Pendidikan Islam di Ethiopia Digeliatkan Sahabat Rasulullah

Islam masuk ke Ethiopia pada abad ke-7 setelah para sahabat Rasulullah SAW hijrah ke tempat ini menjadi perlindungan di Nejashi. Para sahabat bermukim di Tigray Utara, sekitar 800 km dari Addis Ababa. Para sahabat kemudian membangun Masjid Al Nejashi yang bersejarah. 

“Pendidikan Islam di negara ini setua kedatangan Islam di sini. Masjid Al-Nejashi menjadi sekolah pendidikan Alquran pertama,”kata Sheik Ahmed Awol, seorang guru di Sekolah Quran Saidna Hamzaa, di Addis Ababa, Ethiopia, seperti dilansir Anadolu Agency, Kamis (17/6).  Sejak itulah, mulai bermunculan sekolah-sekolah Alquran yang menjamur di Ethiopia.

Lantunan ayat-ayat suci Alquran kini banyak terdengar pada sebuah bangunan kayu dan lumpur. Bangunan tersebut bentuknya khas mencerminkan eksotisme arsitektur tradisional Afrika.

Di dalam bangunan itu, anak-anak duduk melingkari gurunya. Satu per satu, anak-anak itu mulai membaca ayat-ayat suci Alquran begitu bersemangat.

“Beginilah pendidikan Islam di Ethiopia. Perkembangannya semakin baik,”kata Awol.

Kepala Sekolah Quran Saidna Hamzaa Abdul Geni Kedir, mengungkap ada sembilan sekolah Alquran di Addis Abba dan 15 lainnya di daerah lain. Sementara, ada 70 sekolah umum di 10 wilayah.

“Kami telah melahirkan cendikiawan Muslim selama 12 tahun terakhir dan banyak dari mereka bertugas sebagai imam dan pemimpin komunitas yang dihormati di berbagai bagian Ethiopia,” kata dia.

Anwar Ahmed, seorang guru, mengatakan sekolah menawarkan metodologi pengajaran yang ketat yang melibatkan ujian dan berbagai jenis tes di tingkat yang berbeda.

“Siswa diharuskan menyelesaikan tingkat pertama pembelajaran Alqur’an dan Hadits dalam dua hingga tiga tahun. Mereka yang lulus ujian akan melanjutkan tingkat kedua yang biasanya memakan waktu lima tahun. Kami menjalankan sekolah model perguruan tinggi,” kata Ahmed.

Menurut Awol, aspek pendidikan yang paling dihargai adalah moralitas yang merupakan dasar ajaran Islam.

“Kami mengajarkan kepada siswa kami moralitas integritas agama, kedamaian, dan pemahaman yang akan mengatur perilaku dan karakter mereka di masyarakat,” katanya. 

“Ini berkontribusi untuk mempertahankan hubungan antaragama yang harmonis sejak lama.”

Abdul Razak Ali, 17, berada di tingkat pertama di sekolah. Ia mengaku ingin menjadi Muslim yang taat sehingga dapat membantu masyarakat dengan ilmunya.

“Saya ingin menyelesaikan kuliah dan menjadi khatib atau guru di madrasah pedesaan,” tambahnya.

Populasi Muslim Ethiopia yang didominasi Sunni mencapai 40 persen dari 112 juta jiwa. Muslim Ethiopia dan Kristen dari berbagai denominasi telah hidup berdampingan secara damai selama beberapa generasi.

Namun, selama tiga tahun terakhir, kekerasan pecah antara pengikut dua agama besar di beberapa bagian negara. Para pemimpin agama dan pejabat pemerintah menyalahkan kekuatan politik sebagai pemicu konflik.

Selain Sekolah Sadina Hamzaa, ada 218 sekolah Alquran yang diakui secara resmi di Ethiopia, menurut Dewan Tertinggi Urusan Islam Ethiopia.

IHRAM

Fikih Ringkas Zakat Properti (Bag. 1)

Poin pertama

Properti (العقار) adalah segala sesuatu yang dimiliki berupa tanah dan bangunan yang berada di atasnya seperti rumah, istana, gedung, apartemen, toko, SPBU, wisma, dan semacamnya.

Poin kedua

Kaidah umum dalam tema ini adalah properti tidak termasuk harta yang wajib dizakati. Dengan demikian pada asalnya tidak ada kewajiban zakat atas properti kecuali properti tersebut menjadi komoditi dagang.

Poin ketiga

Properti yang difungsikan pemiliknya untuk tempat tinggal atau pemanfaatan pribadi lainnya seperti gudang dan semacamnya, tidak dibebani kewajiban zakat berdasarkan kesepakatan ulama. Karena dalam kondisi ini, properti tersebut difungsikan sebagai harta qinyah/aktiva tetap (harta yang kepemilikannya tetap dan difungsikan untuk pemanfaatan pribadi).

Harta yang demikian tidak wajib dizakati berdasarkan kesepakatan ulama, baik pemanfaatan tersebut diniatkan sejak pembelian atau setelahnya. Adanya niat kepemilikan untuk dimanfaatkan secara pribadi menjadikan properti tersebut harta yang tidak perlu dizakati meski properti tersebut tetap ada selama bertahun-tahun dengan catatan niat pemiliknya tidak berubah.

