Setelah Salat Tahiyatul Masjid Apakah Perlu Shalat Qabliyah Subuh?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Apakah yang perlu dilakukan oleh orang yang ketika waktu subuh memasuki masjid, apakah dia salat sunnah tahiyatul masjid dulu kemudian salat sunnah qobliyah subuh? Ataukah cukup baginya salat sunnah qobliyah subuh?

Jawaban:

Yang lebih utama adalah cukup salat sunnah qobliyah subuh saja, kerena 2 rakaat salat sunnah qobliyah subuh telah mewakili salat tahiyatul masjid. Sebagaimana salat fardhu telah mewakili salat tahiyatul masjid. Contohnya: jika Engkau datang ke masjid, sedangkan salat fardhu sedang dilaksanakan, maka Engkau langsung ikut melaksanakan salat fardhu bersama jama’ah. Sehingga hal tersebut juga telah mewakili salat tahiyatul masjid.

Yang diperintahkan oleh syariat adalah tidak boleh duduk di masjid kecuali telah melaksanakan salat 2 rakaat. Dengan demikian, maka salat sunnah qobliyah subuh telah mencukupi hal tersebut. Jika Engkau datang ke masjid, sedangkan orang-orang sedang melaksanakan salat fardhu berjamaah, lalu Engkau ikut melaksanakan salat fardhu, maka salat fardhu tersebut telah mencukupi perintah tersebut sehingga tidak perlu lagi salat tahiyatul masjid.

Namun, apabila Engkau tetap mau melaksanakan salat tahiyatul masjid dulu, kemudian dilanjutkan dengan salat sunnah qobliyah subuh, maka ini hukumnya boleh-boleh saja. Akan tetapi, ini meninggalkan cara yang lebih utama. Yang lebih utama adalah cukup dengan 2 rakaaat salat sunnah qobliyah subuh saja, karena itu telah mewakili salat tahiyatul masjid. Dan juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu ketika subuh hanya melaksanakan 2 rakaat salat sunnah qobliyah subuh saja (kemudian salat fardhu subuh). Oleh karenanya, setiap salat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan ketika masuk waktu subuh maka itu adalah salat sunnah qobliyah subuh.

Maka sekali lagi yang lebih utama adalah tidak menambah dari 2 rakaat. Apabila kita salat 2 rakaat dengan niat salat sunnah qobliyah subuh, maka juga mencukupi sehingga tidak perlu salat tahiyatul masjid lagi.

Akan tetapi, jika Engkau salat rawatib di rumah, semisal salat sunnah qobliyah subuh di rumah, kemudian Engkau datang ke masjid sebelum iqamah dikumandangkan, maka pada saat itu Engkau salat tahiyatul masjid sebelum Engkau duduk. Karena pada saat itu Engkau tidak lagi memiliki kesempatan untuk salat sunnah qobliyah subuh dikarenakan telah melaksanakannya di rumah. Maka cukup engkau salat tahiyatul masjid, kemudian duduk.

Sumberhttps://binbaz.org.sa/fatwas/17857/

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Sumber: https://muslim.or.id/66797-setelah-shalat-tahiyatul-masjid-apakah-perlu-shalat-qabliyah-subuh.html

Muslim Kenya Sedih tak Bisa Berhaji Tahun Ini

Umat Muslim di Kenya merasakan kesedihan yang dalam ketika mendengar kabar tentang penyelenggaraan pelaksanaan haji tahun ini  kembali ditiadakan. Rajab Rama seorang pengusaha Muslim Kenya berusia 48 mengaku kecewa ketika ia mengetahui pupusnya kesempatan berhaji tahun ini.

Ia bersama Muslim lainnya mengetahui kabar itu dalam pelaksanaan sholat Jumat di Masjid Al Aksa Kenya pekan lalu. Peniadaan haji tahun ini bagi jamaah luar negeri karena kebijakan pembatasan Covid-19 yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi. 

Ketua Dewan Tertinggi Muslim Kenya (Supkem) Hassan Ole Naado mengonfirmasi kepada Muslim Kenya dewan tersebut telah menerima berita tentang pembatalan haji 2021 untuk jamaah haji internasional sebagai tanggapan atas pandemi virus corona. Ole Naado mengatakan kepada media lokal salah satu pelajaran pembatalan haji tahun lalu dan tahun ini adalah bahwa itu adalah ketetapan ilahi. Ia menambahkan hanya Allah yang memilih mereka yang akan menjadi tamu-Nya untuk haji.

“Dewan Tertinggi Muslim Kenya telah menerima berita tentang pembatalan haji bagi jemaah haji internasional untuk musim 2021. Kami telah menerima itu adalah desain ilahi Allah bahwa orang banyak akan lagi tahun ini tidak melakukan haji. Kerajaan Arab Saudi hanya memainkan naskah yang ditahbiskan oleh Pencipta kita jauh sebelum penciptaan alam semesta,” katanya.

Ole Naado meminta Muslim Kenya berserah kepada Allah agar dapat diterima untuk haji di masa depan. Hafeez Mohammed (62 tahun) yang berkecimpung dalam bisnis mobil juga mengungkapkan kekecewaannya.

“Saya sudah beberapa kali pergi umroh. Setiap ada kesempatan, saya selalu berangkat umroh dan haji. Secara pribadi, saya merasa seperti saya benar-benar terbiasa menerima ini begitu saja. Sekarang saya sedih untuk semua orang yang selalu ingin pergi haji. Saya bersyukur kepada Allah atas kesempatan yang saya miliki,” katanya.

“Arab Saudi telah bekerja dengan baik untuk memerangi pandemi. Betapa saya berharap jumlah (orang Nigeria yang diizinkan untuk pergi haji) bisa 10 kali atau bahkan 20 kali lebih banyak. Ini adalah tempat yang besar, berventilasi baik dan dapat menampung banyak orang tanpa menyebarkan penyakit,” katanya.

