membuat tubuh perempuan terbentuk. Lebih dari itu, memakai bra membuat para perempuan nampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah.

Unggahan kontroversi itu menyebutkan agar wanita yang tengah taaruf tidak menggunakan bra. Hal itu akan menimbulkan fitnah. Jika perempuan ingin memekai bra, cukup didepan mahram saja. Itu akan lebih aman.

BH dan pandangan misoginis terhadap perempuan

Pandangan kontroversial terhadap perempuan yang memakai BH ibarat fenomena gunung es terhadap diskriminasi dan misoginis terhadap perempuan. Kita tak bisa menutup mata, perempuan selalu dianggap obyek yang membahayakan. Perempuan juga kerap dianggap sumber dosa dan fitnah.

Tak hanya itu, larangan perempuan memakai BH juga mengindikasikan danya pandangan bahwa perempua adalah aurat. Pandangan yang sudah mengakar dan bercangkar lama di tengah masyarakat. Inilah yang membuat perempuan senantiasa mengalami diskriminasi sosial.

Perempuan aurat inilah yang menjadi titik masalah sosial perempuan. Sehingga menimbulkan konsepsi buruk tentang perempuan. Misalnya perempuan tak boleh tampil di hadapan publik. Perempuan tak boleh menjadi guru, pembicara seminar, dan tokoh publik.

Untuk memperkuat argumen dikutipkan hadis-hadis yang seolah mendukung pandangan bahwa perempuan adalah aurat. Tepat seperti yang dikatakan oleh Lies Marcoes, tokoh feminis Indonesia yang menyatakan diskriminasi  perempuan itu lekat sebab didukung oleh pandangan misoginis. Inilah hadis yang melegitimasi perempuan adalah aurat.

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Artinya; Dari Abdullah bin Masud Nabi bersabda; perempuan itu aurat. Maka ketika ia keluar rumah, setan akan menyambutnya (menggodanya berbuat dosa dan mengajaknya menggoda orang lain untuk berbuat dosa.

Perempuan aurat ini berimplikasi besar terhadap perempuan. Seperti ditulis oleh KH. Faqihuddin Abdul Qodir dalam buku Perempuan (Bukan) Fitnah, dengan mengutip pandangan Syekh Al Ghazali ulama besar Al Azhar yang menyesalkan pandangan misoginis terhadap perempuan.

Hal ini membuat pandangan seolah perempuan hanya boleh keluar dari rahim ibunya. Keluar dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya. Pun dari rumah suaminya ke liang lahat. Itu saja aktivitas yang membolehkan perempuan. Sisanya, perempuan hanya boleh tinggal di rumah, sebab ia adalah aurat.

Padahal sejatinya, perempuan adalah manusia utuh layaknya laki-laki. Punya kesempatan yang sama untuk eksis di depan publik. Perempuan juga bisa jadi tokoh publik, politisi, pengusaha, karyawan, sekolah, shalat ke masjid dan jadi aktivis kemanusiaan. Itulah tugas mulia laki-laki dan perempuan sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Terkait teks hadis perempuan adalah aurat, KH Faqihuddin Abdul Qodir menawarkan gagasan mubadalah untuk memahami teks tersebut. Metode mubadalah dengan menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subyek setara di hadapan makna yang dimunculkan.

Hal itu bisa terlihat jika merujuk pada Q.S al Ahzab/33;13, misalnya dikatakan aurat adalah sesuatu yang mudah diserang musuh suatu kaum atau bangsa dan dijadikan alat untuk menghancurkan keseluruhan kaum atau bangsa tersebut. Allah berfirman;

وَإِذۡ قَالَت طَّآئِفَةٌ مِّنۡهُمۡ يَٰٓأَهۡلَ يَثۡرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمۡ فَٱرۡجِعُواْ ۚ وَيَسۡتَـٔۡذِنُ فَرِيقٌ مِّنۡهُمُ ٱلنَّبِىَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوۡرَةٌ وَمَا هِىَ بِعَوۡرَةٍ ۖ إِن يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارًا

Artinya; (Ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata, “Wahai penduduk Yasrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu. Maka, kembalilah kamu!” Sebagian dari mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Padahal, rumah-rumah itu tidak terbuka. Mereka hanya ingin lari (dari peperangan).

Dengan makna ini, agar sesuatu tidak lagi aurat sesuatu itu harus diperkuat, dilindungi, atau bahkan diubah menjadi alat pertahanan yang meningkatkan harga diri dan wibawa suatu kaum. Begitu penjelasan dalam buku Perempuan (Bukan) Fitnah.

Akhirnya, pandangan misoginis terhadap perempuan hingga hari ini masih terus eksis. Diskriminasi terhadap perempuan sampai sekarang masih saja ada dan menancapkan kuku. Sehingga perempuan selalu menjadi obyek diskriminasi. Untuk itu, tugas kita bersama untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat luas.

Oleh: Aisyah Nursyamsi

BINCANG MUSLIMAH

Mengapa Alquran Sebut Dunia Hanya Permainan?

Dalam Surah Al-An’am Ayat 32 disebutkan bahwa dunia hanya permainan dan sanda gurau. Tafsir ayat ini merengkan bahwa perumpamaan dunia hanya permainan bagi mereka yang mengingkari akhirat dan terlalu mencintai dunia.

وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti? (QS Al-An’am: 32)

Tafsir Kementerian Agama menerangkan, ayat ini menegaskan gambaran kehidupan duniawi dan ukhrawi. Kehidupan dunia sesungguhnya tidak lain hanyalah permainan dan hiburan. Bagi mereka yang mengingkari hari kebangkitan, sehingga mereka sangat mencintai hidup duniawi.