Baca Juga: Hukum Menganggap Lunas Hutang dengan Niat Zakat

Poin keempat

Lahan pertanian dan perkebunan tidak wajib dizakati, yang wajib dizakati adalah hasil pertanian dan perkebunannya. Jika seseorang membeli sebuah lahan untuk diperdagangkan, kemudian dia memanfaatkan lahan tersebut untuk bertani/berkebun dalam periode penawaran ke pembeli, maka ketika panen dia berkewajiban menunaikan zakat atas hasil pertanian/perkebunan sebanyak 10% dan menunaikan zakat atas lahan tersebut berdasarkan harga pasar.

Alasannya adalah  dalam kondisi ini terdapat kewajiban yang masing-masing memiliki sebab timbulnya kewajiban zakat yang berbeda, di mana penunaian kewajiban yang satu tidak menggugurkan kewajiban yang lain.

Zakariya al-Anshari mengatakan,

فَإِنْ زَرَعَ زَرْعًا لِلْقِنْيَةِ فِي أَرْضٍ لِلتِّجَارَةِ : فَلِكُلٍّ مِنْهُمَا حُكْمُهُ ، فَتَجِبُ زَكَاةُ الْعَيْنِ فِي الزَّرْعِ ، وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ فِي الْأَرْضِ

“Apabila dia bertani untuk dimiliki di atas lahan yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan, maka untuk berlaku hukum zakat untuk kedua hal tersebut. Berlaku kewajiban zakat untuk hasil pertanian dan zakat perdagangan untuk lahan tersebut” (Asna al-Mathalib 1/385).

Poin kelima

Tidak ada kewajiban zakat atas properti yang dimiliki dengan niat dimanfaatkan sehingga mendatangkan keuntungan seperti untuk disewakan dan mengambil keuntungan dari  profit yang ada. Zakat hanya berlaku atas biaya sewa yang dihasilkan dari properti tersebut jika terpenuhi nisab dan haul. Sehingga tidak ada kewajiban zakat atas setiap properti seperti rumah, gudang, apartemen berperabot, toko, dan bangunan jika direncanakan untuk disewakan menurut mayoritas ulama. Dengan demikian tidak perlu melakukan penilaian (apparaisal) terhadap properti tersebut pada setiap tahun untuk dikeluarkan zakatnya.

Poin keenam

Menurut mayoritas ulama, zakat diberlakukan atas properti yang dimiliki dengan niat untuk diperdagangkan. Pengertian “niat untuk diperdagangkan” adalah seseorang berniat memiliki properti tersebut untuk memperoleh keuntungan.

Al-Mawardi mengatakan,

مَعْنَى ” نِيَّةِ التِّجَارَةِ : أَنْ يَقْصِدَ التَّكَسُّبَ بِهِ بِالِاعْتِيَاضِ عَنْهُ

“Arti dari ‘niat untuk diperdagangkan’ adalah seseorang bermaksud mengambil untung dengan menjadikannya sebagai kompensasi (diperdagangkan)” (al-Inshaf: 3/154).

Adapun semata-mata berniat untuk dijual tidak otomatis menjadikan properti tersebut sebagai komoditi perdagangan karena motivasi menjual suatu barang bisa bermacam-macam seperti ingin “membuang” barang, tidak berkeinginan lagi untuk dimiliki, adanya kesulitan ekonomi atau yang semisal. Sedangkan perdagangan adalah menjual barang dengan niat memperoleh keuntungan.

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah menyebutkan kasus di mana seseorang memiliki lahan yang dibeli dengan niat ke depannya akan didirikan rumah di atasnya, kemudian niatnya berubah sehingga dia berkeinginan menjual lahan tersebut karena tidak membutuhkannya lagi. Dan pada kasus yang serupa, seseorang memiliki beberapa lahan kemudian dia memiliki kebutuhan sehingga dia berniat menjual salah satu lahannya agar bisa memenuhi kebutuhannya tersebut.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan,

فليس عليه زكاة لا في هذه ولا في التي قبلها , لأنه ما نوى البيع هنا للتجارة , لكن نواه في المسألة الأولى لاستغنائه عنها , وفي المسألة الثانية نواه لحاجته إلى قيمتها , بخلاف صاحب العروض فإنه ينتظر فيها الربح ، فهو من الأصل لا يريد إلا أن تكون للتجارة

“Tidak ada kewajiban zakat yang wajib ditunaikan orang tersebut, tidak pada kasus yang pertama maupun yang kedua. Karena penjualan yang diniatkan bukan untuk perdagangan akan tetapi pada kasus pertama, dia menjual lahan karena memang tidak membutuhkannya lagi, dan pada kasus yang kedua dia berniat menjual lahan untuk memenuhi kebutuhannya dengan hasil penjualan tersebut. Hal ini berbeda pelaku dagang, di mana dia akan mengharapkan keuntungan dari lahan yang dijual, sehingga pada asalnya tidak ada niat lain selain menjadikan lahan tersebut sebagai komoditi perdagangan” (Fath Dzi al-Jalal 6/173).

Poin ketujuh

Tidak ada kewajiban zakat jika properti dimiliki seseorang dan dia tidak memiliki niat yang kuat untuk menjadikan properti itu sebagai komoditi perdagangan, atau dia tidak menentukan niat spesifik untuk properti yang dimilikinya.

Al-Qarafi mengatakan,

فَإِنِ اشْتَرَى وَلَا نِيَّةَ لَهُ فَهِيَ لِلْقِنْيَةِ ؛ لِأَنَّهُ الْأَصْلُ فِيهَا

“Jika seseorang membeli properti namun tidak memiliki niat tertentu terhadapnya, maka properti tersebut berstatus harta qinyah karena itulah hukum asal bagi properti” (adz-Dzakhirah 3/18).

Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya perihal apakah terdapat kewajiban zakat bagi seseorang yang memiliki tanah namun dia memiliki keinginan beragam terhadap tanah tersebut, entah dijual, dibangun bangunan di atasnya, disewakan, atau ditempati?

Beliau menjawab,

هذه الأرض ليس فيها زكاة أصلاً ما دام ليس عنده عزم أكيد على أنها تجارة ، فليس فيها زكاة لأنه متردد ، ومع التردد لو واحداً في المائة فلا زكاة عليه

“Lahan ini tidak wajib dizakati sama sekali selama tidak ada tekad dari pemilik untuk memperdagangkannya. Dengan demikian tidak ada kewajiban zakat yang mesti ditunaikan orang tersebut karena terdapat keraguan. Adanya keragu-raguan tersebut meski sekadar 1% menyebabkan tidak adanya kewajiban zakat” (Fatawa az-Zakah wa ash-Shiyam hlm. 193).

Poin kedelapan

Terdapat perbedaan pendapat para ulama apabila properti dimiliki untuk dijadikan sebagai harta qinyah atau tempat tinggal, kemudian setelah itu pemiliknya berniat menjadikannya komoditi perdagangan.  Telah disampaikan sebelumnya tarjih yang menyatakan wajibnya zakat atas properti tersebut.

Poin kesembilan

Tidak ada kewajiban zakat atas properti yang semula diniatkan untuk diperdagangkan, kemudian sebelum tercapai haul, pemilik mengubah niatnya sehingga properti tersebut sekadar menjadi harta qinyah atau diniatkan untuk dimanfaatkan secara pribadi atau disewakan. Hal ini dikarenakan niat memperdagangkan yang menjadi syarat wajibnya zakat adalah niat tersebut tetap ada hingga akhir haul. Apabila pemilik mengubah niat sebelum tercapai haul, gugurlah kewajiban zakat.

An-Nawawi mengatakan,

لَوْ قَصَدَ الْقُنْيَةَ بِمَالِ التِّجَارَةِ الَّذِي عِنْدَهُ فَإِنَّهُ يَصِيرُ قُنْيَةً بِالِاتِّفَاقِ

“Jika pemilik berniat menjadikan komoditi perdagangan yang dimiliki sebagai harta qinyah, status komoditi tersebut berubah menjadi harta qinyah berdasarkan kesepakatan ulama mazhab” (al-Majmu’ 6/49).

Poin kesepuluh

Apabila properti dimiliki seseorang dengan niat sebagai harta qinyah disertai niat menjadikannya sebagai komoditi perdagangan, atau sebaliknya, maka yang menjadi tolok ukur adalah niat asal kepemilikan.

Oleh karena itu, tidak ada kewajiban zakat apabila orang tersebut memiliki suatu komoditi dengan niat digunakan untuk pemanfaatan pribadi, dan terdapat niat lain yang mengikutinya, di mana jika terdapat untung dengan menjual properti tersebut dia akan menjualnya.

Dan wajib mengeluarkan zakat atas komoditi setiap tahun hingga laku terjual apabila pemilik memiliki suatu komoditi dengan niat untuk dijadikan sebagai komoditi perdagangan, di mana sebelum terjual  komoditi tersebut dimanfaatkan dan digunakan oleh pemilik.

Demikian juga, apabila pemilik berniat menggunakan dan mengambil manfaat dari properti tersebut dalam kurun waktu tertentu sebelum dijual, wajib menunaikan zakat perdagangan atas properti tersebut karena niat pemanfaatan yang pertama tidak menggugurkan status properti tersebut yang dipersiapkan sebagai komoditi perdagangan.

Wallahu a’lam. Demikian. Semoga bermanfaat.

[Bersambung]

Sumberhttps://islamqa.info/ar/231858

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T.

Sumber: https://muslim.or.id/66792-fikih-ringkas-zakat-properti-bag-1.html

Yang Shalih Beristighfar, Bagaimana Pendosa?

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تُوْبُوا إِلَى اللَّهِ تَعاَلَى فَإِنِّي أَتُوْبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ -البخاري في أدب المفرد

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali”. (Riwayat Al Bukhari dalam Adab Al Mufrad dan dihasankan oleh Al Hafidz As Suyuthiy)

Al Hafidz Al Ala’iy menjelaskan bahwa maksud taubat di hadits itu adalah taubat istighfar, yang mana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam banyak melakukannya.

Imam Al Ghazaliy menjelaskan bahwa bentuk taubat itu bertingkat-tingkat sesaui dengan kondisi keimanan pelakunya. Bertaubatnya orang kebanyakan dalah bertaubat dari dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sedangkan taubatnya orang shalih adalah taubat dari kelalaian hati. Dan taubat bagi orang-orang yang mencapai derajat keshalihan yang cukup tinggi (khawwas al khawwas) adalah istighfar dari perhatiannya terhadap selain Allah Ta’ala, karena kata “dzanbun” (dosa) secara bahasa bermakna derajat lebih rendah seorang hamba. Dengan demikian, setiap derajat keimanan memiliki taubat sendiri, hingga dengan taubat derajat keimanan dan derajat pertaubatan semakin meningkat.

Imam Al Munawiy menjelaskan bahwa ada perbedaan penyebutan jumlah taubat dalam hadits ini dan hadits lainnya yang menyebutkan 70 kali, namun itu semua cermin banyaknya istighfar bukan pembatasan jumlah istighfar yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (lihat, Faidh Al Qadir, 3/361,362).