Pemerintah Saudi mengatakan dalam siaran pers baru-baru ini haji tahun ini akan dibatasi untuk penduduk dan ekspatriat di Kerajaan Arab Saudi. Jumlah total jamaah haji tahun ini dibatasi hanya 60 ribu orang, termasuk semua kebangsaan dan warga negara di dalam Kerajaan Arab Saudi.

IHRAM

Jika Allah Maha Penyayang, Mengapa Masih Ada Penderitaan?

Allah SWT ‘digambarkan’ sebagai Yang Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Penyayang, sebagaimana yang dikemukakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut.

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hijr (15): 86.)

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. al-Mulk (67): 1.)

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ۖ هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hasyr (59): 22.)

Dengan demikian, berarti Allah yang Maha Mengetahui, maka Allah tahu bahwa kita menderita. Allah yang Maha Kuasa, berarti Allah bisa menghentikan penderitaan kita. Allah yang Maha Penyayang, berarti Allah tidak ingin kita menderita. Namun, pada kenyataannya, kita masih menderita. Apakah Allah tidak benar-benar memiliki sifat-sifat tersebut?

Tidak sedikit orang yang religius, shalatnya rajin, akan tetapi nasibnya apes melulu, sementara dia yang berfoya-foya hingga lupa shalat malahan tajir melintir dan merasa senang sekali kehidupannya. Seorang mahasiswa yang jujur jadinya tidak lulus-lulus, sementara dia yang menyontek bisa lulus malahan dapat A. Apa salahnya orang Palestina sehingga dari dulu hingga sekarang masih saja diberi serangan-serangan yang amat kejam dari Israel? Tega sekali.

Pembahasan mengenai problem-problem tersebut dalam dunia filsafat dinamakan “Teodisi”. Istilah tersebut dimunculkan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman, Gotfried von Leibniz, dalam sebuah karya berbahasa Prancis. Tujuan esai itu untuk menunjukkan bahwa kejahatan di dunia yang menjadikan lahirnya penderitaan itu tidak bertentangan dengan kebaikan Allah. Meskipun banyak kejahatan, dunia tetap dalam kondisi paling indah dan menyenangkan, begitulah ungkapnya.

Problem mengenai kejahatan tersebut diinspirasi oleh filsuf dari zaman Hellenistik yaitu Epicurus dengan ungkapkannya sebagaimana berikut.

“Apakah Tuhan mau, tapi tidak mampu melenyapkan kejahatan? Berarti Tuhan tidak Maha Kuasa. Apakah Tuhan mampu, tapi tidak mau melenyapkan kejahatan? Berarti Tuhan tidak Maha Penyayang atau Maha Baik. Jika Tuhan mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada kejahatan? Atau jika Tuhan tidak mampu dan tidak mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih disebut Tuhan?”

Untuk menunjukkan bahwa kejahatan di dunia yang menjadikan lahirnya penderitaan itu tidak bertentangan dengan kebaikan Allah, Leibniz berasumsi bahwa Allah itu tidak akan menciptakan dunia yang sempurna sebab hanya Dia-lah yang sempurna. Sedangkan yang diciptakan Allah adalah “Dunia terbaik yang mungkin ada”. Dunia ini sudah pas bagi manusia, sudah porsional dan proporsional, lebih atau kurang dari ini sudah tidak baik lagi. Baginya, tidak ada sesuatu yang benar-benar jahat, segala hal ada alasannya. Selalu ada hikmah dibalik segala sesuatu yang terjadi di dunia ini yang menjadikan kita lebih baik lagi ke depannya.

David Hume, filsuf Inggris masa pencerahan, membantah argumen tersebut. Model Leibniz, dengan keimanannya, kalau Allah Maha Baik diasumsikan kalau Allah pasti punya dasar baik, punya alasan yang baik. Mungkin seolah-olah logis, padahal tidak. Kejahatan dengan sifat-sifat Tuhan itu jelas sangat kontras. Kalau kita meyakini kejahatan itu ada, berarti kita harus menerima kalau Tuhan itu Tidak Maha Kuasa atau Tidak Maha Penyayang.

Tokoh filsuf sekaligus teolog di era skolatik, Thomas Aquinas, setuju akan adanya kejahatan secara logis membawa kepada kesimpulan tidak kuasanya Allah tidak penyayangnya Allah. Meskipun demikian, kalau Hume menjadi ateis, Aquinas tetap beriman kepada Tuhan. Alasannya, argument logis itu hanya valid kalau kita menerima konsep kebaikan Tuhan yang tidak terbatas sebagai bagian dari definisi tentang Tuhan, dan saat kita berbicara tentang kebaikan Tuhan, kita menunjuk kepada kebaikan manusia.

Kita meyakini Allah itu Maha Baik, kebaikan Allah itu seperti apa? Itu lah kata kuncinya. Kita memahami kebaikan, itu ya versi manusia. Versi Allah sendiri mungkin berbeda. Lihatlah pada sesuatu yang versi kita tidak baik, sementara versi hewan baik, juga berlaku sebaliknya. Contohnya bagi kita, membunuh itu tidak baik, akan tetapi laba-laba setelah kawin pasti yang jantan dibunuh, itu hukum alamnya dan mungkin memang baik bagi laba-laba itu sendiri.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah (2): 216)

Allah Sang Pencipta segalanya, Dia Maha Kuasa lagi Maha Penyayang, mengapa ada kejahatan yang menderitakan, pertanyaannya adalah manusia itu bebas, bukan? Saat dia memilih untuk melakukan kejahatan, mengapa Allah harus bertanggung jawab? Kalau manusia diberi kebebasan memilih, maka harus ada pilihan. Sungguh tidak mungkin hanya yang baik saja yang tersedia. Kebebasan untuk memilih mau yang baik, yang sangat baik, yang biasa-biasa saja, yang buruk, atau yang keji. Kalau kebebasan dikatakan ada, tanpa adanya opsi untuk dipilih, ya, sama saja bohong. Bukan begitu?