Mereka seperti anak-anak bermain-main, mereka memperoleh kesenangan dan kepuasan sewaktu dalam permainan itu. Semakin pandai mereka mempergunakan waktu bermain semakin banyak kesenangan dan kepuasan yang mereka peroleh. Sehabis bermain, mereka tidak memperoleh apa-apa.

Mereka seperti pecandu narkotik, mereka mendapatkan perasaan yang amat menyenangkan sewaktu mereka tenggelam dalam kemabukan narkotika itu. Hilanglah segala gangguan pikiran yang tidak menyenangkan, lenyaplah kelelahan dan kelesuan rohaniah dan jasmaniah pada waktu itu. Tetapi itu hanya sebentar, bila pengaruh narkotik itu sudah tidak ada lagi, perasaan yang menyenangkan itupun lenyap dan dia menderita kelelahan lebih berat dari sebelum menggunakan narkotik.

Begitulah keadaan orang-orang yang ingkar terhadap hari kebangkitan dan hidup sesudah mati. Mereka membatasi diri mereka dalam kesempatan yang pendek itu. Hidup bagi mereka adalah permainan dan hiburan.

Orang-orang beriman dan bertakwa tidak berpikir seperti orang-orang yang ingkar. Tidaklah patut mereka membatasi diri pada garis kehidupan duniawi. Apakah arti kesenangan dan kenikmatan yang hanya sementara, untuk kemudian menderita dengan tidak memperoleh apa-apa.

Oleh karena itu, hendaknya orang-orang beriman memilih kehidupan yang kekal yakni kehidupan ukhrawi, sebab itulah kehidupan yang paling baik. Untuk menghadapi kehidupan yang panjang ini hendaklah mempersiapkan diri dengan amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Kehidupan dunia hanyalah perantara bagi kehidupan akhirat. Orang-orang beriman lebih memilih kehidupan yang abadi daripada kehidupan sementara.

IHRAM

Shalat Batal karena Keluar Suara saat Menguap?

Ust, mau tanya, kalau orang angop (menguap, red), pas lagi Sholat terus keluar suara haaah, itu batal ngga ya shalat nya?

Matur suwun Ustdz…

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah was sholaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ba’du.

Sedikit suara yang keluar ketika menguap di dalam shalat, ada dua macam:

Pertama, di luar kendali dan keinginan.

Maksudnya suara alami yang keluar ketika menguap, batuk, dan yang semisalnya.

Suara menguap yang seperti ini tidak merusak keabsahan shalat.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menerangkan,

أن تخرج الحروف من فيه بغير اختياره مثل أن يتثاءب فيقول: هاه، أو يتنفس أو يسعل فينطق في السعلة بحرفين وما أشبه هذا، أو يغلط في القراءة فيعدل إلى كلمة من غير القرآن، أو يجيئه البكاء فيبكي ولا يقدر على رده، فهذا لا تفسد صلاته.

“Mengeluarkan suara huruf dari mulutnya, namun di luar kendali, seperti mengucapkan “Haah” atau suara keluar karena bernafas, batuk sampai keluar suara dua huruf, atau semisalnya, atau salah membaca ayat sampai keluar bacaan selain Quran, atau menangis yang tidak kuasa ia tahan, hal-hal seperti ini tidak membatalkan shalat.”

Kedua, suara yang masih dalam kendali dan keinginannya, seperti menambah-nambah suara menguap bersin atau batuk, ini dua pendapat ulama tentang hukumnya:

– Ada ulama yang berpendapat: shalat batal.

– Ada ulama yang berpendapat: shalat tidak batal.

Imam Al-Mardawi (salah seorang ulama Mazhab Hambali) menerangkan dalam kitab Al-Inshaf,

 .. أو نفخ فبان حرفان، فهو كالكلام، وهذا المذهب وعليه الأصحاب. واختار الشيخ تقي الدين: أن النفخ ليس كالكلام، ولو بان حرفان فأكثر، فلا تبطل الصلاة به، وهو رواية عن الإمام أحمد… انتهى.

“Meniupkan nafas saat shalat sampai membentuk suara dua huruf, ini dihukumi seperti kalam (berbicara). Pendapat ini dipegang oleh para ulama Mazhab Hambali. Syaikh Taqiyuddin memilih pendapat, bahwa hembusan nafas tidak termasuk kalam, meskipun sampai mengeluarkan dua huruf atau lebih. Ini tidak membatalkan shalat. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad.”

Kesimpulannya: sebaiknya orang yang sedang shalat menghindari segala yang berpotensi membatalkan shalat. Jika sampai sengaja mengeluarkan suara dua huruf atau lebih dengan menguap atau menghela nafas, sebaiknya memilih sikap hati-hati, ia ulangi shalatnya.

Wallahu a’lam bis showab.

Referensi :

Fatawa Syabakah Islamiyyah nomor 444160

***

Dijawab oleh: Ustadz Ahmad Anshori, Lc.

(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Quran Jogjakarta dan Pengasuh Thehumairo.com)

Referensi: https://konsultasisyariah.com/37218-shalat-batal-karena-keluar-suara-saat-menguap.html

Mengapa Allah Memiliki Sifat Mustahil?

