Pentingnya Pemahaman dalam Mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah

Di antara perkara penting dalam mempelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah “pemahaman” (al-fahmu). Yaitu, kita diberikan pemahaman tentang apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala dan juga apa yang diinginkan (dimaksudkan) oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena mayoritas manusia diberikan ilmu, namun tidak diberikan pemahaman (al-fahmu). Tidaklah cukup bagi seseorang kalau hanya menghapal Al-Qur’an dan menghapal hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mudah baginya, namun tidak memiliki pemahaman. Betapa banyak orang yang berdalil dengan ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga dengan itu, mereka pun terjatuh dalam kesesatan.

Salah dalam pemahaman itu lebih berbahaya

Oleh karena itu, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa kesalahan dalam pemahaman itu lebih berbahaya daripada kejahilan (tidak berilmu sama sekali). Hal ini karena seseorang yang bodoh, kemudian terjatuh dalam kesalahan, dia tahu bahwa dia tidak berilmu (bodoh) sehingga hal itu mendorong dirinya untuk belajar.

Adapun orang yang salah dalam pemahaman, dia mengira bahwa dirinya orang yang berilmu. Dia juga mengira apa yang dia pahami itu adalah apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Antara Nabi Dawud dan Sulaiman ‘alaihimassalaam

Allah Ta’ala berfirman,

وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلّاً آتَيْنَا حُكْماً وَعِلْماً وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian (pemahaman) kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 78-79)

Dalam masalah ini, Allah Ta’ala memberikan keutamaan lebih kepada Nabi Sulaiman ‘alahis salaam dibandingkan dengan Nabi Dawud ‘alaihis salaam, karena adanya pemahaman yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman ‘alahis salaam. Allah Ta’ala mengatakan,

فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ

“Maka Kami telah memberikan pengertian (pemahaman) kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat).”

Namun, hal itu bukanlah celaan terhadap ilmu Nabi Daud ‘alaihis salaam, karena Allah Ta’ala mengatakan,

وَكُلّاً آتَيْنَا حُكْماً وَعِلْماً

“Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.”

Perhatikanlah ayat ini, kita bisa melihat bagaimana Allah Ta’ala menyebutkan keutamaan yang dimiliki oleh Nabi Sulaiman berupa pemahaman. Kemudian Allah Ta’ala sebutkan pula keutamaan Nabi Daud ‘alaihis salaam,

وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ

“Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud.”

Sehingga mereka pun saling mengungguli satu sama lain. Meskipun ada dua hal yang mereka berserikat (sama) di dalamnya, yaitu hikmah dan ilmu. Lalu Allah Ta’ala menyebutkan perkara yang membuat masing-masing dari mereka lebih unggul dari yang lain. Hal ini menunjukkan pentingnya pemahaman (al-fahmu).

Contoh salah dalam pemahaman

Contoh dalam pemahaman adalah kasus semisal ini. Jika ada dua wadah, satu wadah berisi air hangat dan satu wadah berisi air dingin. Ketika itu sedang musim dingin, dan ada seseorang yang ingin mandi wajib (mandi janabah). Sebagian orang akan berkata bahwa yang lebih afdhal (lebih utama) adalah memakai air dingin, Karena jika memakai air dingin, kondisinya lebih berat (ada masyaqqah), sehingga lebih besar pahalanya. Kemudian di pun berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ

“Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amal yang dapat menghapus kesalahan (dosa) dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, ”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, ”(Yaitu) menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit, banyaknya langkah menuju masjid, menunggu shalat setelah mendirikan shalat. Itulah kebaikan (yang banyak).” (HR. Muslim no. 251)

Di manakah kesalahan dalam kasus ini?

Kesalahannya terletak dalam masalah pemahaman. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, 

إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ

”Menyempurnakan wudhu dalam kondisi sulit.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Pilihlah air dingin ketika wudhu.”

Dua ungkapan ini jelas sekali berbeda. Karena maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah janganlah dinginnya air mencegah seseorang dari menyempurnakan wudhu. 

Selain itu, Allah Ta’ala menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al Baqarah (2): 185)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari no. 39) 

Sangat jelas bahwa Allah Ta’ala menghendaki kemudahan kepada para hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan.

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Ciri Orang Cerdas Menurut Rasulullah

Kematian bukan perkara yang ringan. Ia adalah pemutus kenikmatan, penghapus kebahagiaan, dan penyebab kesedihan. Seandainya manusia tidak memiliki masalah, musibah, atau cobaan selain kematian, sebenarnya hal itu sudah cukup untuk membuatnya bersedih, menangis, dan tidak dapat memikirkan apapun selain kematian.

Hamid Al-Qaishari berkata, “Setiap kita yakin dengan adanya kematian, namun kita tidak melakukan persiapan untuk menghadapinya. Setiap kita yakin dengan adanya surga, namun kita tidak melakukan amal kebaikan untuk mendapatkannya.

Setiap kita yakin dengan adanya neraka, namun kita tidak merasa takut terhadapnya. Lantas, apa yang membuat kalian merasa gembira? Apa yang kalian tunggu dan harapkan dari dunia? Kematian? Ia akan datang kepada kalian dengan membawa berita dari Allah; kebaikan ataupun keburukan. Wahai saudaraku, persiapkanlah perjalanan menghadap Allah dengan sebaik-baiknya.”