Tanpa adanya kejahatan, tidak akan ada yang namanya kebaikan. Berterimakasihlah pada yang jelek sehingga menjadikan kita cakep; andaikata tidak ada mereka, kita ya biasa saja; kasarannya semacam itu. Ketika bohong tidak ada, maka kejujuran tidak ada nilainya. Kejujuran, ketulusan, kedermawanan, dan lain sebagainya yang dikonotasikan sebagai yang baik menjadi berharga sehingga kita diusahakan untuk bisa bersifat demikian itu baik oleh diri sendiri atau tekanan norma dalam hidup bersama, karena ada sebaliknya. Lantas bagaimana dengan bencana alam, sehalnya COVID-19 yang tak kunjung tuntas?

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah (2): 29.)

Alam semesta didedikasikan untuk manusia dan sebagai media menuju kesempurnaan moral manusia. Hadirnya COVID-19, merupakan ujian menuju kesempurnaan moral bagi yang mengalami. Karena ketika kita sedang enak mungkin dengan mudahnya kita mengklaim lillahi ta’ala dan qona’ah atas segala yang diberikan Allah, namun saat kita susah apakah kita tetap teguh atau malah akan merengek-rengek?

Selain itu, secara umum hadirnya bencana alam merupakan moral-warning, peringatan dan pembelajaran bagi yang tidak mengalaminya. Kadang kala bencana alam datang sebagai hukuman bagi mereka yang durhaka dan tidak bermoral.

Dengan demikian, kita ketahui bahwa dalam kehidupan itu harus ada kekacauan, kejahatan, yang semua itu membawa pada penderitaan bahkan kesengsaraan, setelah semua itu selesai maka lahirlah keseimbangan yang menuju kebaikan yang lebih dari sebelumnya. Dan karena manusia terbatas dengan aksesnya, Allah-lah yang bisa melihatnya secara holistik. Dunia ini pun berawal dari kekacauan, bukan? Atau maukah kita hidup berbarengan dengan dinosaurus?

Allah tahu, berkuasa, dan sayang kepada kita semua atas penderitaan itu, akan tetapi jangan lupa bahwa Allah itu bijaksana. Dengan hukum alam atau sunatullah yang diciptakan-Nya semua itu menggambarkan keteraturan dan keharmonisan yang indah. Tetap adanya penderitaan itu supaya manusia dengan kesadarannya menyadari bahwa dirinya itu terbatas. Allah bisa sewaktu-waktu intervensi terhadap hukumnya itu. Maka, ayolah lebih-lebih mendekat lagi pada Allah!  (AN)

Wallahu a’lam.

ISLAMI

Hukum Hutang Piutang dalam Islam

 Hukum hutang piutang dalam Islam itu boleh (mubah). Memberi pinjaman hutang bisa menjadi sunah karena dengan memberi pinjaman, kreditor (pemberi pinjaman) bisa memberikan manfaat kepada debitur (peminjam), memenuhi kebutuhannya dan membantu menyelesaikan masalahnya.

Hukum dasar tersebut bisa berubah sesuai dengan kondisi debitur, jika debitur adalah orang yang sangat membutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup, dan kreditor adalah orang yang mampu, maka dia wajib memberi pinjaman hutang.

Jika kreditor tahu bahwa debitur akan menggunakan uang pinjaman tersebut untuk kebutuhan yang haram atau makruh, maka memberi pinjaman hukumnya haram atau makruh.

Jika berhutang untuk menambah modal usaha supaya bisnisnya tamba maju dan mendapat keuntungan lebih, maka memberi pinjaman hukumnya adalah mubah.

Kemudian hukum berhutang berikutnya, jika debitur yang merasa mampu mengembalikan dan beriktikad untuk mengembalikan, hukum berhutang adalah mubah. Jika sudah memperkirakan tidak mampu segera membayar, maka tidak diperbolehkan berhutang, kecuali dalam kondisi darurat.

Konsekuensi dari akad hutang piutang adalah, debitur diwajibkan membayar hutangnya. Jika hutang tersebut tidak tempo, maka wajib segera membayar ketika ditagih selama debitur mampu membayar. Jika hutangnya tempo, debitur tidak wajib membayar sebelum jatuh temponya, namun diperbolehkan membayar sebelum jatuh tempo, dan dengan demikian tanggungan debitur telah gugur.

BINCANG SYARIAH

Orangtua Meminjam Uang pada Anak, Apakah Wajib Dibayar?

Dalam kondisi tertentu, terkadang ada orangtua meminjam uang pada anak. Biasanya hal ini dilakukan oleh orangtua karena dia sangat butuh. Dalam kondisi normal, jarang orangtua yang mau berhutang pada anaknya, malah sebaliknya tetap ingin memberi pada anaknya meskipun anaknya sudah cukup. Jika orangtua meminjam uang pada anak, hutang tersebut wajib dia bayar?

Menurut para ulama, jika orangtua memiliki hutang pada anaknya, baik berupa uang atau barang lainnya, maka ia tetap wajib untuk membayar hutang tersebut pada anaknya. Meskipun berhutang pada anaknya sendiri, namun jika disebut hutang, maka orangtua tetap wajib membayarnya, sebagaimana dia wajib membayar hutang pada orang lain.

Selain itu, menurut ulama selain ulama Hanabilah, anak juga dibolehkan untuk menagih hutang pada orangtuanya. Jika misalnya orangtua terlambat membayar hutang pada anaknya sesuai waktu yang telah disepakati, maka tidak masalah bagi anak untuk  untuk menagihnya sebagaimana ia menagih hutang pada orang lain.