Selain memiliki sifat-sifat yang wajib, Allah juga memiliki sifat-sifat yang mustahil. Artinya, sifat-sifat mustahil itu tidak mungkin melekat pada Allah. Menurut ulama mutakallimin, sifat-sifat mustahil bagi Allah yang wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf berjumlah dua puluh sifat, mulai dari sifat ‘adam (tidak ada), dan seterusnya. Lantas mengapa Allah memiliki sifat mustahil ini?

Menurut ulama mutakallimin, mengetahui sifat-sifat yang mustahil bagi Allah adalah wajib bagi setiap muslim yang sudah mukallaf. Jumlahnya sama dengan jumlah sifat-sifat yang wajib bagi Allah, yaitu dua puluh sifat. Ini karena sifat-sifat yang mustahil ini merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang wajib bagi Allah.

Karena itu, jika Allah wajib memiliki sifat wujud atau ada, maka mustahil bagi Allah memiliki sifat ‘adam atau tiada. Jika Allah wajib bersifat qidam atau ada tanpa permulaan, maka mustahil bagi-Nya bersifat hudust atau ada dengan didahului permulaan. Begitu dengan sifat-sifat yang lain. Jika suatu sifat wajib bagi Allah, maka kebalikan dari sifat itu mustahil melekat pada-Nya.

Semua sifat-sifat yang mustahil bagi Allah bertujuan untuk menafikan kekurangan atau ketidaksempurnaan bagi Allah. Semua sifat kekurangan, mulai sifat ‘adam, hudust, fana’ dan seterusnya, adalah mustahil dimiliki oleh Allah. Ini karena Allah Maha Sempurna dan memiliki sifat-sifat kesempurnaan, dan suci dari sifat-sifat kekurangan.

Sehingga jika ada pertanyaan, mengapa Allah memiliki sifat mustahil? Jawabannya adalah untuk menafikan kekuarang dan ketidaksempurnaan bagi Allah. Allah Maha Sempurna, sehingga sifat-sifat yang mengurangi kesempurnaan-Nya adalah mustahil bagi-Nya.

Di antara dalil bahwa Allah mustahil memiliki sifat kekurangan adalah firman-Nya dalam surah Al-Fathir ayat 44 berikut;

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا

Tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.

Juga surah Al-Shaffat ayat 180-182 berikut;

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Maha Suci Tuhanmu, Tuhan yang memiliki kemuliaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.

BINCANG SYARIAH

Mengapa Allah Memiliki Sifat Wajib?

Di antara sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah adalah sifat-sifat yang wajib bagi-Nya. Dalam kitab-kitab tauhid, sifat-sifat yang wajib bagi Allah yang harus diketahui oleh setiap orang mukallaf berjumlah dua puluh sifat, mulai dari waujud, qudrah, iradah, dan seterusnya. Mengapa Allah memiliki sifat wajib, seperti wujud dan lainnya?

Bagi setiap muslim yang sudah mukallaf wajib mengetahui sifat-sifat yang wajib bagi Allah. Pada dasarnya, sifat-sifat yang wajib bagi Allah sangat banyak, tidak terbatas hanya dua puluh sifat saja. Para ulama mutakallimin membatasi sifat-sifat wajib hanya berjumlah dua puluh bukan untuk membatasi sifat-sifat yang wajib bagi Allah, melainkan hanya untuk membatasi sifat-sifat yang wajib diketahui oleh setiap orang mukallaf mengenai sifat-sifat yang wajib bagi Allah tersebut.

Sifat-sifat yang wajib bagi Allah sebagian ditetapkan oleh Allah sendiri dalam Al-Quran dan Rasul-Nya dalam hadis-hadisnya, dan sebagian lagi ditetapkan berdasarkan akal. Sifat-sifat wajib bagi Allah yang ditetapkan oleh Allah sendiri dalam Al-Quran sangat banyak dan sangat mudah kita jumpai. Misalnya, dalam Al-Quran Allah menetapkan bahwa diri-Nya sebagai Al-Qadir, Al-Qayyum, Al-Bashir, dan lain sebagainya.

Sementara sifat wajib bagi Allah yang ditetapkan berdasarkan akal misalnya seperti sifat wujud atau ada. Dalam Al-Quran, tidak ditemukan ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah memiliki sifat wujud. Namun berdasarkan akal, sifat wujud atau ada wajib dimiliki oleh Allah. Karena tanpa sifat wujud, semua sifat-sifat lain yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran tak mungkin ada. Karena keberadaan sifat-sifat tersebut mengharuskan wujud atau adanya Allah.

Semua sifat-sifat yang wajib bagi Allah, baik yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maupun yang ditetapkan berdasarkan akal, semuanya bertujuan untuk melekatkan kesempurnaan bagi Allah. Semua sifat kesempurnaan, mulai wujud, qidam, baqa’ dan seterusnya, adalah wajib dimiliki oleh Allah. Sebaliknya, semua sifat kekurangan adalah mustahil dimiliki oleh Allah.

Sehingga jika ada pertanyaan, mengapa Allah memiliki sifat wajib? Jawabannya adalah untuk melekatkan kesempurnaan bagi Allah, dan juga karena Allah Maha Sempurna sehingga sifat-sifat kesempurnaan wajib bagi-Nya. Di antara dalil bahwa Allah Maha Sempurna dan sifat-sifat kesempurnaan wajib bagi-Nya adalah firman-Nya dalam surah Al-A’raf ayat 180 berikut;

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah nama-nama yang baik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu.