Ingatlah akan Kematian!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِى الْمَوْتَ

“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian.”(HR. Ahmad, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Manusia yang sedang berada dalam puncak kebahagiaannya, kemudian tiba-tiba seorang tentara memukulnya sebanyak lima kali dengan pukulan yang sangat keras, niscaya orang tersebut akan lupa dengan kenikmatan dan kebahagiaan yang baru saja ia rasakan dan nikmati. Lantas bagaimana dengan kematian yang rasanya lebih pedih dari sayatan sembilu dan lebih sakit dari tebasan pedang? Adakah yang masih mampu tertawa dan berkata-kata ketika menghadapinya?

Ciri Orang Cerdas

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

أَفْضَلُ الْمُؤْمِنِينَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَ أَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُم لِلمَوتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُم لَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ

“Orang mukmin yang paling utama adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang yang berakal.” (HR. Ibnu Majah)

Orang-orang salih selalu memikirkan dan mempersiapkan kematian. Mereka bersungguh-sungguh ketika melakukan kebaikan seolah-olah mereka akan meninggal pada hari tersebut. Apabila tiba sore hari, mereka bersyukur atas kesempatan yang masih Allah berikan.

Mereka pun kembali bersungguh-sungguh melakukan kebaikan seolah-olah mereka akan meninggal pada malam tersebut. Bahkan diantara mereka ada yang selalu berpesan kepada istrinya, “Jika aku meninggal pada hari ini, tolong sampaikan kepada fulan agar berkenan untuk memandikan jenazahku, melakukan ini dan itu, dan tolong lakukan ini dan itu wahai istriku.” Setiap hari pesan tersebut selalu diulang-ulang dan disampaikan kepada istrinya.

Manfaatkan yang 5 Sebelum Datang yang 5

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum masa matimu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrok no. 7846)

Kematian tidak pernah hilang dari pikiran dan ingatan orang-orang yang shalih. Apabila disebutkan kematian, mereka langsung terdiam, tertunduk, tidak mampu berkata-kata, dan merasa seolah-olah merekalah yang sedang menghadapinya. Mereka mengeluhkan tentang kurangnya persiapan dan sedikitnya perbekalan.

Sebaliknya. Ada manusia yang diperintah untuk menyiapkan perbekalan sebelum tiba kematian, diajak untuk berjalan menuju Allah dengan melakukan ketaatan, dan dimotivasi untuk bersabar tidak bermaksiat di dunia demi mendapatkan kenikmatan yang jauh lebih baik di akhirat, namun mereka justru duduk, diam, bermalas-malasan, bermain-main, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia ketimbang kehidupan akhirat. Aneh memang.

Semoga kita bukan termasuk orang-orang yang melupakan kematian ya ukhti. []

Sumber: Bimbinganislam


Inilah 10 Doa Orangtua untuk Anak

Doa Orang Tua Agar Anak Menjadi Shalih Dan Shalihah

1. Doa Nabi Zakaria

رَبِّ هَبۡ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةٗ طَيِّبَةًۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ

(Robbiy habliy mil ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka sami’ud du’a’)

“Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa” (Qs.ali-imran : 38)

2. Doa Nabi Ibrahim

رَبِّ ٱجۡعَلۡنِي مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِيۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلۡ دُعَآءِ

(Robbij’alniy muqimash sholati wa min dzurriyyati robbana wa taqobbal du’a’)

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku” (Qs.Ibrahim : 40)

3. Doa Agar Anak Beriman Dan Bertakwa

رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا

(Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota a’yun waj ‘alna lil muttaqiina imama)

“Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (Qs.al-Furqon : 74)

4. Doa Agar Anak Menjadi Shalih Dan Shalihah

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ أَوْلَادَنَا أَوْلَادًا صَالِحِيْنَ حَافِظِيْنَ لِلْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ فُقَهَاءَ فِى الدِّيْنِ مُبَارَكًا حَيَاتُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

(Allahummaj ‘al awladana awladan sholihiin haafizhiina lil qur’ani wa sunnati fuqoha fid diin mubarokan hayatuhum fid dun-ya wal akhirah)Loading…

“Ya Allah, jadikanlah anak-anak kami anak yang sholih sholihah, orang-orang yang hafal Al-Qur’an dan Sunnah, orang-orang yang faham dalam agama dibarokahi kehidupan mereka didunia dan di akhirat”

5. Doa Agar Anak Berbakti Kepada Orang Tua

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَوْلَادِي وَلَا تَضُرَّهُمْ وَوَفِّقْهُمْ لِطَاعَتِكَ وَارْزُقْنِي بِرَّهُمْ

(Allahumma barikliy fii awladiy, wa la tadhurruhum, wa waf fiqhum li tho’atik, war zuqniy birrohum)

“Ya Allah berilah barokah untuk hamba pada anak-anak hamba, janganlah Engkau timpakan mara bahaya kepada mereka, berilah mereka taufik untuk taat kepadaMu dan karuniakanlah hamba rejeki berupa bakti mereka”.

6. Doa Agar Anak Menjadi Pintar

اَللَّهُمَّ امْلَأْ قُلُوْبَ أَوْلَادِنَا نُوْرًا وَحِكْمَةً وَأَهْلِهِمْ لِقَبُوْلِ نِعْمَةٍ وَاَصْلِحْهُمْ وَاَصْلِحْ بِهِمُ الْأُمَّةَ

(Allaahummam-la’ quluuba aulaadinaa nuuron wa hik-matan wa ahlihim liqobuuli ni’matin wa ashlih-hum wa ashlih bihimul ummah)

“Ya Allah, penuhilah hati anak-anak kami dengan cahaya dan hikmah, dan jadikan mereka hamba-hamba-Mu yang pantas menerima nikmat, dan perbaikilah diri mereka dan perbaiki pula umat ini melalui mereka.”