Jika Rasulullah Shallallallahu Alalihi Wassallam perbanyak istighfar dalam setiap harinya, begaimana dengan kita “bangsa awam” yang banyak dosanya?

HIDAYATULLAH

Buhul yang Paling Kuat

Bismillah.

Di dalam al-Qur’an Allah berfirman,

 فَمَن یَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَیُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ 

“Maka barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah sesungguhnya dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terlepas…” (al-Baqarah : 256)

Ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah. Inilah kandungan makna dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Wajibnya mengingkari thaghut/sesembahan selain Allah terkandung dalam ungkapan laa ilaha, sedangkan wajibnya beriman kepada Allah terkandung dalam ungkapan illallah. Sehingga yang dimaksud ‘buhul tali yang paling kuat’ adalah laa ilaha illallah (lihat Syarh Rasa’il al-Imam oleh Shalih al-Fauzan, hal. 76 dan Fathul Majid oleh Abdurrahman bin Hasan, hal. 44-45)

Allah seringkali menggandengkan antara ibadah dan iman kepada Allah dengan sikap kufur dan menjauhi thaghut. Hal itu menunjukkan bahwa tidak akan terwujud keimanan yang benar kepada Allah kecuali dengan menjauhi thaghut dan syirik. Allah berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’.” (an-Nahl : 36) (lihat keterangan dari Syekh Shalih al-Fauzan dalam Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 53-54)

Salah satu contoh perbuatan tidak menjauhi thaghut adalah dengan berdoa dan meminta keselamatan kepada orang-orang yang sudah mati. Walaupun orang itu mengerjakan salat, berpuasa, berhaji, bersedekah, berinfak dan gemar melakukan amal sosial, tetapi apabila dia juga berdoa dan beribadah kepada selain Allah, maka semua ibadahnya itu sia-sia. Karena ibadah kepada Allah tidak bisa benar kecuali dengan disertai sikap menjauhi thaghut (lihat keterangan Syekh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Rasa’il al-Imam, hal. 168-169)

Hal ini juga mengandung pelajaran bagi kita bahwa keimanan yang benar adalah yang bersih dari segala bentuk kesyirikan/peribadatan kepada selain Allah. Sebab syirik inilah bentuk kezaliman terberat yang akan menghalangi datangnya keamanan dan hidayah. Allah berfirman,

ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَلَمۡ یَلۡبِسُوۤا۟ إِیمَـٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang diberi keamanan dan mereka itulah orang-orang yang selalu diberi petunjuk.” (al-An’am : 82). Maksud ayat ini adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun; mereka inilah orang yang akan meraih keamanan pada hari kiamat dan mendapatkan petunjuk di dunia dan di akhirat (lihat keterangan Imam Ibnu Katsir yang dinukil oleh Syekh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid, hal. 63)

Inilah hakikat dari tauhid. Memadukan antara penetapan ibadah kepada Allah dan penolakan ibadah kepada selain Allah. Karena menolak sesembahan yang lain itu saja tidak cukup dalam mewujudkan tauhid, sebagaimana ibadah kepada Allah tanpa menolak sesembahan yang lain juga belum bisa disebut bertauhid. Maka tauhid itu harus mengandung dua hal: penolakan ibadah kepada selain Allah dan penetapan ibadah serta menujukan ibadah itu untuk Allah semata (lihat keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil dalam Ibthal at-Tandid, hal. 9)

Dari sinilah -kaum muslimin yang dirahmati Allah- seorang muslim tidak cukup melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah tanpa meninggalkan syirik. Ibadah kepada Allah tetapi juga disertai dengan perbuatan syirik kepada-Nya maka syirik itulah yang akan membuat ibadah dan amal kita menjadi sirna dan sia-sia. Allah berfirman,

 وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

“Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Dengan demikian, sebagaimana kita wajib mengenal berbagai bentuk ibadah dan amal saleh maka kita juga wajib untuk mengenali berbagai bentuk syirik dan perusak amalan. Karena iman dan amal saleh yang diterima oleh Allah adalah iman yang bersih dari syirik dan amal yang bersih dari penyimpangan. Oleh sebab itu, Allah sering mengaitkan antara amal saleh dan keikhlasan dan membersihkan diri dari kesyirikan. Allah berfirman,

فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Sebagaimana telah ma’ruf penafsiran dari Fudhail bin Iyadh rahimahullah -seorang ulama tabi’in- bahwa amal apabila ikhlas tetapi tidak sesuai tuntunan tidak akan diterima, begitu pula apabila benar/sesuai tuntunan tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Maka amal yang diterima harus terpenuhi padanya dua syarat: ikhlas dan mengikuti tuntunan (lihat keterangan yang dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wal Hikam, hal. 19)

Dari sinilah kita semuanya tertuntut untuk memurnikan ibadah kepada Allah. Tidak boleh memalingkan suatu bentuk ibadah -apakah itu salat, nadzar, sembelihan, istighotsah, dsb- kepada selain Allah, apakah berupa malaikat ataupun nabi dan orang-orang salih. Allah tidak rida apabila dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ibadah dengan siapa pun juga.