Sementara menurut ulama Hanabilah, anak tidak boleh menagih hutang pada orangtua. Karena itu, jika misalnya orangtua terlambat membayar hutang pada anaknya sesuai waktu yang telah disepakati, maka anak tidak boleh menagih hutang padanya. Hal ini karena dalam Islam, anak dan harta miliknya merupakan milik orangtua.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

وَلَوِ اسْتَقْرَضَ الأْبُ مِنْ وَلَدِهِ فَإِنَّ لِلْوَلَدِ مُطَالَبَتَهُ، عِنْدَ غَيْرِ الْحَنَابِلَةِ، لأِنَّهُ دَيْنٌ ثَابِتٌ فَجَازَتِ الْمُطَالَبَةُ بِهِ كَغَيْرِهِ، وَقَال الْحَنَابِلَةُ: لاَ يُطَالَبُ، لِحَدِيثِ: أَنْتَ وَمَالُكَ لأِبِيكَ

Jika seorang bapak berhutang pada anaknya, maka boleh bagi anak untuk menagih hutang pada bapaknya. Hal ini karena hutang tersebut merupakan hutang yang tetap menjadi tanggungan bapak, maka boleh bagi anaknya untuk menagih hutang tersebut sebagaimana ia menagih hutang pada orang lain. Sementara menurut ulama Hanabilah, orangtua tidak boleh ditagih hutang oleh anaknya. Ini berdasarkan hadis; Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu.

Dengan demikian, melalui penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa orangtua tetap wajib membayar hutang pada anaknya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan anak menagih hutang pada orangtuanya. Menurut ulama Hanabilah tidak boleh, sementara menurut ulama lainnya boleh.

BINCANG SYARIAH

Nasihat Nabi untuk Orang yang Tertimpa Sakit

Semua manusia pasti pernah mengalami sakit secara fisik. Dan, agama biasanya mengarahkan kita untuk senantiasa bersabar dan berdoa agar diberikan kesembuhan. Karena, pada hakikatnya, penyakit ini adalah cara Allah meningkatkan kualitas hamba. Bahkan, Nabi Saw. sendiri mengkonfirmasi bahwa ujian dan cobaan seperti sakit, juga menjadi diantara sarana Allah Saw. meningkatkan kualitas para Nabi-Nya. Ini disebutkan dalam sebuah hadis yang dikutip oleh al-Qadhi ‘Iyadh dalam karyanya as-Syifa’, hadis ini diriwayatkan diantara oleh Ibn Majah, al-Hakim, dan at-Tirmidzi,

عن مصعب بن سعد، عن أبيه؛ قال: قلت : يا رسول الله ! أي الناس أشدّ بلاء ؟ قال : “الأنبياء ، ثم الأمثل ، فالأمثل ، يبتلى الرّجل على حسب دينه ، فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشي على الأرض وما عليه خطيئة

Dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya beliau berkata: “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berat bala’ ujiannya? Rasulullah Saw. menjawab: “Para Nabi, lalu yang setara dengannya, lalu yang setara lagi. Seseorang diuji berdasarkan agamanya. Maka ujian senantiasa bersama para hamba, sampai Allah sudah meninggalkannya (tidak mengujinya lagi) dan ia berjalan di muka bumi tanpa menanggung dosa apapun.

Faidah dari hadis ini adalah, siapa saja di dunia ini bisa ditimpa ujian kehidupan (bala’), diantaranya adalah sakit. Dan diantara manusia yang ujian kehidupannya paling berat adalah para Nabi Saw. Dalam riwayat at-Tirmidzi yang lain, disebutkan bahwa ketika Tuhan mencintai hambanya, Allah mengujinya karena Allah ingin mendengar rintihan doanya (H.R. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Bagaimana dengan Sakit Nabi Saw. ?

Masih menurut al-Qadhi ‘Iyadh, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anha dan beberapa sahabat yang lain punya riwayat soal bagaimana kondisi sakit Nabi Saw. ketika menjelang beliau wafat. Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan seperti diriwayatkan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim,

رأيت النبي صلى الله عليه وسلّم في مرضه، يوعك وعكًا شديدًا، فقلت: “إنك لتوعك وعكًا شديدًا ! قال: “أجل، إنّي أوعك كما يوعك رجلان منكم”. قلت: ذلك أن لك الأجر مرّتين ؟ قال: “أجل، ذلك كذلك”

Aku melihat Nabi Saw. dalam keadaan sakit, sakitnya begitu parah. Lalu aku berkata: “sesungguhnya engkau sedang sakit parah sekali !” Nabi Saw. bersabda: “betul, aku sesungguhnya sedang sakit dan tingkatnya seperti dua orang yang sedang sakit diantara kalian (dijadikan satu bebannya kepadaku).” Aku berkata: “Itu bermakna bahwa engkau akan mendapatkan balasan dua kali lipat?” Nabi Saw. bersabda: “benar, seperti itu.”

Besarnya keutamaan sakit ini, bahkan diucapkan Nabi Saw. dalam redaksi yang berbeda-beda. Seluruhnya justru bernada positif dengan mengatakan bahwa semakin berat bala’ seperti sakit yang Allah berikan, jika seorang hamba ridha dengan takdir tersebut, Allah pun meridhainya.

Karenanya, menurut al-Qadhi ‘Iyadh, hikmah atau hakikat makna dari sakit yang berat bahkan sebagian silih berganti menimpa para Nabi Saw., tujuannya adalah kekuatan di dalam diri menjadi lemah, sehingga malaikat mudah dan ringan mencabut nyawanya. Dan, beratnya sakaratul maut itu sudah didahului atau diselesaikan lewat sakit terlebih dahulu sehingga badan dan jiwa menjadi lemah.

BINCANG SYARIAH

Ini Cara Membayar Hutang pada Orang yang Sulit Dijumpai Keberadaannya

Hari ini, siapa sih orang yang bebas hutang? Sekecil apapun. Bisa hutang materi maupun non materi. Seringkali karena kebutuhan yang sangat mendesak, kita sebagai makhluk sosial juga sering merepotkan orang lain dengan berhutang. Tentu dengan niat mengembalikannya.