7. Doa Agar Anak Memiliki Pemahaman Agama Yang Benar

اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

(Allahumma faqqih hu fid diini wa ‘allimhut ta’wiila)

“Ya Allah, berikanlah kefahaman baginya dalam urusan agama, dan ajarkanlah dia ta’wil (tafsir ayat-ayat al-Qur’an)” (HR.Bukhari)

8. Doa Agar Anak Sehat, Cerdas Dan Bermanfaat Ilmunya

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَحِيْحًا كَامِلاً وَعَاقِلًا حَاذِقًا وَعَالِمًا عَامِلًا

(Allahummaj’alhu shohiihan kaamilan, wa ‘aqilan haadziqon, wa ‘aaliman ‘amilan)

“Ya Allah, jadikanlah ia anak yang sehat sempurna, berakal cerdas, dan berilmu lagi beramal”

9. Doa Agar Anak Diberikan Perlindungan Oleh Allah

أُعِيْذُهُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

(U’iidzu hu bikalimaatillahit taammati min kulli syaithoniw wahaammatiw wamin kulli ‘ainil laammah)

“Aku memohon perlindungan baginya (sebut nama anak) dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari semua godaan setan dan binatang pengganggu serta dari pandangan mata buruk”. (HR. Abu Daud 3371, dan dishahihkan al-Albani, diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Tirmidzi)

Doa ini adalah doa yang pernah Rosulullah gunakan untuk mendoakan cucuknya Hasan dan Husein

10. Doa Agar Anak Mendapat Keberkahan

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا فِي أَئِمَّتِنَا وَجَمَاعَتِنَا وَأَهْلِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَأَمْوَالِنَا وَفِيمَا رَزَقْتَنَا وَبَارِكْ لَنَا فِيهِمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

(Allahumma ashlih lana fi aimmatina wa jamaa’atina wa ahlina wadzurriyyatina wa amwaalina wafiimaa razaqtana wa baariklana fiihim fid dunya wal aakhiroh)

“Ya Alloh perbaikilah untuk kami di dalam imam-imam kami, jama’ah kami, keluarga kami, istri-istri kami, anak-anak turun kami, harta-harta kami dan di dalam apa-apa (rezeki) yang engkau berikan kepada kami dan berilah kami kebarokahan dalam urusan mereka di dunia dan akhirat”

Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan keturunan kita anak-anak yang shalih dan shalihah. []

Sumber: Menitijalansalafushalih

RUANG MUSLIMAH


Anggapan Sial Karena Suatu Pertanda Adalah Kesyirikan

Jika anda merasa akan terjadi kesialan atau musibah karena adanya suatu pertanda, yang sebenarnya tidak ada hubungan sebab-akibat dengan kesialan atau musibah, ini disebut thiyarah. Dan thiyarah itu termasuk kesyirikan.

Definisi tathayyur

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، الطِّيَرَةُ شِركٌ ، وما منا إلا ، ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتَّوَكُّلِ

“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan. Dan setiap kita pasti pernah mengalaminya. Namun Allah hilangkan itu dengan memberikan tawakkal (dalam hati)” (HR. Abu Daud no. 3910, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud). 

Ath thiyarah disebut juga at tathayyur. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :

التطـيُّر: هو التشاؤم من الشيء المرئي أو المسموع

“at tathayyur artinya merasa sial karena suatu pertanda yang dilihat atau didengar” (Miftah Daris Sa’adah, 3/311).

Sebagian ulama membedakan ath thiyarah dengan at tathayyur. Al Qarafi rahimahullah mengatakan : 

فالتطير: هو الظن السيّئُ الكائن في القلب، والطِّـيَرة: هو الفعل المرتَّب على هذا الظن من فرار أو غيره

at tathayyur artinya sangkaan dalam hati bahwa akan terjadi kesialan. Sedangkan at thiyarah adalah perbuatan yang dihasilkan dari tathayyur, yaitu berupa lari atau perbuatan lainnya” (al Furuq, 4/1367).

Contoh tathayyur

Contohnya, jika seseorang ketika hendak pergi keluar rumah, lalu tiba-tiba ia kejatuhan cicak. Kemudian timbul dalam hatinya perasaan bahwa ia akan sial karena pertanda berupa kejatuhan cicak tersebut. Inilah tathayyur. Jika ia mengurungkan niatnya untuk pergi, inilah thiyarah. Ini semua adalah kesyirikan, sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam katakan dalam hadits di atas.

Semua bentuk merasa sial yang muncul dalam sangkaan, sekedar melihat pertanda yang buruk juga, yang tidak ada hubungan sebab-akibat secara syar’i atau qadari (ilmiah), maka itu thiyarah. An Nawawi rahimahullah mengatakan :

والتطير: التشاؤم، وأصلُهُ الشيءُ المكروه من قول، أو فعل، أو مرئي

at tathayyur artinya merasa sial, dan landasannya pada perkara-perkara yang buruk, baik berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang dilihat” (Syarah Shahih Muslim, 4/2261).

Contoh lainnya:

  • Merasa akan ada yang mati karena ada burung gagak.
  • Merasa akan ada yang mati karena mata berkedut.
  • Merasa sedang digosipi oleh orang karena telinga berkedut.
  • Merasa akan sial karena gelas pecah .
  • Dll.

Tathayyur adalah kesyirikan

Selain merupakan kesyirikan, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, orang yang melakukan tathayyur juga dikatakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa ia bukan golongan Nabi. Dari Imran bin Hushain radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

 ليس منا من تطيَّر أو تُطُيِّرَ له

“Bukan bagian dari kami orang yang melakukan tathayyur atau orang yang meminta dilakukan tathayyur untuknya” (HR. Al Bazzar no. 3578, dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [6/311]).