Allah berfirman,

وَأَنَّ ٱلۡمَسَـٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدࣰا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian menyeru/berdoa atau beribadah bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18)

Syekh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan kandungan ayat ini. Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah tidaklah bermanfaat kecuali apabila dilandasi dengan tauhid, dan apabila ibadah terkotori syirik menjadi batil/sia-sia/rusak dan menjadi malapetaka bagi pelakunya. (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 59)

Adapun istilah thaghut memiliki cakupan makna yang luas, meliputi segala yang disembah selain Allah dan dia rida dengan hal itu -ibadah yang ditujukan kepadanya-, baik ibadah itu berupa peribadatan/menyembah secara langsung, maupun ketetapan/orang yang diikuti dan dipatuhi yaitu apabila hal itu bukan dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. (lihat keterangan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam risalah Ma’na Thaghut bersama keterangan dari Syekh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Rasa’il al-Imam, hal. 172)

Para ulama terdahulu pun telah memberikan contoh-contoh thaghut yang wajib diingkari semacam setan, dukun/paranormal, dan segala bentuk sesembahan selain Allah. Imam Ibnu Katsir juga menyimpulkan bahwa hakikat thaghut adalah setan dan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah yang dihias-hiasi oleh setan (lihat dalam Fathul Majid, hal. 44)

Dari sini pula kita bisa menarik kesimpulan bahwa menjadi kewajiban pokok bagi setiap muslim untuk menolak segala bentuk syirik dan kekafiran. Tidak boleh mendukung dan menyetujuinya, karena hal itu akan merusak keimanan dan ibadahnya kepada Allah. Dengan demikian, tidak boleh seorang muslim meyakini bahwa peribadatan kepada selain Allah itu benar. Tidak boleh seorang muslim membenarkan atau membela perbuatan syirik kepada Allah. Karena itulah, para ulama dengan tegas melarang kaum muslimin dari menghadiri perayaan hari raya orang kafir dan mengucapkan selamat bagi hari raya mereka. Karena hal itu merusak pondasi keimanan dan merupakan tindakan melecehkan agama Allah.

Namun, hal itu bukan berarti kita boleh berbuat zalim kepada orang kafir, sama sekali tidak. Kita tidak mengganggu mereka, dan kita tidak perlu ikut merayakan hari raya mereka. Karena bagi mereka agama mereka dan bagi kita agama kita… Adapun urusan yang bersifat sosial kemasyarakatan maka tidak mengapa bergaul dan bertetangga baik dengan mereka, bahkan hal itu merupakan bagian dari akhlak dan dakwah Islam kepada umat manusia. Di sinilah kita perlu membedakan dalam urusan apa kita bisa bekerjasama dan dalam urusan apa kita tidak dibolehkan membantu dan menghadirinya. Tentu saja hal ini bisa diperoleh jika kita mau kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengikuti penjelasan para ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa.

Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi penulis dan segenap pembaca. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wasallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi

Sumber: https://muslim.or.id/66790-buhul-yang-paling-kuat.html

Inilah Bacaan Istighfar Sebelum Shalat Shubuh di Hari Jumat

Hari Jumat merupakan hari terbaik di antara hari-hari yang lain. Pada hari tersebut kita dianjurkan untuk beribadah kepada Allah dengan memperbanyak membaca al-Quran, shalawat kepada Nabi Saw, zikir, shalat Shubuh berjemaah dan membaca istighfar.

Khusus di hari Jumat, kita dianjurkan untuk membaca lafadz istighfar tertentu sebelum melaksanakan shalat Shubuh. Lafadz istighfar ini disunahkan untuk dibaca sebanyak tiga kali sebelum shalat Shubuh dilaksanakan. Adapun lafadznya adalah sebagai berikut;

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

Astaghfirullahal ‘adzim allazi la ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaihi.

“Aku memohon ampun kepada Allah, Zat yang tiada tuhan selain Dia yang maha hidup, lagi maha tegak. Aku bertobat kepada-Nya.”

Ini berdasarkan hadis Imam Ibnu Sunni dari Anas bin Malik dari Nabi Saw, beliau bersabda;

من قال صبيحة يوم الجمعة قبل صلاة الغداة : أستغفر الله الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه ثلاث مرات غفر الله ذنوبه ولو كانت مثل زبد البحر

“Siapa saja yang berdoa di pagi hari Jumat sebelum shalat pagi dengan, ‘Astaghfirullahal ‘adzim allazi la ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaihi,’ sebanyak tiga kali, maka Allah mengampuni dosanya meski sebanyak buih di lautan.’”

BINCANG SYARIAH

Bersedekah dengan Harta yang Paling Dicintai (Teladan dari Abu Thalhah)

Sepertinya bersedekah dengan harta yang kita cintai itu amat berat. Karena sifat manusia itu sangat mencintai harta, enggan mengeluarkannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَتُحِبُّونَ ٱلْمَالَ حُبًّا جَمًّا

Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20). Ibnu Katsir menafsirkan “jammaa” dengan katsiroon (banyak). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:563. Artinya, manusia itu sangat berlebihan dalam mencintai hartanya.

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَإِنَّهُۥ لِحُبِّ ٱلْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (QS. Al-‘Adiyat: 8). Ada dua makna yang ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah mengenai ayat ini:

  1. Manusia itu sangat cinta pada harta.
  2. Manusia sangat tamak dan bakhil (pelit) dengan harta sehingga mencintainya berlebihan. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:635.

Sehingga jika ada yang bisa mengeluarkan harta yang ia cintai untuk bersedekah, itu sangat luar biasa.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu adalah orang Anshar yang memiliki banyak harta di kota Madinah berupa kebun kurma. Ada kebun kurma yang paling ia cintai yang bernama Bairaha’. Kebun tersebut berada di depan masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan minum dari air yang begitu enak di dalamnya.”