Dalam ayat ini, Allah menetapkan bahwa diri-Nya memiliki nama-nama yang baik. Nama-nama yang baik tidak mungkin melekat pada Allah kecuali Dia memiliki sifat-sifat yang baik dan sempurna, dan sifat-sifat kesempurnaan tidak mungkin melekat pada Allah kecuali Dia sendiri Maha Sempurna.

BINCANG SYARIAH

Indahnya Shalat Mengetuk Hati Chung Sin Yin

Sejak mengagumi gerakan dan bacaan shalat, ia akhirnya memeluk Islam.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengingatkan umatnya tentang keutamaan berteman yang baik. Sebab, seorang teman dapat berpengaruh kepada hal-hal yang positif ataupun negatif.

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk,” sabda beliau, “ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi. Engkau pun bisa membeli minyak wangi darinya. Kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Adapun pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu. Kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari dan Muslim).

Seorang mualaf, Sari Sukma Dewi, merasakan betapa besarnya pengaruh pertemanan. Menurut perempuan yang menjadi Muslimah sejak 1994 itu, hidayah Ilahi diterimanya melalui perantaraan teman. Pemilik nama Tionghoa Chung Sin Yin ini pun bersyukur ke hadirat Allah SWT karena Dia telah menakdirkannya untuk berislam.

Wanita yang kini berusia 59 tahun itu mengenang kisah hidupnya. Kepada Republika, ia menuturkan bahwa dahulu dirinya pertama kali tertarik untuk mengenal Islam. Itu terjadi setelah beberapa waktu lamanya ia berpisah dengan suaminya.

Dewi pada mulanya menetap di Jakarta, tetapi kemudian kembali pulang ke daerah tempat kelahirannya, Karawang, Jawa Barat. Di sana, ia memilih pekerjaan sebagai seorang instruktur senam.

Dewi mengenang, saat itu kehidupan religinya tidaklah terlalu menonjol. Baginya, agama yang dianutnya ketika itu hanyalah sekadar identitas. Hampir-hampir tidak pernah dirinya beribadah.

Sebagai seorang yang berdarah Tionghoa, Dewi menjalani ritual budaya dari tradisinya itu. Misalnya, ketika datang hari-hari besar ia pun berkunjung ke rumah orang tuanya. Singkatnya, ia merasas tak memiliki pengalaman spiritual apa pun sebelum memutuskan untuk berislam.

Karena itu, lanjutnya, hidayah Ilahi yang menyentuh hatinya adalah salah satu bukti kemahakuasaan Allah SWT. Cahaya petunjuk Ilahi datang tanpa sebelumnya ia mengetahui. Hidayah diterimanya dari arah yang tak pernah disangka. 

Cahaya petunjuk Ilahi datang tanpa sebelumnya ia mengetahui. Hidayah diterimanya dari arah yang tak pernah disangka.

Sebagai seorang instruktur senam, Dewi sering mendapatkan panggilan privat. Pada 1994, sekelompok ibu-ibu muda memintanya untuk menjadi guru senam bagi mereka. Permintaan itu disanggupinya.

Di antara mereka, terdapat seorang yang terlihat lebih taat beribadah. Ibu muda itu merupakan seorang Muslimah. Beberapa kali Dewi mendapati, murid-senamnya itu pamit sebentar ketika masuk waktu shalat. Bahkan, pada akhirnya seluruh ibu-ibu itu rehat sejenak dari latihan senam setiap azan berkumandang. Semuanya shalat berjamaah.

Dewi yang saat itu masih menganut agama non-Islam sering memperhatikan mereka diam-diam. Para ibu muda itu berwudhu, lalu shalat bersama-sama. Entah mengapa, terpancar rasa damai dari mereka semua, terlebih ketika para perempuan itu bersujud ke arah yang sama.

“Apalagi saat saya melihat mereka bersujud, terasa sekali penghambaan diri manusia kepada Tuhan Yang Maha Tinggi,” ujar dia kepada Republika, baru-baru ini.

Selama beberapa waktu Dewi memperhatikan cara mereka beribadah. Ia kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang dari mereka. Sebut saja namanya Teti.

Karena sering menyaksikan ibu-ibu muda itu beribadah, Dewi akhirnya hafal gerakan-gerakan shalat. Akan tetapi, dia belum memahami bacaan yang diucapkan mereka saat shalat itu. Apa makna dan maksud doa-doa itu?

Teti tidak langsung menjelaskan secara panjang lebar. Beberapa hari kemudian, barulah dia meminjamkan sebuah buku tuntunan shalat kepada Dewi. Instruktur senam itu menerimanya dengan senang hati. Tiap waktu luang, buku itu dibacanya dengan saksama.

Dewi sempat terkejut karena begitu banyak doa yang harus dihafalkan seseorang ketika melaksanakan shalat. Selain banyak, bacaannya ternyata sangat sulit. Inilah untuk pertama kalinya ia mengenal tulisan Arab. Jikapun hanya membaca tulisan Latin, itu pun masih terasa sukar. Sebab, pelafalannya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia. 

Pelatih senam bernama asli Chung Sin Yin ini semakin giat menghafal bacaan-bacaan shalat yang ditulis dengan aksara Latin.

Karena penasaran, Dewi lantas meminta Teti untuk meminjamkan buku panduan shalat itu lebih lama kepadanya. Teti mengaku tidak masalah. Maka pelatih senam itu semakin giat menghafal bacaan-bacaan shalat yang ditulis dengan aksara Latin. Selain itu, terjemahannya pun juga selalu dibacanya berulang-ulang. Meskipun pada akhirnya Dewi “hanya” mampu menghafalkan tiga bacaan shalat, hal itu sudah membuatnya senang.