Kata hutang jika ditinjau dalam istilah fiqih sering disebut sebagai akad irfaq. Akad irfaq sendiri dimaknai sebagai bentuk transaksi yang didasari rasa belas kasih. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, karena biasanya orang yang hendak berutang, ia tidak akan berutang pada orang lain kecuali dalam keadaan membutuhkan terhadap uang, lalu orang lain mau memberi utang kepadanya dilandasi oleh rasa kasihan kepada dirinya dengan niat membantu.

Setelah berhutang, kewajiban orang yang berhutang (Muqtarid) adalah mengembalikan/membayarnya. Karena, hutang merupakan tanggungjawab seseorang kepada sesama manusia (haqqul adami) sampai kapanpun kecuali telah membayarnya. Jika memang belum mampu dan tidak ada kemungkinan untuk membayar hutang tersebut maka terpaksa meminta kerelaannya.

Yang perlu kita ketahui dalam berhutang adalah dalam berhutang, wajib hukumnya bagi kita untuk melunasi hutang tersebut. Seseorang yang berhutang harus senantiasa bersungguh-sungguh untuk berusaha membayarnya. Bukan malah menunda-nunda sampai orang yang dihutangi lupa atau bahkan mengharap kerelaannya.

Tak jarang kita jumpai, ketika seseorang meninggal dunia, para pelayat ditanyai, “apakah jenazah masih memiliki tanggungan atau haqqul adami yang belum tertunaikan?” Mengapa ini penting ditanyakan ketika hendak dimakamkan? Sebab, hutang merupakan tanggungjawab antar sesama manusia.

Hutang tidak akan gugur hanya karena sebab ia telah meninggal dunia. Jika yang bersangkutan memang sudah meninggal dunia, maka ahli warisnya yang harus menanggungnya. Namun, jika memang benar-benar tidak sanggup maka diperbolehkan untuk meminta kerelaannya.

Meminta kehalalan (istihlal) kepada orang yang memberi utang berperan penting dalam gugurnya kewajiban membayar utang ketika ia tidak mampu membayar.

Sehingga selama seseorang masih dapat menemukan keberadaan orang yang memberi utang, namun ia tidak mampu membayar, maka ia tidak dianjurkan melakukan sedekah terlebih dahulu, tapi ia harus menemui orang tersebut dan meminta kehalalan atau kerelaan atas utang yang tidak dapat dilunasinya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara melunasi hutang jika yang menghutangi susah dicari keberadaannya?

Menurut Hujjatul Islam Al-Ghazali, mencari keberadaannya memang merupakan sebuah kewajiban bagi seseorang yang berutang agar dapat membayar hutang yang menjadi tanggungannya. Adapun bagi orang yang memberi hutang juga memiliki kewajiban untuk mengingatkannya.

Sekarang ini justru sebaliknya, orang yang berhutang seolah-olah justru menghindari orang yang memberikan ia hutang. Bisa jadi karena malu, bisa juga karena belum dapat mengembalikan, atau memang sengaja tidak ingin mengembalikan hutang tersebut.

Tidak jarang juga ketika orang yang berhutang (muqtarid) diingatkan akan hutangnya, ia malah justru emosi, dianggap tidak mempercayai, atau tidak mampu mengembalikan. Padahal justru niatnya hanya mengingatkan bahwa ia masih memiliki hutang yang menjadi haqqul adami (hak tanggungjawab sesama manusia).

Syekh Sulaiman al-Jamal kitabnya Hasyiyatul Jamal ala Syarh al-Minhaj, menjelaskan perkara hutang ini sebagai berikut,

 ثم رأيت في منهاج العابدين للغزالى أن الذنوب التي بين العباد إما في المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجزعن استحلاله لغيبته أو موته وأمكن التصدق عنه فعله وإلا فليكثر من الحسنات ويرجع إلى الله ويتضرع إليه في أني رضيه عنه يوم القيامة. اهــ “

Kemudian aku melihat dalam kitab Minhaj al-‘Aabidin karya al-Ghazali dijelaskan bahwa dosa yang terjadi antar-sesama hamba-hamba Allah adakalanya berhubungan dengan harta benda dan wajib mengembalikan harta tersebut (pada pemilik harta) bila memungkinkan. Jika ia tidak mampu membayar karena fakir maka ia harus meminta kehalalan (kerelaan akan utangnya) darinya. Bila tidak mampu meminta kehalalan karena pemilik harta tidak diketahui keberadaannya atau karena telah meninggal dunia tapi masih mampu untuk bersedekah, maka bersedekahlah dengan atas namanya. Dan bila masih tidak mampu bersedekah, maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri di hadapan-Nya agar kelak di hari kiamat Allah meridhai beban tanggungan harta (yang masih belum terlunaskan). (Hasyiyah al-Jamal, juz 5, hal: 307)

Itulah cara melunasi hutang kepada orang yang sulit dijumpai keberadaannya. Agar tidak menjadi beban kepada diri sendiri maka harus di distribusikan dengan cara yang benar. Semoga bermanfaat, Wallahua’lam…..

BINCANG SYARIAH

Kemenag Gencarkan Sosialisasi Pembatalan Haji

Sosialisasi juga dilakukan untuk menangkal peredaran informasi yang tidak benar.

Kementerian Agama (Kemenag) menggencarkan sosialisasi kebijakan pemerintah mengenai pembatalan pemberangkatan jamaah haji tahun ini agar masyarakat mengetahui secara jelas dan memahami keputusan pemerintah.

Penggiatan sosialisasi kebijakan juga untuk menangkal peredaran informasi yang tidak benar berkenaan dengan kebijakan pembatalan pemberangkatan jamaah haji. “Sosialisasi kebijakan dan alasan peniadaan keberangkatan jamaah haji dan menenangkan umat secara mental spiritual dalam bingkai pemahaman maqashid syariah (tujuan syariah secara universal) perlu dilakukan,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag M. Fuad Nasar dalam keterangan tertulis, Senin (14/6).