Anas berkata, “Ketika turun ayat,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Lalu Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia menyatakan, “Wahai, Rasulullah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)

Sungguh harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh aku wakafkan kebun tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan mengharap simpanan di akhirat. Aturlah tanah ini sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi petunjuk kepadamu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “BakhItulah harta yang benar-benar beruntung. Itulah harta yang benar-benar beruntung. Aku memang telah mendengar perkataanmu ini. Aku berpendapat, hendaknya engkau sedekahkan tanahmu ini untuk kerabat. Lalu Abu Thalhah membaginya untuk kerabatnya dan anak pamannya.” (HR. Bukhari, no. 1461 dan Muslim, no. 998). Bakh maknanya untuk menyatakan besarnya suatu perkara.

Pelajaran dari hadits

  • Keutamaan menafkahi dan memberi sedekah kepada kerabat, istri, anak, dan orang tua walau mereka musyrik. Sebagaimana Imam Nawawi membuat judul bab untuk hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim.
  • Kerabat harusnya lebih diperhatikan dalam silaturahim. Abu Thalhah akhirnya memberikan kebunnya kepada Ubay bin Ka’ab dan Hassan bin Tsabit.
  • Bersedekah kepada kerabat punya dua pahala yaitu pahala menjalin hubungan kerabat (silaturahim) dan pahala sedekah.

Bisakah kita bersedekah dengan harta yang kita cintai seperti Abu Thalhah?

Semoga Allah memberikan keberkahan untuk harta kita dan terus semangat bersedekah.

Referensi:

  • Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
  • Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, Tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Catatan 4 Dzulqa’dah 1442 H @ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul DIY

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Sumber https://rumaysho.com/28614-bersedekah-dengan-harta-yang-paling-dicintai.html

Ahmad Surkati Menentang Feodalisme di Kalangan Sayyid di Indonesia

Salah satu tokoh pembaharuan Islam di Indonesia yang berasal dari Sudan adalah Ahmad Surkati. Ia sampai ke Indonesia pada bulan Oktober tahun 1911. Pada waktu kedatangannya, ia bersama dua orang lainnya yakni Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, dan Syaikh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah.

Menurut Deliar Noor, dalam buku Gerakan Modern Islam  di Indonesia 1900-1945, mereka bertiga didatangkan dari negara Arab untuk menjadi guru di Jami’at Khair. Pasalnya, ketika itu Jamiat Khair kekurangan pengajar, seiring berkembangnya sekolah tersebut.

Ia adalah termasuk tokoh yang memainkan peranan penting dalam penyebaran pelbagai pemikiran dalam lingkungan masyarakat Islam di Indonesia.  Pada sisi lain, Ahmad Surkati seorang yang terpengaruh dengan semangat puritan Muhammad ibn Abdul Wahhab, Salafisme Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Wajar saja, Ia pernah menempuh pendidikan di Mesir, Medinah, dan Mekkah.

Kehadiran ahmad berdampak pada pemurnian dan pembaruan Islam di Indonesia. Pemikiran Ahmad Surkati, mencoba mengenengahkan pandangan keagamaan yang benar, terutama terkait kafaah (sekufu atau sederajat). Ia mengggugat praktik kafaah yang saat itu menjadi pembeda bagi imigran Hadramaut yang masuk ke Indonesia.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1913 dalam salah satu pertemuan kalangan imigran Arab di Indonesia, Ahmad Surkati mengeluarkan fatwa menentang dan tak begitu setuju dengan penamaan sayyid dan bukan sayyid. Sebutan Sayyid diyakini sampai keturunannya sampai ke Rasulullah, sedangkan non sayyid, adalah imigran Hadramaut biasa (baca; belakangan disebut Habib dan non habib).

Menurut Ahmad Surkati, seluruh manusia sama derajatnya tanpa memandang latar belakang sosialnya. Dengan tegas ia mengungkapkan bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah turunan, harta, ataupun pangkat.

Pada sisi lain, Ahmad Surkati juga berani mengkritik sejumlah tradisi yang umumnya dihormati di kalangan sayyid, seperti mencium tangan dan perkawinan antar sayyid berdasarkan ajaran kafaah (sederajat). Pasalnya, seorang wanita dari kalangan sayyidah, hanya boleh menikahi seorang sayyid. Tradisi inilah yang ia tentang secara tegas.

Fatwa Solo yang dikeluarkan oleh Ahmad Surkati, menurut Deliar Noor, telah menimbulkan dorongan dan keberanian bagi siapapun untuk menentang sikap feodalisme. Terutama bagi pemimpin agama Islam semisal Muhammadiyah, Persis, dan Jong Islamieten bond. Seakan surkati berdiri tegak di belakang mereka untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran kegamaan apabila diperlukan.

Lambat laun, Ahmad Surkati pun keluar dari Jami’at khoir. Ada pun penyebab keluarnya dari Jamiat Khoir disebabkan perbedaan pandangan. Untuk itu, pada tahun 1914, ia mendirikan al-Irsyad.  Pendirian al-Irsyad sebagai sarana yang diperlukan untuk pemurnian keyakinan dan peribadatan agama Islam. Dari sinilah kemudian, Surkati menyebarkan pembaharuan pemikiran Islam.