Dewi kemudian mengembalikan buku tersebut. Rekan-rekannya heran karena begitu cepat ia mengingat sebagian isi buku ini. Teti pun seperti tidak percaya. Maka beberapa kawan kemudian menguji Dewi. Ternyata, perempuan yang saat itu non-Muslim ini hafal urutan-urutan shalat, mulai dari takbiratul ihram hingga salam.

Namun, Dewi ketika itu sekadar memperhatikan rekan-rekannya shalat. Belum sampai mempraktikan ritual Islam itu. Dalam hatinya, tersimpan keinginan untuk segera mencari seorang guru mengaji yang bisa mengajarkannya.

Dewi pulang ke rumah. Kepada asisten rumah tangganya, ia meminta untuk dicarikan seorang ustaz yang bisa mengajarkannya shalat. Beberapa hari kemudian, ustaz yang dimaksud datang ke rumahnya. Tidak perlu waktu lama baginya untuk lancar melaksanakan shalat. Bahkan, semakin banyak bacaan doa yang berhasil dihafalkannya.

Sang ustaz pun menyarankannya untuk belajar lebih lanjut, yakni mengaji Alquran. Untuk itu, dirinya harus mulai dari menamatkan enam jilid buku Iqra. Dewi setuju, untuk kemudian melanjutkan pelajarannya.

Memeluk Islam

Sejak melihat sekelompok ibu-ibu shalat, Dewi pun tertarik mempelajari dan bahkan menghafalkan bacaan doa ibadah itu. Pada akhirnya, ia senang belajar membaca Alquran. Semua itu mengantarkan hatinya untuk mantap memeluk Islam.

Ya, niatnya sudah bulat untuk berislam. Maka pada April 1994, ia untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Rukun Islam pertama itu dilakukannya di hadapan seorang ustaz dan beberapa orang saksi yang diundangnya ke rumah. 

Setelah peristiwa mengharukan itu, ia semakin bersemangat untuk mendalami ajaran Islam.

Setelah peristiwa mengharukan itu, ia semakin bersemangat untuk mendalami ajaran Islam. Atas saran beberapa temannya, Dewi pun memilih untuk mengganti pengajarnya dengan seorang ustazah. Itu untuk menghindari fitnah karena dia mengaji secara privat. Selama setahun, mualaf ini lancar mengaji. Membaca Alquran pun dilakukannya sesuai dengan kaidah tajwid.

Kemudian Dewi mulai belajar mengaji ke beberapa taklim. Hingga satu ketika, ia tertarik untuk menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren, Manbaul Ulum, di Bogor, Jawa Barat. Ia juga mengikuti kajian tasawuf, seperti yang diadakan Tarekat Naqshabandiyah di Tasikmalaya setiap tanggal 11 bulan Hijriyah.

“Tarekat mengajarkan kita salah satunya adalah pentingnya berzikir. Saya merasa lebih tawadhu dan tak lagi begitu terlalu berpikir hal-hal duniawi,”ujar dia.

Bersyukur

Pertama kali berpuasa, Dewi merasa berat. Karena khawatir tidak sanggup berpuasa hingga maghrib, dia pun sahur sekenyang-kenyangnya.

“Satu hari pernah kesiangan bangun dan tidak sahur. Karena sudah niat sejak malam, saya tetap lanjut berpuasa. Alhamdulillah saya kuat puasa hingga maghrib,” katanya.

Setelah Dewi menjadi Muslim tentu hal itu diketahui keluarga. Namun anak dan orang tuanya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia bersyukur, ayah dan ibunya memiliki pemikiran yang terbuka.

Tidak pernah memaksakan bahwa dalam satu rumah haruslah seagama semua. Menurut mereka, agama apa pun silakan diikuti asalkan dirinya bertanggung jawab dengan pilihan sendiri.

Bahkan, ayahnya mengoleksi kaligrafi ayat-ayat Alquran atau Asmaul Husna walau tidak bisa membaca tulisan berbahasa Arab. Setelah bapaknya wafat, karya-karya seni itu diwariskan kepada Dewi.

Hidayah Ilahi memang tidak sempat menerangi hingga sang ayah meninggal. Tidak demikian halnya dengan seorang putra Dewi. Bersyukur, anaknya itu kini telah menjadi Muslim. Hanya tiga anak lainnya yang tetap mengikut agama lamanya.

“Anak laki-laki saya dengan kesadaran sendiri memeluk Islam, itu sejak dirinya masih kelas SD. Dia meminta dikhitan dan bersyahadat usai dikhitan,” terangnya.

Meski berbeda agama, hubungan dengan orang tua, saudara dan anak-anak tetap terjalin dengan baik dan hangat. Ketika hari besar, misalnya, Dewi tetap berkunjung ke rumah kedua orang tuanya. Mereka menghabiskan waktu bersama untuk mempererat rasa kekeluargaan.

Ketika datang berkunjung, biasanya Dewi bertanya terlebih dahulu makanan yang dihidangkan. Meski daging biasa, Dewi tetap khawatir sehingga Dewi biasanya memilih untuk membawa makanan sendiri atau membelinya di luar.

Tak hanya hari besar keluarga Tionghoa, ketika Idul Fitri, dirinya menerima kunjungan keluarga besar. Mereka semua datang berkumpul dengan suka cita, ikut senang di hari Lebaran.

Memeluk Islam membuat Dewi hidup lebih tenang. Dia pun lebih fokus untuk ibadah dan terus memperbaiki diri.