Inilah bahaya dari tathayyur. Lalu, dimana sisi syirik dari tathayyur

Orang yang melakukan tathayyur menyandarkan kebaikan dan keburukan, untung dan sial, selamat dan bencana, kepada selain Allah. Padahal itu semua terjadi atas ketetapan Allah. Allah ta’ala berfirman :

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Jika datang kebaikan pada mereka, mereka berkata: ini karena kami. Jika datang keburukan pada mereka, , mereka ber-thiyarah dengan Musa dan kaumnya. Ketahuilah sesungguhnya yang menetapkan ini semua adalah Allah namun kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. Al A’raf: 131).

Yakinlah tathayyur tidak memberikan mudharat sama sekali

Adanya pertanda-pertanda tersebut (mata berkedut, burung gagak, dll) sama sekali tidak memberikan mudharat sama sekali. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :

لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ

“tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya) dan tidak ada pengaruh dari thiyarah” (HR. Al Bukhari 3/156, Muslim no. 2220).

Maka tidak perlu takut atau khawatir ketika melihat pertanda-pertanda tersebut, karena tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dan bertawakkal hanya kepada Allah. Inilah solusi dari tathayyur yang muncul dalam hati. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alahi wasallam bersabda:

الطِّيَرةُ شِركٌ. الطِّيَرةُ شِركٌ. الطِّيَرةُ شِركٌ. وما منَّا إلَّا ولكنَّ اللهَ يُذهِبُه بالتوكُّلِ

“thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik. Dan tidaklah seorang pun di antara kita kecuali pernah merasakannya, namun Allah akan menghilangkannya dengan tawakkal” (HR. Abu Daud no. 3850, At Tirmidzi no. 1614, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Gantungkan hati kepada-Nya. Karena Allah lah yang menetapkan kebaikan atau keburukan. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّـهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (QS. An Nahl: 53).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّـهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

“jika Allah menimpakan suatu mudharat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah sendiri” (QS. Al An’am: 17).

Mintalah keselamatan dan perlindungan kepada Allah semata. Semoga Allah memberi taufik.

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

4 Karakter Calon Penghuni Neraka dalam Surat Yunus

Terdapat 4 karakter calon penghuni neraka menurut surat Yunus.

Bagi orang beriman, kehidupan dunia hanyalah satu episode dari perjalanan hidup yang panjang, bukan akhir dari kehidupan dan segalanya. Namun, di balik itu, masih terdapat alam kubur dan akhirat.

Di sana, manusia berjumpa dengan Tuhannya. Karena itu, ia selalu berkomunikasi dengan Allah, melalui ibadah dan doa setiap hari dan waktu agar perjumpaan itu terlaksana secara sukses dan menyenangkan.

Adapun bagi orang yang tidak beriman, dunia seolah menjadi titik henti terakhir. Karena itu, seluruh hidupnya dipertaruhkan dan dicurahkan hanya untuk mencari kepuasan atau popularitas diri. Inilah yang Allah gambarkan dalam Alquran, 

إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ 

“Orang-orang yang tidak mengharapkan adanya perjumpaan dengan Kami, lalu merasa puas dengan kehidupan dunia, merasa tenteram dengannya, serta orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, tempat mereka adalah neraka sesuai dengan apa yang mereka lakukan.” (QS Yunus {10}: 7).

Menurut Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Munir, ayat di atas memberikan gambaran tentang empat karakter calon penghuni neraka. Pertama, tidak meyakini adanya pertemuan dengan Allah. Mereka tidak takut kepada hukuman-Nya, peringatan-Nya, ancaman-Nya, serta sama sekali tidak mengharapkan pahala dari-Nya. 

Kedua, puas dengan kehidupan dunia. Ini adalah akibat logis dari sikap pertama. Ketika seseorang tidak percaya akan berjumpa dengan Allah, dia tidak akan menyiapkan apa pun untuk pertemuannya nanti dengan Allah. Seluruh capaiannya hanya berorientasi kepada dunia yang pendek.

Ukuran kelapangan, kesenangan, dan kegembiraan bertumpu pada dunia dan keduniaan semata. Berbagai upaya untuk mencapainya dilakukan meski dengan menghalalkan segala cara, mempertaruhkan reputasi, menanggalkan harga diri, menyerang kawan sendiri, bahkan harus mengorbankan agama sekali pun.

Ketiga, merasa tenteram dan nyaman dengan dunia. Ini dirasakan ketika kesenangan dan kenikmatan dunia entah berupa harta, wanita, kedudukan, dan jabatan berhasil dicapai.

Keempat, lalai terhadap ayat-ayat-Nya. Yakni, merasa aman dari siksa dan ancaman Allah di dunia ataupun akhirat. Dengan kata lain, sama sekali tidak merasa penting mengambil pelajaran dan tidak merenungkannya.

Manakala empat karakter tersebut terdapat dalam diri manusia, ia akan jauh dari jalan kesempurnaan, dan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan. Sebab, kesempurnaan dan kebahagiaan terletak pada kemampuan manusia menata hidup secara benar dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan.

KHAZANAH REPUBLIKA


Cegah Penyakit Menurut Ilmuwan Islam: Sholat dan Tak Marah

Ilmuwan Muslim mengutarakan langkah cegah penyakit antara lain sholat dan tak marah.

Islam menekankan tidak hanya pentingnya mengobati penyakit, tetapi juga mencegah munculnya penyakit.

Abul Walid Muhammad ibnu Rusyd (wafat 1198) menempatkan metode menjaga kesehatan sebagai salah satu objek penelitiannya. Ibnu Rusyd adalah dokter, filosof, dan hakim kenamaan. Dia pula orang pertama yang menemukan dan menerapkan peranan latihan fisik dalam menjaga kesehatan. 