Pemerintah Indonesia pada 3 Juni 2021 mengumumkan keputusan membatalkan pemberangkatan jamaah haji karena risiko penularan Covid-19 masih tinggi dan pemerintah Kerajaan Arab Saudi tidak juga mengumumkan keputusan mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Kerajaan Arab Saudi kemudian mengumumkan bahwa pelaksanaan ibadah haji tahun 1442 Hijriyah/2021 Masehi hanya diperuntukkan bagi warga negara Arab Saudi dan ekspatriat yang sudah bermukim di wilayahnya.

Fuad meminta para penyuluh agama menyosialisasikan alasan pemerintah membatalkan pemberangkatan jamaah haji serta kebijakan pemerintah Arab Saudi mengenai penyelenggaraan ibadah haji tahun ini kepada masyarakat. “Para penghulu KUA, penyuluh agama Islam, dan para pemimpin umat memiliki peran terdepan menyosialisasikan kebijakan mengenai penyelenggaraan ibadah haji dan mengajak umat senantiasa berpikir positif meski di dalam situasi tidak normal,” kata dia.

Dia mengimbau jamaah yang tahun ini batal berangkat ke Tanah Suci menjaga kesehatan, memperbanyak amal saleh, serta bertawakal kepada Allah. “Niat dan segala proses yang telah dijalani untuk beribadah haji Insya Allah tercatat sebagai kebaikan di sisi Allah SWT. Mudah-mudahan tahun depan jamaah haji dari seluruh dunia dapat berangkat ke Tanah Suci,” katanya.

IHRAM

Fikih Ringkas Zakat Properti (Bag. 2)

Poin kesebelas

Apabila properti tersebut masih dalam progres pembangunan -di mana properti tersebut merupakan komoditi perdagangan-, wajib menunaikan zakat atas properti tersebut, baik properti itu telah siap untuk dijual atau penjualannya baru terlaksana setelah pembangunan selesai. Pada kondisi ini, pemilik menunaikan zakat sesuai dengan nilai terhadap kondisi terkini properti tersebut ketika waktu wajibnya zakat tiba.

Poin kedua belas

Properti, di mana pemilik membeli properti dan kemudian menunggu-nunggu (wait and see) kenaikan harga properti, wajib ditunaikan zakatnya pada setiap tahun sesuai dengan nilai properti, meski properti tersebut tetap ada selama bertahun-tahun.

Dengan demikian, pembelian properti dengan niat mengambil untung di waktu berpuluh-puluh tahun yang akan datang, tidaklah menggugurkan kewajiban zakat dari pemilik properti.

Termasuk dalam hal ini adalah pembelian area lahan yang terletak di pelosok dengan niat menunggu kenaikan tingkat permintaan dan harga properti. Maka niat menjual lahan tersebut di masa yang akan datang merupakan sebab timbulnya kewajiban zakat. Kewajiban zakat tetap ada dan tidak ada pengaruh karena tertundanya niat menjual lahan selama lahan tersebut dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, di mana yang menjadi tujuan adalah pengembangan harta.

Kondisi inilah yang disebut oleh ulama dengan “التاجر المتربص”. Pendapat terkuat dalam tema ini adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan wajib dizakati di setiap tahun.

Poin ketiga belas

Tidak ada kewajiban zakat untuk properti yang dibeli oleh seseorang dengan niat menjaga harta, kecuali dia melakukan itu sebagai trik untuk menghindari kewajiban zakat.

Poin keempat belas

Apabila seseorang membeli properti yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, namun belum diserahterimakan kepadanya, hingga uang yang digunakan untuk membeli properti tersebut mencapai haul, maka wajib menunaikan zakat atas properti tersebut. Karena properti itu akan berpindah kepemilikan kepada pembeli ketika akad telah dilaksanakan. Dan penyerahan properti dianggap sudah terjadi.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya perihal seseorang yang membeli lahan yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan dengan mengeluarkan sejumlah uang. Sebagai informasi, pembeli ini belum menerima lahan tersebut hingga saat ini, bahkan kuitansi pembelian pun belum diterima. Apakah dia berkewajiban menunaikan zakat atas lahan tersebut?

Beliau rahimahullah menjawab,

نعم عليه الزكاة في هذه الأرض، ولو لم يستلم الصك، مادام البيع قد ثبت ولزم، فيزكيها زكاة عروض تجارة، فيقومها حين وجوب الزكاة بما تساوي، ويخرج ربع عشر قيمتها

“Benar, selama penjualan telah terjadi dan mengikat, dia wajib menunaikan zakat untuk lahan tersebut meski dia belum menerima kuitansi pembelian. Dengan demikian, dia berkewajiban menunaikan zakat komoditi perdagangan, di mana pembeli memperkirakan kewajiban zakat dari lahan dengan nilai yang setara dan mengeluarkan 2,5% dari nilai lahan tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin, 18: 234)

Baca Juga: Tidak Boleh Melakukan Tipu Daya untuk Menghindari Pembayaran Zakat

Poin kelima belas

Properti yang digadaikan wajib dizakati, jika dipersiapkan menjadi komoditi perdagangan.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan,

فإن كنت أعددتها للتجارة وهي مرهونة فعليك زكاتها، وإن كانت مرهونة ولم تعد للتجارة ، ولكن مرهونة حتى توفيه حقه، وإذا أوفيته فهي للسكن أو للتأجير، فهذه ليس فيها زكاة

“Apabila Anda mempersiapkan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan, Anda berkewajiban menunaikan zakatnya meski properti tersebut tengah digadaikan. Akan tetapi, jika properti tersebut berstatus gadai dan tidak dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, di mana properti itu digadaikan hingga bisa ditebus, dan setelah ditebus Anda menempati atau menyewakannya, maka properti tersebut tidak wajib dizakati.” (Fatawa Nur ala ad-Darb, 15: 43)

Poin keenam belas

Menurut mayoritas ulama, setiap mitra dalam kepemilikan suatu properti berkewajiban menunaikan zakat apabila bagian kepemilikannya mencapai nisab.