Salah satunya ibadah haji, namun karena antrian begitu panjang, Dewi memutuskan untuk umrah. Umrah pertama diikutinya pada 2005. Setelah itu, dirinya kian mantap berhijab.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Mengetahui Seseorang Amanah atau tidak Menurut Umar

Umar bin Khattab berbagi kiat mengetahui amanah tidaknya seseorang

Mengetahui orang yang jujur dan amanah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa taatnya dia dalam masalah ibadah yang bersifat individual. 

Sayyidina Umar bin Khattab memberikan pengetahuan agar umat Islam dapat membedakan mana orang jujur dan tidak.

Dilansir di Masrawy, Kamis (7/10), seorang pemuda pernah mendatangi Sayyidina Umar bin Khattab untuk bersaksi, dan seorang pemuda lain memberikannya kesaksian dan membenarkan kata-katanya dan yakin akan ketulusan pemuda tersebut. 

Pemuda itu berkata kepada Sayyidina Umar, “Sesungguhnya Fulan adalah pemuda yang jujur,”. Kemudian Sayyidina Umar bertanya kepadanya, “Pernahkah engkau melakukan perjalanan dengannya?” Pemuda itu menjawab, “Tidak.” 

Sayyidina Umar bertanya lagi, “Apakah kamu pernah berselisih dengannya?” Pemuda itu menjawab, “Tidak.” 

Sayyidina Umar bertanya lagi, “Apakah engkau mempercayakan sesuatu kepadanya?” Pemuda itu menjawab, “Tidak.” 

Kemudian Sayyidina Umar berkata kembali, “Maka engkau adalah orang yang tidak mengenal dia.” 

Sayyidina Umar bin Khattab mengingatkan kita tentang etika berhubungan dengan orang lain. Juga mengajarkan untuk menilai seseorang dari pengetahuan mereka. Bahwa sesungguhnya mempercayakan sesuatu kepada orang lain tidak hanya cukup dengan melihatnya saja secara zahir.

Tidak cukup dengan melihatnya sholat, puasa, kecuali sampai kita benar-benar pernah berada di sisi ataupun lingkupnya, lalu kita mempercayainya sebagai orang yang amanah. 

Ibnu Taimiah pernah berkata, “Dan begitu juga keburukan orang yang berbuat maksiat tampak di wajah mereka, namun terkadang orang bingung akan hal itu.” 

KHAZANAH REPUBLIKA

Pesan Rasulullah Bagi Orang yang tak Mau Zakat

Setelah dua tahun hijrah dari Makkah ke Madinah, Rasulullah Saw baru menerapkan sistem zakat secara lembaga. Diawali dengan diwajibkannya zakat fitrah pada bulan Ramadhan dan diwajibkannya zakat maal pada berikutnya.

Mengapa sistem zakat secara lembaga baru dimulai pada tahun kedua hijrah?

Alasannya, pada tahun pertama perekonomian Muslim masih dalam tahap pemulihan pascaperistiwa hijrah dari Makkah. Kaum Muhajirin tidak membawa banyak harta ketika hijrah sebab aset kekayaan mereka berada di Makkah. Alhasil ketika di Madinah mereka pun memulai kembali untuk membangun perekonomian mereka.

Ibnu Katsir menerangkan zakat yang dilaksanakan setelah tahun kedua hijrah adalah kewajiban yang didirikan secara khusus, sedangkan zakat yang dilaksanakan waktu di Makkah adalah kewajiban yang dilakukan oleh sukarela perseorangan semata.

Pada tahun kedua hijrah, perekonomian umat muslim sudah  lebih baik. Kaum Muhajirin sudah mulai memiliki ketahanan ekonomi. Rasulullah memberikan kebijakan wajib zakat. Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi Qadhi dan amil zakat di Yaman.

Rasulullah juga mengangkat dan menginstruksikan kepada beberapa sahabat seperti Umar bin Khattab dan Ibn Qais ‘Ubadah Ibn Shamit sebagai amil zakat di tingkat daerah. Sebagai kepala negara, perintah Rasul langsung dijalankan oleh seluruh umat muslim dengan sigap.

Rasulullah mensosialisasikan aturan-aturan dasar, bentuk harta yang wajib dizakatkan, siapa saja yang harus membayar zakat, serta siapa saja yang menerima zakat.

Zakat yang diterapkan Nabi Muhammad mengalami perubahan sifat. Saat di Makkah, zakat dilakukan hanya bersifat sukarela. Setelah hijrah, zakat menjadi kewajiban sosial yang dilembagakan, dan harus dipenuhi oleh setiap muslim yang memiliki harta dan telah mencapai nisab.

Ini beberapa konsekuensi bagi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.

1. Siksa bagi orang yang tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّزَكَاتَهُ مُثِّلَ  لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًاأَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوِّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُبِلَهْزَمَتَيْهِ يَعْنِى شِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُوْلُ اَنَا مَالُكَ اَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْاَيَةَ  : وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ – اِلْاَيَة.

Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa diberi harta oleh Allah, dan tidak mengeluarkan zakatnya, niscaya pada hari kiamat ia diserupakan dengan ular botak yang mampunyai dua taring. Ular itu melilitnya pada hari kiamat kemudian menangkap dengan kedua rahangnya, lalu ia berkata, “Aku adalah harta bendamu, aku adalah barang simpananmu” Kemudian rasul membaca ayat (yang artinya), “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan hartanya (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Ekonomi seseorang akan hancur bila tak mau berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  مَاتَلِفَ مَالٌ فِى بَرٍّ وَلَا بَحْرٍ اِلَّا بَحْرٍبِحَسْبِ الزَّكَاةِ.