Uraian mengenai pemeliharaan kesehatan termaktub pula dalam kitab Taqwim as Sihha (Menjaga Kesehatan) karya Ibnu Butlan, ilmuwan asal Irak. Dia mengemukakan enam hal yang dapat memengaruhi kesehatan. 

Pertama, kebersihan udara. Menurut dia, udara bersih bermanfaat memelihara fungsi paru-paru. 

Kedua, memperhatikan kualitas gizi makanan dan minuman. Ketiga, berolahraga atau gerak badan. Keempat, cukup tidur dan beristirahat.

Kelima, menenangkan pikiran dengan memperbanyak humor. Terakhir, tidak mudah marah, kecewa, atau sedih yang berlarut-larut.

Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Tacuinum Sanitatis. Lewat tulisan The Arabs and Mediaeval Europe, N Daniel menyatakan, Ibnu al-Wafid menambahkan aspek spiritual sebagai bagian penting memelihara kesehatan. Misalnya, sholat. 

Melalui sholat dan gerakan-gerakannya, seorang Muslim memperoleh dua keutamaan aspek medis sekaligus baik secara fisik maupun psikis. Beberapa pemikir sufi pada masa itu punya pandangan spiritual senada. Sufisme, dalam berbagai bentuk, memberikan masukan atas kesehatan diri, selain melindungi lingkungan.

Salah satu pemikiran Ibnu al-Wafid, seperti dikutip dari buku Ilmuwan Muslim Pelopor Hebat di Bidang Sains Modern, adalah praktik zuhud atau menahan hawa nafsu dunia serta menjauh dari kekayaan dan hidup sesederhana mungkin. Para sufi berkeyakinan, zuhud sebagai jalan mencapai kesehatan jiwa dan raga.

Kitab al-Adwiya al-Mufada atau Powers of Medicine and Food karya lain Ibnu al-Wafid menguraikan pengobatan serta makanan. Dia menjelaskan bahwa fungsi pengobatan adalah mengembalikan kesehatan tubuh. Ini mencakup dua hal. Pertama, memahami keseluruhan bagian-bagian tubuh dan fungsinya.

Kedua, pengetahuan tentang obat-obatan dan makanan. Ilmuwan asal Toledo ini percaya, apabila kedua aspek itu dapat terpenuhi, masing-masing orang akan sanggup menjaga kesehatan diri dan lingkungannya sehingga memperkuat langkah preventif. Langkah preventif menjadi gerakan pada masa sekarang ini. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Di Rumah Saja? Ibadah Ini Cocok Menemani Anda

Alhamdulillah, jalan menuju surga Allah itu banyak. Allah Ta’ala tidak menjadikan ibadah itu satu tipe saja, namun terdapat bermacam-macam tipe ibadah yang bisa dilakukan oleh seorang hamba.

Ada ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik, ada yang membutuhkan harta, ada yang membutuhkan kelembutan, agar setiap orang mampu beramal sesuai dengan kesanggupannya.

Jika dia tidak mampu jalani suatu ibadah yang sunnah, dia bisa sungguh-sungguh menekuni dan berkonsentrasi di ibadah sunnah yang lain.

Maha benar firman Allah Ta’ala yang mensifati Islam sebagai agama yang sempurna. Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Hari ini Aku sempurnakan agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat untuk kalian, dan Aku ridhai Islam sebagai agama untuk kalian.” (QS. Al-Maidah: 3)

Mungkin di antara pembaca masih ada yang sampai saat ini masih work from home (WFH atau bekerja dari rumah) alias minim mobilitas di luar rumah. Dalam kondisi ini, mungkin ibadah puasa cocok untuk menjadi rutinitas pekanan atau bulanan.

Sebagian kajian ilmu (pengajian) belum bisa dijadikan offline (luring). Sehingga dengan ibadah puasa seseorang dapat mempertahankan ketakwaannya, karena goal (tujuan) terbesar dalam puasa seseorang adalah menjadi hamba yang bertakwa.

Allah Ta’ala berfirman,

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Allah Ta’ala, dengan segala hikmah dan kebijaksanaan-Nya, menciptakan dua tempat akhir bagi manusia, yaitu surga dan neraka.

Surga diciptakan untuk hamba yang bertakwa,

أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Disiapkan untuk orang bertaqwa.” (QS. Ali ‘Imran: 133)

Dan neraka untuk hamba yang kufur,

أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Disiapkan untuk orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24)

Dengan berpuasa, kita bisa menjadi penduduk surga, karena surga hanya untuk mereka yang bertakwa.

Di bawah ini merupakan beberapa faidah lain dari puasa, yaitu:

Pertama, puasa itu membuat jalannya setan dalam diri kita sempit. Karena setan itu berjalan di pembuluh darah manusia. Dengan berpuasa, tekanan darah juga melemah, maka seharusnya semakin sedikit maksiat yang dikerjakan.

Kedua, puasa memberikan kita semangat untuk mengerjakan amal-amal ketaatan dan itu merupakan bagian dari takwa.

Ketiga, puasa juga membiasakan kita merasakan rasa lapar dan haus, yang dengannya kita memberi faqir dan miskin, dan ini pun bagian dari takwa.

Keempat, puasa dapat membawa kita kepada ketakwaan, dan dengan itu Allah Ta’ala akan memasukkan kita ke surga yang memang disiapkan untuk mereka yang bertakwa.

Dengan puasa, semoga kita bisa menjadi penduduk surga, walaupun masih di rumah saja.