BINCANG SYARIAH

Euro 2020: Pogba Singkirkan Alkohol, Ronaldo Enyahkan Soda

Bintang sepakbola Prancis Paul Pogba yang dikenal sebagai Muslim pada putaran pertandingan Piala Euoro 2020 membuat heboh. Dia secara sengaja memindahkan minuman salah satu sponsor utama piala sepakbola antar negara eropa dari meja konprensi pers. Saat itu dia akan berbicara kepada wartawan usai timnya sukses mengalahkan Jerman.

Tak hanya mampu bermain apik ketika tim Prancis mengalahkan Jerman, Pogba terlihat jelas tak sudi ada minuman beralkohol berada di depannya ketika berbicara. Seperti bintang Portugal Christian Ronaldo yang menyingkirkan minuman bersoda Coca-Cola dari hadapannya saat jumpa pers, Poga pun bertindak yang sama. Tak beda dengan Ronaldo wajah Pogba terlihat tak suka pada minuman bir bermerek Heikenen itu.

Bahkan, Pogba pun kemudian menyindir dengan menyatakan bila dirinya berminat menjadi sponsor turnamen bergengsi sepakbola Eropa  tersebut. Langkah ini kembali membuktikan sikap Pogba yang anti minuman beralkohol dan diapun sudah lama mengatakan tak minum alkohol adalah keren dan bugar,

Paul Pogba sebagai seorang Muslim yang taat paham bahwa minuman ber alkohol adalah ‘haram’ atau dilarang. Sikap bintang Manchester United itu kemungkinan karena keengganannya untuk mendukung sponsor kompetisi.

Heineken adalah bir resmi Euro 2020. Namun bagi Pogba – yang diyakini transfernya bernilai lebih dari 100 juta dolar AS- adalah Muslim sehingga tidak mau minum alkohol. Paul Pogba, salah satu pesepakbola dengan bayaran tertinggi di dunia. Dan kini telah mengikuti Christiano Ronaldo dan melakukan protes secara halus pada ajang konferensi pers di Euro 2020. Kedua memprotes soal minuman yang menjadi sponsor piala tersebut.

Berbeda dengan kala jumpa pers Ronaldo, pada acara jumpa pers Pogba botol bir Heineken jelas sekali nangkring di depannya wajahnya. Selain itu perlu diketahui, Pogba bukanlah olahragawan Muslim pertama yang melakukan protes seperti itu. Sebelumnya ada pemain kriket Australia Fawad Ahmed yang mencopot logo minuman beralkohol dari seragamnya.

Selain itu, pemain kriket Inggris Moeen Ali dan Adil Rashid juga memilih menyingkir dari perayaan kemenangan dengan cara berpesta dengan meminum sampanye. Pemain hebat kriket lainnya yang menjadi bintang klub All Blacks Sonny, Bill Williams juga mengajukan hal yang hampir sama. Dia keberatan mempromosikan sebuah bank di jerseynya.

IHRAM

Alquran dan Sunnah Juga Mendorong Pentingnya Ijtihad

Ijtihad merupakan cara menggali kesimpulan hukum dalam Alquran dan sunnah

Dalam tulisan sebelumnya dijelaskan mengapa ijtihad dibutuhkan dalam menentukan syariat atau hukum dari suatu perkara. Padahal sudah ada Alquran dan sunnah sebagai pedoman. 

Ustadz Ahmad Sarwat Lc dalam buku berjudul “Sudah Ada Quran-Sunnah Mengapa Harus Ijtihad?” terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan bahwa Alquran dan sunnah ternyata memerintahkan manusia untuk melakukan ijtihad.  

“Jangan dikira tindakan berijtihad itu sekadar ulah orang-orang kurang kerjaan yang niatnya mau menambah-nambahi agama. Justru berijtihad itu adalah sebuah ibadah yang diperintahkan oleh Alquran dan sunnah,” kata Ustadz Sarwat dalam bukunya.

Ustadz Sarwat menegaskan, kedua sumber hukum Islam itu tidak melarang berijtihad. Justru sebaliknya, keduanya memerintahkan orang-orang yang memang punya keahlian untuk berijtihad. 

Melakukan ijtihad adalah salah satu di antara sekian banyak perintah Allah dan Rasul-Nya kepada umat Islam, bukan semata-mata inisiatif dan keinginan hawa nafsu. Di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan nalar, logika dan akalnya dalam memahami perintah-perintah Allah SWT.

 إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ “Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS Az Zumar 42)  

Ustadz Sarwat menerangkan, Rasulullah SAW adalah seorang utusan Allah SWT. Beliau secara umum memang menerima wahyu risalah dalam setiap kesempatan, sehingga menjadi rujukan dalam agama. 

“Namun kalau kita teliti detail-detail sirah nabawiyah, seringkali kita temui bahwa beliau terpaksa harus berijtihad, lantaran wahyu tidak turun tepat pada saat dibutuhkan,” jelas Ustadz Sarwat. 

لَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.” (QS Al Kahfi 23-24)

Sebab turun ayat ini karena Rasulullah SAW menjanjikan untuk menjawab pertanyaan orang-orang Yahudi besok hari. Namun jawaban wahyu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Entah kemana Malaikat Jibril yang biasanya rajin datang membawa wahyu. Ayat ini menegaskan bahwa ada kalanya begitu dibutuhkan, wahyu menjadi tidak turun. 