Rasulullah Saw bersabda: Tidak jadi rusak harta di daratan dan di lautan kecuali dengan menahan zakat (HR. Thabarani).

3. Neraka bagi orang tak mau zakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَانِعُ الزَّكَاةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى النَّارِ.

Rasulullah Saw bersabda: Orang yang menahan zakat, pada hari kiamat bertempat di neraka  (HR. Thabarani)

4. Belum diterima puasanya orang yang belum berzakat

قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : صَوْمُ شَهْرِرَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِوَالْأَرْضِ وَلَا يُرْفَعُ اِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ.

Rasulullah Saw bersabda: Puasa Ramadhan itu digantungkan antara langit dan bumi, dan tidak diangkat puasa itu kecuali dengan zakat fitrah  (HR. Abu Hafsh bin Syahin)

IHRAM

Celaka atau Bahagia?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya (yang berbuat dosa), maka Allah akan bukakan baginya sebuah pintu di antara pintu-pintu taubat, penyesalan, perasaan tidak berdaya, rendah, butuh, memohon keselamatan kepada-Nya, benar-benar memulangkan urusan kepada-Nya, terus-menerus merendah, berdoa, mendekatkan diri kepada-Nya sebisa mungkin dengan berbagai bentuk amal kebaikan. Di mana itu semua pada akhirnya akan bisa mengubah dosa yang telah dia perbuat menjadi sebab datangnya rahmat baginya. Sampai-sampai si musuh Allah (yaitu setan) berkata, ‘Aduhai, andaikata aku biarkan dia (tidak menggodanya) dan tidak menjerumuskannya.’”

Inilah makna dari ucapan sebagian salaf, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan suatu dosa, kemudian pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam surga. Dan bisa jadi dia melakukan suatu kebaikan, pada akhirnya justru membuatnya masuk ke dalam neraka.”

Mereka (teman-temannya) bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Salaf itu pun menjawab,

“Orang itu berbuat dosa lalu dosa itu senantiasa terpampang di hadapan kedua matanya. Sehingga dia terus-menerus merasa takut akan akibatnya, khawatir karenanya, penuh kegelisahan, menangisi dosanya, dan menyesalinya. Dia merasa malu kepada Rabbnya Ta’ala. Kepalanya tertunduk malu di hadapan-Nya. Hatinya pun remuk dan mengiba kepada-Nya.

Dengan demikian, dosa yang telah dilakukannya justru menjadi perantara untuk menggapai kebahagiaan dan keberuntungan hamba tersebut. Sampai-sampai dosa yang telah dia lakukan itu, jauh lebih bermanfaat baginya, daripada sekian banyak amal ketaatan. Dikarenakan hal-hal positif yang muncul karenanya. Di mana dengan itu semua, seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan keberuntungan dirinya. Pada akhirnya dosanya itu justru mengantarkan dirinya masuk ke dalam surga.

Dan bisa jadi seorang hamba melakukan suatu amal kebaikan. Hal itu membuatnya terus merasa berjasa kepada Rabbnya. Dia merasa sombong dengan amalannya itu. Dia melihat keunggulan pada dirinya dan merasa ujub olehnya. Dia pun meremehkan orang dengan sebab prestasinya.

Dia pun berkata, ‘Aku sudah berhasil melakukan ini dan itu.’ Akhirnya, amal kebaikannya itu justru menumbuhkan perasaan ujub dan sombong, berbangga-bangga dan meremehkan orang lain. Pada akhirnya, itu menjadi sebab kebinasaan dirinya.”

Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi orang yang malang ini, Allah akan mengujinya dengan sesuatu yang akan mematahkan keangkuhan dirinya dan menundukkan lehernya. Allah akan membuat dirinya merasa kecil/tidak berarti dalam pandangannya sendiri.

Namun, apabila Allah memiliki kehendak lain kepada orang itu, Allah akan biarkan dirinya bersama dengan buaian perasaan ujub dan sombong yang meliputinya. Inilah justru yang dinamakan dengan khudzlan/keadaan terlantar yang menjadi sebab kehancuran dirinya. Karena sesungguhnya segenap orang yang mengerti telah sepakat bahwa hakikat taufik (dari Allah) itu adalah tatkala Allah tidak menyandarkan urusanmu kepada dirimu sendiri. Adapun khudzlan (keadaan terlantar) itu adalah ketika Allah Ta’ala membiarkan kamu bersandar kepada kemampuan dirimu sendiri.

Dua Sayap Menuju Allah

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan bukakan untuknya pintu perendahan diri dan perasaan tidak berdaya. Sehingga dia selalu memulangkan masalah kepada Allah Ta’ala dan terus merasa butuh kepada-Nya. Ia senantiasa melihat akan aib-aib dirinya, kebodohan yang ada padanya, kezaliman-kezalimannya, dan mengingat tindakan pelanggaran dan permusuhan yang telah diperbuat olehnya.

Di samping itu, ia selalu menyaksikan dan menyadari betapa luas curahan karunia dari Rabbnya, ihsan, rahmat, kedermawanan, kebaikan, kekayaan, dan keterpujian diri-Nya.

Oleh sebab itu, orang yang benar-benar mengenal (Allah), meniti jalannya menuju Allah di antara kedua sayap ini. Dia tidak mungkin berjalan (dengan baik) kecuali dengan keduanya. Kapan saja salah satu di antara kedua belah sayap itu hilang, maka dia bagaikan seekor burung yang kehilangan salah satu sayapnya.