***

Penulis: Muhammad Halid Syarie, Lc.

Artikel: Muslim.Or.Id

Sabar Menahan Gangguan Dari Orang Tua

Salah satu akhlak yang harus dimiliki oleh para anak adalah tahammul al adza minal walidain, yaitu bersabar menahan gangguan dari orang tua.

Andaikan orang tua memarahi anda, mengomeli anda, menghukum anda, mencaci maki anda, merendahkan anda, membanding-bandingkan anda dengan orang lain, melakukan kezaliman kepadamu, maka hendaknya diam, tahan dan bersabarlah. Jangan membantahnya, jangan mendebatnya, jangan membalasnya dengan keburukan, jangan membalasnya dengan kemarahan juga, jangan pergi berpaling. Tapi diam, tahan dan bersabarlah.
Allah ta’ala berfirman :

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).

Perhatikan dalam ayat ini ketika orang tua mengajak berbuat syirik, Allah perintahkan untuk jangan taat kepada mereka dalam kesyirikan. Maka ketika itu biasanya orang tua akan marah bila tidak ditaati. Mungkin mereka akan memukul anda. Mungkin mereka akan mencaci maki, menganggap anda radikal, fanatik, sok suci, sok pintar dan lainnya.

Namun Allah tetap perintahkan untuk menghadapi orang tua dengan sikap yang baik. Diantaranya dengan tahammul al adza (menahan gangguannya dengan sabar).
Syaikh Musthafa al ‘Adawi hafizhahullah mengatakan:

فإذا نال من ولده أو ضربه أو سبه فليس من الأدب ولا من الخلق الحسن بحال من الأحوال أن يرد الابن على الأب بمثل الذي صنع, بل أن هذا يحرم في أكثر الأوقات والأحوال

“Jika orang tua memberikan gangguan pada anaknya, atau orang tua memukul anaknya, atau mencelanya, maka bukan termasuk adab dan akhlak yang baik, apapun keadaannya, jika sang anak membalas ayahnya dengan semisal yang dilakukan sang ayah. Bahkan ini hukumnya haram secara umum” (Fiqhu at Ta’amul ma’al Walidain, hal. 45).

Kemudian Syaikh Musthafa al ‘Adawi membawakan kisah keteladanan dari Abdurrahman bin Abi Bakar Ash Shiddiq, ketika ia dimarahi oleh Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhuma, karena Abdurrahman dianggap kurang maksimal dalam memuliakan tamunya Abu Bakar. Maka Abu Bakar mengatakan kepada Abdurrahman:

يَا غُنْثَرُ فَجَدَّعَ وَسَبَّ وَقَالَ كُلُوا لَا هَنِيئًا فَقَالَ وَاللَّهِ لَا أَطْعَمُهُ أَبَدًا وَايْمُ اللَّهِ مَا كُنَّا نَأْخُذُ مِنْ لُقْمَةٍ إِلَّا رَبَا مِنْ أَسْفَلِهَا أَكْثَرُ مِنْهَا قَالَ يَعْنِي حَتَّى شَبِعُوا وَصَارَتْ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَتْ قَبْلَ ذَلِكَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا أَبُو بَكْرٍ فَإِذَا هِيَ كَمَا هِيَ أَوْ أَكْثَرُ مِنْهَا فَقَالَ لِامْرَأَتِهِ يَا أُخْتَ بَنِي فِرَاسٍ مَا هَذَا قَالَتْ لَا وَقُرَّةِ عَيْنِي لَهِيَ الْآنَ أَكْثَرُ مِنْهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِثَلَاثِ مَرَّاتٍ فَأَكَلَ مِنْهَا أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ يَعْنِي يَمِينَهُ

“Wahai Ghuntsar (kalimat celaan)!” Abu Bakar terus saja marah dan mencela Abdurrahman. Kemudian ia berkata (kepada tamu-tamunya), “Makanlah kalian semua.” Kemudian Abu Bakar mengatakan, “Demi Allah, aku tidak akan berikan ia (Abdurrahman) makanan”. Demi Allah, tidaklah kami ambil satu suap kecuali makanan tersebut justru bertambah semakin banyak dari yang semula.” ‘Abdurrahman berkata, “Mereka kenyang semua, dan makanan tersebut menjadi tiga kali lebih banyak dari yang semula. Abu Bakar memandangi makanan tersebut tetap utuh bahkan lebih banyak lagi. Kemudian ia berkata kepada istrinya, “Wahai saudara perempuan Bani Firas, bagaimana ini?” Istrinya menjawab, “Tak masalah, bahkan itu suatu kebahagiaan, ia bertambah tiga kali lipatnya.” Abu Bakar kemudian memakannya seraya berkata, “Itu pasti dari setan!” (yaitu sumpah serapah yang ia ucapkan kepada Abdurrahman)” (HR. Bukhari no. 602, 3581, Muslim no. 2057).

Dalam hadits ini, Abdurrahman dimarahi dan dicela oleh Abu Bakar Ash Shiddiq namun ia tidak membalas sedikitpun dan tidak mendebatnya. Ia tahan kemarahan dan cacian ayahnya dengan sabar. Dan justru hal itu berbuah keberkahan dari Allah dan penyesalan dari Abu Bakar.