Rasulullah SAW berijtihad dalam kasus perbedaan pendapat tentang menghentikan perang Badar atau meneruskannya hingga semua lawan mati. Rasulullah SAW menggelar syura dengan para shahabat, lantaran wahyu tidak kunjung turun. Rasulullah SAW meminta pandangan dari para shahabat, kemudian berijtihad untuk menghentikan perang dan menjadikan musuh sebagai tawanan. 

“Namun setelah itu ijtihad beliau (Nabi Muhammad SAW) dianulir oleh turunnya wahyu, yang melarang beliau (Nabi Muhammad SAW) menghentikan perang dan mengambil musuh sebagai tawanan,” kata Ustadz Sarwat. 

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَىٰ حَتَّىٰ يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ ۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka Bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS Al Anfal 67)

Ustadz Sarwat menerangkan, ketika Rasulullah SAW masih hidup, banyak di antara para shahabat yang melakukan ijtihad, baik atas perintah Nabi Muhammad SAW ataupun atas inisiatif sendiri yang kemudian dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW. 

Muadz bin Jabal RA ketika Rasulullah SAW mengutusnya untuk menjadi pemimpin di negeri Yaman, telah diperintahkan atau direkomendasikan untuk berijtihad.     

KHAZANAH REPUBLIKA

Ini 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib yang Dijanjikan Istana di Surga

Ada 12 rakaat shalat sunnah rawatib yang hukumnya sunnah muakkadah. Keutamaannya luar biasa, menjadikan pelakunya mendapat istana di surga. Apa saja 12 rakaat shalat sunnah rawatib ini?

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu. Baik sebelum (qabliyah) shalat fardhu, maupun sesudah (ba’diyah) shalat fardhu.

Keutamaan 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib

Dua belas rakaat shalat sunnah rawatib memiliki keutamaan yang luar biasa. Yakni Allah membangunkan istana di surga bagi muslim yang mengamalkan 12 rakaat shalat sunnah ini. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ

Tidaklah seorang muslim mengerjakan shalat sunnah 12 rakaat setiap hari, melainkan Allah membangunkan baginya sebuah istana di surga. (HR. Muslim)

Ketika Allah sudah membangunkan istana di surga, artinya Allah juga akan memasukkan hamba-Nya itu ke dalam surga. Penegasan makna ini kita dapati dalam hadits riwayat An Nasa’i.

فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa menjaga 12 rakaat sehari semalam, niscaya dia masuk surga… (HR. An-Nasa’i; shahih lighairihi)

Baca juga: Niat Sholat Tahajud

Apa Saja 12 Rakaat Shalat Sunnah Rawatib?

Kita tahu ada banyak shalat sunnah rawatib. Mengiringi shalat fardhu lima waktu, baik sebelum (qabliyah) maupun sesudah (ba’diyah) shalat fardhu tersebut. Kecuali dua waktu yang dilarang shalat yakni sesudah Subuh dan sesudah Ashar.

Jadi, shalat rawatib itu ada: 2 rakaat qabliyah Subuh, 4 rakaat qabliyah Zhuhur, 4 rakaat ba’diyah Zhuhur, 4 rakaat qabliyah Ashar, 2 rakaat qabliyah Maghrib, 2 rakaat ba’diyah Maghrib, 2 rakaat qabliyah Isya’, dan 2 rakaat ba’diyah Isya’. Mana saja yang termasuk 12 rakaat shalat sunnah rawatib yang keutamaannya istana surga?

Berikut ini sebagian hadits shahih yang menerangkannya:

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’, dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. Bukhari)

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Barangsiapa menjaga 12 rakaat shalat sunnah rawatib, niscaya dia membangunkan istana di surga. (Yaitu) empat rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’, dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. Tirmidzi; shahih)

مَنْ ثَابَرَ عَلَى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

Barangsiapa menjaga 12 rakaat sehari semalam, niscaya dia masuk surga. (Yaitu) empat rakaat sebelum Zhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat sesudah Maghrib, dua rakaat sesudah Isya’, dan dua rakaat sebelum Subuh. (HR. An-Nasa’i; shahih lighairihi)

Jadi, 12 rakaat shalat sunnah rawatib itu adalah:

  • 4 rakaat sebelum Zhuhur
  • 2 rakaat sesudah Zhuhur
  • 2 rakaat sesudah Maghrib
  • 2 rakaat sesudah Isya’
  • 2 rakaat sebelum Subuh

Dua belas rakaat ini hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Sedangkan sisanya, hukumnya adalah sunnah ghairu muakkadah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa 12 rakaat shalat sunnah yang dijanjikan istana di surga itu bukan hanya terbatas shalat sunnah rawatib. Misalnya Syaikh Mustofa Said Al-Khin, Syaikh Mustofa Al-Bugho, Syaikh Muhyidin Mistu, Syaik Ali Asy-Syirbaji, dan Syaikh Muhammad Amin Luthfi.

“Kita diperintahkan mengerjakan shalat sunnah setiap hari secara rutin 12 rakaat,” kata mereka dalam Nuzhatul Muttaqin. “Hadits ini (riwayat Imam Muslim di atas) berbicara secara umum. Jadi semua jenis shalat sunnah masuk dalam kategori ini, termasuk Sholat Dhuha.”

Selain lima ulama tersebut, juga ada ulama lain yang berpendapat demikian. Yang penting shalat sunnah 12 rakaat sehari semalam, insya Allah mendapat istana di surga sebagaimana hadits di atas. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah 12 rakaat shalat sunnah rawatib sebagaimana hadits shahih lain yang menjelaskannya sebagaimana di atas. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]