Syaikhul Islam (Abu Isma’il Al-Harawi) mengatakan, “Orang yang ‘arif/mengenal Allah, berjalan menuju Allah di antara musyahadatul minnah/menyaksikan curahan nikmat (yang Allah berikan kepadanya) dan (keadaan) selalu menelaah aib diri dan amalan.”

(lihat Al-Wabil Ash-Shayyib tahqiq Abdurrahman bin Hasan bin Qa’id, hal. 9-11)

Nasihat dan Hikmah Ulama

Masruq rahimahullah berkata,

“Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila dia merasa ujub dengan amalnya.”

(lihat Min A’lam As-Salaf [1/23])

Qabishah bin Qais Al-Anbari berkata,

“Adh-Dhahhak bin Muzahim apabila menemui waktu sore, ia menangis. Maka ditanyakan kepadanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Beliau menjawab, ‘Aku tidak tahu, apakah ada di antara amalku hari ini yang terangkat naik/diterima Allah.’”

(lihat Aina Nahnu min Akhlaq As-Salaf, hal. 18)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

“Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dan perasaan takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan merasa aman.”

(lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim [5/350] cet. Maktabah At-Taufiqiyah)

Antara Ilmu dan Amalan

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang hamba memiliki ilmu, namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti jalannya orang yang dimurkai (al-maghdhubi ‘alaihim). Adapun apabila dia beramal, namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang yang sesat (adh-dhaallin). Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi karunia oleh Allah. Yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang saleh. (Thariq Al-Wushul ila Idhah Ats-Tsalatsah Al-Ushul, hal. 21)

Syekh Abdurrazzaq Al-Badr menceritakan, “Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan salat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid menunggu tibanya waktu salat setelah salat sebelumnya. Maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku  berkata, ‘Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.’ Dia berkata, ‘Daerah kami ini?!’. Kukatakan, ‘Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.’ Dia berkata, ‘Daerah kami ini?!’ Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. ‘Daerah kami ini?!’ Kukatakan, ‘Iya, benar.’ Dia berkata, ‘Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga salat berjamaah tidak layak disebut penuntut ilmu.’” (Tsamrat Al-‘Ilmi Al-‘Amal, hal. 36-37)

Imam Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan, niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan, niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (Al-Fawa’id, hal. 34)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak/menyimpang di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu. Sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran, akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat Al-Lahfan, hal. 36)

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/69419-celaka-atau-bahagia.html

Keutamaan Melanggengkan Wudhu dalam Islam

Wudhu adalah salah satu bagian ibadah wajib dari rangkaian sebelumn ibadah lainnya, salah satunya adalah shalat. Wudhu berfungsi untuk menghilangkan hadas kecil. Adapun seseorang yang tidak batal wudhunya lalu hendak melaksanakan shalat wajib atau sunnah lainnya, tetap disunnahkan untuk memperbarui wudhu atau melanggengkan wudhu. Dalam Islam, ada keutamaan tersendiri bagi seseorang yang melanggengkan wudhunya.

Seseorang yang senantiasa dalam keadaan suci dari hadas, di mata Allah memiliki ganjaran dan keutamaan tersendiri. Bahkan saat ia masih dalam keadaan suci, namun telah menggunakan wudhunya untuk shalat fardu, ia mendapat sepuluh kebaikan jika memperbarui wudhunya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis,

وَقَدْ رُوِيَ فِي حَدِيثٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهِ عَشْرَ حَسَنَاتٍ

Artinya: Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda: ” Barangsiapa berwudlu dalam keadaan suci maka Allah akan mencatat baginya sepuluh kebaikan.” (HR. Tirmizi)

Kualitas ini dicatat sebagai hadis yang lemah. Akan tetapi, terdapat hadis lain sebagai penguat, yaitu tentang kebiasaan Rasulullah yang senantiasa memperbarui wudhunya saat hendak shalat,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ فَلَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ كُلَّهَا بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ فَقَالَ عُمَرُ إِنَّكَ فَعَلْتَ شَيْئًا لَمْ تَكُنْ فَعَلْتَهُ قَالَ عَمْدًا فَعَلْتُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi  dari Sufyan dari Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya ia berkata; “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berwudlu ketika akan shalat. Dan pada hari penaklukan kota Makkah, beliau mengerjakan semua shalat dengan satu wudlu dan mengusap khufnya. Lalu Umar berkata; “Sungguh, engkau melakukan sesuatu yang tidak biasa engkau lakukan, ” beliau menjawab: “Aku sengaja melakukannya.” Abu Isa berkata; “Hadis ini derajatnya hasan shahih.” (HR. Tirmizi)

Juga terdapat hadis Nabi bahwasanya wudhu dan shalat adalah amalan yang paling utama,

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ

Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Muhammad] berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Manshur dari Salim bin Abu Al Ja’d dari Tsauban, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beristiqamahlah kalian, dan sekali-kali kalian tidak akan dapat menghitungnya. Dan beramallah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga wudlu kecuali orang mukmin.” (HR. Ibnu Majah)

Syekh Wahbah Zuhaili, dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu juga menyebutkan bahwa wudhu adalah cahaya bagi pelakunya. Dan melanggengkan wudhu, saat air mencukupi bukanlah suatu tindakan yang berlebihan. Wallahu a’lam.

BINCANG MUSLIMAH