Juga keteladanan yang ditunjukkan oleh Aisyah radhiallahu’anha. Sebagaimana diceritakan beliau:

خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في بعض أسفاره ، حتى إذا كنا بالبيداء أو ذات الجيش انقطع عقد لي ، فأقام رسول الله صلى الله عليه وسلم على التماسه ، وأقام الناس معه ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فأتى الناس أبا بكر رضي الله عنه ، فقالوا : ألا ترى ماصنعت عائشة ؟ ! أقامت برسول الله صلى الله عليه وسلم وبالناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ، فجاء أبو بكر رضي الله عنه ، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ، واضع رأسه على فخذي قد نام ، فقال حبست رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس ، وليسوا على ماء ، وليس معهم ماء ؟ ! قالت عائشة : فعاتبني أبو بكر وقال : ما شاء الله أن يقول ، وجعل يطعن بيده في خاصرتي ، فما منعني من التحرك إلا مكان رسول الله صلى الله عليه وسلم على فخذي ! فنام رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى أصبح على غير ماء ، فأنزل الله عز وجل آية التيمم . فقال أسيد بن حضير : ما هي بأول بركتكم يا آل أبي بكر ! قالت : فبعثنا البعير الذي كنت عليه ، فوجدنا العقد تحته

“Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pada beberapa perjalanan beliau. Tatkala kami sampai di Al-Baidaa atau di daerah Dzatul Jaisy, kalungku terputus. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang ikut bersama beliau pun ikut berhenti mencari kalung tersebut. Padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci (dalam keadaan berwudu) dan tidak membawa air. Sehingga orang-orang pun berdatangan menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah? Ia membuat Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci dan tidak membawa air. Maka Abu Bakar pun menemuiku, lalu ia mengatakan apa yang dikatakannya. Lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk menghindar kecuali karena Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam yang sedang tidur di atas pahaku. Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam terus tertidur hingga subuh dalam keadaan tidak bersuci. Lalu Allah menurunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah awal keberkahan kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Lalu kami pun menyiapkan unta yang sedang aku tumpangi, ternyata kalung itu berada di bawahnya”. (HR. An Nasa-i no.309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i).

Aisyah radhiallahu’anha dipukul oleh ayahnya (dengan pukulan yang tidak menyakitkan), namun ia tidak membalas, tidak membantah, dan tidak protes kepada ayahnya. Dan hal tersebut kembali berbuah keberkahan dan kebaikan.

Inilah salah satu akhlak mulia kepada orang tua, yaitu sabar menahan kemarahan dan gangguan dari orang tua.

Tentunya dengan catatan, selama gangguan dan kemarahan tersebut masih bisa ditahan dan tidak membahayakan diri. Jika gangguan tersebut bisa membahayakan diri maka tidak mengapa menghindar dan menyelamatkan diri. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَارَ

tidak boleh membiarkan bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah no.1910, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” (HR Bukhari, no. 7257, Muslim, no. 1840).

Perkara yang ma’ruf didefinisikan oleh As Sa’di:

المعروف: الإحسان والطاعة، وكل ما عرف في الشرع والعقل حسنه

Al ma’ruf artinya perbuatan kebaikan dan perbuatan ketaatan dan semua yang diketahui baiknya oleh syariat dan oleh akal sehat” (Tafsir As Sa’di, 1/194-196).

Maka jika orang tua melakukan perkara yang membahayakan agama si anak atau perkara yang dipastikan oleh akal bahwa itu membahayakan diri, ketika itu boleh menghindar dan menyelamatkan diri.

Tetap memberikan nasehat
Ketika orang tua memberikan gangguan, maka akhlak yang mulia adalah diam, bersabar dan menahannya. Namun bukan berarti membiarkan kekeliruan atau pelanggaran syari’at yang dilakukan orang tua. Allah ta’ala berfirman:

أَنذِرۡ عَشِيرَتَكَ ٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱخۡفِضۡ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ فَإِنۡ عَصَوۡكَ فَقُلۡ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تَعۡمَلُونَ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan”(QS. Asy Syu’ara: 216).

Namun hendaknya memberi nasehat kepada orang tua dengan cara yang hikmah, santun dan di waktu yang tepat. Allah ta’ala berfirman:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An Nahl: 125).

Dengan sabar dan perlahan, disertai terus memohon hidayah kepada Allah untuk orang tua. Ini adalah cara dalam menasehati orang tua.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslimah.or.id

Persamaan Orang yang Bersedekah dengan Para Syuhada

Allah Swt menceritakan tentang kemuliaan orang-orang yang berinfak (bersedekah) bahwa mereka tidak memiliki rasa takut dan rasa sedih.

Allah Swt berfirman :

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُم بِٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS.Al-Baqarah:274)

Begitupula dengan para Syuhada’ yang syahid di jalan Allah. Mereka hidup dan diberi nikmat dari sisi Allah Swt. Dan tidak ada rasa takut dan rasa sedih di hati mereka.

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ – فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَيَسۡتَبۡشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمۡ يَلۡحَقُواْ بِهِم مِّنۡ خَلۡفِهِمۡ أَلَّا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki, Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (Ali ‘Imran:169-170)

Maka jangan pernah takut untuk mensedekahkan hartamu pada orang-orang yang membutuhkan. Walau masa-masa sulit seperti sekarang ini terus berkepanjangan, dan menjadi semakin parah.

Karena :

1. Harta tidaklah berkurang dengan sedekah, bahkan akan semakin bertambah.

2. Sedekah adalah obatmu ketika engkau sakit.

3. Sedekah adalah naungan yang menjagamu di Hari Kiamat.

4. Sedekah adalah jaminan yang akan membuatmu tidak takut dan tidak akan bersedih di hari-hari yang berat nanti.

Bila engkau merasa khawatir dengan panjangnya kondisi krisis saat ini, takut kekurangan dalam nafkah sehari-hari, takut terserang penyakit atau kehilangan orang yang dicintai maka BER-SEDEKAHLAH !