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan,

الشركاء في عقار يشترط في وجوب الزكاة على كل واحد منهم, أن تبلغ قيمة نصيبه من العقار نصاباً في نفسه, أو بضمه إلى مال لـه زكوي آخـر من نقد عُرُوْض تجارة”

“Syarat wajib zakat atas setiap mitra dalam kepemilikan suatu properti adalah nilai bagian kepemilikan untuk setiap mitra dari properti tersebut secara tersendiri telah mencapai nisab atau telah mencapai nisab jika digabungkan dengan nilai harta lainnya yang juga berupa komoditi perdagangan.” (Fatawa Jami’ah fi Zakat al-Iqar, hlm. 12)

Adapun mazhab Syafi’iyah menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur adalah nilai properti secara keseluruhan dan bukan bagian nisab setiap mitra. Dengan demikian, jika nilai properti mencapai nisab, setiap mitra wajib menunaikan zakat meski bagian kepemilikannya tidak mencapai nisab. Pendapat ini yang dipilih oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Poin ketujuh belas

Properti yang diwakafkan untuk kepentingan sosial seperti untuk kebutuhan fakir miskin tidak wajib dizakati karena tidak adanya kepemilikan.

Poin kedelapan belas

Tidak ada perbedaan terkait kewajiban zakat antara properti yang mudah dijual dengan properti yang sulit dijual selama memiliki harga jual. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Karena yang menjadi pertimbangan dasar dalam memberlakukan kewajiban zakat atas komoditi perdagangan adalah karena komoditi tersebut merupakan harta yang dikhususkan untuk dikembangkan seperti uang, baik dikembangkan dengan suatu aktivitas atau tidak, baik memperoleh untung maupun rugi.

Dengan demikian, adanya kesulitan dalam menjual komoditi perdagangan tidaklah berpengaruh dalam tema zakat selama komoditi perdagangan tersebut memiliki harga pasar yang nyata dan bisa diperjualbelikan.

Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (8: 102) dinyatakan,

الأرض المعروضة للبيع تجب فيها الزكاة كلما تم عليها الحول؛ لأنها من عروض التجارة، وتقدر قيمتها بما تساوي على رأس السنة، ويخرج منها ربع العشر، سواء كانت رائجة أو كاسدة؛ لعموم الأدلة في وجوب الزكاة فيما أعد للبيع والتجارة

“Tanah yang hendak dijual wajib dizakati setiap kali tercapai haul karena tanah tersebut termasuk komoditi perdagangan. Nilainya diperkirakan dengan harga pasar yang setara di awal tahun dan dikeluarkan zakat 2,5% dari nilai tersebut, baik tanah tersebut mudah terjual ataupun sulit terjual. Hal ini karena keumuman dalil-dalil yang ada menyatakan kewajiban zakat diperuntukkan bagi setiap komoditi yang dipersiapkan untuk dijual dan diperdagangkan.” (Ditandatangani oleh Ibnu Baz, al-Fauzan, dan al-Ghudayan).

Syaikh Abdurrahman al-Barrak mengatakan,

ليس لكساد العقار أثر في سقوط الزكاة، بل في نقص مقدار الزكاة؛ فإن الأرض الكاسدة تقوَّم بالسعر الذي يمكن أن تشترى به مهما قلَّ

“Kesulitan dalam menjual properti tidak berpengaruh dalam menggugurkan kewajiban zakat, tidak pula mengurangi kadar zakat. Tanah yang sulit terjual ditaksir dengan harga beli yang ada betapa pun sedikit harga tersebut.”

Namun, jika properti tersebut sangat sulit terjual, di mana pemiliknya sudah menawarkan untuk dijual namun tidak memperoleh pembeli sama sekali, sebagian ulama berpendapat bahwa pemilik cukup menunaikan zakat untuk setahun saja jika properti itu akhirnya terjual.

Poin kesembilan belas

Saham-saham properti ditunaikan zakatnya sebagai zakat komoditi perdagangan karena perusahan-perusahaan properti tersebut membeli lahan dengan tujuan untuk memperdagangkannya. Dengan demikian, setiap pemegang saham wajib menaksir saham yang dimiliki pada perusahaan tersebut dengan nilai yang setara dengannya dan mengeluarkan zakat sebesar 2,5%.

Poin kedua puluh

Properti yang kepemilikan dan penguasaannya terbatas, atau saham properti yang diblokir, tidak wajib dizakati karena hukumnya serupa dengan harta dhimar (harta yang berada di luar kekuasaan pemilik).

Dalam buku al-Masail al-Mustajaddah fi az-Zakat (hlm. 87) dinyatakan,

فالأرض التي تحجز في المخططات ، كمرافق ومدارس وغير ذلك ، ومالكها ممنوع من التصرف فيها ، إلا إذا قررت الجهة الرسمية عدم الرغبة فيها ، فلا زكاة فيها إلا بعد تمكين مالكها من التصرف فيها ، فيستقبل في زكاتها حولا من تاريخ التمكين من التصرف فيها

“Dengan demikian, tanah yang baru Anda booking dalam suatu brosur hukumnya seperti fasilitas umum dan sekolah, di mana pemiliknya tidak bisa mengelolanya, kecuali otoritas yang berwenang menetapkan bahwa tanah tersebut tidak lagi dibutuhkan. Semua itu tidak wajib dizakati kecuali setelah pemiliknya menguasai sehingga dapat dikelola. Sehingga zakatnya diambil setelah tercapai haul yang ditentukan dari tanggal tamkin (penguasaan secara penuh) atas pengelolaan tanah tersebut.”