Karena dibalik sedekah itu ada janji Allah, engkau tidak akan berada dalam ketakutan dan kesedihan.

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Pilar Rasa Syukur Kepada Allah

Para pembaca Bimbinganislamcom yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang pilar rasa syukur kepada Allah.
selamat membaca.


Syukur memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seorang muslim. Perintah bersyukur dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah demikian banyak dan jelas. Sampai-sampai imam al-Fairuz Abadi menyatakan; “Syukur adalah kedudukan tertinggi bagi orang yang berjalan menuju keridhaan ilahi”. Bahkan kata beliau, Syukur adalah separuh iman.

Untuk mencapai kesempurnaan syukur ini seorang muslim harus mengetahui pilar dan tonggak kesempurnaannya. Pilar yang rasa syukur tegak berdiri kokoh di atasnya. Sebab tanpa mengenal hal ini dikhawatirkan sudah merasa bersyukur padahal masih jauh dari hakekat syukur tersebut. Ibarat kata orang, api jauh dari panggang.

Begitu pentingnya masalah ini, hingga para ulama membahas dan menjelaskan bahwa syukur memiliki lima pilar yang bila hilang satu maka hilang juga kesempurnaan dan kebenaran sikap tersebut. Kelima pilar tersebut adalah:

1. Ketundukan orang yang bersyukur kepada Dzat yang disyukuri

Seorang yang diberikan karunia nikmat oleh Allah tentunya akan menghormati dan mengagungkan-Nya sehingga akan muncul rasa tunduk kepada sang pemberi nikmat tersebut.

2. Mencintai sang pemberi nikmat

Seorang anak yang berbakti adalah anak yang bersyukur atas budi dan nikmat yang dilimpahkan orang tuanya. Di saat berbuat baik terhadap kedua orang tua tersebut, yang terbesit dalam hati bahwa kebaikan yang kita sampaikan pada mereka ini merupakan bukti cinta kita terhadap mereka. Karena dari semenjak kita dikandung ibu, masa kanak-kanak sampai dewasa setiap harinya tidak terlepas dari kebaikan mereka.

Maka seharusnya rasa cinta seperti ini lebih besar kita sampaikan kepada Allah yang telah menciptakan kita dan memberikan beragam kenikmatan dan rezeki sehingga bisa hidup dan berkembang hingga kini. Semua ini harusnya membuat kita mencintai sang pemberi kenikmatan.

3. Mengakui dan sadar nikmat yang ada semuanya mutlak karunia dari Allah

Pernahkah kita menghitung nikmat dari Allah? Nah, itulah kita yang jangankan untuk mensyukuri nikmat, menyadari akan adanya nikmat apalagi menghitungnya sepertinya sangat jarang kita lakukan.

Contoh sederhananya ketika kita makan pagi, apakah kita benar-benar sadar akan nikmat dari makanan sepiring nasi atau beberapa potong roti?
Lalu pernahkah kita berfikir, bagaimana caranya Allah swt menyampaikan nikmat sepiring nasi atau beberapa potong roti itu kepada kita?

Subhanallah, apabila sejenak saja kita berfikir akan nikmat ini insya Allah kita akan tersungkur dan menyatakan syukur kita kepada Allah ta’ala. Misalnya dari tiap butir nasi yang kita makan, kita tidak tahu siapa yang menyemai benihnya, siapa yang menanamnya, siapa yang memanennya, siapa yang mengolah padi jadi beras, siapa yang membawanya. Dari sebutir nasi yang sampai pada kita, tersusun rangkaian nikmat-nikmat Allah yang memudahkan kita untuk menikmatinya.

Belum lagi nikmat tangan kita untuk menyuapkan nasi ke mulut, nikmat mulut, gigi, lidah, tenggorokan, usus, lambung sampai pada nikmat mengeluarkan kotorannya. Itu semua harusnya menjadikan diri kita lebih bisa merasakan dan menyadari akan nikmat Allah ta’ala ini. Kesadaran akan nikmat Allah yang begitu banyak, begitu besar tercurah kepada kita dimulai dari helaan nafas, kedipan mata, degup jantung aliran darah dan lain sebagainya, akan menumbuhkan rasa berutang budi dan bergantung hanya pada Allah tabaraka wata’ala. Sang Pemberi Nikmat. Oleh karena itu Nabi Sulaiman berkata setelah mendapatkan banyak sekali kenimatan:

قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ 

“Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia“.
(QS An-Naml : 40).

4. Memuji-Nya atas karunia tersebut

Memuji kepada Allah Sang Pemberi Nikmat ini merupakan pilar berikutnya, sebagai ungkapan hati yang bersyukur. Karena memang hakikat dari semua pujian itu sebenarnya kembali kepada Allah. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita untuk memuji Allah atas kenikmatan tersebut seperti dalam doa bangun tidur atau doa setelah makan.

5. Tidak menggunakan nikmat tersebut pada perkara yang dibenci-Nya

Pilar kelima ini adalah pilar pelengkap kesempurnaan rasa syukur.  Di saat kita mencurahkan hati, pikiran, tenaga, harta, waktu dan segala fasilitas yang kita miliki untuk taat pada Allah, itulah yang disebut bersyukur.
Kelima pilar ini bila ada pada seorang muslim ketika bersyukur kepada Allah maka rasa dan sikap syukurnya tersebut telah sempurna dan sah.

Mari wujudkan pilar-pilar ini dalam rasa syukur kita!

Semoga bermanfaat.
Wabillahi taufiq.

Disusun oleh:
Ustadz Kholid Syamhudi حفظه الله
Selasa, 09 Dzul’qadah 1441 H/ 30 Juni 2020 M

BIMBINGAN ISLAM