Demikian pula dengan saham-saham properti yang diblokir yang bisa jadi disebabkan beberapa hal, seperti penggelapan dan penipuan yang dilakukan oleh pihak perusahaan, adanya berbagai hambatan dalam regulasi yang ditetapkan pemerintah, adanya sengketa atau ada pihak lain yang juga berhak atas properti tersebut. Apa pun kondisinya, saham properti di mana pemiliknya tidak mampu untuk mengelolanya, maka tidak wajib dizakati.

Poin kedua puluh satu

Properti dinilai pada akhir haul sesuai harga pasar, di mana nilainya bisa kurang atau lebih dari harga beli.

Poin kedua puluh dua

Perhitungan haul tidak dimulai dari waktu pembelian properti. Haul yang digunakan adalah haul harta/uang yang digunakan untuk membeli properti tersebut.

an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

وإذا ملكه [يعني : عروض التجارة] بنقد نصاب فحوله من حين ملك النقد

“Jika dia telah memilikinya –yaitu komoditi perdagangan- dengan membayar sejumlah uang yang mencapai nisab, maka haulnya adalah haul ketika dia memiliki uang tersebut.” (al-Minhaj, 2: 107)

Wallahu a’lam. Demikian. Semoga bermanfaat.

[Selesai]

Sumberhttps://islamqa.info/ar/231858

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/66831-fikih-ringkas-zakat-properti-bag-2.html

Bolehkah Naik Haji tanpa Mahram?

Setiap Muslimah yang kuat iman pasti terpanggil hatinya untuk menunaikan haji. Karena ibadah ini di samping merupakan rukun Islam yang kelima, juga mengandung banyak hikmah dan keutamaan.

Salah satunya dapat melebur dosa. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang berhaji karena Allah, kemudian ia tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka ketika pulang, ia seperti anak yang baru dilahirkan ibunya.

Tetapi untuk mengecap keutamaan itu, terdapat sebuah syarat tambahan bagi seorang Muslimah yang termasuk dalam istithoa’h-nya (syarat mampunya). Yaitu, harus disertai suami atau mahramnya.

Diriwayatkan lagi oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Abbas berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, Jangan sampai seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan tanpa disertai mahramnya. Dan hendaknya seorang perempuan tidak melakukan perjalanan kecuali jika disertai mahramnya.

Lantas seseorang berdiri dan berkata, ”Wahai Rasulullah, istriku melaksanakan haji sementara aku berada di medan perang ini dan itu.” Rasulullah kemudian bersabda, Berangkatlah engkau dan berhajilah bersama istrimu.

Nah, berangkat dari hadis itu, para ulama dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) punya pandangan berbeda. Ulama dari Mazhab Maliki berpendapat, Ibadah haji bagi seorang Muslimah harus disertai suaminya, atau salah seorang mahramnya, atau seorang teman wanita yang dapat dipercaya. Kalau semua itu tidak ada, maka tidak wajib baginya melaksanakan ibadah haji.

Lain lagi dengan pendapat ulama dari Mazhab Hanafi. Menurut mereka, jika jarak antara Makkah dan rumahnya ditempuh selama lebih dari tiga hari dengan perjalanan kaki, maka wajib bagi seorang Muslimah disertai suami atau mahramnya.

Ini berlaku bagi Muslimah tua maupun muda. Akan tetapi jika jaraknya kurang dari itu, maka haji tetap wajib ditunaikan meskipun tanpa disertai suami atau mahramnya.

Pendapat ulama dari Mazhab Syafi’i sedikit lebih longgar. Mereka berpandangan bahwa apabila haji yang ditunaikan hukumnya wajib (haji pertama), dan keadaan saat itu aman, maka seorang Muslimah boleh pergi haji sendirian.

Akan tetapi jika tidak diketahui aman atau tidaknya keadaan, maka wajib baginya disertai suami, mahram, atau dua orang perempuan atau lebih. Seandainya ia tidak mendapatkan seorang laki-laki yang bersedia menjadi mahramnya, kecuali harus diberi upah, sedangkan syarat-syarat wajib haji yang lain telah terpenuhi, maka kalau Muslimah itu mampu membayar upah, wajib hukumnya melakukan haji.

Akan tetapi jika yang ada hanya seorang teman perempuan saja, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Lain halnya jika yang ditunaikan adalah haji sunnah, maka wajib baginya disertai suami atau mahram. Meskipun ia disertai dua orang wanita atau lebih, tetap saja yang bersangkutan tidak boleh menunaikan haji.

Mengenai ragam pendapat ulama Mazhab Syafi’i ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar menggaris bahawi, Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Mazhab Syafi’i adalah, hajinya seorang wanita disyaratkan adanya suami, mahram, atau wanita-wanita yang terpercaya.

Sedangkan ulama dari Mazhab Hanbali secara tegas mewajibkan adanya suami atau mahram. Karena, menurut ulama mazhab ini, hal itu merupakan syarat istitho’ah (kemampuan) wanita melaksanakan haji. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, Kalau seorang wanita tidak ada suami atau mahramnya, maka ibadah haji tidak wajib atasnya.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Nabi SAW, Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama tiga hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya atau suaminya atau anaknya atau saudaranya atau mahramnya. (Muttafaq ‘Alaihi).

Setelah melihat pendapat ulama dari empat mazhab itu, tampaklah letak perbedaan pandangan mereka tentang masalah ini. Ada yang berpendapat berdasarkan makna lahiriyah dari hadis, yaitu mewajibkan adanya mahram bagi wanita yang berhaji; ada yang memberikan pengecualian bagi wanita yang bersama wanita-wanita lain yang dapat dipercaya; bahkan ada yang berpandangan tidak diwajibkan adanya suami ataupun mahram jika dalam keadaan aman.

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, prinsip hukum atau ketetapan adanya mahram haji bukan untuk membatasi kebebasan Muslimah dalam melakukan ibadah. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya. Di samping juga untuk melindunginya dari maksud jahat dari orang-orang yang hatinya berpenyakit.

IHRAM